PENDAHULUAN
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun 1830, adalah
penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi berlebihan dari
kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga
disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar
gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar
tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam (Sjamsuhidajat dan
Jong, 1996).
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan
pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah
dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis
(hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta
disertai dermopati, meskipun jarang (Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson,
1995).
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.
Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita
penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan
ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap
reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor Antibody / TSHR-Ab)
dengan kadar bervariasi (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
Diantara pasien-pasien dengan tirotoksikosis, 60 80% merupakan penyakit
grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi pada
wanita sekitar 2%, tetapi hanya 1/10 nya pada pria, biasanya jarang terjadi sebelum
remaja dan tara-rata pada umur 20-50. (Harrison, 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya memiliki
berat 15 - 20 gram. Tiroid menyekresikan tiga macam hormon, yaitu tiroksin (T4),
triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan kelenjar
endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan kiri), dihubungkan oleh
isthmus (jembatan) yang terletak di depan trachea tepat dibawah cartilago cricoidea.
Kadang juga terdapat lobus tambahan yang membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu
lobus piramida. Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:
1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis
2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta
atau A. anonyma
deiodinasi,
Enzim deiodinase
sangat
Graves
(goiter
difusa
toksik)
merupakan
penyebab
tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh produksi
autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit
Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus
yaitu pembesaran kelenjar tiroid / struma difus, oftamopati (eksoftalmus / mata
menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati (Subekti, 2001; Corwin, 2001;
Stein, 2000; Harrison, 2000).
2.2.2 Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun
yang disebabkan
tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast
dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata,
proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).
Hipertiroidism
Metabolisme
meningkat
Perangsangan
katekolamin
Kulit teraba
hangat,
berkeringat
Inflamasi
retrobulbar
Respon simpatis
meningkat
palpitasi, tremor
Perangsangan
jantung
Perangsangan
saluran cerna
Exopthalmus
BB turun, otot
lemas
(oftalmopati
Graves),
menurut
the
American
Thyroid
Association
2.2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai
berikut.
Tes Laboratorium
Sidik tiroid
Jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba
nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan
waktu melakukan sidik tiroid, yang ditandai dengan satu atau lebih nodul (cold
nodul) atas dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada
gondok non toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk menyingkirkan
kemungkinan keganasan.
sangat
tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar
tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2
6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan sempurna
diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi di
dalam kelenjar tiroid.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme (Shahab, 2002).
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada struma yang besar. Sebelum
operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT
(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan
larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk
mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih
terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus
diangkat (Subekti, 2001). Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada
pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps.
2.2.8 Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala
tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita.
Pada kehamilan normal, iodium akan melewati plasenta, tiroksin (T4) hanya dapat
melewati plasenta pada trimester pertama sedangkan triiodotironin (T3) dan
Thyroid Stimulating Hormone (TSH) sama sekali tidak melewati plasenta. Secara
umum, fungsi tiroid ibu pada kehamilan dipengaruhi oleh beberapa faktoryaitu
peningkatan konsentrasi Human Chorionic Gonadotropin (HCG) yang merangsang
kelenjar tiroid, peningkatan ekskresi iodium lewat urin yang mengakibatkan
penurunan konsentrasi iodium plasma dan peningkatan Thyroid Binding Globulin
(TBG) pada trimester pertama.
HCG memiliki struktur yang mirip TSH sehingga dapat berikatan dengan
reseptorTSH di kelenja tiroid dan merangsang produksi kelenjar tiroid meskipun
bersifat stimulatortiroid yang lemah. Konsentrasi HCG meningkat tajam pada
trimester pertama kehamilan danberbanding terbalik dengan konsentrasi TSH
sehingga pada 20% kehamilan normal dapatditemukan konsentrasi TSH yang
tersupresi sementara. Peningkatan serum HCG sebesar 10.000 IU/L dapat menaikkan
konsentrasi FT4 0,1 ng/dL dan menurunkan konsentrasi TSH 0,1 mIU/L. Kenaikan
HCG>50.000-75.000 IU/L pada trimester pertama kehamilan yangberlangsung lebih
dari satu minggu dapat meningkatkan konsentrasi FT4. Peningkatan Laju Filtrasi
Glomerolus
(LFG)
dalam
kehamilan
menyebabkan
peningkatan
ekskresi
10
suatu keadaan
yang lebih jarang terjadi. Pada semua kasus, riwayat kelainan tiroid harus dievaluasi
secara rinci. Bila status tiroid pasien normal sebelum kehamilan, resiko kepada janin
menjadi sangat minimal.
Tidak semua pasien datang dengan keluhan hipertirodisme yang lengkap. Salah
satu tanda yang mudah diamati adalah penurunan berat badan atau tidak dapat meningkatkan
beratbadan padahal nafsu makan pasien normal atau meningkat. Sebagaimana
disebutkan, pada trimester pertama ketelitian diagnosis sangatlah penting mengingat
gejala dan tanda yang dicari dapat terjadi pada kehamilan normal. Pada pemeriksaan
fisik, ibu hamil dapat terlihat hiperaktif, tremor dan memiliki gejala hiperkinetik.
Wajah tampak kemerahan, bicara cepat, kulit hangat dan lembab. Kelenjar tiroid
membesar difus antara 2-6 kali ukuran normal, kenyal, kadang pada palpasi batasnya
ireguler. Adanya nodul pada pembesarankelenjar yang difus harus medapat evaluasi
lebih teliti. Dapat ditemukan pula thrill, murmur, kelemahan otot proksimal, tanda
oftalmopati graves, onikolisis dan dermopati graves.
11
2.3.6 Penatalaksanaan
Propiltiourasil (PTU) lebih dipilih daripada metimazol untuk terapi hipertiroid
selamakehamilan. Obat antitiroid dapat melewati sawar plasenta dan terapi berlebihan
dapatmenyebabkan hipotiroid pada fetus, sehingga harus digunakan dosis serendah
mungkin yanguntuk menjaga fungsi tiroid pada batas atas normal.
12
13
14
gagal jantung. Hepar menunjukan keadaan kongesti atau hipoperfusi. Gejala dan
tanda krisis tiroid ditunjukan pada tabel 1.
2.4.3 Diagnosis
Sistem penilaian Burch dan Wartofsky (1993) merupakan sistem skoring untuk
membantu menegakkan krisis tiroid yang dijelaskan melalui tabel 2.
Pada keadaan krisis tiroid terjadi peningkatan T4 dan T3 bebas dengan penurunan
tirotropin <0,05U/ml. Kadar serum total FT3 meningkat pada sebagian besar pasien
tirotoksikosis. Gambaran laboratorium lain yang berhubungan dengan tirotoksikosis
adalah hiperglikemia, hiperkalsemia, leukositosis, abnormalitas enzim liver,
peningkatan alkalifosfatase dan glikogenolisis. Hiperkalsemia dan peningkatan alkali
15
16
mg/hari. Kontraindikasi penggunaan beta bloker adalah riwayat gagal jantung berat
dan obstruksi saluran nafas dalam serangan.
Golongan glukokortikoid seperti deksametason dan hidrokortison mempunyai efek
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga dapat digunakan sebagai terapi
adjuvant. Insufisiensi adrenal relatif dapat diobati dengan glukokortikoid. Dosis
hidrokortison yang digunakan adalah 100 mg IV setiap 8 jam, lalu penurunan dosis
sejalan dengan perbaikan gejala klinis krisis tiroid (Ananda & Dharma, 2014).
17
BAB III
SIMPULAN
Penyakit Graves (goiter difusa toksik) yang merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi
genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria,
terutama pada usia 20 50 tahun. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves struma
difusa, oftalmopati, dan dermopati. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan
dan percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun),
manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler
dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea deffort, tremor, nervous dan
penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila
T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar
18
hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain
seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid
(Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang dapat mengancam jiwa penderita
hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu:
Obat anti tiroid, Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131) dan Pembedahan dengan
Tiroidektomi. Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme
(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat
konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis),
normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan
mengatasi faktor pemicu.
19
DAFTAR PUSTAKA
Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 265
Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281
Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie,
Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 2151
Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves Disease,
Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 64
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius,
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 598
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 778
Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 1058, 1070 1080
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 18 Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar
Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,
EGC, Jakarta, 2000: hal 606 630
Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 5
Weetman P. A.,
20