Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun 1830, adalah
penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi berlebihan dari
kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga
disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar
gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar
tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam (Sjamsuhidajat dan
Jong, 1996).
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan
pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah
dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis
(hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta
disertai dermopati, meskipun jarang (Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson,
1995).
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.
Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita
penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan
ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap
reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor Antibody / TSHR-Ab)
dengan kadar bervariasi (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
Diantara pasien-pasien dengan tirotoksikosis, 60 80% merupakan penyakit
grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi pada
wanita sekitar 2%, tetapi hanya 1/10 nya pada pria, biasanya jarang terjadi sebelum
remaja dan tara-rata pada umur 20-50. (Harrison, 2008).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya memiliki
berat 15 - 20 gram. Tiroid menyekresikan tiga macam hormon, yaitu tiroksin (T4),
triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan kelenjar
endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan kiri), dihubungkan oleh
isthmus (jembatan) yang terletak di depan trachea tepat dibawah cartilago cricoidea.
Kadang juga terdapat lobus tambahan yang membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu
lobus piramida. Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:
1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis
2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta
atau A. anonyma

Persarafan kelenjar tiroid:


1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang
N.vagus).
3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita
suara terganggu (serak/stridor).

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

1. Yodide Trapping, yaitu penangkapan yodida oleh pompa Na+/K+ ATPase.


2. Yodida masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Yodida diubah menjadi
yodium (yodine). Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim
tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin)
dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh
enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi dihambat
oleh yodida, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada dalam sel
folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari yodida.

deiodinasi,

Enzim deiodinase

sangat

berperan dalam proses ini.


8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
2.2.1 Definisi Graves
Penyakit

Graves

(goiter

difusa

toksik)

merupakan

penyebab

tersering

hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh produksi
autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit
Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus
yaitu pembesaran kelenjar tiroid / struma difus, oftamopati (eksoftalmus / mata
menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati (Subekti, 2001; Corwin, 2001;
Stein, 2000; Harrison, 2000).

2.2.2 Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun

yang disebabkan

thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan TSH


receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid.
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor
trauma psikis, penurunan berat badan secara drastis, chorionic gonadotropin, periode
post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).

2.2.3 Patogenesis dan Patofisiologi

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang


berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi
didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan
kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit
Graves (Shahab, 2002).
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan
dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan

tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast
dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata,
proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).

Hipertiroidism

Metabolisme
meningkat

Perangsangan
katekolamin

Kulit teraba
hangat,
berkeringat

Inflamasi
retrobulbar

Respon simpatis
meningkat
palpitasi, tremor

Perangsangan
jantung

Perangsangan
saluran cerna

Exopthalmus

BB turun, otot
lemas

2.2.4 Gejala Klinik


Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme
dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas,
keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun
nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80%
pasien ditandai
dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan
konvergensi (Price dan Wilson, 1995).
Trias Graves yaitu struma difusa, oftalmopati, dan dermopati. Perubahan pada
mata

(oftalmopati

Graves),

menurut

the

American

Thyroid

Association

diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :


a. No signs or symptoms
b. Only signs (lid retraction or lag), no symptoms

c. Soft tissue involvement (periorbital edema)


d. Proptosis (>22 mm)
e. Extraocular muscle involvement (diplopia)
f. Corneal involvement
g. Sight Loss

2.2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai
berikut.

Tabel 2.1 : Indeks Wayne

Tes Laboratorium

Sidik tiroid

Jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba
nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan
waktu melakukan sidik tiroid, yang ditandai dengan satu atau lebih nodul (cold
nodul) atas dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada
gondok non toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk menyingkirkan
kemungkinan keganasan.

2.2.6 Penatalaksanaan Graves


Faktor utama yang berperan dalam patogenesis

terjadinya sindrom penyakit

Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk


mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis
pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid,
Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada
beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma,
ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain
yang menyertainya (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
1. Obat obatan

a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid


Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah
tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat
untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti
palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor
adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat,
meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya terhadap konversi
T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari (Price dan Wilson,
1995; Corwin, 2001).

2. Terapi Yodium Radioaktif


Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I). Respons yang terjadi

sangat

tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar
tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2
6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan sempurna
diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi di
dalam kelenjar tiroid.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme (Shahab, 2002).
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.

3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada struma yang besar. Sebelum
operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT
(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan
larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk
mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih
terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus
diangkat (Subekti, 2001). Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada
pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps.

Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan


kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami
tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus
laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada
sekitar 1% kasus (Subekti, 2001).
2.2.7 Pengobatan Oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam
menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata
dapat diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah
dan mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan
merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata
gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema
periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang
mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan
siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah
radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot
ekstraokuler dan operasi kelopak mata (Shahab, 2002).

2.2.8 Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala
tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita.

2.3 Hipertiroid pada Kehamilan


Hipertiroidisme mempersulit kehamilan sekitar 0,1 % sampai 0,4%, dengan 85 %
adalah karena penyakit Graves. Penyakit graves, dengan insidens tertinggi pada usia
reproduksi atau dekade ketiga hingga keempat, disebabkan oleh antibodi perangsang
tiroid (Thyroid-stimulating antibodies) dan dapat disertai dengan oftalmopati
autoimun atau dermopati. Pengobatan penyakit graves selama kehamilan bisa
menjadi rumit karena dampak kehamilan baik terhadap perjalanan penyakit autoimun
maupun terhadap metabolism hormon tiroid normal. Meskipun hipertiroid subklinis
belum berimplikasi buruk terhadap kehamilan, namun hipertiroid yang jelas
berhubungan dengan kelahiran mati, prematuritas, pre-eklampsia, dan gagal jantung
kongestif pada ibu.
Beberapa data telah menghubungkan secara signifikan peningkatan kadar T4 serum ibu
dengan tingginya keguguran. Hipertiroidisme yang tidak terkendali selama kehamilan
berhubungan dengan berat badan lahir rendah dan malformasi kongenital yang tidak
terkait dengan pemakaian obat anti tiroid.

2.3.1 Fisiologi Hormon Tiroid Selama Kehamilan

Pada kehamilan normal, iodium akan melewati plasenta, tiroksin (T4) hanya dapat
melewati plasenta pada trimester pertama sedangkan triiodotironin (T3) dan
Thyroid Stimulating Hormone (TSH) sama sekali tidak melewati plasenta. Secara
umum, fungsi tiroid ibu pada kehamilan dipengaruhi oleh beberapa faktoryaitu
peningkatan konsentrasi Human Chorionic Gonadotropin (HCG) yang merangsang
kelenjar tiroid, peningkatan ekskresi iodium lewat urin yang mengakibatkan
penurunan konsentrasi iodium plasma dan peningkatan Thyroid Binding Globulin
(TBG) pada trimester pertama.
HCG memiliki struktur yang mirip TSH sehingga dapat berikatan dengan
reseptorTSH di kelenja tiroid dan merangsang produksi kelenjar tiroid meskipun
bersifat stimulatortiroid yang lemah. Konsentrasi HCG meningkat tajam pada
trimester pertama kehamilan danberbanding terbalik dengan konsentrasi TSH
sehingga pada 20% kehamilan normal dapatditemukan konsentrasi TSH yang
tersupresi sementara. Peningkatan serum HCG sebesar 10.000 IU/L dapat menaikkan
konsentrasi FT4 0,1 ng/dL dan menurunkan konsentrasi TSH 0,1 mIU/L. Kenaikan
HCG>50.000-75.000 IU/L pada trimester pertama kehamilan yangberlangsung lebih
dari satu minggu dapat meningkatkan konsentrasi FT4. Peningkatan Laju Filtrasi
Glomerolus

(LFG)

dalam

kehamilan

menyebabkan

peningkatan

ekskresi

iodium.Kelenjar tiroid mengkompensasinya dengan meningkatkan ambilan iodium


dan produksihormon tiroid.
TBG meningkat dalam beberapa minggu setelah konsepsi dan mencapai
puncaknyapada pertengahan kehamilan dan menetap setelahnya sampai kelahiran.
Peningkatan TBG disebabkan dua hal yaitu produksi TBG oleh hati meningkat
karena pengaruh estrogen pada awal kehamilan dan peningkatan proses sialylation
sehingga TBG yang dihasilkan memiliki waktu paruh lebih panjang. Perubahan TBG
pada kehamilan ini mengakibatkan peningkatan hormon tiroid total. Konsentrasi T3
dan T4 meningkat tajam oada kehamilan dan agak melandai pada awal trimester
kedua, lebih besar 10-30% dibandingkan konsentrasi saatbelum hamil. Penyebab lain
adalah aktivitas enzim deiodinase tipe III di plasenta yangmengubah T4 menjadi rT3
dan T3 menjadi T2 ( diiodotiroisin ) yang tidak aktif sehingga merangsang
peningkatan hormon tiroid ibu. Sedangkan konsentrasi hormon tiroid bebas
dipertahankan dalam rentang normal.

2.3.2 Diagnosis Penyakit Graves pada Kehamilan


Pada kehamilan, perjalanan klinis penyakit Graves ditandai oleh eksaserbasi gejala
pada trimester awal dan selama periode post partum dan perbaikan gejala pada paruh
kedua kehamilan. Stimulasi HCG plasenta terhadap kelenjar tiroid diperkiraan
menjadi penyebab eksaserbasi ini.

10

Hipertiroidisme dalam kehamilan dapat terjadi pada pasien hipertiroid yang


mengalami kehamilan atau sedang menjalani pengobatan hipertiroid dengan OAT.
Dapat juga terjadi penyakit

Graves pada kehamilan,

suatu keadaan

yang lebih jarang terjadi. Pada semua kasus, riwayat kelainan tiroid harus dievaluasi
secara rinci. Bila status tiroid pasien normal sebelum kehamilan, resiko kepada janin
menjadi sangat minimal.
Tidak semua pasien datang dengan keluhan hipertirodisme yang lengkap. Salah
satu tanda yang mudah diamati adalah penurunan berat badan atau tidak dapat meningkatkan
beratbadan padahal nafsu makan pasien normal atau meningkat. Sebagaimana
disebutkan, pada trimester pertama ketelitian diagnosis sangatlah penting mengingat
gejala dan tanda yang dicari dapat terjadi pada kehamilan normal. Pada pemeriksaan
fisik, ibu hamil dapat terlihat hiperaktif, tremor dan memiliki gejala hiperkinetik.
Wajah tampak kemerahan, bicara cepat, kulit hangat dan lembab. Kelenjar tiroid
membesar difus antara 2-6 kali ukuran normal, kenyal, kadang pada palpasi batasnya
ireguler. Adanya nodul pada pembesarankelenjar yang difus harus medapat evaluasi
lebih teliti. Dapat ditemukan pula thrill, murmur, kelemahan otot proksimal, tanda
oftalmopati graves, onikolisis dan dermopati graves.

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang


Perempuan hamil yang diduga menderita hipertiroid memerlukan pemeriksaan
TSH, fT4 danbila perlu antibodi reseptor tiroid (Thyroid Receptor Antibodi/TRAb).
Interpretasi hasilpemeriksaan hormon tiroid ini harus memperhatikan pengaruh
hormon HCG pada penurunankonsentrasi TSH dan peningkatan TBG selama
kehamilan. Konsentrasi TSH pada akhir trimester pertama kehamilan normal dapat
mencapai 0,03 mU/ml, sehingga penurunan konsentrasi TSH semata belum tentu
menunjukkan adanya hipertiroidisme. Kenaikan TBG dapat mempengaruhi proporsi
hormon tiroid bebas dalam darah sehingga pada kehamilan dianjurkan pemeriksaan
hormon tiroid bebas. Antibodi thyroid peroxidase (anti TPO) atau antibodi
antimikrosomal tiroid (AMA), penanda penyakit tiroid autoimun meningkat pada
sebagian besar pasien Graves. Indikasipemeriksaannya adalah pada pasien dengan
keraguan etiologi hipertiroidismenya. TSH-receptor antibody with stimulating
activity (TSI) juga didapati pada mayoritas pasien Graves. Pemeriksaan TSI
diindikasikan pada ibu dengan riwayat terapi ablasi untuk hipertiroidisme Graves, ibu
dengan penyakit Graves yang aktif, ibu yang sedang dalam masa remisi OAT dan ibu
yang anak sebelunya mengalami hipertiroidisme janin. Bila kadar TSI lebih dari
500% setelah kehamilan 24-48 minggu, resiko hipertiroidisme janin atau neonatal
menjadi signifikan.

2.3.4 Dampak Hipertiroidisme pada Ibu Hamil

11

Komplikasi maternal yang paling sering adalah pregnancy-induced hypertension


(PIH). Pada pasien dengan hipertiroid tidak terkontrol, resiko preeklamsia berat
menjadi lima kali lebih berat dibanding pasien yang terkontrol. Komplikasi lain dapat
berupa abruptio plasenta, kelahiran preterm dan keguguran. Gagal jantung dapat
terjadi pada pasien yang tidak diobati terutama bila terdapat PIH.
Pada pasien dengan gejala gagal jantung disfungsi ventrikel kiri dengan derajat
keparahan yang berbeda dapat dideteksi dengan echocardiografi. Walaupun kelainan
ini reversibel, namun gejalanya dapat menetap dalam beberapa minggu setelah status
eutiroid tercapai, namun penurunan resistensi vaskular dan cardiac output yang tinggi
dapat tetap terjadi pada keadaan tiroksin normal. Hal ini penting karna dekompensasi
ventrikel kiri pada wanita hamil yang hipertiroid dapat terjadi bersamaan dengan
preeklamsia, pada waktu kelahiran atau bersamaan dengan komplikasi lain misalnya
anemia atau infeksi.
Kejadian tiroid krisis padakehamilan juga pernah dilaporkan walaupun relatif
jarang. Hipertiroid juga dilaporkansebagai faktor resiko independen operasi Caesar.
Pada suatu penelitian oleh Kriplani dkk dengan sampel 32 kelahiran pada ibu hamil
yang mengalami hipertiroidisme ternyata didapatkan partus preterm terjadi pada 25%
pasien, 3% mengalami hipermesis, 22% mengalami hipertensi pada kehamilan dan
9% mengalamikrisis tiroid.

2.3.5 Dampak Hipertiroidisme pada Janin


Hipertiroidisme maternal dapat mempengaruhi janin dan neonatal melalui dua cara
yaituhipertiroid maternal yang tidak terkontrol (tanpa kadar TSI yang tinggi) dan TSI
mengalamipasase transplasenta. Pada hipertiroidisme maternal yang tidak terkontrol
janin mengalamiresiko intrauterine growth retardation (IUGR), stillbirth dan
prematuritas. Resikoprematuritas meningkat dari 11% menjadi 55% pada ibu yang
tidak diobati, resiko stillbirth meningkat dari 5%-24%. Pada suatu penelitian pada
230 kehamilan, 15 neonatus (6,5%) mengalami IUGR. Komplikasi pada janin
meningkat secara signifikan pada ibu yang tetaphipertiroid pada paruh kedua
kehamilan. Faktor resiko IUGR pada pasien ini meliputi tirotoksikosis maternal
selama lebih dari 30 minggu dalam kehamilan, riwayat penyakit Graves selama lebih
dari 10 tahun, dan onset penyakit Graves sebelum 20 tahun.

2.3.6 Penatalaksanaan
Propiltiourasil (PTU) lebih dipilih daripada metimazol untuk terapi hipertiroid
selamakehamilan. Obat antitiroid dapat melewati sawar plasenta dan terapi berlebihan
dapatmenyebabkan hipotiroid pada fetus, sehingga harus digunakan dosis serendah
mungkin yanguntuk menjaga fungsi tiroid pada batas atas normal.

12

Propiltiourasil (PTU) lebih banyak terikat pada albumin pada pH fisiologis,


sedangkan metimazol (MMI) lebih sedikit terikat,sehingga secara hipotesis dapat
mengakibatkan lebih banyak yang melewati sawar darahplasenta. Rekomendasi
pemilihan PTU dari MMI sebagian berdasarkan laporan tunggal lebihrendahnya
pasase transplasental PTU dibanding MMI tersebut. MMI dapat digunakan bila PTU
tidak tersedia atau timbulnya reaksi alergi. Dosis MMI sebesar 10mg diperkirakan
setara dengan 100-150mg PTU. Pemberian PTU sering dihibungkan dengan
komplikasi kerusakan hepar, oleh karena itu penggunaan PTU lebih baik diganti
dengan MMI setelah melewati trimester pertama kehamilan.
Hipertiroid subklinis (TSH rendah dengan FT3 dan FT4 normal) tanpa adanya
gejala-gejala hipertiroid spesifik tampak pada sindrom hiperemesis gravidarum,
dimana terapinya tidak diperlukan dan bahkan dapat menimbulkan risiko terhadap
fetus. Propanolol dapat digunakan untuk mengobati gejala hipertiroid akut dan
persiapan perioperatif tanpa edanya efek teratogenik yang jelas.
Penggunaan kronik iodida selama kehamilan berhubungan dengan hipotiroid dan
goiter neonatus yang kadang-kadang dapatmenyebabkan asfiksi karena obstruksi
trakea. Terdapat laporan penggunaan dosis rendah kalium iodida (6 40 mg/hari)
tidak menyebabkan goiter namun 6% neonatus mengalami peningkatan TSH. Iodida
tidak digunakan untuk terapi lini pertama untuk wanita hamil dengan Graves namun
dapat digunakan sementara jika diperlukan sementara untuk persiapan tiroidektomi.
Iodida radioaktif dikontrain dikasikan pada kehamilan.
Operasi subtotal tiroidektomi dipikirkan sebagai alternatif jika: 1) obat anti tiroid
mengakibatkan efek samping yang jelas seperti misalnya agranulositosis, 2)
dibutuhkan dosis obat anti tiroid yang besar, 3) tidak ada respon dengan obat anti
tiroid dan pasien mengalami hipertiroid tidak terkontrol. Sebelum operasi harus
menerima terapi solusio kalium iodida (50 100 mg/hari) selama 10 14 hari
sebelum operasi untuk menurunkan vaskularisasi kelenjar tiroid dan dapat diberikan
propanolol.

2.4 Krisis Tiroid


Krisis tiroid adalah kegawatan endokrin yang disebabkan oleh disregulasi hormon
tiroid dan termasuk kedalam keadaan tirotoksikosis yang hebat. Bila keadaan tersebut
ditemukan harus dilakukan penilaian secara hati-hati dan tindakan cepat untuk
membatasi morbiditas dan mortalitas. American Thyroid Association memperkirakan
disfungsi tiroid berkembang >12% pada populasi Amerika. Krisis tiroid (Thyrotoxic
crisis / thyroid storm) merupakan kasus yang jarang ditemukan, tetapi dapat
mengancam jiwa pada eksasebasi tirotoksikosis. Insidensi krisis tiroid <10% pada
pasien tirotoksikosis yang dirawat inap, sering pada wanita dan sebagian besar terjadi
antara usia 20 49 tahun (Jessica Hampton, 2013). Krisis tiroid sebagian besar

13

didasari oleh Graves Hiperthyroidism. Manifestasi klinik menunjukan dekompensasi


organ disertai demam hampir pada semua pasien (Carroll & Matfin, 2010).

2.4.1 Etiologi dan Patofisiologi


Pada keadaan normal, fungsi tiroid diatur oleh interaksi antara hipotalamus,
hipofisis dan kelenjar tiroid. Iodida masuk melalui membran basal sel tiroid dan
dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase (TPO). Selanjutnya, akan bergabung dengan
molekul tirosin sehingga terbentuk T4 dan T3. Seluruh organ tubuh akan terpengaruh
oleh perubahan hormon tiroid. Hal ini terutama dipengaruhi oleh bentuk aktif hormon
tiroid yaitu T3 (Carroll & Matfin, 2010).
Tirotoksikosis merupakan sindrom klinik akibat terpaparnya jaringan oleh hormon
tiroid yang tinggi dalam sirkulasi. Singkatnya, tirotoksikosis disebabkan oleh
hiperaktivitas kelenjar tiroid / hipertiroid. Sebagian besar bentuk tirotoksikosis adalah
Graves disease. Penyakit ini berhubungan dengan proses autoimun pada reseptor
TSH dan merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan krisis tiroid.
Antibodi reseptor TSH menstimulasi sintesis hormon tiroid, sehingga kadar hormon
menjadi berlebihan. Patofisiologi krisis tiroid belum diketahui secara mendalam,
tetapi berhubungan dengan peningkatan sejumlah reseptor beta1 adrenergik. Sehingga
pada keadaan stres, akan terjadi peningkatan katekolamin (Carroll & Matfin, 2010).
Krisis tiroid dapat muncul pada keadaan toksik multinoduler goiter. Penyebab
lainnya adalah infeksi berat, trauma, pembedahan, infark miokardium, ketosidosis
diabetik, kehamilan dan melahirkan. Penggunaan iodin eksogen dalam jumlah besar
dan penggunaan amiodaron dapat menyebabkan produksi dan sekresi hormon tiroid
(Carroll & Matfin, 2010). Interferon alfa dan interleukin 2 (terapi kanker dan kelainan
fungsi imun) dapat menggangu ikatan antara tiroksin-globulin sehingga terjadi
peningkatan kadar tiroksin bebas. Obat-obatan yang berisiko terhadap krisis tiroid
adalah NSAID, salisilat, antidepresan trisiklik, insulin, diuretic tiazid, amiodaron,
steroid berkepanjangan, dan fludrocortison. Gagal jantung, syok, atau kegagalan
berbagai organ menyebabkan mortalitas sebesar 2-75%, meskipun krisis tiroid telah
diketahui dan diterapi (Jessica Hampton, 2013).

2.4.2 Manifestasi Klinis


Gambaran utama pada krisis tiroid diantaranya demam, berkeringat secara
berlebihan, gagal jantung kongestif, sinus takikardia atau variasi aritmia supra
ventrikular (takikardia atrial paroksismal, atrial fibrilasi, atrial flutter) dan gejala
neurologi, serta gejala gastrointestinal. Kelainan fungsi hepar, sekunder terhadap

14

gagal jantung. Hepar menunjukan keadaan kongesti atau hipoperfusi. Gejala dan
tanda krisis tiroid ditunjukan pada tabel 1.

Tabel 2.2. Manifestasi Klinis

2.4.3 Diagnosis
Sistem penilaian Burch dan Wartofsky (1993) merupakan sistem skoring untuk
membantu menegakkan krisis tiroid yang dijelaskan melalui tabel 2.

Tabel 2.3 Sistem Skoring Burch dan Wartofsky

Pada keadaan krisis tiroid terjadi peningkatan T4 dan T3 bebas dengan penurunan
tirotropin <0,05U/ml. Kadar serum total FT3 meningkat pada sebagian besar pasien
tirotoksikosis. Gambaran laboratorium lain yang berhubungan dengan tirotoksikosis
adalah hiperglikemia, hiperkalsemia, leukositosis, abnormalitas enzim liver,
peningkatan alkalifosfatase dan glikogenolisis. Hiperkalsemia dan peningkatan alkali

15

fosfatase dapat disebabkan karena hemokonsentrasi dan hormon tiroid yang


menstimulasi resorpsi tulang. Keadaan tirotoksikosis akan mempengaruhi fungsi
adrenokortikal, yaitu mempercepat metabolisme kortisol dengan menstimulasi
degradasi glukokortikoid oleh enzim hepar D 4,5 steroid reduktase. Hal ini akan
menyebabkan keadaan insufisiensi adrenal (Ananda & Dharma, 2014).

2.4.4.1 Terapi Spesifik Terhadap Tiroid


Pasien dengan krisis tiroid akut sebaiknya dirawat pada tempat yang tepat seperti
Acute Medical Unit (AMU), high dependency area atau intensive care unit. Tujuan
pengobatan krisis tiroid diantaranya untuk menghentikan sintesis hormon tiroid (obat
antitiroid), menghambat pelepasan hormon (iodin) dan menghambat efek hormon
tiroid di jaringan perifer dengan mencegah konversi T4 menjadi T3 (dosis tinggi
PTU, propranolol, kortikosteroid), mengontrol gejala adrenergik yang berhubungan
dengan tirotoksikosis (beta bloker) dan mengontrol dekompensasi sistemik dengan
terapi suportif.
Obat antitiroid yaitu tiourasil (propiltiourasil) dan imidazol (methimazol dan
karbiamazol). Mekanisme kerja tionamid, diantaranya mengalangi proses coupling
oleh tiroperoksidase, menghambat fungsi dan pertumbuhan sel folikular tiroid.
Sedangkan PTU menghambat konversi T4 menjadi T3, dan menekan antibodi
reseptor antitirotropin. Dosis pemberian PTU untuk krisis tiroid adalah 800-1200
mg/hari, terbagi atas 200-300 mg setiap 6 jam. Dosis untuk metimazol adalah 80100mg/hari terbagi atas 20-25 mg setiap 6 jam.
Terapi iodin dapat melengkapi efek terapi tionamid. Pada terapi tionamid, sintesis
hormon dihambat, sedangkan terapi iodin akan menghambat pelepasan hormon pada
tempat penyimpanan dan mengurangi transportasi iodida dan oksidasi dalam sel
folikular. Efek terhadap pengurangan ini disebut dengan efek Wolff-Chaikoff
(menghambat proteolisis tiroglobulin). Peningkatan sejumlah kecil iodida akan
meningkatkan pembentukan hormon tiroid, tetapi sejumlah besar iodida (>1mol/L)
akan menghambat pembentukan hormon (proses iodinasi). Iodida efektif menurunkan
kadar hormon tiroid dengan cepat dalam 7-14 hari, akan tetapi efek iodida akan
hilang dan kembali pada keadaan hipertiroid dalam 2-3 minggu. Sehingga untuk
mengantisipasi hal tersebut, makan pemberian iodida dikombinasi dengan tionamid.
Manifestasi kardiovaskular dapat dikoreksi dengan pemberian beta bloker seperti
propranolol. Pada krisis tiroid propranolol digunakan dalam dosis 60-80 mg setiap 4
jam atau 80-120 mg setiap 4 jam. Propranolol parenteral akan memberikan efek lebih
cepat, dosis yang diberikan dalam bolus 0,5-1 mg dalam 10 menit diikuti dengan 1-3
mg dalam 10 menit. Beta bloker lainnya yang dapat digunakan adalah atenolol
dengan dosis 50-200 mg/hari, metoprolol 100-200 mg/hari dan nadolol 40-80

16

mg/hari. Kontraindikasi penggunaan beta bloker adalah riwayat gagal jantung berat
dan obstruksi saluran nafas dalam serangan.
Golongan glukokortikoid seperti deksametason dan hidrokortison mempunyai efek
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga dapat digunakan sebagai terapi
adjuvant. Insufisiensi adrenal relatif dapat diobati dengan glukokortikoid. Dosis
hidrokortison yang digunakan adalah 100 mg IV setiap 8 jam, lalu penurunan dosis
sejalan dengan perbaikan gejala klinis krisis tiroid (Ananda & Dharma, 2014).

2.4.4.2 Terapi Lainnya


Salah satu terapi yang dapat digunakan, bila terapi lini pertama (tionamid, iodida,
beta bloker, dan glukokortikoid) gagal atau berefek toksik adalah litium yang berefek
menghambat pelepasan hormon tiroid. Litium digunakan ketika pasien kontraindikasi
terhadap tionamid. Beberapa efek litium terhadap hormon tiroid, diantaranya adalah
menurunkan sekresi hormon tiroid dan meningkatkan kandungan iodin intrasel serta
menghambat coupling residu iodotirosin. Pada krisis tiroid, litium diberikan pada
dosis 300 mg setiap 8 jam. Penggunaan potasium perklorat dipertimbangkan pada
pasien yang mengalami amiodarone-induced thyrotoxicosis (AIT). Potasium
perklorat bekerja dengan menghambat uptake iodin. Rejimen potasium perklorat (1
gram.hari) dikombinasikan dengan metimazol (30-50 mg/hari) dapat mengembalikan
kadar hormon tiroid sampai batas normal dalam 4 minggu.
Kolestiramin (anion-exchange resin) dapat menurunkan reabsorpsi hormon tiroid
dari sikulasi enterohepatik. Penggunaannya dalam terapi dikombinasikan dengan
metimazol atau PTU. Dosis kolestiramin yang diberikan adalah 4 gram peroral, 4 kali
sehari (Ananda & Dharma, 2014).

Tabel 2.4. Terapi Krisis Tiroid

17

BAB III
SIMPULAN
Penyakit Graves (goiter difusa toksik) yang merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi
genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria,
terutama pada usia 20 50 tahun. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves struma
difusa, oftalmopati, dan dermopati. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan
dan percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun),
manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler
dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea deffort, tremor, nervous dan
penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila
T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar

18

hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain
seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid
(Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang dapat mengancam jiwa penderita
hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu:
Obat anti tiroid, Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131) dan Pembedahan dengan
Tiroidektomi. Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme
(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat
konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),
normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan
mengatasi faktor pemicu.

19

DAFTAR PUSTAKA
Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 265
Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281
Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie,
Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 2151
Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves Disease,
Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 64
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius,
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 598
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 778
Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 1058, 1070 1080
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 18 Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar
Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,
EGC, Jakarta, 2000: hal 606 630
Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 5
Weetman P. A.,

Graves Disease. The New England Journal of Medicine.

Massachusetts Medical Society. 2000.


Ananda, G., & Dharma, L. (2014). Krisis Tiroid. Endokrin.
Carroll, R., & Matfin, G. (2010). Theurapeutik Advances in Endocrinology and
Metabolism. Endocrine and Metabolic Emergencies : Thyroid storm, 139145.
Jessica Hampton, R. M.-A. (2013). Thyroid Storm and Myxedema Coma. Thyroid
Gland Disorder Emergencies, 24, 325-332.
Nayak, B., & Burman, K. (2006). Thyrotoxicosis and Thyroid Storm. Endocrinology
And Metabolism Clinics Of North America, 663-686.

20

Anda mungkin juga menyukai