Anda di halaman 1dari 29

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir ini kita kerapkali membaca berita mengenai kasus
perkosaan atau perampokan/pembunuhan yang disertai perkosaan. Kasus-kasus semacam
ini biasanya memiliki nilai berita yang tinggi dan akan diliput oleh berbagai media massa.
Di pihak lain, masyarakat yang mengetahui berita semacam ini umumnya ikut terlibat
dan seringkali merasa gemas dan mengutuk perbuatan itu. Di masyarakat, kerap terjadi
peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Untuk
pengusutan dan penyidikan serta penyelesaian masalah hukum ini di tingkat lebih lanjut
sampai akhirnya pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan bantuan berbagai ahli di
bidang terkait untuk membuat jelas jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan
yang satu dengan yang lain dalam rangkaian peristiwa tersebut
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada
hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materil (materilewaarheid)
terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-buktiyang dibutuhkan
untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti
penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Usahausaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materil suatu
perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan
pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang
menyatakan: Tiada seorang jugapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang
dituduhkan atas dirinya
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan
bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan
tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan:

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan
persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan: Dalam hal
diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan,
hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan
bahan baru oleh yang berkepentingan. Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa
pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan
penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus
kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan
seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau
kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan
ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik
dalam

memberikan

bukti

berupa

keterangan

medis

yang

sah

dan

dapat

dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian


adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan.
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus
kejahatan kesusilaan, seperti perkosaan, sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian
ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur, serta
pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk
dikawini atau tidak. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara
tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et
repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis
untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat
oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang
bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan
pengetahuannya yang sebaik- baiknya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Perkosaan


Perkosaan merupakan bagian dari kejahatan seksual, yang berasal dari bahasa
latin yaitu rapere, yang artinya menangkap atau mengambil dengan paksa. Kata-kata
tersebut secara murni tidak memiliki konotasi seksual dan masih dipergunakan
secara luas dalam bahasa Inggris. Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal di mana
si korban dipaksa untuk melakukan aktivitas seksual, khususnya penetrasi dengan
alat kelamin, di luar kemauannya sendiri. Istilah perkosaan dapat pula digunakan
dalam arti kiasan, misalnya untuk mengacu kepada pelanggaran yang lebih umum
seperti perampokan, penghancuran, penangkapan atas warga masyarakat yang terjadi
pada saat sebuah kota atau negara dilanda perang. Perkosaan sekarang dikenal
sebagai sebuah tindak kriminal perilaku penyerangan terhadap suatu anggota dari
suatu kelompok seksual oleh suatu anggota kelompok seksual lainnya. Dalam
pengertian lain, perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Di
dalam kebanyakan hukum tertulis, kasus tindak kriminal perkosaan jelas terjadi
apabila terdapat persetubuhan (atau terjadi penyerangan) tanpa adanya persetujuan
yang nyata dari salah satu pihak yang terlibat. Persetubuhan ini sering diartikan
sebagai penetrasi penis kedalam anus atau vagina. Namun bentuk perkosaan tidak
selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang
melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin
perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam
sebuah pernikahan. Dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun. Pemerkosaaan tidak hanya menghilangkan
keperawanan seorang perempuan, namun telah memberi dampak besar bagi korban
antaranya; (1) pengucilan dalam keluarga, (2) pengucilan dalam masyarakat, (3)
hilangnya rasa percaya diri korban dikarenakan kesucian sebagai salah satu
indentitas diri perempuan telah hilang, dan (4) hilangnya hak dalam mengeyam

pendidikan. Dampak psikologis bagi korban sangat besar, korban depresi dan juga
bisa berakhir bunuh diri akibat beban mental yang dialami.
Pengertian pasal 285 KUHP, dimana perkosaan didefinisikan bila dilakukan
hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa
secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum
terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi
masuk dalam kategori pencabulan.

2.2. Jenis Perkosaan


Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam
kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak
berdaya (pasal 89 KUHP). Hukuman maksimalnya adalah 12 tahun penjara.
Terdapat berbagai jenis perkosaan yang pada umumnya dikategorikan berdasarkan
hubungannya pada situasi dimana hal tersebut terjadi, jenis kelamin atau
karakteristik si korban, dan/atau jenis kelamin si pelaku. Jenis-jenis perkosaan yang
lain termasuk diantaranya adalah: perkosaan pada saat berkencan (date rape),
perkosaan yang dilakukan oleh suatu gang/kelompok (gang rape), perkosaan dalam
perkawinan (marital rape), perkosaan dibawah umur (Statutory rape) dan lain
sebagainya. Sangatlah penting untuk diketahui bahwa hampir seluruh jenis penelitian
dan kasus perkosaan yang dilaporkan selama ini adalah terbatas pada bentuk
perkosaan antara laki-laki dan perempuan walaupun diketahui kejadian perkosaan
sesama jenis juga terjadi dan telah tertuang dalam pasal 292 KUHP, yaitu terdapat
ancaman hukuman bagi seseorang yang cukup umur yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang lain yang sama kelaminnya yang belum cukup umur.

2.3. Undang-Undang Tentang Kejahatan Seksual


Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada bab XIV KUHP,
yaitu bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan; yang meliputi baik persetubuhan di
dalam perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan.

KUHP pasal 285


Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

KUHP pasal 286


Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

KUHP pasal 287


(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belumlima belas tahun,
atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belummampu dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilantahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah suatu hal tersebut pasal 291 dan pasal
294.

KUHP pasal 288


(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan, yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam,
apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2.4. Pemeriksaan dan Pembuktian dalam Kasus Perkosaan


Dalam sistem peradilan yang dianut negara kita, seorang hakim tidak dapat
menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua

alat bukti yang sah ia merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi
(pasal 183 KUHAP). Sedang yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (pasal
184 KUHAP). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada suatu kasus perkosaan
dan kejahatan seksual lainnya perlu diperjelas keterkaitan antara:
1) Bukti-bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara,
2) Pada tubuh atau pakaian korban,
3) Pada tubuh atau pakaian pelaku dan
4) Pada alat yang digunakan pada kejahatan ini (yaitu penis)

2.5. Kendala Pembuktian dalam Kasus Perkosaan


Keterkaitan antara berbagai faktor inilah yang seringkali dijabarkan dalam
prisma (segiempat) bukti dan merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan
keyakinan hakim. Pada banyak kasus perkosaan keterkaitan empat faktor ini tidak
jelas atau tidak dapat ditemukan sehingga mengakibatkan tidak timbul keyakinan
pada hakim yang bermanifestasi dalam bentuk suatu hukuman yang ringan dan
sekadarnya. Beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya hal ini adalah hal-hal
sebagai berikut:
a. Masalah keutuhan barang bukti.
Seorang korban perkosaan setelah kejadian yang memalukan tersebut
umumnya akan merasa jijik dan segera mandi atau mencuci dirinya bersih-bersih.
Seprei yang mengandung bercak mani atau darah seringkali telah dicuci dan diganti
dengan seprei yang baru sebelum penyidik tiba di TKP. Lantai yang mungkin
mengandung benda bukti telah disapu dan dipel terlebih dahulu agar "rapi"
kelihatannya bila polisi datang. Ketika korban akan dibawa ke dokter untuk
diperiksa dan berobat seringkali ia mandi dan/atau mengganti pakaiannya terlebih
dahulu dengan yang baru dan bersih. Hal-hal semacam ini tanpa disadari akan
menyebabkan hilangnya banyak benda bukti seperti cairan/bercak mani, rambut
pelaku, darah pelaku dsb yang diperlukan untuk pembuktian di pengadilan. Adanya
kelambatan korban untuk melapor ke polisi karena perasaan malu dan ragu-ragu juga
menyebabkan hilangnya benda bukti karena berlalunya waktu.

b. Masalah tehnis pengumpulan benda bukti


Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal amat
mempengaruhi pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya penyidik mencari sebanyak mungkin benda bukti yang
mungkin ditinggalkan di TKP seperti adanya sidik jari, rambut, bercak mani pada
lantai, seprei atau kertas tissue ditempat sampah dsb. Tidak dilakukannya pencarian
benda bukti, baik akibat kurangnya pengetahuan, kurang pengalaman atau
kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak data yang penting untuk
pengungkanan kasus. Pada pemeriksaan terhadap tubuh korban cara pengambilan
sampel usapan vagina yang salah juga dapat menyebabkan hasil negatif palsu. Pada
persetubuhan dengan melalui anus (sodomi) pengambilan bahan usapan dengan
kapas lidi bukan dilakukan dengan mencolokkan lidi ke dalam liang anus saja tetapi
harus dilakukan juga pada sela-sela lipatan anus, karena pada pengambilan yang
pertama yang akan didapatkan umumnya adalah tinja dan bukan sperma. Adanya
bercak mani pada kulit, bulu kemaluan korban yang menggumpal atau pakaian
korban, adanya rambut pada sekitar bulu kemaluan korban, adanya bercak darah atau
epitel kulit pada kuku jari (jika korban sempat mencakar pelaku) adalah hal-hal yang
tak boleh dilewatkan pada pemeriksaan.

c. Masalah tehnis pemeriksaan forensik dan laboratorium


Kemampuan pemeriksaan pusat pelayanan perkosaan berbeda-beda dari satu
tempat ke tempat lainnya. Suatu klinik yang tidak melakukan pemeriksaan sperma
sama sekali tentu tak dapat membedakan antara robekan selaput dara atau robekan
akibat benda tumpul pada masturbasi. Klinik yang hanya melakukan pemeriksaan
sperma langsung saja tentu tak dapat membedakan tidak adanya persetubuhan
dengan persetubuhan dengan ejakulasi dari orang yang tak memiliki sel sperma
(pascavasektomi atau mandul tanpa sel sperma). Suatu klinik yang hanya melakukan
pemeriksaan sperma dengan uji fosfatase asam saja misalnya tentu hanya dapat
menghasilkan kesimpulan terbatas: ini pasti bukan sperma atau ini mungkin sperma.
Tetapi jika klinik tersebut juga melakukan pemeriksaan lain seperti uji PAN,
Berberio, Florence, pewarnaan Baechi atau Malachite green maka kesimpulan yang

dapat ditariknya adalah: pasti sperma, cairan mani tanpa sperma (pelakunya mandul
tanpa sel sperma atau sudah disterilisasi) atau pasti bukan sperma. Pemeriksaan pada
kasus perkosaan untuk pencarian pelaku dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
pada bahan rambut atau bercak cairan mani, bercak/cairan darah atau kerokan kuku.
Pemeriksaan yang dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan pola permukaaan luar
(kutikula) rambut, pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan sidik DNA.
Pemeriksaan sidik DNA yang dilakukan pada bahan yang berasal dari usapan vagina
korban bukan saja dapat mengungkapkan pelaku perkosaan secara pasti, tetapi juga
dapat mendeteksi jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan banyak pelaku
(salome).
Pemeriksaan golongan darah dan sidik DNA atas bahan kerokan kuku (jika
korban sempat mencakar) juga dapat digunakan untuk mencari pelakunya. Jika
hanya pemeriksaan golongan darah yang akan dilakukan pada bahan usapan vagina,
maka bahan liur dari korban dan tersangka pelaku perlu juga diperiksa golongan
darahnya untuk menentukan golongan sekretor atau non sekretor. Orang yang
termasuk golongan sekretor (sekitar 85% dari populasi) pada cairan tubuhnya
terdapat substansi golongan darah. Kelompok orang ini jika melakukan perkosaan
akan meninggalkan cairan mani dan golongan darahnya sekaligus pada tubuh korban.
Sebaliknya orang yang termasuk golongan non-sekretor (15% dari populasi) jika
memperkosa hanya akan meninggalkan cairan mani saja tanpa golongan darah.
Dengan demikian jika pada tubuh korban ditemukan adanya substansi golongan
darah apapun, maka yang bersangkutan tetap harus dicurigai sebagai tersangkanya.
Adanya pemeriksaan sidik DNA telah mempermudah penyimpulan karena tidak
dikenal adanya istilah sekretor dan non~sekretor pada pemeriksaan DNA. Dalam hal
tersangka pelaku tertangkap basah dan belum sempat mencuci penisnya, maka secara
konvensional leher kepala penisnya dapatdiusapkan ke gelas obyek dan diberi uap
lugol. Adanya sel epitel vagina yang berwarna coklat dianggap merupakan bukti
bahwa penis itu baru bersentuhan' dengan vagina alias baru bersetubuh. Laporan
terakhir pada tahun 1995, menunjukkan bahwa gambaran epitel ini tak dapat
diterima lagi sebagai bukti adanya epitel vagina, karena epitel pria baik yang normal
maupun yang sedang mengalami infeksi kencing juga mempunyai epitel dengan

gambaran yang sama. Pada saat ini jika searang pria diduga baru saja bersetubuh,
maka kepala dan leher penisnya perlu dibilas dengan larutan NaCl. Air cucian ini
diperiksa ada tidaknya sel epitel secara mikroskopik dan jika ada maka pemeriksaan
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan DNA dengan metode PCR(polymerase chain
reaction)

d. Masalah pengetahuan dokter pemeriksa


Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter umum.
Sebagai dokter klinik yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka biasanya
yang menjadi prioritas utama adalah mengobati korban. Ketidaktahuan mengenai
prinsip-prinsip pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya membuat banyak
bukti penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan. Umumnya dokter
kebidanan hanya memeriksa ada tidaknya luka disekitar kemaluan, karena merasa
hanya daerah inilah bidang keahliannya. Akibatnya tanda kekerasan didaerah lainnya
tidak terdeteksi. Pemeriksaan toksikologi atas bahan darah atau urin untuk
mendeteksi kekerasan berupa membuat korban pingsan atau tidak berdaya dengan
obat-obatan umumnya tak pernah dilakukan. Pemeriksaan ada tidaknya cairan mani
biasanya hanya dilakukan dengan pemeriksaan langsung saja, sehingga adanya
cairan mani tanpa sperma tak mungkin dideteksi. Pemeriksaan kearah pembuktian
pelaku seiauh ini boleh dikatakan tak pernah dilakukan karena masih dianggap
bukan kewajiban dokter. Dengan demikian selama ini dasar dari tuduhan terhadap
pelaku perkosaan umumnya adalah hanya dari kesaksian korban dan pengakuan
tersangka saja, padahal kedua alat bukti ini seringkali sulit dipercaya karena sifatnya
yang subyektif.

e. Masalah pengetahuan aparat penegak hokum


Pada kasus-kasus semacam ini arah penyidikan harus jelas arahnya agar
pengumpulan bukti menjadi terarah dan tajam pula. Kesalahan dalam membuat
tuduhan, misalnya akan dapat membuat tersangka menjadi bebas sama sekali. Jika
penyidik, jaksa serta hakim hanya menganggap perlu mencari alat bukti berupa

10

pengakuan terdakwa dan mengabaikan pembuktian secara ilmiah lewat pemeriksaan


medis dan kesaksian ahli maka tentunya pembuktian dilakukan seadanya.

2.6. Kriteria Diagnostik


Yang perlu diperhatikan sebelum pemeriksaan pada kasus perkosaan adalah
setiap pemeriksaan yang dimaksudkan untuk pengadilan harus berdasarkan
permintaan tertulis dari penyidik berwenang. Korban pada kasus ini sebaiknya harus
diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan barang bukti. Kalau korban
datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, maka sebaiknya
pemeriksaan tidak dilakukan, dan sebaiknya korban disuruh kembali kepada polisi.
Setiap Visum et Repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan pada
tubuh korban pada waktu permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Ijin
tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban sendiri atau jika korban adalah
anak-anak, maka ijin dapat diminta pada orang tua atau walinya. Selain itu dalam
pemeriksaan sesorang dokter harus didampingi seorang perawat atau bidan, dan
sebaiknya pemeriksaan dilakukan secepat mungkin tanpa penundaan lagi untuk
menghindari perasaan cemas si korban sendiri. Visum et Repertum sebaiknya
diselesaikan secepat mungkin, karena dengan adanya Visum et Repertum maka
perkara akan dapat cepat diselesaikan. Dalam laporan perkosaan yang diharapkan
dari dokter adalah:
a. Menentukan adanya bukti persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam
vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa
disertai ejakulasi. Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian persetubuhan
dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya:

Besarnya penis dan derajat penetrasinya

Bentuk dan elastisitas hymen

11

12

1. Gambar Hymen belum robek

13

2. Hymen yang mengalami sedikit perubahan ( robek sedikit) karena kecelakaan, terkena
benda keras, jatuh, masturbasi, dll

3. Hymen yang sudah robek

4. Hymen Yang Sudah Pernah Melahirkan.

Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri

Posisi persetubuhan

14

Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan


Dengan demikian, tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat

dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan
pada hymen hanya merupakan adanya suatu benda (penis atau benda lain), yang
masuk ke dalam vagina.

Gambar 1. Robekan hymen dengan dugaan kekerasan seksual

Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat


tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina
merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung
sperma maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut. Komponen yang terdapat di dalam ejakulat
dan dapat diperiksa adalah enzim asam fosfatase, kholin, dan spermin. Baik enzim
asam fosfatase, kholin, maupun spermin bila dibandingkan dengan sperma, nilai
untuk pembuktian lebih rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik.
Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan, oleh karena kadar
asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri), jauh
lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang berada dalam kelenjar
prostat. Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat
dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya dokter tidak dapat secara pasti pula
menentukan bahwa pada wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter dapat
mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya tidak ditemukan tanda-tanda

15

persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada


persetubuhan dan kedua persetubuhan ada tetapi tanda-tandanya tidak dapat
ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan, harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
sangat penting di dalam proses penyidikan. Sperma di dalam vagina masih dapat
bergerak dalam waktu 4-5 jam post-coital, sperma masih dapat ditemukan tidak
bergerak sampai 24-36 jam post-coital, dan bila wanitanya masih akan dapat
ditemukan sampai 7-8 hari. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat
ditentukan dari proses penyembuhan dari selaput dara yang robek. Pada umumnya
penyembuhan tersebut akan tercapai dalam waktu 7-10 hari post-coital. Hal lain
yang dapat diperiksa untuk menentukan terjadinya persetubuhan adalah pemeriksaan
adanya kehamilan dan adanya penyakit kelamin. Terjadinya kehamilan jelas
merupakan tanda adanya persetubuhan, akan tetapi oleh karena waktu yang
dibuthkan untuk itu cukup lama, dengan demikian nilai bukti ini menjadi kurang
oleh karena kemungkinan yang menjadi tersangka pelaku kejahatan menjadi
bertambah, hal mana mempersulit penyidikan dan membutuhkan waktu yang lebih
banyak untuk dapat mengungkapkan kasusnya.
Terjangkitnya penyakit kelamin pada wanita hanya merupakan petunjuk
bahwa wanita itu telah mengalami persetubuhan dengan laki-laki yang menderita
penyakit kelamin sejenis. Penyakit kelamin yang masa inkubasinya singkat lebih
bermakna di dalam upaya pembuktian bila dibandingkan dengan penyakit kelamin
yang masa inkubasinya lama. Tanda-tanda persetubuhan dengan berlangsungnya
waktu akan menghilang dengan sendirinya, luka-luka akan sembuh dan mayat akan
menjadi hancur. Dengan demikian pemeriksaan sedini mungkin merupakan
keharusan, bila dari pemeriksaan diharapkan hasil yang maksimal. Pakaian korban
yang telah diganti, tubuh wanita yang telah dibersihkan akan menyulitkan
pemeriksaan oleh karena keadaannya sudah tidak asli.
.
b. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan.

16

Pada KUHP pasal 285 disebutkan kata kekerasan atau ancaman kekerasan.
Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi paksaan dengan kekerasan
atau dengan ancaman kekerasan. Seorang dokter dapat menentukan apakah ada
tanda-tanda kekerasan. Tetapi ia tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur
paksaan pada tindakan ini. Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak
selalu merupakan akibat paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang
tidak ada hubungannya dengan paksaan. Demikian pula jika dokter tidak
menemukan tanda kekerasan, maka hal itu belum merupakan bukti bahwa paksaan
tidak terjadi. Pada hakekatnya, seorang dokter tidak dapat menentukan unsur
paksaan yang terdapat pada tindak pidana ini. Oleh karena hal ini pada bagian
kesimpulan suatu visum et repertum hanya dituliskan ada tidaknya tanda-tanda
kekerasan serta jenis kekerasan yang menyebabkan. Pada pemeriksaan perlu
diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran,
atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh alkohol, hipnotik, narkotik.
Apabila ada petunjuk bahwa alkohol, hipnotik, atau narkotik telah dipergunakan,
maka dokter perlu mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologi.
Pemeriksaan akan keadaan pingsan atau tidak berdaya ini merupakan hal yang
penting karena sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP pasal 89 bahwa
membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan.

c. Menentukan perkiraan umur korban


Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual seperti
yang dikehendaki pasal 284 dan pasal 287 KUHP adalah merupakan hal yang tidak
mungkin dapat dilakukan. Dengan teknologi kedokteran yang canggih pun hanya
sampai pada perkiraan umur saja. Dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan
bentuk badan korban sesuai dengan umur yang dikatakannya. Keadaan
perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan.
Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 sudah tumbuh atau belum; yang
terjadi pada usia kira-kira 12 tahun, sedangkan gigi geraham ke- 3 akan muncul
pada usia 17-21 tahun atau lebih. Untuk wanita yang telah tumbuh gigi geraham 2-

17

nya, perlu dilakukan foto ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota
geraham 3 sudah mengalami mineralisasi (terbentuk), tapi akarnya belum maka
usianya kurang dari 15 tahun. Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid
pertama atau menarche tak dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia
menarch saat ini tidak lagi pada usia 15 tahun tetapi seringkali jauh lebih muda.

d. Menentukan pantas atau tidak perempuan dikawini


Bila pernikahan dimaksudkan sebagai perbuatan yang suci dan baik, dimana
tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan maka penentuan
apakah seorang wanita itu sudah atau belum waktu untuk dikawin, semata-mata atas
dasar kesiapan biologis saja (yang dapat dibuktikan oleh ilmu kedokteran), dalam
hal ini menstruasi. Bila pada wanita itu telah mengalami menstruasi, maka sudah
waktunya untuk dikawin. Bila seorang wanita menyatakan belum pernah menstruasi,
maka penentuaan ada atau tidaknya ovulasi masih diperlukan. Muller menganjurkan
agar dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah sakit untuk menentukan adakah
selama itu wanita tadi mendapatkan menstruasi. Untuk menentukan apakah seorang
wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum, dapat dilakukan pemeriksaan
vaginal smear.

e. Menentukan apakah korban dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya


Dari anamnesis dokter dapat menentukan apakah perkosaandilakukan pada
korban dalam keadaan sadar ataupun pingsan. Daripemeriksaan tubuh korban dapat
ditentukan apakah korban diperkosadalam keadaan tidak berdaya.

2.7. Pemeriksaan Tersangka Pelaku Pesetubuhan Melawan Hukum


Pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kejahatan kesusilaan dapat dilakukan
melalui pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratorium, setelah sebelumnya
dapat dilakukan wawancara. Pemeriksaan langsung dapat dilakukan terhadap pakaian.
Perlu dicatat adanya bercak semen, darah, dll pada pakaian tersangka. Penentuan
golongan darah penting untuk dilakukan. Mungkin dapat ditentukan tanda-tanda
bekas kekerasan akibat perlawanan oleh korban. Pemeriksaan laboratorium terhadap

18

tersangka pelaku dilakukan untuk menentukan apakah seorang pria baru melakukan
persetubuhan dengan mencari ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Bahan
pemeriksaan yang digunakan adalah cairan yang masih melekat di sekitar corona
glandis. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menekankan kaca objek pada glans penis,
daerah korona, atau frenulum, kemudian diletakkan terbalik di atas cawan yang berisi
larutan lugol. Uap yodium akan mewarnai lapisan pada kaca objek tersebut.
Sitoplasma sel epitel vagina akan berwarna coklat tua karena mengandung glikogen.
Warna coklat tadi cepat hilang namun dengan meletakkan kembali sediaan di atas
cairan lugol maka warna coklat akan kembali lagi. Pada sediaan ini dapat pula
ditemukan adanya spermatozoa.

Gambar 2. Pemeriksaan laboratorium pria tersangka pelaku kejahatan seksual

2.8. Pemeriksaan pada Korban Persetubuhan Melawan Hukum


Seperti halnya pemeriksaan terhadap tersangka pelaku kejahatan kesusilaan,
pemeriksaan terhadap korban kejahatan kesusilaan juga dapat dilakukan melalui
pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratorium yang didahului dengan
wawancara. Berbeda dengan memeriksa pasien klinik seperti yang biasa dilakukan
seorang dokter, memeriksa korban kejahatan kesusilaan harus dilakukan dengan lebih
hati-hati dan seksama mengingat tubuh korban merupakan barang bukti dan korban
mungkin mengalami gangguan psikologis setelah apa yang dialaminya. Untuk itu
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pemeriksaan. Hal-hal tersebut
adalah:
(1) Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis dari
jaksa atau magistrat pembantu. Lazimnya yang bertindak sebagai magistrat

19

pembantu adalah polisi. Polisi yang berpangkat serendah-rendahnya pembantu


letnan satu berwenang mengajukan permintaan tersebut.
(2) Korban harus diantar oleh polisi, karena tubuh korban merupakan korpus delikti
(barang bukti).
(3) Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan pada
tubuh korban pada waktu permintaan untuk visum etrepertum diterima. Jika
dokter telah memeriksa seorang yang datang kerumah sakit, atau di praktik atas
inisiatif sendiri, bukan atas permintaan polisi, dan beberapa waktu kemudian
polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan visum et repertum, dokter harus
menolak. Karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri korban
sebelum ada permintaan untuk dibuatkan visum et repertum, merupakan rahasia
kedokteran, dan ia wajib untuk menyimpannya.
(4) Izin tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban sendiri, atau jika
korban seorang anak, dari orang tua atau walinya. Jelaskan terlebih dahulu
tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan pada pemeriksaan dan jelaskan bahwa
keterangan-keterangan yang diberikan korban danhasil pemeriksaan akan
disampaikan kepada pengadilan.
(5) Seorang perawat mendampingi dokter sewaktu korban diperiksa.
(6) Pemeriksaan jangan ditunda terlalu lama
(7) Segala sesuatu harus dicatat, jangan mengandalkan pada ingatan.
(8) Visum et repertum diselesaikan secepat mungkin.
(9) Kadang-kadang dokter yang berpraktik pribadi diminta oleh seorang ibu atau ayah
untuk memeriksa anak perempuannya, karena ia merasa ragu apakah anaknya
masih perawan, atau karena ia curiga kalau-kalau atas diri anaknya baru terjadi
persetubuhan. Dalam hal seperti itu sebaiknya ditanyakan dahulu maksud
pemeriksaan apakah karena ia ingin mengetahui saja, atau ada maksud untuk
mengadakan penuntutan. Kalau yang tersebut belakangan yang dimaksud,
sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Apabila hal-hal yang perlu
diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan telah terpenuhi, maka dokter dapat
memulai pemeriksaan terhadap korban.

20

Pemeriksaan hendaknya dilakukan secara sistematis dan cepat agar korban tidak
terlalu lama menunggu dalam perasaan cemas. Hal-hal yang harus ada dalam
pemeriksaan korban adalah sebagai berikut:
(1) Data-data
Data yang perlu dicantumkan dalam bagian pendahuluan visum et repertum
adalah:
a. Polisi yang meminta pemeriksaan
b. Nama, umur, alamat, pekerjaan korban (seperti tertulis dalam suratpermintaan)
c. Nama dokter yang memeriksa, tempat, tanggal, dan pukul pemeriksaan
dilakukan
d. Nama dan pangkat petugas polisi yang mengantar korban
e. Nama perawat yang menyaksikan pemeriksaan
(2) Anamnesis
Pada umumnya anamnesis yang diberikan oleh orang sakit dapat dipercaya.
Sebaliknya anamnsesis yang diperoleh dari korban tidak selalu benar. Terdorong
oleh berbagai maksud atau perasaan, korban mungkin mengemukakan hal-hal
yang tidak benar. Anamnesis merupakan sesuatu yang tidak dilihat dan ditemukan
oleh dokter, bukan hasil pemeriksaan objektif, jadi seharusnya anamnesis tidak
dimasukkan dalam visum et repertum. Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan
pada visum et repertum di bawah kalimat keterangan yang diperoleh dari korban.
Dalam mengambil anamnesis dokter meminta kepada korban untuk menceritakan
segala sesuatu tentang kejadian itu. Anamnesis terdiri atas bagian yang sifatnya
umum dan yang sifatnya khusus.
a. Umum

Umur, tanggal lahir

Status perkawinan

Haid: siklus haid, haid terakhir

Penyakit kelamin dan penyakit kandungan

Penyakit lain

Apakah pernah bersetubuh, kapan persetubuhan terakhir, apakah


menggunakan kondom.

21

b. Khusus

Waktu kejadian
Kalau antara kejadian dan dilaporkannya kejadian pada berwajib
terpisah beberapa hari atau minggu, orang sudah dapat mengira bahwa
peristiwa itu bukan peristiwa perkosaan, tetapi persetubuhan yang pada
dasarnya telah disetujui oleh perempuan yang bersangkutan.

Dimana terjadinya
Informasi ini dapat memberi petunjuk dalam pencarian trace
evidence yang berasal dari tempat kejadian.

Apakah korban melawan


Jika korban mengadakan perlawanan, pada pakaian mungkin
didapatkan robekan, dan pada tubuh korban mungkin ditemukan tandatanda kekerasan. Nail scrapping (goresan kuku) menunjukkan adanya selsel epitel dan darah yang berasal dari penyerang. Pada penyerang mungkin
dapat ditemukan tanda-tanda bekas dilawan.

Apakah korban pingsan


Ada kemungkinan korban menjadi pingsan karena ketakutan, tetapi
mungkin juga korban dibuat pingsan oleh pelaku dengan pemberian obatobatan. Dalam hal ini pengambilan sampel urin dan darah untuk
pemeriksaan toksikologi wajib dilakukan.

Apakah telah terjadi penetrasi dan ejakulasi

Apakah setelah kejadian korban mencuci, mandi, dan mengganti pakaian.

(3) Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksaan pakaian
Pakaian dalam keadaan rapi atau tidak. Helai demi helai diteliti apakah
terdapat robekan: baru atau lama, sepanjang jahitan, atau melintang pada
bahan pakaian, kancing putus, bercak darah, airmani, lumpur, dan sebagainya,
benda-benda yang menempel. Pakaian yang mengandung trace evidence
dikirim ke laboratorium kriminologi untuk diperiksa lebih lanjut.
b. Pemeriksaan badan
1) Umum

22

o Lukisan rupanya (rambut, wajah) rapi atau kusut.


o Keadaan emosi: tenang, sedih, gelisah, dan sebagainya.
o Adakah tanda-tanda bekas hilang kesadaran atau tanda-tandabekas
berada di bawah pengaruh alkohol, obat tidur, atau obat bius.
o Apakah ada tanda-tanda needle mark, bila ada makamerupakan indikasi
untuk mengambil sampel darah dan urin.
o Adakah tanda-tanda bekas kekerasan. Memar atau luka lecetpada daerah
mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, pahabagian dalam, punggung.
o Adakah trace evidence yang menempel pada tubuh
a) Perkembangan alat seks sekunder
b) Pupil
c) Tekanan darah, kor, pulmo, abdomen, reflex
2) Khusus (pemeriksaan daerah genital)
o Adakah rambut kemaluan yang melekat menjadi satu karena air mani
yang mengering. Bila ada, rambut tadi digunting untuk diperiksa.
o Adakah bercak air mani di sekitar alat kelamin. Bila ada,hapus dengan
lidi berkapas yang dibasahi larutan garam fisiologis.
o Pada vulva teliti adanya tanda bekas kekerasan seperti hiperemi, edema,
memar, dan luka lecet.
o Periksa jenis selaput dara, adakah ruptur atau tidak. Bila ada, tentukan
ruptur lama atau baru dan catat lokasi rupture tersebut, teliti apakah
sampai insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium.
o Periksa frenulum labiorum pudendi dan comissura labiorumposterior
utuh atau tidak.
o Periksa vagina dan spekulum bila keadaan alat genitalmemungkinkan :
periksa tanda-tanda adanya penyakitkelamin dan periksa tanda-tanda
kehamilan.
(4) Pemeriksaan laboratorium cairan vagina
Sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan pengambilan
sampel. Sampel didapat dari cairan vagina untuk pemeriksaan air mani dan sekret
uretra untuk pemeriksaan penyakitkelamin. Cairan vagina disedot dengan pipet

23

Pasteur, atau diambil dengan ose. Pada anak-anak, atau jika selaput dara utuh
sebaiknya pengambilan bahan dibatasi sampai vestibulum.
a. Penentuan spermatozoa

Tanpa pewarnaan
Setetes cairan vagina diletakkan di atas kaca benda dan diperiksa
dengan pembesaran 500x dengan kondensor diturunkan. Perhatikan
apakah spermatozoa bergerak. Dapat diambil sebagai patokan bahwa
spermatozoa masih bergerak kira-kira 4 jam post koital.

Dengan pewarnaan
Buat sediaan apus dari cairan vagina pada kaca benda, keringkan
di udara, fiksasi dengan api, warnai dengan Malachite-green 1% dalam air,
tunggu 10- 15 menit, cuci dengan air, warnai dengan eosin-yellowish 1%
dalam air, tunggu 1 menit, cuci dengan air, keringkan dan diperikasa di
bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah bagian basis kepala
sperma berwarna ungu, bagian hidung berwarna merah muda.

b. Penentuan cairan mani

Reaksi asam fosfatase


Cairan mani menunjukkan aktitifitas enzim fosfatase yangtinggi,
rata-rata 2500 unit K.A., sedangkan dalam sekret vagina,setelah 8 hari
abstinensia seksualis, ditemukan 0-6 unit. Sebagai reagen digunakan
brentamin fast blue b yang dilarutkan di dalam larutan buffer yang telah
ditambah sodium a-naphtyl fosfat.Enzim asam fosfatase menghidrolisis anaphty fosfat; a-naphtol yang telah dibebaskan bereaksi dengan
brentamine di atas kertas saring, disemprot dengan reagen, ditentukan
dalam berapa detik warna violet timbul (reaction time). Davis dan Wilson
menyatakan bahwa bila waktu reaksi kurang dari 30 detik dapat dianggap
indikasi baik dan adanya cairan mani, jika kurang dari 65 detik dapat
dianggap sebagai indikasi cukup, tetapi masih perlu dikuatkan dengan
pemeriksaan elektroforetik. Waktu reaksi yang lebih dari 65 detik belum
dapat menyingkirkan sepenuhnya adanya cairan mani, karena pernah

24

ditemukan waktu reaksi yang lebih dari 65 detik, tetapi spermatozoa


ditemukan.

Tes Florence
Cairan vagina ditetesi larutan yodium. Kristal yang terbentuk
diamati di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan tampak kristal-kristal
kholin-peryodida tampak berbentuk jarum- jarum yang berwarna coklat.

Tes Berberio
Cairan vagina ditetesi larutan asam pikrat, kemudian Kristal yang
terbentuk diamati di bawah mikroskop. Hasil yang diharapkan adalah
terbentuknya kristal-kristal spermin pikrat berbentuk rhombik atau jarum
kompas yang berwarna kuning kehijauan.

Elektroimmunodifusi
Digunakan serum anti air mani manusia. Selain spesifik terhadap
antigen manusia, serum ini juga mengandung zat anti terhadap enzim
fosfatase. Apabila serum ini direaksikan dengan air mani akan terbentuk
enzim antibodi kompleks yang ternyata masih memiliki sifat enzimatik
dan dapat dinyatakan dengan reagen asam phospatase. Sebagai medium
digunakan plat agar yang mengandung serum anti dalam konsentrasi kecil.

Elektroforetik
Digunakan plat akrilamide, dikembangkan dalam suatu larutan
buffer pH 3 dan dilihat di bawah sinar ultraviolet. Asam fosfatese seminal
bergerak sejauh 4 cm dan asam fosfatase vaginal sejauh 3 cm.

(5) Pemeriksaan air mani yang terdapat pada pakaian


a. Visual
Tampak sebagai bercak yang berbatas jelas dan lebih gelap darisekitarnya.
Bercak yang sudah agak tua berwarna sedikit kekuning-kuningan. Pada bahan
sutera atau nilon batasnya sering tidak jelas,tetapi selalu lebih gelap dari
sekitarnya.
b. Sinar ultraviolet
Menunjukkan flouresensi putih. Apa yang menyebabkan hal ini tidak
diketahui. Cara ini kurang memuaskan. Bercak air mani pada sutera buatan,

25

nilon, biasanya tidak memberikan flourosensi. Bahan makanan, urine, sekret


vagina juga sering menimbulkan flourosensi.
c. Taktil
Diraba dengan jari-jari tangan terasa kaku seperti cairan kanji yang tidak
menyerap. Bila diraba permukaan bercak terasa kasar.
d. Penapisan dengan reagen asam fosfatase
Selembar kertas saring yang dibasahi dengan aqua destilata dilekatkan di
atas pakaian atau sprei yang diperiksa. Setelah 5-10 menit kertas saring
diangkat, didiamkan sampai hampir kering dan disemprot dengan reagen. jika
terbentuk bercak violet, kertas saring diletakkan kembali di atas bahan sesuai
dengan letaknya semula.Dengan demikian letak bercak mani pada bahan dapat
dilokasi.
e. Pencairan spermatozoa
Konsentrasi spermatozoa yang terbesar terdapat di bagian sentral dari
bercak. Dari bagian itu diambil sebagian kecil, dipulas dengan pewarnaan
Baeechi. Bahan dipulas selama 2 menit, dicuci didalam HCl 1%, dihidrasi
dalam alkohol 70%, 80%, dan 95-100%, dan dijernihkan dengan xilol.
Kemudian dikeringkan dengan meletakkannya di atas kertas saring. Dengan
jarum preparir atau jarum suntik diambil sehelai atau dua benang, diletakkan di
atas kaca mikroskopik dan diurai sampai menjadi serabut-serabut. Ditutup
dengan balsem Kanada dan diperiksa dengan pembesaran 500x.

2.9. Pemeriksaan DNA


Pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau
menemukan bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada
banyak lokus sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya. Pola
DNA ini dapat divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang berbaris membentuk
susunan yang mirip dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya
ternyata pita-pita DNA inibersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang
memiliki pita yang sama persis dengan orang lain. Pada kasus perkosaan
ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau karban yang ternyata identik

26

dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa tersangkalah yang menjadi


donor sperma. Adanya kemungkinan percampuran antara sperma pelaku dan cairan
vagina tidak menjadi masalah, karena pada proses kedua jenis DNA ini dapat
dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya kesalahan yang mungkin terjadi adalah
kalau pelakunya memiliki saudara kembar identik. Perkembangan lebih lanjut pada
bidang forensik adalah ditemukannya pelacak DNA yang hanya melacak satu lokus
saja (single locus probe). Berbeda dengan tehnik Jeffreys yang menghasilkan banyak
pita, disini pita yang muncul hanya dua. Penggunaan metode ini pada kasus
perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat digunakan untuk membuat
perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan pelaku lebih dari satu.
Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (Polymerase
Chain Reaction atau PCR) membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA.
Dengan metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi
masalah karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di
dalam mesin yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini
waktu pemeriksaan juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula.
Pada metode ini analisis DNA dapat dilakukan dengan sistem dot blot yang
berbentuk bulatan berwarna biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita DNA
atau dengan pelacakan urutan basa dengan metode sekuensing.

27

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Perkosaan adalah suatu tindakan kriminal di mana si korban dipaksa untuk
melakukan aktivitas seksual, khususnya penetrasi dengan alat kelamin, di luar
kemauannya sendiri. Perkosaan sekarang dikenal sebagai sebuah tindak kriminal
perilaku penyerangan terhadap suatu anggota dari suatu kelompok seksual oleh suatu
anggota kelompok seksual lainnya. Dalam pengertian lain, perkosaan adalah segala
bentuk pemaksaan hubungan seksual. Dalam perundang-undangan yang ada di
Indonesia, Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak penyidik
membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu
pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan membutuhkan
bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini
yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan
bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan
mengenai keadaan korban. Kekerasan seksual masih merupakan hal yang tabu dan
memalukan di lingkungan masyarakat. Karena tindak perkosaan dapat memberi
dampak psikologis yang besar bagi korbannya, kasus perkosaan seringkali gagal
terungkap dan terdapat banyak kesulitan dalam pembuktiannya, terutama di
Indonesia. Pembuktian secara kedokteran pada setiap kasus kejahatan kesusilaan,
seperti perkosaan, sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada tidaknya
tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur, serta pembuktian
apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau
tidak. Proses pemeriksaan tersebut harus dilakukan dengan teliti dan sewaspada
mungkin, pemeriksa juga harus yakin akan semua bukti yang ditemukannya karena
tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna
memperoleh lebih banyak bukti, karena semuanya berhubungan dengan bukti-bukti
yang akan menjadi dasar untuk membebaskan atau menuntut tersangka pelaku
perkosaan tersebut.

28

3.2. Saran
Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan
kejahatan seksual lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter umum.
Sebagai dokter klinik yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka biasanya
yang menjadi prioritas utama adalah mengobati korban. Ketidaktahuan mengenai
prinsip- prinsip pengumpulan benda buktidan cara pemeriksaannya membuat banyak
bukti penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan. Selain itu, akan
lebih baik apabila dalam kasus perkosaan dapat dilengkapi dengan visum yang
melibatkan psikiater dan psikolog yang dapat menelaah salah satu gejala jangka
panjang seperti post traumatic stress disorder atau post traumatic rape syndrome.
Keterlibatan psikiater atau relawan pendamping (umumnya psikolog, sosiolog, atau
sarjana keperawatan) sebagai "lingkaran dalam" korban karena berkesempatan
menangkap aktualitas penderitaan korban. Adapun dokter forensik sering
berkesempatan memeriksa lewat dari tiga hari kejadian perkosaan.
Semoga

kedepannya

penanganan

kasus

perkosaan

dapat

semakin

ditingkatkan, karena perkosaan merupakan pelanggaran inti dasar sekaligus


keseluruhan dari trias HAM perempuan. Trias HAM perempuan tersebut yaitu hak
atas persamaan, hak atas otonomi, dan hak integritas pribadi.

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 1994. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Bagian


Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, et al. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik . Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
3. Idries A. 1997.Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Binarupa Aksara,Jakarta.
4. Khumaini K. 2009. Lemahnya Sanksi Bagi Pelaku Perkosaan & Pelecehan Seksual.
[online], The Aceh Institute. Dari http: //id.acehinstitute.org [ 20 Oktober 2012].
5. Kompas. 2003. Hukum Tak Berpihak pada Korban Perkosaan. [online]
Dari:URL:http://www.kompas.com/ [ 20 Oktober 2012].
6. Syamsudin K. 2004. Persetubuhan Melawan Hukum. Departemen Obstetri dan
Ginekologi Universitas Sriwijaya, Palembang.
7. Wikipedia.Perkosaan. [online] Dari: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerkosaan
[ 20 Oktober 2012].
8. Wikipedia. Rape. [online] Dari: URL: http://en.wikipedia.org/wiki/Rape [ 20 Oktober
2012].

Anda mungkin juga menyukai