Anda di halaman 1dari 39

LAPSUS

Congestive Heart Failure dengan Crhonic


Kidney Disease dan Efusi Pleura e.c
Diabetes melitus dan Hipertensi

Disusun oleh :
Ni Made Ewik S (07700287)

Pembimbing :
dr. Budi Prakoso Sp.PD

SUB DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RS TK. II dr. SOEPRAOEN-MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMASURABAYA

2013-2014

Identitas Pasien

Pasien Ny.M berusia 77 tahun, alamat, Malang, pekerjaan ibu rumah tangga,
agama Islam, nomer register 176xxx.
Presentasi Kasus
Pasien datang ke RS Tk. II Dr. Soepraoen Malang dengan keluhan sesak napas
sejak 1 jam sebelum MRS. Sesak timbul saat pasien sedang beristirahat. Pasien juga
merasakan sesak dan menggih menggih setelah dari kamar mandi. 2 tahun ini pasien
hanya bisa berbaring, tidak banyak beraktifitas karena pasien cepat merasa lelah dan
menggih-menggih. Badan terasa lemas. Saat Tidur malam hari, pasien harus
menggunakan 3-4 bantal sampai posisi setengah duduk, karena pasien merasa sesak
jika posisi tidur rendah. Dada kadang terasa nyeri dan ampek seperti tertindih. nyeri
dirasakan sampai ke lengan kiri, lengan dan bahu kiri terasa seperti kesemutan. Batuk
(+), batuk kadang-kadang, lebih sering malam hari. Tidak ada dahak. 2bulan ini, kaki
dan tangan pasien mulai membengkak. Kaki terasa lemas saat berjalan. Demam (-),
muntah (-), mual (+). BAK sedikit, sehari BAK 3-4 kali, warna kuning keruh. BAB
normal biasa.
Riwayat penyakit dahulu, pasien mempunyai sakit tekanan darah tinggi 10 th,
penyakit kencing manis disangkal, penyakit jantung, didiagnosis

pembengkakan

jantung oleh dokter di RST Soepraoen.


Riwayat Penyakit Keluarga, pasien menyangkal adanya riwayat sakit yang
sama.
Riwayat Pengobatan , pasien mengonsumsi obat dari dokter yaitu HCT,
Furosemid, Spironolactone, Erytromicine, Metil prednisolone dan Simvastatin.
Pasien suka minum jamu jika merasa badan pegal-pegal.

Tidak pernah

merokok, suka minum kopi.


Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit berat, kesadaran kompos mentis,
tinggi badan 150cm, berat badan saat ini 65kg, BMI 28,8 kg/m, dari vital sign
didapatkan tekan darah 150/70 mmHg, nadi 74 x/menit, respiratory rate 30 x/menit,
suhu 36,7 C axilar.
Pada pemeriksaan kepala, bentuk oval, rambut warna hitam sebagian putih,
pada kedua mata pasien konjungtia palpebra inferior tampak pucat, dan sclera tidak
ikterik. Pada leher JVP 5+5cm H2O, tidak ada pembesaran KGB, deviasi trakea
maupun masa. Kemudian pada pemeriksaan thoraks pulmo, inspeksi pergerakan
kedua hemisfer simetris, tidak ada retraksi otot pernapasan, ada pernapasan cuping
2

hidung, tidak ada penonjolan, tidak ada penyempitan ICS, pada palpasi fremitus
kanan sama dengan kiri, pada auskultasi ditemukan suara suara nafas menurun,
terdapat ronkhi basah kasar di kedua lapang paru depan maupun belakang, wheezing
tidak ada pada kedua hemisfer pulmo. Pada perkusi redup di kedua basal paru.
Kemudian pada pemeriksaan thoraks jantung, pada inspeksi ictus cordis tidak terlihat,
pada palpasi ictus cordis teraba di ICS VII axila line anterior sinistra, pada asukultasi
irama jantung regular, tidak terdengar murmur ataupun galop, pada perkusi batas
jantung didapatkan batas kiri di ICS VII axial line anterior sinistra, batas kanan di ICS
V parasternal line dextra, pinggang jantung di ICS VI parasternal line sinistra. Pada
pemeriksaan fisik abdomen, pada inspeksi bentuk cembung, umbilicus cekung, tidak
terdapat vena collateral, tidak ada penonjolan, tidak ada caput medusa, tidak ada
hernia. Pada auskultasi didapatkan suara peristaltic usus normal, tidak ada bruit. Pada
palpasi dinding perut supel, nyeri tekan (-), dan tidak ada pembesaran organ. Pada
perkusi tidak didapatkan meteorismus, shifting dullness, undulasi. Pada ekstremitas
superior dan inferior didapatkan oedem, akral hangat.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan adalah EKG, foto thoraks
dengan bacaan : Cor membesar kekiri bawah, Pulmo : perselubungan perivaskuler,
Kedua sudut costofrenikus tumpul, Kesimpulan: decompensatio cordis dan pleural
efusi bilateral. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan hasil
hemoglobin 10,1 mg/dL, lekosit 4.800 /cmm, trombosit 212.000, PCV 31,9 %, gula
darah sesaat 249 mg/dL, ureum 138 mg/dL, kreatinin 3,07 mg/dL, SGOT 21 U/L,
SGPT 20 U/L. Natrium 147,8 mmol/L, Kalium 6,49 mmol/L, Chlorida

111,2

mmol/L
Diagnosis Kerja
Congestive heart failure NYHA IV
Crhonic Kidney Disease stadium 4
Efusi pleura bilateral
Diabetes tipe II
Hipertensi stage I

Penatalaksanaan
Rencana diagnosis:
3

Ekokardiografi

Usulan lab enzim jantung : CKMB

Rencana terapi:
-

Non farmakologis:
o Pastikan jalan napas tetap adekuat
o Bed rest
o Diet rendah garam

Farmakologis:
o Oksigen 3-4L/menit
o ACE-I
o Diuretic
o Laxadin
o Beta blocker
o OAD

Rencana monitoring:
-

Vital Sign

ECG serial

GDA dan GD 2jam PP

Tinjauan pustaka

Gagal Jantung Kongestif (CHF)


Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. 2

Beberapa istilah dalam gagal jantung2:


1.Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan
echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas
fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi
ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi,
pseudo-normal, tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan
resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A V,

beri-beri, dan Penyakit Paget . Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat
dibedakan.
3.Gagal Jantung Kiri dan Kanan (CHF)
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung
kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena
sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.
Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel,
maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun
tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara
tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok,
namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure , hampir
selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure),
karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal
ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol,
peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan
tekanan vena . Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung
atau seluruh rongga jantung.
III. 2 Etiologi 1,2
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta
dan defek septum ventrikel, beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
infark

miokardium

dan

kardiomiopati.

Faktor-faktor

yang

dapat

memicu

perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat


berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit
katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik (CAD), dan penyakit miokardium
6

primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan
penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien
dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid.
III. 3 Patofisiologi 2
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan
timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang
menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis.
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu
dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup
peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin
memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun,
kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak

saat

beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang


efektif.
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah
peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik
simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan
medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung
(efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume
darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah
misal kulit dan ginjal untuk

mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.

Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk
selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar
katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama selama
latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam

darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons


miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan
berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.
2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-AngiotensinAldosteron :
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium
dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan
aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas.
Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai
serangkaian peristiwa berikut:
-Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
-Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
-Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensinI
-Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
-Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
-Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan
darah.
3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah
tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan
kontraksi ventrikel.
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan;
namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala, meningkatkan
kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan
kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir
dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat
karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen
miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih
lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan
kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan

gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini
adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.

Gambar Patofisiologi dan Simptomatologi CHF.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap
derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas
gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal
jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih
awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif
bervariasi diantara individu sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan juga
tergantung pada derajat penyakit.
9

Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun


kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala
kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh
banyak

kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga

berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa
sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.

Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang
paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat
kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya
tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum
kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial
dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang
progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal
jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama disebabkan oleh
redistribusi aliran darah dari bagian- bagian tubuh yang di bawah ke arah
sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan
menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal
Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan
manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan
dispnea atau ortopnea.

Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada
posisi berbaring.

Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas
dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru
karena pengaruh gaya gravitasi.

Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi


akibat distensi vena.

Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena
sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher
mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara
paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat

10

menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama


inspirasi.

Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan
kapsula hati.

Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat
disebabkan kongesti hati dan usus.

Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial.


Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama
pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang
mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan
reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal
pada waktu istirahat.

Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik
secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi
paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan
daripada gagal jantung kanan yang nyata.

Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat


mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia
ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf
simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian mendadak
dalam situasi ini.

Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG,
ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis :
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif
Kriteria Major :

11

1. Paroksismal nokturnal dispnea


2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau 1 kriteria major dan
2 kriteria minor.
Klasifikasi menurut

New York Heart Association (NYHA), merupakan

pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan


tingkat aktivitas fisik, antara lain:

NYHA class I , penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan


fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat
lelah, sesak napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.

NYHA class II , penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.


Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti
kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.

NYHA class III , penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan
tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.

12

NYHA class IV , penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun


tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan
kegiatan fisik meskipun sangat ringan.

b. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula
darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah
untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau
riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan
kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.
3. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang- kadang efusi pleura.
begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab
nonkardiak pada gejala pasien.
4. Penilaian fungsi LV :
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi,
dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram
2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran
dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup
dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan
dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai
gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2- D/Doppler juga bernilai
untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting
dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis
komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam
penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV

13

adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah


diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini
diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan
sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada
afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral
sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun
demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya
adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik
akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis,
meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi.

Non farmakologi :
a. Anjuran Umum
-

Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan

Aktivasi social dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti


biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa
dilakukan.

Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

Vaksinasi terhadap infeksi influenza dan pneumokokus bila mampu.

Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat,


penggunaan hormone dosis rendah masih dapat dianjurkan.

b. Tindakan Umum
-

Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan


dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal
jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan).

14

Hentikan rokok

Hentikan alcohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang


lainnya.

Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30


menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban
70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan
sedang).

Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

Farmakologi
-

Diuretic : kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan


paling sedikit diuretic regular dosis rendah dengan tujuan untuk
mencapai tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan edema.
Permulaan dapat digunakan loop diuretic atau tiazid. Bila respom tidak
cukup baik, dosis dapat dinaikan, berikan diuretic intravena atau
kombinasi loop diuretic dengan tiazid. Diuretic hemat kalium,
spironolakton dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas
pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional
IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.

Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal,


dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel
kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa
minggu sampai dosis yang efektif.

Penyekat beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian


mulai dengan dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu
dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila
keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III.
Penyekat beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol.
Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretic.

Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada


kontraindikasi penggunaan penghambat ACE.
15

Kombinasi hidralazin dengan ISDN memberi hasil yang baik pada


pasien

yang

intoleran

dengan

penghambat

ACE

dapat

dipertimbangkan.
-

Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung


disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi
atrial, digunakan bersama-sama diuretic, penghambat ACE, penyekat
beta.

Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan


emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi
ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial
kronis maupun dengan riwayat emboli, thrombosis dan transient
ischemis attack, thrombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.

Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik


atau aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus
dihindarkan kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia
klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial
dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak.

Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis


untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.

Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun
bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada
pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai
dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan
kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit),
insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat.
Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa
kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark
miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah

16

akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami
gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi
paliatif yang sangat cermat.
Gagal Ginjal Kronik

I. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika
tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m. Batasan penyakit ginjal
kronik:4.5
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

Kelainan patologik

Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada


pemeriksaan pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh
nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal
kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal
yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang
ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal,

17

stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5
adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:4
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus. 4,6
Derajat

Penjelasan

LFG

(mL/menit/1,73m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90

2
3
4
5

Kerusakan ginjal dengan LFG ringan


Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
Gagal ginjal

60-89
30-59
15-29
<15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal
dan atau dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT). 3

GFR

Dengan

(ml/min/1,73 m2)

Ginjal
Dengan HT Tanpa HT
1
1
2
2

> 90
60 89

30 59
15 29
<
15

3
4
(atau 5

Kerusakan Tanpa Kerusakan Ginjal

3
4
5

Dengan HT
HT
HT dengan

Tanpa HT
Normal
Penurunan

penurunan

GFR

GFR
3
4
5

3
4
5

dialisis)

II. Etiologi4,6,7
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai

18

berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di
mana mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan
glomerular yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium,
atau endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri
punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya
mikroskop, Langhans kemudian mampu menggambarkan perubahan pathophysiologic
glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli berfokus pada pasien pascastreptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai serangan yang tiba-tiba
menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah merah. Gambaran
klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal terganggu.2
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer
dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multipel, atau amiloidosis.5
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi
pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat
terjadi hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi,
sesak napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.5

b. Diabetes melitus

19

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan


suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.5
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun.5
Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik
yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah
sistemik, dan mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini
mungkin menyebabkan munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak
hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan
tubulointerstitial glomerular yang pada akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis
diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya
mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan
gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung,
dan sistem saraf .5,7
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi
esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan
hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.8,9

Tabel3.Klasifikasitekanandarahsistolik,diastolik,modifikasigayahidup,sertaterapiobat
berdasarkanJointNationalCommittee(JNC)VII:8,9
20

Klasifikasi

Sistolik

Diastolik

Modifikasi Terapi

Tekanan

(mmHg)

(mmHg)

Gaya

Darah
Normal
Prehipertensi

< 120
120 139

Dan < 80
Atau 80 89

Hidup
edukasi
Ya

Stage 1 HT

140 159

Atau 90 99

Ya

tidak

perlu

obat

antihipertensi
Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI, ARB,

Stage 2 HT

> 160

Ya

BB, CCB, atau kombinasi


Kombinasi 2 jenis obat
(biasanya

thiazid

tipe

diuretik dan ACEI atau


ARB atau BB atau CCB)
Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah
<130/80 mmHg.

d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling
sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal
polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada
fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai
daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.5

21

III. Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan
100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
pertahunnya. Di Negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60
kasis perjuta penduduk per tahun.4
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000:1,7
1. Glomerulonefritis

(46,39%)

2. Diabetes Mellitus

(18,65%)

3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)


4. Hipertensi

(8,46%)

5. Sebab lain

(13,65%)

Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.5

IV. Faktor risiko


Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi
saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan lingkungan seperti
obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga,
berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia dan lingkungan tertentu.6

V. Patofisiologi

22

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit


yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi.4,5
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus
maupun interstitial.4
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium.
Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin
serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal
mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal
tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG
yang teliti.4

23

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana


lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal).
Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan
konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada
stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal.
Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat
infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejalagejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul.
Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau
minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala
ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan yang teliti.4
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal
stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari
massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh.
Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar
5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap LFG yang mengalami
sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejalagejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan
plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi
oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap

24

sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal
kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.4
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat
stadium, tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadiumstadium tersebut.

VI. Gambaran klinik


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular.4,5,10
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran
cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut ataupun kronik.4
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum
iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum),
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan
sebagainya.4,10

25

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping


penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia,
dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dL.4
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan
mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera
mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.5

c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva

menyebabkan

gejala

red

eye

syndrome

akibat

iritasi

dan

hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal


ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

26

d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik,
tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea
frost.4,6

e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti
konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada
pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

VII. Pendekatan Diagnosis

27

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis,


pemeriksaan

fisik,

gambaran

radiologis,

dan

apabila

perlu

gambaharan

histopatologis.4,9
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan


pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;
ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

28

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,


payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, chlorida).4

b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya,
seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan
silinder.4

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis


Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak
bisa melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksisk oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

29

VIII. Penatalaksanaan4,5,6,10
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.
a.Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal
disease).

2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik

30

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum


kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis
inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi
dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg
dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.8
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi

31

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym


Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor).
Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan
hal yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung
dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes,
hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan
dan gangguan keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

32

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual,


anoreksia, muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien- pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal

IX. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal
atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,
keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani
dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien
dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih
lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena
kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan
keganasan (4%).5

33

X. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang
telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu
pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan
fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.6

PEMBAHASAN
Gagal jantung kongestif adalah keadaan dimana jantung tidak mampu
memompa darah dalam jumlah memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh. Gejala dari gagal jantung kongestif gejala yang timbul dapat berupa dispnea,
akibat penimbuan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas, dapat
terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang;
Paroksismal nokturnal dispnea yaitu adanya sesak pada malam hari; Ortopnea yaitu
adanya kesulitan bernapas saat berbaring; batuk, biasanya berupa batuk kering dan
basah.
Dari hasil anamnesis pada pasien ini didapatkan adanya sesak nafas yang
dirasakan sejak 1 jam Sebelum MRS. Pasien mengalami susah tidur malam hari
karena sesak, keadaan ini menunjukan adanya paroksismal nocturnal dispnea.
Penderita lebih merasa nyaman dengan menggunakan 3-4 bantal menunjukan adanya
ortopnea. Selain itu sejak 2 bulan kedua tangan dan kaki penderita bengkak. Batuk
juga dialami penderita yang dirasakan lebih sering pada malam hari. Pasien merasa
sesak saat melakukan aktifitas ringan seperti dari kamar mandi menunjukkan adanya
dipsnea de effort.
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan gagal jantung kongesti dapat ditemukan
adanya distensi vena leher, rhonki paru, kardiomegali, edema paru akut, gallop S3,

34

peningkatan tekanan vena jugularis, refluks hepatojugular, edema ekstremitas,


hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal, takikardia
(>120/m).
Sedangkan dari hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini ditemukan tekanan
vena jugularis yang meningkat yaitu 5 + 5 cmH 2O, pada auskultasi paru didapatkan
adanya rhonki di basal paru kanan dan kiri dan suara paru menurun, pada perkusi paru
didapatkan suara redup pada kedua lapang paru basal dan medial. Pada perkusi
jantung didapatkan batas kanan pada ICS V linea parasternal dekstra dan batas kiri
pada ICS VII axial line anterior sinistra, sedangkan pada auskultasi jantung tidak di
dapatkan adanya bising.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa
CHF yaitu : pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) yang memberikan gambaran
adanya hipertropi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia,
takikardi, fibrilasi atrial dan X-foto thoraks yang dapat menunjukkan adanya
pembesaran jantung,baik yang mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik, atau
perubahan dalam pembuluh darah abnormal. Sedangkan pada pasien ini X- foto
thoraks memberikan kesan adanya pembesaran jantung kekiri bawah dengan
perselubungan perivaskuler pada paru dan kedua sudut costofrenikus tumpul, dengan
kesimpulan foto thorax adanya decompensatio cordis dan pleural efusi bilateral.
Diagnosis dari kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis
gagal jantung kongestif yang terdiri dari kriteria mayor : 1) Paroksismal nocturnal
dispnea. 2) Distensi vena leher. 3) Rhonki paru. 4) Kardiomegali. 5) Edema paru akut
6) Gallop S3. 7) Peningkatan tekanan vena jugularis. 8) Refluks hepatojugular; dan
kriteria minor :1) Edema ekstremitas. 2) Batuk malam hari. 3) Dyspneu deffort. 4)
Hepatomegali. 5) Efusi pleura. 6) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal. 7)
Takikardi (>120x/menit). Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria
major dan 2 kriteria minor atau 2 kriteria major.
Berikut ini adalah klasifikasi fungsional gagal jantung kongestif berdasarkan
New York Association (NYHA) : I) bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa
keluhan. II) Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas

35

sehari-hari tanpa keluhan. III) bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa keluhan. IV) bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun
dan harus tirah baring.
Pada kasus ini dipenuhi 4 kriteria major yaitu berupa paroksismal nokturnal
dispnea, rhonki paru, kardiomegali, peninggian tekanan vena jugularis, serta dipenuhi
4 kriteria minor yaitu berupa batuk malam hari, dispnea deffort, efusi pleura dan
edema ekstremitas. Berdasarkan klasifikasi NYHA, penderita digolongkan CHF
fungsional IV, karena penderita tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan lebih
banyak beristirahat (tirah baring) selama dirumah 2th ini.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Pada beberapa keadaan
sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan
yang terjadi bersamaan pada penderita. Pada Framingham Study mengungkapkan, 90
persen gagal jantung kongestif (CHF) disebabkan penyakit jantung koroner dan
hipertensi.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko
koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh
pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio
kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko
independen perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada
beberapa penelitian, dimana hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri
dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan
risiko terjadinya infark miokard.
Pada kasus ini, penderita mempunyai riwayat hipertensi sejak 10 tahun. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tensi 150/70 mmHg. Riwayat diabetes disangkal oleh
pasien, tetapi pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan gula darah
acak sebesar 249 mg/dl.

36

Dari anamnesa pasien dengan keluhan sesak yang semakin memberat, batuk,
dan dari pemeriksaan fisik ditemukan rhonki pada basal paru, suara perkusi redup,
suara pernapasan menurun dan gambaran foto thorax terdapat

perselubungan

perivaskuler dan kedua sudut costofrenikus tumpul mendukung ke arah efusi pleura
bilateral.
Keluhan lemas, mual, adanya riwayat hipertensi, dan pemeriksaan fisik
didapatkan anemis dan edema pada kedua tungkai bawah. Dari pemeriksaan
penunjang terdapat peningkatan Ureum 138 mg/dL, Kreatinin 3,07 mg/dL dan GFR
16,49 mendukung kearah CKD stadium 4.

Dengan demikian dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan didukung dengan


pemeriksaan penunjang maka penderita pada kasus ini didiagnosa dengan Gagal
jantung kongesti fungsional IV, hipertensi derajat I, efusi pleura bilateral, crhonic
kidney disease stadium 4 dan diabetes mellitus tipe 2.
Prinsip penatalaksanaan gagal jantung kongestif adalah meningkatkan
oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui
istirahat/pembatasan aktivitas, mengurangi beban awal dengan pembatasan cairan,
pemberian diuretik dan vasodilator, mengurangi beban akhir dengan pemberian ACE
antagonis dan

prasopresin, serta memperbaiki kontraktilitas dengan pemberian

inotropik. Pada penderita, terapi yang diberikan yaitu Bed Rest Posisi duduk, O 2
4L/m, Furosemid 1-0-0 iv, Bisoprolol 5 mg -0-0, Captopril 325 mg.
Pasien diterapi dengann diuretik dosis rendah dengan tujuan untuk mencapai
tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat
digunakan loop diuretic atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis dapat
dinaikan, berikan diuretic intravena atau kombinasi loop diuretic dengan tiazid.
Diuretic hemat kalium, spironolakton dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV)
yang disebabkan gagal jantung sistolik. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan
aktivasi neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik
ventrikel kiri. Penyekat beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian

37

mulai dengan dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol
ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE
dan diuretic.
Meskipun banyak peningkatan dalam evaluasi dan penanganan dari gagal
jantung, gejala-gejala dari gagal jantung masih memberikan prognosis yang buruk.
Namun pada pasien ini prognosisnya cukup baik karena karena kondisi penderita
mengalami perbaikan dalam perawatan
DAFTAR PUSTAKA
1. P R Marantz et al. 2012. The relationship between left ventricular systolic
function and congestive heart failure diagnosed by clinical criteria.
Circulation Journal Of The American Heart Association. Available from :
http://circ.ahajournals.org
2. Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III ed.IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta
3. Ruggie N. Congestive heart failure. Med. Clin. North Am. 70:829-851, 1986.
4. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,
Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
5. Editorial.

Gagal

Ginjal

Kronik.

Diunduh

dari:

http://emedicine.

medscape.com/article/238798-overview, 05 Februari 2011.


6. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation,

Classification,

and

Stratification.

Diunduh

dari:

http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05
Februari 2011.
7. Editorial.

Glomerulonefritis.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.

com/article/777272-overview, 22 Agustus 2010.

38

8. Editorial.

Tekanan

Darah

Tinggi.

Diunduh

dari:

http://id.wikipedia.org/wiki/Tekanan_darah_tinggi, 05 Februari 2011.


9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,
Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan
Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 16870.
10. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007.
294-97.
11. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8.
Jakarta: CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.

39

Anda mungkin juga menyukai