Anda di halaman 1dari 23

TUGAS PRESENTASI KASUS

PRIAPISMUS

Tutor :
DR. dr. M.Mukhlis Rudi P, M.Kes, M.Si.Med, Sp.An

Disusun oleh :
KELOMPOK I2
Pratiwi Ariefiyanti N.

G1A011096

Stella Gracia O.

G1A011097

Immanuel Jeffri Paian P.

G1A011098

Annisa Fatimah

G1A011099

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSANKEDOKTERAN
PURWOKERTO
2014

Kasus
Seorang laki-laki, 33 tahun dengan berat badan 75 kg datang dengan
keluhan timbul benjolan di dubur yang nyeri dan kadang berdarah selama 4 bulan.
Pasien juga mengeluhkan nyeri pinggang kanan yang hilang timbul, kemudian
diperiksakan dan didiagnosis terdapat batu di ureter kanan. Pasien direncanakan
untuk dilakukan operasi bersama oleh bagian bedah digestif dan bedah
urologi,dan dijadwalkan untuk longo hemoroidektomi sebagai terapi untuk
hemoroid dan urethral retrograde sistoskopi untuk menegakkan diagnosis kausatif
obstruksi saluran kencing.
Pasien dikonsulkan ke bagian anestesi dan dilakukan kunjungan
preoperatif. Pada anamnesis tidak didapatkan riwayat alergi obat dan makanan.
Riwayat tekanan darah tinggi, asma, riwayat operasi, gangguan perdarahan
disangkal. Pemeriksaan fisik menunjukkan kondisi pasien baik, tanpa gangguan
sistemik dan pasien disetujui untuk pembiusan dengan status fisik ASA I.
Premedikasi dilakukan di kamar operasi dengan midazolam 4 mg,
Fentanyl 50 mcg, dan granisetron 1 mg. Induksi anestesi dengan teknik anestesi
spinal, menggunakan jarum 27G, dan bupivacaine hiperbarik 0,5% (Marcaine
Heavy) 15 mg. Pada menit ke-3 onset tercapai blokade sensorik setinggi
dermatom T10. Dilakukan oprasi longo hemoroidektomi dalam posisi litotomi
selama 30 menit. Durante operasi tidak didapatkan gejolak kardiovaskuler yang
berarti. Operasi dilanjutkan dengan ureteroretrosistoskopi (URS) dalam posisi
yang sama. Pada saat drapping untuk persiapan URS penis mengalami ereksi .
Pasien tidak merasakan keluhan apapun. Diputuskan untuk dilakukan GA dengan
ketamin. Penis tidak mengalami detumesensi secara nyata sehingga dilakukan
injeksi epinefrin 0,1 mg intra korpus kavernosus. Penis kemudian mengalami
detumesensi, operasi dilanjutkan, scope sistoskopi bisa dimasukkan tanpa
kesulitan. Operasi URS selesai dalam 1 jam. Pasca operasi pasien kembali ke
ruangan.
Pemeriksaan Fisik
KU

: compos mentis

BB/TB

: 75 kg / 168 cm

Tanda Vital

: TD

: 110/80 mmHg

RR: 14 x/menit

HR

: 76 x/menit

Suhu : 37,3C

Kepala

: Mesosefal, dbn

Mata

: Konjungtiva palpebra anemis -/- , sclera ikterik -/-

Mulut

: Tanda perdarahan gusi (-)

Leher

: Pembesaran nnll -/- , dbn

Thorax

: Paru dan jantung dalam batas normal

Abdomen

: Perut dalam batas normal

Ekstremitas

: Edema ekstremitas (-), akral hangat.

Genitalia

: Dalam batas normal

Khusus

: Nyeri Ketok Costovertebre kanan (+), Colok dubur terdapat


benjolan arah jam 7 dan 9 dengan kesan hemorrhoid EKSTERNA

Pemeriksaan Penunjang Preoperatif


Hemoglobin

: 15.5 mg/dl

Hitung lekosit

: 10.500/mm3

Trombosit

: 424.000/mm3

Ureum

:18,7 mg/dl

Kreatinin

:1,2 mg/dl

Dan kadar elektrolit normal.

I.

Pendahuluan

Priapismus adalah keadaan medis yang sangat nyeri dan berbahaya dimana
penis yang ereksi tidak kembali ke fase flaksid, meskipun tidak ada rangsangan
fisik dan psikologis. Ereksi penis dapat bertahan 4 sampai 6 jam dan dapat
menyebabkan edema, risiko abrasi, pengeringan jaringan dan nekrosis penis dan
dipertimbangkan sebagai kegawatdaruratan medis yang harus segera ditangani
(Riyanto, 2013).
Secara global, kejadian keseluruhan priapismus adalah 1,5 kasus per 100.000
orang dalam 1 tahun. Pada pria berusia diatas 40 tahun, kejadian priapismus
meningkat menjadi 2,9 kasus per 100.000 orang per tahun (Cherian, 2006).
Kombinasi intercavernosa agents, obat yang digunakan untuk mengobati
disfungsi ereksi, dan obat lain yang menyebabkan sekitar 21-80% dari semua
pasien priapismus dewasa di Amerika Serikat. Insidensi keseluruhan priapismus
pada orang yang menggunakan obat tersebut berkisar antara 0,05-6%. Selain obat
disfungsi ereksi, penyakit sickle cell (SCD) dan sickle cell trait predominate juga
merupakan penyebab priapismus pada orang dewasa. Insidensi priapismus pada
orang dewasa dengan SCD adalah 89%, sedangkan pada anak-anak dengan SCD
adalah 27% (Al-Qudah, 2014).
Adapun tujuan dari penyusunan refrat ini adalah untuk mengetahui aspek
patofisiologi, gejala klinis, diagnosis dan pengobatan dari Priapismus. Dengan
penulisan referat ini penulis diharapkan dapat memberikan pengetahuan pada
pembaca mengenai penyakit Priapismus secara lebih mendalam.

II.

Tinjauan Pustaka

A. Definisi
Priapismus adalah gangguan ereksi penis menetap selama lebih dari
4-6 jam, tanpa didahului oleh obsesi birahi dan rangsangan seksual.
Priapismus dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni primer (idiopatik) dan
sekunder. Priapismus primer merupakan akibat rangsangan fisik maupun
psikis yang tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi yang dapat
menyebabkan atau memperlama ereksi. Priapismus sekunder merupakan
akibat berbagai faktor yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi reaktifitas ereksi penis. (Baltogiannis, 2006).
Priapismus adalah keadaan medis yang sangat nyeri dan berbahaya
dimana penis yang ereksi tidak kembali ke fase flaksid, meskipun tidak
ada rangsangan fisik dan psikologis. Priapismus bila dibiarkan tidak
dikelola selama lebih dari empat jam akan menyebabkan edema, risiko
abrasi, pengeringan jaringan dan nekrosis penis dan dipertimbangkan
sebagai kegawatdaruratan medis yang harus segera ditangani (Riyanto,
2013).

B. Etiologi dan Predisposisi


Tabel 2.1. Etiologi Priapismus (Van Der Horst et al., 2003)
Klasifikasi

Kausa

Priapismus primer

Idiopatik

Priapismus

1. Gangguan hematologis

sekunder

a. Sickle Cell Disease


b. Leukemia
c. Thalassemia
d. Polisitemia
e. Thrombocytasthenia
f. Koagulopati
g. Hemofilia
h. Trombosis koprus cavernosum
i. Kongenital
j. Diseritropoiesis
k. Anemia
2. Traumatik dan bedah
a. Trauma tulang belakang
b. Trauma penis
c. Trauma perineal
d. Trauma pelvis
e. Anastomosis arteri
f. Bisa ular dan kalajengking
3. Neoplasma
a. Sarcoma primer
b. Metastasis
c. Mieloma
d. Kanker prostat
e. Kanker penis
f. Limfoma
g. Karsinoma vesika urinaria

h. Paraneoplastic
i. Karsinoma uretra
4. Neurologis
a. Herniasi diskus (lumbar)
b. Ruptur aneurisma serebral
c. Tumor medula spinalis atau metastasis
d. Sklerosis multipel
e. Kompresi medula spinalis
f. Anestesia spinal
5. Infeksi, toksin, alergi
a. Prostatitis
b. Uretritis
c. Phimosis
d. MUMPS
e. Sifilis
f. Malaria
g. Rabies
h. Diabetes mellitus
i. Pneumonia atipik
j. Appendicitis akut
6. Farmakologis
Papaverin,

Teofilin,

Nitrogliserin,
Haloperidol,

Prostaglandin

E,

Verapramil,

Imipramine,

Phenelzine,

Cannabis,

Doxozosine, Kokain, Clozapine, Prazosine,


Trazodone,
Klorpromazin,

Vankomisin,
Heparin,

Quetiapine,
Alkohol,

Eritropoietin.

C. Epidemiologi
Secara global, kejadian keseluruhan priapismus adalah 1,5 kasus per
100.000 orang dalam 1 tahun. Pada pria berusia diatas 40 tahun, kejadian

priapismus meningkat menjadi 2,9 kasus per 100.000 orang per tahun
(Cherian, 2006).
Kombinasi intercavernosa agents dan obat lain yang menyebabkan
sekitar 21-80% dari semua pasien priapismus dewasa di Amerika Serikat.
Obat yang digunakan untuk mengobati disfungsi ereksi merupakan
penyebab umum dari gangguan priapismus dewasa di bumi bagian barat.
Insidensi keseluruhan priapismus pada orang yang menggunakan obat
tersebut berkisar antara 0,05-6%. Kelompok ini cenderung memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi mengenai risiko priapismus sehingga
mereka mencari pengobatan lebih dini (Al-Qudah, 2014).
Dalam kelompok masyarakat lainnya, penyakit sickle cell (SCD) dan
sickle cell trait predominate adalah sebagai penyebab priapismus pada
orang dewasa. Insidensi priapismus pada orang dewasa dengan SCD
adalah 89%. Dalam sebuah penelitian, 38-42% dari pasien dewasa dengan
SCD melaporkan setidaknya satu episode priapismus. Sekitar dua pertiga
dari semua pasien anak yang memiliki priapismus juga memiliki SCD.
Insidensi priapismus pada anak-anak dengan SCD adalah 27% (Al-Qudah,
2014).
Tidak ada distribusi rasial yang spesifik pada priapismus. SCD, yang
merupakan

faktor

predisposisi

perkembangan

priapismus,

sering

ditemukan pada populasi Afrika-Amerika. Priapisme secara umum


merupakan penyakit laki-laki. Priapismus klitoris telah dilaporkan tetapi
sangat jarang terjadi. Priapisme dapat ditemukan pada segala usia, dari
bayi sampai usia tua. Diketahui adanya distribusi bimodal pada penyakit
priapismus, dengan puncak pada 5-10 tahun dan 20-50 tahun. Pada
kelompok usia muda lebih sering dikaitkan dengan SCD, sedangkan di
kelompok yang lebih tua cenderung sekunder akibat obat-obatan (Cherian,
2006).

D. Patogenesis dan Patofisiologi


Stimulasi fantasi
atau visual

Sel endotel korpus


kavernosum dan
terminal nervus
nonadrenergik

Torakolumbal
T11 sampai L2

Rangsangan
psikogenik

Stimulasi taktil

Lepaskan NO
(Nitric Oxide)

Stimulasi n.
Pudenda, Saraf
parasimpatis
S2 - S4

Meningkatkan
cGMP

Rangsangan
refleksogenik

Relaksasi otot polos arteri dan


kavernosa

Meningkatkan
aliran darah penis

Meningkatkan tekanan
intrakavernosa

Venula subtunika
penis terkompresi

Batasi aliran balik


vena dari penis

*Ereksi

Gambar 2.1. Fisiologi Ereksi (Van Der Horst et al., 2003).

*Ereksi

Mediasi dengan pengurangan


inflow dan peningkatan
drainase vena

PDE-5
(Phosphodiesterase-5)

Memecah cGMP

Penyempitan arteriol

Venula terbuka

Detumesensi

High flow (nonischemic)

Low flow (ischemic)

Darah menumpuk di
corpora cavernosa

pO2 turun dan pCO2


naik

pH darah corporeal
turun (asidosis)

Nyeri, dan bisa


terbentuk fibrosis
corporeal

Gambar 2.2. Patofisiologi Priapismus (Van Der Horst et al., 2003).

Kegagalan detumesensi sebagai penyebab priapismus dikarenakan


banyak hal, diantaranya (Riyanto, et al., 2013):
1.

Blokade drainase venula

2.

Pelepasan neurotransmitter yang berlebihan

3.

Paralisis mekanisme detumesensi intrinsik

4.

Relaksasi otot polos intrakavernosa yang memanjang


Hal-hal

di

atas

terjadi

oleh

banyak

etiologi.

Para

ahli

mengklasifikasikan 2 penyebab priapismus, yaitu (Riyanto, et al., 2013):


1.

Primer (terjadi bukan karena gangguan tubuh, dimungkinkan karena


faktor fisik dan psikologis).

2.

Sekunder
Ada beberapa penyebabnya, diantaranya:
a. Faktor langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi
ereksi, contohnya anemia sel sabit, pelisitemia, leukimia dan
koagulasi
b. Trauma dan pembedahan, seperti cedera vertebra, trauma penis,
trauma panggul, trauma peritenium, neoplastik metaspasis,
myeloma, kanker prostat, kanker penis
c. Neurologis, seperti hernia diskus lumbal, multiple sklerosis atau
trauma sumsum vertebrae, infeksi prostat, uretritis, sifilis, malaria
atau diabetes mielitus
d. Farmakologis, seperti verapamil, nitrogliserin, heparin, haliperidol,
prazosine, dan lain-lain.

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan ereksi yang tidak bisa kembali
seperti sebelumnya, ereksi terasa semakin nyeri dan ereksi terjadi
lebih dari 4 jam dan sangat menganggu pasien. Riwayat penyakit
dahulu yang perlu ditanyakan adalah adanya anemia sel sabit,
leukemia, apakah terdapat riwayat penggunaan obat obat injeksi

untuk memperbesar alat vital. Riwayat trauma di genitalia biasanya


berhubungan dengan priapismus tipe non iskemik dan tidak disertai
rasa nyeri. Pada priapismus tipe iskemik terdapat riwayat cedera pada
selangkang, trauma pada waktu koitus, trauma tumpul penis atau
perineum, injeksi pada penis, pembedahan pada penis, atau prosedur
diagnostik yang dilakukan melalui pembuluh darah pada pelvis dan
penis. Hal yang perlu ditanyakan pada pasien priapismus (William,
1997; Hossein, 2004):
a. Durasi ereksi
b. Terdapatnya rasa nyeri
c. Episode priapismus dan terapi sebelumnya
d. Fungsi ereksi
e. Penggunaan terapi erektogenik
f.

Riwayat penggunaan obat-obatan atau obat jenis narkotik

g. Trauma pada pelvis, perineum, atau penis


h. Penyakit yang berhubungan dengan sel-sel darah dan koagulasi

darah
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi dan palpasi penis diperlukan untuk memeriksa luas dan
derajat tumesensi dan rigiditas dari penis. Pada priapismus jenis
iskemia, korpora kavernosa terasa kaku, sedangkan glans penis dan
korpora

spongiosa

tidak

menyebabkan priapismus,

kaku.

Walaupun

pemeriksaan pada

keganasan

jarang

abdomen, testis,

perineum, dan rektum, dan prostat dapat menolong untuk menegakkan


penyebab priapismus. Infiltrasi sel sel kanker di penis menyebabkan
nodul nodul yang teraba di dalam atau mengganti kan jaringan
korpora. Jika pada pemeriksaan penis, penis teraba tidak nyeri,
mengalami parsial ereksi, maka hal tersebut dapat disangka sebagai
priapismus tipe non iskemik. Biasanya juga pada priapismus tipe non
iskemik didapatkan adanya jejas pada daerah perineum yang
menandakan adanya trauma (William, 1997; Hossein, 2004).

3. Pemeriksaan Penunjang
Penilaian mencakup pemeriksaan angka leukosit, angka eritrosit,
angka trombosit, hitung darah putih, dan profil koagulasi untuk
menilai adanya anemia, menyingkirkan infeksi, menilai adanya
abnormalitas hematologi, dan menjamin keamanan pasien ketika
dilakukan intervensi secara pembedahan. Kelainan kelainan
hematologi yang lain yang perlu menjadi perhatian yang dapat
menyebabkan priapismus adalah leukemia, kelainan trombosit, dan
talasemia. Analisa gas darah diperiksa melalui darah yang diambil
secara aspirasi dari korpora kavernosa. Pemeriksaan gas darah ini
berguna di dalam membedakan priampismus iskemik dan noniskemik
(William, 1997; Hossein, 2004).
Aspirasi pada corpora dan analisis gas darah dikerjakan.
Analisis gas darah memperlihatkan asidosis (pH < 7.25), hipoksia
(PO2 < 30 mmHg), hipercapnea (PCO2 > 60 mmHg) dan glukopenia
sangat berguna untuk menentukan diagnosis priampismus tipe
iskemik. Priampismus dikatakan non iskemik jika analisis gas darah
corpora konsisten dengan nilai nilai normal arteri gas darah (pH
7.4, PO2 > 90 mmHg, pCO2 < 40 mmHg). Kelainan dari
pemeriksaan darah dan hitung rekulosit dan hemoglobinopathy dapat
menolong di dalam manajemen priapismus. Karena priapismus tipe
iskemik membutuhkan intervensi kegawatdaruratan. Pemeriksaan
pemeriksaan ini biasanya dilakukan sebelum terapi dilakukan
(William, 1997; Hossein, 2004).
USG Doppler pada perineum dan penis dilakukan bukan untuk
pemeriksaan rutin, tetapi pada tangan seorang yang sudah ahli, alat
diagnostik tersebut sangat berguna di dalam menentukan diagnosis
untuk mengetahui apakah priapismus merupakan tipe iskemik atau
merupakan non iskemik. Priampismus tipe iskemik ditandai oleh
tidak adanya aliran darah arteri di dalam korpora kavernosa. Temuan
aliran arteri kavernosa yang

normal, tinggi, atau mengalami

turbulensi, atau jika terdapat suatu fistula arteri sinusoid atau

pseudoaneurisma secara kuat

menyatakan

priapismus tipe non

iskemik. Jika ultrasound Doppler digunakan untuk menilai, sangat


penting sekali untuk memeriksa sebelum dilakukan operasi shunting
karena aspirasi korpora yang dilakukan secara berulang dapat
membuat interpretasi USG menjadi lebih sulit, karena reperfusi yang
tidak teratur di dalam korpora kavernosa dapat salah diinterpretasikan
untuk menyatakan bahwa suatu priapismus merupakan tipe non
iskemik. Untuk priapismus tipe non iskemik, angiography penis
memperlihatkan fistula arteriolar sinusoid yang kasar, jadi alat ini
dapat berfungsi sebagai diagnostik dan terapi embolisasi yang
dilakukan secara bersamaan (William, 1997; Hossein, 2004).

F. Terapi
1. Farmakologis
a. Aspirasi
Aspirasi darah corpora dengan atau tanpa irigasi salin
memiliki 30% peluang di dalam mengatasi priampismus. Setelah
penis dianestesi , suatu jarum butterfly ukuran 19 atau 21 G
dimasukkan

ke dalam korpus cavernosa pada pertemuan

penoscrotal lateral pada posisi jam 3 atau jam 9 untuk mencegah


terjadinya cedera neurovascular. Sangat penting sekali untuk
melakukan aspirasi sampai dengan darah segar yang memiliki
oksigen teraspirasi, ditandai oleh darah yang berwarna merah muda
b. Medikasi (Riyanto, 2013)
1) Phenylephrin
Phenylephrin adalah agen obat yang cocok yang
digunakan dalam penanganan priapismus dan merupakan obat
yang selektif terhadap reseptor alpha adrenergic dan tidak
menimbulkan efek pada sistem kardiovaskular. Phenylephrine
(200 Microgram) dapat diberikan setiap 5 10 menit dengan
dosis maksimal 1 mg. Pada pasien yang lebih muda tanpa
gangguan hemodinamik, dosis phenylephrine yang lebih tinggi

dapat

dipertimbangkan.

Pemberian

simpatomimetik

intracavernosa dapat dilakukan selama 60 menit. Setelah


dilakukan anestesi blok pada penis, suatu larutan yang terdiri
dari phenylephrin dibuat dengan jalan menambahkan 1 mL
phenyephrine (10 mg/mL) ke dalam 99 mL NaCl 0.9% untuk
mencapai konsentrasi sebanyak 100 g/mL. Suatu jarum
dengan ukuran 19 G kemudian dimasukkan melalui aspek
lateral pada salah satu kavernosa, dan 1 atau 2 ml larutan (100
200 g dari phenylephrine) diinjeksikan intracavernosa. Jika
detumesensi tidak tampak dalam 2 menit, ditambahkan larutan
sebanyak 1 2 mL, yang diinjeksikan secara intracavernosa.
Ini diulang tiap 2 menit sampai detumesensi tercapai, dengan
maksimal sebanyak 10 mL larutan yang diinjeksikan ( 1000 g
phenylephrine).
2) Irigasi Normal Saline
Jika detumesensi tidak tercapai dengan phenyephrine,
kavernosa diirigasi dengan normal salin, dengan atau tanpa
penambahan heparin. Jika terdapat kesulitan di dalam
melakukan aspirasi irigasi, jarum 19 G dapat dimasukkan ke
dalam sisi batang penis yang lain dan terletak jauh dari jarum
yang lain. 1 jarum diletakkan di proksimal dan 1 jarum yang
lain diletakkan di distal
3) Inhibitor cGMP dan Aspirasi
Injeksi intracavernosa dengan menggunakan metilen biru
suatu inhibitor cGMP, diikuti oleh aspirasi corpora dilaporkan
efektif pada beberapa pasien dengan priapismus dengan jalan
menghambat relaksasi dari otot otot polos kavernosa. Efek
samping dari injeksi ini adalah pasien merasakan sensasi
seperti terbakar dan penis tampak berwarna. Juga terdapat
beberapa

laporan

plasminogen

injeksi

jaringan,

intracavernosa

suatu

agen

dari

activator

trombolitik,

yang

menghentikan priapismus. Karena sangat terbatasnya bukti

bukti ilmiah untuk mendukung obat obat ini, maka mereka


dipertimbangkan hanya sebagai eksperimen saja.
4) Natrium Nitropusside
Induksi

hipotensi

dengan

pemberian

natrium

nitroprusside atau memperdalam anastesi umum dapat


menurunkan tekanan darah arteri. Namun demikian pada
pasien dengan usia lanjut dan penyakit arteri koroner dapat
memicu kegawatan jantung.
5) Bupuivacain
Injeksi 8 ml bupivacain 0,25% kedalam spatium
subpubic untuk memblokade n. Pudendus penis dikatahui
efektif untuk membuat penis detumensi
6) Ketamin
Ketamin juga sering digunakan untuk mengobati
priapismus sebab memiliki sifat relaksasi penis dan juga efek
disosiatif pada sistem limbik. Ketamin diberikan intravena
dengan dosis 0,5 1,8 mg/kg. Pemberian ketamin ini
berdasarkan bahwa ereksi terjadi sebagai respon terhadap
ransangan eksternal. Efek disosiasi obat ini menghambat
sistem limbik. Ketamin juga dapat membantu relaksasi penis
dengan cara menurunkan central vagal outflow, menghambat
reuptake norepinefrin pada neuroeffector junction pada
jaringan erektil kavernosa, atau menghambat transmisiyang
melalui ganglia parasimpatis. Penggunaan ketamin harus hatihati pada pasien usia lanjut dan penyakit kardiovaskular.
7) Ethyl Chloride
Penyemprotan

ethyl

chloride

pada

penis

atau

blokadepenile dapat digunakan untuk menghambat input


sensoris sehingga diharapkan dapat memutuskan jalur ferlek
sakral.

8) Injeksi Vasopressor
Injeksi

intracorporeal

dengan

vasopressor

direkomendasikan oleh beberapa peneliti. Detumesensi terjadi


dengan cepat pada semua pasien dengan injeksi tersebut. Agen
ini menghasilkan detumesensi dengan mengurangi suplai darah
ke corpora cavernosa atau meningkatkan drainase darah dari
corpora cavernosa melalui aktivasi reseptor adrenergik.
Fenilefrin,

merupakan

agonis

alfa-1

murni,

diberikan

intrakavernosa dalam dosis 100-200 mcg. Angka keberhasilan


tindakan ini dilaporkan 100% dalam 2-3 menit. Aktifitas Alfa1 murni tidak memiliki efek yang merugikan jantung seperti
krisis hipertensi atau edema paru. Hal ini membuat fenilefrin
lebih aman bila dibandingkan dengan epinefrin, norepinephine,
metaraminol yang memiliki efek tambahan terhdap beta-1,
sehingga memiliki dampak ke kardiovaskuler. Meskipun
tindakan ini dikaitkan dengan peningkatan MAP, tetapi tidak
ada gejolak kardivaskuler yang terjadi sehubungan dengan
penggunaan obat ini. Laporan lain menyebutkan injeksi
metaraminol

intrakavernosa

dengan

dosis

10-25

mcg

menimbulkan detumesensi tanpa gejolak kardiovaskuler.


Meski demikian, penggunaan obat obatan seperti metaraminol,
norepinefrin, dan epinefrin harus diperhatikan karena obat-obat
tersebut setidaknya memiliki aktivitas beta-1 yang dapat
mempengaruhiaktivitas kardiovaskuler.
9) Agonis Beta 2 Adrenoreseptor
Terbutalin 0,2 -0,5 mg, intravena dapat dipergunakan
untuk mengatasi priapismus intraoperatif. Mekanisme kerja
obat ini belum jelas, tetapi diduga bahwa terbutalin
merelaksasi otot-otot polos di korpus kavernosus yang
teregang,

sehingga

memperlancar

aliran

darah

yang

meninggalkan penis.Penggunaan terbutalin harus diperhatikan


pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang nyata

karena obat ini dapat menyebabkan takikardia, edema pulmo


atau hipokalemia. Diperkirakan untuk mengendurkan otot
polos seluruh corpora cavernosa mengakibatkan keadaan
normal dari penis dan relaksasi seluruh tunika albugenia,
sehingga meningkatkan aliran darah pada venula dan saluran
arterovenosa dan menghasilkan detumesensi.
10) Antikolinergik
Mekanisme kerjanya melalui penghambatan asetilkolin
pada

system

nitritoksida.

Glikopirolat

lebih

dipilih

dibandingkan atropin sulfat maupun skopolamin karena efek


takikardia

dan

gangguan

saraf

pusatnya

lebih

kecil.

Penggunaan glikopirolat menjadi pilihan yang aman dan dapat


digunakan pada pasien dengan penyakit arteri koroner atau bi
la status kardiovaskuler tidak stabil.
c. Opratif
Manajemen secara pembedahan dilakukan jika aspirasi dan
injeksi simpatomimetik gagal di dalam menangani priampismus
atau terjadi efek samping yang menganggu system cardiovascular.
Semakin lama episode priampismus iskemik, semakin besar
gangguan fungsi ereksi yang terjadi di masa yang akan datang. The
International

Society for Sexual Medicine Standars Comitte

menyatakan bahwa shunting dilakukan jika kejadian priampismus


lebih dari 72 jam. Tujuan dari pembedahan shunting adalah untuk
memberikan oksigen ke sel sel otot polos kavernosa. Prinsip dari
prosedur shunting adalah untuk membangun kembali aliran ke
dalam korpora dengan jalan menghilangkan obstruksi aliran darah
yang keluar pada vena, ini membutuhkan pembuatan fistula antara
korpora kavernosa dan glans penis, korpora kavernosa dan korpora
spongiosum, atau korpora kavernosa dan vena saphena (dorsalis)
(Willam, 1997).
Shunting kavernoglanular distal menjadi pilihan pertama
prosedur shunting karena secara tehnik lebih mudah dilakukan

daripada shunting proksimal. Shunting distal perkutan tidak terlalu


invasif jika dibandingkan dengan shunting distal terbuka dan dapat
dilakukan dengan anestesi lokal pada unit gawat darurat (Willam,
1997).
Tabel. 2.2. Tindakan operatif pada tatalaksana priapismus
Shunting

Prosedur

Winter

Insersi langsung jarum biopsi trochar melalui glans penis


ke dalam korpora kavernosa
Insersi langsung scapel no 11 melalui glans penis ke
dalam corpora kavernosa
Paling kurang 4 mm dari meatus uretra eksternus, scapel
no 10 di masukkan melalui glans penis ke dalam corpora
kavernosa, dirotasikan 90 derajat dari uretra dan
kemudian dilepaskan
Untuk priapismus yang terjadi lebih dari 72 jam, dengan
jalan membuat fistula kavernogranular. Saluran
intrakavernosa bilateral dapat dibuat dengan suatu dilator
20F untuk memaksimalkan shunting dari proksimal ke
distal
Suatu insisi 2 cm dibuat secara tranversal pada distal dari
sulcus koronaries. Shunting korporaglandular dibuat
melalui eksisi pada lapisan tunika albuginea pada kedua
corpora kavernosa
Modifikasi dari shunting Al Ghorab, dilator Hegar
ukuran 7/8 dimasukan beberapa cm ke dalam kedua
corpora kavernosa. Darah dievakuasi dengan jalan
menekan penis dari arah proksimal ke distal
Shunting kavernospongiosum unilateral yang dibentuk
melalui anastomosis proksimal korpora kavernosa ke
korpus spongiosum. Suatu jaringan yang berasal dari
korpora kavernosa dan spongiosa dieksisi dan kemudian
di jarit pada kedua korpora tersebut
Sama dengan Quackels, hanya saja shunting
korporaspongiosa dilakukan pada kedua korpora
Shunting caverno saphena dibuat di antara korpus
kavernosum dan vena saphena. Kurang lebih 8 10 cm
vena saphena distal dari fossa ovalis dipindahkan dan di
anastomosiskan secara end to side pada korpora
kavernosa
Shunting kaverno vena dorsalis dicapai dengan jalan

Ebbehoj
T - Shunt

TT - Shunt

Al-Ghorab

Corporal (Snake)

Quackels

Sacher
Grayhack

Barry

mengidentifikasi dan memindahkan vena dorsalis penis,


meligasi dan membagi bagian distal dan membuat
anastomosis pada bagian proksimal ke korpora
kavernosum tanpa adanya tegangan
Penilaian bahwa shunting telah berhasil dilakukan adalah :
1) Terlihatnya darah yang berwarna cerah pada corpora ketika
dilakukan aspirasi
2) Analisis gas darah corpora
3) USG Doppler
4) Pengukuran tekanan intracavernosa
5) Manuver kompresi penis (ditekan dan dilepas)
Proksimal shunting yang paling dikenal adalah shunting
unilateral yang dideskripsikan oleh Quackles pada tahun 1964.
Shunting

proksimal

corpus

cavernosum

ke

spongiosum

membutuhkan pendekatan transscrotal atau transperineal. Tidak


ada data yang membandingkan antara shunting unilateral korpora
kavernosa dan shunting bilateral (Sacher). Pada kasus di mana
shunting proksimal gagal, beberapa orang melakukan bypass vena
saphena atau shunting vena dorsalis . Suatu bagian yang
mengganjal dari tunika Albuginea dipindahkan dan vena
dianastomosiskan end to side terhadap korpora cavernosa. Salah
satu trial membandingkan antara shunting distal dan proksimal oleh
Ali Tabibi menyatakan bahwa Grayhack shunt merupakan salah
satu prosedur yang aman tanpa komplikasi dan dengan disfungsi
ereksi yang minimal, tetapi kelemahan dari penelitian ini adalah
bahwa jumlah sampel yang sangat sedikit (Willam, 1997).
d. Implantasi
Pemasangan prosthesis penis diindikasikan untuk priapismus
tipe iskemik bagi pasien yang tidak dapat melakukan hubungan
seksual karena adanya gangguan ereksi. Dalam skenario ini, tujuan
dari intervensi adalah bagi pria adalah untuk memperlancar
hubungan seksual walaupun kenikmatan secara seksual itu dapat
hilang. Apakah perlu segera dilakukan pemasangan penis prostesis?

Beberapa menganjurkan pemasangan penis prostesis dengan


alasan bahwa fibrosis korpora belum dapat ditegakkan dan panjang
penis masih dapat dipertahankan. Kapan waktu untuk pemasangan
prostesis penis di dalam terapi priapismus iskemik tidak jelas.
Keuntungan keuntungan dari implantasi penis lebih awal
dalam manajemen priapismus iskemik adalah untuk menjaga
panjang penis dan secara tehnik lebih mudah untuk menginsersi
implan. Penundaan pemasangan implan penis dapat menyebabkan
fibrosis pada korpora yang dapat menyebabkan kesulitan di dalam
pemasangan implant. Yang perlu menjadi perhatian di dalam
operasi implantasi prostesis penis adalah gagalnya penanganan
aspirasi pada pasien dan injeksi intracavernosa simpatomimetik,
pasien gagal untuk menjalani shunting distal dan proksimal, dan
terdapat keadaan iskemia yang berlangsung lebih dari 36 jam.
Pada penanganan dengan menggunakan implantasi penis pada
priapismus terdapat peningkatan revisi di dalam pembedahannya
dan komplikasi yang terjadi, hal ini disebabkan oleh infeksi, cedera
uretra, alat implan yang berpindah, dan erosi pada alat (Willam,
1997).
2. Non farmakologis (Hosam, 2014)
a. Perawatan lanjutan dengan dokter spesialis urologi.
b. Pasien dengan gangguan penyakit yang mendasarinya agar
menindaklanjuti dengan dokter spesialis yang tepat.
c. Jika terjadi berulang agar segera mengunjungi pelayanan kesehatan

III.

Kesimpulan

1. Priapismus adalah gangguan ereksi penis menetap selama lebih dari 4-6
jam, tanpa didahului oleh obsesi birahi dan rangsangan seksual.
2. Secara global, kejadian keseluruhan priapismus adalah 1,5 kasus per
100.000 orang dalam 1 tahun dan meningkat pada pria diatas 40 tahun.
Pada usia muda, penyebab utama priapismus adalah Sickle Cell Disease.
3. Tatalaksana farmakologis priapismus dapat dilakukan dengan melakukan
aspirasi, pemberian obat-obatan, dan tindakan operatif. Sedangkan untuk
tatalaksana non-farmakologis dianjurkan untuk melakukan perawatan
lanjutan dengan dokter spesialis urologi dan menindaklanjuti penyakit
yang mendasarinya.

Daftar Pustaka

Baltogiannis DM, Charalabopoulos AK, Giannakopoulos XK, Giannakis DJ,


Sofikitis NV. 2006. Penile Erection During Transurethral Surgery. Journal
of Andrology, Vol. 27(3): 376-80
Al-Qudah,

Hosam

S.

2014.

Priapism.

Available

http://emedicine.medscape.com/article/437237-overview#a0156

at

Accessed

on 08/11/2014 at 10:52 PM
Cherian J, Rao AR, Thwaini A, Kapasi F, Shergill IS, Samman R. 2006. Medical
and surgical management of priapism. Postgrad Med J, Vol. 82(964): 8994.
Hosam S. A. 2014. Priapism Treatment & Management. Availabel at:
http://emedicine.medscape.com/article/437237-overview
Hossein S. N., Vikram D., Allen D. S., dan Mamdouh A. M.. 2004. Prapism.
Elsevire. Vol 42(1): 427-443
Riyanto, R. Sutiyono D., Pujo J.L 2013. Priapismus Intraoperatif pada
Hemoroidektomi dan URS dengan Anestesi Spinal. Junal Anestesiologi
Indonesia, Vol. V (1): 54-60
Van Der Horst, C., Henrik Stuebinger, Christoph Seif, Diethild Melchior, F.J.
Martnez-Portillo,

K.P.

Juenemann.

2003.

Priapism

Etiology,

Pathophysiology And Management. International Braz J Urology, Vol. 29


(5): 391-400.
Willam J, Harmon, Ajay H. 1997. Subspeciality Clinics: Urology, Priapism:
Diagnosis and Management. Mayo Clim Proc. Vol 72 (1): 350-355

Anda mungkin juga menyukai