Anda di halaman 1dari 25

KEJADIAN ASMA BRONKIALE PADA ANAK

1. DEFINISI
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik,
batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi
asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia
Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak
masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa.
Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi, khususnya sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel-sel epitel. Pada
individu yang peka, inflamasi ini menyebabkan episode berulang mengi (wheezing), susah
bernapas, dada sesak dan batuk, terutama pada malam atau pagi hari. Inflamasi ini juga
menyebabkan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Asma dikatakan
sebagai penyakit multifactor karena disebabkan oleh banyak faktor, seperti faktor keturunan atau
lingkungan, penyakit atopik, infeksi saluran napas, perokok sigaret aktif maupun pasif, paparan
akibat pekerjaan, bahan kimia dalam makanan dan obatobatan.
Asma juga merupakan sebuah penyakit kronik yang sering terjadi pada anak dan masih tetap
merupakan masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu
pada data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak)
dari seluruh populasi asma. Selain karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat
terdiri dari bayi , anak, dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan
implikasi khusus pada penatalaksanaannya. Pengetahuan dasar tentang masalah sensitisasi alergi
dan inflamasi khususnya, telah banyak mengubah sikap kita terhadap pengobatan asma anak,
terutama tentang peran anti-inflamasi sebagai salah satu dasar pengobatan asma anak. Oleh
karena itu pengertian yang lebih baik tentang peran faktor genetik, sensitisasi dini oleh alergen
dan polutan, infeksi virus, serta masalah lingkungan sosioekonomi dan psikologi anak dengan
asma diharapkan dapat membawa perbaikan dalam penatalaksanaan asma.
Asma yang tidak diobati dapat menyebabkan penderita harus dirawat di rumah sakit, tidak masuk
sekolah atau kerja, terbatas aktivitas fisiknya, tak bisa tidur, bahkan pada beberapa kasus
mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap penderita asma

mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat serta mampu mengelola asmanya. Menurut
panduan asma internasional (Global Initiative for Asthma/GINA) yang disebut sebagai asma
terkontrol adalah asma yang menunjukkan gejala- gejala kronis termasuk munculnya gejala pada
malam hari, jarang terjadi kekambuhan, tidak ada kunjungan ke ruang gawat darurat, tidak ada
keterbatasan aktivitas dan tidak ada efek samping penggunaan obat. Kemajuan di bidang
farmakologi dan terapi dalam pengobatan maupun pencegahan asma, dirasa telah mampu
mengurangi angka insidensi.
2. METODE
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini diambil dari berbagai jurnal dan artiel ilmiah terkait
dengan asma bronkiale pada anak. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terkena
penyakit asma bronkiale, sedangkan sampel merupakan anak-anak yang menderita asma
bronkiale. Pengumpulan data dalam penelitian ini mencakup enam aspek yaitu: konsep
epidemiologi penyakit, riwayat alamiah penyakit (Natural History of Disease), pengenalan faktor
risiko, dan aspek pencegahan yang meliputi pencegahan primer, pencegahan sekunder dan
pencegahan tersier seperti (rehabilitasi).

3. EPIDEMIOLOGI
Konsep dasar epidemiologi penyakit dengan menggunakan segitiga epidemiologi yang di
dalamnya terdapat 3 faktor yaitu: host, agent, environment. Pada kasus asma bronkial juga
terdapat ketiga faktor host, agent, dan environment. Host merupakan semua faktor yang terdapat
pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbul dan menyebarnya suatu penyakit. Agent
adalah suatu substansi atau elemen-elemen tertentu yang keberadaannya bisa menimbulkan atau
mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Sedangkan environment adalah faktor luar yang
mendukung perkembangan suatu penyakit di sini adalah asma bronkial yang berupa lingkungan
fisik, lingkungan biologi, dan lingkungan social.
Host untuk asma bronkial dapat berupa umur, jenis kelamin, ras, genetic, nutrisi, imunitas,
dan tingkah laku. Asma bronkiale dapat timbul pada segala usia namun gejala awal dari 80-90%
anak yang menderita asma muncul pertama kali pada saat anak berusia balita. Pada anak sebelum

usia 14 tahun prevalensi anak laki-laki terkena asma adalah 1,2-2 kali disbanding anak
perempuan. Sehingga asma bronkial lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak
perempuan. Selain itu warna kulit juga berpengaruh dalam penentuan sakit tidaknya seseorang.
Orang dengan ras kulit hitam lebih banyak menderita asma bronkial pada orang dengan ras kulit
putih. Pada asma bronkiale penyakit alergi juga memegang peran penting, orang dengan riwayat
alergi biasanya mudah terserang penyakit jika terpapar walaupun sedikit faktor pencetus. Namun
hal tersebut belum tentu bisa dipastikan orang terserang sakit namun juga bergantung pada
derajat nutrisi si orang. Derajat nutrisi seseorang juga dapat menunjukan status imunitas dari
seseorang yang juga menjadi faktor penentu seseorang terserang asma bronkiale atau tidak.
Penentu lain dari faktor Host yang tidak kalah penting adalah tingkahlaku. Tingkahlaku
memegang peran penting dalam penentuan terserang asma bronkiale, salah satu contoh dari
tingkahlaku adalah perilaku merokok atau kebiasaan terpapar asap rokok yang sudah dipastikan
akan menurunkan kinerja paru-paru[1,3]
Agent untuk penyakit asma brokial dapat berupa agent kimia dan agent fisika. Pada kasus
asma bronkiale agent kimia yang dapet meningkatkan asma bronkial bisa berupa debu, asap
rokok, allergen. Allergen disini bisa berupa zat alergenik yang bisa memicu alergi seseorang.
Sehingga memicu penyakit asma dari seseorang tersebut. Agent kedua adalah agent fisika yang
dapat berupa cuaca dan iklim suatu daerah. Daerah dataran rendah yang panas memiliki
prosentase pemicu asma bronkial yang berbeda dengan dataran tinggi yang dingin dan membuat
prosentase terserang asma bronkiale lebih besar dari pada dataran rendah.
Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa lingkungan fisik,
Biologis, dan sosial. Ketiga tipe lingkungan tersebut merupan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan walaupun dalam penentuan faktor resiko dapat dipilah. Lingkungan fisik merupakan
keadaan lingkungan sekitar yang berupa abiotic mulai dari udara, air, tanah, bangunan, dll.
Dalam penentuan asma bronkiale dari faktor fisik, debu merupakan pemegang peran penting dan
paling sering menyebabkan penyakit asma. Lingkungan biologis yang mendukung terjadinya
asma bronkial berupa usur biotik yang berupa mikroorganisme yagn biasanya berperan sebagai
agent terjadinya penyakit asma bronkial. Faktor lingkungan terakir adalah lingkungan social.
Lingkungan social ini biasanya berhubungan dengan hubungan antar individu. Seperti kegiatan

interaksi anak disekolah yang menjadi faktor risiko utama terjadinya asma bronkial pada anak
dikarenakan kebersihan dari lingkungan sekolah yang sulit dikendalikan.
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun,
sedangkan 80- 90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5
tahun. Sebagian besar anak yang terkena kadang kadang hanya mendapat serangan ringan
sampai sedang, yang relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat berlarut
larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman. Hal tersebut yang
menjadikannya tidak mampu dan menganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan
fungsi dar hari ke hari
Sebenarnya asma bronkial bukan termasuk penyakit yang mematikan , namun morbiditas dan
mortalitas asma bronkial relatif meningkat tiap tahunnya, menurut perkiraan WHO, sekitar 300
juta orang menderita asma bronkial dan 255 ribu orang meninggal karena asma bronkial di dunia
pada tahun 2005 dan angka ini masih terus meningkat. Kematian mencapai 3,8 per 1 juta anak
pada tahun 1996, menurun menjadi 3,1 per 1 juta anak pada tahun 1997, dan meningkat kembali
3,5 per 1 juta anak pada tahun 1998.

4. RIWAYAT ALAMIAH ASMA BRONKIAL PADA ANAK


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel inflamasi kronis yang
mengakibatkan dilepaskannya macam-macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target
saluran nafas. Penyebab asma bronkial dibagi menjadi 3 yaitu asma ekstrinsik (alergik), asma
intrinsik (non alergik), dan asma gabungan. Pencetus terjadinya asma disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain genetik, allergen, perubahan cuaca, stress, lingkungan kerja dan aktivitas
jasmani yang berat. Anak anak terlebih pada usia 0 5 tahun memiliki aktivitas yang tak
terbatas karena pada tahap ini berkembang masa pertumbuhan dan perkembangan. Tentu orang
tua tidak dapat mengontrol dengan mudah apa yang dilakukan si anak. Patofisiologi asma
bronkial secara umum digambarkan sebagai berikut :

Sedangkan pada anak-anak tidak jauh beda dengan pada ornag dewasa untuk mekanismenya.
Asma pada anak terjadi karena adanya penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan
respon terhadap bahan iritasi dan stimulus lain yang diakibatkan oleh faktor-faktor yang telah
disebutkan. Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat
antibodi tubuh muncul ( immunoglobulin E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di munculkan
pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan pengeluaran histamin dan
zat mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala asma. Respon asma terjadi
dalam tiga tahap : pertama tahap immediate yang ditandai dengan bronkokontriksi ( 1-2 jam );
tahap delayed dimana brokokontriksi dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam
lebih lama ; tahap late yang ditandai dengan peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa
minggu atau bulan. Asma juga dapat terjadi faktor pencetusnya karena latihan yang terlalu berat,
kecemasan, dan udara dingin. Selama serangan asthmatik, bronkiulus menjadi meradang dan
peningkatan sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak, kemudian
meningkatkan resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distres pernafasan.
Anak yang mengalami astma mudah untuk inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema
pada jalan nafas. Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli dan perubahan pertukaran gas.

Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat ventilasi dan saturasi 02, sehingga
terjadi penurunan p02 ( hipoxia). Selama serangan astmati, CO2 tertahan dengan meningkatnya
resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea.
Kemudian sistem pernafasan akan mengadakan kompensasi dengan meningkatkan pernafasan
(tachypnea), kompensasi tersebut menimbulkan hiperventilasi dan dapat menurunkan kadar CO2
dalam darah (hypocapnea).[1,8]
Mekanisme Terjadinya Kelainan Pernapasan
Baik orang normal maupun penderita asma, bernapas dengan udara yang kualitas dan
komposisinya sama. Udara pada umumnya mengandung 3 juta partikel/mm kubik. Partikelpartikel itu dapat terdiri dari debu, kutu debu (tungau), bulu-bulu binatang, bakteri, jamur, virus,
dll.
Oleh karena adanya rangsangan dari partikel-partikel tersebut secara terus menerus, maka
timbul mekanisme rambut getar dari saluran napas yang bergetar hingga partikel tersebut
terdorong keluar sampai ke arah kerongkongan yang seterusnya dikeluarkan dari dalam tubuh

melalui reflek batuk.


Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya sangat peka (hipersensitif) terhadap
adanya partikel udara ini, sebelum sempat partikel tersebut dikeluarkan dari tubuh, maka jalan

napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat berlebihan (hiperreaktif), maka terjadilah keadaan
dimana:
a.

Otot

polos

yang

menghubungkan

cincin

tulang

rawan

akan

b.
c.

berkontraksi/memendek/mengkerut
Produksi kelenjar lendir yang berlebihan
Bila ada infeksi, misal batuk pilek (biasanya selalu demikian) akan terjadi reaksi
sembab/pembengkakan dalam saluran napas

Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas. Akibatnya menjadi
sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk membersihkan diri, keluar dahak yang
kental bersama batuk, terdengar suara napas yang berbunyi yang timbul apabila udara
dipaksakan melalui saluran napas yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar
keras terutama saat mengeluarkan napas. Serangan asma bronkial ini dapat berlangsung dari
beberapa jam sampai berhari-hari dengan gejala klinik yang bervariasi dari yang ringan (merasa

berat di dada, batuk-batuk) dan masih dapat bekerja ringan yang akhirnya dapat hilang sendiri
tanpa diobati.

Gejala yang berat dapat berupa napas sangat sesak, otot-otot daerah dada berkontraksi
sehingga sela- sela iganya menjadi cekung, berkeringat banyak seperti orang yang bekerja keras,

kesulitan berbicara karena tenaga hanya untuk berusaha bernapas, posisi duduk lebih melegakan
napas daripada tidur meskipun dengan bantal yang tinggi, bila hal ini berlangsung lama maka
akan timbul komplikasi yang serius.
Yang paling ditakutkan adalah bila proses pertukaran gas O2 dan CO2 pada alveolus
terganggu suplainya untuk organ tubuh yang vital (tertutama otak) yang sangat sensitif untuk hal
ini, akibatnya adalah: muka menjadi pucat, telapak tangan dan kaki menjadi dingin, bibir dan jari
kuku kebiruan, gelisah dan kesadaran menurun. Pada keadaan tersebut di atas merupakan tanda
bahwa penderita sudah dalam keadaan bahaya/kritis dan harus secepatnya masuk rumah
sakit/minta pertolongan dokter yang terdekat.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma. Hiperreaktivitas bronkus adalah
peningkatan respons bronkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus terhadap
pelbagai rangsangan, misalnya latihan fisis, udara dingin, alergen, dan zat-zat kimia, dan
menimbulkan reaksi inflamasi. Besarnya hipereaktivitas dapat diukur secara objektif. Berbagai
cara yang dilakukan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji
provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
Derajat hiperreaktivitas bronkus bisa menetap atau makin berat bila terpajan pada faktor
pencetus dalam jangka waktu lama. Besar kecilnya intensitas faktor pencetus untuk
menimbulkan serangan asma sangat tergantung pada hiperreaktivitas bronkus. Makin berat
derajat hiperreaktivitasnya, makin kecil intensitas faktor pencetus yang diperlukan untuk
timbulnya serangan asma.
Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola hubungan antara
proses sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan penyakit alergi yang dikenal
sebagai allergic march (perjalanan alamiah penyakit alergi). Secara klinis allergic march terlihat
berawal sebagai alergi saluran cerna (diare alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi
alergi kulit (dermatitis atopi) dan kemudian alergi saluran napas (asma bronkial, rinitis alergi).
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa kelompok anak dengan gejala mengi pada usia kurang
dari 3 tahun, yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai predisposisi ibu asma, dermatitis
atopi, rinitis alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibandingkan dengan kelompok anak dengan
mengi yang tidak menetap. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak mengi yang akan
berkembang menjadi asma terbukti mempunyai kemampuan untuk membentuk respons lgE serta

respons eosinofil pada uji provokasi berbagai stimuli. Proses sensitisasi diperkirakan telah terjadi
sejak awal masa kehidupan, secara bertahap mulai dari rangsang alergen makanan dan infeksi
virus, sampai kemudian rangsang aeroalergen. Proses tersebut akan mempengaruhi modul
respons imun.[7]
5. MANIFESTASI KLINIS ASMA BRONKIAL PADA ANAK
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis. Tetapi
pada saat serangan penderita tampak bernafas dengan cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan
menyangga ke depan, serta tanpa otot otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala
klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi (whezing), batuk, dan pada sebagian
penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala gejala tersebut tidak selalu dijumpai
bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala gejala yang timbul makin banyak,
antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi, dan
pernafasan cepat dangkal. Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
6. KLASIFIKASI ASMA BRONKIAL PADA ANAK
Klasifikasi asma berdasarkan penyebabnya antara lain:
1. Asma ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi alergi
penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa apa terhadap orang yang
sehat
2. Asma Intrinsik
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari
allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan yang buruk
seperti kelembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan.
3. Asma Gabungan
Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum, asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk asma alergik dan non alergik.
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA), penggolongan asma berdasarkan beratnya
penyakit dibagi 4 (empat), yaitu:
a. Asma intermitten (asma jarang)
Gejala kurang dari seminggu

Serangan singkat
Gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
FEV 1 atau PEV > 80%
PEV atau FEV 1 variabilitas 20%-30%
b. Asma mild persistent (asma persisten ringan)
Gejala lebih dari seminggu
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
FEV 1 atau PEV >80%
PEV atau FEV 1 variabilitas < 20%-30%
c. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala pada malam hari >1 dalam seminggu
FEV 1 atau PEV 60%-80%
PEV atau FEV 1 variabilitas > 30%
d. Asma severe persistent (asma persisten berat)
Gejala setiap hari
Serangan terus menerus
Gejala pada malam hari setiap hari
Terjadi pembatasan aktivitas fisik
FEV 1 atau PEV=60% PEF atau FEV variabilitas > 30%
PENGENALAN FAKTOR RESIKO ASMA BRONKIAL PADA ANAK

Menurut Depkes RI, 2009 dalam bukunya yag berjudul Pedoman Pengendalian Penyakit Asma
secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi du kelompok, yakni faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
b. Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
c. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. Saluran nafas
terutama pada bronkus sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. Bagi
anak-anak yang memiliki riwayat alergi terutama yang berkaitan dengan saluran
pernafasan akan memiliki resiko lebih besar terjadi hiperaktivitas bronkus.
d. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. T etapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak.
e. Ras/etnik
f. Riwayat penyakit keluarga
Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih
tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu atopi. Predisposisi
keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang
terkena mempunyai8. risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50%
jika kedua orang tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, labilitas
bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot.
Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak33). Orang tua
asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang
tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah. R.I Ehlich
menginformasikan bahwa riwayat keluarga mempunyai hubungan yang bermakna (OR
2,77: 95% CI=1,11-2,48).
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah
Beberapa contoh dari alergen di dalam rumah adalah tungau debu rumah, spora jamur,
kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain.
b. Alergen luar rumah
Alergen jenis ini bisa berupa serbuk sari, dan spora jamur
c. Alergen makanan
Contohnya susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap pengawet dan pewarna makanan
d. Alergen obat-obatan tertentu
Misalnya saja penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain lain.
e. Bahan yang mengiritasi

Beberapa diantaranya yaitu parfum, household spray, rokok dan lain-lain. penderita anakanak lebih sering mendapat serangan asma bila di rumahnya ada yang merokok, maka
segera hentikan kebiasaan tersebut. Mungkin saat ini belum terlihat akibatnya, tetapi
dalam janga panjang hampir pasti akan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang
sangat sulit diobati. (Sutomo, 2008)
f. Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi
sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan
pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang
sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan
serangan asma, terutama dari burung dan hewan menyusui. Untuk menghindari alergen
asma dari binatang peliharaan, tindakan yang dapat dilakukan adalah:
Buatkan rumah untuk binatang peliharaan di halaman rumah, jangan biarkan binatang
tersebut masuk dalam rumah
Jangan biarkan binatang tersebut berada dalam rumah,
Mandikan anjing dan kucing setiap minggunya
Perubahan Cuaca
g. Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat
menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah
berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Dimana
partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan
tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan pengeluaran lendir yang
berlebihan. Ini umum terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim
dingin. Udara yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan

7. Patogenesis
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel. Inflamasi
kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang dapat mengaktivasi sel
target di saluran nafas dan mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan
edema, hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf . Pada asma terjadi mekanisme
hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan
mekanisme saraf.

Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat berbagai rangsangan
dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan respons bronkus biasanya mengikuti
paparan alergen, infeksi virus pada saluran nafas atas, atau paparan bahan kimia. Hiperesponsif
bronkus dihubungkan dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaan histopatologi pada
penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret
yang sangat kental. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon
inflamasi pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T disertai
pelepasan epitel bronkus .
Pada saluran napas banyak didapatkan sel mast, terutama di epitel bronkus dan dinding
alveolus, sel mast mengandung neutral triptase. Triptase mempunyai bermacam aktivitas
proteolitik antara lain aktivasi komplemen, pemecahan fibrinogen dan pembentukan kinin. Sel
mast mengeluarkan berbagai mediator seperti histamin, prostaglandin-D2 (PGD2), dan
Leukotrien-C4 (LTC4) yang berperan pada bronkokonstriksi. Sel mast juga mengeluarkan
enzim tripase yang dapat memecah peptida yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP)
dan heparin. VIP bersifat sebagai bronkodilator . Heparin berperan dalam mekanisme anti
inflamasi, heparin mengubah basic protein yang dikeluarkan oleh eosinofil menjadi tidak aktif.
9

Makrofag terdapat pada lumen saluran nafas dalam jumlah banyak, diaktivasi oleh Ig E
dependent mechanism sehingga makrofag berperan dalam proses inflamasi pada penderita
asma. Makrofag melepaskan mediator seperti tromboksan A2, prostaglandin, platelet
activating factor, leukotrien-B4 (LTB4), tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1),
reaksi komplemen dan radikal bebas oksigen. Berbeda dengan sel mast, pelepasan mediator
oleh makrofag dapat dihambat dengan pemberian steroid tetapi tidak oleh golongan agonis
beta-2. Infiltrasi eosinofil di saluran napas, merupakan gambaran khas untuk penderita asma.
Inhalasi alergen menyebabkan peningkatan eosinofil pada cairan bilasan bronkoalveolar pada
saat itu dan beberapa saat sesudahnya (reaksi lambat). Terdapat hubungan langsung antara
jumlah eosinofil pada darah perifer dan pada bilasan bronkoalveolar dengan hiperresponsif
bronkus. Eosinofil melepaskan mediator seperti LTC4, platelet activating factor (PAF), radikal
bebas oksigen, mayor basic protein (MBP), dan eosinofil derived neurotoxin (EDN) yang
bersifat sangat toksik untuk saluran napas. 9
Neutrofil banyak dijumpai pada asma yang diakibatkan oleh kerja. Neutrofil diduga
menyebabkan kerusakan epitel oleh karena pelepasan metabolit oksigen, protease dan bahan

kationik. Neutrofil merupakan sumber mediator seperti prostaglandin, tromboxan, leukotrienB4 (LTB4), dan PAF. Limfosit T diduga mempunyai peranan penting dalam respon inflamasi
asma, karena masuknya antigen ke dalam tubuh melalui antigen reseptor complemen-D3
(CD3). Secara fungsional CD3 dibagi menjadi 2 yaitu CD4 dan CD8. Limfosit T CD4 setelah
diaktivasi oleh antigen, akan melepaskan mediator protein yang disebut limfokin. Limfokin
dapat mengumpulkan dan mengaktifkan sel granulosit. 9
Limfosit T CD4 merupakan sumber terbesar dari IL-5. Zat IL-5 dapat merangsang
maturasi dan produksi sel granulosit dari sel prekursor, memperpanjang kehidupan sel
granulosit dari beberapa hari sampai beberapa minggu, bersifat kemotaksis untuk sel eosinofil,
merangsang eosinofil untuk meningkatkan aktivitas respon efektor, mengaktivasi limfosit B
untuk membuat antibodi yang dapat menimbulkan respon imun.
Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic protein yang
dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas oksigen dari bermacam-macam sel
inflamasi dan mengakibatkan edema mukosa . Sel epitel sendiri juga mengeluarkan mediator.
Kerusakan pada epitel bronkus merupakan kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini
mungkin dapat menerangkan berbagai mekanisme hiperresponsif bronkus oleh karena paparan
ozon, infeksi virus, dan alergen. Pada manusia, epitel bronkus dan trakea dapat membentuk
PGE2 dan PGF2 alfa serta 12 dan 15 hydroxyicosotetraenoic (12- HETE dan 15-HETE). 15HETE bersifat kemotaksis terhadap eosinofil. Kerusakan epitel mempunyai peranan terhadap
terjadinya hiperresponsif bronkus melalui cara pelepasan epitel yang menyebabkan hilangnya
pertahanan, sehingga bila terinhalasi, bahan iritan akan langsung mengenai submukosa yang
seharusnya terlindungi. Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot polos bronkus
terhadap bahan spasmogen. Kerusakan epitel bronkus menyebabkan ujung saraf perifer
langsung terkena paparan atau teraktivasi oleh mediator inflamasi sehingga mengakibatkan
terjadinya inflamasi melalui mekanisme akson refleks. Sel epitel mungkin dapat memproduksi
enzim yang merusak mediator, yaitu neutral actoenzym endopeptidase yang dapat merusak
bradikinin dan substan-P.
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula akhir kapiler.
Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan leukotrin dapat menyebabkan kontraksi sel
endotel sehingga terjadi ekstravasasi makromolekul. Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan
edema saluran napas sehingga terjadi pelepasan epitel, diikuti penebalan submukosa. Keadaan
ini menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas dan merangsang konstraksi otot polos

bronkus. Adrenalin dan kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada


saluran napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari mengakibatkan
terjadinya pelepasan mediator dan dalam terjadinya asma pada malam hari.
Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan patogenesis asma
masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada tonus bronkus terjadi sangat cepat.
Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan nonadrenergik terhadap saluran napas telah
diidentifikasi. Beberapa mediator inflamasi mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter
dan mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf otonom . Saraf otonom mengatur fungsi
saluran nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi mukosa,
aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran saraf
kolinergik paling dominan sebagai penyebab peneliti melaporkan bahwa rangsangan yang
disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan bradikinin akan merangsang saraf
aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi. Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena
rangsangan reseptor sensorik pada saluran napas (reseptor iritan, C-fibre) oleh mediator
inflamasi.
Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin yang beredar dalam darah,
reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta adrenergik. Pemberian obat agonis adrenergik
memperlihatkan perbaikan gejala pada penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek
mekanisme adrenergik pada penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan otot polos
saluran napas secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar dalam darah.
8. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
a.
Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Faktor faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat
b.

alergi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran
napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi

c.

jua meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.


Pemeriksaan Laboratorium

Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman,


d.

kristal Charcot Leyden).


Pemeriksaan Penunjang
1.
Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal
ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan
ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%
atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
2. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus
merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas
saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri
dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan
histamin.
3. Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi
saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma
yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan
4.

adanya kelainan.
Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis
dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan
dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak

dapat dilakukan (pada dermographism).


5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian
obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal

inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan
napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit
dilakukan di luar riset.
PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
1. Pencegahan primer (prenatal) asma bronkial dilakukan pada ibu hamil yang memiliki
riwayat atopi (alergi) pada dirinya, keluarga, anak sebelumnya, atau pada suami.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghambat sensitisasi imunologi terutama
mencegah terbentuknya Immunoglobulin E (IgE) pada janin intrauterin (saat berada di
dalam kandungan) dan menyusui.. Hal ini dapat dilakukan dengan cara ibu hamil
menghindari

atau

meminimalkan

penyebab

alergi

sejak

dalam

kandungan.

Permasalahannya, risiko dan manifestasi alergi pada janin masih belum dapat dideteksi
dengan jelas, namun beberapa ahli melaporkan indikasi alergi pada janin adalah gerakan
atau tendangan janin yang keras, disertai dengan rasa sakit pada ujung hati yang disertai
gerakan denyutan keras (hiccups/cegukan) pada ibu terutama pada saat malam hari.
Dalam keadaan risiko tinggi asma, maka sebaiknya ibu harus mulai menghindari
penyebab alergi sedini mungkin. Pada keadaan seperti ini, Committes on Nutrition
American Acadcemy of Pediatric (AAP) menganjurkan eliminasi diet jenis kacang
kacangan dan menghindari kontak dengan polutan dan asap xrokok baik secara aktif
maupun pasif selama kehamilan dan masa perkembangan bayi/anak.[4]
2. Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi terhadap alergen
sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien penyakit atopi yang
belum menderita asma, serta pencegahan serangan dan eksaserbasi asma
3. Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan alergen
dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran pencetus. Para
peneliti umumnya menyatakan bahwa alergen utama yang harus dihindari adalah tungau
debu rumah, kecoak, bulu hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk

sari bunga. Polutan harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang
merokok dalam rumah. Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi
asma adalah asap kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2. Penghindaran maksimal harus
dilakukan di tempat anak biasa berada, terutama kamar tidur dan tempat bermain seharihari. Untuk Indonesia, walaupun belum ada data yang menyokong, agaknya kita harus
menghindari obat nyamuk dan asap lampu minyak.[6]
4. Beberapa klinik telah melakukan upaya pencegahan sensitisasi terhadap fetus dan bayi,
antara lain dengan memberikan diet hipo dan non alergenik serta penghindaran asap
rokok. Walaupun secara teoritis pemberian diet hipoalergenik pada masa trimester ketiga
kehamilan sangat menarik, ternyata bukti klinis penelitian tersebut tidaklah
menggembirakan. Tidak terlihat perbedaan kejadian penyakit alergi pada umur 5 tahun
antara kelompok perlakuan dan kelola. Hasil lebih baik justru akan terlihat pada bayi
yang mendapat ASI dari ibu dengan diet hipoalergenik pada masa laktasi. Sebaliknya
terbukti bahwa ibu perokok akan membahayakan perkembangan paru bayi baik dilakukan
pada masa sebelum maupun setelah

5. Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic march maka upaya
pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan menghambat perjalanan alamiah
penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain adalah dengan mencegah timbulnya suatu
penyakit alergi (asma) pada anak yang telah tersensitisasi
Suatu uji klinis multisenter ETAC (early treatment of the atopic child) telah
menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat timbulnya asma pada anak kecil
penderita dermatitis atopi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen tertentu tetapi belum
menderita asma. Pencegahan Sekunder Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah
meningkatkan dan mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma
terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.[4]

Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan


pengobatan medikamentosa :
a. Pengobatan non-medikamentos
Penyuluhan
Menghindari faktor pencetus
Pengendali emosi
Pemakaian oksigen
b. Pengobatan Medikamentosa Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah
gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega
1. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat)

b. Glukokortikosteroid sistemik Cara pemberian melalui oral atau parenteral.


Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka
c.

panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.


Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium) Pemberiannya
secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan.
Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini

bermanfaat atau tidak


d. Metilsantin Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat
2. Turbuhaler
Digunakan dengan cara menghisap, dosis obat ke dalam mulut, kemudian
diteruskan ke paru- paru. Pasien tidak akan mendapat kesulitan dengan
menggunakan turbuhaler karena tidak perlu menyemprotkan obat terlebih dahulu.
Satu produk turbuhaler mengandung 60-200 dosis. Ada indicator dosis yang akan
memberitahu anda jika obat hampir habis. Contoh produk: Bricasma,
Pulmicort,Symbicort.

3. Rotahaler
Digunakan dengan cara yang mirip dengan turbuhaler. Perbedaan setiap
kali akan menghisap obat, rotahaler harus didiisi dulu dengan obat yang berbentuk
kapsul/rotacap. Jadi rotahaler hanya berisi satu dosis, rotahaler sangat cocok
untuk anak-anak dan usia lanjut. Contoh produk: Ventolin Rotacap dan Nebulizer
4. Nebulizer
Nebulizer digunakan dengan cara menghirup dengan cara menghirup
larutan obat yang telah diubah menjadi bentuk kabut. Nebulizer sangat cocok
digunakan untuk anak-anak, usia lanjut dan mereka yang sedang mengalami
serangan asma parah. Dua jenis nebulizer berupa kompresor dan ultrasonic. Tidak
ada kesulitan sama sekali dalam menggunakan nebulizer, karena pasien cukup
bernapas seperti biasa dan kabut obat akan terhirup masuk ke dalam paru-paru.
Satu dosis obat akan terhirup habis tidak lebih dari 10 menit. Contoh produk yang
bisa digunakan dengan nebulizer: Bisolvon solution, Pulmicort respules, Ventolin

nebulas. Anak-anak usia kurang dari 2 tahun membutuhkan masker tambahan


untuk dipasangkan ke nebulizer.
Untuk memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas untuk
mengobati bronkospasme akut, produksi mucus yang berlebihan, batuk dan sesak
napas dan epiglottis. Keuntungan nebulizer terapi adalah medikasi dapat diberikan
langsung pada tempat/sasaran aksinya seperti paru-paru sehingga dosis yang
diberikan rendah. Dosis yang rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan
efek samping sistemik. Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru-paru sangat
cepat, sehingga aksinya lebih cepat daripada rute lainnya seperti: subkutan/oral.
Udara

yang

dihirup

melalui

nebulizer

telah

lembab,

yang

dapat

membantumengeluarkan sekresi bronkus.

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah timbulnya alergi.
Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi penyakit
yang masih dini tetapi belum menunjukkan gejala penyakit alergi yang lebih berat. Saat tindakan
yang optimal adalah usia 6 bulan hingga 4 tahun.
1. Rehabilitasi Rehabilitasi asma dilakukan sebagai cara untuk menghindari kondisi yang lebih
parah dari sebelumnya, biasanya dilakukan dengan melihat faktor-faktor yang dapat
mempercepat kesembuhan dan membantu perbaikan mengurangi. Upaya terapi yang kini
dilakukan untuk penderita asma bronkial adalah Senam Nafas sehat (SNS). Sampai saat ini
SNS efektif untuk mengurangi frekuensi serangan dan dapat membantu menenangkan
serangan. Adapun rehabilitasi dengan cara Non- Pharmacological Treatment yaitu
penghilangan alergen (terutama hewan peliharaan yang berbulu), perbaikan manajemen diri,
latihan fisik (terbukti untuk pengurangan gejala asma, toleransi latihan ditingkatkan), terapi
pernafasan dan fisioterapi (misalnya teknik pernapasan, pernapasan mengerutkan-bibir),
berhenti merokok (dengan bantuan medis dan nonmedis, jika perlu), pengobatan Psikososial

(terapi keluarga), dan penurunan berat badan bagi pasien obesitas. Selain itu terdapat
Inadequate Treatment Benefit yaitu dengan cara akupunktur, kontrol kelembaban udara,
pelatihan teknik pernafasan, langkah-langkah diet : minyak ikan; asam lemak; mineral
suplemen;vitamin C, penggunaan ionizers (pemurni udara kamar), mengkonsumsi ekstrak
tanaman (agen phytotherapeutic), terapi relaksasi (relaksasi progresif, hipnoterapi, pelatihan
autogenic, pelatihan biofeedback, meditasi transedental), dan mengkonsumsi obat tradisional
Cina
2. Tidak ada diskriminasi dalam menghadapi dan berkomunikasi dengan anak penderita asma
bronkial dibandingkan anak pada umumnya Sehingga anak penderita asma bronkial tidak
merasa dirinya sakit dan terbatas aktivitasnya, meskipun ada beberapa kegiatan yang harus
dihindari. Seharusnya hal-hal seperti itu dapat dikomunikasikan dengan baik pada anak
penderita asma bronkial, sehingga anak tersebut tidak berpikiran selalu sakit dan selalu butuh
pertolongan.
3. Motivasi untuk penderita asma Hal terpenting dalam mengatasi suatu penyakit adalah
membentuk pola pikir positif bahwa dirinya sehat. Begitu pula dengan anak penderita asma
bronkial, dapat dimotivasi dengan pikiran positif bahwa dirinya sehat dan tetap mampu
memposisikan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan sosial yang saling
membutuhkan.

KESIMPULAN
Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir semua
negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan
sampai berat, bahkan dapat mematikan. Menurut RISKESDAS (2007) di Indonesia prevalensi
penderita asma diperkirakan masih sangat tinggi.Bedasarakan data dari Departemen Kesehatan,
persentase penderita asma di indonesia sebesar 5,87% dari keselurahan penduduk Indonesia.
Dimana masih banyak penderita asma yang belum mendapatkan perawatan dokter. Hal itu
membuat angka kematian karena penyakit asma tergolong tinggi di Indonesia.Pencetus serangan
asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat
menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis
dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Pada jalur saraf
otonom, inhalasialer genakan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervusvagus
dan mungkin juga epitel saluran napas.Klasifikasi asma berdasarkan penyebabnya antara lain
asma ekstrinsik, asma intrinsik, dan asma gabungan. Selain itu, asma juga bisa diklasifikasikan
berdasarkan etiologi, derajat berat asma, dan kontrol asma. Penyakit asma bronkial secara umum
adalah penyakit saluran pernapasan yang ditandai dengan sesak napas/sukar bernapas yang
diikuti dengan suara mengi (bunyi yang meniup sewaktu mengeluarkan udara/napas), rasa
berat dan kejang pada dada sehingga napas jadi terengah-engah, biasanya disertai batuk dengan
dahak yang kental dan lengket, serta perasaan menjadi gelisah dan cemas.Pada penderita asma
bronkial karena saluran napasnya sangat peka (hipersensitif) terhadap adanya partikel udara ini,
sebelum sempat partikel tersebut dikeluarkan dari tubuh, maka jalan napas (bronkus) memberi
reaksi yang sangat berlebihan (hiperreaktif), maka terjadilah keadaan dimana, otot polos yang
menghubungkan cincin tulang rawan akan berkontraksi/memendek/mengkerut, produksi kelenjar
lendir yang berlebihan, bila ada infeksi, misal batuk pilek (biasanya selalu demikian) akan terjadi
reaksi sembab/pembengkakan dalam saluran napas Hasil akhir dari semua itu adalah
penyempitan rongga saluran napas. Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai
berusaha untuk membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara
napas yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang
sempit.Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi du kelompok, yakni faktor genetik
dan faktor lingkungan. Faktor genetik terdiri dari alergi, hiperaktivtas bronkus, jenis kelamin,

dan etnik/ras. Sedangkan faktor lingkungan berupa alergen dalam rumah, alergen luar rumah,
alergen makanan, alergen obat-obatan tertentu, dan bahan yang mengiritasi.Pencegahan primer
dari asma bronkial adalah dengan cara ibu hamil menghindari atau meminimalkan penyebab
alergi sejak dalam kandungan, pencegahan dini sensitisasi terhadap alergen, kontrol lingkungan,
memberikan diet hipo dan non alergenik serta penghindaran asap rokok sebagai upaya
pencegahan sensitisasi terhadap fetus dan bayi, mencegah dan menghambat perjalanan alamiah
penyakit alergi.Untuk pencegahan sekunder terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan
pengobatan

medikamentosa.

Sedaangkan

pencegahan

tersier

dilakukan

dengan

cara

rehabilitation. Rehabilitasi asma dilakukan sebagai cara untuk menghindari kondisi yang lebih
parah dari sebelumnya, biasanya dilakukan dengan melihat faktor-faktor yang dapat
mempercepat kesembuhan dan membantu perbaikan mengurangi. Upaya terapi yang kini
dilakukan untuk penderita asma bronkial adalah Senam Nafas sehat (SNS)
SARAN
1. Pencegahan dini sensitisasi terhadap alergen. Pencegahan dini dilakukan agar kita
mengetahui bahan-bahan apa saja yang menimbulkan reaksi aleri pada tubuh kita
2. Hindari pajanan alergen dan polutan Hal ini bertujuan untuk mencegah kambuhnya asma,
sebab dengan kita menghindari alergen itu berarti kita melakukan pengendalian salah satu
faktor resiko dari asma
3. Melakukan ETAC (early treatment of the atopic child) Melalukan treatment sedini mungkin
untuk menghindari semakin parahnya asma
a. 4 Penggunaan steroid inhalasi untuk perbaikan faal paru Dengan penggunaan steroid
inhalasi maka akan meringankan beban kerja dari paru- paru itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Akib, A.A.. Asma Pada Anak. Sari Pediatri. 2002;04: pp.78-82.
Anon. Artikel Asma Bronkiale. [Online] Available
at:http://www.scribd.com/doc/211575792/Artikel- Review-Asma-Bronkial-Done.2011
[Accessed 10/06 2014].
Ekarini, N.L.P. Analisis Faktor-Faktor Pemicu Dominan Terjadinya Serangan Asma pada Pasien
Asma. Jurnal Keperawatan. 2012; 03: pp.127-40.
Meiyanti, J.I.M. Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma Bronkiale. Jurnal Kedokteran
Trisakti, 2012;19: pp.125-32.
Rengganis, I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkiale. Jurnal Kedokteran Indonesia. 2008 ;
58: pp.444- 51.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Republik Indonesia,
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, Jakarta;2009
Sundaru, S. Asma Bronkiale. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta; 2006
Sutomo. Faktor-Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkiale di RS
Kabupaten Kudus. Jurnal Pasca Sarjana . 2008; 17: pp.220-32.

Anda mungkin juga menyukai