Anda di halaman 1dari 7

Seksualitas dan Hak Reproduksi Perempuan

Tinjauan

singkat terhadap peraturan perundang-undangan

Oleh : Anjaz Hilman, SH.[1]

Awalnya adalah kesadaran dari sebagian kelompok masyarakat


untuk mengakhiri keadaan yang serba diskriminatif bagi perempuan,
keadaan mana padu dalam tata nilai dan sistem sosial masyarakat
patriarki yang sedemikian rupa mengkotakkan perempuan pada
kepasrahan dalam ketidaksetujuan. Bangunan hubungan yang
diskriminatif ini menemui akarnya pada keadaan kodrati perempuan
yang spesial, nyatanya segenap kenyataan biologis perempuan dipandang
dan dirumuskan sebagai sesuatu kelemahan. Seksualitas, misalnya yang
semestinya potensi ini dipandang dalam pola relasi yang wajar dan sejajar
akan tetapi nilai dan sistem sosial memformulasikannya secara berlebihan
sehingga maksud baik untuk melindungi malah memunculkan kekerasan,
pembatasan serta ketidakberdayaan yang merugikan bagi perempuan itu
sendiri baik di ruang publik maupun di ruang privat.
Upaya untuk merubah struktur nilai, pola hubungan dan sistem
sosial tersebut hingga kini terus dilakukan. Dalam hal ini hingga sampai
pada tataran pembentukan norma hukum positif berupa perundangundangan yang mengakomodir kepentingan perlindungan yang fair bagi
perempuan dalam perspektif kesetaraan.
Seksualitas dapat dimaknai sebagai suatu keadaan yang
sedemikian rupa yang dihasilkan dari potensi biologis perempuan yang
berbeda dengan laki-laki. Sedang reproduksi mengarah kepada
kemampuan individu secara almiah dalam menghasilkan keturunan.
Secara spesifik undang-undang tidak menegaskan konsepnya
mengenai seksualitas dan reproduksi. Sebaliknya konsep tersebut dicakup
dalam konsep perlindungan hak-hak perempuan yang dirumuskan ke
dalam aspek-aspek kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan,
perlindungan dari kekerasan dan kejahatan di luar maupun di dalam
rumah tangga, pelayanan kesehatan bagi perempuan.

Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap perempuan,


UUD 1945 sebagai hukum dasar mengatur persoalan tersebut dalam
kerangka hak azasi manusia (Bab XA),yaitu hak untuk hidup, hak untuk
bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat
manusia serta bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan
hak mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif. Sebagai norma dasar ia berlaku terhadap semua orang
tanpa terkecuali.
Setiap norma memiliki dimensi validitas dan keberlakuan,
demikian pula halnya dengan norma yang menyangkut perlindungan
terhadap perempuan. Suatu norma dikatakan valid jika memiliki
keberadaan dan memiliki kekuatan mengikat terhadap orang yang
perilakunya diatur. Sedangkan keberlakuan suatu norma menyangkut
prilaku atau perbuatan manusia sebagai bentuk kepatuhannya kepada
norma (Hans Kelsen, General Theory of Law & State, 1961).

Keberadaan Norma Perlindungan Perempuan


Hukum sebagai bentuk teknik sosial yang khas, didalamnya harus
terdapat paksaan guna menghadirkan kesesuaian perilaku setiap orang
sesuai dengan norma. Dan jika yang muncul adalah perilaku yang
sebaliknya, sebagai norma hukum dapat dipaksakan kepada pelaku
sebagai sanksi. UUD sebagai norma dasar yang bersifat umum tidak
memuat sanksi dan tentu untuk sampai serta mampu menjangkau
kenyataan, ia memerlukan pengaturan yang lebih lanjut dalam bentuk
peraturan pelaksana dibawahnya. Dalam kaitannya dengan tema di atas
keberadaan norma terkait tersebar di beberapa peraturan perundangundangan, diantaranya :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana


Dalam lingkup kejahatan kesusilaan dalam pidana umum yang
terkait dengan perlindungan perempuan terhadap kejahatan antara lain
pasal tentang perkosaan dan perbuatan cabul. Meskipun KUHP
keberadaannya telah sedemikian lama akan tetapi ada baiknya juga
dilihat guna membangun pemahaman tentang sistem hukum yang
mengakomodir kepentingan perlindungan terhadap perempuan.

a. Kejahatan Perkosaan (Pasal 285 s/d 288).


Perkosaan dirumuskan sebagai perbuatan yang memaksakan
terjadinya persetubuhan dengan perempuan. Singkatnya suatu dikatakan
pemerkosaan bila memenuhi unsur pemaksanaan dengan kekerasan
maupun ancaman, persetubuhan sebagai maksud pemaksaan dan
dilakukan kepada perempuan (bukan istrinya).
Dari sisi perempuan sebagai korban, rumusan KUHP membagi kejahatan
perkosaan dalam beberapa tingkatan diantaranya ;
Dilakukan kepada perempuan yang bukan istri pelaku
2. Dalam keadaan tidak berdaya atau pingsan bukan istri pelaku dan
3. Perempuan dibawah umur bukan istri pelaku
4. Perempuan dibawah umur meskipun sebagai istri pelaku
1.

Dari keempat tingkatan tersebut sesuai perkembangan hari ini


masih relevan namun tidak sanggup menjangkau keadaan spesifik berupa
kekerasan seksual yang hadir dalam rumah tangga terhadap seorang istri
yang dilakukan oleh suami, katakanlah marital rape sebagai bentuk
perkosaan yang dilakukan suami terhadap istri. Konsep ini memang
terkesan aneh dalam sistem sosial kita yang patriarki yang menyatakan
bahwa hubungan seksual adalah kewajiban istri kepada suami bukan
suatu yang dilakukan atas kehendak bebasnya sebagai istri untuk
menolak ataupun mengiyakan.
Dari contoh di atas jelas ketidakmampuan KUHP lebih disebabkan
pengaruh nilai dan sistem sosial patriarki. Terlebih lagi jika hendak
digunakan untuk mengatasi gejala kejahatan dengan modus baru seperti
memaksakan kehamilan untuk kemudian anak yang terlahir dijual,
pemaksaan pelacuran, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang
tidak wajar.

b. Perbuatan cabul (Pasal 289 s/d 299)


Perbuatan cabul dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang
merusak kesusilaan. Meskipun menekankan pada aspek susila, perbuatan
cabul dengan gamblang dapat dipahami yang dilakukan untuk
mendapatkan kepuasan seksual dari orang lain, maka tetap saja unsur
utamanya ada pada pemanfaatan seksual secara tidak sah. KUHP
menyebutkan pencabulan tidak merujuk pada jenis kelamin tertentu akan
tetapi umum dapat terjadi pada baik laki-laki apalagi perempuan.
2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Tentang perkawinan pasal 31 menegaskan posisi perempuan yang


setara dengan laki-laki, dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3. UU No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on Elimination of All

Forms of Discrimination Against Women/CEDAW).


Diskriminasi dan persamaan hak perempuan secara sosial,ekonomi
dan budaya (ecosoc right) termasuk didalamnya perlakukan tidak yang
menyenangkan atau pelecehan seksual dimanapun dan atas alasan
apapun.
4. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Kesehatan merupakan hak asasi setiap orang yang dijamin UUD
dan undang-undang sebagai bagian dari hak untuk hidup dan hak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupan (Pasal 28A UUD 1945) juga
dijamin dalam Pasal 28 H setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
Melalui undang-undang kesehatan dalam hal ini menyangkut
pelayanan medis bagi perempuan yang hanya disinggung dalam pasal 13
sampai dengan pasal 16 pada bagian kedua dalam pasal kesehatan
keluarga. Pada prinsipnya pasal-pasal tersebut menyangkut kesehatan
reproduksi suami istri terutama istri- yang diutamakan pada upaya
pengaturan kelahiran dalam rangka menciptakan keluarga sehat dan
harmonis.
Dalam kaitannnya dengan hak reproduksi perempuan undangundang ini tetap memberikan gambaran dalam konteks keluarga atau
dalam status perempuan sebagai istri dimana hak kesehatan diakui yang
meliputi pra kehamilan, kehamilan , persalinan dan masa di luar
kehamilan. Jika dilihat dari lingkup yang diberikan undang-undang jelas
bahwa apa yang maksud adalah hak-hak kesehatan reproduksi
perempuan. Dan jika begitu maka hak atas kesehatan reproduksi
perempuan juga menyangkut hak untuk hidup, mempertahankan hidup
dan kehidupan dengan kata lain adalah bagian dari hak asasi manusia
yang dijamin UUD.
5. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga

Berdasarkan prinsip penghormatan hak asasi manusia, keadilan


dan kesetraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban, UU
KDRT mencoba memberikan jawaban terhadap kurangnya jangkauan dan
perlindungan hukum bagi perempuan di wilayah domestik atau privat
yang selama ini tertutup dari jangkauan norma hukum pidana sebagai
hukum publik. Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga sebagai
berikut :
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaaan
secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 angka
1).
Dalam undang-undang ini kekerasan dimaksud adalah kekerasan
fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga,
lengkap dengan sanksi pidananya. Adapun yang dimaksud kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Dan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilang rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
Dalam kaitannya dengan seksualitas dan hak reproduksi
perempuan undang-undang merumuskan norma tentang kekerasan
seksual yang meliputi;pertama, pemaksaan hubungan seksual yang
terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga, kedua,
pemaksaaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkungan
rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu. Adapun pada bentuk-bentuknya antara lain, marital
rape, pemaksaan kehamilan untuk tujuan komersil dan pelacuran paksa.
Kedua pengertian di atas memiliki kaitan dengan pengaturan
kejahatan perkosaan dan pencabulan dalam KUHP hanya saja KUHP
tidak menegaskan lingkup sebagaimana dalam undang-undang KDRT ini,
sehingga dalam penegakan hukum akses korban -terutama perempuan
dan anak- dalam memperoleh keadilan terhambat. Apalagi jika pelaku
memberikan pembenaran bahwasannya persoalan tersebut adalah
masalah dalam hubungan rumah tangga yang tabu untuk diketahui
umum apalagi untuk diselesaikan melalui hukum, tidak jarang aparat
malah mengembalikan persoalan ini kepada pelaku dan korban dalam
bungkus berdamai saja.

Kenyataan Keberlakuan Norma Perlindungan Perempuan


Keberadaan serangkaian undang-undang di atas sebagai norma
hukum positif yang berlaku dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan di
bidang perundang-undangan yang responsif terhadap perkembangan dan
kemajuan masyarakatnya. Sebagai norma yang mungkin mendekati cita
keadilan setelah menetukan perbuatan apa yang sesuai dan tidak serta
menentukan kepada siapa aturan itu berlaku, juga tidak terlepas dari
ruang dan waktu. Oleh karena itu setelah dapat dipastikan keberadaan
suatu norma, selanjutnya bagi masyarakat adalah bagaimana orang-orang
bertindak untuk mematuhinya.
Untuk melihat hal ini setidaknya kembali lagi pada nilai dan sistem
sosial masyarakat, sebab kepatuhan orang terhadap hukum juga
dipengaruhi oleh pemahamannya terhadap nilai sosial budaya yang
melingkupinya. Selain itu juga tidak kalah penting adanya kesiapan
aparat hukum memberikan pelayanan sekaligus perlindungan pada diri
korban.
Di masyarakat sendiri, untuk mematuhi undang-undang, biasanya
terlebih dahulu diawali dengan penolakan apalagi menyangkut rumah
tangga dan hubungan suami istri, misalnya selama ini nilai yang
dipahami adalah bahwa seorang suami memiliki kewenangan mutlak
terhadap istrinya dan rumah tangganya. Kemudian bagi aparat hukum
perlu mengeser pola pandang dan pola pendekatan yang timpang ke arah
yang berkesetaraan.
Kita tahu selama ini dalam proses penegakan hukum, senjata
pamungkas aparat tidak lebih dari pendekatan kekerasan, strukturalbirokratis, kolusif dan pembiaran, sehingga sepanjang proses yang
dijalani itu jaminan bagi perempuan untuk mengakses hukum menjadi
terhalang. Apalagi baru-baru ini hal tersebut tambah dilestarikan dengan
keluarnya Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang pelarangan
pelacuran.
Pendekatan yang anti keberadaan perempuan di ruang publik oleh
otoritas lokal di atas, menemukan momentumnya yang keliru dalam
penegakan hukum, sebab pendekatan represif (razia) aparat pamong yang
digunakan sungguh melanggar kemerdekaan yang dijamin UUD, yang
seharusnya perda sebagai norma yang lebih rendah, selaras dengan
undang-undang dan UUD. Bagaimana mungkin UUD yang menghargai
kemerdekaan dan anti diskriminasi ditindak lanjuti oleh perda yang justru
memberikan diskriminasi dan pembatasan -seolah menetapkan jam
malam- bagi perempuan.

Penutup
Keberlakuan hukum adalah wilayah mewujudkan kenyataan dan
sering disebut sebagai kekuasaan hukum (the power of law)[2]. Jika untuk
adanya keberlakuan diberikan kekuasaan, maka masalah validitas dan
keberlakuan ditrasformasi menjadi masalah yang lebih umum, yaitu yang
benar dan yang menentukan (kekuasaan). Semoga saja UUD sebagai
konstitusi tetap dapat dimaknai sebagai norma dasar yang menjamin hak
asasi manusia -dalam hal ini adalah perempuan dan perlindungan
terhadapnya, sebagai acuan kehidupan penegakan hukum dan
penyelenggaraan keadilan sosial dalam negara hukum Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai