Anda di halaman 1dari 8

DESENTRALISASI FISKAL

KELOMPOK IX SEMINAR KEUANGAN PUBLIK


Jon Mart Parlinggoman Silaban
Taufik Affandi
Abraham W Setiawan

DESENTRALISASI FISKAL

A. KONSEP DAN DEFINISI


Pengertian desentralisasi menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pada pasal 1 ayat 7 adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wewenang yang
diberikan kepada pemerintah daerah adalah menjalankan otonomi seluas- luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan, kecuali untuk urusan-urusan yang meliputi urusan politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Penyerahan
kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dalam melaksanakan urusannya
harus diiringi dengan dana untuk melaksanakan urusan tersebut, sehingga keluarlah
Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk
mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah. Pendanaan
tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa
pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab
masing - masing tingkat pemerintahan. Berdasarkan pengertian diatas, Dapat didefinisikan
desentralisasi fiskal adalah sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan
banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan.

B. MEKANISME DESENTRALISASI FISKAL DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN


DAERAH
Pemerintah Pusat melalui Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional diwajibkan untuk membuat Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional (RPJP-N). RPJP-N adalah dokumen perencanaan Pemerintah


Pusat untuk periode 20 (dua puluh) tahunan. RPJP-N adalah blue print pembangunan
Negara Republik Indonesia selama 20 tahun kedepan. Selanjutnya, RPJP-N dijabarkan
kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJM diselaraskan dengan
Renstra Pemerintah Pusat yang dibuat untuk periode 5 (lima) tahunan. RPJM/Renstra
dijabarkan lebih teknis kedalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP
merupakan dasar untuk membuat Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga di
Pemerintah Pusat yang lebih lanjut dijabarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Dalam rangka desentralisasi fiskal untuk mendukung pembangunan
daerah, maka Pemerintah Daerah wajib membuat RPJP-Daerah (RPJPD). RPJPD
merupakan dokumen perencanaan Pemerintah Daerah untuk periode 20 (dua puluh)
tahunan.

RPJPD

harus

selaras

dan

menyesuaikan

dengan

RPJPN

dengan

mempertimbangkan kebutuhan, kondisi dan prioritas pembangunan Pemerintah dAerah


setempat. RPJPN dijabarkan lebih lanjut kedalam RPJMD dan Renstra selama 5 tahunan.
Secara teknis, setiap tahun Pemerintah Daerah menjabarkan dokumen perencanaan
tahunan dalam bentuk RKPD. RKPD mengacu ke RPJMD dan Renstra Daerah. Untuk
mendukung pelaksanaan kegiatan yang tertuang didalam RKPD, maka Pemerintah Daerah
mewajibkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) membuat dokumen Rencana Kerja
Anggaran (RKA)-SKPD yang nantinya dituangkan dalam dokumen APBD. Transfer dana
dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah daerah tertuang dalam APBN dalam bentuk dana
Perimbangan. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan
Dana Alokasi Khusus. Dana Perimbangan merupakan Penerimaan Daerah merupakan
salah satu sumber untuk membiayai belanja-belanja Daerah yang dituangkan dalam RKASKPD.
Kumorotomo (2008) membagi instrumen desentralisasi fiskal secara umum menjadi 3
bagian besar yaitu pertama, revenue sharing dimana pusat memberikan sebagian
penerimaan pemerintah (biasanya dalam bentuk hasil ekstraksi sumber daya alam,
konsesi, dll) kepada daerah berupa Dana Bagi Hasil non-pajak (DBH non-pajak). Kedua,
fiscal sharing yaitu pusat membagi kewenangan memungut pajak dan belanja publik
kepada daerah berupa Dana Bagi Hasil pajak (DBH pajak). Ketiga, pemberian subsidi
(grants) kepada pemerintah daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK) atau Dana Otonomi Khusus (Otsus).

Pendekatan yang dapat dipakai dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah (Basri
dan Subri, 2005), yaitu:
1. Pendekatan Kapitalisasi (capitalization approach)
Hubungan ini berdasarkan kuasi komersial. Pemerintah pusat melakukan investasi pada
pemerintah daerah. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelolan investasi
tersebut. Keuntungan dari investasi tersebut dibagi secara proporsional antara
pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan presentase bagian modal investasi yang
ditanamkan. Dalam situasi tertentu, pemerintah pusat dapat menyumbangkan
keuntungan yang menjadi bagianya kepada pemerintah daerah.
2. Pendekatan Sumber Pendapatan (income source approach)
Dalam pendekatan ini, pemerintah pusat memberikan sebagian pendapatan tertentu
kepada daerah. Pemerintah pusat dapat memberikan kewenangan pengelolaan sumber
pendapatan tertantu yang sepenuhnya diserahkan ke daerah atau wewenang untuk
menikmati sebagian dari pungutan yang dilakukan daerah atas nama pusat.
3. Pendekatan Belanja (expenditure approach)
Dasar dari pendekatan ini adalah kebutuhan belanja untuk menjalankan proyek atau
untuk operasional pemerintah daerah. Kekurangan biaya pada suatu proyek dibiayai
oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan kemampuan daerah dan alokasi
bantuan untuk masing-masing daerah. Hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan
ini adalah kebutuhan pembangunan tidak boleh berbeda secara signifikan apabila
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
4. Pendekatan Komprehensif (comprehensive approach)
Pendekatan ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur sumber
pendapatannya dan mengatur alokasi belanja sesuai dengan kebutuhan daerah masingmasing. Pemerintah daerah mem[unyai tantangan dalam menyeimbangkan antara
pendapatan dengan belanja. Sumber penerimaan yang dikelola pemerintah daerah
merupakan Pendapatan Asli Daerah (PAD). JIka PAD belum dapat memenuhi
kebutuhan belanja daerah, pemerintah pusat memberikan bantuan/subsidi untuk
menutup fiscal gap tersebut. Pendekatan ini biasa disebut juga sebagai pendekatan
defisit (deficit approach) karena pada umumnya pemerintah daerah tidak dapat
membiayai seluruh belanja yang sudah dianggarkannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang
Dana Perimbangan, terdapat berbagai macam dana perimbangan, yaitu DAU (Dana

Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), dan DBH (Dana Bagi Hasil). Dana
perimbangan tersebut bertujuan untuk:
a) menjamin terciptanya perimbangan secara vertikal di bidang keuangan antar tingkat
pemerintahan,
b) menjamin terciptanya perimbangan horizontal di bidang keuangan antar pemerintah
di tingkat yang sama, dan
c) menjamin terselenggaranya kegiatan-kegiatan tertentu di daerah yang sejalan
dengan kepentingan nasional.
Menutur Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, DAU adalah dana yang bersumber
dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
DAU digunakan untuk membiayai kekurangan pendapatan pemerintah daerah dalam
pemanfaatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) -nya. DAU bersifat block grant yang
artinya penggunaan DAU diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan
kebutuhan

daerah

untuk

peningkatan

pelayanan

kepada

masyarakat

dalam

rangkapelaksanaan otonomi daerah. DAU terdiri dari:


1) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi.
2) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten /Kota.
DAK adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada
provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa
DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam rangka pendanaan
desentralisasi untuk:
1. membiayai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah Pusat atas dasar prioritas
nasional, dan
2. membiayai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu.
Sedangkan DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Contoh DBH di Indonesia
antara lain PPh Pasal 25 dan 29, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Cukai Hasil
Tembakau (CHT), royalti, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
perikanan.

Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada
daerah diberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan
penghargaan kepada daerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan
perekonomian daerah. Dana tersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan
outcome pembangunan daerah.

C. ELEMEN UTAMA DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA


Satu hal penting yang harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi fiskal
adalah instrumen, bukan suatu tujuan. Desentralisasi fiskal adalah salah satu instrumen
yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna

mendorong

perekonomian daerah maupun nasional. Melalui mekanisme hubungan keuangan yang


lebih baik diharapkan akan tercipta kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan
pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang
lebih baik. Sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.
Hal penting lainnya yang juga harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi
fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama
melalui transfer ke daerah. Esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada
diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masing
masing daerah. Penerimaan negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah Pusat,
dengan tujuan untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan berpijak pada dua hal tersebut di atas, strategi kebijakan dari grand design
desentralisasi fiskal di Indonesia pada prinsipnya adalah bagaimana sistem yang ada saat
ini dapat dikembangkan dan diperbaiki untuk disesuaikan dengan normatif dari kebijakan
desentralisasi yang seharusnya dimunculkan. Dari perkembangan kebijakan desentralisasi
fiskal di Indonesia, terdapat empat elemen utama desentralisasi fiskal yang harus
disempurnakan, yaitu 1) sistem dana perimbangan (transfer), 2) sistem pajak dan pinjaman
daerah, 3) sistem administrasi dan anggaran pemerintahan pusat dan daerah, serta 4)
penyediaan pelayanan publik dalam konteks penerapan SPM.
Arah dari kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menghindari kegagalan dari
sistem desentralisasi (Prudhomme, 1995), yaitu praktek kebijakan desentralisasi yang
justru menciptakan inefisiensi dari perekonomian. Mekanisme atau desain dari

desentralisasi fiskal yang dapat memperparah inefisiensi suatu perekonomian, misalnya


terjadi ketika sistem transfer justru menimbulkan kondisi soft budget constraint,
terciptanya local capture yang melemahkan akuntabilitas dari sistem pemerintahan pada
tingkatan yang lebih rendah, serta kondisi low transaction costs ditingkat lokal tidak
terpenuhi.
D. TUJUAN DESENTRALISASI FISKAL
Dalam nota keuangan RAPBN Tahun 2009, tujuan desentralisasi fiskal adalah sebagai
berikut:
1. Mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance);
2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan
pelayanan publik antar daerah;
3. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional;
4. Tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian
Transfer ke Daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil;
5. Mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.

E. FUNGSI FISKAL DALAM KEBIJAKAN PUBLIK


Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi alokasi, fungsi
distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya
lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan fungsi alokasi
dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan
situasi masyarakat setempat.
1. Fungsi Alokasi
Fungsi Alokasi berkaitan dengan masalah efisiensi. Empat isu penting dalam
mewujudkan efisiensi:
a) Barang dan jasa apa yang akan disediakan oleh Pemerintah
b) Berapa jumlahnya
c) Bagaimana cara penyediaannya
d) Siapa yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan pengadaan barang
dan jasa tersebut

2. Fungsi Distribusi
Fungsi distribusi bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Daerah
lainnya.
3. Fungsi Stabilisasi
Fungsi stabilisasi bertujuan untuk menciptakan kestabilan ekonomi. Kestabilan
ekonomi tercapai apabila ekonomi berada dalam posisi seimbang, melalui
pengendalian harga/pemenuhan kebutuhan dasar, pembukaan lapangan kerja, dan
penurunan jumlah masyarakat miskin.

DAFTAR REFERENSI
Basri, Zainul Yuswar dan Mulyadi Subri, 2005. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan
Utang Luar Negeri. Jakarta : Rajawali Press.
Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Desentralisasi Fiskal Politik dan Perubahan Kebijakan
1974-2004.Jakarta: Kencana
Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
Prudhomme.1995. The Dangers of Decentralization.Paris:The World Bank Research
Observer, vol. 10, no. 2
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

Anda mungkin juga menyukai