Anda di halaman 1dari 11

PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINANNYA

Disampaikan pada mata kuliah Pendidikan Profesi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin
2014
Arranged by : Padlah Riyadi, SE, Ak
Perjanjian Kredit dan Jaminannya
Pengantar
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia terkadang membutuhkan bantuan dana baik untuk
pemenuhan kebutuhannya maupun untuk modal usahanya. Bantuan dana tersebut bisa diperoleh
melalui pinjaman dari bank atau lembaga pembiayaan seperti leasing. Adapun pinjaman dari
bank atau lembaga pembiayaan inilah yang disebut dengan kredit. Pemberian kredit oleh bank
atau lembaga pembiayaan didasarkan pada perjanjian yaitu perjanjian kredit. Suatu perjanjian
kredit melibatkan para pihak yang terdiri dari pihak yang meminjamkan atau kreditur dan pihak
yang meminjam atau debitur. Perjanjian kredit itu sendiri berakar dari perjanjian pinjammeminjam.. Dalam pemberian kredit terkandung resiko yaitu pihak yang meminjam atau debitur
tidak mampu melunasi kredit pada waktunya dan untuk memperkecil resiko itu biasanya kreditur
meminta jaminan kepada debitur. Jaminan inilah yang kemudian menjadi sumber dana bagi
pelunasan kredit dalam hal debitur tidak mampu melunasi kredit yang diterimanya.
Berikut ini akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek dari kegiatan kredit
sehingga pembaca akan mendapat pemahaman lebih lanjut.
Aspek-Aspek Yang Perlu Diketahui Masyarakat Perihal Perjanjian Kredit dan Permasalahannya
Pengertian Kredit, Kredit dilihat dari sudut bahasa berarti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila
seseorang mendapatkan fasilitas kredit, maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapatkan
kepercayaan dari pemberi kredit. Pengertian kredit menurut Pasal 1(11) UU No.10/1998 tentang
Perubahan Atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), sebagai berikut:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.

Dari pengertian diatas, dapat ditemukan adanya unsur-unsur dalam kredit yaitu antara lain:
1.
Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan dibayar
kembali oleh si penerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang telah diperjanjikan.
2.
Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak dilakukan pada
waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu.
3.
Resiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai resiko akibat adanya jangka
waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan pembayaran kembali. Semakin
panjang jangka waktu kredit semakin tinggi resiko kredit tersebut.
4.
Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat
berbentuk barang atau jasa. Namun dalam obyek kredit yang menyangkut uanglah yang
sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
5.
Perjanjian Kredit
Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib
dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit. Dalam Pasal 1313 Kitab UU Hukum
Perdata (KUHPer) menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Dari perjanjian tersebut timbul suatu hubungan hukum antara dua pihak yang membuatnya yang
dinamakan perikatan. Hubungan hukum yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum yang
dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi hak dan
kewajiban secara sukarela maka salah satu pihak dapat menuntut melalui pengadilan.
Sedangkan yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu disebut
kreditur sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut debitur.
Istilah perjanjian kredit secara definitif tidak dikenal di dalam UU Perbankan, namun bila
ditelaah lebih lanjut mengenai pengertian kredit dalam UU Perbankan tercantum kata-kata
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam. Kata-kata tersebut menegaskan bahwa
hubungan kredit adalah hubungan kontraktual (hubungan yang berdasar pada perjanjian) yang
berbentuk pinjam-meminjam. Perjanjian kredit itu sendiri mengacu pada perjanjian pinjammeminjam.
Pasal 1754 KUH Perdata
Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Walaupun perjanjian kredit berakar dari perjanjian pinjam-meminjam, tetapi perjanjian kredit
berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam dalam KUH Perdata.

Syarat Sahnya Perjanjian Kredit


Pembuatan suatu perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat supaya perjanjian tersebut
diakui dan mengikat para pihak yang membuatnya.
Pasal 1320 KUHPer menentukan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya: Maksudnya bahwa para pihak yang membuat
perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuat.
Kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila sepakat itu diberikan karena
kekeliruan/kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan: Maksudnya cakap adalah orang yang sudah
dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan
untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum yaitu:
(a) Orang-orang yang belum dewasa. Menurut Pasal 1330 KUHPer jo. Pasal 47 UU No.
1/1974 tentang Perkawinan, orang belum dewasa adalah anak dibawah umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan pernikahan ;
(b) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan. Menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433
KUH Perdata yaitu orang yang telah dewasa tetapi dalam keadaan dungu, gila, mata
gelap dan pemboros ;
(c) Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum
tertentu, misalnya orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Jika pihak dalam suatu perjanjian kredit adalah suatu perseroan terbatas (PT) maka syarat
kecapakan ini terpenuhi apabila PT tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan telah
didaftarkan dalam daftar perusahaan serta diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI.
(3) Suatu hal tertentu ; Artinya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas
sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.
(4) Suatu sebab yang halal; Artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau
yang diperbolehkan oleh undang-undang. Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah
perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat subyektif, karena mengenai subyek yang mengadakan
perjanjian. Sedangkan syarat ke 3 dan 4 dinamakan syarat obyektif, karena mengenai obyek yang
diperjanjikan dalam perjanjian. Kalau syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya
dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap, atau yang memberikan
kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat.
Sedangkan kalau syarat-syarat obyektif yang tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi
hukum yang artinya dari semula dianggap tidak pernah ada sehingga tiada dasar untuk saling
menuntut di muka hakim (pengadilan).
Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Adapun pihak-pihak dalam perjanjian kredit antara lain:
(1) Pihak Pemberi Kredit atau kreditur.

Pihak pemberi kredit atau kreditur adalah bank atau lembaga pembiayaan lain selain bank
misalnya perusahaan leasing;
(2) Pihak Penerima Kredit atau debitur.
Pihak penerima kredit atau debitur adalah pihak yang dapat bertindak sebagai subyek hukum.
Subyek hukum adalah sesuatu badan yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan
suatu perbuatan hukum, baik perbuatan sepihak maupun perbuatan dua pihak.
Pada dasarnya subyek hukum terdiri dari:
(a) manusia (person)
(b) badan hukum (rechtpersoon) misalnya Perseroan Terbatas (PT).
Pasal 1(2) UU Perbankan:
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Fungsi Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian yang khusus baik oleh kreditur maupun oleh
debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,
pengelolaan maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri.
Fungsi dari perjanjian kredit, yaitu:
(1) Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok: Artinya perjanjian kredit merupakan
sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya,
misalnya perjanjian pengikatan jaminan;
(2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban
di antara kreditur dan debitur;
(3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
Bentuk Perjanjian Kredit
Dalam prakteknya ada 2 bentuk perjanjian kredit, yaitu:
(1) Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan, atau dinamakan akta di bawah tangan. Artinya
perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya hanya dibuat diantara mereka
(kreditur dan debitur) tanpa notaris. Namun pada prakteknya dalam perjanjian kredit bank, akta
dibawah tangan ini disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur
untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah
menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya
disiapkan terlebih dahulu secara lengkap yang kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon
debitur untuk diketahui dan dipahami dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit tersebut.
Jadi calon debitur mau atau tidak mau, dengan terpaksa atau sukarela, harus menerima semua
persyaratan yang tercantum dalam formulir kredit walaupun ia tidak setuju terhadap pasal-pasal
tertentu. Hal tesebut dikarenakan calon debitur sangat membutuhkan kredit atau berada pada
posisi lemah.

(2) Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris, yang dinamakan akta otentik atau
akta notariil. Pihak yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun
dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh kreditur kemudian
diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaris dalam membuat
perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau
akta otentik.
Pasal 1874 KUH Perdata:
Akta dibawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui
perantaraan pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti.
Beberapa hal yang perlu diketahui dalam perjanjian yang dibuat di bawah tangan (akta di bawah
tangan) dan di hadapan notaris (akta otentik atau notariil), yaitu:
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Artinya akta otentik dianggap
sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak
tersebut. Apabila akta otentik diajukan sebagai alat bukti di depan hakim kemudian pihak lawan
membantah akta tersebut maka pihak pembantah yang harus melakukan pembuktian kebenaran
bantahannya.
Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti juga akta otentik, jika
tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatangani. Untuk pembuktian
di depan hakim, jika salah satu pihak mengajukan bukti akta di bawah tangan, dan akta tersebut
dibantah oleh pihak lawannya, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu yang
harus mencari bukti tambahan (misalnya saksi-saksi). Ini dimaksudkan untuk membuktikan
bahwa akta di bawah tangan yang diajukan sebagai alat bukti tersebut benar-benar
ditandatangani oleh pihak yang membantah. Supaya akta di bawah tangan tidak mudah dibantah
atau disangkal kebenaran tanda tangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk memperkuat
pembuktian di depan hakim, maka akta yang dibuat dibawah tangan sebaiknya dilakukan
legalisasi. Dengan adanya legalisasi oleh notaris atas akta di bawah tangan maka kekuatan
hukum pembuktian akta tersebut seperti akta otentik.
Pasal 1868 KUH Perdata:
Akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat
oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta
dibuatnya Yang dimaksud dengan pegawai yang berkuasa atau pegawai umum antara lain
notaris, hakim, juru sita pada pengadilan, pegawai catatan sipil atau pegawai Kantor Urusan
Agama (KUA), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Legalisasi artinya menyatakan kebenaran ialah pernyataan benar dengan jalan memberi
pengesahan oleh pejabat yang berwenang (notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Bupati Kepala
Daerah dan Walikota) atas akta dibawah tangan meliputi tanda tangan, tanggal dan tempat
dibuatnya akta dan isi akta.

Komposisi Perjanjian Kredit


Komposisi perjanjian kredit pada umumnya terdiri dari 4 bagian, yaitu :
(1) Judul: Judul dalam suatu akta perjanjian kredit mutlak adanya, sehingga setiap orang yang
berkepentingan melihat akan dengan mudah mengetahui bahwa akta yang mereka lihat
adalah suatu akta perjanjian kredit.
(2) Komparisi: Komparisi yaitu bagian dari suatu akta yang memuat keterangan tentang
orang/pihak yang bertindak mengadakan perbuatan hukum. Penuangannya adalah berupa
uraian terperinci tentang identitas, yang meliputi nama, pekerjaan dan domisili para pihak;
dasar hukum yang memberi kewenangan yurudis untuk bertindak dari para pihak dan
kedudukan para pihak.
(3) Isi: Isi merupakan bagian dari perjanjian kredit yang di dalamnya dimuat hal-hal yang
diperjanjikan para pihak. Hal-hal yang perlu diatur dalam perjanjian kredit antara lain
mencakup:
(a) jumlah kredit;
(b) jangka waktu kredit;
(c) bunga kredit;
(d) penggunaan kredit;
(e) cara pengembalian kredit;
(f) jaminan kredit;
(g) kelalaian debitur atau wanprestasi;
(h) hal-hal yang harus dilakukan debitur;
(i) pembatasan terhadap tindakan;
(j) asuransi barang jaminan;
(k) pernyataan dan jaminan;
(l) perselisihan dan penyelesaian sengketa;
(m) keadaan memaksa;
(n) pemberitahuan dan komunikasi;
(o) perubahan dan pengalihan.
(4) Penutup: Merupakan bagian atau tempat dimuatnya hal-hal antara lain: pilihan domisili
hukum para pihak, tempat dan tanggal perjanjian ditandatangani dan tanggal mulai berlakunya
perjanjian.
Jaminan Kredit
Secara umum jaminan kredit diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan
kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang. Jadi pada dasarnya
seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan dan diperuntukkan bagi pemenuhan kewajiban
kepada semua kreditur secara bersama-sama, sebagaimana diatur pada Pasal 1131 KUHPer yang
berbunyi:
Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan.

Jaminan kredit sangat diperlukan dalam pemberian kredit untuk menghindarkan resiko debitur
tidak melunasi kreditnya. Selain jaminan berupa keyakinan atas kemampuan debitur untuk
melunasi utangnya, bank juga mengutamakan agunan dalam pemberian kredit sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 (23) UU Perbankan yang berbunyi: agunan adalah jaminan tambahan
yang diserahkan nasabah debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah.
Agunan diperlukan oleh kreditur (bank) karena merupakan salah satu upaya untuk
mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan
pelunasan kredit tersebut. Bila debitur lalai melunasi kredit yang diberikan maka bank dapat
menarik kembali dana yang disalurkan dengan memanfaatkan agunan tersebut. Agunan atau
jaminan tambahan ini dapat berupa :
1. Jaminan materiil (berwujud), yang berupa barang-barang bergerak atau benda tetap misalnya
tanah dan bangunan, mesin, kapal laut, mobil, perhiasan dan lain-lain.
2. Jaminan immateriil (tak berwujud), misalnya tagihan piutang, sertifikat deposito, tabungan,
obligasi, saham, dan lain-lain.
Kreditur dan pemilik jaminan harus membuat perjanjian untuk penyerahan jaminan kredit yang
disebut perjanjian pengikatan jaminan. Semua perjanjian pengikatan jaminan bersifat accessoir
artinya eksistensi atau keberadaan perjanjian pengikatan jaminan tergantung pada perjanjian
pokoknya yaitu perjanjian kredit. Perjanjian pengikatan jaminan bukan merupakan perjanjian
yang berdiri sendiri tetapi tergantung pada perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok sehingga
perjanjian kredit harus dibuat terlebih dahulu baru kemudian perjanjian pengikatan jaminan. Jika
perjanjian kredit berakhir karena kreditnya telah dilunasi atau berakhir karena sebab lain maka
berakhir pula perjanjian pengikatan jaminan. Namun jika perjanjian pengikatan jaminan cacat
dan batal karena suatu sebab hukum, misalnya barang jaminan musnah atau dibatalkan karena
pemberi jaminan tidak berhak menjaminkan, maka perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok
tidak batal dan debitur tetap harus melunasi hutangnya sesuai perjanjian kredit.
Jenis-Jenis Pengikatan Jaminan Kredit
Jenis-jenis jaminan yang diterima kreditur/ bank yaitu:
(1) Jaminan Perorangan yaitu penanggungan utang atau borgtoch dan indemnity:;
(2) Jaminan Kebendaan, antara lain:
(a) Jaminan atas benda bergerak seperti Gadai dan Fidusia
(b) Jaminan atas benda tidak bergerak seperti Hipotik dan Hak Tanggungan
Penanggungan Utang (Borgtocht)
Dasar hukum penanggungan utang atau borgtocht diatur dalam Pasal 1820-1850 KUHPer.
Pengertian penanggungan utang atau borgtocht menurut Pasal 1820 KUHPer dapat diartikan
sebagai suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang (kreditur)
mengikatkan diri untuk memenuhi perjanjian si berutang (debitur) manakala orang ini sendiri
(debitur) tidak memenuhinya (wanprestasi). Untuk memudahkan pengertian borgtocht dapat
dilihat dari ilustrasi sebagai berikut:
Bank (kreditur) memberikan kredit sebesar 1 miliar rupiah kepada PT X (debitur) berdasar
perjanjian kredit dengan jangka waktu 1 tahun. Untuk menjamin atau menanggung pembayaran
kembali hutang PT X, Bank (kreditur) meminta kepada pihak ketiga yaitu komisaris bernama A
dan direktur bernama B untuk menjadi penjamin atau penganggung utang PT X. Kemudian BTN

mengadakan perjanjian penjaminan atau penanggungan utang (borgtocht) dengan A dan B untuk
menjamin atau menanggung utang PT X jika PT X lalai membayar utangnya.
Fidusia
UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia selanjutnya disingkat UU Fidusia, merupakan dasar
hukum pengaturan Jaminan Fidusia. Sedangkan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan
Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia diatur dalam PP No.86 Tahun 2000.
Fidusia ialah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda.
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi pelunasan
utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditur lainnya.
Pembebanan benda dengan jaminan fidusia harus dibuat dengan akta notaris dalam bahasa
indonesia, yang disebut akta Jaminan Fidusia.
Jaminan fidusia tidak mengenal peringkat jaminan fidusia. UU Fidusia menegaskan bahwa
obyek jaminan fidusia yang telah didaftar di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak dibolehkan untuk
dibebani fidusia lagi atau fidusia ulang kepada kreditur lain. Apabila terjadi suatu benda dibebani
lebih dari satu perjanjian fidusia maka hak yang didahulukan diberikan kepada kreditur yang
lebih dahulu mendaftarkannya pada kantor pendaftaran fidusia.
Jaminan fidusia yang diatur dalam UU Fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
(1) Jaminan fidusia mempunyai sifat accesoir. Artinya, jaminan fidusia bukan hak yang
berdiri sendiri tetapi lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian
pokoknya.
(2) Jaminan fidusia mempunyai sifat droit de suite.
Sifat droit de suite artinya penerima jaminan fidusia/kreditur mempunyai hak mengikuti benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada. Hal ini berarti
bahwa dalam keadaan debitur lalai, maka kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia tidak
kehilangan haknya untuk mengeksekusi obyek fidusia walaupun obyek tersebut telah dijual dan
dikuasai oleh pihak lain.
(3) Jaminan fidusia memberikan hak preferent. Artinya, kreditur sebagai penerima fidusia
memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditur lainnya untuk menjual atau
mengeksekusi benda jaminan fidusia dan hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan
hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur cidera janji
atau lalai membayar hutangnya.
(4) Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.
Maksudnya, utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat
sesuai ketentuan Pasal 7 UU Fidusia yaitu:
(a) Utang yang telah ada yaitu besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit;
(b) Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah
tertentu;

(c) Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian
kredit yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
(5) Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang.
Maksudnya, bahwa benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada
beberapa kreditur yang secara bersama-sama memberikan kredit kepada seorang debitur
dalam satu perjanjian kredit. Ketentuan mengenai hal ini diatur pada Pasal 8 UU Fidusia.
Ketentuan tersebut harus dipandang berbeda dengan ketentuan Pasal 17 UU Fidusia
dimana pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi
objek fidusia yang sudah terdaftar.
(6) Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial.
Maksudnya, Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi
benda jaminan bila debitur cidera janji. Eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan
sendiri atau tanpa putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 15 UU Fidusia yang pada intinya menyatakan bahwa di dalam
Sertifikat Jaminan Fidusia yang mencantumkan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(7) Jaminan fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas.
Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek jaminan fidusia dalam
akta jaminan fidusia. Sedangkan sifat publisitas adalah berupa pendaftaran akta jaminan
fidusia yang dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia.
(8) Jaminan fidusia berisi hak untuk melunasi utang.
Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan
kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan tersebut bila
debitur cidera janji dan bukan untuk dimiliki kreditur. Ketentuan ini bertujuan untuk
melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang kreditur. Seandainya debitur setuju
mencantumkan janji bahwa benda yang menjadi obyek fidusia akan menjadi milik
debitur jika debitur cidera janji maka janji semacam itu batal demi hukum atau dianggap
tidak pernah ada.
(9) Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan klaim
asuransi.
(10) Obyek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud dan tidak berwujud,
benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan, serta
bendabenda yang diperoleh di kemudian hari.
Obyek atau benda-benda yang dapat dibebani jaminan fidusia antara lain:
(1) Benda bergerak berwujud. Contohnya: kendaraan bermotor seperti mobil, bus, truck,
sepeda motor dan lain-lain; mesin-mesin pabrik yang tidak melekat pada tanah/bangunan
pabrik; perhiasan; alat inventaris kantor; kapal laut berukuran dibawah 20m; perkakas
rumah tangga seperti tv, tape, kulkas, mebel, dan lain-lain; alat-alat pertanian; dan lain
sebagainya.
(2) Barang bergerak tidak berwujud. Contohnya: wesel; sertifikat deposito; saham; obligasi;
deposito berjangka; dan lain sebagainya.

(3) Hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan baik benda bergerak berwujud atau benda
bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan.
(4) Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan.
(5) Benda tidak bergerak khusunya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan,
yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara dan
bangunan rumah yang dibangun di atas tanah orang lain.
(6) Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun
piutang yang diperoleh kemudian hari.
Tahap-tahap pembebanan fidusia adalah sebagai berikut:
(1) Tahap Pertama merupakan tahap dimana dibuatnya perjanjian pokok yang berupa
perjanjian kredit.
(2) Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan fidusia yang ditandai dengan
pembuatan akta jaminan fidusia. Dalam akta penjaminan fidusia memuat antara lain hari,
tanggal dan waktu pembuatan; identitas para pihak; data perjanjian pokok fidusia, uraian
obyek fidusia, nilai penjaminan, dan nilai obyek jaminan fidusia.
(3) Tahap ketiga merupakan tahap pendaftaran akta jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran
Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia kemudian menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia
yang diserahkan kepada kreditur sebagai penerima fidusia.
Hapusnya Jaminan Fidusia disebabkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut yaitu:
(1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
(2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur).
(3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Perlu diperhatikan juga bahwa UU Fidusia menganut larangan milik beding, dimana setiap janji
yang memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki benda yang menjadi
obyek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji adalah batal demi hokum

Rujukan dan Sumber-sumber.

Djumhana, Muhamad. 2000. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya. Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase dalam Varia Peradilan
Tahun VIII No. 88, Januari 1993.
, M. Yahya. 2006. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (Edisi
Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.
Ibrahim, Johannes. 2003. Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak
dalam Perjanjian Kredit Bank. Bandung: CV. Utomo.
Rahman, Hasanuddin. 1995. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sjahdeni, Remy Sutan. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Soewarso, Indrawati. 2002. Aspek Hukum Jaminan Kredit. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Subekti. 1979. Hukum Perjanjian (Cetakan Keenam). Jakarta: Intermasa.
-. 1995. Aneka Perjanjian (Cetakan Kesepuluh). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sutarno. 2004. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung: Alfabeta.
Suyatno, Thomas, et.al. 2003. Dasar-Dasar Perkreditan. Cetakan Keempat. Jakarta: Gramedia
Syahrani, Riduan. 1992. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni.

Anda mungkin juga menyukai