Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU HIJAUAN MAKANAN TERNAK


KULTUR JARINGAN










Disusun oleh :
Kelompok 36
Asisten Pendamping : Santhika Anggraeni



LABORATORIUM HIJAUAN MAKANAN TERNAK DAN PASTURA
BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

Tinjauan Pustaka
Kultur Jaringan
Perbanyakan tanaman dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
perbanyakan tanaman secara generatif dan perbanyakan secara vegetatif.
Perbanyakan secara generatif adalah dengan menanam biji, sedangkan
perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan okulasi,
cangkok, penyambungan, merunduk dan yang paling mutakhir adalah
dengan kultur jaringan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Kultur jaringan (Tissue Culture) adalah membudidayakan suatu
jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti
induknya. Keunggulan metode kultur jaringan dapat menghasilkan
tanaman dalam jumlah banyak, sifat seragam dan dalam waktu singkat.
Tidak kalah pentingnya adalah metode sterilisasi bahan tanam yang akan
mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan bahan tanamn tersebut.
Beberepa peneliti mampu membentuk kalus dari bahan tanam yang
tumbuh dalam kondisi aseptic dengan sterilisasi untuk mengurangi
perrmasalahan kontaminasi mikroorganisme (Nasir, 2002; Altman, 2004;
Bhojwani & Soh, 2004).
Perkecambahan In Vitro
Medium Kultur Jaringan
Media tanam kultur jaringan adalah suatu media di mana bahan
tanam ditempatkan agar dapat tumbuh menjadi tanaman baru melalui
proses pembentukan kalus, differensiasi dan organogenesis. Oleh karena
itu media tanam kultur jaringan memerlukan persyaratan kandungan
unsur-unsur hara berupa garam anorganik, bahan organic (misalnya
glukosa), vitamin dan zat pengatur tumbuh. Perkembangan kalus
dikendalikan oleh zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam
medium, khususnya zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin.
Perubahan kadar zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi kalus apakah
akan membentuk tunas atau akar (Suprapti et. al., 2013).
Media yang biasa digunakan dalam kultur in vitro adalah media
Murashige dan Skoog (MS). Media ini mempunyai konsentrasi garam
organik yang lebih tinggi dibanding media lain (Husni, 1997). Selain itu
ada juga medium Knudson C yang biasa digunakan untuk kultru jaringan
tanaman anggrek. Media ini pertama kali diformulasikan oleh Lewis
Knudson pada tahun 1949 (Arditti, 1996). Salah satu komponen yang
harus ada pada medium adalah pemadat/penjedal. Media yang
dipadatkan secara sempurna dapat menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan jaringan tanaman maupun mikroorganisme, karena dapat
memelihara proses biokimia dan fisiologisnya (Maliro dan Lameck, 2004).
Bahan pemadat yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman adalah
jenis agar standar khusus untuk kultur jaringan tanaman yang umumnya
masih diimpor, misalnya merek Bacto, Oxoid atau Gelrite dan Phytagel.
Selain itu ada beberapa bahan pemadat yang biasa digunakan, seperti
agar ataupun pati (Priadi et. al., 2007).
Fungsi bahan pemadat secara umum adalah untuk menambah
viskositas media sehingga jaringan atau organ tanaman dapat tetap
berada di atas permukaan media (Prakash et al., 2004). Media yang
dipadatkan dengan agar secara umum warnanya lebih transparan
tergantung dari tingkat kemurniannya, semakin murni agar yang
digunakan semakin sedikit jumlah agar yang dibutuhkan untuk membuat
media. Media yang transparan diperlukan untuk pengamatan perakaran.
Keuntungan penggunaan agar sebagai bahan pemadat media adalah
karena agar dapat dicairkan kembali sewaktu-waktu menggunakan alat
pemanas atau oven microwave, setelah disimpan dalam keadaan padat.
Sifat negatif agar adalah dapat mengikat air dan menyerap senyawa dari
media sehingga dapat mengurangi penyerapan zat pengatur tumbuh
(Yaseen, 2001).
Media yang dipadatkan dengan pati menjadi berwarna keruh
karena pati tersusun dari dua fraksi polimer, yaitu amilose dan
amilopektin. Amilose dalam larutan akan segera membentuk ikatan
hidrogen untuk membentuk gel yang kaku dan keruh, sedangkan
amilopektin mempunyai kemampuan terbatas untuk membentuk ikatan
hidrogen sehingga membentuk gel yang lembek dan relatif jernih. Tapioka
sebagaimana jenis pati yang lain bukan hanya berfungsi sebagai bahan
pemadat tetapi juga merupakan sumber karbohidrat di dalam media
(Gebre dan Sathyanarayana, 2001).
Zat Pengatur Tumbuh
Perkembangan kalus dikendalikan oleh zat pengatur tumbuh yang
ditambahkan ke dalam medium, khususnya zat pengatur tumbuh
golongan auksin dan sitokinin. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) merupakan
senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat
mendukung, menghambat, dan dapat mengubah proses fisiologi
tumbuhan. Fungsi ZPT tersebut adalah untuk merangsang pertumbuhan
morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ (Nisak et. al., 2012).
Perubahan kadar zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi kalus apakah
akan membentuk tunas atau akar. Keseimbangan hormon yang
diperlukan merupakan hal penting untuk setiap spesies dan sering sangat
beragam antara kultivar satu dengan yang lain. Jenis- jenis zat pengatur
tumbuh yang banyak beredar dari jenis auksin dapat berupa Indole Acetic
Acid (IAA), Naphthalene Acetic Acid (NAA), Indole Butiric Acid (IBA) dan
2.4. Dichlrophenoxyacetic Acid (2.4.D). Jenis sitokinin dapat berupa
kinetin, zeatin dan Benzylamino Purin (BAP) (Nasir, 2002). Jika
konsentrasi auksin lebih besar daripada sitokinin maka akar akan tumbuh,
dan bila konsentrasi sitokinin lebih besar daripada auksin maka tunas
akan tumbuh. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh
yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara
endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gumawan,
1995).
Salah satu jenis auksin sintetik yang sering digunakan adalah NAA
(Naphthalene Acetic Acid) karena NAA mempunyai sifat lebih stabil dari
pada IAA (Fitrianti, 2006). Sedangkan sitokinin yang sering digunakan
dalam kultur jaringan adalah BAP, karena BAP lebih tahan terhadap
degradasi dan harganya lebih murah. Zat pengatur tumbuh 2.4.
Dichlrophenoxyacetic Acid (2.4.D) bersifat stabil karena tidak mudah
mengalami kerusakan oleh Biofarmasi 1 (1): 2 1-6, Pebruari 2003 cahaya
maupun pemanasan pada waktu sterilisasi (Hendaryono dan Wijayani,
1994). Penambahan 2,4-D dalam media akan merangsang pembelahan
dan pembesaran sel pada eksplan sehingga dapat memacu pembentukan
dan pertumbuhan kalus serta meningkatkan senyawa kimia alami
flavonoid (Rahayu et. al., 2002). Aplikasi 2,4-D yang dikombinasikan
dengan sitokinin (BA atau kinetin) akan lebih meningkatkan pertumbuhan
kalus (XIE dan HONG, 2001; THAO et al., 2005).
Tahapan Kerja dalam Kultur Jaringan
Secara umum tahapan-tahapan pada kultur jaringan adalah
Sterilisasi bahan dan alat untuk kultur kalus, pengambilan eksplan,
inkubasi, dan induksi kalus, (Priadi et. al., 2007). Teknik kultur jaringan
dimulai dengan pengambilan eksplan, yaitu bagian kecil jaringan atau
organ yang dipisahkan dari tanaman induk kemudian dikultur. Eksplan dari
jaringan yang masih muda, diperkirakan masih dapat menghasilkan zat
tumbuh sendiri dan sel-selnya masih aktif membelah, sehingga proses
kultur jaringan dapat diharapkan berhasil sampai menjadi tanaman yang
lebih lengkap. Jaringan yang masih muda serta belum banyak
terdeferensiasi terdapat pada jaringan meristem. Dari semua jenis
tanaman, bagian inilah yang paling banyak berhasil dikultur secara in vitro.
Sel serta jaringan yang masih muda atau yang dinamakan juvenile akan
tetap mudah dalam pengkulturan sehingga daya untuk regenerasi tetap
ada, sedangkan sel-sel yang sudah tua kesanggupan untuk regenerasi
sudah berkurang (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Setelah eksplan
diambil, eksplan dicuci menggunakan akuades steril dan dilakukan dalam
laminar air flow. Kultur disimpan pada ruangan kultur bersuhu 25 sampai
28 oC, dan selanjutnya mengalami induksi kalus (Priadi et. al., 2007).
Sifat dari kultur jaringan yaitu sel bersifat autonom dan mempunyai
kemampuan totipotensi. Totipotensi merupakan kemampuan suatu sel
untuk tumbuh, membelah, dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap.
Sel yang belum terdeterminasi atau belum terdiferensiasi (pada awal
perkembangan) merupakan sel-sel yang belum berkembang menjadi
jaringan khusus dan mempunyai sifat mampu merubah pola
perkembangan yang dipengaruhi lingkungan serta dapat memperbanyak
diri secara cepat dan menghasilkan massa sel yang disebut kalus
(Soetrisno et al., 2008). Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) kalus
adalah suatu massa sel yang terbentuk pada permukaan eksplan atau
pada irisan eksplan. Kalus ini akan tumbuh pada eksplan di media padat,
sedangkan di media cair akan tumbuh plb (protokormus).
Proses induksi kalus disebut sebagai proses dediferensiasi, yaitu
proses dimana sel yang telah terspesialisasi atau terdiferensiasi dan
sudah tidak lagi membelah mengalami pembelahan mitosis untuk
memperbanyak diri. Kalus adalah kumpulan sel-sel yang belum
terdiferensiasi, merupakan hasil poliferasi dari sel-sel jaringan eksplan
yang ditanam secara in vitro (Soetrisno et al., 2008).
Manfaat Kultur Jaringan
Secara umum manfaat yang dapat dperoleh dari kultur jaringan
adalah dapat menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak, sifat seragam
dan sama dengan induknya, dan dalam waktu yang cepat (Nasir, 2002;
Altman, 2004; Bhojwani & Soh, 2004). Manfaat secara khusus untuk
bidang peternakan adalah sangat membantu dalam pemenuhan pakan
ternak (khususnya hijauan dan bahan pakan asal tanaman yang lain) yang
semakin kedepan diperkirakan akan berkurang ketersediannya, akibat
lahan yang semakin sedikit dan musim yang tidak menentu. Kultur
jaringan juga dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan nutrient
dari suatu tanaman yang dikombinasikan dengan rekayasa genetika.

Materi dan Metode

Materi
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum adalah botol yang
telah berisi medium (botol kultur), cawan petri, autoclave, pisau scapel
steril, pinset, sarung tangan, kertas saring, dan lemari entkas.
Bahan. Bahan yang digunakan adalah meristem apikal dari batang
tanaman Vigna radiata, medium MS (Murashige dan Skoog) dengan zat
pengatur tumbuh auksin 2,4-D 2 mg/L dan NAA, alkohol 70% dan
aquades steril.
Metode
Jaringan meristem dari tunas tanaman Vigna radiata diambil dalam
dalam lingkungan yang steril. Dipotong bagian meristem batang
menggunakan pisau scapel dengan ukuran 2 mm sampai 3 mm sebanyak
masing 3 potongan kemudian ditempatkan pada botol medium MS 2,4 D,
diusahakan jangan sampai menempel satu sama lain. Inokulasi dalam
botol yang berisi medium MS. Pengambilan eksplan dilakukan dalam
entkas. Inkubasikan pada ruangan kultur bersuhu 20 samapi 22
0
C dan
pencahayaan menggunakan lampu TL 40 watt. Amati pembentukan akar,
tunas, dan kalusnya setiap hari dan dicatat pertumbuhannya selama 14
hari.

Hasil dan Pembahasan

Kultur jaringan (Tissue Culture) adalah membudidayakan suatu
jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti
induknya. Praktikum kultur jaringan bertujuan untuk mengetahui teknik
perkembangbiakan tanaman secara kultur jaringan. Metode kultur jaringan
dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya
untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif.
Tahapan yang dilakukan pada teknik kultur jaringan adalah
pembuatan media, yaitu berupa larutan besi sebagai karbon, sukrosa
(gula pasir), mineral, zat pengatur tumbuh semuanya dihomogenkan dan
ditambah aquades sehingga pH netral 5,6, asam HCl, basa NaOH
ditambah dengan aquades 100 ml kemudian dipanaskan agar larut.
Kemudian dimasukkan dalm botol medium, disterilisasi dengan autoklaf
pada suhu 121 C. Setelah medium jadi, dilakukan pengambilan eksplan
dari kecambah yang sudah steril. Proses pengambilan dilakukan di
entklas. Bagian yang diambil adalah meristem apikal daun dan batang
menggunakan skalpel dengan ukuran 2 mm sampai 3 mm. Eksplan yang
telah diinokulasi dalam botol yang berisi medium MS kemudian di inkubasi
pada ruang kultur bersuhu 20 sampi 22 oC dan pencahayaan
menggunakan lampu TL.
Medium yang digunakan dalam praktikum yaitu MS dan
penambahan 2,4 -D. 2,4-D merupakan kepanjangan dari Dikloro
Fenoksiasetat dan NAA merupakan singakatan dari Naftalen Acetid Acid.
Fungsi penambahan zat 2,4D yaitu untuk merangsang pembelahan sel
dan sel-sel penyusun eksplan sehingga terbentuk kalus. Hal yang perlu
diamati dalam kultur jaringan yaitu tumbuhnya kalus pada bagian-bagian
biji. Pembentukan kalus merupakan salah satu langkah yang paling
penting menentukan keberhasilan teknik kultur jaringan (Indrianto, 2003).
Secara umum tahapan-tahapan pada kultur jaringan adalah
Sterilisasi bahan dan alat untuk kultur kalus,pembuatan medium dan
sterilisasi, pengambilan eksplan, inkubasi, dan induksi kalus, (Priadi et.
al., 2007). Teknik kultur jaringan dimulai dengan pengambilan eksplan,
yaitu bagian kecil jaringan atau organ yang dipisahkan dari tanaman induk
kemudian dikultur. Eksplan dari jaringan yang masih muda, diperkirakan
masih dapat menghasilkan zat tumbuh sendiri dan sel-selnya masih aktif
membelah, sehingga proses kultur jaringan dapat diharapkan berhasil
sampai menjadi tanaman yang lebih lengkap. Jaringan yang masih muda
serta belum banyak terdeferensiasi terdapat pada jaringan meristem. Dari
semua jenis tanaman, bagian inilah yang paling banyak berhasil dikultur
secara in vitro. Sel serta jaringan yang masih muda atau yang dinamakan
juvenile akan tetap mudah dalam pengkulturan sehingga daya untuk
regenerasi tetap ada, sedangkan sel-sel yang sudah tua kesanggupan
untuk regenerasi sudah berkurang (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Setelah eksplan diambil, eksplan dicuci menggunakan akuades steril dan
dilakukan dalam laminar air flow. Kultur disimpan pada ruangan kultur
bersuhu 25 sampai 28 oC, dan selanjutnya mengalami induksi kalus
(Priadi et. al., 2007).
Secara garis besar metode yang dilakukan pada saat praktikum
sudah sesuai dengan literature yang ada, hanya ada beberapa metode
yang tidak sesuai yaitu suhu inkubasi dan tempat inokulasinya.
Seharusnya inokulasi dilakukan di dalam laminar air folw, tetapi karena
keterbatasan alat, jadi inokulasi dilakukan di entklas.
Kontaminasi pada Medium dan Eksplan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data
kontaminasi pada medium dan eksplan tertera pada tabel 2 sebagai
berikut.
Tabel 2. Kontaminasi pada medium dan eksplan
Medium
(auksin,sitokinin)

Eksplan
Akar Batang Daun
Gelap Terang Gelap Terang Gelap Terang
0,0 - - - - - -
1,0 - - - - - -
3,0 - - - - - -
5,0 - - - - - -
0,1 - - - - - -
1,1 - - - - - -
3,1 - - - - - -
5,1 - - - - - -
0,3 - - - - - -
1,3 - - - - - -
3,3 - - - - - -
5,3 - - - - - -
0,5 - - - - - -
1,5 - - - - - -
3,5 - - - - - -
5,5 - - - - - -
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa tidak terdapat
kontaminasi pada semua kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh dan
semua perlakuan (gelap dan terang).
Produksi Kalus
Kalus adalah suatu massa sel yang terbentuk pada permukaan
eksplan atau pada irisan eksplan. Kalus ini akan tumbuh pada eksplan di
media padat, sedangkan di media cair akan tumbuh plb (protokormus)
(Hendaryono dan Wijayani, 1994). Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan, diperoleh data produksi kalus tertera pada tabel 3 sebagai
berikut.
Tabel 3. Produksi kalus
Medium
(auksin,sitokinin)

Eksplan
Akar Batang Daun
Gelap Terang Gelap Terang Gelap Terang
0,0 +++ +++ - + + +
1,0 ++ ++ + +++ - +
3,0 + + - + - +
5,0 + + ++ + + +
0,1 + ++ +++ ++ + ++
1,1 + + - - - +
3,1 ++ ++ +++ - - ++
5,1 - + ++ + + +
0,3 ++ ++ ++ + - +
1,3 - - +++ + - +
3,3 + + + + + ++
5,3 ++ +++ ++ - - +++
0,5 + + + + - +++
1,5 + +++ ++ + ++ +
3,5 ++ +++ + +++ - ++
5,5 + - + ++ + +++
Berdasarkan hasil diatas dapat diketahui bahwa kombinasi medium
yang paling banyak produksi kalusnya pada semua perlakuan adalah
pada medium 0,1 dan 3,5 (16 +), sedangkan yang paling sedikit adalah
pada medium 1,1 (3 +). Produksi kalus untuk eksplan akar yang paling
banyak adalah pada perlakuan terang, produksi kalus untuk eksplan
batang yang paling banyak adalah pada kondisi gelap, sedangkan
produksi kalus untuk ekpslan daun yang paling banyak adalah pada
kondisi terang. Produksi kalus untuk ekpsplan akar pada semua kondisi
yang paling banyak adalah pada medium 0,0. Produksi kalus untuk
eksplan batang pada semua kondisi yang paling banyak adalah pada
medium 0,1. Produksi kalus untuk ekpsplan daun pada semua kondisi
yang paling banyak adalah pada medium 5,5.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil penanaman
dengan menggunakan biji kedelai, semua eksplan tidak dapat tumbuh
menjadi individu tanaman baru. Hal ini dapat disebabkan karena pada
saat proses penanaman terkontaminasi oleh jamur atau bakteri pada botol
yang berisi medium MS. Faktor yang mempengaruhi tumbuh atau tidaknya
kalus menurut (Indiarto, 2003) yaitu media yang digunakan dan tanaman
yang dipakai. Dari pengamatan selama dua minggu yang dilakukan
diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil pengamatan kalus
Parameter Hari ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jumlah
tunas/kalus
2 3
Jumlah
akar

Jumlah
daun

Tinggi
tanaman

Ada
tidaknya
kontaminasi


Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa pada hari pertama
terdapat 2 kalus, hari kedua dan ketiga terdapat 3 kalus, sedangkan hari
keempat eksplan berjamur dan eksplan berwarna merah muda, penuh
dengan jamur dan media tanamnya berubah warna yang tadinya warna
agar putih menjadi berwarna kecoklatan. Hal ini dapat terjadi karena
adanya kontaminasi pada media, alat atau eksplan yang digunakan.
Terbentuknya kalus dapat dipengaruhi oleh keadaan eksplan, yaitu umur
organ yang digunakan, komposisi nutrien yang terdapat pada media, dan
lingkungan fisik di sekitar kultur seperti suhu, cahaya, dan kelembaban.
Menurut Soetrisno et al. (2008), faktor yang mempengaruhi keberhasilan
kultur jaringan yaitu faktor eksplan, media dan lingkungan fisik kultur.
Meskipun usaha sterilisasi untuk menciptakan lingkungan yang
aseptik sudah sering dilakukan, namun kontaminasi masih sering terjadi.
Kontaminasi yang terjadi diperkirakan disebabkan oleh mikrobia golongan
protista. Yaitu Kapang lendir seluler yang menurut Susilowati (2001)
adalah genus Dictyostelium. Hal ini ditentukan berdasarkan morfologi
koloni yaitu adanya plasmodium yang tersebar di seluruh permukaan
medium kultur yang terkontaminasi. Plasmodium ini lama kelamaan
membentuk agregrat berupa benang miselium yang sangat halus dan
menjadi pusat koloni.
Organisme-organisme secara universal terdapat pada jaringan
tanaman. Banyak yang bersifat non-patogenik, artinya mereka tidak
menyebabkan bahaya bagi tanaman inang pada kondisi normal. Kondisi
kering dan adanya organisme kompetitor menyebabkan mereka dalam
kondisi terkontrol. Tapi, kondisi in vitro yang disukai eksplan, yaitu
mengandung sukrosa dan hara dalam konsentrasi tinggi, kelembaban
tinggi dan suhu yang hangat, juga disukai mikroorganisme yang seringkali
tumbuh dan berkembang sangat cepat, mengalahkan eksplan (Anonim,
2009).
Dalam budidaya in vitro (kultur jaringan), menginduksi kalus
merupakan salah satu langkah penting, setelah itu diusahakan agar terjadi
diferensiasi akar dan tunas. Proses terjadinya kalus sampai diferensiasi
berbedabeda, tergantung pada bagian tanaman yang dipakai sebagai
eksplan, metode budidaya in vitro, juga zatzat tanaman yang dibubuhkan
pada media dasar. Untuk mendapatkan kalus penggunaan eksplan dari
daun umumnya lebih menguntungkan dari pada eksplan batang. Masalah
yang perlu diantipasi adalah generasi kalus menjadi planlet. Untuk
mendapatkan kalus, zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan adalah
2,4D dari golongan auksin dan BAP dari golongan sitokinin (Ibrahim et
al., 2004).
Berdasarkan hasil praktikum, diketahui bahwa kalus pada hari ke
empat terdapat jamur, sehingga pengamatan tidak dapat dilanjutkan
sampai hari ke 14. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), teknik kultur
jaringan akan dapat berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang
diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan
sebagai bahan dasar untuk pembentukan kalus, penggunaan medium
yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang yang baik
terutama untuk kultur air.
Dalam organogenesis terdapat tiga kemungkinan yang dapat
menyebabkan eksplan gagal berorganogenesis. Pertama, sel-sel pada
eksplan kekurangan totipotensi. Totipotensi adalah total genetic potential,
yaitu bahwa setiap sel tumbuhan yang hidup dilengkapi dengan perangkat
genetik dan fisiologis yang lengkap untuk dapat ditumbuhkan menjadi
tanaman utuh, jika kondisinya sesuai. Kedua, sel-sel pada eksplan tidak
mampu berdiferensiasi dan berdediferensiasi karena kurangnya
rangsangan induksi essensial setiap jenis atau konsentrasi zat pengatur
tumbuh yang tidak tepat (Prihatmanti dan Mattjik, 2004).

Kesimpulan

Teknik kultur jaringan dicirikan dengan kondisi yang aseptik atau
steril dari segala macam bentuk kontaminan, menggunakan media kultur
yang memiliki kandungan nutrisi yang lengkap dan menggunakan ZPT
(zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang tempat pelaksanaan kultur
jaringan diatur suhu dan pencahayaannya. Manfaat dari kultur jaringan
yakni untuk pelestarian plasma nutfah, memperbanyak tanaman yang sulit
diperbanyak secara vegetative konvensional, dan perbanyakan klon
secara cepat.



Daftar Pustaka
Adriansyah. 2008. Perkecambahan dan Perbanyakan Gaharu secara In
Vitro. Available at
http://hairulsani.blogspot.com/2008/03/perkecambahan-dan-
perbanyakan-gaharu.html. Diakses tanggal 15 April 2013 Pukul
22.18 WIB.
Anonim. 2009. Kultur Jaringan Alternatif Pengadaan Bibit Unggul.
Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Anonim. 2009. Pembentukan Kultur Aseptik. Avaible at
http://www.fp.unud.ac.id/biotek/kultur-jaringan-tanaman/5 pembe
ntukan-kultur-aseptik/. Diakses tanggal 15 April pukul 19.45 WIB.
Hendaryono, Sriyanti dan Ari Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan.
Penerbit Kanisius Yogyakarta. Anonim. 1980. penuntun Produksi
Benih Hijauan Makanan Ternak. Direktorat Jendral Peternakan.
Direktorat Bina Produksi Peternakan. Jakarta.
Ibrahim,M.S.D., N. Nova K., Nurliani B. 2004. Studi Pendahuluan : Induksi
Kalus Embriogenik Dari Eksplan Daun Echinaceae purpurea.
Buletin TRO Vol. XV No. 2, 2004.
Indrianto, A. 2003. Bahan Ajar Kultur Jaringan Tumbuhan. Fakultas
Biologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Prihatmanti, D. dan N.A.Mattjik. 2004. Penggunaan ZPT NAA
(Naphtaleine Acetic Acid) dan BAP (6-Benzil Amino Purin) serta Air
Kelapa untuk Menginduksi Organogenesis Tanaman Anthurium
(Anthurium andraeanum Lin). Buletin Agronomi 32(1): 20-25.
Soetrisno, Djoko.Suhartanto ,Bambang, Umami, Nafiatul. 2008. Bahan
Ajar Ilmu Hijauan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Susilowati, Ari. Shanti Listyawati. 2001. Keanekaragaman Jenis
Mikroorganisme Sumber Kontaminasi Kultur In vitro di Sub-Lab.
Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS. Jurnal Biodiversitas
Volume 2 No. 1 hlm 110-114.

Anda mungkin juga menyukai