Anda di halaman 1dari 59

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Infeksi saluran kemih merupakan problem umum didalam praktek medik baik
di rumah sakit maupun di luar rumah sakit. Lebih dari 40% merupakan infeksi
nosokomial. Dilaporkan ISK terjadi setelah instrumenisasi, terutama oleh kateterisasi
yaitu sebanyak 80%. Pemasangan kateter ini merupakan penyebab infeksi tersering yang
didapat di rumah sakit (Maki & Tambyah, 2010). Walaupun kesakitan dan kematian dari
infeksi saluran kemih berkaitan dengan kateter dianggap relatif rendah dibandingkan
infeksi nosokomial lainnya, tingginya prevalensi penggunaan kateter urin menyebabkan
besarnya kejadian infeksi yang menghasilkan komplikasi infeksi dan kematian semakin
meningkat.
Perawatan kateter urin sangat penting dilakukan pada pasien dengan tujuan
untuk mengurangi dampak negatif dari pemasangan kateterisasi urin seperti infeksi dan
radang pada saluran kemih (Marilyn, 2005). Mempertahankan sistem drainase urin
tertutup merupakan tindakan yang penting untuk mengontrol infeksi. Perawatan kateter
secara tertutup dapat mengurangi infeksi sampai lebih dari 50%, hal ini banyak
membantu menurunkan angka infeksi saluran kemih setelah pemasangan keteter (Furqan,
2003).
Beberapa studi prospek, telah dilaporkan bahwa tingkat ISK yang
berhubungan dengan pemasangan dower kateter berkisar antara 9% - 23%. Pemasangan
dower kateter mempunyai dampak terhadap 80% terjadinya infeksi saluran kemih
(Heather, M. and Hannie, G. 2001).

Menurut WHO, Infeksi saluran kemih (ISK) adalah penyakit infeksi yang
kedua tersering pada tubuh sesudah infeksi saluran pernafasan dan sebanyak 8,3 juta
kasus dilaporkan per tahun. Infeksi ini juga lebih sering dijumpai pada wanita dari pada
laki-laki. Indonesia merupakannegara berpenduduk ke empat terbesar dunia setelah Cina,
India dan Amerika Serikat. Penduduk Indonesia dianggarkan sebanyak 222 juta jiwa (
BPSI, 2010 ).
Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kejadian infeksi nosokomial
jauh lebih tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan di dua kota besar Indonesia yaitu
Surabaya dan Semarang didapatkan angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 39%60%. Di Negara-negara berkembang terjadinya infeksi nosokomial tinggi karena
kurangnya pengawasan, praktek pencegahan yang buruk, pemakaian sumber terbatas
yang tidak tepat dan rumah sakit yang penuh sesak oleh pasien (Sumaryono. 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afsah (2008), tentang tingkat
kejadian infeksi saluran kemih pada pasien dengan terpasang kateter urin di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta, menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat angka
infeksi saluran kemih sebanyak 20%. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti di RSUD
Dr. H. Moh.Anwar sumenep didapatkan 5 pasien dengan gejala infeksi saluran kemih
dari 23 pasien terpasang kateter (Data bulan September 2014).
Infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik
dalam traktus urinarius, dengan atau tanpa disertai gejala. Faktor risiko yang umum
mencakup ketidakmampuan atau kegagalan kandung kemih untuk mengosongkan isinya
secara lengkap, penurunan mekanisme pertahanan alamiah dari pejamu, peralatan yang
dipasang pada traktus urinarius, seperti kateter dan prosedur sistoskopi. Proses tindakan
memasukkan selang kateter ke dalam buli-buli melalui uretra berisiko memasukkan
mikroorganisme ke dalam kandung kemih serta berisiko tinggi terjadinya trauma

terutama pada laki-laki. Pasien yang mengalami penurunan resistensi imun memiliki
risiko terbesar, setelah infeksi masuk ke dalam kandung kemih yang pada akhirnya dapat
mengenai ginjal. Penderita diabetes mellitus sangat berisiko karena peningkatan kadar
glukosa dalam urin menyebabkan suatu infeksi akibat lingkungan pada traktus urinarius.
Kehamilan dan gangguan neurologi juga meningkatkan risiko karena kondisi ini
menyebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap dan stasis urin (Smeltzer
& Bare, 2001).
Tingginya kemungkinan terjadi peningkatan infeksi saluran kemih yang
disebabkan oleh proses pemasangan kateterisasi urine menjadi tugas penting tenaga
kesehatan untuk mencari solusi guna meminimalkan kejadian infeksi saluran kemih,
seperti tekhnik perawatannya. Perawatan kateter berfungsi untuk menjaga kepatenan
salah satunya seperti irigasi kandung kemih (spooling) merupakan tindakan invasif yang
diprogramkan oleh dokter dengan cara membilas kandung kemih menggunakan larutan
steril yang terdiri dari larutan antiseptik dan antibiotik untuk membersihkan darah dan
fragmen lendir yang menyumbat kateter serta mengobati infeksi lokal.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah sebgai
berikut:
Apakah ada pengaruh perawatan kateter dengan metode spooling terhadap kejadian ISK
di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh dari perawatan
kateter menggunakan metode spooling terhadap kejadian infeksi saluran kemih yang
disebabkan oleh pemasangan kateter di RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi kejadian ISK sebelum dilakukan perawatan kateter metode


spooling di RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep
2. Mengidentifikasi kejadian ISK setelah dilakukan perawatan kateter dengan
metode spooling terhadap kejadian ISK di RSUD Dr.H.Moh.Anwar
Sumenep
3. Menganalisis pengaruh perawatan kateter dengan metode spooling terhadap
kejadian ISK di RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep.

1.4

MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi keperawatan, untuk menambah pengetahuan tentang pengaruh


perawatan kateter dengan metode spooling terhadap kejadian ISK di RSUD
Dr.H.Moh.Anwar Sumenep
2. Menambah literatur guna mengembangkan mutu pelayanan kesehatan di
dunia keperawatan
3. Dapat memberikan gambaran dan informasi bagi peneliti selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya promotif berupa


perawatan kateterisasi menggunakan metode spooling untuk meminimalkan
kejadian ISK.
2. Dinas Kesehatan
Sebagai gambaran mengenai masalah-masalah di Rumah Sakit serta
sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan promosi pelayanan kesehatan
di Rumah Sakit.
3. Bagi peneliti
Dapat memberikan informasi untuk penelitian selanjutnya.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Konsep Infeksi Saluran Kemih

2.1.1 Definisi
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih,
termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Sebagian besar
infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus dan jamur juga dapat
menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh Escherichia coli.
Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan dan wanita. Salah satu
penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminan
lebih mudah memperoleh akses ke kandung kemih (Corwin, 2007).
2.1.2 Faktor Penyebab dan Risiko
Infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik
dalam traktus urinarius, dengan atau tanpa disertai gejala. Pada umumnya Infeksi
Saluran Kemih (ISK) disebabkan kikroorganisme tunggal, yaitu :
1.

escherichia coli merupakan mikroorganisme yang paling sering diisolasi dari


pasien dengan infeksi simptomatik maupun asimptomatik.

2.

Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan yaitu: proteu spp (33%


ditemukan pada ISK anak laki-laki berusia 5 tahun), klebsiella spp, dan
stafilococcus dengan koagulasi negative.

3.

Infeksi yang disebabkan pseudomonas spp dan mikroorganisme lainnya seperti


stafilococcus jarang dijumpai kecuali pasca kateterisasi (Aru W.Sudoyo dkk,
2006).

4.

Jenis kokus Gram-positif lebih jarang sebagai penyebab infeksi saluran kemih
(ISK) sedangkan enterokokus dan Staphylococus aureus sering ditemukan
ditemukan pada pasien dengan batu saluran kemih, lelaki usia lanjut dengan
hipertrofi prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter. Bila ditemukan S.
Aureus dalam urin harus dicurigai adanya infeksi hematogen melalui ginjal.
Demikian juga dengan Pseudomonas aeroginosa dapat menginfeksi saluran
kemih melalui jalur hematogen dan pada kira-kira 25% pasien demam tifoid
dapat disolasi Salmonella pada urin. Bakteri lain yang dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih (ISK) melalui jalan hematogen ialah brusela, nokardia,
aktinomises, dan Mycobacterium tuberculosea. Oleh karena bagian distal uretra
dan vagina sering dihuni oleh bakteri anaerob, untuk membuktikan bahwa
bakteri anaerob yang ditemukan dalam urine merupakan penyebab infeksi
saluran kemih (ISK) bersangkutan, contoh urin yang dipakai sebaiknya diambil
dari aspirasi suprapubik. Virus sering juga ditemukan pada urin tanpa gejala
infeksi saluran kemih (ISK) akut. Adenovirus tipe 11 dan 12 diduga sebagai
penyebab sistitis hemoragik. Sistitis hemoragik dapat juga disebabkan oleh
Schistosoma hematobium yang termasuk

golongan cacing pipih. Kandida

merupakan jamur yang paling sering menyebabkan infeksi saluran kemih (ISK)
terutama pada pasien dengan kateter, pasien DM atau yang mendapat
pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. Kandida yang paling sering
menjadi antibiotik ialah Candida albikans dan Candida tropicalis. Semua jamur

sistemik dapat menulari saluran kemih secara hematogen (Tessy A. dkk, 2001,
hal 370).
Faktor resiko yang umum pada infeksi saluran kemih (ISK) adalah :
1)

Ketidakmampuan atau kegagalan kandung kemih untuk mengosongkan isinya


secara sempurna.

2)

Penurunan daya tahan tubuh.

3)

Peralatan yang dipasang pada saluran perkemih seperti kateter dan prosedur
sistoskopi (Suharyanto dan Madjid 2009, hal 108)
Faktor risiko yang umum mencakup ketidakmampuan atau kegagalan kandung

kemih untuk mengosongkan isinya secara lengkap, penurunan mekanisme pertahanan


alamiah dari pejamum (penurunan status imunologi), peralatan yang dipasang pada
traktus urinarius, seperti kateter dan prosedur sistoskopi. Pasien diabetes sangat
berisiko karena peningkatan kadar glukosa dalam urin menyebabkan suatu infeksiakibat lingkungan pada traktus urinarius. Kehamilan dan gangguan neurologi juga
meningkatkan risiko karena kondisi ini menyebabkan pengosongan kandung kemih
yang tidak lengkap dan stasis urin (Smeltzer & Bare, 2006).
2.1.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi dua kategori umum berdasarkan
lokasi anatomi, yaitu :
A. Infeksi saluran kemih bawah
Presentasi klinis infeksi saluran kemih bawah tergantung dari gender :
I.

Perempuan

a) Sistitis

Sistitis adalah presentasi klinik infeksi kandung kemih disertai bakteriuria


bermakna.
b) Sindrom uretra akut (SUA)
Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistisis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistisis bakterialis.
II.

Laki-laki
Presentasi klinis infeksi saluran kemih pada laki-laki mungkin sistitis,
prostatitis, epidimidis dan urethritis.

B. Infeksi Saluran Kemih Atas terbagi menjadi 2, yaitu :


I. Pielonefritis akut (PNA)
Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan
infeksi bakteri.
II. Pielonefritis kronis (PNK)
Pielonefritis

kronis

mungkin

akibat

lanjut

dari

infeksi

bakteri

berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan
refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik
yang spesifik. Bakteriuria pada asimptomatik kronik pada orang dewasa
tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan pembentukan jaringan
ikat parenkim ginjal (Aru W.Sudoyo, 2006).
2.1.4 Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Kemih
Tanda-tanda dan gejala yang terjadi pada penyakit saluran kemih, yaitu: rasa
nyeri, perubahan eliminasi urin dan gejala gastrointestinal.
1. Gejala ISK bawah biasanya meliputi:

10

a. Dysuria/rasa terbakar selama berkemih


b. adanya dorongan sering berkemih
c. nokturia, atau nyeri atau suprapubis.
d. Hematuria
e. Urine tampak pekat dan keruh
f. Demam
g. Menggigil
h. Mual dan muntah
i. lemah
2. Pasien ISK atas sering menunjukkan gejala sistemik meliputi:
a. Demam
b. Menggigil
c. Mual dan muntah
d. Sakit kepala
e. Lemah sesuai dengan keluhan spesifik dari nyeri di daerah panggul dan
punggung
f. Nyeri tekan (Potter & Perry, 2006, hal 1688).
2.1.5. Patogenesis dan Sumber Infeksi Saluran Kemih
Pathogenesis bakteriuria asimtomatik dengan presentasi klinis ISK tergantung
dari patogenitas dan status pasien sendiri (host).
Flora usus
Munculnya tipe uropatogenik
Kolonisasi di parineal dan uretra anterior

11

Barrier pertahanan mukosa normal


VIRULENSI BAKTERI

SISTITIS

FAKTOR PENJAMU (HOST) :


a.

memperkuat perlekatan ke sel uroepitel

b.

refluks vesiko ureter

c.

refluks intrarenal

d.

tersumbatnya saluran kemih

e.

benda asing (kateter urin)

pielonefritis akut
parut ginjal

urosepsis

Sumber: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV, 2007.
A. Peran patogenisitas bakteri
Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia coli diduga terkait dengan
etiologi ISK. Patogenisitaas E.coli terkait dengan bagian permukaan sel
polisakarida dari lipopolisakarin (LPS). Hanya IG serotype dari 170 serotipe O/
E.coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis, diduga strain E.coli ini
mempunyai patogenisitas khusus (Sukandar, 2004).
B. Peran bacterial attachment of mucosa
Penelitian membuktikan bahwa fimbriae

merupakan satu pelengkap

patogenesis yang mempunyai kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa


saluran kemih. Pada umumnya P fimbriae akan terikat pada P blood group antigen
yang terdpat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah (Sukandar, 2004).
C. Peranan faktor virulensi lainnya
Sifat patogenisitas lain dari E.coli berhubungan dengan toksin. Dikenal
beberapa toksin seperti -hemolisin, cytotoxic necrotizing factor-1(CNF-1), dan
iron reuptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95% -hemolisin

12

terikat pada kromosom dan berhubungan degan pathogenicity island (PAIS) dan
hanya 5% terikat pada gen plasmio. (Sukandar, 2004).
Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan
bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini menunjukan
ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi di antara individu
dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalam
kandung kemih dan ginjal. (Sukandar, 2004).
D. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)
i.

Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung


hipotensi peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus
ISK. Jadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan
penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bacteria
sering mengalami kambuh (eksasebasi) bila sudah terdapat kelainan struktur
anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa
obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal
dan sangat peka terhadap infeksi. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat
peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini sifatnya sementara dan hilang
sendiri bila mendapat terapi antibiotika. Proses pembentukan jaringan
parenkim ginjal sangat berat bila refluks visikoureter terjadi sejak anak-anak.
Pada usia dewasa muda tidak jarang dijumpai di klinik gagal ginjal terminal
(GGT) tipe kering, artinya tanpa edema dengan/tanpa hipertensi. (Sukandar,
2004).

ii.

Status Imunologi Pasien (host). Penelitian laboratorium mengungkapkan


bahwa golongan darah dan status sekretor mempunyai konstribusi untuk
kepekaan terhadap ISK. Pada tabel di bawah dapat dilihat beberapa faktor

13

yang dapat meningkatkan hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren) dan
status secretor (sekresi antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas
immunoglobulin) sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait
dengan golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri)
dan dengan fenotipe golongan darah Lewis. (Sukandar, E., 2004).
Tabel 2.1 : Faktor-faktor yang meningkatkan kepekaan terhadap infeksi saluran kemih
(UTI) (Sukandar, 2004).
Genetic

Biologis

Perilaku

Lainnya

Status

kelainan kongenital:

Senggama:

Operasi urogenital:

nonsekretorik:

urinary

Penggunaan

Terapi estrogen.

golongan tracktobstruction,

diafragma,

Antigen

darah A, B, O

riwayat

infeksi kondom,

saluran

kemih spermisida,

sebelumnya,

penggunaan

diabetes

antibiotik terkini.

inkontinensi.

Keadaan-keadaan yang mempengaruhi patogenesis infeksi saluran kemih, yaitu :


1. Jenis kelamin dan aktivitas seksual
Uretra perempuan tampaknya lebih cenderung didiami oleh basil gram negatif,
karena letaknya di atas anus, ukurannya pendek (kira-kira 4 cm), dan berakhir dibawah
labia. Pijatan uretra, seperti yang terjadi selama hubungan seksual menyebabkan
masuknya bakteri kedalam kandung kemih dan hal yang penting dalam patogenesis
infeksi saluran kemih pada perempuan muda. Buang air kecil setelah hubungan seksual

14

terbukti menurunkan resiko sistisis, mungkin karena tindakan ini meningkatkan


eradikasi bakteri yang masuk selama hubungan seksual.
2. Kehamilan
Kecenderungan infeksi saluran kemih bagian atas selama kehamilan
disebabkan oleh penurunan kekuatan ureter, penurunan peristaltik ureter, dan
inkompetensi sementara katup vesikoureteral yang terjadi selama hamil.
3. Sumbatan
Adanya halangan aliran bebas urin seperti tumor, striktura, batu atau hipertrofi
prostat yang menyebabkan hidronefrosis dan peningkatan frekuensi infeksi saluran
kemih yang sangat tinggi. Super infeksi pada sumbatan saluran kemih dapat
menyebabkan kerusakan jaringan ginjal yang cepat.
4. Disfungsi neurogenik kandung kemih
Gangguan saraf yang bekerja pada kandung kemih, seperti pada jejas korda
spinalis, tabes dorsalis, multipel sklerosis, diabetes, atau penyakit lain dapat
berhubungan dengan infeksi saluran kemih. Infeksi dapat diawali oleh penggunaan
kateter untuk drainase kandung kemih dan didukung oleh stasus urin dalam kandung
kemih untuk jangka waktu yang lama.
5. Refluks vesikoureteral
Keadaan ini didefinisikan sebagai refluks urin dari kandung kemih ke-ureter
dan kadang sampai pelvis renal. Hal ini terjadi selama buang air kecil atau dengan
peningkatan tekanan pada kandung kemih. Refluks vesikoureteral terjadi jika gerakan
retrograd zat radio opak atau radioaktif dapat ditunjukkan melalui sistouretrogram
selama buang air kecil. Gangguan anatomis pertemuan vesikoureteral menyebabkan
refluks bakteri dan karena itu terjadilah infeksi saluran kemih.
6. Faktor virulensi bakteri

15

Faktor virulensi bakteri mempengaruhi kemungkinan strain tertentu, begitu


dimasukkan ke dalam kandung kemih, akan menyebabkan infeksi traktus urinarius.
Hampir semua strain E.coli yang menyebabkan pielonefritis pada pasien dengan
traktus

urinarius

normal secara anatomik

mempunyai

pilus

tertentu

yang

memperantarai perlekatan pada bagian digaktosida dan glikosfingolipid yang ada di


uroepitel. Strain yang menimbulkan pielonefritis juga biasanya merupakan penghasil
hemolisin, mempunyai aerobaktin dan resisten terhadap kerja bakterisidal dari serum
manusia.
7. Faktor genetik
Faktor genetik penjamu mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi urinarius.
Jumlah dan tipe reseptor pada sel uroepitel tempat bakteri dapat menempel dan dapat
ditentukan, setidaknya sebagian, secara genetik (Stamm, 1999).
2.1.6. Komplikasi Infeksi Saluran Kemih
Komplikasi infeksi saluran kemih tergantung dari tipe yaitu infeksi saluran
kemih tipe sederhana (uncomplicated) dan tipe berkomplikasi (complicated).
1. Infeksi saluran kemih sederhana (uncomplicated)
Infeksi saluran kemih akut tipe sederhana (sistisis) yaitu non-obstruksi dan bukan
perempuan hamil merupakan penyakit ringan (self limited disiase) dan tidak
menyebabkan akibat lanjut jangka lama.
2. Infeksi saluran kemih berkomplikasi (complicated)
a. Infeksi saluran kemih selama kehamilan
b. Infeksi saluran kemih pada diabetes mellitus.

16

Penelitian epidemiologi klinik melaporkan

bakteriurea dan ISK lebih sering

ditemukan pada diabetes mellitus dibandingkan perempuan tanpa diabetes


mellitus (Aru W.Sudoyo, 2006, Hal 556).
Tabel 2.2 : Morbiditas ISK selama kehamilan
Kondisi

Resiko potensial

BAS* tidak diobati

Pielonefritis
Bayi premature
Anemia
Pregnancy-induced hypertension

ISK trimester III

Bayi mengalami retardasi mental


Pertumbuhan bayi lambat
Cerebral palsy
Fetal death

Basiluria Asimptomatik (BAS) merupakan resiko untuk pielonefritis diikuti


penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Komplikasi emphysematous cystitis,
pielonefritis yang terkait spesies candida dan infeksi gram-negatif lainnya dapat
dijumpai pada DM.
Pielonefritis emfisematosa disebabkan MO pembentuk gas seperti E.coli,
candidia spp dan klostridium tidak jarang dijumpai pada DM. pembentukan gas
sangat intensif pada parenkim ginjal dan jaringan nekrosis disertai hematom yang
luas/ pielonefritis emfisematosa sering disertai syok septik dan nefropati akut
vasomotor (AVH). Abses perinefrik merupakan komplikasi ISK pada pasien dengan
DM (47%), nefrolitiasis (41%) dan obstruksi ureter (20%) (Aru W.Sudoyo, 2006, Hal
556).

17

2.1.7. Pemeriksaan Laboratorium


Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa puter, kultur urin,
serta jumlah kuman/ml urin merupakan protokol standar untuk pendekatan diagnosis
ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi sampel urin harus
sesuai dengan protocol yang dianjurkan (Sukandar, E., 2004).
Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin,
harus berdasarkan indikasi yang kuat. Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk
mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi
ISK.Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi ISK termasuklah
ultrasonogram (USG), radiografi (foto polos perut, pielografi IV, micturating
cystogram), dan isotop scanning (Sukandar, E., 2004).
1. Urinalisis
a. Leukosuria
Leukosuria

atau

piuria

merupakan

salah

satu

petunjuk

penting

terhadap dugaan adalah ISK. Leukosuria dinyatakan positif bila mana terdapat
lebih dari 5 leukosit / lapang pandang besar ( LPB ) sediment air kemih.
b. Hematuria
Hematuria dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK yaitu
bilamana dijumpai 5 - 10 eritrosit / LPB sediment air kemih. Hematuria dapat
pula disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa rusakan
glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal atau
nekrosis papilaris.
2. Bakteriologisa
a. Mikroskopis

18

Pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan air kemih segar tanpa diputar
atau pewarna gram. Bakteri dinyatakan positif bermakna bila mana dijumpai
satu bakteri lapangan pandang minyak emersi.
b. Biakan bakteri
Pemeriksaan biakan bakteri contoh air kemih dimaksudkan untuk memastikan
diagnosis infeksi saluran kemih (ISK) yaitu bila ditemukan bakteri dalam
jumlah bermakna sesuai dengan kriteria Cattel :
a) Wanita, simptomatik : > 102 organisme koliform/ml urin plus piuria, atau
105 organisme pathogen apapun/ml urin, atau adanya pertumbuhan
organisme pathogen apapun pada urin yang diambil dengan cara aspirasi
suprapubik.
b) Laki-laki, simptomatik : >103organisme patogen/ml urin.
c) Pasien asimptomatik : 105 organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin
berurutan.
3. Tes kimiawi
Beberapa tes kimiawi dapat dipakai untuk penyaring adanya bakteriuria,
diantaranya yang paling sering dipakai ialah Tes reduksi griess nitrat. Dasarnya
adalah sebagian besar mikroba kecuali enterokoki,mereduksi nitrat bila dijumpai
lebih dari 100,000 1,000,000 bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan
perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk
mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah
nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh enterokoki dan asinetobakter.
4. Tes plat celup (Dip-slide)
Beberapa pabrik mengeluarkan biakan buatan yang berupa lempeng plastik
bertangkai dimana pada kedua sisi permukaannya dilapisi perbenihan padat

19

khusus. Lempeng tersebut dicelupkan kedalam air kemih pasien atau dengan
digenangi air kemih. Setelah itu lempeng dimasukkan kembali kedalam tabung
plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan pengeraman semalam pada
suhu 37 0 C. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan membandingkan pola
pertumbuhan pada lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar yang
memperlihatkan keadaan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman
antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah
dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan kepekaannya tidak
dapat diketahui.
5. Pemeriksaan radiologis dan pemesiksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan radiologis pada infeksi saluran kemih (ISK) dimaksudkan untuk
mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor
predisposisi infeksi saluran kemih (ISK). Pemeriksaan ini dapat berupa pielografi
intravena, demikian pula dengan pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi dan
CT scanning (Sukandar, 2004).
2.1.8 Manajemen Infeksi Saluran Kemih
Pengobatan infeksi saluran kemih (ISK) bertujuan untuk membebaskan
saluran kemih dari bakteri dan mencegah atau mengendalikan infeksi berulang. Ada
beberapa metode pengobatan infeksi saluran kemih (ISK) yang lazim dipakai, yaitu:
1) Pengobatan dosis tunggal, yaitu obat diberikan satu kali
2) Pengobatan jangka pendek, yaitu 1 2 minggu
3) Pengobatan jangka panjang, yaitu 3 4 minggu
4) Pengobatan profilaktik, yaitu 1 kali sehari dalam waktu 3 6 bulan .
Dalam pendekatan klinis pengobatan infeksi saluran kemih (ISK), pemilihan
antibiotik adalah penting. Antibiotik yang sering digunakan adalah ampisilin,

20

trimetoprin sulfa metoksasol, kloramfenikol, sefotaksim, amikasin (Sukandar


E.,2004). Antibiotika merupakan terapi utama pada ISK. Hasil uji kultur dan tes
sensitivitas sangat membantu dalam pemilihan antibiotika yang tepat. Efektivitas
terapi antibiotika pada ISK dapat dilihat dari penurunan angka lekosit urin disamping
hasil pembiakan bakteri dari urin setelah terapi dan perbaikan status klinis pasien.
Idealnya antibiotika yang dipilih untuk pengobatan ISK harus memiliki sifat-sifat
sebagai berikut : dapat diabsorpsi dengan baik, ditoleransi oleh pasien, dapat
mencapai kadar yang tinggi dalam urin, serta memiliki spektrum terbatas untuk
mikroba yang diketahui atau dicurigai. Pemilihan antibiotika harus disesuaikan
dengan pola resistensi lokal, disamping juga memperhatikan riwayat antibiotika yang
digunakan pasien (Coyle and Prince, 2005).
2.1.9. Pencegahan Infeksi Saluran Kemih
Sebagian kuman yang berbahaya hanya dapat hidup dalam tubuh manusia.
Untuk melangsungkan kehidupannya, kuman tersebut harus pindah dari orang yang
telah kena infeksi kepada orang sehat yang belum kebal terhadap kuman tersebut.
Kuman mempunyai banyak cara atau jalan agar dapat keluar dari orang yang terkena
infeksi untuk pindah dan masuk ke dalam seseorang yang sehat. Kalau kita dapat
memotong atau membendung jalan ini, kita dapat mencegah penyakit menular.
Kadang kita dapat mencegah kuman itu masuk maupun keluar tubuh kita. Kadang kita
dapat pula mencegah kuman tersebut pindah ke orang lain (Irianto dan Waluyo,
2004).
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum, yaitu
pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan
dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang
meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan terhadap cacat

21

dan rehabilitasi. Ketiga tingkatan pencegahan tersebut saling berhubungan erat


sehingga dalam pelaksanaannya sering dijumpai keadaan tumpang tindih (Noor,
2006).
Beberapa pencegahan infeksi saluran kemih dan mencegah terulang kembali,
yaitu:
1. Jangan menunda buang air kecil, sebab menahan buang air seni merupakan sebab
terbesar dari infeksi saluran kemih
2. Perhatikan kebersihan secara baik, misalnya setiap buang air seni, bersihkanlah
dari depan ke belakang. Hal ini akan mengurangi kemungkinan bakteri masuk ke
saluran urin dari rektum
3. Ganti selalu pakaian dalam setiap hari, karena bila tidak diganti, bakteri akan
berkembang biak secara cepat dalam pakaian dalam
4. Pakailah bahan katun sebagai bahan pakaian dalam, bahan katun dapat
memperlancar sirkulasi udara
5. Hindari memakai celana ketat yang dapat mengurangi ventilasi udara, dan dapat
mendorong perkembangbiakan bakteri
6. Minum 8 gelas air setiap hari untuk membilas bakteri dari system perkemihan
7. Gunakan air yang mengalir untuk membersihkan diri selesai berkemih
8. Buang air seni sesudah hubungan kelamin, hal ini membantu menghindari saluran
urin dari bakteri
9. Minum 8 gelas air setiap hari guna untuk membilas bakteri dari system
perkemihan
10. Lakukan berkemih sesering mungkin (setiap 2 sampai 4 jam) untuk membilas
bakteri dari uretra dan mencegah naiknya mikroorganisme ke kandung kemih.
Segera berkemih setelah hubungan seksual.

22

11. Hindari penggunaan sabun yang kasar, gelembung sabun, bedak, atau semprotan
di area perineum, zat-zat ini dapat mengiritasi uretra dan menyebabkan inflasi
serta infeksi bakteri.
12. Hindari celana yang terlalu pas dan ketat atau pakaian lain lain yang dapat
mengiritasi uretra dan mencegah ventilasi perineum.
13. Gunakan celana dalam yang terbuat dari bahan katun dan buka dari bahan nilon.
Akumulasi kelembaban perineum memfasilitasi perkembangan bakteri dan bahan
katun meningkatkan ventilasi area perineum.
14. Remaja putri dan dewasa harus selalu mengelap area perineum dari arah depan ke
belakang setelah berkemih atau defekasi untuk mencegah masuknya bakteri
gastrointestinal ke uretra.
15. Apabila kekambuhan infeksi urine menjadi sebuah masalah , lakukan mandi
shower dan bukan mandi biasa. Bekteri yang berada di bak mandi dapat
memasuki uretra.
16. Tingkatkan keasaman urin melalui peningkatan asupan vitamin C dan meminum 2
sampai 3 gelas jus cranberry secara teratur setiap hari (Kozier, dkk, 2010, hal
872).

23

2.2

Konsep Kateterisasi Urine

2.2.1 Definisi
Kateterisasi urine adalah sebuah prosedur memasukkan sebuah pipa karet
(latek, silicon, nelaton) yang fleksibel melalui uretra sampai ke kandung kemih.
Karakter politen menonjol biasanya mempunyai balon lateks. Beberapa kateter silicon
pada kenyataannya terbuat dari lateks yang diselubungi silicon disebelah luarnya
(Perry & Potter, 2005 hal 1710). Pemasangan kateter urin merupakan tindakan
keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui
uretra yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai
pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006).
Kateterisasi menetap adalah memasukan kateter ke dalam kandung kemih
melalui uretra untuk mengeluarkan urin secara terus menerus da n tetap tinggal
didalam kandung kemih selama periode tertentu. Kateterisasi urin membantu pasien
dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari
pasien untuk berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig,
2000).
2.2.2 Tujuan Pemasangan Kateterisasi Urine
1) Menghilangkan ketidaknyamanan karena distensi kandung kemih
2) Mendapatkan urine steril untuk spesimen
3) Pengkajian residu urine jika kandung kemih dikosongkan tidak komplit
4) Mengosongkan kandung kemih secara komplit sebelum pembedahan
5) Memberikan drainase dan irigasi kandung kemih yang secara berkala dan
berkelanjutan
6) Mencegah urine mengenai insisi setelah pembedahan

24

7) Mengatasi inkontinensia urine


8) Memfasilitasi pengukuran haluaran urine secara akurat pada klien yang menderita
sakit kritis yang haluarannya perlu dipantau setiap jam
9) Mengatasi retensi urine (kozier dkk, 2010, hal 880).
2.2.3 Tipe Kateterisasi Urine
Menurut Hidayat pemasangan kateter dengan dapat bersifat sementara atau
menetap. Pemasangan kateter sementara atau intermiten catheter (straight kateter)
dilakukan jika pengosongan kandung kemih dilakukan secara rutin sesuai dengan
jadwal, sedangkan pemasangan kateter menetap atau indwelling catheter (folley
kateter) dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus
(Hidayat, 2006).
A. Kateter Urine sementara (straight catheter)
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang sekali
pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk
mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10 menit. Pada saat
kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter
intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan
yang berulang meningkatkan resiko infeksi (Potter dan Perry, 2002).
Pemasangan kateter sementara dilakukan jika tindakan untuk mengeluarkan
urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek samping dari penggunaan kateter ini
berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat memasukkan kateter dan dapat
menimbulkan infeksi (Thomas, 2007).
Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara antara lain:

25

1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang


mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal
mungkin.
2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan
berfungsi normal.
3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita
dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula
spinalis tetap terpelihara
4) Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan sehari harinya
Kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya bahaya distensi kandung
kemih, resiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang, resiko
infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal uretra (flora
normal) (Japardi, 2000).
B. Keteter Urine menetap (folley catheter)
Kateter urine menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama.
Kateter urine menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu
pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter. Pemasangan kateter ini dilakukan
sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran
urin akurat dibutuhkan. Kateter urinen menetap terdiri atas folley catheter (doubel
lumen) dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen yang lain
berfungsi untuk mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe triple lumen terdiri dari
tiga lumen yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen
untuk memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk
melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan (Potter dan
Perry, 2006 Hal 1711).

26

Pemasangan kateter urine menetap dilakukan dengan sistem kontinu ataupun


penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter urine menetap ini banyak
menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter menetap, maka yang
dipilih adalah penutupan berkala oleh karena kateterisasi menetap yang kontinu tidak
fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan
kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot
kandung kemih (Japardi, 2000).
2.2.4 Indikasi Kateterisasi Urine
Beberapa indikasi pemasangan kateterisasi urine yaitu:
A. Kateter urine intermiten
1) Meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih, ketentuan untuk
menurunkan distensi
2) Mengambil specimen urin yang steril
3) Mengkaji residu setelah pengosongan kandung kemih
4) Penatalaksanaan jangka panjang klien yang mengalami cidera medulla
spinalis, degenerasi neuromuscular, atau kandung kemih yang tidak kompeten.
B. Kateter urine menetap jangka pendek
1) Obstruksi pada aliran urin (misalnya; pembesaran prostat)
2) Perbaikan kandung kemih, uretra, dan struktur disekelilingnya melalui
pembedahan
3) Mencegah obstruksi uretra akibat adanya bekuan darah
4) Mengukur haluaran urin pada pasien yang menderita penyakit kritis
5) Irigasi kandung kemih secara intermitten atau berkelanjutan.
C. Kateter urine menetap jangka panjang
1) Retensi urine berat disertaiepisode ISK yang berulang

27

2) Ruam kulit, ukus, atau luka iritasi akibat kontak dengan urin
3) Penderita penyakit terminal yang merasa nyeri ketika linen tempat tidur
diganti (Potter dan Perry, 2006 Hal 1721).
Kateterisasi urine menetap (folley catheter) digunakan pada klien pasca operasi uretra
dan struktur di sekitarnya (TUR-P), obstruksi aliaran urin, obstruksi uretra, pada
pasien inkontinensia dan disorientasi berat (Hidayat, 2006).
2.2.5. Kontraindikasi kateterisasi Urine
Kateterisasi kandung kemih khususnya kateterisasi uretra tidak boleh
dilakukan pada penderita yang mengalami cedera uretra dan/atau pasien yang mampu
untuk berkemih spontan (Brunner & Suddarth, 2000).
Kontra indikasi penggunaan kateterisasi, yaitu :
a) Klien dengan Infeksi Saluran Kemih (ISK)
b) Klien dengan striktura uretra
2.2.6. Komplikasi Kateterisasi Urine
Adanya kateter dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi. Kolonisasi
bakteri (bakteriuria) akan terjadi dalam waktu 4 sampai 5 hari pada separuh dari
pasien yang menggunakan kateter urine, dan dalam waktu lebih dari 2 minggu
sesudah pemasangan kateter terjadi pada hampir semua pasien. Pemasangan kateter
akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada saluran kemih bagian bawah
dengan menyumbat saluran di sekeliling uretra, mengiritasi mukosa kandung kemih
dan menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih.
Penanganan kateter urine yang salah paling sering menjadi penyebab
kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi. Infeksi
akan terjadi tanpa terelakkan ketika urine mengenai mukosa yang rusak tersebut

28

(Brunner & Suddarth, 2000). Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi dapat
menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan kematian (Utama, 2006).
2.2.7. Persiapan Alat
1)

Bak instrument

2)

Spuit 10 cc

3)

Duk kedap air

4)

Bengkok

5)

Sarung tangan steril

6)

Aquades

7)

Plester

8)

Gunting

9)

Plester

10) Perlak
11) Kateter urine sesuai dengan ukuran
12) Kapas sublimate
13) Kassa
14) Urine bag
15) Jelly atau vaselin
16) Waskom larutan chlorine 0,5% (Kozier & Erb, 2011).
2.2.8 Prosedur kerja
1)

Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur tindakan dan manfaatnya.

2)

Perawat cuci tangan

3)

Ucapkan salam

4)

Jelaskan tujuan dan prosedur kerja

5)

Tutup tirai dan pintu kamar pasien

29

6)

Dekatkan peralatan ke sisi tempat tidur

7)

Atur posisi klien senyaman mungkin

8)

Pasang perlak dan pengalasnya dibawah bokong

9)

Buka pembungkus bagian luar kateter, kemudian letakkan dalam bak steril

10) Gunakan sarung tangan steril


11) Tes balon udara
12) Buka daerah meatus dengan tangan kiri, dengan cara : pegang daerah
dibawah glands penis dengan ibu jari dan telunjuk, dan preputium ditarik ke
bawah.
13) Bersihkan daerah meatus dengan kassa iodine povidon. Bersihkan dengan arah
melingkar dari meatus ke arah luar minimal 3 kali dengan menggunakan pinset
steril
14) Masukkan jelly ke dalam uretra, dengan menggunakan spuit (yang sudah dilepas
jarumnya) 3 cc yang sudah terisi jelly
15) Anjurkan pasien untuk napas dalam selama pemasangan kateter
16) Masukkan kateter sepanjang 17,5 22,5 cm (dewasa), 5 7,5 cm (anak anak)
atau sampai urine keluar. Hentikan pemasangan kateter bila waktu memasukkan
kateter terasa adanya tahanan.
17) Masukkan lagi kateter sepanjang 2 cm sambil sidikit diputar
18) Isi balon kateter dengan aquades atau NaCl sebanyak 20 30 cc
19) Tarik kateter perlahan lahan sampai ada tahanan ballon
20) Sambungkan kateter dengan urine bag
21) Fiksasi kateter menggunakan plester pada paha pasien
22) Gantung urine bag dengan posisi lebih rendah dari pada kandung kemih
23) Bengkok, perlak dan pengalasnya dirapikan

30

24) Rapikan pasien dan alat alat pada tempatnya


25) Evaluasi respon pasien
26) Buka sarung tangan
27) Cuci tangan (Kozier & Erb, 2011).
2.2.9. Perawatan Kateter Urine
Tindakan perawatan yang khusus sangat penting untuk mencegah infeksi pada
pasien yang terpasang kateter. Adapun tindakan perawatan yang harus dilakukan yaitu
sebagai berikut:
a) Tindakan mencuci tangan mutlak harus dilakukan ketika beralih dari pasien yang
satu ke pasien lainnya saat memberikan perawatan dan saat sebelum serta sesudah
menangani setiap bagian dari kateter atau sistem drainase untuk mengurangi
penularan infeksi. Teknik mencuci tangan harus dilakukan dengan benar. Saanin
(2005), menegaskan bahwa teknik aseptik harus dipertahankan terutama saat
perawatan kateter untuk mencegah kontaminasi dengan mikroorganisme.
b) Perawatan perineum harus sering diberikan yaitu mencuci daerah perineum
dengan sabun dan air dua kali sehari atau sesuai kebutuhan klien dan setelah
defekasi. Sabun dan air efektif mengurangi jumlah mikroorganisme sehingga
dapat mencegah kontamisasi terhadap uretra.
c) Kateter urine harus dicuci dengan sabun dan air paling sedikit dua kali sehari;
gerakan yang membuat kateter bergeser maju-mundur harus dihindari untuk
mencegah iritasi pada kandung kemih ataupun orifisium internal uretra yang dapat
menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih. Kateter
memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih ke saluran perkemihan.
d) Cegah pengumpulan urine dalam selang dengan menghindari berlipat atau
tertekuknya selang, terbentang di atas tempat tidur. Hindari memposisikan klien di

31

atas selang. Monitor adanya bekuan darah atau sedimen yang dapat menyumbat
selang penampung. Urin di dalam kantung drainase merupakan tempat yang
sangat baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri dapat berjalan menaiki selang
drainase untuk berkembang di tempat berkumpulnya urin. Apabila urin ini
kembali mengalir ke dalam kandung kemih klien, kemungkinan akan terjadi
infeksi.
e) Cegah refluks urin ke dalam kandung kemih dengan mempertahankan kantung
drainase lebih rendah dari ketinggian kandung kemih klien. Untuk itu kantung
digantungkan pada kerangka tempat tidur tanpa menyentuh lantai. Jangan pernah
menggantung kantung drainase di pengaman tempat tidur karena kantung tersebut
dapat dinaikkan tanpa sengaja sampai ketinggiannya melebihi kandung kemih.
Apabila perlu meninggikan kantung selama memindahkan klien ke tempat tidur
atau ke sebuah kursi roda, mula-mula klem selang atau kosongkan isi selang ke
dalam kantung drainase. Jika klien hendak berjalan, perawat atau klien harus
membawa kantung urine di bawah pinggang klien. Sebelum melakukan latihan
atau ambulasi, keluarkan semua urine dalam selang ke dalam kantung drainase.
f) Kantung penampung tidak boleh menyentuh lantai. Kantong dan selang drainase
harus segera diganti jika terjadi kontaminasi, aliran urin tersumbat atau tempat
persambungan selang dengan kateter mulai bocor, hal ini untuk mencegah
berkembangnya bakteri.
g) Kantong urin harus dikosongkan sekurang-kurangnya setiap 8 jam melalui katup
(klep) drainase. Klep terletak di bagian dasar kantung yang merupakan alat untuk
mengosongkan mengosongkan kantung urine. Apabila tercatat bahwa haluaran
urine banyak, kosongkan kantung dengan lebih sering untuk mengurangi risiko
proliferasi

bakteri. Pengosongan kandung kemih secara periodik akan

32

membersihkan urin residu (media kultur yang sangat baik untuk perkembangan
bakteri) dan dapat melancarkan suplai darah ke dinding kandung kemih sehingga
tingkat infeksi dapat berkurang.
h) Mengosongkan kantung penampung ke dalam takaran urin untuk klien tersebut,
takaran harus dibersihkan dengan teratur agar tidak terjadi kontaminasi pada
sistem drainase. Pastikan bahwa setiap klien memiliki wadah terpisah untuk
mengukur urin guna mencegah kontaminasi silang.
i) Jangan melepaskan sambungan kateter, kecuali bila akan dibilas untuk mencegah
masuknya bakteri. Perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa selang
drainase tidak terkontaminasi. Apabila sambungan selang drainase terputus,
jangan menyentuh bagian ujung kateter atau selang. Bersihkan ujung selang
dengan larutan desinfektan sebelum menyambungnya kembali.
j) Kateter urin tidak boleh dilepas dari selang untuk mengambil sampel urin;
mengirigasi kateter; memindahkan atau mengubah posisi pasien untuk mencegah
kontaminasi bakteri dari luar.
k) Mengambil urin untuk pemeriksaan harus menggunakan teknik aseptik yaitu
ditusuk dengan jarum suntik, bagian yang akan ditusuk harus dibersihkan dulu
dengan alkohol atau providone-iodine.
l) Kateter tidak boleh terpasang lebih lama dari yang diperlukan. Jika kateter harus
dibiarkan selama beberapa hari atau beberapa minggu maka kateter tersebut harus
diganti secara periodik sekitar semingu sekali. Semakin jarang kateter diganti,
risiko infeksi semakin tinggi (Perry & potter, 2006 Hal 1724).

33

2.2.10 Irigasi Kateter Urine (Spooling)


Irigasi (spooling) adalah pembilasan atau pembersihan dengan larutan tertentu
guna membersihkan kandung kemih dan kadang kala untuk memberikan obat
kedinding kandung kemih (Kozier dkk, 2010 Hal 887).
Dokter dapat memprogramkan irigasi kandung kemih terhadap pasien yang
mengalami infeksi kandung kemih, yang larutannya terdiri dari antiseptik dan
antibiotik untuk membersihkan kandung kemih atau infeksi lokal. Tindakan ini
menerapkan asepsis steril.
2.2.11 Indikasi Irigasi Kateter (Spooling)
1. Radang kandung kemih
2. Peradangan saluran kemih bagian atas
3. Peradangan kandung kemih
4. Pasien menggunakan kateter.
5. Penyumbatan pada selang kateter (Perry & potter, 2006 Hal 1724).
2.2.12 Metode irigasi (spooling)
Ada dua metode untuk irigasi kateter yaitu:
I.

Irigasi kemih secara tertutup. Sistem ini memungkinkan seringnya irigasi


kontinyu tanpa gangguan pada system kateter steril. System ini sering digunakan
pada klien yang menjalani bedah genitourinaria dan yang kateternya mengalami
penyumbatan oleh fragmen dan bekuan darah.

II.

Dengan membuka system drainase tertutup untuk mengintalasi irigasi kandung


kemih. Teknik ini menimbulkan resiko lebih tinggi terjadinya infeksi. Namun,
kateter ini diperlukan saat kateter tersumbat dan kateter tidak ingin digantu (mis ;
setelah pembedahan prostat) (potter & perry, 2005).

A. Persiapan Alat

34

a) Larutan irigasi NaCl streril, sesuaikan suhu dalam kantung dengan suhu
ruangan

b) Kateter 2 cabang

c) Sarung tangan sekali pakai

d) Spuit 30-50 cc

e) Kapas antiseptik

f) Wadah metrik/wadah steril

35

g) Handuk kedap air (opsional)

h) Perlak

i) Bengkok

B. Prosedur kerja
1. Ucapkan salam terapeutik
2. Jelaskan kepada klien tentang pelaksanaan irigasi kateter
3. Cuci tangan dan pantau prosedur pengendalian infeksi yang tepat
4. Berikan privasi pada pasien
5. Pakai sarung tangan bersih
6. Kosongkan, ukur dan catat jumlah dan penampakan urine yang ada pada
kantung drainase. Buang urine, dan sarung tangan.
7. Siapkan perlengkapan:
a) cuci tangan dan pakai sarung tangan
b) letakkan handuk kedap air dibawah kateter
c) klem selang drainase dibagian distal port injeksi pada selang kateter

36

d) dengan tekhnik aseptik, buka suplai dan tuangkan larutan ke


Waskom steril
e) lepaskan tutup jarum dan tarik sejumlah larutan irigasi berupa NaCl
kedalam spuit, pertahankan sterilitas system dan larutan.
f) Bersihkan port kateter yang akan dimasukkan larutan dengan kapas
antiseptik
g) Masukkan jarum ke port secara perlahan masukkan larutan kedalam
kateter (dewasa: 30-40 ml untuk irigasi kateter, 100-200 ml untuk
dimasukkan ke kandung kemih)
h) Buka klem selang drainase agar irigan dapat mengalir kembali ke
kateter
i) Lepaskan jarum dari port
j) Buang spuit, kapas antiseptik dan jarum ke bengkok kemudian
buang ke wadah medis yang tepat (wadah pembuangan benda
tajam)
k) Rapikan alat
l) Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
m) Dokumentasikan prosedur dan hasil irigasi di catatatan klien
menggunakan format/daftar tilik yang dilengkapi catatan naratif jika
perlu.
n) catat setiap zat yang tidak normal seperti bekuan darah, nanah atau
untaian lendir (Kozier dkk, 2011, hal 889).

37

2.3

Kerangka Konsep
Faktor penyebab terjadinya infeksi
saluran kemih :

Pasien diberikan perawatan kateter


metode spooling

1. Masuknya mikroorganisme
kedalam kandung kemih
Faktor resiko tinggi terinfeksi
saluran kemih:
1. Kegagalan kandung kemih
mnegosongkan isinya secara
sempurna
2. Penurunan imunitas tubuh
3. Peralatan yang dipasang seperti
kateter urine

Pasien menunjukkan perbaikan secara


klinis seperti :
Berkurangnya jumlah mikroorganisme
pathogen pada biakan urin

Tidak terjadi iritasi miatus uretra dan


vaginitis

Tidak ada gejala


infeksi

Ada gejala infeksi

Gambar 2.3 : Kerangka konseptual, pengaruh perawatan kepatenan kateter dengan


metode spooling terhadap kejadian ISK di RSUD Dr.H.moh.Anwar
Sumenep
Keterangan:
: Yang diteliti
: Tidak diteliti
2.5

Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih lemah dan masih memerlukan
pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak.
Hipotesis ditentukan berdasarkan fakta-fakta atau data empiris yang telah
dikumpulkan dalam penelitian atau bisa dikatakan hipotesis adalah sebuah pernyataan
tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat di uji

38

secara empiris. Hipotesis biasanya berisi pernyataan terhadap ada atau tidak adanya
hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas (independent variabel) dan
variabel terikat (dependent variabel) (Hidayat, 2009).
H1: Ada pengaruh dari perawatan kepatenan kateter dengan menggunakan metode
spooling terhadap kejadian ISK di RSUD Dr.H.moh.Anwar Sumenep.

39

BAB 3
METODE PENELITIAN
Bab III adalah cara menyelesaikan masalah dengan metode keilmuan (Nursalam,
2003). Dalam bab ini akan diuraikan tentang rancangan penelitian, populasi sampel, tempat
penelitian, waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpulan data, dan rencana analisis
data.
3.1

Desain Penelitian
Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah

ditetapkan dan berperan sebagai atau penuntun penelitian pada seluruh proses penelitian
(Nursalam, pariani, 2001). Berdasarkan tujuan penelitian, desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah di lakukan pada kedua kelompok tersebut data penelitian post test di
gunakan preexperimental design dengan salah satu jenis dari penelitian ini yaitu one group
pretest-posttest design. Penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan pretest terlebih
dahulu sebelum melakukan intervensi, setelah itu diberikan intervensi, kemudian dilakukan
posttest (pengamatan akhir).
Pre test

Intervensi

Post test

O1

O2

Keterangan :
O1

: Pengukuran sebelum perlakuan

: Intervensi

O2

: pengukuran sesudah perlakuan

40

3.2

Kerangka Kerja

Populasi:
Pasien terpasang kateter urine berjumlah 23 orang

Tekhnik Sampling:
Simple Random Sampling

Sampel :
22 orang

Desain Penelitian: Pre-experimental, one group pre-test post-test design


comparison

Variabel Indenpendent:
Metode spooling kateter

Dianalisa tanda
dan gejala infeksi
saluran kemih
sebelum dan
sesudah diberikan
perlakuan.

Variabel Dependent:
Infeksi saluran kemih

Pre test : observasi terhadap pasien terpasang kateter


urine
Perlakuan : perawatan kateter metode spooling

Post test: observasi terhadap pasien terpasang kateter


urine

Analisis data:
Chi-square Test spss 16

Hasil penelitian
Gambar 3.1.

Kerangka

kerja

pengaruh

perawatan

kateter

dengan

metode

spooling terhadap kejadian ISK di RSUD Dr.H.moh.Anwar Sumenep.

41

3.3

Populasi, Sampel dan Sampling

3.3.1

Populasi
Menurut Sugiyono (2009) dalam Hidayat (2010) populasi merupakan seluruh

subyek atau obyek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti, bukan hanya obyek
atau subyek yang dipelajari saja tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki
subyek atau obyek tersebut. Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien yang
terpasang kateter urine sesuai kriteria inklusi di RSUD Dr. H.Moh. Anwar Sumenep
yang berjumlah 23 orang pada periode bulan september 2014.
3.3.2

Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian

jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat,2010). Dalam


penelitian ini sampel yang diteliti adalah sebanyak 23 orang yang terpasang kateter
urine di Rs Muhammadiyah Surabaya periode bulan september 2014.

= Besaran Sampel

= Besaran Populasi

= Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran

Ketidaktelitian karena kesalahan penarikan sampel). Rumus slovin dalam Bambang


(2005).
Maka perhitungan jumlah sampelnya adalah sebagai berikut :

42

Pemilihan sampel penelitian ini di lakukan di ruang Graha interna. Sampel


yang digunakan adalah pasien yang dirawat menggunakan dower kateter urine di
RSUD Dr. H. Moh.Anwar Sumenep periode bulan september 2014.
Kriteria inklusi sampel yang ikut dalam penelitian ini yaitu:
1. Pasien yang terpasang dower kateter di ruang interna
2. Pasien bersedia menjadi responden atau keluarga bersedia pasien menjadi
responden penelitian.
3. Pasien terpasang dower kateter dalam jangka waktu lama (1-5 hari) seperti pasien
dengan diagnosa medis Dekompensasi cordis, liver, serosis hepatis.
4. Mengalami iritasi meatus urethra, vaginitis.
5. Mengalami gejala infeksi lokal seperti pasien ISK yang berupa adanya
peningkatan jumlah lapang pandang leukosit, eritrosit dan epitel pada urine .
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu:
1. Pasien post operasi seperti sectio cesarea
2. Pasien dengan diagnose Diabetes mellitus.
3. Mengalami hemodinamik tidak stabil seperti koma, GCS 3, peningkatan tekanan
intrakranial.
3.3.3 Teknik sampling
Sampling adalah proses menyeleksi populasi yang dapat mewakili populasi
yang ada (Nursalam, 2003). Penelitian ini menggunakan probability sampling: Simple
Random Sampling yaitu pengambilan data acak tanpa memperhatikan strata yang ada
dalam anggota populasi dengan menggunakan nomor responden yang diacak dimana
nomor yang diambil adalah 1-22 sedangkan nomor 23 tidak diambil.
3.4

Identifikasi Variabel
3.4.1

Variabel Independen

43

Menurut Polit dan Hungler (1999) dalam I Ketut Swarjana (2012) variabel
independen adalah variabel yang menyebabkan perubahan terhadap variabel yang
lain. Dalam penelitian ini variabel indenpendennya yaitu metode spooling kateter.
3.4.2

Variabel Dependen
Menurut Thomas et al (2010) dalam I Ketut Swarjana (2012) variabel

dependen adalah variabel yang berubah akibat dari perubahan variabel yang lain.
Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah infeksi saluran kemih.
3.5

Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah pemberian arti atau makna pada masing-masing
variabel untuk kepentingan akurasi, komunikasi, dan replikasi agar memberikan
pemahaman sama pada setiap orang mengenai variabel yang diangkat dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2003).
Tabel 3.1 : Definisi Operasional
Variabel

Definisi

Parameter

Instrumen

Skala

SAK

Nominal

konseptual
Variabel

Suatu

independen:

pembilasan

dilakukan

Perawatan

dengan larutan

perawatan

kateter

tertentu

metode

dengan

membersihkan

spooling

metode

kandung kemih

sehari selama

spooling

dari

fragmen

atau

bekuan

darah
dapat

metode

untuk

yang

Setelah

1x

hari

berturut-turut
tidak

terjadi

penyumbatan

Hasil ukur

44

menyumbat

pada

kateter.

pasien

kateter

Variable

Suatu

infeksi Tanda

gejala Observasi

dependen:

yang terjadi di infeksi:

infeksi

Infeksi

sepanjang

saluran

saluran

saluran

a. Tumor
kemih b. Rubor

Nominal

1. Terjadi gejala

kemih

kemih (ISK) akibat poliferasi c. Dolor

2. Tidak terjadi

mikroorganisme d. Calor

gejala infeksi

pada

e. Functio

saluran

laesa

kemih.

pemasangan
kateter urine

Hasil
pemeriksaan
Laboratorium:
Negatif ISK:
-

leukosit: 04/LPB
sedimen air
kemih

Eritrosit: 02/LPB
sedimen air
kemih

Positif ISK:
-

Leukosit <5
LPB/

45

sedimen air
kemih
-

Eritrosit:
<5-10/LPB
sedimen air
kemih

3.6

Pengumpulan Data dan Pengolahan Data


3.6.1

Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa

satuan acara kegiatan (SAK). Beberapa penelitian membutuhkan pengamatan secara


langsung untuk memperoleh fakta yang nyata dan akurat dalam membuat kesimpulan
(Nursalam, 2003). Pada penelitian ini instrument yang akan digunakan adalah :
1. Lembar satuan acara kegiatan
2. Lembar observasi
3.6.2

Tempat dan Waktu Penelitian


Pengambilan data ini dilakukan pada bulan september 2014 di RSUD Dr. H.

Moh.Anwar Sumenep.
3.6.3

Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan izin dari Kepala Ruangan

RSUD Dr. H. Moh.Anwar Sumenep.


Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah :
1. Prosedur administrative

46

Prosedur yang dilakukan sebelum penelitian berupa mengurus izin penelitian


di RSUD Dr. H. Moh.Anwar Sumenep. Selanjutnya sosialisasi pada ruangan, perawat
dan dokter tentang tujuan dan prosedur penelitian.
2. Prosedur pemilihan asisten peneliti
Peneliti dibantu 3 perawat sebagai asisten peneliti yang ditempatkan di ruang
interna. Kriteria asisten yang dipilih yaitu pendidikan terakhir minimal D3
keperawatan, telah berpengalaman merawat pasien di rumah sakit minimal 1 tahun,
dan mampu melaksanakan prosedur penelitian dengan tepat. Asisten yang
ditempatkan di ruang interna adalah perawat primer ruangan interna itu sendiri. Tugas
asisten peneliti yaitu membantu melakukan observasi dan proses pelaksanaan
tindakan spooling kepada responden kelompok perlakuan.
3. Prosedur penelitian
Peneliti mengidentifikasi pasien yang masuk di ruang interna untuk dijadikan
sampel penelitian. Kemudian pasien yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan calon
responden. Calon responden diberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan
prosedur penelitian. Calon yang menyetujui kemudian dilibatkan dalam penelitian
dalam surat persetujuan menjadi responden.
Responden dikelompokkan menjadi kelompok perlakuan berdasarkan nomor
urut responden. Nomor urut 1-22 adalah kelompok perlakuan sedangkan nomor urut
23 tidak diambil. Pengontrolan kontaminasi bakteri terhadap kateter urine dilakukan
pada observasi hasil laboratorium, meliputi jumlah leukosit dan eritrosit sebelum dan
setelah diberikan perlakuan perawatan kateter metode spooling. Peneliti beserta
asinten melakukan proses pemeriksaan leukosit dan eritrosit urine pada hari pertama,
kemudian melakukan prosedur perawatan kateter metode spooling pada kelompok
perlakuan. Observasi leukosit dan eritrosit urine berikutnya pada kelompok perlakuan,

47

dilakukan setelah proses perawatan kateter metode spooling selesai pada hari ke 5
untuk dijadikan tolak ukur dari pengaruh perawatan kateter metode spooling tersebut.
Perawatan kateter pada kelompok perlakuan dengan metode spooling dilakukan di
atas tempat tidur pasien. Perawatan kateter dipertahankan menggunakan system
drainase tertutup. Urine pada kantong drainase dibuang secara berkala setiap 8 jam
sekali dan jumlah output urine dihitung sesuai jumlah input cairan, termasuk jumlah
input larutan spooling (irigasi).
3.7

Cara Analisa Data


Analisa data merupakan cara mengolah data agar dapat disimpulkan atau
diinterprestasikan menjadi informasi. Dalam melakukan analisis data terlebih dahulu
data harus diolah (Hidayat,2010). Setelah data terkumpul langkah selanjutnya untuk
mengolah data adalah :
3.7.1

Editing
Merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh

atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah
data terkumpul (Hidayat, 2010).
3.7.2

Coding
Merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang

terdiri dari beberapa kategori (Hidayat, 2010).


3.7.3

Tabulating
Dalam tabulating ini dilakukan penyusunan dan penghitungan data dari hasil

coding untuk kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dilakukan evaluasi
(Nursalam, 2003).

48

3.7.4

Analisis Data
Data yang sudah dikumpulkan dari kuisioner kemudian dianalisis dengan

menggunakan uji SPSS 16.00 chi- square Test (Hidayat, 2010). Peneliti memilih
pengujian data menggunakan statistik chi-square Test (Pre-Post) terhadap satu
sampel untuk mengetahui pengaruh antara variabel independent dan variabel
dependent dengan skala data nominal dan tingkat kemaknaan 0,05 artinya jika
hasil uji statistik menunjukkan 0,05, maka ada pengaruh yang signifikan antara
variabel independent dan variabel dependent. Peneliti menggunakan lembar observasi
yang dianalisis dengan chi-square test untuk memvalidasi hasil dari observasi, dengan
ketentuan apabila hasil dari pre test dan post test observasi sama maka ada pengaruh
yang signifikan antara variabel independent dan variabel dependent, namun apabila
hasil pre test dan post test observasi tidak ada kesesuaian maka tidak ada pengaruh
yang signifikan antara variabel independent dan variabel dependent.
3.8

Etik Penelitian
Penelitian akan dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari program studi
S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan
atas ijin dari Kepala Ruangan di RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep. Penelitian akan
dimulai dengan melakukan beberapa prosedur yang berhubungan dengan etika
penelitian yang meliputi:
3.8.1

Informed Concent
Lembar persetujuan akan deberikan kepada responden/keluarga yang mampu

membaca dan lebih diteliti. Lalu peneliti menjelaskan tujuan, manfat, prosedur dan
hal-hal yang akan dilakukan selama pengumpulan data setelah responden bersedia
maka responden harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika tidak
bersedia maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghargai keputusan tersebut.

49

3.8.2

Anonimity
Kerahasiaan identitas responden harus dijaga. Oleh karena itu peneliti tidak

akan mencantumkan nama responden, hanya cukup memberikan nomer kode.


3.8.3

Confidentiality
Peneliti wajib merahasiakan data-data yang sudah dikumpulkan oleh karena

itu peneliti menjamin kerahasiaan dari identitas responden karena hanya kelompok
data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.
3.8.4 Keterbatasan
Keterbatasan adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian. Keterbatasan
yang dihadapi peneliti antara lain:
1. Jumlah sampel yang terbatas sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasikan
2. Waktu, biaya, dan tenaga berpengaruh terhadap analisis hasil penelitian yang
dilakukan peneliti.
3. Tingkat kebersihan serta set alat kateter pasien yang tidak memenuhi standart
sehingga mempengaruhi validasi penelitian.

50

BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini disajikan dalam dua bagian yaitu data umum dan data
khusus. Data umum meliputi karateristik responden yang terdiri dari umur, jenis
kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Sedangkan data khusus terdiri dari hasil
pengukuran informed concent terhadap tingkat kepuasan pasien pre operasi diruang
rawat inap bedah RSUD Dr. H. Moh. Anwar Sumenep.
4.1

HASIL PENELITIAN

4.1.1 DATA UMUM


4.1.1.1 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini berlokasi di wilayah RSUD Dr.H.Moh.Anwar Kabupaten
Sumenep

yang menjadi pusat pelayanan kesehatan. Rumah Sakit ini Type C

beralamatkan di JL.Dr.cipto No.42 Kecamatan Kota Kabupaten Sumenep. RSUD


Dr.H.Moh.Anwar Memiliki Berbagai pelayanan diantaranya (Rawat Jalan) instalasi
gawat darurat, poli anak, poli kebidanan dan kandungan, poli penyakit dalam, Poli
bedah, poli gigi dan mulut, poli mata, poli THT, poli saraf,poli konsultasi uji
kesehatan, hemodialisa, poli fisiotrapi, poli konsultasi gigi, poli ortopedi. (Rawat
Inap) ruang perawatan bedah,ruang perawatan anak, ruang perawatan penyakit dalam,
ruang perawatan kebidanan dan kandungan, ruang perawatan intensif (ICU, PICU,
NICU), graha rawat inap (GRIU), (Instalasi penunjang) bedah sentral, patologi klinik,
gizi, sanitasi, farmasi, radiologi, pemulasrai jenazah, ambulance, pemeliharaan sarana,
peduli pelanggan.

51

4.1.1.2 KARAKTERISTIK RESPONDEN


1) Distribusi Responden Berdasarkan Umur Pasien
Tabel 4.1 Distribusi Data Pasien terpasang kateter urine berdsarkan umur Di Ruang
Graha Rawat Inap RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep, bulan september 2014.
No
1
2
3
4
5

Umur
25 33
34 42
43 51
52 60
61 69
Jumlah

Jumlah
7
7
5
2
1
22

Persentase(%)
32%
32%
23%
9%
4%
100%

Berdasarkan tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa hampir setengah responden


berumur 38-47 tahun berjumlah 9 Responden (41%), sedangkan sebagian kecil
berumur 68-77 tahun sebanyak 1 Responden (4%) dari 22 responden.
2) Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin pasien terpasang kateter
urine
di ruang Graha rawat inap RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep, bulan
september 2014.
No

Jenis kelamin

Jumlah

Persentase (%)

Laki- laki

15

68%

Prempuan

32%

22

100%

Jumlah

Berdasarkan tabel 4.2 diatas menunjukan bahwa hampir seluruh responden


berjenis kelamin laki - laki sebanyak 15 orang (68%), sedangkan sebagian kecil
berjenis kelamin perempuan sebanyak 7 orang (22%) dari 22 responden.

52

3) Distribusi responden berdasarkan pendidikan pada pasien terpasang kateter urine


Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan pendidikan pasien terpasang kateter urine
di Graha ruang rawat inap RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep, bulan september
2014.
No

Pendidikan

Jumlah

Persentase (%)

SD

15

68%

SMP

14%

SMA

14%

SARJANA

4%

22

100%

Jumlah

Berdasarkan tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa lebih dari setengah


responden merupakan lulusan SD sebanyak 15 orang (68%), sedangkan sebagian kecil
responden lulusan sarjana sebanyak 1 orang (4%) dari 22 responden.
4) Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan pada pasien terpasang kateter urine
Tabel 4.4 Karakteristik responden menurut pekerjaan pada pasien terpasang kateter
diruang Graha rawat inap RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep, bulan september 2014.
No

Pekerjaan

Jumlah

Persentase

Petani

11

50%

Wiraswasta

19%

Swasta

23%

Pelajar

4%

PNS

4%

22

100%

Jumlah

53

Berdasarkan tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa setengah responden bekerja


sebagai Petani sebanyak 11 orang (50%), sedangkan sebagian kecil

responden

menjadi PNS dan pelajar sebanyak 1 orang (4%) dari 22 responden.


4.1.2 DATA KHUSUS
4.1.2.1 Kejadian ISK Sebelum Diberikan Perawatan Kateter Metode Spooling
Tabel 4.5 Distribusi pasien terpasang kateter urine dengan ISK sebelum diberikan
perawatan kateter metode spooling Di ruang Graha rawat inap RSUD
Dr.H.Moh.Anwar Sumenep, bulan september 2014.

Frekuensi

Kejadian infeksi saluran kemih pada pasien terpasang


kateter urine di ruang Graha rawat inap RSUD
Dr.H.Moh.Anwar Sumenep
(PreTest)
N
%

1. Terjadi
Infeksi

22,7 %

2. Tidak terjadi
Infeksi

17

77,3 %

Jumlah

22

100 %

Berdasarkan tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa hasil penelitian pasien


terpasang kateter yang mengalami infeksi saluran kemih (ISK) sebelum diberikan
perawatan kateter metode spooling sebanyak 5 orang (22,7 %).
4.1.2.2Kejadian ISK Setelah Diberikan Perawatan Kateter Metode Spooling
Tabel 4.6 Distribusi pasien terpasang kateter urine dengan ISK setelah diberikan
perawatan kateter metode spooling Di ruang Graha rawat inap RSUD
Dr.H.Moh.Anwar Sumenep, bulan september 2014.

Frekuensi

Kejadian infeksi saluran kemih pada pasien terpasang


kateter urine di ruang Graha rawat inap RSUD
Dr.H.Moh.Anwar Sumenep
(Post Test)
N
%

1. Terjadi Infeksi

13,6 %

2. Tidak terjadi
Infeksi

19

86,4 %

54

Jumlah

22

100 %

Berdasarkan table 4.6 diatas menunjukkan bahwa hasil penelitian pasien


terpasang kateter yang mengalami infeksi saluran kemih (ISK) setelah dilakukan
perawatan metode spooling mengalami penurunan yaitu sebanyak 3 orang (13,6 %).
4.1.2.3 Perbandingan kejadian infeksi saluran kemih sebelum dan setelah diberikan
perawatan kateter metode spooling di RSUD. Dr. H. Moh. Anwar Sumenep.
Table 4.7 pengaruh perawatan kateter metode spooling terhadap kejadian infeksi
saluran kemih di RSUD Dr. H. Moh. Anwar Sumenep
Frekuensi
Terjadi
Tidak terjadi
N

Persent (%)

Present (%)

Pre-test

22,7 %

17

77,3 %

Post-test

13,6 %

19

86,4 %

= 0. 001< = 0,05

Uji Chi-Square
4.2

Pembahasan

4.2.1 Mengidentifikasi kejadian ISK sebelum dilakukan perawatan kateter metode


spooling di RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep
Berdasarkan tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa hasil penelitian pasien
terpasang kateter yang mengalami infeksi saluran kemih (ISK) sebelum diberikan
perawatan kateter metode spooling sebanyak 5 orang (22,7 %).
Adanya kateter dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi. Kolonisasi
bakteri (bakteriuria) akan terjadi dalam waktu 4 sampai 5 hari pada separuh dari
pasien yang menggunakan kateter urine, dan dalam waktu lebih dari 2 minggu
sesudah pemasangan kateter terjadi pada hampir semua pasien (Brunner & Suddarth,
2000).
Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak
mengalami infeksi saluran kemih (ISK) yaitu sebanyak 17 orang (77,3 %) dan yang

55

mengalami infeksi saluran kemih (ISK) sebanyak 5 0rang (22,7 %). Hal ini terbukti
dari hasil pemeriksaan laboratorium dan didukung oleh responden yang diteliti baru
dipasang kateter urine selama 5 hari. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Brunner dan Suddart yang menyebutkan bahwa kolonisasi bakteri pada saluran
kemih terjadi dalam waktu 4-5 hari pemasangan kateter urine. Selain itu salah satu
Faktor terjadinya gejala infeksi saluran kemih pada sebagian pasien mungkin
disebabkan oleh penggunaan alat kateter yang tidak sesuai standart seperti
penggunaan urine bag. Sebagian pasien ada yang menggunakan urine bag yang terdiri
dari botol mineral yang tertutup plastik kresek hitam. mungkin hal ini yang memicu
terjadinya kolonisasi mikroorganisme penyebab infeksi saluran kemih tersebut.
4.2.2 mengidentifikasi kejadian isk setelah dilakukan perawatan kateter dengan
metode spooling terhadap kejadian isk di rsud dr.h.moh.anwar sumenep
Berdasarkan tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa hasil penelitian pasien
terpasang kateter setelah diberikan perawatan kateter metode spooling yang tidak
mengalami infeksi saluran kemih (ISK) sebanyak 19 orang (86,4 %).
Irigasi (spooling) adalah pembilasan atau pembersihan dengan larutan tertentu
guna membersihkan kandung kemih dan kadangkala untuk memberikan obat
kedinding kandung kemih yang larutannya terdiri dari antiseptik dan antibiotik untuk
membersihkan kandung kemih atau infeksi lokal. Tindakan ini menerapkan asepsis
steril (Kozier dkk, 2010 Hal 887).
Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak
mengalami infeksi saluran kemih (ISK) yaitu sebanyak 19 orang (86,4 %) dan yang
mengalami infeksi saluran kemih (ISK) sebanyak 3 0rang (13,6 %). Hal ini terbukti
dari hasil pemeriksaan laboratorium dan didukung oleh perawatan kateter urine
berupa metode spooling. Berdasarkan hal tersebut dapat menunjukkan bahwa

56

perawatan kateter metode spooling dapat mengurangi kejadian infeksi saluran kemih
(ISK) dengan cara mengeluarkan segmen maupun mikroorganisme yang berada
disepanjang saluran selang kateter urine menggunakan cairan NaCl.
4.2.3 Menganalisis pengaruh perawatan kateter dengan metode spooling terhadap
kejadian ISK di RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep.
Berdasarkan tabel 4.7 setelah dilakukan uji statistik Chi-Square untuk
mengetahui pengaruh perawatan kateter urine dengan metode spooling terhadap
kejadian infeksi saluran kemih (ISK) menunjukkan hasil dengan nilai signifikasi =
0,001 sehingga Ho ditolak dan H1 diterima, artinya ada pengaruh dari perawatan
kateter metode spooling terhadap kejadian infeksi saluran kemih.
Infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh penyumbatan segmen pada selang
kateter berupa peradangan saluran kemih bagian atas, peradangan saluran kemih
bagian bawah dan Peradangan pada kandung kemih (Perry & potter, 2006 Hal 1724).
Infeksi saluran kemih pada pasien terpasang kateter dapat disebabkan oleh
pemasangan kateter urine yang tidak hyginis, penyumbatan segmen (seperti pus,
darah dan lendir), kurangnya perawatan kateter urine dan lamanya pemasangan
kateter urine (Perry & potter, 2006 Hal 1724). Menurut kozier dkk, penyumbatan
segmen pada saluran kateter urine tersebut dapat diatasi dengan perawatan kateter
urine metode spooling.
Hasil diatas menunjukkan tidak adanya responden yang sebelumnya tidak
terinfeksi menjadi terinfeksi. Hal ini dikarenakan spooling kateter urine sendiri
berfungsi untuk membersihkan segmen seperti pus, darah, lendir bahkan
mikroorganisme dari saluran kateter. Program perawatan kateter dengan metode
spooling dilakukan setiap hari pada pagi hari sehingga mikroorganisme penyebab
infeksi saluran kemih tidak dapat berkoloni. Dengan demikian perawatan kateter

57

metode spooling dapat mengurangi kejadian infeksi saluran kemih pada pasien
pengguna kateter urine di rumah sakit.

58

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan berdasarkan hasil yang telah
dipaparkan pada bab sebelumnya, adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sebagian besar responden tidak mengalami infeksi saluran kemih akibat
pemasangan kateter urine.
2. Tidak terjadi infeksi saluran kemih setelah dilakukan perawatan kateter urine
dengan metode spooling.
3. Ada pengaruh perawatan kateter urine dengan metode spooling terhadap kejadian
infeksi saluran kemih di RSUD Dr. H. Moh. Anwar Sumenep.

5.2

Saran

5.2.1 Bagi Rumah Sakit


Untuk mengurangi angka kejadian infeksi saluran kemih yang diakibatkan
penggunaan kateter urine, rumah sakit hendaknya menjadikan perawatan kateter urine
metode spooling menjadi SOP untuk mencegah penumpukan mikroorganisme pada
saluran selang kateter yang dapat menyebabkan infeksi saluran kemih (ISK).
Disamping itu Rumah Sakit juga melakukan prosedur pemasangan kateter urine
dengan baik dan benar sesuai standart prosedur operasional, terutama dalam hal
tekhnik aseptik.
5.2.2 Bagi responden
Diharapkan kepada semua responden untuk memperhatikan kebersihan
genetalia agar tidak terjadi infeksi saluran kemih.

59

5.2.3 Bagi peneliti selanjutnya


Diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti dengan menggunakan
metode penelitian quasy experimental sehingga dapat memastikan perbedaan hasil
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
5.2.4 Bagi Perawat
Diharapkan bagi perawat untuk menerapkan perawatan kateter urine
menggunakan metode spooling (Irigasi) untuk mengurangi kejadian Infeksi Saluran
Kemih pada pasien pengguna kateter urine.

Anda mungkin juga menyukai