fokus perhatian masyarakat luas, karena akibatnya sangat cepat dirasakan oleh masyarakat
sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut.
Pencemaran minyak semakin banyak terjadi sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan
minyak untuk dunia industri yang harus diangkut dari sumbernya yang cukup jauh,
meningkatnya jumlah anjungan anjungan pengeboran minyak lepas pantai. dan juga karena
semakin meningkatnya transportasi laut.
Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang
kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut.
Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke
daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari
masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Menurut Fakhrudin (2004), lapisan minyak
juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang
akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob.
Lapisan minyak yang tergenang tersebut juga akan mempengarungi pertumbuhan rumput laut ,
lamun dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat
mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi, selain itu juga akan
menghambat terjadinya proses fotosintesis karena lapisan minyak di permukaan laut akan
menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam zona euphotik, sehingga rantai makanan yang
berawal pada phytoplankton akan terputus Jika lapisan minyak tersebut tenggelam dan menutupi
substrat, selain akan mematikan organisme benthos juga akan terjadi perbusukan akar pada
tumbuhan laut yang ada.
Pencemaran minyak di laut juga merusak ekosistem mangrove. Minyak tersebut berpengaruh
terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, dimana akar
tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Jika minyak
mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan pembusukan pada akar mangrove
yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut. Tumpahan minyak juga akan
menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup berasosiasi dengan hutam mangrove seperti
moluska, kepiting, ikan, udang, dan biota lainnya.
Ekosistim terumbu karang juga tidak luput dari pengaruh pencemaran minyak . Menurut
O'Sullivan & Jacques (2001), jika terjadi kontak secara langsung antara terumbu karang dengan
minyak maka akan terjadi kematian terumbu karang yang meluas. Akibat jangka panjang yang
paling potensial dan paling berbahaya adalah jika minyak masuk ke dalam sedimen. Burung laut
merupakan komponen kehidupan pantai yang langsung dapat dilihat dan sangat terpengaruh
akibat tumpahan minyak . Akibat yang paling nyata pada burung laut adalah terjadinya penyakit
fisik (Pertamina, 2002). Minyak yang mengapung terutama sekali amat berbahaya bagi
kehidupan burung laut yang suka berenang di atas permukaan air, seperti auk (sejenis burung
laut yang hidup di daerah subtropik), burung camar dan guillemot ( jenis burung laut kutub).
Tubuh burung ini akan tertutup oleh minyak, kemudian dalam usahanya membersihkan tubuh
mereka dari minyak, mereka biasanya akan menjilat bulu-bulunya, akibatnya mereka banyak
minum minyak dan akhirnya meracuni diri sendiri. Disamping itu dengan minyak yang
menempel pada bulu burung, maka burung akan kehilangan kemampuan untuk mengisolasi
temperatur sekitar ( kehilangan daya sekat), sehingga menyebabkan hilangnya panas tubuh
burung, yang jika terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan burung tersebut kehilangan
nafsu makan dan penggunaan cadangan makanan dalam tubuhnya.
Peristiwa yang sangat besar akibatnya terhadap kehidupan burung laut adalah peristiwa pecahnya
kapal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut sekitar 10.000 ekor
di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi oleh genangan minyak ( Farb,
1980 ). Pembuangan air ballast di Alaska sekitar Pebruari-Maret 1970 telah pula mencemari
seribu mil jalur pantai dan diperkirakan paling sedikit 100 ribu ekor burung musnah (Siahaan,
1989 dalam Misran 2002). .
Menyadari akan besarnya bahaya pencemaran minyak di laut, maka timbullah upaya-upaya
untuk pencegahan dan penanggulangan bahaya tersebut oleh negara-negara di dunia. Diakui
bahwa
prosedur
penanggulangan
seperti:
pemberitahuan
bencana,
evaluasi
strategi
Sejak September 2003 Departemen Kelautan dan Perikanan memulai Gerakan Bersih pantai dan
Laut (GBPL). Gerakan ini bertujuan untuk mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk
mewujudkan laut yang biru dan pantai yang bersih pada lokasi yang telah mengalami
pencemaran. Dengan gerakan ini diharapkan bukan hanya didukung oleh pemerintah dan
masyarakat, namun juga didukung oleh para pengusaha minyak dan gas bumi yang beroperasi di
Indonesia.
Jutaan tahun lampau sebelum manusia memiliki kemampuan memanfaatkan minyak bumi,
pencemaran minyak di lautan sebetulnya telah terjadi. Material mengandung minyak yang
memasuki lautan berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan secara alami dan melalui
presipitasi hidrokarbon dari atmosfer. Hanya saja sebagian besar pencemar akan di biodegradasi
(diuraikan) oleh organisme secara alami (meskipun dalam jangka waktu lama) sehingga dampak
buruk terhadap lingkungan menjadi sangat kecil.
Kini, tumpahan minyak diakibatkan oleh kegiatan penambangan lepas pantai, kebocoran dan
kecelakaan kapal tanker, kebocoran saluran pipa minyak, dan lainnya, telah menimbulkan
kerusakan yang hebat pada tingkat lokal baik bagi tumbuhan, hewan ataupun pada manusia
(secara tidak langsung).
Dampak
Buruk
Pencemaran
Minyak
Di
Laut
Akibat buruk yang segera terlihat adalah rusaknya estetika pantai akibat penampakan dan bau
dari material minyak. Residu yang berwarna gelap yang terdampar di pantai akan menutupi
batuan, pasir, tumbuhan dan hewan. Gumpalan tar yang terbentuk dalam proses pelapukan
minyak akan hanyut dan terdampar di pantai. Akan sulit menemukan bagian pantai yang tidak
terkontaminasi dikarenakan penyebarannya yang cepat. Seperti kasus di perairan pulau Pramuka,
kepulauan Seribu.
Tumpahan minyak akan mengakibatkan kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek
subletal. Efek letal yaitu reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel
ataupun subsel pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal
yaitu memengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian
secara langsung. Namun kematian dimungkinkan akibat terganggunya proses makan,
pertumbuhan dan perilaku tidak normal. Terumbu karang akan mengalami efek letal dan subletal
dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya.
Pertumbuhan bakteri laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa toksik dalam komponen
minyak bumi, juga senyawa toksik yang terbentuk dari proses biodegradasi. Bahkan dalam
beberapa kasus, senyawa toksik dari proses biodegradasi dapat lebih berbahaya. Dimungkinkan
pula terjadi pertambahan mikroorganisme/organisme yang mampu memanfaatkan hidrokarbon
minyak bumi, dikarenakan terjadi penambahan nutrien pada lokasi yang tercemar, untuk
metabolismenya ataupun yang memanfaatkan produk metabolisme tersebut, tetapi secara umum
terdapat pengurangan jenis mikroorganisme dan organisme.
Pengaruh lainnya adalah penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan toksik pada
slick (lapisan minyak di permukaan air). Pengaruh pada plankton tidak signifikan dikarenakan
kemampuannya mereproduksi secara cepat, sehingga penurunan populasinya yang sempat terjadi
bisa dikembalikan. Berbeda dengan plankton, udang-udangan, ikan dan moluska yang terdapat di
antara plankton akan sangat terpengaruh dikarenakan proses pemulihannya memakan waktu
bertahun-tahun.
Dampak yang sangat terasa dialami organisme yang tidak bisa bergerak (immobile) seperti
organisme bentik karena tidak bisa lolos dari wilayah tercemar. Dalam beberapa kasus
pemulihan pada organisme bentik memakan waktu lebih dari 10 tahun. Apalagi bila kejadian
tumpahan minyak di pantai dengan dasar lembut (soft bottom) dimana minyak mampu persisten
dalam jangka waktu lama dibandingkan pantai berbatu (berdasar keras).
Yang paling memprihatinkan adalah terjadinya kematian pada burung-burung laut. Hal ini
karena slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk hinggap di atasnya
ataupun menyelam guna mencari makanan. Saat kontak dengan minyak, terjadi peresapan
minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan isolasi sehingga burung akan
kedinginan untuk selanjutnya mati. Kematian burung dalam jumlah besar terjadi setiap ada
pencemaran minyak di laut. Kehilangan jumlah populasi burung tidak tergantikan dalam waktu
pendek karena laju reproduksinya yang lambat dan umurnya relatif panjang. Apalagi upaya
menyelamatkan burung dengan cara membersihkannya seringkali tidak berhasil.
Pada mamalia laut yang mudah bergerak (mobile) pengaruh tumpahan minyak biasanya kecil
dikarenakan kemampuannya menghindar dari cakupan daerah tumpahan.
Pengaruh tidak langsung yang dialami manusia adalah dengan melihat kerusakan yang dialami
oleh ikan. Jumlah ikan yang mati memang tidak terlalu banyak dikarenakan kemampuannya
menghindar. Namun, ancaman terbesar dialami oleh bentic fish yang mengalami akumulasi
minyak dalam tubuhnya, dan area bertelur (spawning area) karena fase larva sangat sensitif
terhadap toksisitas minyak. Ternjadi akumulasi senyawa aromatik (karsinogen) pada jaringan
ikan. Dan manusia baru merasakan keberadaan hidrokarbon minyak bumi di jaringan ikan /
hewan yang dimakannya pada konsentrasi 5 20 ppm.
Penelitian pada insiden Exxon Valdez pada 24 Maret 1989 di Prince William Sound, Alaska
dimana lebih dari 11 juta gallon minyak tumpah menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa
aromatik pada kerang Mytilus Trossulus meningkat dua kali lipat dalam waktu 6 bulan setelah
terjadi tumpahan.
Pemantauan Pencemaran Minyak Di Laut
Sebelum upaya penanggulangan tumpahan minyak dilakukan, maka tindakan pertama yang
diambil adalah melakukan pemantauan tumpahan yang terjadi guna mengetahui secara pasti
jumlah minyak yang lepas ke lautan serta kondisi tumpahan, misalnya terbentuknya emulsi.
Ada dua jenis upaya yang dilakukan yaitu dengan pengamatan secara visual dan penginderaan
jauh (remote sensing). Karena ada keterbatasan pada masing-masing teknik tersebut, seringkali
digunakan kombinasi beberapa teknik.
Pengamatan visual melalui pesawat merupakan teknik yang reliable, namun sering terjadi pada
peristiwa tumpahan minyak yang besar dengan melibatkan banyak pengamat, laporan yang
diberikan sangat bervariasi.
Ada beberapa faktor yang membuat pemantauan dengan teknik ini menjadi kurang dapat
dipercaya seperti pada tumpahan jenis minyak yang sangat ringan akan segera mengalami
penyebaran (spreading ) dan menjadi lapisan sangat tipis. Pada kondisi pencahayaan ideal akan
terlihat warna terang atau pelangi. Namun, seringkali penampakan lapisan ini sangat bervariasi
tergantung jumlah cahaya matahari, sudut pengamatan dan permukaan laut. Karenanya,
pengamatan ketebalan minyak berdasarkan warna slick kurang bisa dipercaya. Faktor lainnya
adalah kondisi lingkungan setempat dan prediksi coverage area.
Cara kedua dengan menggunakan metode penginderaan jarak jauh yang dilakukan dengan
berbagai macam teknik seperti Side-looking Airborne Radar (SLAR) yang telah digunakan
secara luas. SLAR memiliki keuntungan yaitu bisa dioperasikan segala waktu dan segala cuaca,
menjangkau wilayah yang lebih luas dengan hasil pengindraan lebih detail dengan kekintrasan
tinggi dan bisa ditransmisikan. Sayangnya teknik ini hanya bisa mendeteksi laisan minyak yang
tebal dan tidak bisa mendeteksi minyak yang berada dibawah air dan kondisi laut sangat tenang.
Selain SLAR digunakan pula teknik Micowave Radiometer, Infrared-ultraviolet Line Scanner
dan LANDSAT Satellite System. Berbagai teknik ini digunakan besama guna menghasilkan
informasi yang akurat dan cepat.
Penanggulangan Pencemaran Minyak Di Laut
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya in-situ burning, penyisihan
secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersan.
Setiap teknik ini memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi
tertentu.
In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan air sehingga mampu mengatasi
kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta
air laut yang terasosiasi, yang dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini
membutuhkan ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier
yang tahan api.
Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa tumpahan besar yang memunculkan
kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk
dibakar serta evaporasi pada komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu
pembakara yang tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi. Juga,
kemungkinan penyebaran api yang tidak terkontrol.
Cara kedua yaitu penyisihan minyak secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir
tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah
dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer.
Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai pemecahan ideal terutama untuk
mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada
jam-jam awal tumpahan. Sayangnya, keberadaan angin, aur dan gelombang mengakibatkan cara
ini menemui banyak kendala.
Cara ketiga adalah bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan
dengan menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk
yang kurang berbahaya seperti CO2 , air dan biomass. Selain memiliki dampak lingkunga kecil,
cara ini bisa mengurangi dampak tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini hanya bisa
diterapkan pada pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tidak efektif
untuk diterapkan di lautan.
Cara keempat dengan menggunakan sorbent yang bisa menyisihkan minyak melalui mekanisme
adsorpsi (penempelan minyak pad permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke
dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga
mudah dikumpulkan dan disisihkan.
Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah disebarkan di permukaan
minyak, diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas,
jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis
(busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon)
Cara kelima dengan menggunakan dispersan kimiawi yaitu dengan memecah lapisan minyak
menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke
dalam tumpahan. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan
(berasal dari kata : surfactants = surface-active agents atau zat aktif permukaan) (lebih jauh lihat
: Dispersan Kimiawi, Salah Satu Solusi Pencemaran Minyak di Laut ).
Epilog
Mengingat bahwa tumpahan minyak mentah membawa akibat yang amat luas pada lingkungan
laut maka penanganannya tidak bisa diserahkan hanya pada satu institusi pemerintah saja. Perlu
melibatkan kerja sama berbagai institusi seperti Departemen Lingkungan Hidup, Departemen
Pertambangan dan Energi, Kepolisian, Pemerintah Daerah, Kementrian Riset dan Teknologi,
Departeman Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, termasuk pula masyarakat dan
kalangan LSM. Kondisi ini perlu dipikirkan sejak dini.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa penanggulangan tumpahan minyak bukan hanya
meliputi cara pemantauan yang menuntut teknologi yang canggih, cara menghilangkan minyak
yang menuntut penggunaan teknologi yang bisa dipertanggungjawabkan dan ramah lingkungan,
namun meliputi pula penelitian dampak tumpahan minyak tersebut dan upaya rehabilitasi
lingkungan yang tercemar baik hewan, tumbuhan, maupun estetika laut dan pantai.
Bagaimanapun juga luas wilayah laut Indonesia sebesar 2/3 dari seluruh wilayah nusantara, dan
pantai sepanjang lebih dari 80.000 km begitu berharga dan harus dijaga. Terlebih bila mengingat
bahwa sekarang ini sebagian besar wilayah pantai tersebut telah mengalami kerusakan parah
akibat ketidaktahuan, keteledoran, dan penggunaan yang menyalahi rambu-rambu keamanan
lingkungan.
Tampaknya perlu diberikan aturan yang tegas di dalam hal eksplorasi dan eksploitasi minyak
serta penggunaan bahan bakar minyak pada sarana transportasi laut. Dan hukuman yang setimpal
bila terjadi penyalahgunaan aturan yang ada.