Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Universitas Indonesia
1
T. O’Connor. An Overview of the Field of International Relations. http://www.apsu.edu/oconnort/3040/
3040lect02a.htm, diakses pada 7 Febuari 2008, pukul 09.34.
2
Alan Bryman. Social Research Methods. (Oxford: Oxford University Press), hal. 11.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia
tantangan budaya, ekologi, dan gender yang mulai muncul ke permukaan. Oleh karena itu,
perspektif realisme yang mengedepankan aktor negara dalam segala penyelesaian masalah
internasional mulai dianggap tidak cukup. Realisme, dianggap sebagai perspektif yang
mengeneralisasi, menguniversalisasi, dan cenderung tidak memperhatikan tingkah laku
manusia; realisme juga diangap sebagai perspektif yang mengurangi nilai politik global
menjadi sekedar masalah perjuangan kekuasaan anarkis antar negara dan menjadi sekedar
usaha untuk memperoleh self-interest.
Ketidakcukupan pandangan kaum positivist dalam menyikapi berbagai masalah
dunia yang semakin kompleks itu mendorong munculnya usaha untuk mulai memperhatikan
rasionalitas, objektivitas, dan kebenaran; mulai diperhatikannya subjek dan objek, fakta dan
nilai, pengetahuan dan kekuasaan, teori dan realitas, agar cara berpikir dan bertindak pada
akhir abad ke-20 dapat lebih dimengerti. Nilai-nilai moral, filosofi, dan bahkan agama pun
mulai digunakan untuk melawan realisme sebagai perspektif ortodoks utama dalam hubungan
internasional. Muncullah pandangan kaum post-positivist yang mulai menaruh perhatian pada
hal-hal yang tidak terlihat seperti nilai-nilai, agama, cara berpikir dan bertindak, dan berbagai
elemen lain yang tidak terlihat dan kadang tidak dapat dikuantifikasi namun ternyata
berpengaruh cukup besar dalam perkembangan hubungan internasional. Melalui pandangan
post-positivist, kita diajak untuk lebih memperhatikan sisi lain dari hubungan internasional
yaitu bahwa hubungan internasional bukan melulu hanya merupakan hubungan sebab-akibat
yang saklek (bila A terjadi, maka yang terjadi selanjutnya pasti B. Apa yang melatarbelakangi
A tidaklah penting, nilai-nilai yang dianut aktor yang berperan juga tidaklah penting karena
sudah pasti yang akan terjadi adalah B), melainkan merupakan sebuah hubungan kompleks
yang tidak dapat dijelaskan sebagai sebuah kausalitas yang sederhana karena faktor yang
melatarbelakangi dan nilai-nilai yang dianut aktor pelaku dapat juga berpengaruh pada apa
yang akan terjadi selanjutnya (sehingga bila A terjadi, yang akan terjadi berikutnya belum
tentu B, tapi bisa saja C atau D). Pandangan post-positivist juga mengajak kita untuk
memperhatikan sisi lain dari hubungan internasional, seperti saat diajaknya kita untuk lebih
memperhatikan kaum termarjinalisasi, wanita dan anak-anak, yang diungkapkan melalui
pandangan feminisme. Melalui tulisannya, Jim George mengatakan feminisme sendiri
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia
merupakan contoh yang bagus dari pandangan post-positivist untuk melawan berbagai
pandangan positivist sebelumnya. Feminisme memberikan pemahaman baru mengenai
hubungan internasional, seperti misalnya bahwa ternyata perang bukan hanya tentang
perebutan kekuasaan seperti yang diusung kaum realis, melainkan perang juga melahirkan
berbagai akibat yang tadinya tidak pernah kita perhatikan seperti akibatnya teradap
perkembangan mental anak-anak, dan lain-lain. Feminisme melihat bahwa apa yang terjadi di
dunia ini merupakan konstruksi dari kaum patriarki yang berkuasa, terkadang dengan tanpa
memperhatikan sisi wanita, anak-anak dan kaum termarjinalisasi lainnya. Pandangan kaum
feminis ini menyerang pandangan kaum realis, yang dianggap sebagai teori yang didominasi
oleh pria yang hanya membicarakan mengenai kondisi dunia dan negara agresif yang
dipimpin oleh pria yang agresif3.
Berbagai kritik yang disampaikan Jim George dalam tulisannya seakan mengatakan
bahwa pandangan kaum positivist yang didominasi oleh kaum realis sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan jaman, karena apa yang terjadi dalam dunia sekarang sudah bukan
melulu mengenai perebutan kekuasaan dan urusan negara saja, melainkan juga berbagai hal
lain di mana peran masyarakat dan individu juga penting. Selain itu keberadaan nilai-nilai
juga disebut-sebut sebagai hal yang penting dalam perkembangan ilmu hubungan
internasional. Menanggapi pendapat Jim George tersebut, penulis mengatakan memang benar
jika dikatakan keberadaan nilai dan individu merupakan hal yang penting, dan memang benar
bahwa hubungan internasional bukan melulu mengenai perebutan kekuasaan seperti yang
diusung kaum realis. Akan tetapi, penulis berpendapat tidak benar adanya bila dikatakan
pandangan kaum positivist sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, karena
sebenarnya pandangan kaum positivist tersebut masih dapat dikatakan relevan dalam ilmu
hubungan internasional. Penulis sendiri melihat masih terdapat banyak kekurangan dalam
pandangan kaum post-positivist dalam memahami ilmu hubungan internasional, seperti
misalnya ketidakmampuannya meramalkan apa yang terjadi di masa depan. Penulis ingin
mengingatkan, bukankah tujuan ilmu hubungan internasional dipelajari adalah agar ilmu ini
dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan umat manusia, untuk mencegah agar hal-hal
3
A. Tickner. Gender in International Relations. (New York : Columbia University Press, 1992).
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia
yang mengancam keberadaan masyarakat seperti terjadinya perang tidak terjadi? Lantas, bila
tujuan proyeksi masa depan dikatakan tidak dapat dipenuhi oleh pandangan post-positivist,
untuk apa ilmu hubungan internasional tetap dipelajari? Pandangan kaum post-positivist,
penulis lihat, hanya merupakan sebuah pandangan yang kritis, yang peduli pada latar
belakang dan pentingnya nilai, dan karenanya terus mempertanyakan semua teori-teori yang
sudah ada tanpa memberikan solusi dan jawaban yang memadai untuk memproyeksikan apa
yang akan terjadi di masa depan. Kekurangan besar pandangan post-positivist yang
menyangsikan adanya kepastian kausalitas antara masa lalu dengan masa depan inilah yang,
menurut penulis, menyebabkan pandangan kaum post-positivist ini masih belum layak untuk
menggantikan pengaruh pandangan positivist dalam ilmu hubungan internasional. Oleh
karena itu, tidak tepat kiranya bila dikatakan pandangan positivist sudah tidak layak lagi
digunakan untuk memahami ilmu hubungan internasional. Apalagi untuk mengatakan
pandangan post-positivist sudah cukup mengakomodasi ilmu hubungan internasional secara
keseluruhan.
Pandangan kaum positivist yang didominasi perspektif realisme telah bertahan
selama bertahun-tahun lamanya dalam dunia ilmu hubungan internasional. Selama
bertahun-tahun itulah, pandangan positivist terbukti tetap dapat mengikuti perkembangan
jaman, karena inilah pandangan positivist masih tetap ada dan diakui hingga sekarang.
Munculnya pandangan post-positivist sebagai pandangan yang mempertanyakan hal-hal yang
tidak dibahas dalam pandangan positivist merupakan hal yang semakin memperkaya ilmu
hubungan internasional, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa munculnya pandangan
post-positivist ini bukan lantas menegasikan signifikansi pandangan positivist karena
pandangan post-positivist sendiri pun masih memiliki banyak kekurangan, yang bisa ditutupi
oleh pandangan positivist. Karenanya, penulis lebih suka mengatakan bahwa pandangan
positivist tetap merupakan pandangan yang penting dan berpengaruh dalam perkembangan
ilmu hubungan internasional, tetapi pandangan tersebut tentunya tidak dapat berdiri sendiri,
melainkan memerlukan bantuan dari pandangan post-positivist untuk melengkapi
keberadaannya. Kedua pandangan tersebut, positivist dan post-positivist, tidak dapat
dipisahkan karena keduanya merupakan pandangan yang belum sempurna betul. Kemunculan
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia
pandangan baru yang diharapkan dapat memenuhi semua tantangan dalam ilmu hubungan
internasional, karenanya, masih tetap ditunggu-tunggu.