BAB I
PENDAHULUAN
Menurut WHO, Infeksi saluran kemih (ISK) adalah penyakit infeksi yang
kedua tersering pada tubuh sesudah infeksi saluran pernafasan dan sebanyak 8,3 juta
kasus dilaporkan per tahun. Infeksi ini juga lebih sering dijumpai pada wanita dari pada
laki-laki. Indonesia merupakannegara berpenduduk ke empat terbesar dunia setelah Cina,
India dan Amerika Serikat. Penduduk Indonesia dianggarkan sebanyak 222 juta jiwa (
BPSI, 2010 ).
Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kejadian infeksi nosokomial
jauh lebih tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan di dua kota besar Indonesia yaitu
Surabaya dan Semarang didapatkan angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 39%60%. Di Negara-negara berkembang terjadinya infeksi nosokomial tinggi karena
kurangnya pengawasan, praktek pencegahan yang buruk, pemakaian sumber terbatas
yang tidak tepat dan rumah sakit yang penuh sesak oleh pasien (Sumaryono. 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afsah (2008), tentang tingkat
kejadian infeksi saluran kemih pada pasien dengan terpasang kateter urin di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta, menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat angka
infeksi saluran kemih sebanyak 20%. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti di RSUD
Dr. H. Moh.Anwar sumenep didapatkan 5 pasien dengan gejala infeksi saluran kemih
dari 23 pasien terpasang kateter (Data bulan September 2014).
Infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik
dalam traktus urinarius, dengan atau tanpa disertai gejala. Faktor risiko yang umum
mencakup ketidakmampuan atau kegagalan kandung kemih untuk mengosongkan isinya
secara lengkap, penurunan mekanisme pertahanan alamiah dari pejamu, peralatan yang
dipasang pada traktus urinarius, seperti kateter dan prosedur sistoskopi. Proses tindakan
memasukkan selang kateter ke dalam buli-buli melalui uretra berisiko memasukkan
mikroorganisme ke dalam kandung kemih serta berisiko tinggi terjadinya trauma
terutama pada laki-laki. Pasien yang mengalami penurunan resistensi imun memiliki
risiko terbesar, setelah infeksi masuk ke dalam kandung kemih yang pada akhirnya dapat
mengenai ginjal. Penderita diabetes mellitus sangat berisiko karena peningkatan kadar
glukosa dalam urin menyebabkan suatu infeksi akibat lingkungan pada traktus urinarius.
Kehamilan dan gangguan neurologi juga meningkatkan risiko karena kondisi ini
menyebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap dan stasis urin (Smeltzer
& Bare, 2001).
Tingginya kemungkinan terjadi peningkatan infeksi saluran kemih yang
disebabkan oleh proses pemasangan kateterisasi urine menjadi tugas penting tenaga
kesehatan untuk mencari solusi guna meminimalkan kejadian infeksi saluran kemih,
seperti tekhnik perawatannya. Perawatan kateter berfungsi untuk menjaga kepatenan
salah satunya seperti irigasi kandung kemih (spooling) merupakan tindakan invasif yang
diprogramkan oleh dokter dengan cara membilas kandung kemih menggunakan larutan
steril yang terdiri dari larutan antiseptik dan antibiotik untuk membersihkan darah dan
fragmen lendir yang menyumbat kateter serta mengobati infeksi lokal.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah sebgai
berikut:
Apakah ada pengaruh perawatan kateter dengan metode spooling terhadap kejadian ISK
di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh dari perawatan
kateter menggunakan metode spooling terhadap kejadian infeksi saluran kemih yang
disebabkan oleh pemasangan kateter di RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep.
1.4
MANFAAT PENELITIAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1 Definisi
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih,
termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Sebagian besar
infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi virus dan jamur juga dapat
menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri tersering disebabkan oleh Escherichia coli.
Infeksi saluran kemih sering terjadi pada anak perempuan dan wanita. Salah satu
penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih pendek sehingga bakteri kontaminan
lebih mudah memperoleh akses ke kandung kemih (Corwin, 2007).
2.1.2 Faktor Penyebab dan Risiko
Infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik
dalam traktus urinarius, dengan atau tanpa disertai gejala. Pada umumnya Infeksi
Saluran Kemih (ISK) disebabkan kikroorganisme tunggal, yaitu :
1.
2.
3.
4.
Jenis kokus Gram-positif lebih jarang sebagai penyebab infeksi saluran kemih
(ISK) sedangkan enterokokus dan Staphylococus aureus sering ditemukan
ditemukan pada pasien dengan batu saluran kemih, lelaki usia lanjut dengan
hipertrofi prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter. Bila ditemukan S.
Aureus dalam urin harus dicurigai adanya infeksi hematogen melalui ginjal.
Demikian juga dengan Pseudomonas aeroginosa dapat menginfeksi saluran
kemih melalui jalur hematogen dan pada kira-kira 25% pasien demam tifoid
dapat disolasi Salmonella pada urin. Bakteri lain yang dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih (ISK) melalui jalan hematogen ialah brusela, nokardia,
aktinomises, dan Mycobacterium tuberculosea. Oleh karena bagian distal uretra
dan vagina sering dihuni oleh bakteri anaerob, untuk membuktikan bahwa
bakteri anaerob yang ditemukan dalam urine merupakan penyebab infeksi
saluran kemih (ISK) bersangkutan, contoh urin yang dipakai sebaiknya diambil
dari aspirasi suprapubik. Virus sering juga ditemukan pada urin tanpa gejala
infeksi saluran kemih (ISK) akut. Adenovirus tipe 11 dan 12 diduga sebagai
penyebab sistitis hemoragik. Sistitis hemoragik dapat juga disebabkan oleh
Schistosoma hematobium yang termasuk
merupakan jamur yang paling sering menyebabkan infeksi saluran kemih (ISK)
terutama pada pasien dengan kateter, pasien DM atau yang mendapat
pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. Kandida yang paling sering
menjadi antibiotik ialah Candida albikans dan Candida tropicalis. Semua jamur
sistemik dapat menulari saluran kemih secara hematogen (Tessy A. dkk, 2001,
hal 370).
Faktor resiko yang umum pada infeksi saluran kemih (ISK) adalah :
1)
2)
3)
Peralatan yang dipasang pada saluran perkemih seperti kateter dan prosedur
sistoskopi (Suharyanto dan Madjid 2009, hal 108)
Faktor risiko yang umum mencakup ketidakmampuan atau kegagalan kandung
Perempuan
a) Sistitis
Laki-laki
Presentasi klinis infeksi saluran kemih pada laki-laki mungkin sistitis,
prostatitis, epidimidis dan urethritis.
kronis
mungkin
akibat
lanjut
dari
infeksi
bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan
refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik
yang spesifik. Bakteriuria pada asimptomatik kronik pada orang dewasa
tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan pembentukan jaringan
ikat parenkim ginjal (Aru W.Sudoyo, 2006).
2.1.4 Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Kemih
Tanda-tanda dan gejala yang terjadi pada penyakit saluran kemih, yaitu: rasa
nyeri, perubahan eliminasi urin dan gejala gastrointestinal.
1. Gejala ISK bawah biasanya meliputi:
10
11
SISTITIS
b.
c.
refluks intrarenal
d.
e.
pielonefritis akut
parut ginjal
urosepsis
Sumber: Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV, 2007.
A. Peran patogenisitas bakteri
Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia coli diduga terkait dengan
etiologi ISK. Patogenisitaas E.coli terkait dengan bagian permukaan sel
polisakarida dari lipopolisakarin (LPS). Hanya IG serotype dari 170 serotipe O/
E.coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis, diduga strain E.coli ini
mempunyai patogenisitas khusus (Sukandar, 2004).
B. Peran bacterial attachment of mucosa
Penelitian membuktikan bahwa fimbriae
12
terikat pada kromosom dan berhubungan degan pathogenicity island (PAIS) dan
hanya 5% terikat pada gen plasmio. (Sukandar, 2004).
Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan
bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini menunjukan
ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi di antara individu
dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalam
kandung kemih dan ginjal. (Sukandar, 2004).
D. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)
i.
ii.
13
yang dapat meningkatkan hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren) dan
status secretor (sekresi antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas
immunoglobulin) sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait
dengan golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri)
dan dengan fenotipe golongan darah Lewis. (Sukandar, E., 2004).
Tabel 2.1 : Faktor-faktor yang meningkatkan kepekaan terhadap infeksi saluran kemih
(UTI) (Sukandar, 2004).
Genetic
Biologis
Perilaku
Lainnya
Status
kelainan kongenital:
Senggama:
Operasi urogenital:
nonsekretorik:
urinary
Penggunaan
Terapi estrogen.
golongan tracktobstruction,
diafragma,
Antigen
darah A, B, O
riwayat
infeksi kondom,
saluran
kemih spermisida,
sebelumnya,
penggunaan
diabetes
antibiotik terkini.
inkontinensi.
14
15
urinarius
mempunyai
pilus
tertentu
yang
16
Resiko potensial
Pielonefritis
Bayi premature
Anemia
Pregnancy-induced hypertension
17
atau
piuria
merupakan
salah
satu
petunjuk
penting
terhadap dugaan adalah ISK. Leukosuria dinyatakan positif bila mana terdapat
lebih dari 5 leukosit / lapang pandang besar ( LPB ) sediment air kemih.
b. Hematuria
Hematuria dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK yaitu
bilamana dijumpai 5 - 10 eritrosit / LPB sediment air kemih. Hematuria dapat
pula disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa rusakan
glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal atau
nekrosis papilaris.
2. Bakteriologisa
a. Mikroskopis
18
Pada pemeriksaan mikroskopis dapat digunakan air kemih segar tanpa diputar
atau pewarna gram. Bakteri dinyatakan positif bermakna bila mana dijumpai
satu bakteri lapangan pandang minyak emersi.
b. Biakan bakteri
Pemeriksaan biakan bakteri contoh air kemih dimaksudkan untuk memastikan
diagnosis infeksi saluran kemih (ISK) yaitu bila ditemukan bakteri dalam
jumlah bermakna sesuai dengan kriteria Cattel :
a) Wanita, simptomatik : > 102 organisme koliform/ml urin plus piuria, atau
105 organisme pathogen apapun/ml urin, atau adanya pertumbuhan
organisme pathogen apapun pada urin yang diambil dengan cara aspirasi
suprapubik.
b) Laki-laki, simptomatik : >103organisme patogen/ml urin.
c) Pasien asimptomatik : 105 organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin
berurutan.
3. Tes kimiawi
Beberapa tes kimiawi dapat dipakai untuk penyaring adanya bakteriuria,
diantaranya yang paling sering dipakai ialah Tes reduksi griess nitrat. Dasarnya
adalah sebagian besar mikroba kecuali enterokoki,mereduksi nitrat bila dijumpai
lebih dari 100,000 1,000,000 bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan
perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk
mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah
nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh enterokoki dan asinetobakter.
4. Tes plat celup (Dip-slide)
Beberapa pabrik mengeluarkan biakan buatan yang berupa lempeng plastik
bertangkai dimana pada kedua sisi permukaannya dilapisi perbenihan padat
19
khusus. Lempeng tersebut dicelupkan kedalam air kemih pasien atau dengan
digenangi air kemih. Setelah itu lempeng dimasukkan kembali kedalam tabung
plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan pengeraman semalam pada
suhu 37 0 C. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan membandingkan pola
pertumbuhan pada lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar yang
memperlihatkan keadaan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman
antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah
dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan kepekaannya tidak
dapat diketahui.
5. Pemeriksaan radiologis dan pemesiksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan radiologis pada infeksi saluran kemih (ISK) dimaksudkan untuk
mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor
predisposisi infeksi saluran kemih (ISK). Pemeriksaan ini dapat berupa pielografi
intravena, demikian pula dengan pemeriksaan lainnya, misalnya ultrasonografi dan
CT scanning (Sukandar, 2004).
2.1.8 Manajemen Infeksi Saluran Kemih
Pengobatan infeksi saluran kemih (ISK) bertujuan untuk membebaskan
saluran kemih dari bakteri dan mencegah atau mengendalikan infeksi berulang. Ada
beberapa metode pengobatan infeksi saluran kemih (ISK) yang lazim dipakai, yaitu:
1) Pengobatan dosis tunggal, yaitu obat diberikan satu kali
2) Pengobatan jangka pendek, yaitu 1 2 minggu
3) Pengobatan jangka panjang, yaitu 3 4 minggu
4) Pengobatan profilaktik, yaitu 1 kali sehari dalam waktu 3 6 bulan .
Dalam pendekatan klinis pengobatan infeksi saluran kemih (ISK), pemilihan
antibiotik adalah penting. Antibiotik yang sering digunakan adalah ampisilin,
20
21
22
11. Hindari penggunaan sabun yang kasar, gelembung sabun, bedak, atau semprotan
di area perineum, zat-zat ini dapat mengiritasi uretra dan menyebabkan inflasi
serta infeksi bakteri.
12. Hindari celana yang terlalu pas dan ketat atau pakaian lain lain yang dapat
mengiritasi uretra dan mencegah ventilasi perineum.
13. Gunakan celana dalam yang terbuat dari bahan katun dan buka dari bahan nilon.
Akumulasi kelembaban perineum memfasilitasi perkembangan bakteri dan bahan
katun meningkatkan ventilasi area perineum.
14. Remaja putri dan dewasa harus selalu mengelap area perineum dari arah depan ke
belakang setelah berkemih atau defekasi untuk mencegah masuknya bakteri
gastrointestinal ke uretra.
15. Apabila kekambuhan infeksi urine menjadi sebuah masalah , lakukan mandi
shower dan bukan mandi biasa. Bekteri yang berada di bak mandi dapat
memasuki uretra.
16. Tingkatkan keasaman urin melalui peningkatan asupan vitamin C dan meminum 2
sampai 3 gelas jus cranberry secara teratur setiap hari (Kozier, dkk, 2010, hal
872).
23
2.2
2.2.1 Definisi
Kateterisasi urine adalah sebuah prosedur memasukkan sebuah pipa karet
(latek, silicon, nelaton) yang fleksibel melalui uretra sampai ke kandung kemih.
Karakter politen menonjol biasanya mempunyai balon lateks. Beberapa kateter silicon
pada kenyataannya terbuat dari lateks yang diselubungi silicon disebelah luarnya
(Perry & Potter, 2005 hal 1710). Pemasangan kateter urin merupakan tindakan
keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui
uretra yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai
pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006).
Kateterisasi menetap adalah memasukan kateter ke dalam kandung kemih
melalui uretra untuk mengeluarkan urin secara terus menerus da n tetap tinggal
didalam kandung kemih selama periode tertentu. Kateterisasi urin membantu pasien
dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari
pasien untuk berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig,
2000).
2.2.2 Tujuan Pemasangan Kateterisasi Urine
1) Menghilangkan ketidaknyamanan karena distensi kandung kemih
2) Mendapatkan urine steril untuk spesimen
3) Pengkajian residu urine jika kandung kemih dikosongkan tidak komplit
4) Mengosongkan kandung kemih secara komplit sebelum pembedahan
5) Memberikan drainase dan irigasi kandung kemih yang secara berkala dan
berkelanjutan
6) Mencegah urine mengenai insisi setelah pembedahan
24
25
26
27
2) Ruam kulit, ukus, atau luka iritasi akibat kontak dengan urin
3) Penderita penyakit terminal yang merasa nyeri ketika linen tempat tidur
diganti (Potter dan Perry, 2006 Hal 1721).
Kateterisasi urine menetap (folley catheter) digunakan pada klien pasca operasi uretra
dan struktur di sekitarnya (TUR-P), obstruksi aliaran urin, obstruksi uretra, pada
pasien inkontinensia dan disorientasi berat (Hidayat, 2006).
2.2.5. Kontraindikasi kateterisasi Urine
Kateterisasi kandung kemih khususnya kateterisasi uretra tidak boleh
dilakukan pada penderita yang mengalami cedera uretra dan/atau pasien yang mampu
untuk berkemih spontan (Brunner & Suddarth, 2000).
Kontra indikasi penggunaan kateterisasi, yaitu :
a) Klien dengan Infeksi Saluran Kemih (ISK)
b) Klien dengan striktura uretra
2.2.6. Komplikasi Kateterisasi Urine
Adanya kateter dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi. Kolonisasi
bakteri (bakteriuria) akan terjadi dalam waktu 4 sampai 5 hari pada separuh dari
pasien yang menggunakan kateter urine, dan dalam waktu lebih dari 2 minggu
sesudah pemasangan kateter terjadi pada hampir semua pasien. Pemasangan kateter
akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada saluran kemih bagian bawah
dengan menyumbat saluran di sekeliling uretra, mengiritasi mukosa kandung kemih
dan menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih.
Penanganan kateter urine yang salah paling sering menjadi penyebab
kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi. Infeksi
akan terjadi tanpa terelakkan ketika urine mengenai mukosa yang rusak tersebut
28
(Brunner & Suddarth, 2000). Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi dapat
menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan kematian (Utama, 2006).
2.2.7. Persiapan Alat
1)
Bak instrument
2)
Spuit 10 cc
3)
4)
Bengkok
5)
6)
Aquades
7)
Plester
8)
Gunting
9)
Plester
10) Perlak
11) Kateter urine sesuai dengan ukuran
12) Kapas sublimate
13) Kassa
14) Urine bag
15) Jelly atau vaselin
16) Waskom larutan chlorine 0,5% (Kozier & Erb, 2011).
2.2.8 Prosedur kerja
1)
2)
3)
Ucapkan salam
4)
5)
29
6)
7)
8)
9)
Buka pembungkus bagian luar kateter, kemudian letakkan dalam bak steril
30
31
atas selang. Monitor adanya bekuan darah atau sedimen yang dapat menyumbat
selang penampung. Urin di dalam kantung drainase merupakan tempat yang
sangat baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri dapat berjalan menaiki selang
drainase untuk berkembang di tempat berkumpulnya urin. Apabila urin ini
kembali mengalir ke dalam kandung kemih klien, kemungkinan akan terjadi
infeksi.
e) Cegah refluks urin ke dalam kandung kemih dengan mempertahankan kantung
drainase lebih rendah dari ketinggian kandung kemih klien. Untuk itu kantung
digantungkan pada kerangka tempat tidur tanpa menyentuh lantai. Jangan pernah
menggantung kantung drainase di pengaman tempat tidur karena kantung tersebut
dapat dinaikkan tanpa sengaja sampai ketinggiannya melebihi kandung kemih.
Apabila perlu meninggikan kantung selama memindahkan klien ke tempat tidur
atau ke sebuah kursi roda, mula-mula klem selang atau kosongkan isi selang ke
dalam kantung drainase. Jika klien hendak berjalan, perawat atau klien harus
membawa kantung urine di bawah pinggang klien. Sebelum melakukan latihan
atau ambulasi, keluarkan semua urine dalam selang ke dalam kantung drainase.
f) Kantung penampung tidak boleh menyentuh lantai. Kantong dan selang drainase
harus segera diganti jika terjadi kontaminasi, aliran urin tersumbat atau tempat
persambungan selang dengan kateter mulai bocor, hal ini untuk mencegah
berkembangnya bakteri.
g) Kantong urin harus dikosongkan sekurang-kurangnya setiap 8 jam melalui katup
(klep) drainase. Klep terletak di bagian dasar kantung yang merupakan alat untuk
mengosongkan mengosongkan kantung urine. Apabila tercatat bahwa haluaran
urine banyak, kosongkan kantung dengan lebih sering untuk mengurangi risiko
proliferasi
32
membersihkan urin residu (media kultur yang sangat baik untuk perkembangan
bakteri) dan dapat melancarkan suplai darah ke dinding kandung kemih sehingga
tingkat infeksi dapat berkurang.
h) Mengosongkan kantung penampung ke dalam takaran urin untuk klien tersebut,
takaran harus dibersihkan dengan teratur agar tidak terjadi kontaminasi pada
sistem drainase. Pastikan bahwa setiap klien memiliki wadah terpisah untuk
mengukur urin guna mencegah kontaminasi silang.
i) Jangan melepaskan sambungan kateter, kecuali bila akan dibilas untuk mencegah
masuknya bakteri. Perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa selang
drainase tidak terkontaminasi. Apabila sambungan selang drainase terputus,
jangan menyentuh bagian ujung kateter atau selang. Bersihkan ujung selang
dengan larutan desinfektan sebelum menyambungnya kembali.
j) Kateter urin tidak boleh dilepas dari selang untuk mengambil sampel urin;
mengirigasi kateter; memindahkan atau mengubah posisi pasien untuk mencegah
kontaminasi bakteri dari luar.
k) Mengambil urin untuk pemeriksaan harus menggunakan teknik aseptik yaitu
ditusuk dengan jarum suntik, bagian yang akan ditusuk harus dibersihkan dulu
dengan alkohol atau providone-iodine.
l) Kateter tidak boleh terpasang lebih lama dari yang diperlukan. Jika kateter harus
dibiarkan selama beberapa hari atau beberapa minggu maka kateter tersebut harus
diganti secara periodik sekitar semingu sekali. Semakin jarang kateter diganti,
risiko infeksi semakin tinggi (Perry & potter, 2006 Hal 1724).
33
II.
A. Persiapan Alat
34
a) Larutan irigasi NaCl streril, sesuaikan suhu dalam kantung dengan suhu
ruangan
b) Kateter 2 cabang
d) Spuit 30-50 cc
e) Kapas antiseptik
35
h) Perlak
i) Bengkok
B. Prosedur kerja
1. Ucapkan salam terapeutik
2. Jelaskan kepada klien tentang pelaksanaan irigasi kateter
3. Cuci tangan dan pantau prosedur pengendalian infeksi yang tepat
4. Berikan privasi pada pasien
5. Pakai sarung tangan bersih
6. Kosongkan, ukur dan catat jumlah dan penampakan urine yang ada pada
kantung drainase. Buang urine, dan sarung tangan.
7. Siapkan perlengkapan:
a) cuci tangan dan pakai sarung tangan
b) letakkan handuk kedap air dibawah kateter
c) klem selang drainase dibagian distal port injeksi pada selang kateter
36
37
2.3
Kerangka Konsep
Faktor penyebab terjadinya infeksi
saluran kemih :
1. Masuknya mikroorganisme
kedalam kandung kemih
Faktor resiko tinggi terinfeksi
saluran kemih:
1. Kegagalan kandung kemih
mnegosongkan isinya secara
sempurna
2. Penurunan imunitas tubuh
3. Peralatan yang dipasang seperti
kateter urine
Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih lemah dan masih memerlukan
pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis penelitian diterima atau ditolak.
Hipotesis ditentukan berdasarkan fakta-fakta atau data empiris yang telah
dikumpulkan dalam penelitian atau bisa dikatakan hipotesis adalah sebuah pernyataan
tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat di uji
38
secara empiris. Hipotesis biasanya berisi pernyataan terhadap ada atau tidak adanya
hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas (independent variabel) dan
variabel terikat (dependent variabel) (Hidayat, 2009).
H1: Ada pengaruh dari perawatan kepatenan kateter dengan menggunakan metode
spooling terhadap kejadian ISK di RSUD Dr.H.moh.Anwar Sumenep.
39
BAB 3
METODE PENELITIAN
Bab III adalah cara menyelesaikan masalah dengan metode keilmuan (Nursalam,
2003). Dalam bab ini akan diuraikan tentang rancangan penelitian, populasi sampel, tempat
penelitian, waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpulan data, dan rencana analisis
data.
3.1
Desain Penelitian
Desain penelitian adalah suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah
ditetapkan dan berperan sebagai atau penuntun penelitian pada seluruh proses penelitian
(Nursalam, pariani, 2001). Berdasarkan tujuan penelitian, desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah di lakukan pada kedua kelompok tersebut data penelitian post test di
gunakan preexperimental design dengan salah satu jenis dari penelitian ini yaitu one group
pretest-posttest design. Penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan pretest terlebih
dahulu sebelum melakukan intervensi, setelah itu diberikan intervensi, kemudian dilakukan
posttest (pengamatan akhir).
Pre test
Intervensi
Post test
O1
O2
Keterangan :
O1
: Intervensi
O2
40
3.2
Kerangka Kerja
Populasi:
Pasien terpasang kateter urine berjumlah 23 orang
Tekhnik Sampling:
Simple Random Sampling
Sampel :
22 orang
Variabel Indenpendent:
Metode spooling kateter
Dianalisa tanda
dan gejala infeksi
saluran kemih
sebelum dan
sesudah diberikan
perlakuan.
Variabel Dependent:
Infeksi saluran kemih
Analisis data:
Chi-square Test spss 16
Hasil penelitian
Gambar 3.1.
Kerangka
kerja
pengaruh
perawatan
kateter
dengan
metode
41
3.3
3.3.1
Populasi
Menurut Sugiyono (2009) dalam Hidayat (2010) populasi merupakan seluruh
subyek atau obyek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti, bukan hanya obyek
atau subyek yang dipelajari saja tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki
subyek atau obyek tersebut. Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien yang
terpasang kateter urine sesuai kriteria inklusi di RSUD Dr. H.Moh. Anwar Sumenep
yang berjumlah 23 orang pada periode bulan september 2014.
3.3.2
Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
= Besaran Sampel
= Besaran Populasi
42
Identifikasi Variabel
3.4.1
Variabel Independen
43
Menurut Polit dan Hungler (1999) dalam I Ketut Swarjana (2012) variabel
independen adalah variabel yang menyebabkan perubahan terhadap variabel yang
lain. Dalam penelitian ini variabel indenpendennya yaitu metode spooling kateter.
3.4.2
Variabel Dependen
Menurut Thomas et al (2010) dalam I Ketut Swarjana (2012) variabel
dependen adalah variabel yang berubah akibat dari perubahan variabel yang lain.
Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah infeksi saluran kemih.
3.5
Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah pemberian arti atau makna pada masing-masing
variabel untuk kepentingan akurasi, komunikasi, dan replikasi agar memberikan
pemahaman sama pada setiap orang mengenai variabel yang diangkat dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2003).
Tabel 3.1 : Definisi Operasional
Variabel
Definisi
Parameter
Instrumen
Skala
SAK
Nominal
konseptual
Variabel
Suatu
independen:
pembilasan
dilakukan
Perawatan
dengan larutan
perawatan
kateter
tertentu
metode
dengan
membersihkan
spooling
metode
kandung kemih
sehari selama
spooling
dari
fragmen
atau
bekuan
darah
dapat
metode
untuk
yang
Setelah
1x
hari
berturut-turut
tidak
terjadi
penyumbatan
Hasil ukur
44
menyumbat
pada
kateter.
pasien
kateter
Variable
Suatu
infeksi Tanda
gejala Observasi
dependen:
infeksi
Infeksi
sepanjang
saluran
saluran
saluran
a. Tumor
kemih b. Rubor
Nominal
1. Terjadi gejala
kemih
2. Tidak terjadi
mikroorganisme d. Calor
gejala infeksi
pada
e. Functio
saluran
laesa
kemih.
pemasangan
kateter urine
Hasil
pemeriksaan
Laboratorium:
Negatif ISK:
-
leukosit: 04/LPB
sedimen air
kemih
Eritrosit: 02/LPB
sedimen air
kemih
Positif ISK:
-
Leukosit <5
LPB/
45
sedimen air
kemih
-
Eritrosit:
<5-10/LPB
sedimen air
kemih
3.6
Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
Moh.Anwar Sumenep.
3.6.3
46
47
dilakukan setelah proses perawatan kateter metode spooling selesai pada hari ke 5
untuk dijadikan tolak ukur dari pengaruh perawatan kateter metode spooling tersebut.
Perawatan kateter pada kelompok perlakuan dengan metode spooling dilakukan di
atas tempat tidur pasien. Perawatan kateter dipertahankan menggunakan system
drainase tertutup. Urine pada kantong drainase dibuang secara berkala setiap 8 jam
sekali dan jumlah output urine dihitung sesuai jumlah input cairan, termasuk jumlah
input larutan spooling (irigasi).
3.7
Editing
Merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh
atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah
data terkumpul (Hidayat, 2010).
3.7.2
Coding
Merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang
Tabulating
Dalam tabulating ini dilakukan penyusunan dan penghitungan data dari hasil
coding untuk kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dilakukan evaluasi
(Nursalam, 2003).
48
3.7.4
Analisis Data
Data yang sudah dikumpulkan dari kuisioner kemudian dianalisis dengan
menggunakan uji SPSS 16.00 chi- square Test (Hidayat, 2010). Peneliti memilih
pengujian data menggunakan statistik chi-square Test (Pre-Post) terhadap satu
sampel untuk mengetahui pengaruh antara variabel independent dan variabel
dependent dengan skala data nominal dan tingkat kemaknaan 0,05 artinya jika
hasil uji statistik menunjukkan 0,05, maka ada pengaruh yang signifikan antara
variabel independent dan variabel dependent. Peneliti menggunakan lembar observasi
yang dianalisis dengan chi-square test untuk memvalidasi hasil dari observasi, dengan
ketentuan apabila hasil dari pre test dan post test observasi sama maka ada pengaruh
yang signifikan antara variabel independent dan variabel dependent, namun apabila
hasil pre test dan post test observasi tidak ada kesesuaian maka tidak ada pengaruh
yang signifikan antara variabel independent dan variabel dependent.
3.8
Etik Penelitian
Penelitian akan dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari program studi
S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan
atas ijin dari Kepala Ruangan di RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep. Penelitian akan
dimulai dengan melakukan beberapa prosedur yang berhubungan dengan etika
penelitian yang meliputi:
3.8.1
Informed Concent
Lembar persetujuan akan deberikan kepada responden/keluarga yang mampu
membaca dan lebih diteliti. Lalu peneliti menjelaskan tujuan, manfat, prosedur dan
hal-hal yang akan dilakukan selama pengumpulan data setelah responden bersedia
maka responden harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika tidak
bersedia maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghargai keputusan tersebut.
49
3.8.2
Anonimity
Kerahasiaan identitas responden harus dijaga. Oleh karena itu peneliti tidak
Confidentiality
Peneliti wajib merahasiakan data-data yang sudah dikumpulkan oleh karena
itu peneliti menjamin kerahasiaan dari identitas responden karena hanya kelompok
data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.
3.8.4 Keterbatasan
Keterbatasan adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian. Keterbatasan
yang dihadapi peneliti antara lain:
1. Jumlah sampel yang terbatas sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasikan
2. Waktu, biaya, dan tenaga berpengaruh terhadap analisis hasil penelitian yang
dilakukan peneliti.
3. Tingkat kebersihan serta set alat kateter pasien yang tidak memenuhi standart
sehingga mempengaruhi validasi penelitian.
50
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini disajikan dalam dua bagian yaitu data umum dan data
khusus. Data umum meliputi karateristik responden yang terdiri dari umur, jenis
kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. Sedangkan data khusus terdiri dari hasil
pengukuran informed concent terhadap tingkat kepuasan pasien pre operasi diruang
rawat inap bedah RSUD Dr. H. Moh. Anwar Sumenep.
4.1
HASIL PENELITIAN
51
Umur
25 33
34 42
43 51
52 60
61 69
Jumlah
Jumlah
7
7
5
2
1
22
Persentase(%)
32%
32%
23%
9%
4%
100%
Jenis kelamin
Jumlah
Persentase (%)
Laki- laki
15
68%
Prempuan
32%
22
100%
Jumlah
52
Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
SD
15
68%
SMP
14%
SMA
14%
SARJANA
4%
22
100%
Jumlah
Pekerjaan
Jumlah
Persentase
Petani
11
50%
Wiraswasta
19%
Swasta
23%
Pelajar
4%
PNS
4%
22
100%
Jumlah
53
responden
Frekuensi
1. Terjadi
Infeksi
22,7 %
2. Tidak terjadi
Infeksi
17
77,3 %
Jumlah
22
100 %
Frekuensi
1. Terjadi Infeksi
13,6 %
2. Tidak terjadi
Infeksi
19
86,4 %
54
Jumlah
22
100 %
Persent (%)
Present (%)
Pre-test
22,7 %
17
77,3 %
Post-test
13,6 %
19
86,4 %
= 0. 001< = 0,05
Uji Chi-Square
4.2
Pembahasan
55
mengalami infeksi saluran kemih (ISK) sebanyak 5 0rang (22,7 %). Hal ini terbukti
dari hasil pemeriksaan laboratorium dan didukung oleh responden yang diteliti baru
dipasang kateter urine selama 5 hari. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Brunner dan Suddart yang menyebutkan bahwa kolonisasi bakteri pada saluran
kemih terjadi dalam waktu 4-5 hari pemasangan kateter urine. Selain itu salah satu
Faktor terjadinya gejala infeksi saluran kemih pada sebagian pasien mungkin
disebabkan oleh penggunaan alat kateter yang tidak sesuai standart seperti
penggunaan urine bag. Sebagian pasien ada yang menggunakan urine bag yang terdiri
dari botol mineral yang tertutup plastik kresek hitam. mungkin hal ini yang memicu
terjadinya kolonisasi mikroorganisme penyebab infeksi saluran kemih tersebut.
4.2.2 mengidentifikasi kejadian isk setelah dilakukan perawatan kateter dengan
metode spooling terhadap kejadian isk di rsud dr.h.moh.anwar sumenep
Berdasarkan tabel 4.7 diatas menunjukkan bahwa hasil penelitian pasien
terpasang kateter setelah diberikan perawatan kateter metode spooling yang tidak
mengalami infeksi saluran kemih (ISK) sebanyak 19 orang (86,4 %).
Irigasi (spooling) adalah pembilasan atau pembersihan dengan larutan tertentu
guna membersihkan kandung kemih dan kadangkala untuk memberikan obat
kedinding kandung kemih yang larutannya terdiri dari antiseptik dan antibiotik untuk
membersihkan kandung kemih atau infeksi lokal. Tindakan ini menerapkan asepsis
steril (Kozier dkk, 2010 Hal 887).
Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak
mengalami infeksi saluran kemih (ISK) yaitu sebanyak 19 orang (86,4 %) dan yang
mengalami infeksi saluran kemih (ISK) sebanyak 3 0rang (13,6 %). Hal ini terbukti
dari hasil pemeriksaan laboratorium dan didukung oleh perawatan kateter urine
berupa metode spooling. Berdasarkan hal tersebut dapat menunjukkan bahwa
56
perawatan kateter metode spooling dapat mengurangi kejadian infeksi saluran kemih
(ISK) dengan cara mengeluarkan segmen maupun mikroorganisme yang berada
disepanjang saluran selang kateter urine menggunakan cairan NaCl.
4.2.3 Menganalisis pengaruh perawatan kateter dengan metode spooling terhadap
kejadian ISK di RSUD Dr.H.Moh.Anwar Sumenep.
Berdasarkan tabel 4.7 setelah dilakukan uji statistik Chi-Square untuk
mengetahui pengaruh perawatan kateter urine dengan metode spooling terhadap
kejadian infeksi saluran kemih (ISK) menunjukkan hasil dengan nilai signifikasi =
0,001 sehingga Ho ditolak dan H1 diterima, artinya ada pengaruh dari perawatan
kateter metode spooling terhadap kejadian infeksi saluran kemih.
Infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh penyumbatan segmen pada selang
kateter berupa peradangan saluran kemih bagian atas, peradangan saluran kemih
bagian bawah dan Peradangan pada kandung kemih (Perry & potter, 2006 Hal 1724).
Infeksi saluran kemih pada pasien terpasang kateter dapat disebabkan oleh
pemasangan kateter urine yang tidak hyginis, penyumbatan segmen (seperti pus,
darah dan lendir), kurangnya perawatan kateter urine dan lamanya pemasangan
kateter urine (Perry & potter, 2006 Hal 1724). Menurut kozier dkk, penyumbatan
segmen pada saluran kateter urine tersebut dapat diatasi dengan perawatan kateter
urine metode spooling.
Hasil diatas menunjukkan tidak adanya responden yang sebelumnya tidak
terinfeksi menjadi terinfeksi. Hal ini dikarenakan spooling kateter urine sendiri
berfungsi untuk membersihkan segmen seperti pus, darah, lendir bahkan
mikroorganisme dari saluran kateter. Program perawatan kateter dengan metode
spooling dilakukan setiap hari pada pagi hari sehingga mikroorganisme penyebab
infeksi saluran kemih tidak dapat berkoloni. Dengan demikian perawatan kateter
57
metode spooling dapat mengurangi kejadian infeksi saluran kemih pada pasien
pengguna kateter urine di rumah sakit.
58
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan berdasarkan hasil yang telah
dipaparkan pada bab sebelumnya, adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sebagian besar responden tidak mengalami infeksi saluran kemih akibat
pemasangan kateter urine.
2. Tidak terjadi infeksi saluran kemih setelah dilakukan perawatan kateter urine
dengan metode spooling.
3. Ada pengaruh perawatan kateter urine dengan metode spooling terhadap kejadian
infeksi saluran kemih di RSUD Dr. H. Moh. Anwar Sumenep.
5.2
Saran
59