Anda di halaman 1dari 30

Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan


hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh
kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.2
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi
beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun
pada diabetes melitus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita,
kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidrat. Oleh karena
itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan tingginya kadar glukosa dalam plasma darah.

Klasifikasi Diabetes Melitus

DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. Secara
etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam kehamilan, dan diabetes tipe
lain.2,4,5
1. DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM), terjadi karena kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun). Sel pankreas
merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang berfungsi untuk
mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel pankreas telah mencapai 8090% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak
daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 sebagian besar oleh karena proses
autoimun dan sebagian kecil non autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya
juga disebut sebagai type 1 idiopathic, pada mereka ini ditemukan insulinopenia tanpa
adanya petanda imun dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. DM tipe 1 sebagian
besar (75% kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun dan DM Tipe ini diperkirakan terjadi
sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM yang ada.3,4,5
2. DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin
dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai yang dominan
resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin.3,4 Pada diabetes
1

ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance)
dan disfungsi sel . Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup
untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya
defisiensi insulin relatif. Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2
umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan
glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga
penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.3 Walaupun demikian pada kelompok
diabetes melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler.4
3. DM dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan yang
disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan
euglycemia).3 Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan trimester kedua atau
ketiga.4 Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM, kegemukan dan glikosuria.
GDM meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia
dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar
sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia Kasus GDM kira-kira 3-5%
dari ibu hamil dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di kehamilan
berikutnya.3
4. Subkelas DM lainnya yakni individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan spesifik
(kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit Cushings, akromegali),
penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta (dilantin), penggunaan obat yang
mengganggu kerja insulin (b-adrenergik) dan infeksi atau sindroma genetik (Downs,
Klinefelters).

Diagnosis diabetes mellitus

Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala khas berupa poliuria,


polidispia, lemas dan berat badan menurun. Gejala lain yang mungkin dikemukakan pasien
adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien
wanita. Jika keluhan dan gejala khas, ditemukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Umumnya hasil pemeriksaan satu kali saja
glukosa darah sewaktu abnormal belum cukup kuat untuk diagnosis klinis DM .
2

Kriteria Diabetes Melitus


1. Gejala klasik dengan kadar glukosa sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol).
2. Glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan puasa sedikitnya 8 jam, atau
3. Dua jam setelah pemberian, glukosa darah 200 mg/dl (11,1 mmol) pada saat
TTGO.

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang
diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma
2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam
< 140 mg/dL.

KOMPLIKASI DIABETES MELITUS


Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia,
Hipoglikemia adalah kumpulan gejala klinis yang disebabkan konsentrasi glukosa darah yang
rendah.Batas konsentrasi glukosa darah untuk mendiagnosis hipoglikemia tidak sama setiap
3

orang. Gejala umum hipoglikemia adala lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar,
pusing, pandangan menjadi gelap, gelisah serta bisa koma. Apabila tidak segera ditolong akan
terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Kadar gula darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat
mengalami kerusakan. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat
dialami 1-2 kali per minggu, survei yang dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian pada
penderita DM tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia.

2. Hiperglikemia,
Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba tiba. Gejala
hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah, dan pandangan kabur.
Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetic(KAD), Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK)
dan kemolakto asidosis. Ketoasidosis diabetik diartikan tubuh sangat kekurangan insulin dan
sifatnya mendadak. Akibatnya metabolisme tubuh pun berubah. Kebutuhan tubuh terpenuhi
setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa keton, keton akan terbawa dalam urin dan
dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah darah menjadi asam, jaringan tubuh
rusak, tak sadarkan diri dan mengalami koma. Komplikasi KHNK adalah terjadi dehidrasi berat,
hipertensi, dan syok. Komplikasi ini diartikan suatu keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak,
sehingga penderita tidak menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam, sedangkan kemolakto
asidosis diartikan sebagai suatu keadaan tubuh dengan asam laktat tidak berubah menjadi
karbohidrat.Akibatnya kadar asam laktat dalam darah meningkat (hiperlaktatemia) dan akhirnya
menimbulkan koma.
.
b. Komplikasi kronis

1. Komplikasi makrovaskuler,
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit
otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal
jantung kongetif, dan stroke. Pencegahan komplikasi makrovaskuler sangat penting dilakukan,

maka penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidup termasuk mengupayakan berat badan
ideal, diet gizi seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, dan mengurangi stress.

2. Komplikasi mikrovaskuler,
Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1. Hiperglikemia yang
persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding
pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil,
seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi .

PENATALAKSANAAN DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu
(24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan inter vensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan
tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan
mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa
darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci
keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,
5

petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes
sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip
pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, ter utama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan Seharihari
seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan . Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara
yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang
gerak atau bermalasmalasan Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).
4. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Obat hipoglikemik oral Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPPIV inhibitor

Suntikan
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat, Hiperglikemia berat yang
disertai ketosis, Ketoasidosis diabetik , Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik , Hiperglikemia
6

dengan asidosis laktat , Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal , Stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke), Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang
tidak terkendali dengan perencanaan makan, Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat,
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat
jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

HIPERGLIKEMIA

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes
Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang
mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik.
Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status
hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas.
KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum
yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni1,2

EPIDEMIOLOGI
Bila mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka mortalitas pada
kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan 33% pada
kelompok usia > 79 tahun .Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara 10% pada mereka yang
berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84 tahun, dan 35% pada mereka yang
berusia >84 tahun.2,3 40 % pasien yang tua yang mengalami krisis hiperglikemik sebelumnya
tidak didiagnosis sebagai diabetes.2

DEFINISI
Hiperglikemia menurut definisi berdasarkan kriteria diabetes melitus yang dikeluarkan
oleh International Society for Pediatrics and Adolescent Diabetes (ISPAD) adalah KGD sewaktu
11.1 mmol/L (200 mg/dL) ditambah dengan gejala diabetes atau KGD puasa (tidak
mendapatkan masukan kalori setidaknya dalam 8 jam sebelumnya) 7.0 mmol/L (126 mg/dL).

14

KETOASIDOSIS DIABETIKUM
Ketoasidosis diabetikum adalah keadaan dekompensasi metabolik yang mengandung triad yang
terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan asidemia. Konsensus diantara para ahli dibidang ini
mengenai kriteria diagnostik untuk KAD adalah

pH arterial < 7,35,

kadar bikarbonat < 15 mEq/L,


9

anion gap yang tinggi

dan kadar glukosa darah > 250 mg/dL disertai ketonemia dan ketonuria moderate.2,3

PATOFISIOLOGI

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan


konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari kekurangan
atau inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan
perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda
keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal
(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat (alanin, laktat,
dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim
glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang
bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis
osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular filtration

rate.

Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan
peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang
sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol
dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat
penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang
berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya distimulasi
terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan kadar malonyl coenzyme
A (Co A) dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl
Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A
menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim untuk transesterfikasi dari fatty
acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda
10

keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana
asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl CoA dan CPT I pada KAD
mengakibatkan peningkatan ketongenesis.
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin, relatif
ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak adekuat
untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk mensupres ketogenesis.
Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah
berat resistensi insulin sehingga hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin
kurang.2.

Hormon-hormon

kontraregulator

(glucagon,katekolamin,kortisol,dan

hormon

pertumbuhan) menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan
utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hiperglikemia dan perubahan osmolaritas
ektrasellular 3.Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormone kontrainsulin
pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose
(lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (hydroxybutyrate [-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan ketonemia
dan asidosis metabolik.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal.Pasien KAD dijumpai
pernafasan cepat dan dalam kussmaul,berbagai derajat dehidrasi( turgor kulit berkurang,lidah
dan bibir kering),kadang-kadang disertai hipovolemia serta syok.derajat kesadaran pasien dapat
dijumpai mulai kompos mentis,delirium atau depresi sampai koma.infeksi merupakan pencetus
paling sering di RS.Ciptomangunkusumo yaitu sekitar 80%.Infeksi yang paling sering ditemukan
adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia.Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi
,kebanyakan pasien tak mengalami demam.kriteria diagnosis KAD : pH arterial < 7,35, kadar
bikarbonat < 15 mEq/L, anion gap yang tinggi dan kadar glukosa darah > 250 mg/dL disertai
ketonemia dan ketonuria moderate.
Hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada pasien KAD
Glukosa
Natrium
Kalium
Magnesium

250-600 mg/dl
125-135 mEq/L
Normal atau peningkatan
normal
11

Klorin
Fosfat
kreatinin
Osmolalitas
Keton plasma
Bikarbonat serum
pH arteri
PCO2
Anion gap

Normal
Turun
Sedikit naik
300-320 mOsm/ml
++++
<15 mEq/L
6,8-7,3
20-30 mmHg
Peningkatan

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis diferensial utama adalah hiperglikemia hiperosmolar.Diagnosis banding lain
yang menyebabkan ketosis yaitu alkoholisme dan kelaparan,asidosis laktat dan konsumsi obatobatan seperti salisilat dan methanol.

PENATALAKSANAAN
Prinsip pengelolaan KAD adalah:
1. penggantian cairan tubuh yang hilang
cairan yang digunakan adalah garam fisiologis berdasarkan perkiraan hilangnya cairan
pada KAD mencapai 100ml/kgbb maka pada jam pertama diberikan 1-2 L,jam kedua 1
L.Ada dua keuntungan rehidrasi pada pasien KAD yaitu memperbaiki perfusi jaringan
dan menurunkan hormone kontraregulator insulin.Bila kadar glukosa kurang dari 200
mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa(dektrose 5% atau 10%)
2. menekan lipolisis lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian
insulin.
insulin juga digunakan untuk mengatasi keadaan ketonemia. Jika tidak terdapat
hipokalemia (K < 3,3mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan
infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5 -7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus
dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat
mengakibatkan aritmia jantung.6,12 Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah
dengan kecepatan 5 -75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika
gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa
status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali
lipat setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50 -75 mg/dl/jam.
12

Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05 -0,1
u/kgBB/jam (3- 6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5 -10%.6,7
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus disesuaikan
untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik. Pada kondisi klinik
pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis
0,3 iu (0,4 - 0,6 iu)/ kgBB yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan
setengahnya lagi secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara
intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya
sama seperti pemberian drip intravena.12Perbaikan ketonemia memerlukan waktu lebih
lama daripada hiperglikemia. Pengukuran langsung -OHB (beta hidroksi butirat) pada
darah merupakan metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Selama terapi OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan bahwa ketosis memburuk.
Selama terapi KAD harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN, serum kreatinin,
osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2 -4 jam, sumber lain menyebutkan bahwa
adar glukosa kapiler diperiksa tiap 1 -2 jam.6 Pada KAD ringan, insulin regular dapat
diberikan secara subkutan atau intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang sama
dengan pemberian intravena pada kadar gula darah yang rendah dan keton bodies yang
rendah. Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan subkutan adalah sama,
namun injeksi subkutan lebih mudah dan kurang menyakitkan pasien. Pasien dengan
KAD ringan harus mendapatkan priming dose insulin regular 0,4 -0,6 u/kgBB,
setengah dosis sebagai bolus dan setengah dosis dengan subkutan atau injeksi
intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular 0,1
u/kgBB/jam.
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl, serum
bikarbonat 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap 12 mEq/l. Pada pasien dewasa
dapat diberikan 5 iu insulin tambahan setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula
darah di atas 150 mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu untuk gula darah 300 mg/dl.
Ketika pasien dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan memakai
kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long acting insulin
sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih mudah untuk melakukan
transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi sebelum makan atau saat makan malam.
13

Teruskan insulin intravena selama 1 - 2 jam setelah pergantian regimen dimulai untuk
memastikan kadar insulin plasma yang adekuat. Penghentian insulin tiba-tiba disertai
dengan pemberian insulin subkutan yang terlambat dapat mengakibatkan kontrol yang
buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping pemberian insulin intravena dan
subkutan. Pasien yang diketahui diabetes sebelumnya dapat diberikan insulin dengan
dosis yang diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya.
Pada pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5 -1,0 u/ kgBB/hari, diberikan
terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long acting
insulin sampai dosis optimal tercapai,duapertiga dosis harian ini diberikan pagi hari dan
sepertiganya diberikan sore hari sebagai split-mixed dose.6,7 Akhirnya pasien DM tipe 2
dapat keluar rumah sakit dengan antidiabetik oral dan terapidiet.
3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah,
oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di
atas 100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar
yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah
penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level
natrium yang diukur 130, maka level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) =
138, sehingga tidak memerlukan koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan
normal saline (NaCl 0,9%). Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan
resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium
lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa
natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium8.
Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl
0,45%.7
4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3 - 5
mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali terjadi. Hal ini terjadi karena
shift kalium dari intrasel ke ekstrasel oleh karena asidosis, kekurangan insulin, dan
hipertonisitas, sehingga terapi insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan
akan menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian
14

kalium dimulai setelah kadar kalium serum kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan
nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20 - 30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter
cairan infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum dalam range normal 4 - 5
mEq/l. Kadangkadang pasien KAD mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada kasus
tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi
insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau
gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan.6,7 Terapi kalium dimulai saat terapi cairan
sudah dimulai, dan tidak dilakukan jika tidak ada produksi urine, erdapat kelainan ginjal,
atau kadar kalium > 6 mEq/l.16
5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0, pengembalian
aktifitas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis tanpa pemberian
bikarbonat. Studi random prospektif telah gagal menunjukkan baik keuntungan atau
kerugian pada perubahan morbiditas atau mortalitas dengan terapi bikarbonat pada pasien
KAD dengan pH antara 6,9 -7,1. Tidak didapatkan studi random prospektif yang
mempelajari pemakaian bikarbonat pada KAD dengan nilai pH < 6,9. Mengetahui bahwa
asidosis berat menyebabkan banyak efek vascular yang tidak diinginkan, tampaknya
cukup bijaksana menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol
natrium bikarbonat ditambahkan ke dalam 400 ml cairan siologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 -7,0, 50 mmol natrium bikarbonat
dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam.
Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.7,15 Sebagaimana natrium bikarbonat,
insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus
diberikan secara intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena
diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika
perlu.
6. Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan hingga 1,0
mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau meningkat. Kadar fosfat menurun
dengan terapi insulin. Studi acak prospektif gagal untuk menunjukkan efek
menguntungkan dari pemberian fosfat pada hasil akhir pasien KAD, dan terapi fosfat
15

berlebihan dapat menyebabkan hipokalemia berat tanpa bukti adanya tetanus.


Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta depres
pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-hati mungkin
kadangkadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau depresi
pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat < 1,0 mg/dl. Ketika diperlukan,
20 -30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan.
Untuk itu diperlukan pemantauan secara kontinu.7 Beberapa peneliti menganjurkan
pemakaian kalium fosfat rutin karena mereka percaya akan dapat menurunkan
hiperkloremia setelah terapi dengan membatasi pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat
juga mencetuskan hipokalsemia simtomatis pada beberapa pasien.9
7. Magnesium
Biasanya terdapat de sit magnesium sebesar 1 -2 mEq/l pada pasien KAD. Kadar
magnesium ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat seperti diuretik yang dapat
menurunkan kadar magnesium darah. Gejala kekurangan magnesium sangat sulit dinilai
dan sering tumpang tindih dengan gejala akibat kekurangan kalsium, kalium atau
natrium. Gejala yang sering dilaporkan adalah parestesia, tremor, spame karpopedal,
agitasi, kejang, dan aritmia jantung. Pasien biasanya menunjukkan gejala pada kadar ! 1,2
mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal disertai gejala, maka pemberian magnesium dapat
dipertimbangkan.7
8. Hiperkloremik asidosis selama terapi
Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine selama fase awal terapi,
substrat atau bahan turunan bikarbonat akan menurun. Sebagian de sit bikarbonat akan
diganti dengan infus ion klorida pada sejumlah besar salin untuk mengkoreksi dehidrasi.
Pada kebanyakan pasien akan mengalami sebuah keadaan hiperkloremik dengan
bikarbonat yang rendah dengan anion gap yang normal. Keadaan ini merupakan kelainan
yang ringan dan tidak akan berbahaya dalam waktu 12 -24 jam jika pemberian cairan
intravena tidak diberikan terlalu lama.3
9.

Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai


Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor pencetus
terjadinya KAD.3 Jika faktor pencetus infeksi belum dapat ditemukan, maka antibiotika
yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas.5
16

10. Terapi Pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT)


Terapi pencegahan DVT diberikan terhadap penderita dengan risiko tinggi, terutama
terhadap penderita yang tidak sadar, immobilisasi, orang tua, dan hiperosmolar berat.
Dosis yang dianjurkan 5000 iu tiap 8 jam secara subkutan.16

Komplikasi Terapi
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena penanganan
yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh pemberian insulin dan terapi
asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang tidak
kontinu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah
membaik mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang
berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic acidosis
seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti garam natrium
dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini terjadi sementara dan tidak ada
efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal ginjal akut atau oliguria ekstrem.7
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak didapatkan
data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri pada orang dewasa. Gejala
yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan
neurologis dapat terjadi cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan
kegagalan respirasi. Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal ini
merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat mekanisme osmosis, ketika
osmolaritas plasma menurun secara cepat saat terapi KAD. Oleh karena terbatasnya informasi
tentang edema serebri pada orang dewasa, beberapa rekomendasi diberikan pada penanganannya,
antara lain penilaian klinis yang tepat dibandingkan dengan bukti klinis. Pencegahan yang tepat
dapat menurunkan risiko edema serebri pada pasien risiko tinggi, diantaranya penggantian cairan
dan natrium secara bertahap pada pasien yang hiperosmolar (penurunan maksimal pada
osmolalitas 2 mOsm/kgH2O/jam), dan penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula
darah mencapai 250 mg/dl.7 Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru
nonkardiak dapat sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan
koloid osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan penurunan
compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient oksigen alveolo-arteriolar yang
17

lebar yang diukur pada awal pemeriksaan analisa gas darah atau dengan ronki pada paru pada
pemeriksaan fisik tampaknya mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru.

PROGNOSIS
Prognosis KAD tergantung pada :
l. Ada tidaknya komplikasi seperti infark miokard akut , pankreatitis hemorargis,
nekrosis tubuler akut .Jika terdapat komplikasi maka prognosisnya jelek.
2. Derajat asidemia.
3. Lama dan derajat koma ketoasidosis

STATUS HIPERGLIKEMIK HIPEROSMOLAR

SHH pertama kali dilaporkan oleh Sament dan Schwartz pada tahun 1957. SHH
didefinisikan sebagai hiperglikemia ektrim, osmolalitas serum yang tinggi dan dihidrasi berat
tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan.
Osmolalitas serum dihitung dengan rumus sebagai berikut : 2(Na)(mEq/L) + glucose (mg/dL) /
18 + BUN (mg/dL) / 2,8. Nilai normalnya adalah 290 5 mOsm/kg air.
Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda nitroprusid pada dilusi 1:2,
bikarbonat serum > 15 mEq/L, dan pH arterial > 7,3. Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih
berat dari pada KAD; kadar glukosa darah > 600 mg/dL biasanya dipakai sebagai kriteria
diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua atau pada mereka yang baru didiagnosis
sebagai diabetes dengan onset lambat.3
Diagnostik dari HHS meliputi
1. glukosa plasma 600mg/dl atau lebih
2. osmolalitas serum 320 mOsm/kg atau lebih
3. dehidrasi berat dengan peningkatan BUN
4. ketonuria minimal,tidak ada ketonemia
5. bikarbonat > 15 mEq/L
6. perubahan dalam kesadaran.

PATOFISIOLOGI
18

Pada sisi lain, SHH mungkin disebabkan oleh konsentrasi hormon insulin plasma yang
tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, tetapi
masih cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis dan
ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk teori ini masih lemah .4
HHNK dimulai dengan adanya dieresis glukosurik.Glukosuria menyebabkan kegagalan pada
kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin.keadaain ini semakin memperberat derajat
kehilangan air.Pada keadaan normal ginjal berfungsi megeliminasi glukosa diatas ambang
tertentu.Penurunan volume intravascular atau penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya akan
menurunkan laju filtrasi glomerular ,menyebabkan kadar glukosa meningkat .Hilangnya air yang
lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar.Insulin yang ada tidak
cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah.terlebih jika terdapat resistensi insulin.Pasien
HHNK tidak mengalami ketoasidosis namun tidak diketahui dengan jelas alasannya.Faktor yang
diduga ikut berpengaruh antara lain keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar,kadar
asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis,ketersediaan insulin yang cukup untuk
menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia dan resistensi hati
terhadap glucagon.Akibat insulin menurun terjadi penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan
perifer termasuk sel otot dan sel lemak,ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen
pada otot dan hati dan stimulasi glucagon pada sel hati untuk glukoneogenesis mengakibatkan
semakin naiknya kadar glukosa darahPada keadaan dimana insulin tidak mencukupi,maka
besarnya kenaikan kadar glukosa darah juga tergantung dari ststus hidrasi dan masukan
karbohidrat oral.Adanya hiperglikemia mengakibatkan timbulnya dieresis osmotic,dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total.Dalam ruang vascular,dimana glukoneogenesis
dan masukan makanan terus menambah glukosa,kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan
hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi.Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi
protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravascular menyebabkan keadaan
hiperosmolar.Adanya keadaan hiperosmolar akan memicu sekresi hormone anti diuretic dan
timbul rasa haus.Apabila keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar yang menyebabkan
kehilangan cairan ini tidak dikompensasi yaitu dengan masukan cairan oral,maka akan timbul
dehidrasi dan kemudian hipovolemia.Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya
akan menyebabkan ghangguan pada perfusi jaringan.Keadaan koma merupakan suatu stadium

19

akhir dari proses hiperglikemik ini,dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam
kaitannya dengan hipotensi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Karakteristik pasien HHNK umunya berusia lanjut,belum diketahui mempunyai DM dan
pasien DM tipe 2 yang mendaoat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemik oral.Sering
dijumpai kasus dengan penggunaan obat yang semakin memperberat masaalah ,misalnya
diuretik.
Keluhan pasien HHNK adalah rasa lemah,gangguan penglihatan atau kaki kejang.Dapat
pula ditemukan keluhan mual dan muntah ,namun lebih jarang dibandingkan KAD.Kadang
pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi,disorientasi,hemiparesis,kejang atau
koma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti tiugor yang
buruk,mukosa pipi yang kering,mata cekung,perabaan ektremitas yang dingin dan denyut nadi
yang cepat dan lemah.Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu
tinggi.Perubahan status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma.Derajat gangguan
neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum.koma
terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg.Kejang ditemukan pada 25
% pasien ini dan dapat berupa kejang umum,local,maupun mioklonik.Dapat juga hemiparesis
yang reversible dengan koreksi deficit cairan.Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan
KAD terutama bila hasil laboratorium seperti kadar glukosa darah,keton dan analisis gas darah
belum ada hasilnya.pasien HHNK sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih 60
tahun,semakin muda semakin berkurang,dan pada anak belum pernah ditemukan.Hampir separuh
pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa insulin. Pasien biasanya mempunyai
penyakit dasar lain, seperti penyakit ginjal atau kardiovaskular dan mempunyai faktor pencetus
misalnya infeksi, aritmia, perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik
dan operasi.
HHNK sering disebabkan oleh obat-obatan seperti tiazid, furosemid, manitol, digitalis,
resepin, steroid, klorpromazin,hidralazin,dilantin,simetidin,dan haloperidol.
Separuh pasien akanmenunjukan asidosis metabolic dengan anion gap yang ringan (10-12).Jika
anion gapnya berat (>12) harus dipikirkan kemungkina diagnosis diferensia yaitu asidosis
20

laktat.Muntah dan penggunaan diuretic tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolic yang dapat
menutupi keparahan asidosis metabolic.kadar kreatini ,BUN dan hematokrit hampir selalu
meningkat.HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan elektrolit.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnostic
Serum glukosa(mg/dl)
Serum osmolality(mosm/kg)
Arterial pH value
Sodium bicarbonate(mEq/L)
Serum keton

HHS
>600
>320
>7,3
>15
Absent or low

DKA
>250
<320
<7,2
<15
Moderate to high

Typical deficit
Total water(L)
Water (ml/kg)
Na(mEq/kgbb)
Cl
K
PO4
Mg
Ca

DKA
6
100
7-10
3-5
3-5
5-7
1-2
1-2

HHS
9
100-200
5-13
5-15
4-6
3-7
1-2
1-2

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan HHS serupa dengan KAD,hanya cairan yang diberikan adalah cairan
hipotonis.pemantauan kadar glukosa darah harus lebih ketat dan pemberian insulin harus lebih
cermat dan hati-hati.Respons penurunan kadar gula darah lebih baik.Walaupun demikian angka
kematian lebih tinggi,karena lebih banyak terjadi pada usia lanjut,yang tentu saja lebih banyak
disertai kelainan organ-organ lainnya.
Penatalaksanaan HHNK meliputi lima pendekatan :
1. rehidrasi intravena agresif
Dengan terapi cairan ditujukan untuk memperluas volume intravascular dan memperbaiki
perfusi ginjal serta jaringan.kehilangan cairan umumnya 20-25% dari total cairan tubuh
atau sekitar 12-15% berat badan.Kehilangan cairan yang terjadi rata-rata sekitar 9
L.tujuan utama terapi pengganti cairan dalam 12 jam pertama adalah dapat mengganti
21

satu setengah kali total kehilangan cairan.Awalnya sebaiknya diberikan 1 L normal saline
perjam.Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik mungkin dibutuhkan plasma
expanders,Jika pasien dalam keadan syok kardiogenik,maka diperlukan monitor
hemodinamik.Pada awal terapi kadar glukosa darah akan menurun bahkan sebelum
insulin diberikan.Jika kadar glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg/dl
perjam ,hal ini biasanya menunjukan penggantian cairan yang kurang atau gangguan
ginjal.
2. Penggantian elektrolit
Kadar elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien harus
dimonitor.JIka kadar kalium < 3,3 mEq per L pemberian insulin ditundadan diberikan
kalium 2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai kadar kalium setidaknya 3,3 mEq
per L.JIka kadar kalium > 5,0 mEq per L maka harus diturunkan sampai dibawah 5,0
mEq .Jika kadar awal kalium 3,3-5,0 mEq per L maka 20-30 mEq kalium harus diberikan
dalam tiap liter cairan intravena untuk mempertahankan kadar kalium antara 4-5 mEq per
L.
3. Pemberian insulin intravena
Dalam penatalaksanaan HHS ,insulin bukan merupakan prioritas terapi.Insulin akan
menyebabkan glukosa masuk kedalam intrasel sehingga cairan akan berpindah juga ke
intrasel.insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15 u/kgbb secara intravena dan
diikuti dengan drip 0,1 U /kgbb perjam sampai kadar glukosa darah turun antara 250 mg
per dl sampai 300 mg/dl.Jika kadar glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dl per jam
,dosis yang diberikan dapat ditingkatkan .Ketika kadar glukosa darah sudah mencapai
dibawah 300 mg/dl sebaiknya diberikan dektrosa secara intravema dan dosis insulin
dititrasi secara sliding scale sampai pulih kesadaran dan keadaan hiperosmolar.
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
Berdasarkan penelitian terkini peningkatan kadar C-reaktive protein dan interleukin 6
merupakan indicator awal sepsis pada pasien dengan HHNK.

KOMPLIKASI
Komplikasi

dari

terapi

yang

tidak

adekuat

meliputi

oklusi

vaskuler,infark

miokard,DIC,rabdomiolisis.Overhidrasi dapat menyebabkan adult respiratory distress syndrome


22

dan edema serebri.Edema serebri ditatalaksana dengan infuse manitol dengan dosis 1-2 g/kgbb
selama 30 menit dan pemberian dexametason intavena.

PROGNOSIS
Prognosis

umumnya

lebih

jelek

dibanding

KAD

yaitu

mortalitas

l0

kali

lebih besar dibanding KAD yaitu berkisar 40-70 % .Karena pada HHS biasa dijumpai pada usia
lanjut yang biasanya sudah ada penyakit dasar lainnya yang menyebabkan fungsi organ yang
sudah menurun..

HIPOGLIKEMIA
DEFINISI
Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dL ,atau kadar glukosa darah
,<80 mg/dL,dengan gejala klinis ,hipoglikemia pada DM terjadi karena :
Kelebihan obat / dosis obat ; terutama insulin ,atau obat hipoglikemia oral
Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun ; gagal ginjal kronik pasca persalinan
Asupan makan tidak adekuat ; jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
Kegiatan jasmani berlebihan

DIAGNOSIS
GEJALA DAN TANDA KLINIS ;
Stadium parasimpatik ; lapar,mual,tekanan darah turun
Stadium gangguan otak ringan ; lemah lesu ,sulit bicara ,kesulitan menghitung sementara
Stadium simpatik; keringat dingin pada muka ,bibir atau tangan gemetar
Stadium gangguan otak berat ;tidak sadar,dengan atau tanpa kejang

ANAMNESIS ;
Penggunan preparat insulin atau obat hipoglemik oral ; dosis terakhir ,waktu pemakaian
terakhir ,perubahan dosis.
Waktu makan terakhir ,jumlah asupan gizi
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
Lama menderita DM ,komplikasi DM
23

Penyakit penyerta :ginjal ,hati, dll.


Penggunaan obat sistematik lainnya ;penghambat adrenergikB ,dll

PEMERIKSAAN FISIK
Pucat,diaphoresis,tekanan darah ,frekuensi denyut jantung ,penurunan kesadaran ,defisit
neurologik fokal transient.
Trias whipple untuk hipoglikemia secara umum;
1,gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2,kadar glukosa plasma rendah
3,Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat.

KLASIFIKASI HIPOGLIKEMIA
1. Ringan : simptomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari-hari yang
nyata.
2. Sedang : dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata.
3. Berat : sering (tidak selalu) tidak simptomatik, karena gangguan kognitif pasien tidak
mampu mengatasi sendiri . Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak memerlukan terapi
parenteral. Membutuhkan terapi parenteral (glukosa intramuskular atau glukosa
intravena) .Disertai koma atau kejang.
PATOFISIOLOGI
Glukosa merupakan bahan bakar metabolism yang utama untuk otak.Selain itu otak tidak
dapat mensintesis glukosa dan hanya menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen dalam jumlah
yang seikit.Oleh karena itu,fungsi otak yang normal sangat tergantung pada konsenterasi asupan
glukosa dari sirkulasi.Gangguan pasokan glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit
dapat menimbulkan disfungsi system saraf pusat,gangguan kognisi dan koma.4
Konsentrasi glukosa plasma normalnya dipertahankan pada batas normal,sekitar 70-110 mg/dL
pada saat puasa disertai adanya perubahan sesaat yang mencolok sesaat setelah makan ataupun
peningkatan yang bervariasi pada saat mendapatkan glukosa eksogen (dari makanan) disertai
dengan produksi glukosa endogen (saat olahraga) melalui glikogenolisis hepatik dan
glukoneogenesis hepatik dan renal. Penurunan konsenterasi glukosa plasma akan memicu respon
tubuh yaitu penurunan konsentrasi insulin secara fisiologis seiring dengan turunnya konsentrasi
24

glukosa plasma yang masih dalam batas fisiologis,peningkatan konsentrasi glukagon,epinefrin


sebagai respon neuroendrokin pada konsentrasi glukosa plasma sedikit dibawah batas
normal,dan timbulnya gejala neurogenik (autonom) dan penurunan kesadaran pada konsentasi
glukosa darah dibawah batas normal.
Konsentrasi glukosa plasma normal pada subjek DM dengan glukosa darah yang tidak
terkontrol akan lebih tinggi dibandingkan subjek DM yang glukosa darahnya terkontrol dan
orang sehat.Sedangkan orang yang sering mengalami episode hipoglikemia berulang,konsentrasi
glukosa plasma normal akan lebih rendah dari pada orang sehat.Apabila konsentarsai glukosa
darah menurun dibawah batas normalk,hormone-hormon kontraregulasi akan dilepaskan.Dalam
hal ini glucagon yang diproduksi oleh del alfa pancreas berperanan penting sebagai pertahanan
utama terhadap hipoglikemia.Selanjutnya eoinefrin,kortisol,dan hormone pertumbuhan juga
berperan meningkatkan produksi dan mengurangi penggunaan glukosa.Glukagon meningkatkan
glukogenolisis dan glukoneogenesis dihati.Sedangkan epinefrin meningkatkan glukoneogenesis
dan glukogenolisis dihati dan meningkatkan lipolisis dijaringan lemak ,glikogenolisis dan
proteolisis di otot,glukoneogenesis diginjal.Kortisol dan hormone pertumbuhan berperan pada
keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama dengan cara melawan kerja insulin dijaringan
perifer(lemak dan otot) serta meningkatkan glukoneogenesis.
Pasien diabetes dengan respon glucagon dan epinefrin yang berkurang paling rentan
terhadap hipoglikemia.Hal tersebut terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari karena
hilangnya mekanisme kontraregulator dan gangguan respons simpatoadrenal.

DIAGNOSIS BANDING
Hipoglikemia karena :
Obat ;
o ( sering ); insulin ,sulfonlurea,alcohol,
o ( kadang) ; kinin ,pentamidine
o (jarang ) ; salisilat ,sulfonamide.
Hiperinsulinisme endogen ; insulinoma ,kelainan sel B jenis lain ,sekretagogue ( sulfonylurea
),autoimun,sekresi insulin ektopik
Penyakit kritis: gagal hati ,gagal ginjal ,sepsis ,starvasi dan inasasi
Defisiensi endokrin; kortisol,growth hormone ,glukagon ,epnefrin
25

Tumor non-sel B ;sarkoma ,tumor adrenokortikal,hepatoma ,leukemia ,limfoma ,melanoma


Pasca prandial; reaktif ( setelah operasi gaster) ,diinduksi alcohol

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kadar glukosa darah (GD) ,tes fungsi ginjal ,tes fungsi hati ,C- peptide

TERAPI

Stadium permulaan(sadar)
Berikan gula murni 30 gram ( 2 sendok makan ) atau sirop /permen atau gula murni ( bukan
pemanis pengganti gula atau gula diit /gula diabetes ) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
Hentikan obat hipoglikemik sementara
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia );
1) Diberikan larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL)bolus intra vena setiap 10-20
menit hingga pasien sadar
2) Diberikan cairan dekstrosa 10 % per infuse ,6 jam perkolf untuk mempertahankan glukosa
darah dalam nilai normal atau diatas normal disertai pemantauan glukosa darah
3) Periksa GD sewaktu (GDs) ,kalau memungkinkan dengan glukometer ;
Bila GDs < 50 mg /dL : bolus dekstrosa 40% 50 ml IV
Bila GDs < 100 mg /dL : bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV
4) periksa GDs setiap satu jam setelah pemberian dekstrosa 40%
bila GDs < 50 mg/dL : bolus dekstrosa 40 % 50 mL IV
bila GDs <100 mg/dL : bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV
bila GDs 100 200 mg /dL : tanpa bolus dekstrosa 40 %
bila GDs > 200 mg/dL : pertimbangan menurunkan kecepatam drip dekstrosa 10 %
5) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 berturut turut ,pemantauan GDs setiap 2 jam ,dengan
26

protocol sesuai diatas ,bila GDs >200 mg/dL pertimbangkan mengganti infuse dengan
dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %
6) Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut ,pemantauan GDs setiap 4 jam ,dengan
protocol sesuai diatas .bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan mengganti infuse dengan
dekstrosa 5 % atau NaCI 0.9 %
7) bila hipoglikemia belum teratasi ,dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti ;
adrenalin ,kortison dosis tinggi ,atau glikagon 0,5-1 mg IV / IM ( bila penyebabnya insulin )
8) bila pasien belum sadar ,GDs sekitar 200 mg / dL .hidrokortison 100 mgper 4 jam selama 12
jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol 1,5 - 2 g/kgBB
IV setiap 6-8 jam ,cari penyebab lain penurunan kesadaran

KOMPLIKASI
Kerusakan otak ,koma ,kematian

PROGNOSIS
Jika tidak diobati, Hipoglikemia yang berat dan berkepanjangan dapat menyebabkan kematian
pada setiap golongan umur. Komplikasi hipoglikemia lebih gawat dibandingkan hiperglikemia,
karena gangguan pasokan glukosa pada otak dapat menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat,
gangguan kognisi dan koma.

27

PENUTUP

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan berbagai


komplikasi yang sangat memengaruhi kualitas hidup penyandangnya sehingga perlu
mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Sampai saat ini memang belum ditemukan cara
atau pengobatan yang dapat menyembuhkannya diabetes secara menyeluruh. Namun harus
diingat bahwa diabetes dapat dikendalikan, dengan cara : diet, olahraga dan dengan
menggunakan obat antidiabetik. Pada setiap penanganan penyandang DM, harus selalu
ditetapkan target yang akan dicapai sebelum memulai pengobatan. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui keberhasilan program pengobatan dan penyesuaian regimen terapi sesuai kebutuhan.
Komplikasi diabetes mellitus akut yaitu hiperglikemia dan hipoglikemia.Hiperglikemia
terbagi

menjadi

ketoasidosos

metabolik

(KAD)

dan

hiperglikemia

hiperosmolar

(HHS).Komplikasi akut ini harus diketahui dengan dini agar didapatkan penanganan yang cepat
karena dapat mengancam jiwa. Dengan referat ini semoga dapat membedakan sign dan symptom
dari hipoglikemia dan hiperglikemia sehingga dapat mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan
dengan tepat dan cepat.

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American Diabetes Association.
Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102.
2. Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med Cli
NAm 88: 1063-1084, 2004.
3. Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ : Diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslins Diabetes Mellitus. 13th ed.
Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p. 738770
4. Marshall SM, Walker M, Alberti KGMM: Diabetic ketoacidosis and hyperglycaemic
non -ketotic coma. In International Textbook of Diabetes Mellitus. 2nd ed. Alberti
KGMM,Zimmet P, DeFronzo RA, Eds. New York, John Wiley, 1997, p. 12151229.
5. Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes Mellitus :Theory
and practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam, Elsevier,1997, 827-844.
6. Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic ketoacidosis. Diabetes
Care 13: 22-23, 1990 .
7. Rachmawati, A.M., Bahrun, U., Rusli, B., Hardjoeno. Tes Diabetes Melitus. Dalam
Hardjono dkk. Interpretasi Hasil Diagnostik Tes Laboratorium Diagnostik. Cetakan 3.
Lembaga Pendidikan Universitas Hasanudin. Makasar. 2007. p. 167-82.
8. . World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study Group. World
Health Organisation. Geneva-Switzerland. 2006. S5-36.
9. Widjayanti, A., Ratulangi, B.T. Pemeriksaan Laboratorium Penderita Diabetes. Available
from: http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/pus-1.htm. Access : 6 Juli
2008.
10. John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru. Cermin
Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40.
11. Publlication and Product National Diabetes facts Sheet. Available :
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/general05.htm#what. Access : 6 Juli 2008.
12. Mansjoer A., Suprohaita, Warhani, W.I., Setiouwulan. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
ke-3. Jilid ke-2. Media Aesculapius. Jakarta. 2008. p. 543-48.
13. Morgan, Jeff. Collecting, Processing and Handling Venous, Capillary and Blood Spot
Samples. 2007. Available from: www.idpas.org/SCNReportSite/supplements/ PATH%
20 supplement%20BloodCollectionManual.pdf (Akses : 6 juli 2008).
14. Report Of The Expert Committee On The Diagnosis And Classification Of American
Diabetes Mellitus. The Expert Committee On The Diagnosis And Classification Of The
Diabetes Mellitus. Diabetes Care. 2012; 22(Suppl. 1) : S5 S20.
15. Hardjono. Tes Diabetes Melitus. Dalam Hardjono dkk. Interpretasi Hasil Diagnostik Tes
Laboratorium Diagnostik. Cetakan 3. Lembaga Pendidikan Universitas Hasanudin.
Makasar. 2006. p. 201-06.
16. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1896-9.

17. Van Zyl DG. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis. SA Fam Prac
2008;50:39-49.
18. Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In: McPheeSJ, Papadakis MA, editors. Lange
current
medical diagnosis and treatment. 49th ed. NewYork: Lange; 2010.p.1111-5.
29

19. Chiasson JL. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic
hyperosmolar state. Canadian Medical Association Journal 2003;168(7):859-66.
20. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and management of diabetic ketoacidosis in
adults. Hospital Physician 2008;15:21-35.
21. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE.Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-35.
22. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes Care
2004;27(1):94-102.
23. Alberti KG. Diabetic acidosis, hyperosmolar coma, and lactic Acidosis. In: Becker KL,
editor. Principles and practice of endocrinology and metabolism. 3rd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.1438-49.
24. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar
syndrome.In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors.Diabetes mellitus a fundamental
and clinical ext. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2000.p.336-46.
25. Wallace TM, Matthews DR. Recent advance in the monitoring and management of
diabetic
ketoacidosis. Q J Med 2004;97(12):773-80.
26. Trachtenbarg DE. Diabetic ketoacidosis.American Family Physician 2005;71(9):1705-14
27. . Kitabachi AE, Wall BM. Management of diabetic ketoacidosis. American Family
Physician
1999;60:455-64.

30

Anda mungkin juga menyukai