PRIAPISMUS
Tutor :
DR. dr. M.Mukhlis Rudi P, M.Kes, M.Si.Med, Sp.An
Disusun oleh :
KELOMPOK I2
Pratiwi Ariefiyanti N.
G1A011096
Stella Gracia O.
G1A011097
G1A011098
Annisa Fatimah
G1A011099
Kasus
Seorang laki-laki, 33 tahun dengan berat badan 75 kg datang dengan
keluhan timbul benjolan di dubur yang nyeri dan kadang berdarah selama 4 bulan.
Pasien juga mengeluhkan nyeri pinggang kanan yang hilang timbul, kemudian
diperiksakan dan didiagnosis terdapat batu di ureter kanan. Pasien direncanakan
untuk dilakukan operasi bersama oleh bagian bedah digestif dan bedah
urologi,dan dijadwalkan untuk longo hemoroidektomi sebagai terapi untuk
hemoroid dan urethral retrograde sistoskopi untuk menegakkan diagnosis kausatif
obstruksi saluran kencing.
Pasien dikonsulkan ke bagian anestesi dan dilakukan kunjungan
preoperatif. Pada anamnesis tidak didapatkan riwayat alergi obat dan makanan.
Riwayat tekanan darah tinggi, asma, riwayat operasi, gangguan perdarahan
disangkal. Pemeriksaan fisik menunjukkan kondisi pasien baik, tanpa gangguan
sistemik dan pasien disetujui untuk pembiusan dengan status fisik ASA I.
Premedikasi dilakukan di kamar operasi dengan midazolam 4 mg,
Fentanyl 50 mcg, dan granisetron 1 mg. Induksi anestesi dengan teknik anestesi
spinal, menggunakan jarum 27G, dan bupivacaine hiperbarik 0,5% (Marcaine
Heavy) 15 mg. Pada menit ke-3 onset tercapai blokade sensorik setinggi
dermatom T10. Dilakukan oprasi longo hemoroidektomi dalam posisi litotomi
selama 30 menit. Durante operasi tidak didapatkan gejolak kardiovaskuler yang
berarti. Operasi dilanjutkan dengan ureteroretrosistoskopi (URS) dalam posisi
yang sama. Pada saat drapping untuk persiapan URS penis mengalami ereksi .
Pasien tidak merasakan keluhan apapun. Diputuskan untuk dilakukan GA dengan
ketamin. Penis tidak mengalami detumesensi secara nyata sehingga dilakukan
injeksi epinefrin 0,1 mg intra korpus kavernosus. Penis kemudian mengalami
detumesensi, operasi dilanjutkan, scope sistoskopi bisa dimasukkan tanpa
kesulitan. Operasi URS selesai dalam 1 jam. Pasca operasi pasien kembali ke
ruangan.
Pemeriksaan Fisik
KU
: compos mentis
BB/TB
: 75 kg / 168 cm
Tanda Vital
: TD
: 110/80 mmHg
RR: 14 x/menit
HR
: 76 x/menit
Suhu : 37,3C
Kepala
: Mesosefal, dbn
Mata
Mulut
Leher
Thorax
Abdomen
Ekstremitas
Genitalia
Khusus
: 15.5 mg/dl
Hitung lekosit
: 10.500/mm3
Trombosit
: 424.000/mm3
Ureum
:18,7 mg/dl
Kreatinin
:1,2 mg/dl
I.
Pendahuluan
Priapismus adalah keadaan medis yang sangat nyeri dan berbahaya dimana
penis yang ereksi tidak kembali ke fase flaksid, meskipun tidak ada rangsangan
fisik dan psikologis. Ereksi penis dapat bertahan 4 sampai 6 jam dan dapat
menyebabkan edema, risiko abrasi, pengeringan jaringan dan nekrosis penis dan
dipertimbangkan sebagai kegawatdaruratan medis yang harus segera ditangani
(Riyanto, 2013).
Secara global, kejadian keseluruhan priapismus adalah 1,5 kasus per 100.000
orang dalam 1 tahun. Pada pria berusia diatas 40 tahun, kejadian priapismus
meningkat menjadi 2,9 kasus per 100.000 orang per tahun (Cherian, 2006).
Kombinasi intercavernosa agents, obat yang digunakan untuk mengobati
disfungsi ereksi, dan obat lain yang menyebabkan sekitar 21-80% dari semua
pasien priapismus dewasa di Amerika Serikat. Insidensi keseluruhan priapismus
pada orang yang menggunakan obat tersebut berkisar antara 0,05-6%. Selain obat
disfungsi ereksi, penyakit sickle cell (SCD) dan sickle cell trait predominate juga
merupakan penyebab priapismus pada orang dewasa. Insidensi priapismus pada
orang dewasa dengan SCD adalah 89%, sedangkan pada anak-anak dengan SCD
adalah 27% (Al-Qudah, 2014).
Adapun tujuan dari penyusunan refrat ini adalah untuk mengetahui aspek
patofisiologi, gejala klinis, diagnosis dan pengobatan dari Priapismus. Dengan
penulisan referat ini penulis diharapkan dapat memberikan pengetahuan pada
pembaca mengenai penyakit Priapismus secara lebih mendalam.
II.
Tinjauan Pustaka
A. Definisi
Priapismus adalah gangguan ereksi penis menetap selama lebih dari
4-6 jam, tanpa didahului oleh obsesi birahi dan rangsangan seksual.
Priapismus dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni primer (idiopatik) dan
sekunder. Priapismus primer merupakan akibat rangsangan fisik maupun
psikis yang tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi yang dapat
menyebabkan atau memperlama ereksi. Priapismus sekunder merupakan
akibat berbagai faktor yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi reaktifitas ereksi penis. (Baltogiannis, 2006).
Priapismus adalah keadaan medis yang sangat nyeri dan berbahaya
dimana penis yang ereksi tidak kembali ke fase flaksid, meskipun tidak
ada rangsangan fisik dan psikologis. Priapismus bila dibiarkan tidak
dikelola selama lebih dari empat jam akan menyebabkan edema, risiko
abrasi, pengeringan jaringan dan nekrosis penis dan dipertimbangkan
sebagai kegawatdaruratan medis yang harus segera ditangani (Riyanto,
2013).
Kausa
Priapismus primer
Idiopatik
Priapismus
1. Gangguan hematologis
sekunder
h. Paraneoplastic
i. Karsinoma uretra
4. Neurologis
a. Herniasi diskus (lumbar)
b. Ruptur aneurisma serebral
c. Tumor medula spinalis atau metastasis
d. Sklerosis multipel
e. Kompresi medula spinalis
f. Anestesia spinal
5. Infeksi, toksin, alergi
a. Prostatitis
b. Uretritis
c. Phimosis
d. MUMPS
e. Sifilis
f. Malaria
g. Rabies
h. Diabetes mellitus
i. Pneumonia atipik
j. Appendicitis akut
6. Farmakologis
Papaverin,
Teofilin,
Nitrogliserin,
Haloperidol,
Prostaglandin
E,
Verapramil,
Imipramine,
Phenelzine,
Cannabis,
Vankomisin,
Heparin,
Quetiapine,
Alkohol,
Eritropoietin.
C. Epidemiologi
Secara global, kejadian keseluruhan priapismus adalah 1,5 kasus per
100.000 orang dalam 1 tahun. Pada pria berusia diatas 40 tahun, kejadian
priapismus meningkat menjadi 2,9 kasus per 100.000 orang per tahun
(Cherian, 2006).
Kombinasi intercavernosa agents dan obat lain yang menyebabkan
sekitar 21-80% dari semua pasien priapismus dewasa di Amerika Serikat.
Obat yang digunakan untuk mengobati disfungsi ereksi merupakan
penyebab umum dari gangguan priapismus dewasa di bumi bagian barat.
Insidensi keseluruhan priapismus pada orang yang menggunakan obat
tersebut berkisar antara 0,05-6%. Kelompok ini cenderung memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi mengenai risiko priapismus sehingga
mereka mencari pengobatan lebih dini (Al-Qudah, 2014).
Dalam kelompok masyarakat lainnya, penyakit sickle cell (SCD) dan
sickle cell trait predominate adalah sebagai penyebab priapismus pada
orang dewasa. Insidensi priapismus pada orang dewasa dengan SCD
adalah 89%. Dalam sebuah penelitian, 38-42% dari pasien dewasa dengan
SCD melaporkan setidaknya satu episode priapismus. Sekitar dua pertiga
dari semua pasien anak yang memiliki priapismus juga memiliki SCD.
Insidensi priapismus pada anak-anak dengan SCD adalah 27% (Al-Qudah,
2014).
Tidak ada distribusi rasial yang spesifik pada priapismus. SCD, yang
merupakan
faktor
predisposisi
perkembangan
priapismus,
sering
Torakolumbal
T11 sampai L2
Rangsangan
psikogenik
Stimulasi taktil
Lepaskan NO
(Nitric Oxide)
Stimulasi n.
Pudenda, Saraf
parasimpatis
S2 - S4
Meningkatkan
cGMP
Rangsangan
refleksogenik
Meningkatkan
aliran darah penis
Meningkatkan tekanan
intrakavernosa
Venula subtunika
penis terkompresi
*Ereksi
*Ereksi
PDE-5
(Phosphodiesterase-5)
Memecah cGMP
Penyempitan arteriol
Venula terbuka
Detumesensi
Darah menumpuk di
corpora cavernosa
pH darah corporeal
turun (asidosis)
2.
3.
4.
di
atas
terjadi
oleh
banyak
etiologi.
Para
ahli
2.
Sekunder
Ada beberapa penyebabnya, diantaranya:
a. Faktor langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi
ereksi, contohnya anemia sel sabit, pelisitemia, leukimia dan
koagulasi
b. Trauma dan pembedahan, seperti cedera vertebra, trauma penis,
trauma panggul, trauma peritenium, neoplastik metaspasis,
myeloma, kanker prostat, kanker penis
c. Neurologis, seperti hernia diskus lumbal, multiple sklerosis atau
trauma sumsum vertebrae, infeksi prostat, uretritis, sifilis, malaria
atau diabetes mielitus
d. Farmakologis, seperti verapamil, nitrogliserin, heparin, haliperidol,
prazosine, dan lain-lain.
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan ereksi yang tidak bisa kembali
seperti sebelumnya, ereksi terasa semakin nyeri dan ereksi terjadi
lebih dari 4 jam dan sangat menganggu pasien. Riwayat penyakit
dahulu yang perlu ditanyakan adalah adanya anemia sel sabit,
leukemia, apakah terdapat riwayat penggunaan obat obat injeksi
darah
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dan palpasi penis diperlukan untuk memeriksa luas dan
derajat tumesensi dan rigiditas dari penis. Pada priapismus jenis
iskemia, korpora kavernosa terasa kaku, sedangkan glans penis dan
korpora
spongiosa
tidak
menyebabkan priapismus,
kaku.
Walaupun
pemeriksaan pada
keganasan
jarang
abdomen, testis,
3. Pemeriksaan Penunjang
Penilaian mencakup pemeriksaan angka leukosit, angka eritrosit,
angka trombosit, hitung darah putih, dan profil koagulasi untuk
menilai adanya anemia, menyingkirkan infeksi, menilai adanya
abnormalitas hematologi, dan menjamin keamanan pasien ketika
dilakukan intervensi secara pembedahan. Kelainan kelainan
hematologi yang lain yang perlu menjadi perhatian yang dapat
menyebabkan priapismus adalah leukemia, kelainan trombosit, dan
talasemia. Analisa gas darah diperiksa melalui darah yang diambil
secara aspirasi dari korpora kavernosa. Pemeriksaan gas darah ini
berguna di dalam membedakan priampismus iskemik dan noniskemik
(William, 1997; Hossein, 2004).
Aspirasi pada corpora dan analisis gas darah dikerjakan.
Analisis gas darah memperlihatkan asidosis (pH < 7.25), hipoksia
(PO2 < 30 mmHg), hipercapnea (PCO2 > 60 mmHg) dan glukopenia
sangat berguna untuk menentukan diagnosis priampismus tipe
iskemik. Priampismus dikatakan non iskemik jika analisis gas darah
corpora konsisten dengan nilai nilai normal arteri gas darah (pH
7.4, PO2 > 90 mmHg, pCO2 < 40 mmHg). Kelainan dari
pemeriksaan darah dan hitung rekulosit dan hemoglobinopathy dapat
menolong di dalam manajemen priapismus. Karena priapismus tipe
iskemik membutuhkan intervensi kegawatdaruratan. Pemeriksaan
pemeriksaan ini biasanya dilakukan sebelum terapi dilakukan
(William, 1997; Hossein, 2004).
USG Doppler pada perineum dan penis dilakukan bukan untuk
pemeriksaan rutin, tetapi pada tangan seorang yang sudah ahli, alat
diagnostik tersebut sangat berguna di dalam menentukan diagnosis
untuk mengetahui apakah priapismus merupakan tipe iskemik atau
merupakan non iskemik. Priampismus tipe iskemik ditandai oleh
tidak adanya aliran darah arteri di dalam korpora kavernosa. Temuan
aliran arteri kavernosa yang
menyatakan
F. Terapi
1. Farmakologis
a. Aspirasi
Aspirasi darah corpora dengan atau tanpa irigasi salin
memiliki 30% peluang di dalam mengatasi priampismus. Setelah
penis dianestesi , suatu jarum butterfly ukuran 19 atau 21 G
dimasukkan
dapat
dipertimbangkan.
Pemberian
simpatomimetik
laporan
plasminogen
injeksi
jaringan,
intracavernosa
suatu
agen
dari
activator
trombolitik,
yang
hipotensi
dengan
pemberian
natrium
ethyl
chloride
pada
penis
atau
8) Injeksi Vasopressor
Injeksi
intracorporeal
dengan
vasopressor
merupakan
agonis
alfa-1
murni,
diberikan
intrakavernosa
dengan
dosis
10-25
mcg
sehingga
memperlancar
aliran
darah
yang
system
nitritoksida.
Glikopirolat
lebih
dipilih
dan
gangguan
saraf
pusatnya
lebih
kecil.
Prosedur
Winter
Ebbehoj
T - Shunt
TT - Shunt
Al-Ghorab
Corporal (Snake)
Quackels
Sacher
Grayhack
Barry
proksimal
corpus
cavernosum
ke
spongiosum
III.
Kesimpulan
1. Priapismus adalah gangguan ereksi penis menetap selama lebih dari 4-6
jam, tanpa didahului oleh obsesi birahi dan rangsangan seksual.
2. Secara global, kejadian keseluruhan priapismus adalah 1,5 kasus per
100.000 orang dalam 1 tahun dan meningkat pada pria diatas 40 tahun.
Pada usia muda, penyebab utama priapismus adalah Sickle Cell Disease.
3. Tatalaksana farmakologis priapismus dapat dilakukan dengan melakukan
aspirasi, pemberian obat-obatan, dan tindakan operatif. Sedangkan untuk
tatalaksana non-farmakologis dianjurkan untuk melakukan perawatan
lanjutan dengan dokter spesialis urologi dan menindaklanjuti penyakit
yang mendasarinya.
Daftar Pustaka
Hosam
S.
2014.
Priapism.
Available
http://emedicine.medscape.com/article/437237-overview#a0156
at
Accessed
on 08/11/2014 at 10:52 PM
Cherian J, Rao AR, Thwaini A, Kapasi F, Shergill IS, Samman R. 2006. Medical
and surgical management of priapism. Postgrad Med J, Vol. 82(964): 8994.
Hosam S. A. 2014. Priapism Treatment & Management. Availabel at:
http://emedicine.medscape.com/article/437237-overview
Hossein S. N., Vikram D., Allen D. S., dan Mamdouh A. M.. 2004. Prapism.
Elsevire. Vol 42(1): 427-443
Riyanto, R. Sutiyono D., Pujo J.L 2013. Priapismus Intraoperatif pada
Hemoroidektomi dan URS dengan Anestesi Spinal. Junal Anestesiologi
Indonesia, Vol. V (1): 54-60
Van Der Horst, C., Henrik Stuebinger, Christoph Seif, Diethild Melchior, F.J.
Martnez-Portillo,
K.P.
Juenemann.
2003.
Priapism
Etiology,