Anda di halaman 1dari 11

COR PULMONALE

I.

PENDAHULUAN
Penyakit cor pulmonale merupakan penyakit paru dengan hipertrofi dan atau dilatasi
ventrikel kanan akibat gangguan fungsi dan atau struktur paru (setelah menyingkirkan
penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung lain primer pada jantung kiri). Cor
pulmonale dapat terjadi secara akut maupun kronik penyebab akut tersering adalah
emboli paru masif dan biasanya terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik
tersering adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi
ventrikel kanan.1

II.

ETIOLOGI
Penyebab cor pulmonale antara lain :
a. Penyakit paru obstruktif seperti bronkiektasis dan fibrotik kistik.
b. Penyakit

paru

restriktif

seperti

pneumoconiosis,

interstitial

pneumonitis,

skleroderma, dan sarkoidosis.


c. Hilangnya jaringan paru seperti pada post operasi paru masif.
d. Kelainan pintas jantung kongenital, misalnya pada defek septum ventrikel.
e. Penyakit vaskuler paru seperti tromboemboli berulang, hipertensi pulmonal primer,
dan vaskulitis pulmonal.
f. Insufisiensi respirasi tanpa penyakit paru seperti pada kifoskoliosis, gangguan
neuromuscular yang berkaitan dengan distropi otot dinding dada dan sklerosis
amiotropik lateral, poliomiositis, dan lesi medulla spinalis di atas segmen C6.
g. Sindrom hiperventilasi obesitas (pickwickian syndrome) dan obstruksi saluran nafas
atas.
h. Tinggal di daerah yang tinggi (chronic mountain sickness).2

III.

EPIDEMIOLOGI
Menurut penelitian sekitar 80-90% pasien cor pulmonale mempunyai PPOK dan 25
% pasien dengan PPOK akan berkembang menjadi cor pulmonale.3 Cor pulmonale
1

merupakan 25% dari semua jenis gagal jantung. Cor pulmonale sering ditemukan di
daerah dimana insidensi merokok dan PPOK tinggi dan

biasanya mengenai usia

pertengahan sampai usia lanjut dan lebih sering mengenai pria dari pada wanita. Di
Inggris terdapat sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya cor pulmonale pada
populasi usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami hipertensi
pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.3
Angka mortalitas yang berkaitan dengan cor pulmonale sulit dinilai karena penegakan
diagnosis cor pulmonale membutuhkan pemeriksaan yang invasif. Terdapat data
mortalitas akibat penyakit paru kronik di Amerika yakni sekitar 100.000 populasi per
tahun, tetapi angka ini tidak menggambarkan secara khusus peran cor pulmonale maupun
hipertensi pulmonal sekunder.4
IV.

PATOGENESIS
Patogenesis cor pulmonale sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru, kinerja
paru, maupun sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat
menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.5
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru yang
ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya dapat
menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang mengakibatkan
terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi pulmonal dibagi menjadi
primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak
disebabkan oleh adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang
melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi
pulmonal sekunder.2 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder)
didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) istirahat, yakni
>20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg.
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya hipertensi
pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular. Ketiganya adalah
mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis
in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan produksi

zat-zat vasoaktif seperti, nitric oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan
secara kronis dari mediator vasokonstriktor seperti, endothelin-1.6
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan dan dapat
mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya keadaan ini
diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan, hipervolemia akibat
adanya retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac output.6 Ketika jantung
kanan tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul
kegagalan jantung kanan yang ditandai dengan adanya edema perifer.
Secara garis besar patognesis cor pulmonale dapat digambarkan sebagai berikut
(gambar 1)6,7:
1. Hipoventilasi alveoli
2. Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )
3. Terjadinya pintas (shunt) dalam paru
4. Peningkatan tekanan arteri pulmonal
5. Kelainan jantung kanan
6. Kelainan karena hipoksemia relatif pada miokardium
7. Gagal jantung kanan

Gambar 1. Patogenesis Cor pulmonale

V.

DIAGNOSIS
Diagnosis cor pulmonale dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi
pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis
cor pulmonale secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat
menemukan data-data yang mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural
maupun fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan
hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.1,2
Pada cor pulmonale selama jantung masih bisa melakukan kompensasi terhadap
hipertensi pulmonal, anamnesis pada penderita cor pulmonale hanya didapatkan keluhan
yang terkait dengan gangguan yang melatarbelakanginya. Keluhan yang biasanya didapatkan
adalah batuk produktif, sesak nafas saat aktivitas (dispneu on effort), adanya mengi, cepat
letih, dan lemas. Ketika progresivitas penyakit bertambah keluhan yang sering muncul adalah
sesak nafas walaupun tidak beraktivitas, tachypnea, orthopnea, edema, dan perasaan tidak
nyaman pada kuadran kanan atas.4
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bentuk dada dengan diameter terbesar
anteroposterior atau disebut barrel chest. Pada pemeriksaan auskultasi paru didapatkan
memanjangnya suara nafas ekspirasi dan pada pasien eksaserbasi biasanya didapatkan
mengi dan ronki. Pasien yang telah menjadi gagal jantung kanan didapatkan tanda-tanda
seperti edema, peningkatan tekanan vena jugularis, refluks hepatojugular, pulsasi
epigastrium dan parasternal, asites, hepatomegali dan takikardia. Menurunnya cardiac
output dapat menyebabkan hipotensi dan pulsasi yang lemah. Pada pemeriksaan jantung
pasien dengan gagal jantung kanan didapatkan kardiomegali ventrikel kanan yang
menyebabkan batas jantung kanan bawah bergeser ke bawah kanan. Pada auskultasi
didapatkan suara gallop S3 disertai meningkatnya intensitas bunyi P2. Insufisiensi katup
trikuspid ditandai dengan adanya pansistolik murmur yang terdengar di parasternal kiri
bawah dan mengeras dengan inspirasi. Selain itu, dapat pula terdengar ejeksi sistolik
pulmonal. 1,2,4

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui secara pasti tejadinya cor pulmonale
adalah dengan kateterisasi jantung kanan (Swan-Ganz catheterization) untuk mengukur
secara pasti hipertensi pulmonal. Kateterisasi jantung kanan ini dimasukkan melalui vena
sentral (V. axillaris, v, jugularis, atau v. brachiocephalica) dan diteruskan ke dalam ventrikel
kanan melalui katup trikuspid dan diteruskan ke dalam arteri pulmonalis.1
Dalam pemasangannya pasien diharuskan puasa 8 jam sebelumnya. Operator harus
memperhatikan gambaran radiologis sebelumnya agar dalam memasang kateter tidak
mencederai organ yang dilewati. Adapun penggunaan kateter ini memiliki resiko antara lain,
infeksi, emboli, jendalan darah dan dapat menyebabkan aritmia. Penggunaan kateter ini
masih sangat terbatas karena sifatnya yang invasif, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan
biaya yang diperlukan cukup tinggi.1
Mengingat banyaknya kekurangan dengan menggunakan kateter Swan-Ganz maka
untuk menunjang diagnosis cor pulmonale diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang
lebih mudah, tidak invasif, dan lebih terjangkau. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui penyakit yang mendasari dan
untuk menilai komplikasi serta perjalanan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan antara
lain, hematokrit untuk mengetahui polisitemia, antinuclear antibody untuk mengetahui
penyakit vaskuler kolagen seperti skleroderma, proteins S dan C, antitrombin III, factor
V Leyden, antikardiolipin antibodi, dan homocysteine untuk mengetahui hiperkoagulasi,
analisis gas darah untuk mengetahui saturasi oksigen, pemeriksaan kadar BNP (Brain
Natruretic Peptide) untuk mengatahui hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan,
serta pemeriksaan spirometri untuk mengetahui status fungsional paru.3
2. Pemeriksaan pencitraan
a. Foto Toraks
Pada pasien dengan cor pulmonale hasil foto toraks didapatkan pelebaran arteri
pulmonal sentral. Hipertensi pulmonal dicurigai jika ditemukan diameter arteri
pulmonal desenden kanan lebih lebar dari 16 mm dan arteri pulmonal kiri lebih lebar
dari 18 mm.4 Pelebaran jantung kanan menyebabkan diameter transversal meningkat
5

dengan cardiothorax ratio (CTR) 50% dan bayangan jantung melebar ke kanan pada
foto toraks posisi anteroposterior. Pada pasien dengan PPOK didapatkan gambaran
sela iga melebar, diafragma mendatar dan gambaran pinggang jantung pendulum
(Gambar 2).4 Pada foto lateral didapatkan pengisian ruang retrosternal dan
meningkatnya diameter toraks anterroposterior (Gambar 3).

Gambar 2. Foto toraks posisi anteroposterior

Gambar 3. Foto toraks posisi anteroposterior dan lateral.

b. Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan diagnosis
cor pulmonale adalah dengan ekokardiografi. Pemeriksaan dengan gelombang suara
menggunakan Doppler ekokardiografi ini memungkinkan penghitungan gradien
tekanan yang transtrikuspid dari kecepatan puncak pancaran regurgitan katup
trikuspid, yakni dengan menggunakan persamaan Bernouili. Dengan asumsi bahwa
tekanan atrium kanan adalah 5 mmHg maka tekanan sistolik ventrikel kanan yang
identik dengan tekanan sistolik arteri pulmonal dapat diestimasikan. Caranya, yakni
dengan

menjumlahkan

transtrikuspid.

tekanan

atrium

kanan

dengan

gradient

tekanan

Pada pasien PPOK penggunaan Doppler ekokardiografi ini kurang efektif karena
hiperinflasi dan pengisian ruang retrosternal yang menyebabkan transmisi
gelombang suara kurang optimal. Computed tomography (CT) scan, Magnetic
Resonance Imaging (MRI), maupun ekokardiografi dua dimensi dapat digunakan
untuk menilai ketebalan dinding ventrikel kanan sehingga dapat mengetahui
hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan (Gambar 4).1,2

Gambar 4. Ekokardiogram (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)

3. Pemeriksaan EKG
Gambaran abnormal cor pulmonale pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1S2S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya
hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran gelombang
Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium
terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal,
takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat
dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,
gangguan keseimbangan asam-basa,

gangguan elektrolit,

serta penggunaan

bronkodilator berlebihan).1,2,4

VI.

PENATALAKSANAAN
Penanganan cor pulmonale secara umum adalah mencegah berlanjutnya proses
patogenesis yang masih bisa ditangani secara langsung dan secara bersamaan menangani
komplikasi yang terjadi seperti hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis. Pemberian terapi
pada cor pulmonale ditujukan untuk mengurangi hipoksemia, meningkatkan toleransi
aktivitas pasien dan jika memungkinkan menghilangkan faktor yang mendasari.2 Untuk
mengatasi faktor-faktor tersebut diatas perlu diambil tindakan berikut 2,4 :
a) Mengusahakan supaya jalan nafas tetap terbuka dengan jalan memberikan obatobatan (bronkodilator, mukolitik), drainase postural, pengisapan lendir dari jalan
nafas dan lain-lain.
8

b) Pemberian O2
Terapi O2 pada penderita cor pulmonale yang disebabkan oleh PPOK harus berhatihati oleh karena dapat mengakibatkan retensi CO2.. Oleh karena itu pemeriksaan
analisa gas darah yang berulang-ulang sangat penting. Biasanya O2 diberikan dengan
konsentrasi rendah. Pemberian terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK
terbukti memperbaiki prognosis dan dapat mencegah terjadinya hipertropi ventrikel
kanan.
c) Mengatasi infeksi saluran nafas, yakni dengan pemberian antibiotik yang sesuai
dan dengan dosis adekuat.
d) Pemberian glikosida jantung (digoxin) pada pasien dengan gagal jantung kanan.
Digoxin bersifat inotropik positif sehingga dapat meningkatkan cardiac output pada
pasien dengan gagal jantung kanan.
e) Vasodilator arteri pulmonal seperti diazoxide, nitroprussid, hydralazin, ACE
inhibitor, penyekat kanal kalsium, atau prostaglandin. Pemberian inhalasi vasodilator
dalam jangka panjang harus dihindari karena efek toksiknya. Pada pasien PPOK
pemberian vasodilator masih dipertanyakan. Hal ini dikarenakan hipertensi pulmonal
pada PPOK cenderung ringan tetapi dapat menjadi berat saat terjadi eksaserbasi.
f) Flebotomi untuk mengurangi jumlah sel darah merah. Hal ini jarang dilakukan
karena prosedur yang invasif. Tujuannya adalah menghilangkan polisitemia.
g) Antikoagulan untuk mengurangi resiko tromboemboli.
h) Diet rendah garam, pembatasan asupan cairan, pemberian diuretic, untuk
mengurangi edema dan mengurangi afterload.
VII.

PENUTUP
Cor pulmonale adalah hipertensi arteri pulmonalis akibat penyakit yang mengenai
struktur dan atau fungsi paru. Patogenesis cor pulmonale sangat erat kaitannya dengan
hipertensi pulmonal yang terjadi akibat mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding
pembuluh darah pulmonal, dan trombosis in situ. Pemeriksaan penunjang untuk
9

mengetahui secara pasti tejadinya cor pulmonale adalah dengan kateterisasi jantung
kanan (Swan-Ganz catheterization) namun metode ini invasif. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosa cor pulmonale diantaranya adalah
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan pencitraan (foto toraks, ekokardiografi,CT scan),
serta pemeriksaan EKG. Penanganan cor pulmonale secara umum adalah mencegah
berlanjutnya proses patogenesis yang masih bisa ditangani secara langsung dan secara
bersamaan menangani komplikasi yang terjadi.

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Eugene Braunwald, Stephen L. Hauser, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, L Longo, J Larry
Jameson. Heart Failure and Cor pulmonale. Harrisons Principles of Internal Medicine,
seventeenth edition, 2010, PP. 158-160
2. Fishman A, Elias J.A, et al. Cor pulmonale. Fishmans Pulmonary Diseases and Disorders,
fourth edition,2008, PP. 1360- 1370
3. Aderaye, G. Causes and Clinical Characteristics Of Chronic Cor-Pulmonale In Ethiopia. East
African Medical Journal. 2004. 81 (4): 202-205.

4. Springhouse. Cor pulmonale. Professional Guide to Diseases. Lippincott Williams &


Wilkins.2005.

5. Hill. N.S and Farber. W. Pulmonary Hypertension. N Engl J Med. 2008. 359;20.

6. Allegra et al. Possible Role Of Erythropoietin In The Pathogenesis Of Chronic Cor


pulmonale. Nephrol Dial Transplant. 2005. 20: 2867.

7. Weitzenblum, Emmanuel. Chronic Cor pulmonale. Heart. 2003. 89(2): 225230.

11

Anda mungkin juga menyukai