Anda di halaman 1dari 41

IDENTITAS

Nama

: Tn. H. AK

Usia

: 60 th

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Watestani

Pekerjaan

: Petani

Pendidikan

: Tamat SD

Suku/Bangsa

: Madura, Indonesia

Agama

: Islam

Status pernikahan : Menikah


Tanggal MRS

: 26 Januari 2014

ANAMNESA
Keluhan Utama
Sesak Nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas muncul sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasa muncul setelah menghabiskan 2 buah
durian. Sesak makin lama makin bertambah berat dan tidak muncul tiba-tiba. Sesak
dirasa makin berat setelah

pasien bekerja tidak lebih dari lima menit. Pasien

menyangkal sesak makin berat saat aktivitas sehari-hari (seperti mandi). Pasien
mengaku bila istirahat sampai memerlukan 3 tumpukan bantal. Pasien menyangkal
sering terbangun malam-malam karena sesaknya. Keluhan sesak seperti ini sudah
dirasakan sejak kurang lebih satu tahun terakhir ini tetapi tiap kali sesak
diberobatkan ke mantri. Pasien dibawa dalam keadaan sadar.
Pasien juga mengeluhkan batuk yang muncul bila merasa capek sejak satu
tahun terakhir. Terkadang mengeluarkan dahak berwarna kuning tanpa darah.
Pasien mengaku tidak ada keluarga atau tetangga yang menderita batuk lama.
Pasien juga mengaku tidak pernah dan tidak sedang minum obat dalam jangka
waktu 6 bulan. Pasien juga mengeluhkan mudah lelah saat bekerja. Didapatkan
1

adanya keringat dingin bila sesak muncul. Tidak mengeluhkan nyeri dada dan
dada berdebar. Tidak mengeluhkan demam lama maupun demam sebelum sesak
yang ini. Tidak mengeluhkan batuk dan pilek. Tidak mengeluhkan penurunan berat
badan dalam beberapa bulan. Tidak mengeluhkan mual dan muntah.
Saat ini, BAB lancar seperti biasanya. BAK sering (sampai 20 kali) dan banyak
sejak 2 hari yang lalu setelah minum obat dari dokter spesialis penyakit dalam (tapi
pasien lupa nama obatnya dan diminum sekali sehari saat pagi).
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat darah tinggi yang baru diketahui sejak bulan september 2013.
- Riwayat penyakit jantung (jantung membesar) yang baru diketahui sejak bulan
september 2013.
- Riwayat merokok tidak didapatkan.
- Riwayat asma tidak didaptkan.
- Riwayat pengobatan 6 bulan tidak didaptkan.
- Riwayat alergi makanan dan obat tidak didapatkan.
- Riwayat kencing manis tidak didaptkan.
- Riwayat penyakit ginjal tidak didaptkan.

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Riwayat keluarga yang menderita keluhan sama seperti pasien tidak didapatkan.

Riwayat Psikososial
-

Pendidikan

: Tamat SD

Pekerjaan

: Petani

Kebiasaan
Olahraga

: penderita tidak pernah olahraga

Alkohol

: penderita tidak pernah minum alkohol

Makanan

penderita makan 3x sehari, pola makan masih teratur,

porsi makanan selalu lebih dari cukup. Penderita suka makanan asin.
Mempunyai kebiasaan mengkonsumsi segelas kopi tiap hari.
2

.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum (Tgl. 26/01/2014)
Keadaan umum : Tampak sesak
Kesadaran

: Compos mentis (GCS 456)

Suhu badan

: 36,2C (aksiler)

Nadi

: 112x/ menit teratur, kuat angkat ( A. Radialis)

Tekanan darah : 140/110 lengan kanan posisi duduk


Respiratory Rate: 35x/ menit, teratur
BB/TB

: 80 kg/ 165 cm

Gizi

: Lebih

2. Kepala dan Leher:


Kepala:
Bentuk

: Bulat

Rambut

: Sulit dicabut

Mata

: Edema palpebra (-), ptosis (-), Exoftalmus (-), Skelra ikterus (-),

konjungtiva anemis (-), Reflek cahaya +/+, Pupil isokor 3mm/3mm


Hidung

: Sekret (-), Perdarahan (-), PCH (-)

Telinga

: Sekret (-), Perdarahan (-)

Mulut

: Sianosis (+), Mukosa bibir kering (-), Pursed lip breathing (+)

Leher:
Kelenjar Limfe

: Tidak didapat pembesaran

Trakea

: Di tengah

Kelenjar Tiroid

: Tidak didapat pembesaran

Vena jugularis

: Tidak meningkat

3. Thorax:
Bentuk

: Normal

Kulit

: Kolateral (-), Spider nevi (-)

Retraksi : Didapatkan retraksi Supraklavikula dan Interkosata


4. Paru:
Pemeriksaan

Depan

Belakang
3

INSPEKSI

Ka

Ki

Ka

Ki

Bentuk

Simetris

Pergerakan

Simetris

Simetris

PALPASI
Pergerakan

Fremitus

Sama

Raba

Nyeri
PERKUSI

Suara Ketok

Sonor

Nyeri Ketok
AUSKULTASI
Suara Nafas

Ronkhi

Wheezing

Vesikuler

5. Jantung dan Sistem Kardiovaskuler


Inspeksi:
4

Ictus

: Tidak tampak

Palpasi:
Ictus

: Teraba, di ICS IV, 2 jari lateral dari Midcalvicular line

sinistra
Thrill

: Tidak ada

Perkusi:
Batas kanan : ICS IV, 2 jari lateral dari Parasternal line dextra
Batas kiri

: ICS V, 2 jari lateral dari Midclavicular line sinistra

Auskultasi:
S1S2 tunggal regular, gallop (-), murmur (-)
6. Abdomen:
Inspeksi:
Bentuk

: Flat, supel

Umbilicus : masuk merata


Kulit

: mengkilat(-)

Auskultasi:
Peristaltik usus (+) N
Palpasi:
Nyeri tekan

: tidak ada

Hepar

: tidak teraba

Lien

: tidak teraba

Ginjal

: tidak teraba, nyeri ketok (-)/(-)

Undulasi

: (-)

Perkusi:
Timpani

Timpani

Timpani

Timpani

Timpani

Timpani

Timpani

Timpani

Timpani

Shifting dullness

: (-)
5

7. Extremitas:
Akral Hangat :

Edema

Tampak pucat (+), Clubbing Finger (-), CRT < 2

Hasil Laboratorium (tgl 26/01/2014)


Darah lengkap
RBC

= 5.280.000/mm3

(n)

WBC

= 10.400/mm3

(n)

Hb

= 14,0 g/dl

(n)

Trombosit

= 330.000/mm

(n)

LED

= 7/jam

(n)

SGOT

= 39 U/l

()

SGPT

= 57 U/I

()

BUN

= 19,1 g/dl

(n)

Serum Kreatinin

= 0,7 mg/dl

(n)

Asam Urat

= 8,2 mg/dl

(n)

GDA

= 91 mg/dl

(n)

Total kolesterol

= 206 mg/dl

()

Trigliserida

= 143 mg/dl

(n)

Faal Hati

Faal Ginjal

Profil Lipid

Foto Thorax (tgl 26/01/2014)


Hasil Bacaan :
Cor : CTR >50%, apex rounded
Pulmo : Corakan bronchovascular pattern
meningkat
Sinus Costophrenicus kanan dan
kiri tajam
Kesimpulan : Cardiomegali
Edema Pulmonum

EKG 12 Sadapan

Kesimpulan: Irama Sinus Takikardi 117x/menit, Left Atrial Enlargement, Left Ventricular
Hipertrophy

Asssesment : Gagal Jantung NYHA III

Planning :
Diagnosis : EKG, Foto Rontgen Thorax PA
7

Terapi :
Bed Rest
Diet Rendah garam Rendah lemak Tinggi serat
Pembatasan cairan
O2 Nasal 4 lpm
Hasil konsul dokter spesialis:

Infus RL 8 tetes/menit

Injeksi Lasix 2x1 ampul (bila TDS>110 mmhg)

Injeksi Lapibal 2x1 ampul

Injeksi Pantotis 1x1 vial

Pasang Kateter pasien menolak

Sirup OBH 3x1 sendok makan

Digoxin 2x 1/2tablet

KIE: menjelaskan mengenai penyakit pasien


Monitoring:
Keluhan
Vital sign
Produksi urin

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2005, dari 58
juta kematian di dunia 17,5 juta (30%) diantaranya disebabkan oleh penyakit
jantung dan pembuluh darah terutama oleh serangan jantung (7,6 juta) dan stroke
(5,7 juta). Pada tahun 2015 diperkirakan kematian penyakit jantung dan pembuluh
darah di dunia meningkat menjadi 20 juta (9).
Penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular) yaitu penyakit yang
menyangkut jantung itu sendiri dan pembuluh-pembuluh darah. Beberapa penyakit
yang termasuk kelompok penyakit jantung dan pembuluh darah adalah hipertensi,
penyakit jantung koroner (termasuk angina pektoris, infark miokard akut), penyakit
pembuluh darah otak (TIA= Transient Ischaemic Attack,stroke), penyakit jantung
hipetensi, penyakit jantung rematik, gagal jantung, penyakit jantung katup, penyakit
pembuluh darah perifer, penyakit jantung bawaan, kardiomiopati, dan lain-lain (9).
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung (15).
Selain itu gagal jantung merupakan sindrom kardiovaskuler yang paling kompleks
untuk diobati karena gagal jantung mempunyai banyak etiologi serta adanya
berbagai kelainan hemodinamik, metabolik dan neuroendokrin yang timbul pada
gagal jantung. Disamping sifat penyakit yang kompleks, gagal jantung adalah suatu
keadaan yang progresif dengan prognosis yang buruk. Menurut penelitian
Framingham dalam waktu 2 tahun setelah diagnosis, 37% dari pasien laki-laki dan
38% pasien wanita akan meninggal. Dalam periode 6 tahun angka kematiannya
sangat tinggi pada gagal jantung yang berat yaitu 82% pada laki-laki dan 67% pada
wanita dan terjadi kekambuhan pada 63% pada wanita dan 70% pada laki-laki.
Disamping itu terdapat angka kejadian stroke 4 kali lebih sering dibandingkan
dengan populasi umum (11). Prevalensi gagal jantung kongestif akan meningkat
seiring dengan meningkatnya populasi usia lanjut, karena populasi usia lanjut
dunia bertambah dengan cepat dibanding penduduk dunia seluruhnya, malahan
9

relatif bertambah besar pada negara berkembang termasuk Indonesia selain itu
semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan
infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan
penurunan fungsi jantung (4). Insidensi gagal jantung dalam setahun diperkirakan
2,3-3,7 per seribu penderita pertahun (18). Sedangkan menurut studi Framingham,
kejadian gagal jantung per tahun pada orang berusia lebih dari 45 tahun adalah 7,2
kasus setiap 1000 orang laki-laki dan 4,7 kasus setiap 1000 orang perempuan.
Walaupun angka-angka yang pasti belum ada untuk seluruh Indonesia, tetapi
dengan

bertambah

majunya

fasilitas

kesehatan

dan

pengobatan

dapat

diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan bertambah setiap tahunnya.


Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan
klinis serta tidak spesifik dan sedikit tanda tanda klinis pada tahap awal penyakit.
Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini
serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis, kualitas hidup,
penurunan

angka

perawatan,

memperlambat

progresifitas

penyakit

dan

meningkatkan kelangsungan hidup (5).


Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena
akan

saling

melengkapi

untuk

penatalaksanaan

penderita

gagal

jantung.

Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk
memperbaiki gejala dan prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual
tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita
mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya (20). Obat
obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain adalah golongan
diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, beta blocker
(carvedilol, bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton, vasodilator (hydralazine /
nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik (13).

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi (11)


Tidak ada definisi yang komprehensif, gagal jantung lebih mudah dikenali
pada pemeriksaan klinik dari pada didefinisikan.
Dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam yang diterbitkan oleh Universitas
Indonesia gagal jantung didefinisikan sebagai suatu sindroma kllinis yang
ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
Definisi dari Poole-Wilson merupakan definisi gagal jantung yang lazim dianut
para klinisi, Poole-Wilson mendefinisikan gagal jantung sebagai suatu sindrom
klinik yang disebabkan oleh suatu kelainan jantung dan dapat dikenali dari
respon hemodinamik, renal, neural dan hormonal yang karakteristik
2.2 Terminologi (12)
Gagal Jantung Kongestif, gagal jantung yang disertai retensi cairan dan
edema, sering disebut juga sebagai gagal jantung kronik.
Gagal Ventrikel Kiri, gagal jantung akibat disfungsi ventrikel kiri. Istilah ini
sering dipergunakan untuk menjelaskan gagal jantung dimana edema paru
merupakan gejala yang dominan.
Gagal Ventrikel Kanan, gagal jantung akibat disfungsi ventrikel kanan,
gagal ventrikel kanan murni jarang ditemukan, biasanya gagal ventrikel
kanan diakibatkan oleh gagal ventrikel kiri.
Gagal Biventrikuler, gagal jantung ventrikel kanan dan ventrikel kiri.
Gagal Jantung Akut dan Kronik, respon tubuh terhadap gagal jantung
tergantung apakah sindrom tersebut terjadi akut ataukah kronik. Respon
yang berbeda memberikan gambaran klinik yang berbeda pula.
Gagal Jantung High & Low Output, pada umumnya gagal jantung disertai
dngan curah jantung yang menurun, gagal jantung low output terdapat
beberapa keadaan dimana jantung dituntut untuk menyediakan curah

11

jantung untuk metabolisme jaringan yang lebih besar dari normal. Suatu
keadaan high output bila kemudian terjadi sindrom gagal jantung, maka
memenuhi kebutuhan metabolisme yang meninggi. Keadaan ini disebut
sindroma gagal jantung high output. Gagal jantung Low Output disebabkan
oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikard.
Sedangkan Gagal Jantung High Output

ditemukan pada penurunan

resistensi vaskuler sistemik seperti hipertiroid, anemia, kehamilan, dll.


Namun secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
2.3 Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara
lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut,
klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan
NYHA (18).
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda
kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau
square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan
berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi
simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang
mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien
dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas
(warm) (21).
Klasifikasi gagal jantung juga didasarkan pada beratnya keluhan dan
kapasitas latihan. Meskipun klasifikasi ini tidak tepat benar akan tetapi secara
klinik bermanfaat, terutama untuk mengevaluasi hasil terapi. Klasifikasi yang
banyak digunakan adalah klasifikasi NYHA 1964 (New York Heart Association
Classification) (12). Menurut NYHA gagal jantung dapat diklasifikasikan atas
empat kelas berdasarkan gejala seperti sesak nafas dan kelelahan dalam
melakukan kegiatan fisik (11):

12

a. Kelas I (asimtomatik)
Penderita penyakit jantung tanpa limitasi aktivitas fisik. Aktifitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan dypsnea atau kelelahan.
b. Kelas II (ringan)
Penderita penyakit jantung disertai sedikit limitasi dari aktifitas fisik. Saat
istirahat tidak ada keluhan. Aktivitas sehari-hari menimbulkan dypsnea
atau kelelahan.
c. Kelas III (sedang)
Penderita penyakit jantung disertai limitasi aktifitas fisik yang nyata. Saat
istirahat tidak ada keluhan. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari aktivitas
sehari-hari sudah menimbulkan dypsnea atau kelelahan.
d. Kelas IV (berat)
Penderita penyakit jantungyang tidak mampu melakukan setiap aktivitas
fisik tanpa menimbulkan keluhan. Gejala-gejala gagal jantung bahkan
mungkin sudah nampak saat istirahat. Setiap aktifitas fisik akan
menambah beratnya keluhan.
Walaupun sulit untuk memprediksi prognosis pada seseorang, pasien
dengan gejala pada istirahat (NYHA IV) memiliki angka mortalitas sebanyak
30-70% pertahun, dimana pasien dengan gejala pada aktivitas moderat
(NYHA II) memiliki angka mortalitas tahunan sebanyak 5-10%. Sehingga
status fungsional merupakan suatu prediktor penting untuk outcome pasien
(7).
2.4 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara
berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab
terbanyak sedangkan di negara berkembang menjadi penyebab terbanyak
adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi (14).
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% wanita (14). Faktor resiko
koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
13

berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan
serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan
sebagai faktor resiko independen perkembangan gagal jantung (21). Setelah
infark miokard luas, proses remodelling terjadi dengan hipertrofi regional dari
segmen non infark serta penipisan dan dilatasi daerah yang infark. Akibat dari
proses remodeling terjadi perubahan bentuk dan ukuran ventrikel kiri (6).
Hipertensi telah dibuktikkan meningkatkan resiko terjadinya gagal jantung
pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung
melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertrofi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan resiko terjadinya infark miokard serta memudahkan untuk
terjadinya

aritmia

baik

itu

aritmia

atrial

maupun

aritmia

ventrikel.

Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat


dengan perkembangan gagal jantung (14).
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang
bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan
menjadi empat kategori fungsional: dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan
obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana
terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat
seperti SLE, sindrom Churg-strauss dan poliarteritis nodosa. Kardimiopati
hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autusomal dominan) meski
secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan
pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang
asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati
hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta
compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan
kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel
(14,17).

14

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,


walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral atau
stenosis aorta. Regurgitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta
menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload) (21).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung, dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertrofi ventrikel kirir pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan (21).
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3%
dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin. Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan

obat antivirus seperti zidofudin

juga

dapat

menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap jantung


(21).
Setiap keadaan yang mengakibatkan perubahan pada struktur atau fungsi
ventrikel kiri dapat menyebabkan pasien terkena gagal jantung. Pada negara
indutrialisasi, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab dominan
pada pria dan wanita dan terjadi pada 60-75% kasus gagal jantung. Hipertensi
berperan pada perkembangan gagal jantung pada 75%, termasuk pasien
dengan PJK.

Baik PJK dan hipertensi dapat bekerja sama untuk

meningkatkan resiko gagal jantung, begitu pula dengan diabetes melitus


(Harisson). Untuk dapat memberi terapi yang tepat maka perlu mencari kausa
gagal jantung. Kausa sindroma klinis gagal jantung umumnya adalah disfungsi
ventrikel.
Gagal jantung kanan oleh karena disfungsi ventrikel kanan yang murni
umumnya jarang terjadi, tetapi dapat terjadi akibat:
15

1. Hipertensi pulmonal kronik


2. Emboli paru masif.
Sedangkan gagal jantung kiri, dapat terjadi oleh berbagai kausa, yaitu:
1. Penyakit

miokardium

penyakit

arteri

koroner,

hipertensi,

kardiomiopati, miokarditis
2. Penyakit katub
3. Penyakit jantung kongenital
4. Penyakit perikardium
5. Aritmia
6. Obat-obatan
7. Anemia/Hipoksia
2.5 Patofisiologi (6)
Bila

terjadi

gangguan

kontraktilitas

miokard

primer

atau

beban

hemodinamik berlebih diberikan kepada ventrikel normal, jantung akan


mengadakan sejumlah mekanisme adaptasi untuk mempertahankan curah
jantung dan tekanan darah. Tiap mekanisme kompensasi jantung berikut
memberikan manfaat hemodinamik segera namun dengan konsekuensi
merugikan dalam jangka panjang, yang berperan dalam perkembangan gagal
jantung kronis. Misalnya hipertrofi miokard meningkatkan massa elemen
kontraktil dan memperbaiki kontraksi sistolik, namun juga meningkatkan
kekakuan dinding ventrikel, menurunkan pengisian fungsi ventrikel dan fungsi
diastolik. Penurunan perfusi ginjal menyebabkan stimulasi sistem reninangiotensin-aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin,
angotensin

II

plasma

dan

aldosteron.

Angiotensin

II

merupakan

vasokonstriktor kuat pada arteriol eferen (dan sistemik) ginjal, yang


menstimulasi pelepasan noerepinefrin (noradrenalin) dari ujung saraf simpatik,
menghambat tonus vagal dan membantu pelepasan aldosteron dari adrenal,
menyebabkan retensi natrium dan air serta ekskresi kalium di ginjal.
Gangguan fungsi hati pada gagal jantung dapat menurunkan metabolisme
aldosteron sehingga meningkatkan kadar aldosteron lanjut. Aktivasi sistem
saraf simpatik pada gagal jantung kronis melalui baroreseptor menghasilkan
16

peningkatan kontraktilitas miokard pada awalnya, namun kemudian pada


aktivasi

sistem

RAA

dan

neurohormonal

berikutnya

menyebabkan

peningkatan tonus vena (preload jantung) dan arteri (afterload jantung),


meningkatkan norepinefrin plasma, retensi progresif garam dan air dan
edema. Stimulasi simpatis kronis menghasilkan regulasi-turun-reseptor B
jantung, menurunkan respon jantung terhadapa stimulasi. Kejadian ini
bersama gangguan baroreseptor kemudian akan menyebabkan peningkatan
stimulasi simpatik lebih lanjut. Peptida natriuretik memiliki berbagai efek pada
jantung, ginjal dan sistem saraf pusat. Peptida natriuretik atrial (ANP)
dilepaskan dari atrium jantung sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan dilatasi. Pada manusia peptide natriuretik otak
(BNP) juga dilepaskan dari jantung terutama dari ventrikel dan dengan kerja
yang serupa dengan ANP. Peptide natriuretik bekerja sebagai antagonis
fisiologis terhadap efek angiotensin II pada tonus vaskular, sekresi aldosteron
dan reabsorbsi natirum ginjal. Kadar hormon antidiuretik (vasopresin) juga
meningkat menyebabkan vasokonstriksi dan berperan dalam retensi air dan
hiponatremia. Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor poten yang
diekskresikan oleh sel endotelial vaskular yang membantu retensi natrium di
ginjal. Konstriksi vena sistemik dan retensi natrium serta air meningkatkan
tekanan

atrium

dan

tekanan

serta

volume

akhir

diastolik ventrikel,

pemanjangan sarkomer dan kontraksi miofibril diperkuat (mekanisme FrankStarling).

Dengan

interaksi

kompleks

dari

faktor-faktor

yang

saling

mempengaruhi ini, curah jantung pada keadaan istirahat merupakan indeks


fungsi jantung yang relatif tidak sensitif karena mekanisme kompensasi ini
bekerja untuk mempertahankan curah jantung ketika miokard gagal namun
tiap mekanisme kompensasi ini memliki konsekuensinya. Misalnya konstriksi
yang diinduksi katekolamin dan angiotensin akan meningkatkan resistensi
vaskular sistemik dan cenderung mempertahankan tekanan darah namun
meningkatkan kerja jantung dan konsumsi oksigen miokard.
Gangguan relaksasi miokard karena peningkatan kekakuan dinding
ventrikel dan penurunan komplians menghasilkan gangguan pengisian
17

diastolik ventrikel. Fibrosis iskemik miokard (penyakit jantung koroner) dan


LVH (hipertensi kardiomiopati hipertrofik) merupakan penyebab tersering
tetapi dapat juga disebabkan oleh infiltrasi miokard misalnya amiloid. Disfungsi
diastolik sering timbul bersama gagal sistolik namun juga berdiri sendiri pada
20-40% pasien gagal jantung. Diagnosis disfungsi diastolik biasanya dibuat
dengan pengukuran ekokardiografi. Perbedaan antara kedua komponen gagal
jantung ini tidak memiliki tatalaksana yang terlalu berbeda karena masih
belum jelas bagaimana tatalaksana fungsi diastolik yang terbaik.
2.6 Gambaran Klinis (6)
Gambaran klinis relatif dipengaruhi oleh tiga faktor :
1. Kerusakan jantung
2. Kelebihan beban hemodinamik, dan
3. Mekanisme kompensasi sekunder yang timbul saat gagal
jantung terjadi.
Pada awalnya mekanisme kompensasi bekerja efektif dalam
mempertahankan curah jantung dan gejala gagal jantung hanya timbul
saat aktivitas. Kemudian gejala timbul saat istirahat seiring dengan
perburukan kondisi. Manifestasi klinis juga dipengaruhi oleh tingkat
progresivitas penyakit dan apakah terdapat waktu untuk berkembangnya
mekanisme kompensasi. Sebagai contoh perkembangan regurgitasi mitral
yang mendadak ditoleransi dengan buruk dan menyebabkan gagal
jantung akut, sementara perkembangan regurgitasi mitral dengan derajat
yang sama secara perlahan-lahan dapat ditoleransi dengan beberapa
gejala. Pada tahap awal gagal jantung, gejala mungkin tidak spesifik
(malaise, letargi, lelah dipsneu, intoleransi aktivitas) namun begitu
keadaan memburuk, gambaran klinis dapat sangat jelas menandakan
penyakit jantung. AF terjadi pada 10-50% pasien gagal jantung dan onset
AF dapat memperberat perburukan akut. Aritmia ventrikel (ektopik, VT)
semakin banyak ditemui seiring dengan perkembangan gagal jantung.
Gagal jantung dapat mempengaruhi jantung kiri, jantung kanan atau
keduanya (biventrikel), namun dalam praktik jantung kiri sering terkena.
18

Gagal jantung kanan terisolasi dapat terjadi karena embolisme paru


mayor, hipertensi paru atau stenosis pulmonal. Dengan adanya septum
interventrikel,

disfungsi

salah

satu

ventrikel

potensial

dapat

mempengaruhi fungsi yang lain. Pasien sering datang dengan campuran


gejala dan tanda yang berkaitan dengan kedua ventrikel, namun untuk
mempermudah dapat dianggap terjadi secara terpisah.
Peningkatan tekanan atrium kiri meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan menyebabkan kongesti paru dan akhirnya edema alveolar
mengakibatkan sesak nafas, batuk dan kadang hemoptisis. Dipsnea
awalnya timbul pada aktivitas namun bila gagal ventrikel kiri berlanjut
dapat terjadi saat istirahat, menyebabkan dispnu nokturnal paroksismal
(PND). Pemeriksaan fisik seringkali normal namun dengan perkembangan
gagal jantung hal-hal berikut dapat ditemukan kulit lembab dan pucat
menandakan vasokonstriksi perifer, tekanan darah dapat tinggi pada
kasus penyakit jantung hipertensi, normal atau rendah dengan perburukan
disfungsi jantung, denyut nadi mungkin memiliki volume kecil dan irama
mungkin normal atau iregular karena ektopik atau AF. Pulsus alternans
dapat ditemukan. Sinus takikardi saat istirahat dapat menandakan gagal
jantung berat atau sebagian merupakan refleks karena dilatasi yang
diinduksi obat. Tekanan vena normal pada gagal jantung kiri terisolasi.
Pada palpasi, apeks bergeser ke lateral (dilatasi LV) dengan denyut
dipertahankan (hipertrofi LV) atau diskinesia (aneurisma LV). Pada
auskultasi didapatkan bunyi jantung ketiga (S3), galop dan murmur total
dari regurgitasi mitral sekunder karena dilatasi anulus mitral. Murmur lain
mungkin menandakan penyakit katup jantung intrinsik. Suara P2 dapat
lebih keras karena tekanan arteri pulmonalis meningkat sekunder karena
hipertensi paru sekunder. Terjadi krepitasi paru karena edema alveolar
dan edema dinding bronkus dapat menyebabkan mengi.
2.7 Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP,
19

hepatomegali, edema tungkai (5). Pemeriksaan penunjang yang dapat


dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax,
EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide,
angiografi dan tes fungsi paru (18).
A. Anamnesis
Keluhan (Symptom), merupakan gejala pertama gagal jantung. Symptom
seringkali muncul terlebih dahulu sebelum sign atau tanda fisik yang secara
tegas muncul. Karena itu pengabilan anamnesa yang teliti merupakan hal
yang penting dalam mendeteksi gagal jantung dini atau ringan (12). Gejala
kardinal dari gagal jantung adalah kelemahan dan sesak nafas. Walaupun
mudah lelah dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada
gagal jantung, sepertinya abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non
kardiak lainnya (mis. Anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini. Pada
gagal jantung yang dini, sesak nafas dialami pada saat beraktivitas (Dyspnea
Deffort), namun semakin penyakit ini berkembang sesak nafas juga dialami
pada aktivitas ringan dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat.
Banyak faktor yang menyebabkan sesak nafas pada gagal jantung.
Mekanisme paling penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya
akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar yang akan menstimulasi
pernafasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak nafas pada saat
beraktivitas berat adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan
resistensi saluran nafas, kelemahan otot nafas atau /dan diafragma, dan
anemia. Sesak nafas dapat menjadi lebih jarang dengan adanya onset
kegagalan ventrikuler kanan dan regurgitasi trikuspid (7).

Ortopnea
Ortopnea yang didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada
posisi berbaring, biasanya merupakan manifestasi lanjut dari gagal
jantung dibandingkan dyspnea deffort. Hal ini terjadi akibat redistribusi
dari cairan sirkulasi splaknikus dan extremitas bawah kedalam sirkulasi
pusat selama berbaring disertai dengan peningkatan tekanan kapiler
pulmoner. Batuk nokturnal (batuk yang dialami pada malam hari)
20

merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali
menyamarkan gejala gagal jantung yang lain. Ortopnea umumnya
meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1
bantal. Walaupun ortopnea biasanya merupakan gejala yang relatif
spesifik pada gagal jantung. Ini dapat pula juga terjadi pada pasien
dngan obesitas abdominal atau asites dan pasien dengan penyakit
pulmoner dimana mekanisme pernafasan membutuhkan posisi tegak
(7).

Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)


Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak nafas yang berat dan
batuk yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan
pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat
bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan
karena peningkatan tekanan pada arteri bronkial menyebabkan
kompresi saluran udara disertai dengan edema pulmoner interstitial
yang menyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui
bahwa ortopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan
pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten
walaupun mereka mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma
sepertinya berhubungan dekat dengan PND, ditandai dengan adanya
wheezing akibat bronkopsasme dan harus dapat dibedakan dengan
asma primer dan penyebab pulmoner lainnya yang menimbulkan
wheezing (7).

Edema Pulmoner Akut


Edema pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak nafas pada
istirahat, takipnea, takikardi dan hipoksemia berat. Rales dan wheezing
akibat kompresi saluran udara dari prebronkial. Hipertensi biasanya
terjadi akibat pelepasan katekolamin endogen. Kadang kala sulit untuk
membedakan penyebab kardiak dan non kardiak pada edema paru
akut. Ekokardiografi dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik
dan diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi
21

dan Q wave yang berubah biasanya diagnostik untuk infark miokard


dan sebaiknya dilakukan protokol infark miokard dengan segera dan
terapi reperfusi aretri koroner. Kadar brain natriuretic peptide jika
meningkat secara bermakna mendukung gagal jantung sebagai etiologi
sesak nafas akut dengan edema pulmoner (7).

Pernafasan Cheyne Stoke


Juga disebut sebagai pernafasan periodik atau pernafasan siklik.
Pernfasan cheyne stoke umum terjadi pada gagal jantung berat dan
biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak output. Pernafasan
cheyne stoke disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat
respirasi terhadap tekanan PC02. Terdapat fase apnea dimana terjadi
pada saat penurunan P02 arterial dan PC02 arterial meningkat. Hal ini
merubah komposis gas darah arterial dan memicu depresi pusat
pernafasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti
rekurensi fase apnea. Pernafasan Cheyne-Sokes dapat dipersepsi oleh
keluarga pasien sebagai sesak nafas parah (berat) atau nafas berhenti
sementara (7).

Gejala Lainnya
Gejala lainnya gagal jantung dapat pula datang dengan keluhan
gastrointestinal. Anoreksia, nausea dan pernafasan penuh yang
berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala yang sering
dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus
dan/atau kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat
mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala serebral, seperti
disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien
gagal jantung berat, terutama pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis
serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nokturia umum terjadi
pada gagal jantung dan dapat berperan dalam insomnia (7).

B. Pemeriksaan Fisik (Sign)


Pemeriksaan fisik adalah salah satu kunci untuk menetapkan diagnosa
dan kuantifikasi derajat gagal jantung (12). Tujuan pemeriksaan adalah untuk
22

membantu menentukkan penyebab dari gagal jantung, begitu pula untuk


menilai keparah dari sindrom yang menyertai. Memperoleh informasi
tambahan mengenai keadaan hemodinamika dan respon terhadap terapi serta
menentukan

prognosis

merupakan

tujuan

tambahan

lainnya

pada

pemeriksaan fisik (Harisson). Disamping itu dengan pemeriksaan fisik dapat


menentukan kausa atau etiologi gagal jantung (12).
a. Keadaan Umum dan Tanda Vital, pada gagal jantung ringan dan
moderat, pasien sepertinya tidak mengalami gangguan pada waktu
istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan
yang datar dalam beberapa menit. Pada gagal jantung yang lebih berat,
pasien harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak nafas dan
kemungkinan tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena
sesak yang dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi
pada gagal jantung ringan, namun biasanya berkurang pada gagal
jantung berat karena adanya disfungsi ventrikel kiri berat. Tekanan nadi
dapat berkurang atau menghilang menandakan adanya penurunan
stroke volume (7). Dari pemeriksaan nadi dapat diketahui adanya
regurgitasi aorta, fibrilasi atrium ataupun stenosis aorta (12). Sinus
takikardi merupakan tanda non spesifik disebabkan oleh peningkatan
aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya
ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku disebabkan
oleh aktivitas adrenergik berlebihan (7).
b. Tekanan/pulsasi vena jugularis, tekanan vena jugularis paling baik
dinilai jika pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut 45.
Tekanan vena jugular dinilai dalam satuan cmH2O (normalnya < 8cm)
dengan memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang di atas sudut
sternal (7). Biasanya meninggi kecuali bila pasien telah diberikan
diuretika (12). Pada gagal jantung stadium dini, tekanan vena jugularis
dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara
abnormal

seiring

(abdominojugular

dengan
reflux

peningkatan

positif).
23

tekanan

Pemeriksaan

vena

abdomen
jugularis

memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan (7). Selain itu


dengan penggamatan pulsasi vena jugularis dapat dikenali adanya
disfungsi ventrikel kanan, stenosis pulmonal, dll (12).
c. Pemeriksaan Jantung, pemeriksaan pada jantung walaupun esensial
seringkali tidak memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat
keparahan gagal jantung. Jika kardiomegali ditemukan maka apeks
cordis biasanya berubah lokasi di bawah ICS V (interkostal V) dan/atau
sebelah lateral dari garis midklavikular dan denyut dapat dipalpasi
hingga 2 interkosta dari apeks (Harisson). Impuls apikal yang dapat
dipalpasi dengan penderita berbaring ke sebelah kiri, impuls ganda
menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri bermakna (12). Auskultasi
jantung harus dilakukan dengan bagian bell dari stetoskop diletakkan
pada apeks untuk mencari S3, S4 dan bising mid-diastolik yang
menggenderang dari stenosis mitral. Dengan meletakkan bagian
diafragma dari stetoskop pada apeks dan tepi sternum kiri untuk
mencari suara-suara jantung dan bising-bising lainnya (12). Pada
beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan
dipalpasi pada apeks. Pasien dengan pembesaran atau hipertrofi
ventrikel kanan dapat memiliki denyut parasternal yang berkepanjangan
meluas hingga sistole. S3 (atau prediastolic gallop) paling sering
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang juga mengalami
takikardi

dan

takipneu

dan

seringkali

menandakan

gangguan

hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) buka indikator spesifik


untuk gagal jantung namun biasa ditemukan pada pasien dengan
disfungsi diastolik. Bising pada regurgitasi mitral dan trikuspid biasa
ditemukan pada pasien dengan gagal jantung tahap lanjut (7).
d. Pemeriksaan Pulmoner, untuk mencari ronchi sebagai tanda dari
edema paru (12). Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan
akibat dari transudasi cairan dari ruang intravaskular ke dalam alveoli.
Pada pasien dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada
kedua lapangan parudan dapat pula diikuti dengan wheezing pada
24

ekspirasi (cardiac asthma). Jika tidak ditemukan pada pasien yang tidak
memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk gagal
jantung. Perlu diketahui bahwa rales jarang ditemukan pada pasien
dengan gagal jantung kronis, bahkan dengan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang meningkat. Hal ini disebabkan karena adanya
peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar (7). Seringkali sulit
untuk dibedakan dengan ronchi yang diakibatkan karena penyakit paru
(12). Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan tekanan kapiler
pleura dan mengakibatkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura.
Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner. Efusi
pleura paling sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun
pada gagal jantung efusi pleura sering bilateral, namun pada efusi
pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura kanan (7).
e. Pemeriksaan Abdomen, hepatomegali merupakan tanda penting pada
pasien gagal jantung. Jika ditemukan pembesaran hepar biasanya nyeri
pada perabaan dan dapat berdenyut selama sistole jika regurgitasi
trikuspid terjadi (7). Asites dapat timbul pada gagal jantung lanjut (12).
Asites terjadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan pada vena
hepatika

dan

drainase

vena

pada

peritoneum.

Jaundice

juga

merupakan tanda lanjut pada gagal jantung diakibatkan dari gangguan


fungsi hepar akibat kongesti hepar dan hipoksia selular dan terkait
dengan peningkatan bilirubin direk dan indirek (7).
f. Extremitas, edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada gagal
jantung namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien
yang diterapi dengan diuretik. Edema perifer biasanya sistemik dan
dependen pada gagal jantung dan terjadi terutama pada daerah
achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien
yang melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah
sakrum (edema presakral) dan skrotum. Edema berkepanjangan dapat
menyebabkan indurasi dan pigmentasi pada kulit (7).
C. Pemeriksaan Penunjang
25

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin


Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia
sebagai penyebab susah bernafas dan untuk mengetahui adanya penyakit
dasar serta komplikasi (5,18). Selain itu pemeriksaan darah juga membantu
menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan fungsi tiroid, ginjal dan hati
serta mencari adanya faktor resiko penyakit jantung koroner (Joesoef AH,
1996). Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia karena itu adanya
hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan
serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan
ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi
peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting
enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat
terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat tejadi pada pemberian diuretik tanpa
suplementasi kalium dan obat potasium sparring. Hiperkalemia timbul pada
gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACEinhibitor serta obat potasium sparring. Pada gagal jantung kongestif, tes
fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena
kongesti hepar. Pemeriksaan profil lipid, albumin, serum fungsi tiroid
dianjurkan sesuai kebutuhan (5,18).
2. Foto Rontgen Thoraks
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran
jantung dan bentuknya, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat
mengidentifikasikan penyebab non kardiak pada gejala pasien. Walaupun
pasien dengan gagal jantung akut memiliki bukti adanya hipertensi
pulmoner, edema interstitial dan/atau edema pulmoner. Kebanyakan pasien
dengan gagal jantung tidak ditemukan bukti-bukti tersebut. Absennya
penemuan klinis ini pada pasien gagal jantung kronis mengindikasikan
adanya peningkatan kapasitas limfatik untuk membuang cairan interstitial
dan/atau cairan pulmoner (7). Pada pemeriksaan foto dada dapat
ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoracic ratio > 50%),
26

gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap


awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul
gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut
kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran
Batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya edema paru
bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila
unilateral yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan (5,16).
2. EKG (Elektrokardiogram)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG
adalah untuk menilai ritme, menentukan keberadaan hipertrofi pada
ventrikel kiri atau riwayat infark miokardium (7). Pada EKG 12-lead
didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan
gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10%
kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombag Q,
abnormalitas ST-T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch blockdan
fibrilasi

atrium.

Bila

gambaran

EKG

dan

foto

dada

keduanya

menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung


sebagai penyebab dispnea pada pasien sangat kecil kemungkinanannya
(5).
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pemeriksan non-invasif yang sangat
berguna pada gagal jantung (5). Idealnya semua pasien dengan dugaan
gagal jantung diperiksa dengan ekokardiografi meskipun pemeriksaan ini
sering tidak tersedia. Jika diagnosis gagal jantung yang tepat dapat
dibuat secara klinik (sebagai contoh pada pasien yang memiliki riwayat
infark miokardium yang luas atau pada auskultasi ada tanda-tanda mitral
stenosis), ekokardiografi tidak perlu. Sebaliknya ekokardiografi sangat
diperlukann jika secara klinik diagnosis masih belum jelas (11). Penderita
yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda
gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak
yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan resiko
27

disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol,


atau aritmia).
4. Pemeriksaan Radionuklide
Pemeriksan

radionuklide

atau

multigated

ventrikulografi

dapat

mengetahui ejection fraction, laju pengisisan sistolik, laju pengososngan


diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan
pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri
dapat mengetahi gangguan fungsi yang global maupun segmental serta
mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan
untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan
dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedges pressure.
2.8 Kriteria Diagnosis Gagal Jantung
Untuk gagal jantung kongestif dapat digunakan kriteria Framingham untuk
memudahkan klinisi dalam mendiagnosa keadaan tersebut.
Kriteria Utama :
a. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
b. Kardiomegali
c. Galop S3
d. Peningkatan Tekanan Vena
e. Refleks Hepatojugular
f. Rhonki
Kriteria Tambahan :
Edema Pergelangan Kaki
Batuk malam hari
Dipsnea waktu aktifitas
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikkardi >120 x / menit
Diagnosa ditegakkan atas dasar adanya 2 kriteria utama atau 1 kriteria
utama disertai 2 kriteria tambahan (11).

28

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

penderita

dengan

gagal

jantung

meliputi

penatalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya


dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk penatalaksanaan paripurna
penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut maupun
kronis

ditujukan

untuk

memperbaiki

gejala

dan

prognosis

meskipun

penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya


kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan
semakin baik prognosisnya (18,20).
Prinsip tatalaksana gagal jantung (11):
1. Tegakkan diagnosis gagal jantung serta singkirkan keadaan yang
menyerupai gagal jantung
2. Cari penyebab dasar untuk diatasi dimana mungkin
3. Cari faktor pencetus untuk diatasi dimana mungkin
4. Pahami patofisiologi
5. Berikan pengobatan atau tindakan yang sesuai
Tujuan Pengelolaan Gagal Jantung (11)
Primer

Subsider

Meningkatkan Quality of Life

Mengurang keluhan
Meningkatkan kapasitas latihan
Mengurangi aktifitas neuroendokrin

Meningkatkan survival

Memperbaiki hemodinamik
Mengurani aritmia
Mengurangi aktivas neuroendokrin

2.9.1 Penatalaksanaan Non Farmakologi


Upaya non farmakologi meliputi tindakan umum yang perlu dilakukan
pada semua pasien gagal jantung termasuk pembatasan aktifitas fisik,
pembatasan masukan cairan, diet, menghentikan kebiasaan merokok dan
konsumsi alkohol. Hal ini pada dasarnya adalah perubahan gaya
hidup(11).
29

Diet. Semua pasien memerlukan petunjuk mengenai pola makan


dalam rangka memelihara berat badan yang ideal. Kegemukan
meningkatkan beban kerja jantung, khususnya pada kegiatan fisik.
Pengurangan berat badan melalui pengurangan asupan lemak dan
kalori diwajibkan untuk mereka yang gemuk dan juga disarankan
untuk mereka yang mempunyai kelebihan berat badan. Pada
pasien dengan PJK dan adanya peningkatan kadar plasma lipid,
menu rendah lemak dapat mengurangi kekambuhan kejadian
kardiovaskuler. Sebaliknya pemeliharaan dan peningkatan status
gizi penting dilakukan pada pasien yang berstatus gizi kurang,
kurus dan juga pada peminum alkohol. Pemakaian garam harus
dibatasi karena dapat memperberat kondisi terutama edema.
Garam tidak boleh ditambahkan pada masakan atau saat makan
(11).

Masukan cairan. Pasien dengan gagal jantung sering mengalami


kehausan, akibatnya pasien minum terus menerus sehingga timbul
hiponatremia. Pemasukan cairan harus dibatasi kalau mungkin
berkisar 2 liter sehari untuk kebanyakan pasien (Joesoef AH,1996).
Pada penderita yang memerlukan perawatan retriksi cairan (1,5-2
L/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien
(20). Pemasukan cairan mungkin perlu ditingkatkan atau dosis
diuretik dikurangi pada cuaca panas serta pada kejadian diare,
muntah atau demam (11).

Konsumsi alkohol. Alkohol dapat merusak miokardium dan


menyebabkan aritmia. Konsumsi alkohol harus dihindari atau
secukupnya saja (11).

Merokok. Merokok meningkatan resiko masalah kardiovaskuler,


penyakit sistem pernafasan dan masalah masalah lain terkait
karsinoma, sehingga harus dihindari sama sekali (11).

Aktifitas fisik. Istirahat merupakan bagian penting dari upaya gagal


jantung. Perawatan di rumah sakit ditujukan pada gagal jantung
30

akut atau gagal jantung kronik yang tidak dapat dikompensasikan.


Sebaliknya mobilisasi dini juga penting begitu keadaan klinik
memungkinkan. Bila memungkinkan kegiatan fisik dalam ukuran
sedang dan teratur harus ditingkatkan. Hal ini memberikan manfaat
perbaikan simtomatik yang jelas dan keuntungan lainnya pada
pasien. Kegiatan kegiatan fisik yang dinamis seperti berjalan,
bersepeda, berenang, bowling, berkebun dan lain lain dapat terus
dilanjutkan selama tidak ada keluhan dan pasien merasa nyaman.
Beberapa penelitian mengenai latihan fisik memberikan hasil yang
positif dengan berkurangnya gejala, meningkatkan kapasitas
latihan dan memperbaiki kualitas dan durasi kehidupan (7).
Penderita harus menghindari orang yang influensa atau penyakit
infeksi agar tidak demam yang dapat memperburuk gejala (11).
Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh
infeksi

paru

sehingga

vaksinasi

terhadap

influenza

dan

pneumococcal perlu dipertimbangkan (20).


2.9.2 Penatalaksanaan Farmakologi
Pengobatan Gagal Jantung terdiri atas (11):
1.

Pengobatan spesifik terhadap kausa yang mendasari timbulnya gagal

jantung.
Kausa

Pengobatan

Penyakit jantung koroner

Revaskularisasi

Penyakit katub berat

Penggantian katub

Iskemia miokard

Intracardiac defibrillator

Dll.

Dll.

2.

Pengobatan sindroma gagal jantung.

Masalah
Preload

Pengobatan
meningkat

menyebabkan

retensi

yang Retriksi garam


cairan Diuretika

(Edema, Ascites)

Venodilator
31

(Diuretika
tombak

merupakan
pengobatan

ujung
sampai

tercapainya euvolemik)
Aldosteron

antagonis

dapat

dikombinasikan dengan diuretik


bila terdapat hipokalemia.
Curah

jantung

rendah,

tahanan Arteriolar dilator

vaskuler sistemik meningkat.

ACE inhibitor
ARB

Kontraktilitas menurun

Obat inotropik positif (Digoxin)

Rate jantung cepat


Atrial fibrlasi

Tingkatkan AV blok
Dapat diberikan Digitalis

Takikardi sinus

Perbaiki kemampuan ventrikel


kiri

Diuretik
Kebanyakan dari manifestasi klinik gagal jantung sedang hingga berat
diakibatkan oleh retensi cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan
gejala kongestif. Diuretik adalah satu-satunya agen farmakologik yang
dapat mengendalikan retensi cairan pada gagal jantung berat dan
sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga status volume
pada pasien dengan gejala kongestif (sesak nafas, ortopnea dan edema)
atau tanda peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis,
edema perifer). Furosemide, torsemide dan bumetanide bekerja pada loop
of henle dengan menginhibisi reabsobsi Na, K dan Cl pada bagian
asenden loop of henle. Thiazide dan metolazone mengurangi reabsorbsi
Na Cl pada bagian awal tubulus kontortus distal; dan diuretik hemat
kalium (antagonis aldosteron) seperti spironolakton bekerja pada tingkat
duktus koligentes (7).

32

Walaupun semua diuretik meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin,


diuretik memiliki potensi dan farmakologik yang beragam. Loop diuretic
meningkatkan ekskresi fraksional sodium hingga 20-25% sedangkan
thiazide hanya 5-10% dan cenderung berkurang efektifitasnya pada
pasien dengan insufisiensi renal moderat atau berat. Sehingga loop
diuretic biasanya dibutuhkan untuk mengembalikan status volume pasien
gagal jantung. Diuretik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah dan
kemudian ditingkatkan secara perlahan-lahan untuk meringankan tanda
overload cairan berat. Pemberian intravena dapat penting untuk
meringankan kongesti akut dan aman digunakan pada keadaan rawat
jalan (7). Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasodilator renal. Efek ini dihambat oleh protaglandin inhibitor seperti obat
antiinflamasi non steroid sehingga harus dihindari bila memungkinkan
(5,18). Setelah gejala kongesti diringankan, pemberian diuretik sebaiknya
tetap dilanjutkan untuk menghindari rekurensi dan retensi air dan garam
(Harisson).
Diuretik memiliki potensi untuk menyebabkan berkurangnya volume dan
elektrolit, begitu pula dengan memperburuk azotemia. Satu efek samping
diuretik yang paling penting adalah perubahan hemostasis potassium
(hipokalemia atau hiperkalemia) yang akan meningkatkan aritmia. Pada
umunya

baik

hipokalemia

loop

diuretic

sedangkan

maupun

spironolakton,

thiazid

dapat

eplerenone

menyebabkan
dan

triamteren

menyebabkan hiperkalemia. Antagonis aldosteron tidak direkomendasikan


jika kreatinin serum >2,5 mg/dl (7).
Semua diuretik menyebabkan pasien tidak nyaman karena harus
mengatur kegiatan harian. Efek furosemide biasanya menghilang setelah
4 jam sedangkan torsemide efeknya bertahan 8-12 jam. Pasien harus
diberitahu bahwa pada umumnya tidak ada waktu yang pasti dimana
diuretik harus digunakan tetapi lebih didasarkan pada kondisi individu,
mungkin pada waktu siang, sore atau malam tetapi jangan terlalu malam
agar tidak mengganggu tidur (11).
33

ACE inhibitor
ACE inhibitor telah terbukti bermanfaat pada semua jenis sindrom gagal
jantung karena disfungsi ventrikel kiri (11). ACE inhibitor mempengaruhi
sistem renin-angiotensin dengan menginhibisi enzim yang berperan
terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II (Haarisson). ACE
inhibitor mengurangi vasokonstriksi, meningkatkan fungsi pompa dan
meningkatkan aliran darah ke ginjal dan otot rangka serta menstabilkan
remodelling ventrikel kiri (7,11). Karena retensi cairan dapat menurunkan
efek ACE inhibitor, dianjurkan untuk diberikan diuretik sebelum memulai
terapi ACE inhibitor. Akan tetapi penting untuk mengurangi dosis diuretik
selama pemberian ACE inhibitor dengan tujuan mengurangi kemungkinan
hipotensi simptomatik. ACE inhibitor sebaiknya dimulai dengan dosis
rendah diikuti peningkatan dosis secara bertahap jika dosisi rendah dapat
ditoleransi (Harisson).
Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem
renin-angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat
terjadi selama pemberian terapi dan biasanya ditoleransi dengan baik
sehingga dosis tidak perlu diturunkan. Akan tetapi jika hipotensi diikuti
dengan rasa pusing atau disfungsi renal menjadi lebih berat maka penting
untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi potassium yang tidak berespon
dengan diuretik, dosis ACE inhibitor juga perlu diturunkan (7).

ARB
Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan
ACE inhibitor karena batuk, rash kulit dan angioedema. Walaupun ACE
inhibitor dan ARB menghambat sistem renin-angiotensin, kedua obat ini
bekerja dalam mekanisme yang berbeda. ACE inhibitor memblokir enzim
yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I.
Beberapa

penelitian

klinik

menunjukkan

manfaat

terapeutik

dan

penambahan ARB pada terapi ACE inhibitor pada pasien gagal jantung
kronis. Baik ACE inhibitor maupun ARB memiliki efek serupa terhadap
34

tekanan darah, fungsi ginjal dan potassium. Sehingga efek samping


kedua obat tersebut serupa pula (7).

Digitalis
Digoxin harus digunakan untuk mengendalikan laju frekuensi ventrikel
pada pasien dengan gagal jantung dan fibrilasi atrium. Digoxin juga
bermanfaat pada pasien dengan gagal jantung yang mempunyai irama
sinus. Selain merupakan inotropik positif, digoxin diketahui mempunyai
pengaruh penting lainnya pada gagal jantung yaitu meliputi supresi
terhadap neuro-endokrin, khususnya inhibisi nervus simpatik dan
vasodilatasi arteri. Kejadian keracunan digitalis pada pasien rawat jalan
biasanya sedikit berkisar 1 kali pada terapi yang telah dijalani selama 20
tahun. Adanya insufisiensi ginjal akan menambah resiko keracunan.
Hipokalemi (disebabkan penggunaan digitalis) meningkatkan resiko
keracunan digitalis. Amiodaron dan quinidine meningkatkan konsentrasi
digoxin serum karena interaksi farmakologik (11).

Agen inotropik
Pemberian inotropik ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai
hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan/atau vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85100 mmHg. Jika tekanan sistolik <85 mmHg maka inotropik dan/atau
vasopresor

merupakan

pilihan

(1,2,16).

Agen

inotropik

positif

menghasilkan manfaat hemodinamika langsung dengan menstimulasi


kontraktilitas kardiak dan secara bersamaan menyebabkan vasodilatasi
perifer.

Efek

hemodinamika

ini

secara

bersamaan

menghasilkan

perbaikan pada kardiak output dan penurunan tekanan pengisian ventrikel


kiri (7).
Dobutamin merupakan agen inotropik yang paling sering digunakan pada
penatalaksanaan gagal jantung akut. Efek kerjanya dengan menstimulasi
reseptor B1 dan B2 dengan sedikit efek pada reseptor a1. Dobutamin
diberikan sebagai infus berkelanjutan dengan dosis infus permulaan
sebesar 1-2ug/kg permenit. Dosis lebih tinggi (>5ug/kg permenit) biasanya
35

diperlukan

pada

hipoperfusi

berat,

akan

tetapi

terdapat

sedikit

penambahan manfaat jika dosis ditingkatkan diatas 10 ug/kg permenit.


Pasien yang diinfus selama lebih dari 72 jam biasanya mengalami
takifilaksis dan biasanya dosis perlu ditingkatkan (7).
Milrinone

merupakan

suatu

inhibitor

fosfodiesterase

III

yang

menyebabkan peningkatan cAMP dengan menginhibisi katabolismenya.


Milrinone dapat bekerja secara sinergis dengan B-adrenergik agonis untuk
mendapatkan peningkatan kardiak output lebih tinggi dibandingkan jika
pemakaian agen tersebut diberikan tersendiri dan kemungkinan lebih
efektif dibandingkan dengan dobutamin dalam meningkatkan kardiak
output dengan keberadaan beta bloker. Milrinone dapat diberikan dengan
cara bolus 0,5 ug/kg permenit diikuti dengan dosis infus sebesar 0,1-0,75
ug/kg permenit. Karena milrinone merupakan vasodilator yang lebih efektif
dibandingkan dobutamin, obat ini lebih menurunkan tekanan pengisian
ventrikel kiri walaupun dengan resiko hipotensi yang lebih besar (7).
Walaupun penggunaan jangka pendek inotrop memberikan manfaat
hemodinamika, agen ini lebih cenderung mengakibatkan takiaritmia dan
kejadian iskemik dibandingkan vasodilator. Sehingga inotropik lebih tepat
digunakan pada keadaan klinis dimana vasodilator dan diuretik tidak
membantu, seperti pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan/atau
syok

kardiogenik,

pada

psein

yang

membutuhkan

dukungan

hemodinamika jangka pendek pada infark miokardium atau operasi dan


pada pasien persiapan transplantasi jantung atau sebagai perawatan
paliatif pada pasien gagal jantung berat. Jika pasien membutuhkan
penggunaan inotrop yang berkesinambungan sangat dipertimbangkan
untuk diberikan dalam keadaan ICU karena efek proaritmianya pada agen
tersebut (7).

Vasokonstriktor
Vasokonstriktor digunakan untuk mendukung tekanan darah sistemik
pada pasien dengan gagal jantung. Dari ketiga agen yang biasanya sering
digunakan, dopamin merupakan pilihan pertama untuk terapi pada situasi
36

dimana inotropik dan dukungan presor dibutuhkan. Dopamin merupakan


katekolamin endogen yang menstimulasi reseptor B1, a1 dan reseptor
dopaminergik (DA1 dan DA2) pada jantung dan sirkulasi. Efek dopamin
bergantung pada dosisnya. Dopamin dosis rendah (<2 ug/kg permenit)
menstimulasi DA1 dan DA2 dan menyebabkan vasodilatasi pada
pembuluh splanikus dan renal. Dosis moderat (2-4 ug/kg permenit)
merangsang reseptor B1 sehingga terjadi peningkatak laju dan curah
jantung. Pada dosis yang lebih tinggi (>5 ug/mg permenit) akan
merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan
laju jantung serta vasokonstriksi (7,18).

Vasodilator lain
Selain diuretik, vasodilator intravena adalah pengobatan paling berguna
untuk gagal jantung akut. Dengan menstimulasi guanil siklase dalam sel
otot halus. Nitrogliserin, nitropruside dan nestritida menghasilkan efek
dilatasi pada resistensi arterial dan venous capacity pada pembuluh darah
sehingga menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri, penurunan mitral
regurgitasi dan memperbaiki kardiak output tanpa meningkatkan heart
rate atau menyebabkan aritmia.
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravena) mengurangi preload
serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan agina
serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator
vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri
termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat
sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa
mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah toleransi terutama
pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 1624 jam (18).
Nitropruside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada
gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai
krisis hipertensi. Pemberian nitropruside dihindari pada gagal ginjal berat
dan gangguan funsi hati. Dosis 0,3-0,5 ug/kg/menit (2,19). Keterbatasan
37

utama dari nitropruside adalah efek samping dari sianida yang


bermanifestasi umumnya pada gastrointestinal dan sistem saraf. Sianida
sepertinya paling sering berakumulasi pada perfusi hepar yang berat dan
penurunan fungsi hepatik akibat kardiak output rendah dan sepertinya
sering terjadi pada pasien yang mendapatkan >250 ug/menit selama 48
jam. Toksisitas sianida dapat diatasi dengan penurunan atau penghentian
infus nitroprusid (7).
Nestritid adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nestritid
adalah Brain Natriuretic Peptide (BNP) rekombinan yang identik dengan
yang

dihasilkan

ventrikel.

Pemeberiannya

akan

memperbaiki

hemodinamika dan neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan


saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin
di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel
tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberian adalah bolus 2 ug/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 ug/kg/menit (18).
Hipotensi merupakan efek samping yang paling sering terjadi pada ketiga
agen vasodilatasi tersebut, walaupun nestritid dianggap yang paling
kurang efeknya. Hipotensi biasanya terkait dengan bradikardi terutama
dengan

penggunaan

nitrogliserin.

Ketiga

obat

tersebut

dapat

menyebabkan vasodilatasi arteri pulmoner dimana dapat memperburuk


hipoksia pada pasien dengan abnormalitas ventilasi perfusi (7).

Obat-obat lain
Pada gagal jantung memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian
tromboembolitik. Pada penelitian klinis, angka kejadian stroke mulai dari
1,3-2,4%

per

tahun.

Penurunan

fungsi

ventrikel

kiri

dipercaya

mengakibatkan stasisnya darah pada ruang kardiak yang berdilatasi


dengan peningkatan resiko pembentukan trombus. Penatalaksanaan
dengan antikoagulan (misal warfarin) dianjurkan pada pasien dengan
gagal jantung, atrial fibrilasi atau dengan riwayat emboli sistemik atau
pulmoner, termasuk stroke. Antiplatelet (misal aspirin) direkomendasikan
38

pada pasien gagal jantung dengan penyakit jantung iskemik untuk


menghindari terjadinya infark miokardium dan kematian. Namun dosis
rendah aspirin (75 atau 81 mg) dapat dipilih karena kemungkinan
memburuknya gagal jantung pada dosis yang lebih tinggi (7).

Intervensi mekanik
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra
aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator,
ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada
penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan disertai regurgitasi mitral atau
ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk
mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium
dan ventrikel diindikasikan pada penderita dengan bradikardi yang
simptomatik

dan

blok

atrioventrikular

derajat

tinggi.

Implantable

cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan


takikardi ventrikel. Vascular assist device merupakan pompa mekanis
yang menggantikan sebagian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik (15,18).
Kondisi-kondisi dengan resiko tinggi yang sebaiknya ditangani oleh dokter
spesialis jantung (11):
1. Gagal jantung berat (NYHA kelas III dan IV), pasien yang memakai
furosemid 80 mg atau sejenisnya.
2. Tekanan darah sistolik yang rendah (<90 mmHg).
3. Konsentrasi natrium serum yang rendah (<130 mmol/L) atau
konsentrasi kalium yang tinggi >5,5 mmol/L.
4. Kelainan ginjal (konsentrasi kreatinin serum >2,26 mg% atau
>200umol/L).
5. Kelainan obstruksi kronik berat pada saluran nafas dan cor
pulmonal (resiko hipertensi pulmonal yang menetap).
2.10

Prognosa
39

Walaupun banyak perkembangan terkini mengenai penatalaksanaan


gagal jantung, perkembangan gagal jantung masih memberikan prognosis
yang buruk. Penelitian berbasis komunitas mengindikasikan bahwa 30-40%
pasien gagal jantung akan meninggal dalam 1 tahun setelah diagnosis
ditegakkan dan 60-70% dalam waktu 5 tahun, terutama dikarenakan
memburuknya gagal jantung atau sebagai kejadian mendadak (kemungkinana
karena adanya aritmia ventrikel). Walaupun sulit untuk memprediksi prognosis
pada seseorang, pasien dengan gejala pada istirahat

(NYHA kelas IV)

memiliki angka mortalitas sebanyak 30-70% pertahun dimana pasien dengan


gejala pada aktivitas moderat memiliki angka mortalitas tahunan sebanyak 510%. Sehingga status fungsional merupakan suatu prediktor penting untuk
outcome pasien (Harisson). Data mengenai prognosis gagal jantung yang
tidak diterapi tidak diketahui dengan pasti. Natural history penderita gagal
jantung yang mendapat terapi adalah sebagai berikut (Joesoef AH, 1996):
Kelas NYHA

Mortalitas 5 tahun (%)

10-20

II

10-20

III

50-70

IV

70-90

Faktor-faktor Penentu Prognosa


1. NYHA kelas III-IV
2. Kapasitas latihan yang rendah (VO2 max< 10 ml/kg/menit)
3. Irama Gallop
4. Kausa gagal jantung : Penyakit jantung koroner
5. Kardiomegali (CTR > 55%)
6. EKG : LBBB
7. (Na+) plasma < 130 mmol/liter
8. Noradrenalin plasma >
9. Takikardi ventrikel

40

Dua faktor teratas merupakan prediktor indipenden dari prognosa yang buruk
(11) .

41

Anda mungkin juga menyukai