Anda di halaman 1dari 155

RINGKASAN EKSEKUTIF

UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan


Negara dan UU No. 15/ 2006 tentang BPK RI menyatakan bahwa BPK RI berwenang untuk
melakukan tiga jenis pemeriksaan yaitu : pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Selanjutnya UU No.15/2004 juga menegaskan
bahwa Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang
mencakup pemeriksaan atas aspek ekonomi, efisiensi, dan atau aspek efektivitas.

Salah satu agenda Tim Pengembangan Kapasitas Pemeriksaan Kinerja (TPKPK) 2011
adalah melakukan pembahasan kegiatan pilot project pemeriksaan kinerja dengan tema
Pemeriksaan Kinerja atas Pengendalian korupsi pada Entitas Pemerintah dengan
melibatkan perwakilan dari tiap AKN dan pemangku kepentingan kegiatan pemberantasan
korupsi seperti BPKP; KPK; Kejaksaan; Kepolisian; dan PPATK; serta entitas pemerintah yang
telah menerapkan program pengendalian korupsi (Dirjen Bea dan Cukai dan Dirjen
Perbendaharaan).
Kegiatan yang telah dilaksanakan pada sejak Februari sampai Juli adalah sebagai
berikut:
1) Pengumpulan data dan informasi tentang fraud control tools yang bersumber dari:
a. Hasil

wawancara

dengan

entitas

pemerintah

yang

berperan

dalam

pengembangan kegiatan pemberantasan korupsi seperti BPKP, KPK, Kejaksaan,


Kepolisian dan PPATK;
b. Hasil wawancara dengan entitas pemerintah yang telah menerapkan program
pengendalian korupsi (misal: Dirjen Bea dan Cukai dan Dirjen Perbendaharaan);
c. Rencana strategis atau laporan hasil pemeriksaan SAI negara lain yang sudah
menerapkan kegiatan pemeriksaan serupa (misal: ANAO);
d. Model Fraud Control Plan yang telah diimplementasikan oleh ANAO;
e. Sumber literatur lain yang andal dan relevan.
2) Kegiatan wawancara untuk memperoleh informasi terkait dengan kesiapan satker
pemeriksa BPK dalam pelaksanaan pemeriksaan kinerja tematik tahun 2011;

ii

3) Kegiatan pembahasan dengan Subject Matter Expert (SME) yaitu Mr. Paul Nicoll dan
Tim PKPK terkait isu-isu strategis dan permasalahan yang telah diidentifikas oleh
satker pemeriksa, kesiapan (identifikasi kebutuhan) satker pemeriksa, serta
penentuan langkah rencana strategis selanjutnya;
4) Kegiatan perumusan dan mengembangan model Fraud Control Plan versi BPK yang
saat ini masih dikembangkan oleh Sub Direktorat Litbang PK2 dengan nama Sistem
Kendali Korupsi (SKK); dan
5) Laporan hasil kajian awal tentang fraud control Plan dan rencana selanjutnya.

Kegiatan kajian awal tentang fraud control tools telah menghasilkan beberapa hal
sebagai berikut:
a. Tim Litbang BPK telah memperoleh gambaran dan format yang jelas tentang
fraud control plan setelah melakukan kajian literatur dan diskusi dengan tenaga
ahli BPK;
b. BPK memperoleh kesimpulan awal bahwa kesadaran entitas mengenai
pentingnya keberadaan suatu alat pencegah dan pengendali fraud/ korupsi
masih rendah. Disamping itu, pemahaman mengenai fraud dikalangan entitas
juga masih sangat beragam;
c. BPK telah berhasil menjalin komunikasi awal dengan beberapa entitas dan
Aparat penegak Hukum (APH) dan menghasilkan hal-hal sebagai berikut:
1) Pemahaman dan kesadaran entitas mengenai peran dan rencana BPK untuk
menilai keberadaan dan kualitas Sistem Kendali Korupsi (SKK) pada entitas.
Hal ini menunjukkan bahwa entitas dapat memahami peran BPK dan
menyambut positif rencana BPK tersebut;
2) Kesadaran awal mengenai pentingnya Sistem Kendali Korupsi (SKK) di
lingkungan organisasi telah terbangun melalui diskusi dengan entitas.
d. Tim Litbang BPK telah memperoleh bahan awal yang memadai bagi usaha
perumusan dan penyusunan SKK dan bahan perumusan persiapan pilot project
pemeriksaan kinerja atas Sistem Kendali Korupsi.

iii

Daftar Isi
RINGKASAN EKSEKUTIF
DAFTAR ISI

BAB. 1

PENDAHULUAN
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.

Latar Belakang
Periode kegiatan
Dasar Hukum Pelaksanaan
Tujuan Kegiatan
Lingkup Kegiatan
Metode Kegiatan
1)Tahap Perencanaan
2)Tahap pelaksanaan
3)Tahap Pelaporan
VII. Sistematika penyusunan laporan

BAB. 2

FRAUD / KORUPSI Teori dan Permasalahannya


I. Definisi Fraud secara umum
II. Definisi Fraud menurut Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE)
III. Definisi Fraud Menurut UU Tipikor
IV. Perbandingan antara fraud menurut ACFE dengan elemenelemen korupsi menurut UU Tipikor
V. Pembandingan antara Fraud dengan Korupsi menurut ASOSAI
VI. Pemahaman fraud menurut BPK
VII. Penyebab dan akibat dari Korupsi serta aspek lainnya
VIII. Sistem Kendali Korupsi( SKK) sebagai alat pencegahan Korupsi
IX. Hubungan antara SPI dengan SKK
a. SPI menurut COSO
b.Fraud control dalam perangkat COSO
X. Simpulan dari Tim mengenai Korupsi

Bab. 3

UPAYA PEMERINTAH INDONESIA dalam


PENANGGULANGAN KORUPSI
I. Upaya Penanggulangan Korupsi melalui Penegakan Hukum
II. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
III. Peran dan upaya yang telah dilakukan Entitas Pemerintah dalam
Penanggulangan Fraud Serta Kendala yang Dihadapi

ii
v-vi
1.
1.
5.
5.
5.
5.
6.
6.
7.
8.
8.

10.
10.
12.
14.
16.
18.
19.
22.
26.
33.
34.
34.
36.

39.
39.
43.
44.
v

1)Diskusi dengan BAKN


2)Diskusi dengan BPKP
3)Diskusi dengan KPK
4)Diskusi dengan Kejaksaan
5)Diskusi dengan POLRI
6)Diskusi dengan PPATK
7)Diskusi dengan Dirjen Perbendaharaan
8)Diskusi dengan Dirjen Bea Cukai
9)Diskusi dengan Garuda Indonesia

Bab. 4

PEMERIKSAAN ATAS KORUPSI


I. Peran Kegiatan Pemeriksa dalam Mencegah Korupsi
II. Kerangka Sistem Kendali Korupsi (SKK)
III. Pelaksanaan Pemeriksaan Atas Fraud Control di ANAO Serta
Rencana BPK Untuk Melakukan Studi Banding
IV. Hal-hal yang dapat Diadopsi BPK terkait Pemeriksaan kinerja atas
Fraud Control di ANAO

Bab. 5

PENUTUP
I. Peran Penting BPK dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi
II. Rencana dan persiapan BPK untuk melaksanakan Pemeriksaan
kinerja atas Sistem Kendali Korupsi (SKK)

45.
48.
50.
53.
55.
57.
58.
61.
66.

69.
69.
70.
77.
87.

89.
89.
89.

Daftar Lampiran
Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut UU Tipikor
Lampiran 2. Definisi Fraud
Lampiran 3. Risalah diskusi dengan BAKN
Lampiran 4. Risalah diskusi dengan BPKP
Lampiran 5. Risalah diskusi dengan KPK
Lampiran 6. Risalah diskusi dengan Kejaksaan
Lampiran 7. Risalah diskusi dengan POLRI
Lampiran 8. Risalah diskusi dengan PPATK
Lampiran 9. Risalah diskusi dengan Ditjen Perbendaharaan
Lampiran 10. Risalah diskusi dengan Ditjen Bea Cukai
Lampiran 11. Risalah diskusi dengan Garuda Indonesia
Lampiran 12. Matriks Fraud Control

vi

BAB 1
PENDAHULUAN
Latar
Belakang

Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan


negara yang mencakup pemeriksaan atas aspek ekonomi, efisiensi, dan
atau aspek efektivitas. Laporan hasil pemeriksaan kinerja memuat temuan,
simpulan, dan rekomendasi. Kegiatan pemeriksaan Kinerja yang mengacu
pada SPKN dan pedoman pemeriksaan kinerja lainnya merupakan sarana
dan alat bagi BPK untuk dapat memberikan rekomendasi perbaikan
kebijakan

pemerintah

atau

memberikan

alternatif

solusi

kepada

pemerintah serta dapat menilai apakah pemerintah telah menggunakan


sumber daya secara hemat dan efisien dan telah mencapai tujuan yang
ditetapkan.
Upaya pengembangan kapasitas pemeriksaan kinerja telah ditetapkan
oleh BPK melalui Renstra BPK periode tahun 2011-2015. Berdasarkan
Renstra BPK tahun 2011-2015, BPK telah menetapkan target pelaksanaan
pemeriksaan kinerja pada setiap satuan kerja (auditorat/perwakilan) yang
diharapkan dapat mencapai 15% dari total LHP yang dihasilkan hingga
tahun 2015.
Rekomendasi BPK melalui Hasil pemeriksaan kinerja ditujukan untuk
dapat membantu pemerintah dalam mencari solusi atas permasalahan
yang selama ini mereka hadapi. Saat ini pemerintah masih menghadapi
banyak permasalahan yang harus ditangani. Salah satu permasalahan
tersebut adalah tindak pidana korupsi yang telah mewabah khususnya di
lingkungan pemerintahan. Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat, Kementerian/Lembaga, dan Daerah pada tahun 2007
sampai 2009 menunjukkan peningkatan kualitas opini LKPP/D, seperti pada
tabel berikut:

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 1

Tabel 1.1
Opini BPK
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Kementerian/Lembaga
2007

2008

2009

Opini
Jml

Jml

Jml

WTP

19

21.59%

39

43.82%

47

56.63%

WDP

31

35.23%

31

34.83%

27

32.53%

TW

1.14%

0.00%

0.00%

TMP

37

42.05%

19

21.35%

10.84%

Tabel 1.2
Opini BPK
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
2007

2008

2009

Opini
Jml

Jml

Jml

WTP

0.10%

11

0.27%

15

0.36%

WDP

283

6.89%

324

7.87%

329

7.99%

TW

59

1.44%

31

0.75%

48

1.17%

TMP

120

2.92%

115

2.79%

101

2.45%

Di lain pihak, pemerintah melalui Undang-undang No. 30/ 2002


tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah membentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berfungsi mencegah dan
menindak kegiatan korupsi yang terjadi. Beberapa kegiatan pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh KPK.
Tindakan pencegahan terkait penerimaaan laporan dan pemeriksaan
gratifikasi, penerimaan laporan dan pemeriksaan LKHPN, pendidikan,
sosialisasi, kampanye anti korupsi, kerja sama antar lembaga, serta tugas
monitor.
Meskipun

demikian,

temuan

pemeriksaan

keuangan

yang

menunjukkan peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara tidak

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 2

berbanding lurus dengan penurunan frekuensi tindak pidana korupsi di


Indonesia. Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan
bahwa sejak tahun 2005 sampai 2010, tindak pidana korupsi tetap tinggi,
yang mencerminkan bahwa tindakan pemberantasan korupsi tidak
berjalan semakin baik

Gambar 1.1
Hasil survei LSI tentang tindak pidana korupsi dan penanganannya

Beberapa

kondisi

diatas

mendorong

BPK

untuk

berupaya

merumuskan langkah-langkah mitigasi tindak pidana korupsi melalui


kegiatan pemeriksaan kinerja. Sasaran utama kegiatan pemeriksaan
kinerja tersebut adalah kinerja sistem pencegahan dan penanggulangan
korupsi yang terdapat di setiap entitas pemerintah.
Renstra BPK periode 2011-2015 telah menetapkan bahwa dalam
rangka upaya BPK untuk mengembangkan kapasitas pemeriksaan kinerja,
maka pada tahun 2011 akan dilakukan pemeriksaan kinerja piloting
tematik BPK dengan tema Kinerja Entitas dalam Upaya Pencegahan dan
Pendeteksian Korupsi di Lingkungan Institusinya. Pengembangan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 3

kapasitas dalam pemeriksaan kinerja mencakup pengembangan dalam


aspek kelembagaan, tata kelola, dan sumber daya manusia dengan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Rencana Implementasi Renstra (RIR) tahun 2011-2015 menyatakan
bahwa Direktorat Litbang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai
koordinator pelaksanaan pemeriksaan kinerja tematik BPK tahun 2011.
Sebagai implementasi atas RIR tersebut, Direktorat Litbang akan
membentuk suatu tim yang bertugas untuk melakukan kajian strategis
sebagai

upaya

untuk

meningkatkan

pengembangan

kapasitas

pemeriksaan kinerja di BPK. Sebagai langkah awal untuk mendukung


persiapan kegiatan piloting tematik pemeriksaan kinerja tersebut,
diperlukan suatu kajian yang memadai tentang kegiatan pengendalian
korupsi yang telah dikembangkan oleh pemerintah. Hasil dari kajian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi Tim
Pengembangan Kapasitas Pemeriksaan Kinerja (Tim PKPK) yang akan
segera dibentuk. Informasi yang diperoleh dari hasil kajian ini selanjutnya
akan terus diperbarui sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan
dilakukan pembahasan secara intensif dengan Tim PKPK, Subject Matter
Expert (Paul Nicoll), tenaga ahli BPK (Khairiansyah Salman), dan juga
instansi pemerintah yang berperan dalam pengembangan pengendalian
korupsi (KPK, BPKP, Kejaksaan, dan BAKN).
Laporan ini merupakan living document yang akan terus diperbarui
sesuai dengan perkembangan isu strategis yang terjadi. Dengan demikian,
laporan ini dapat memberikan informasi yang paling mutakhir tentang
kondisi pengendalian pencegahan korupsi di Indonesia, sehingga dapat
digunakan untuk mendukung perencanaan piloting tematik pemeriksaan
kinerja BPK tahun 2011.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 4

Periode
Kegiatan

Dasar Hukum
Pelaksanaan

Kajian dari hasil studi literatur, analisis, dan wawancara ini


dilaksanakan sejak tanggal 4 Februari 2011 sampai dengan 30 Juni 2011.

Pemeriksaan kinerja merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang


dimiliki BPK sesuai dengan mandatnya yang tertuang dalam UU No. 15
tahun 2004. BPK berencana untuk meningkatkan porsi pemeriksaan
kinerja sebanyak 15% s/d tahun 2015. Saat ini porsi pemeriksaan kinerja
BPK hanya 5% dari seluruh jenis pemeriksaan yang dilakukan.
Pelaksanaan kegiatan ini adalah dalam rangka mendukung rencana BPK
untuk mengembangkan kapasitas pemeriksaan kinerja sebagaimana
dituangkan dalam Renstra BPK tahun 2011-2015, terutama sebagai
langkah awal persiapan pelaksanaan piloting tematik pemeriksaan kinerja
dengan tema Pengendalian Korupsi pada Entitas Pemerintah. Piloting
tematik tersebut akan dilaksanakan pada semester kedua tahun 2011 dan
mengikutsertakan seluruh satker pemeriksa di BPK.

Tujuan
Kegiatan

Tujuan Kegiatan Pembahasan Pemeriksaan Kinerja Tematik BPK


dengan tema Pemeriksaan Kinerja atas Pengendalian Korupsi

pada

Entitas Pemerintah antara lain adalah;


a.mengidentifikasi isu-isu strategis terkait upaya-upaya pemerintah
dalam pengendalian korupsi yang telah dilakukan pemerintah serta
kendala-kendala yang dihadapi;
b.merancang langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan oleh BPK
sebagai persiapan pelaksanaan pemeriksaan kinerja tematik.

Lingkup
Kegiatan

Kegiatan pengkajian ini terbagi menjadi tiga kelompok kegiatan sebagai


berikut:
Dkegiatan Pengumpulan data dan informasi tentang sistem kendali

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 5

korupsi yang bersumber dari:


1) hasil wawancara dengan entitas pemerintah yang berperan
dalam pengembangan kegiatan pemberantasan korupsi seperti
BPKP, BAKN, dan Kejaksaan;
2) hasil wawancara dengan entitas pemerintah yang telah
menerapkan program pengendalian korupsi (Ditjen Bea dan
Cukai, Ditjen Perbendaharaan, serta institusi lainnya);
3) rencana strategis atau laporan hasil pemeriksaan SAI negara lain
yang sudah menerapkan kegiatan pemeriksaan serupa (misal:
ANAO);
4) sumber literatur lain yang andal dan relevan.
Ekegiatan pembahasan dengan Subject Matter Expert (SME) yaitu Mr.
Paul Nicoll, tenaga ahli BPK (Khairiansyah Salman), dan Tim PKPK
terkait isu-isu strategis dan permasalahan yang telah diidentifikasi
oleh satker pemeriksa, kesiapan (identifikasi kebutuhan) satker
pemeriksa, serta penentuan langkah rencana strategis selanjutnya;
Fkegiatan penyusunan laporan hasil kajian awal tentang sistem kendali
korupsi dan rencana selanjutnya.

Metodologi
Kegiatan
Kajian

Pelaksanaan kegiatan ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu.


1) Tahap Perencanaan
Perencanaan dilakukan agar pelaksanaan kegiatan ini
terarah dan dapat menjawab tujuan dari kegiatan ini.
Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan pada tahapan ini
antara lain adalah:
a. identifikasi entitas pemerintah yang memiliki peran

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 6

dalam pengembangan sistem kendali korupsi, kegiatan


atau program pengendalian korupsi yang telah dilakukan,
serta entitas pemerintah yang telah memiliki dan
melaksanakan program kegiatan pengendalian korupsi.
Langkah lebih lanjut dari kegiatan tersebut adalah
melakukan komunikasi dan koordinasi dengan entitas
untuk tahap pendalaman penggalian informasi dan data
melalui wawancara;
b. identifikasi SAI yang telah melakukan pemeriksaan
kinerja dengan tema yang sama;
c. melakukan komunikasi dengan SME dan juga tenaga ahli
untuk mengidentifikasi isu-isu strategis yang perlu dikaji
sejak awal untuk persiapan piloting tematik pemeriksaan
kinerja.
2) Tahap Pelaksanaan
Kegiatan pembahasan dan pengkajian ini akan dilakukan
dengan menyertakan tim PKPK, SME, dan entitas pemerintah
yang berperan dalam pengembangan pengendalian korupsi.
Rincian kegiatan pada tahap pelaksanaan antara lain adalah:
a. pengumpulan data dan informasi terkait isu-isu strategis
tentang pengendalian korupsi yang telah dilakukan
pemerintah, kendala-kendala yang dihadapi dan akibat dari
pengabaian dari porgram tersebut, termasuk juga kajian
atas pengalaman dari SAI negara lain yang telah melakukan
pemeriksaan dengan tema yang sejenis. Kegiatan ini akan
dilaksanakan dalam waktu lima hari kerja;
b.kunjungan dan wawancara dengan entitas yang berperan
langsung dalam pengembangan pengendalian korupsi di
Indonesia yaitu: BPKP, BAKN, dan Kejaksaan;
c. kunjungan dan wawancara dengan entitas yang telah
memiliki dan melaksanakan program pengendalian korupsi

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 7

seperti: Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Bea Cukai di


Kementerian Keuangan;
d.perumusan rencana strategis BPK dalam upaya persiapan
pemeriksaan kinerja tematik tahun 2011. Kegiatan ini akan
dilakukan dengan melakukan pembahasan dengan Tim
PKPK dalam pertemuan rutin yang akan diselenggarakan
setiap dua minggu sekali.
3) Tahap Pelaporan
Seluruh rangkaian kegiatan pembahasan dan pengkajian ini
akan didokumentasikan dalam bentuk laporan kegiatan.
Laporan hasil kegiatan ini akan menjadi sumber materi utama
dalam limited hearing dengan

para Eselon I, penyusunan

Program Pemeriksaan Pendahuluan yang akan disusun oleh


Tim PKPK dalam rangka persiapan pemeriksaan kinerja tematik
BPK tahun 2011, dan materi seminar tentang pemeriksaan
kinerja BPK atas pengendalian korupsi pemerintah. Kegiatan
pada tahap pelaporan akan dilaksanakan dalam waktu lima
hari kerja.

Sistematika
Penyusunan
Laporan

Laporan kegiatan ini terdiri dari lima bab yaitu:


1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
b. Periode Kegiatan
c. Dasar Hukum Pelaksanaan
d. Tujuan Kegiatan
e. Lingkup Kegiatan
f. Metodologi Kegiatan Kajian
g. Sistematika Penyusunan Laporan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 8

2. Fraud / Korupsi Teori dan Permasalahannya


a. Definisi dan Interpretasi Fraud Secara Umum
b. Definisi Fraud Menurut ACFE
c. definisi Fraud berdasarkan UU Tipikor
d. Perbandingan antara Fraud Menurut ACFE dengan Korupsi
Menurut UU Tipikor
e. Perbedaan antara Fraud dan Korupsi Menurut ASOSAI
f. Pemahaman Mengenai Fraud/ Korupsi Menurut BPK
g. Penyebab dan Akibat dari Korupsi serta Aspek Lainnya
h. Sistem Kendali Korupsi (SKK) Sebagai Alat Pencegahan Korupsi
i. Hubungan antara SPI dengan SKK
j. Simpulan dari Tim mengenai Korupsi
3. Upaya Pemerintah Indonesia dalam Penanggulangan Korupsi
a. Upaya Penanggulangan Korupsi melalui Penegakan Hukum
b. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
c. Peran dan Upaya yang Telah Dilakukan Entitas Pemerintah dalam
Penanggulangan Korupsi serta Kendala yang Dihadapi
4. Pemeriksaan atas Korupsi
a. Peran Kegiatan Pemeriksaan dalam Pencegahan Korupsi
b. Kerangka Sistem Kendali Korupsi (SKK)
c. Pelaksanaan Pemeriksaan atas Fraud Control di ANAO serta
Rencana BPK untuk Melakukan Studi Banding
d. Hal-Hal yang Dapat Diadopsi BPK Berdasarkan Audit ANAO
5. Simpulan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 9

BAB 2
FRAUD/KORUPSI TEORI DAN PERMASALAHANNYA
Fraud merupakan suatu istilah yang secara umum diartikan sebagai kecurangan atau penipuan
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan secara material maupun non-material. Collins
English Dictionary menyebutkan bahwa fraud adalah suatu kecurangan, tipu daya, pelanggaran
kerahasiaan, dan memperoleh keuntungan secara tidak jujur. Meskipun demikian, beberapa
lembaga maupun individu mencoba untuk mendefinisikan fraud sesuai dengan sudut pandang
masing-masing. Berikut adalah beberapa definisi fraud menurut beberapa sumber.

Definisi dan
Interpretasi
Fraud Secara
Umum

a. Commonwealth Fraud Control Guidelines 2002 Australia: Pemerolehan


keuntungan dengan cara penipuan/kecurangan atau sejenisnya, definisi
ini meliputi antara lain:
1) pencurian;
2) memperoleh properti, keuntungan, atau lainnya dengan
kecurangan;
3) menghindari atau melaksanakan kewajiban dengan
kecurangan;
4) membuat kesalahan atau menyebarkan informasi yang salah
kepada publik, atau tidak menyebarkan informasi ketika hal
tersebut diharuskan;
5) membuat, menggunakan, atau memiliki dokumen yang palsu;
6) penyuapan, korupsi, atau penyalahgunaan jabatan;
7) tindakan melawan hukum dalam penggunaan komputer milik
publik, kendaraan, telepon dan properti atau jasa lainnya;
8) tindakan pelanggaran atau penyelewengan yang
mengakibatkan kebangkrutan; dan
9) segala tindakan pelanggaran lainnya seperti yang tertera
diatas.

b. Black Law Dictionary.


1) Kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 10

atau keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material


yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan
perbuatan atau tindakan yang merugikan. Biasanya, perbuatan
tersebut merupakan kesalahan yang disengaja, namun dalam
beberapa kasus (khususnya dilakukan secara disengaja),
perbuatan tersebut merupakan suatu kejahatan.
2) Penyajian yang salah/keliru (salah pernyataan) yang secara
ceroboh/tanpa

perhitungan

kebenarannya

dapat

dan

berakibat

tidak

dapat

diyakini

memengaruhi

atau

menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat.


3) Suatu kerugian yang timbul sebagai akibat salah memberi
keterangan atau penyajian (salah pernyataan), penyembunyian
fakta

material,

perhitungan

yang

atau

penyajian

dilakukan

oleh

yang

ceroboh/tanpa

seseorang

sehingga

menimbulkan kerugian.
c. Collins Dictionary: kecurangan merupakan penipuan yang dibuat untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk merugikan orang lain.
Dalam hukum pidana, kecurangan adalah kejahatan atau pelanggaran
yang dengan sengaja menipu orang lain dengan maksud untuk
merugikan mereka, biasanya untuk memiliki sesuatu/harta benda atau
jasa ataupun keuntungan dengan cara yang tidak adil/curang.
Kecurangan dilakukan melalui pemalsuan terhadap barang atau benda.
Hukum pidana secara umum menyebutkan bahwa perbuatan tersebut
merupakan pencurian dengan penipuan, pencurian dengan tipu
daya/muslihat, pencurian dengan penggelapan dan penipuan atau
hal serupa lainnya.
d. Australian Standard 2008 (AS 80012008): kegiatan atau perbuatan
yang tidak jujur sehingga menyebabkan kerugian finansial baik secara
aktual maupun potensial pada seseorang atau entitas. Kegiatan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 11

tersebut antara lain adalah pencurian uang atau properti yang dilakukan
oleh pegawai atau pihak luar entitas, baik dengan tindak penipuan atau
tidak, sebelum atau setelah terjadinya suatu kegiatan. Praktik fraud juga
meliputi tindakan pemalsuan, penyembunyian, perusakan atau
penggunaan dokumen palsu dengan tujuan untuk digunakan dalam
kegiatan bisnis entitas atau sebagai informasi palsu dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan finansial pribadi.

e. SPKN PSP 04 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja. Par. 20:

Fraud adalah satu jenis tindakan melawan hukum yang dilakukan


dengan sengaja untuk memperoleh sesuatu dengan cara menipu.

Definisi Fraud
Menurut
Association of
Certified
Fraud
Examiners
(ACFE)

ACFE mendefinisikan fraud sebagai segala tindakan illegal yang memiliki


ciri yaitu antara lain menipu, menyembunyikan, atau pelanggaran
kepercayaan. Tindakan ini tidak hanya sebatas pada pelanggaran atau
ancaman secara fisik. Fraud dilakukan oleh individu atau organisasi untuk
memperoleh uang, properti atau jasa; untuk menghindarkan pembayaran
atau kewajiban atas jasa yang harus diberikan; atau untuk mendapatkan
keuntungan personal atau bisnis. ACFE mengkategorikan fraud dalam tiga
kelompok sebagai berikut.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 12

1) Korupsi (Corruption)
Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu:
1. Konflik kepentingan (conflict of interest);
2. Suap (bribery);
3. Pemberian illegal (illegal gratuity); dan
4. Pemerasan (economic extortion).
Tanggungjawab untuk mendeteksi adanya korupsi terletak pada pemeriksa
eksternal dan internal. Korupsi dapat dilakukan oleh pihak yang berada dalam
organisasi dan/atau dengan pihak di luar organisasi.
Praktek kecurangan ini umumnya terjadi pada saat pengadaan barang/jasa
(procurement), yakni terjadinya kolusi antara bagian pengadaan/panitia
pengadaan dengan penyedia barang/jasa.

2) Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)


Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam kecurangan kas dan
kecurangan atas persediaan dan aset lainnya, serta pengeluaran-pengeluaran
biaya secara curang (fraudulent disbursement). Praktek kecurangan yang sering
dilakukan adalah menyalahgunakan aset organisasi untuk meraih keuntungan
pribadi bagi anggota organisasi/organisasi, dapat melibatkan level staf sampai
dengan manajemen puncak.

3) Pernyataan Menyesatkan (fraudulent statement)


Kategori ini dibagi menjadi dua sub kategori yaitu: financial dan
nonfinancial. Pernyataan menyesatkan pada financial dapat juga berbentuk
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material
laporan keuangan yang merugikan investor dan kreditor karena dapat
melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Pada sub kategori financial dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1.Asset/Revenue Overstatements; yang meliputi:
a)Timing differences;
b) Ffictitious revenues;
c) Concealed liabilities;
d)Improper disclosures; dan
e)Improper asset valuation.
Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial.
2.Asset/Revenue Understatements.
Contoh kecurangan dalam laporan keuangan adalah praktek window dressing untuk
menaikkan nilai aset organisasi.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 13

Selengkapnya mengenai klasifikasi fraud menurut ACFE dapat dilihat


dalam fraud tree pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1
Sistem Klasifikasi Fraud menurut ACFE

Definisi Fraud
Menurut UU
Tipikor

Beberapa definisi mengenai fraud diatas menunjukkan bahwa istilah


fraud dipahami secara beragam sesuai dengan sudut pandang dan
interpretasi masing-masing pihak. Berdasar kondisi tersebut, Litbang PK2
mempertimbangkan untuk mendefinisikan fraud dengan mengacu pada
undang-undang yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini adalah Undang-

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 14

undang tindak pidana korupsi yang berlaku adalah Undang-undang nomor


31 tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-undang tentang tindak
pidana korupsi tersebut sudah empat kali mengalami perubahan, yaitu
pada tahun 1960, 1971, 1999, dan terakhir adalah Undang-undang nomor
20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Meskipun dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undangundang No. 20 tahun 2001 tersebut tidak mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan korupsi, namun undang-undang tersebut telah
membagi tindak pidana korupsi menjadi dua klasifikasi, yakni tindak
pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi. Tindak pidana korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam
tiga belas pasal yang mencakup tiga puluh bentuk/ jenis tindak pidana
korupsi. Pasal-pasal tersebut mengklasifikasikan tindak pidana korupsi ke
dalam tujuh tindakan yaitu:
1)Kerugian Negara
2)Suap-menyuap
3)Penggelapan dalam jabatan
4)Pemerasan
5)Perbuatan curang
6)Benturan kepentingan dalam pengadaan
7)Gratifikasi

Tindakan dan unsur-unsur untuk setiap klasifikasi diatas secara lebih


jelas dapat dilihat pada lampiran 1. Lebih lanjut, tindak pidana yang
secara khusus berkaitan dengan tindak pidana korupsi dijelaskan dalam
empat pasal yang terdiri dari enam jenis tindak pidana lain yang terkait
dengan korupsi, yaitu:
1) merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 15

2) tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan


yang tidak benar;
3) bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
4) saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan palsu;
5) orang yang memegang rahasia jabatan tidak member keterangan
atau member keterangan palsu;
6) saksi yang membuka identitas pelapor.

UU tipikor telah mengklasifikasikan hal-hal yang termasuk dalam tindak


pidana korupsi. Meskipun demikian, UU Tipikor masih menitikberatkan
pada penanggulangan korupsi, sedangkan aspek pencegahan belum diatur
secara detail. Litbang melihat bahwa Fraud Control Plan yang telah
diterapkan di Australia dapat menjadi referensi atau benchmark bagi
Indonesia dalam usaha menanggulangi tindak pidana korupsi dari sisi
pencegahan.

Perbandingan
antara Fraud
Menurut ACFE
dengan ElemenElemen Korupsi
Menurut UU
Tipikor

Sejalan dengan kegiatan kajian fraud, Litbang menemukan kesamaan


antara unsur-unsur fraud menurut ACFE dengan Undang-undang No. 20
tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Kesamaan tersebut selanjutnya
menjadi dasar bagi Litbang untuk menginterpretasikan istilah fraud
menjadi korupsi dalam setiap kegiatan litbang yang berkaitan dengan isu
fraud. Kesamaan antara definisi fraud menurut ACFE dengan unsur-unsur
korupsi menurut Tipikor dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 16

Tabel 2.1
Kesamaan Fraud Menurut ACFE dengan Unsur-Unsur Korupsi
Menurut Tipikor
No
1.

Fraud versi ACFE


Corruption

Fraud versi UU Tipikor

a. Conflict of Interest

2.

3.

b. Bribery
c. Illegal gratuities
d. Economic Extortion
Asset Misappropriation
a. Cash
x Skimming
x Fraudulent
Disbursement
x Larceny
b. Inventory and other asset
x Misuse
x Larceny
Fraudulent Statement
a. Financial
x Overstatement /
understatement
b. Non Financial
x Employment credential

Benturan kepentingan dalam


pengadaan
Suap-menyuap
Gratifikasi
Pemerasan
Kerugian Negara
Perbuatan Curang
Penggelapan dalam jabatan

Kerugian Negara
Perbuatan Curang
Penggelapan dalam jabatan

Pengertian korupsi menurut ACFE berbeda dengan pengertian korupsi


yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Menurut bahasa hukum positif
(UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi), pengertian korupsi secara umum adalah
perbuatan yang diancam dengan ketentuan pasal-pasal UU No. 31 Tahun
1999. Salah satu pasal menyebutkan bahwa korupsi terjadi apabila
memenuhi tiga kriteria yang merupakan syarat bahwa seseorang bisa
dijerat dengan Undang-Undang korupsi. Ketiga syarat tersebut adalah: (1)
melawan hukum; (2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi; dan (3) merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Kriteria tersebut menetapkan bahwa orang yang dapat dijerat dengan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 17

Undang-Undang korupsi bukan hanya pejabat negara saja melainkan pihak


swasta terkait dan badan usaha/korporasi. Pengertian korupsi dapat
diperluas dengan perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang karena jabatannya menerima sesuatu (gratifikasi) dari pihak ketiga,
sebagaimana diatur dalam: (1) Pasal 12 B ayat 1, UU No. 20/2001 jo UU No.
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan (2) Pasal 16
UU No. 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pembandingan
antara Fraud
dengan Korupsi
Menurut
ASOSAI
No

ASOSAI melalui salah satu kajiannya dalam Dealing with Fraud and
Corruption in Auditing mencoba membandingkan antara fraud dengan
korupsi sebagai berikut:
Tabel 2.2
Perbandingan antara Fraud dengan Korupsi
Modus

Fraud

Korupsi

1. Pihak yang terlibat

Dua pihak yang terlibat :


pelaku dan korban

Paling tidak terdapat dua pihak


yang terlibat :
Orang yang menawarkan
hadiah dan pihak yang
menerimanya.

2. Modus pelanggaran

Penghilangan yang material


atau salah pernyataan yang
dibuat secara sadar/sengaja
oleh pelaku kejahatan.
Disengaja oleh pelaku
dengan tujuan mengelabui
korban.

Penyalahgunaan kewenangan di
kantor atau posisi untuk
keuntungan pribadi.

Umumnya adalah usaha


untuk menyamarkan
(camouflage)
Pengkhianatan kepercayaan
antara pelaku terhadap
korban.

Penyuapan uang kepada


seseorang atau pihak tertentu
agar melakukan tindakan sesuai
permintaan penyuap
Usaha untuk menyamarkan
mungkin terjadi
Pelanggaran kesetiaan kepada
pimpinan

3. Pihak yang terlibat

Mungkin tidak melibatkan


pihak ketiga

Melibatkan keterlibatan pihak


ketiga

4. Pihak yang dirugikan

Selalu ada kerugian di satu


pihak dan keuntungan di
pihak lainnya

Tidak selalu ada pihak yang


dirugikan.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 18

Pemahaman
Mengenai Fraud/
Korupsi Menurut
BPK

Berdasarkan pemahaman mengenai fraud menurut sudut pandang


beberapa referensi diatas, Litbang menyimpulkan bahwa pemahaman fraud
hampir memiliki kesamaan dengan lingkup korupsi sebagaimana diatur
dalam undang-undang Tipikor. Lebih dari itu, perbandingan antara unsurunsur fraud menurut ACFE juga memiliki banyak kesamaan dengan unsurunsur korupsi menurut undang-undang Tipikor. Hasil wawancara Litbang
dengan beberapa entitas pemerintah menghasilkan informasi bahwa
penggunaan istilah fraud menimbulkan resistensi dari pihak yang diperiksa.
Beberapa hal diatas merupakan dasar pertimbangan Litbang untuk
menggunakan istilah korupsi sebagai interpretasi dari istilah corruption dan
juga fraud. Selanjutnya Litbang berencana untuk mendiskusikan pemahaman
korupsi dengan Ditama Binbangkum dan staf ahli BPK untuk memperoleh
legitimasi atas pemahaman korupsi menurut versi BPK. Tujuan Litbang untuk
mengidentifikasi pemahaman korupsi ini adalah agar BPK memiliki
keseragaman pemahaman tentang korupsi di internal BPK sehingga tidak
menimbulkan perbedaan persepsi pada saat pelaksanaan pemeriksaan.
Usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat/ entitas mengenai
tindak pidana korupsi menurut Undang-ndang Tipikor beserta dampak buruk
yang ditimbulkan juga merupakan tujuan yang akan dicapai BPK melalui
kegiatan pemeriksaan kinerja. Setelah melakukan kajian atas fraud dan
korupsi diatas, litbang telah memiliki pemahaman mengenai korupsi sebagai
berikut:

Perbuatan yang sengaja dilakukan dan/atau


dengan kesadaran, telah melanggar peraturan
terkait pengelolaan keuangan negara sehingga
menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak
yang lain, baik secara material maupun non
material.

Lingkup dari pemahaman tentang korupsi ini mengacu pada Undangundang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

yang

hal. 19

mengelompokkan tindakan korupsi antara lain adalah:


Dkerugian negara,
Esuap-menyuap,
Fpenggelapan dalam jabatan,
Gpemerasan,
Hperbuatan curang,
I benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
Jgratifikasi.
Penjabaran lebih lanjut tentang pemahaman BPK atas korupsi di
atas adalah:
Sengaja dilakukan
Perbuatan korupsi terjadi karena ada unsur kesengajaan,
karena peraturan yang ada seharusnya sudah mengantisipasi
terjadinya

kesalahan

Kesengajaan ini

atau

potensi

terjadinya

korupsi.

dilakukan karena adanya motif yang

mendorong pelaku korupsi untuk melakukan kesalahan.


Kesadaran
Orang yang menduduki jabatan tertentu, atau memiliki
tugas

pokok

yang

spesifik,

dianggap

telah

memilki

kapasitas/kemampuan yang memadai atas tugas-tugasnya,


memahami tanggung jawabnya sesuai peran/jabatannya dan
mengetahui semua kegiatan yang berlangsung di bawah
kewenangannya. Oleh karena itu, kesalahan (korupsi) yang
terjadi pada area yang menjadi kewenangannya menjadi
tanggung jawab orang yang bertanggung jawab atas area
kegiatan tersebut (pejabat terkait).
Melanggar peraturan
Suatu kesalahan dapat dikategorikan sebagai tindakan
korupsi apabila melanggar peraturan yang relevan dengan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 20

kegiatan yang dilakukan. Apabila peraturan tidak ada atau


tidak cukup memadai, maka sistem pengelolaan keuangan
negara perlu dikaji ulang dan menjadi tanggung jawab
manajemen. Peraturan yang dimaksud dalam hal ini adalah
peraturan yang menyangkut pengelolaan keuangan negara,
sehingga sesuai dengan lingkup wewenang BPK sebagai
lembaga yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.

Ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan


Setiap kegiatan di sektor publik selalu dibatasi dengan
adanya aturan, sedangkan korupsi dilakukan dengan sengaja
dan/atau kesadaran untuk melanggar aturan tersebut dengan
dilandasi motif tertentu, tentu ada pihak yang diuntungkan
(pelaku korupsi) dan ada pihak yang dirugikan (korban atau
negara). Pihak yang dirugikan dhi. adalah investor, kontraktor,
masyarakat, manajemen instansi lain.
Bersifat materiil atau non materiil:
Kerugian yang dialami oleh korban/negara tidak selalu
bersifat materiil (mengandung unsur keuangan) tetapi juga
dapat berdampak non materiil. Misalnya: salah saji pencatatan
nilai saldo dalam laporan keuangan (window dressing) di
BUMN,

dapat

merugikan

investor

dalam

pengambilan

keputusan investasi, tetapi tidak mengakibatkan kerugian


finansial secara langsung. Keluarnya Gayus dari tahanan, tidak
menimbulkan kerugian materiil, tetapi memperburuk citra
hukum di mata masyarakat.
Beberapa definisi fraud/ korupsi dari sumber lain dapat
dilihat dalam Lampiran 2.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 21

Penyebab dan
Akibat dari
Korupsi serta
Aspek Lainnya

a. Penyebab korupsi menurut Gone Theory


Jack Bologna et.a. (1995) dalam The Accountant's Handbook of
Fraud and Commercial Crime menggolongkan faktor-faktor yang
mendorong seseorang melakukan fraud melalui teori GONE,
yaitu:
1) Greed (keserakahan)
Greed

terkait

dengan

keserakahan

dan

kerakusan

seseorang. Greed merupakan dorongan untuk melakukan


fraud karena ketidakpuasan seseorang atas apa yang sudah
dimiliki.
2) Opportunity (kesempatan)
Opportunity

merupakan

dorongan

seseorang

untuk

melakukan fraud dikarenakan adanya kesempatan. Faktor


kesempatan ini muncul akibat lemahnya suatu sistem
pengendalian fraud pada suatu organisasi.
3) Need (kebutuhan)
Need merupakan dorongan seseorang untuk melakukan
fraud yang diakibatkan oleh dorongan kebutuhan dan bahkan
sifat konsumerisme seseorang.
4) Exposure (pengungkapan)
Exposure merupakan faktor pendorong untuk melakukan
fraud diakibatkan masih rendahnya hukuman bagi pelaku
fraud dan tidak adanya efek jera bagi pelaku fraud.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
faktor greed dan need merupakan faktor yang berhubungan
dengan individu pelaku korupsi (disebut juga faktor individual).
Sedangkan faktor opportunity dan exposure merupakan faktor
yang berhubungan dengan organisasi atau faktor eksternal yang
mendorong seseorang melakukan korupsi.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 22

b.Penyebab korupsi menurut Fraud Triangle


Cendrowsky

et.al

(2006)

dan

juga

Singleton

(2006:44)

menguraikan teori Fraud Triangle dari Donald R. Cressey yang


tediri dari tiga elemen penyebab terjadinya fraud/ korupsi yaitu:
opportunity,

motive

atau

financial

atau

pressure

dan

rationalization. Bagan fraud triangle dapat dilihat pada gambar


2.2.

Gambar 2.2. Fraud Triangle

Tiga elemen fraud triangle diuraikan sebagai berikut:


1) Motive atau financial atau Pressure adalah dorongan untuk
memperoleh uang secara tidak benar atau dorongan untuk
melakukan kejahatan, contohnya:
a) berhutang

sehingga

menyebabkan

tagihan

yang

menumpuk;
b)gaya hidup mewah;
c) penggelapan;
d)ketergantungan narkoba;
e) tekanan hidup;
f) dll.
Pada umumnya, pemicu perilaku ini adalah karena
kebutuhan atau masalah finansial, meskipun dapat pula
disebabkan oleh keserakahan.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 23

2) Opportunity adalah peluang yang memungkinkan korupsi


terjadi. Biasanya disebabkan karena pengendalian internal
suatu organisasi yang lemah, kurangnya pengawasan,
dan/atau penyalahgunaan wewenang. Di antara 3 elemen
fraud triangle, opportunity merupakan elemen yang paling
memungkinkan untuk diminimalisir melalui penerapan
proses, prosedur, kontrol, dan upaya deteksi dini terhadap
korupsi.
3) Rationalization adalah suatu sikap pembenaran bagi pelaku
untuk melakukan korupsi, karena alasan berikut.
a) Bukan merupakan kejahatan
Organisasi telah memperoleh laba besar, sehingga
mereka tidak akan kehilangan bila pelaku mencuri
uang organisasi sedikit saja.
Masalah yang menimpa pelaku lebih besar dibanding
risiko kejahatan yang akan ia lakukan.
Pelaku merasa berhak memperoleh kesejahteraan
hidup setinggi koleganya di kantor.
Tindakan korupsi yang dilakukan bertujuan untuk
membahagiakan keluarga dan orang-orang yang
dicintainya.

b) Merupakan tindakan yang wajar dilakukan untuk


menambah penghasilan
Organisasi berhutang jasa pada pelaku, sehingga
pelaku merasa berhak mengambil lebih.
Masa kerja pelaku cukup lama dan dia merasa
seharusnya berhak mendapatkan lebih dari yang
telah dia dapatkan sekarang (posisi, gaji, promosi,
dll).

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 24

c) Rasa dendam atau benci terhadap tempat kerja


Organisasi pantas untuk kehilangan uang karena
diambil oleh para pegawainya.
Pelaku merasa bukan penjahat, tapi pahlawan.
Pelaku yakin manajer organisasi juga melakukan
kejahatan serupa.

c. Akibat Korupsi
Beberapa akibat yang ditimbulkan dari tindakan korupsi antara
lain:
1) Birokrasi
Korupsi akan menyebabkan birokrasi menjadi tidak
efisien,

sistem

birokrasi

menjadi

berbelit-belit

dan

meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Sistem


birokrasi yang seharusnya dapat dibuat sederhana dan
cepat, menjadi sengaja diperlambat dan dipersulit, sehingga
terbuka kesempatan bagi para pelaku korupsi untuk
melakukan pungutan liar, sehingga kualitas pelayanan publik
juga menurun, karena hanya orang-orang tertentu yang
bersedia menyediakan dana lebih untuk memperlancar
birokrasi yang berbelit-belit yang dapat menerima pelayanan
yang baik.
2) Ekonomi
Korupsi dapat merusak perkembangan ekonomi suatu
bangsa. Jika suatu projek ekonomi dijalankan sarat dengan
unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek,
nepotisme

dalam

penunjukan

pelaksana

projek,

penggelapan dalam pelaksanaannya dan bentuk korupsi lainlain dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 25

3) Politik
Korupsi yang dilakukan oleh penguasa/ politikus akan
menurunkan legitimasi pemerintahan dimata masyarakat,
yakni

hilangnya

kepercayaan

masyarakat

terhadap

pemerintahan. Masyarakat akan cenderung untuk tidak


patuh dan tunduk terhadap pemerintahan yang ada, sebagai
contoh sering munculnya gelombang demonstrasi yang
menentang pemerintah.

Sistem Kendali
Korupsi (SKK)
Sebagai Alat
Pencegahan
Korupsi

Fraud atau yang telah ditetapkan Litbang sebagai korupsi merupakan


suatu kejahatan yang rentan terjadi di setiap organisasi. Sebagai usaha
untuk mencegah terjadinya korupsi di suatu entitas, diperlukan
seperangkat sistem bagi manajemen untuk mencegah, mendeteksi,
menginvestigasi, dan menghindari terjadinya korupsi.

Pencegahan

korupsi adalah tanggung jawab dari manajemen. Oleh karena itu,


manajemen memiliki kewajiban untuk mengembangkan suatu program
atau strategi khusus untuk mengendalikan korupsi di lingkungan
entitasnya.
Korupsi merupakan kejahatan yang memiliki bentuk yang sangat
beragam dan sangat berpotensi terjadi di setiap organisasi di dunia.
Secara umum, organisasi-organisasi telah berupaya mengembangkan
sistem

atau

strategi

untuk

mengendalikan

korupsi.

Dalam

pengembangan tool tersebut, beberapa elemen dasar perangkat


pengendalian korupsi dirancang sebagai alat dan parameter usaha
pengendalian korupsi. Kajian Litbang akan menyampaikan dua metode
pendekatan yang dapat digunakan sebagai alat untuk menilai upaya
entitas dalam mengendalikan korupsi. Dalam laporan ini, alat tersebut
diistilahkan dengan nama Sistem Kendali Korupsi (SKK). Dua SKK yang
dapat dijadikan acuan antara lain:

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 26

a. SKK menurut Tenaga Ahli BPK


Model SKK yang dikembangkan oleh Tenaga Ahli BPK yaitu Bpk.
Khairiansyah Salman terdiri dari sembilan elemen yang harus
dimiliki oleh suatu entitas. Model ini memiliki kemiripan dengan
model Fraud Control Program (FCP) yang dikembangkan oleh
BPKP. Model sistem kendali korupsi yang dikembangkan oleh
tenaga ahli BPK tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar 2.3
sebagai berikut:

Gambar 2.3
Model Sistem Kendali Korupsi

Penerapan model ini membutuhkan empat peran/fungsi utama


dalam struktur organisasi suatu entitas, yaitu internal audit, dewan
direksi, komite audit, dan dewan komisaris. Masing-masing
peran/jabatan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi atau
struktur organisasi pada organisasi sektor publik. Keempat
peran/jabatan ini bertanggung jawab untuk pengembangan sistem
kendali korupsi di masing-masing entitas.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 27

Model ini membagi empat kegiatan utama dalam pengendalian


korupsi, yaitu:
1)Tahap pencegahan: untuk mencegah timbulnya kasus
korupsi.
2)Tahap deteksi: untuk mendeteksi terjadinya suatu kasus
korupsi dengan tepat waktu.
3)Investigasi: untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan
akibat terjadinya korupsi dan juga untuk memperbaiki
sistem pengendalian internal.
4)Pemberian efek jera: untuk menangkap pelaku korupsi dan
mengambil tindakan untuk membuat para pelaku maupun
orang-orang lain yang berpotensi akan melakukan korupsi
menjadi jera, sehingga secara tidak langsung kasus korupsi
dapat ditekan.
Secara lebih rinci, model ini mengidentifikasikan sembilan
elemen

untuk

mendukung

keempat

kegiatan

dalam

pengendalian korupsi tersebut. Kesembilan elemen tersebut


antara lain adalah.
1) Integrated macro policy
a) Manajemen perlu untuk menyusun suatu kebijakan yang
menyatakan

bahwa

Sistem

Kendali

Korupsi

ini

merupakan kebijakan yang mengikutsertakan seluruh


elemen organisasi dan menjadi jiwa bagi setiap kegiatan
organisasi.
b) Kebijakan harus dikembangkan dengan berfokus pada
level makro strategis sebelum masuk kepada hal-hal yang
bersifat detail. Kebijakan harus tersusun dan terstruktur
dengan baik dan proper agar dapat terbentuk suatu
komposisi yang menyatukan seluruh elemen-elemennya

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 28

sehingga bersifat holistik dan saling melengkapi dalam


rangka mengendalikan kecurangan. Harus tertuang
dalam suatu dokumen yang menjelaskan secara terang,
formal,

terencana

dalam

waktu

dalam

rangka

implementasi strategi pengelolaan kecurangan.


c) Pada saat yang sama, elemen-elemen dari standar yang
ada juga disiapkan untuk seluruh unit-unit dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi, terutama yang
terkait dengan

faktor-faktor lingkungan bisnis dan

proses bisnis entitas yang bersangkutan.


d) Analisa yang lebih detail perlu dilakukan sebelum
menentukan suatu kebijakan, ukuran, dan tindakan yang
tepat untuk masing-masing unit yang ada.
2) Responsibility structure
a) Pada dasarnya tanggung jawab untuk mencegah
terjadinya kecurangan ada pada pihak manajemen.
Manjemen harus menyusun terlebih dahulu suatu
struktur tanggung jawab yang bersifat komprehensif
dalam rangka implementasi strategi dan memberikan
dampak dalam pengendalian kecurangan.
b) Tanggung jawab dari manajemen dalam mencegah dan
mendeteksi adanya kecurangan harus terlihat pada level
strategis, maupun pada level operasional.
c) Jika memungkinkan dalam rangka implementasi strategi
pengendalian atas kecurangan, sebaiknya dibentuk
Komite Pengendalian Kecurangan. Komite ini memiliki
tugas untuk menentukan prioritas organisasi, melakukan
koordinasi antar unit kerja, dan mengomunikasikan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 29

strategi kepada seluruh level organisasi.


3) Fraud risk assesment
a)Definisi dan pengertian korupsi harus diatur secara
tertulis dan dipahami oleh seluruh pegawai.
b)Manajemen harus senantias melakukan penilaian atas
risiko-risiko terjadinya korupsi (fraud risk assesment)
untuk mengidentifikasi potensi risiko yang melekat pada
suatu

organisasi

dan

menentukan

langka-langkah

mitigasinya. Kegiatan ini dapat membantu menajemen


untuk menyusun profil risiko korupsi dan pengembangan
sistem kendali korupsi.
4) Employee awareness
Staff merupakan sumber utama mengenai hal-hal rinci
atas apa yang terjadi di suatu organisasi. Tanpa kerja sama
dan inisiatif yang baik dari staff, maka banyak kecurangan
tidak akan dapat dicegah apalagi dideteksi. Harus ada
kejelasan bagi seluruh pekerja bahwa mereka mempunyai
tanggung jawab dalam rangka menghilangkan kecurangan.
5) Customer alertness
Stakeholders suatu organisasi memiliki ekspektasi yang
sangat besar akan akuntabilitas dan transparansi. Sehingga
diperlukan jaminan, bahwa entitas tersebut telah memiliki
komitmen untuk menjamin adanya upaya pengendalian
korupsi yang kuat. Implementasi sistem kendali korupsi juga
membutuhkan partisipasi dari stakeholder organisasi. Jadi
lingkup pengembangan SKK ini juga mengatur kepada pihak
di luar organisasi.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 30

6) Fraud reporting system


Pengembangan SKK harus didukung dengan sistem
pelaporan atas kasus korupsi secara memadai. Hal ini
penting karena tanpa kesiapan untuk menangani laporan
tentang korupsi ini, orang akan enggan melaporakan
sehingga kecurangan tetap akan sulit untuk dikendalikan.
7) Whistle-blower policy
Manajemen harus memberikan jaminan keamanan bagi
pelapor kejadian korupsi. Dengan adanya jaminan ini, maka
orang (pegawai, pihak luar) tidak akan takut untuk
melaporkan suatu kasus korupsi dalam organisasi. Kebijakan
ini harus dibuat secara formal dan harus diketahui oleh
semua pihak yang berperan dalam proses bisnis organsasi.
8) Investigation standard
Organisasi harus memiliki suatu standar tindakan
investigasi yang akan dilakukan bila terjadi kasus korupsi.
Korupsi merupakan suatu tindakan melanggar hukum
pidana. tindakan berupa pemeriksaan investigasi harus
dilakukan untuk mengidentifikasi kasus korupsi, dan tidak
boleh ada campur tangan dari manajemen.
9) Code of conduct
Manajemen

harus

mendefinisikan

dengan

(mendefinisikan dengan apa?) dan terdokumentasi tentang


peran, fungsi, serta lingkungan etika di dalam organisasi.
Menentukan reward dan penalti yang jelas serta panduan
apa yang harus dilakukan seandainya standar yang telah
ditetapkan dilanggar.
Standar sebaiknya bersifat umum sehingga bisa mencakup
pengertian yang luas.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 31

b. SKK menurut ANAO


SAI negara lain yang telah mengembangkan Sistem kendali
Korupsi adalah negara Australia, yang disebut dengan Fraud
Control Plan (FCP). FCP ini secara garis besar memiliki
kesamaan dengan model menurut tenaga ahli BPK, seperti
telah dijelaskan sebelumnya. FCP terbagi menjadi empat
kegiatan utama yaitu:
1) pencegahan;
2) pendeteksian;
3) respons; serta
4) kegiatan monitoring, evaluasi, dan pelaporan.
Masing-masing

kegiatan

tersebut

(pencegahan,

pendeteksian, respons dan monitoring, serta evaluasi dan


pelaporan) harus dirumuskan dalam suatu kebijakan dan
peraturan perundang-undangan secara formal untuk mengikat
semua personil dalam organisasi tersebut. Keempat kegiatan
tersebut juga memerlukan dukungan tata kelola yang baik dan
konsisten, agar implementasinya dapat memenuhi tujuan yang
telah ditetapkan.
Perumusan kebijakan dan tata kelola organisasi sangat
dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan organisasi dan budaya
yang dikembangkan dalam organisasi tersebut. Pimpinan
organisasi harus dapat menciptakan suatu budaya positif
dalam organisasi. Dengan demikian dapat tercipta suatu
lingkungan yang sehat. Model FCP ini dapat diilustrasikan
dalam gambar 2.4 berikut ini:

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 32

KEPEMIMPINAN
Peru
n & un ndangdang
an

jaka
Kebi

sian

Strategi
Pengendalian
Fraud

etek
Pend

Mon
eva itorin
g,
lu
pela asi da
n
por
an

Pencegahan

Respons
Tatakelola
BUDAYA

Gambar: 2.4
Fraud Control Plan

Hubungan
antara SPI
dengan SKK

Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam upaya pengendalian


korupsi adalah mengenai hubungan antara korupsi dengan SPI. Apakah
SKK dan SPI dapat dikatakan identik sehingga entitas yang sudah
mempunyai SPI tidak perlu lagi membuat SKK.
Vona (2008:1-2) berpendapat bahwa pemeriksa dapat mengandalkan
evaluasi kecukupan dan keefektifan SPI dalam mendeteksi dan
mencegah korupsi. Kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan mereviu
dokumen hasil pemeriksaan yang lalu. Jika pengendalian internal
dianggap cukup handal, maka auditor dapat mengujinya untuk
memperoleh keyakinan. Audit atas fraud merupakan pendekatan audit
yang proaktif yang didesain untuk merespon risiko korupsi.
Berikut ini adalah kajian mengenai SPI versi COSO dan hubungannya
dengan fraud/ korupsi.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 33

a.SPI menurut COSO


COSO mendefinisikan SPI sebagai suatu proses yang dipengaruhi
oleh struktur organisasi, alur otoritas dan kerja, sistem informasi
manajemen dan manusia. SPI didesain untuk membantu
organisasi dalam mencapai tujuan jangka panjang dan jangka
pendek. COSO sendiri merumuskan SPI dengan menetapkan lima
komponen utama yang terdiri dari:
1)Lingkungan Pengendalian;
2)Penilaian Risiko;
3)Aktifitas Pengendalian;
4)Informasi dan Komunikasi; serta
5)Monitoring.

Hasil kajian Litbang menyimpulkan bahwa beberapa komponen


SPI versi COSO memiliki unsur-unsur fraud control/ pengendali
korupsi. Hal tersebut diuraikan lebih lanjut pada bab ini.
b.Fraud control dalam perangkat COSO
Cendrowski dan Martin dan Petro (2007) dalam Handbook of
fraud deterrence hal. 119-136 menyatakan bahwa perangkat
COSO sebagai alat pendekatan dalam penilaian SPI organisasi
memiliki

unsur-unsur

yang

menyangkut

fraud

control/

pengendali korupsi. Unsur-unsur tersebut secara khusus


terdapat dalam empat komponen COSO sebagai berikut.
1) Risk Assessment (penilaian risiko)
Elemen Risk Assessment menyebutkan bahwa dalam
usaha pencegahan korupsi, kegiatan risk assessment
mencakup identifikasi atas faktor internal dan eksternal
yang berpotensi merusak struktur pengendalian internal
suatu organisasi, tindakan merekayasa nilai aset dan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 34

tindakan-tindakan melanggar aturan manajemen lainnya.


Risk assessment mencakup kegiatan identifikasi atas
ancaman yang mungkin terjadi dan tindakan-tindakan apa
saja yang harus dilakukan untuk menghadapi ancaman
tersebut.
2) Control procedures (prosedur pengendalian)
Prosedur pengendalian (control procedures) merupakan
mekanisme pencegahan korupsi yang sangat penting.
Semakin baik kualitas prosedur pengendalian dalam suatu
organisasi, maka semakin kecil probabilitas suatu tindak
korupsi akan terjadi. Kegiatan pencegahan korupsi juga
meliputi pengujian secara proaktif terhadap kualitas dan
fungsi suatu prosedur pengendalian dalam organisasi.
Terkait

usaha

perlindungan

aset,

pengendalian

dilakukan melalui pengidentifikasian aset-aset yang rentan


terhadap

korupsi

dan

merumuskan

mekanisme

pengendalian yang memadai. Pencegahan korupsi dilakukan


melalui

pengujian

prosedur

pengendalian

untuk

memastikan bahwa alat pengendalian tersebut telah


berfungsi secara memadai.
3) Information

and

Communication

(Informasi

dan

komunikasi)
Pencegahan korupsi dalam elemen Information and
Communication adalah dengan menekankan efektifitas
komunikasi top-down dan bottom-up baik secara formal
maupun informal. Semakin baik komunikasi berjalan,
semakin efektif kegiatan komunikasi tersebut sebagai
pencegah terjadinya korupsi dalam organisasi.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 35

4) Monitoring
Elemen

monitoring

mencakup

pencegahan

dan

pendeteksian korupsi. Manajemen harus dapat memastikan


bahwa proses pengendalian telah didesain dan ditetapkan.
Kinerja alat pengendalian tersebut harus diuji dan dinilai
kinerjanya lalu selanjutnya dilakukan perbaikan bila ada
bagian mekanisme pengendalian yang dinilai belum efektif
atau masih lemah. Semakin baik suatu pengendalian, maka
semakin kecil probabilitas terjadinya korupsi. Proses
monitoring harus dapat menetapkan bagian-bagian dari
suatu kegiatan yang rentan terhadap korupsi.

Simpulan dari
Tim mengenai
Korupsi

Kajian literatur dan diskusi dengan tenaga ahli BPK menghasilkan


beberapa hal penting untuk kajian lebih lanjut tentang Sistem Kendali
Korupsi. Hasil tersebut antara lain adalah:
a.Korupsi merupakan suatu perbuatan tidak jujur, menipu,
melanggar hukum, dan menyebabkan kerugian baik secara
material maupun non-material. Korupsi terjadi dari tingkat paling
rendah yaitu pada individu sampai tingkat organisasi atau di
tingkat pemerintahan.
b. Sesuai dengan Undang-Undang 15 tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Keuangan Negara Bab II Pasal 2 ayat (2) mengenai


wewenang BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan
dan

tanggung

jawab

menginterpretasikan

definisi

keuangan
fraud

Negara,
sebagai

BPK
korupsi.

Perbandingan antara unsur-unsur fraud menurut ACFE dengan


Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi menunjukkan kesamaan antara unsur
fraud versi ACFE dengan unsur korupsi versi UU Tipikor. Hal
tersebut semakin memperkuat keputusan Litbang untuk

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 36

menggunakan istilah korupsi daripada fraud.


c.Analisis sebab akibat terjadinya korupsi dan analisis atas Sistem
Kendali Korupsi (SKK) yang diperoleh dari tenaga ahli BPK dan
ANAO menghasilkan hal-hal sebagai berikut:
1)korupsi disebabkan oleh tiga faktor besar, yaitu: adanya
kesempatan,

karena

tekanan,

dan

rasionalisasi

(pembenaran);
2)penilaian kualitas Sistem Kendali Korupsi dilakukan pada
keseluruhan tahap, dari pencegahan, pengidentifikasian,
investigasi, pemberantasan, serta monitoring. Atas dasar hal
tersebut, Litbang selanjutnya melakukan diskusi dengan
beberapa entitas pemerintah untuk mengetahui tingkat
keberadan dan kematangan sistem kendali korupsi entitas.
Hasil diskusi dengan entitas akan dibahas secara khusus
dalam bab 3;
3)kegiatan analisis atas dua model Sistem Kendali Korupsi
menghasilkan keputusan Litbang untuk mengadopsi model
fraud control yang dikembangkan oleh ANAO dengan tetap
mengakomodir elemen-elemen Sistem Kendali Korupsi yang
ditawarkan oleh tenaga ahli BPK;
4)elemen-elemen SKK tersebut merupakan unsur penentu
tinggi rendahnya kualitas alat pengendalian korupsi di suatu
entitas atau organisasi. Kegiatan pemeriksaan BPK yang
paling sesuai untuk menilai kinerja SKK entitas adalah
pemeriksaan kinerja. Terkait dengan dua hal tersebut,
Litbang menilai bahwa elemen-elemen SKK tersebut
merupakan salah satu unsur utama yang digunakan sebagai
kriteria pemeriksaan kinerja;

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 37

5)analisis lebih lanjut tentang SKK dilakukan dengan menguji


hubungan antara SKK dengan SPI. Berdasar hasil studi
literatur, diketahui bahwa komponen-komponen SPI selain
komponen

pengendalian

merupakan

komponen

yang

mengatur pengendalian Korupsi. Oleh karena itu, terdapat


bagian yang sama antara SPI dengan SKK.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 38

BAB 3
UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENANGGULANGAN KORUPSI
Korupsi merupakan permasalahan yang dihadapi oleh setiap negara di dunia. Bentuk dan
praktik kejahatan korupsi juga sangat beragam. Setiap negara berusaha menanggulangi dan
memberantas korupsi melalui berbagai tindakan dan kebijakan, demikian pula dengan organisasi
auditor internasional seperti INTOSAI beserta negara-negara anggotanya. Indonesia, khususnya
pasca era reformasi, juga telah melakukan beberapa upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi. Bab 3 akan membahas mengenai upaya pemerintah dalam memberantas korupsi dan
hasil diskusi antara Litbang BPK dengan beberapa entitas pemerintah khususnya aparat penegak
hukum (APH) mengenai usaha mereka dalam memberantas korupsi di lingkungan internal
organisasinya.

Upaya
Penanggulangan
Korupsi melalui
Penegakan
Hukum

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam mengendalikan


korupsi yang ada di Indonesia. Salah satu upaya pemerintah adalah
melalui penegakan hukum, yakni dengan membentuk peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pengendalian korupsi.
Beberapa

peraturan

perundang-undangan

yang

telah

dibentuk

pemerintah tersebut adalah:


a. Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi. Undang-undang tersebut mengatur
diantaranya adalah tindakan-tindakan yang dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi, tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi, ketentuan mengenai penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, juga
bentuk peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 39

b. Undang-undang tentang komisi pemberantasan tindak pidana


korupsi (KPK)
Untuk mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi,
pemerintah juga membentuk komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Undangundang tersebut mengatur antara lain tugas, wewenang dan
kewajiban KPK, tata cara pelaporan dan penentuan status
gratifikasi, tempat kedudukan, tanggung jawab, dan susunan
organisasi KPK, pimpinan KPK, penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, rehabilitasi dan
kompensasi bagi pihak yang dirugikan akibat penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK serta
pembiayaan KPK.
c. Undang-undang tentang penyelenggaraan negara yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme
Sebagai

bentuk

keseriusan

pemerintah

dalam

pemberantasan korupsi, pemerintah juga menetapkan UndangUndang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-undang
pembentukan

tersebut
komisi

diantaranya

pemeriksa

mengatur

yang

berfungsi

tentang
untuk

mencegah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam


penyelenggaraan negara.
d. Instruksi Presiden tentang percepatan pemberantasan korupsi
Sebagai

wujud

nyata

upaya

pemerintah

dalam

pemberantasan korupsi, maka presiden menetapkan Instruksi


Presiden No. 5 Tahun 2004. Inpres tersebut menginstruksikan
para menteri, Jaksa Agung Republik Indonesia, Panglima TNI,

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 40

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Lembaga


Pemerintah non Departemen, Gubernur, Bupati, dan Walikota
untuk:
a)melaporkan harta kekayaannya kepada KPK;
b)membantu

KPK

dalam

penyelenggaraan

pelaporan,

pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan laporan harta


kekayaan penyelenggara negara;
c)menetapkan penetapan kinerja dengan pejabat dibawahnya
secara berjenjang;
d)meningkatkan kualitas pelayanan publik;
e)menetapkan program dan wilayah yang menjadi lingkup
tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya sebagai program
dan wilayah bebas korupsi;
f)melaksanakan Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang pengadaan
barang/ jasa secara konsisten untuk mencegah terjadinya
kebocoran dan pemborosan penggunaan keuangan negara;
g)menerapkan kesederhanaan baik dalam kedinasan maupun
dalam

kehidupan

pribadi,

serta

penghematan

pada

penyelenggaraan kegiatan yang berdampak langsung pada


keuangan negara;
h)memberikan

dukungan

maksimal

terhadap

upaya

penindakan korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Republik


Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan KPK;
i) melakukan kerja sama dengan KPK untuk melakukan
penelaahan dan pengkajian terhadap sistem-sistem yang
berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi; serta
j) meningkatkan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur
untuk meniadakan perilaku koruptif dilingkungannya.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 41

e. Peraturan Pemerintah tentang tata cara peran serta


masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi
Selain aparat penegak hukum, masyarakat juga dapat
berperan aktif dalam memberantas korupsi. Untuk mengatur
peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi,
pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun
2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dan

Pemberian

Penghargaan

dalam

Pencegahan

dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan ini mengatur


diantaranya adalah hak dan tanggung jawab masyarakat dalam
mencari, memeroleh, memberi informasi, saran, dan pendapat
terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, hak dan tanggung
jawab masyarakat dalam memperoleh pelayanan dan jawaban
dari penegak hukum atas perkara tindak pidana korupsi, serta
hak dan tanggung jawab masyarakat dalam memperoleh
perlindungan hukum.
f. Peraturan Perundang-undangan yang terkait pemberantasan
korupsi
1.UU No. 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2.UU No. 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 42

Indeks Persepsi
Korupsi Indonesia

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) adalah pengukuran tingkat korupsi


berdasarkan persepsi negara-negara di Dunia yang dilakukan oleh
Transparency International (TI). IPK ini diukur berdasarkan kompilasi
beberapa dari beberapa survei. Indeks ini menggunakan skala 0 sampai
10, dengan 0 sebagai titik terkorup dan 10 merupakan titik terbersih.
Menurut KPK, IPK tidak dapat dipandang sebagai suatu tren yang dapat
dilihat dari tahun ke tahun, artinya bila ditahun pertama suatu negara
memiliki IPK sebesar 3, kemudian ditahun kedua IPK negara tersebut
menjadi 3,5 bukan berarti negara tersebut mengalami kemajuan. Hal ini
disebabkan survey dan kriteria yang digunakan dalam pengukuran IPK,
tidak sama setiap tahunnya. Berdasarkan data TI, IPK Indonesia selama
sepuluh tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.1
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
menurut Transparency International

Tahun 2001-2010

Tahun

IPK

Urutan Dunia

2001

1,9

88

2002

1,9

96

2003

1,9

122

2004

2,0

133

2005

2,2

137

2006

2,4

130

2007

2,3

143

2008

2,6

126

2009

2,8

111

2010

2,8

110

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 43

Peran dan Upaya


yang Telah
Dilakukan Entitas
Pemerintah dalam
Penanggulangan
Korupsi serta
Kendala yang
Dihadapi

Usaha Litbang BPK untuk merumuskan pemahaman mengenai SKK


dan mengembangkan pemeriksaan kinerja atas SKK dilakukan baik
melalui studi literatur, diskusi internal BPK, maupun diskusi dengan pihak
luar d.h.i entitas yang diwakili oleh aparat penegak hukum (APH) dan
beberapa

entitas

yang

dinilai

telah

mengembangkan

SKK

di

lingkungannya.
Diskusi tentang SKK dengan entitas telah menghasilkan beberapa
hasil positif, diantaranya adalah:
1)keberhasilan Litbang BPK dalam penyampaian sosialisasi
kepada entitas terkait tentang rencana BPK untuk melakukan
pemeriksaan atas Sistem Kendali Korupsi melalui pemeriksaan
kinerja;
2)pemahaman bersama mengenai istilah fraud dan pemilihan
penggunaan istilah korupsi daripada fraud;
3)meningkatkan

kesadaran

entitas

mengenai

pentingnya

pengembangan SKK di lingkungan masing-masing; dan


4)sikap apresiatif juga kooperatif dari entitas atas rencana BPK
untuk melakukan pemeriksaan SKK di entitas, setelah
penjelasan yang dilakukan oleh tim Litbang BPK mengenai
pentingnya pengembangan SKK.
Diskusi dengan beberapa entitas pemerintah diuraikan pada sub
bab ini.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 44

a. Hasil diskusi dengan entitas

1)Diskusi dengan BAKN

Pertemuan

ini

membahas

mengenai

rencana

pemeriksaan kinerja atas pengendalian korupsi dan meminta


masukan dari BAKN, serta peran BAKN dalam usaha
pemerintah untuk memberantas korupsi.
a)Penyampaian materi oleh BPK
BPK d.h.i Anggota III BPK mengemukakan beberapa hal
mengenai perkembangan kegiatan pemeriksaan BPK RI
khususnya pemeriksaan kinerja sebagai berikut.
i. Rencana ke depan BPK RI untuk meningkatkan porsi
pemeriksaan kinerja dari sekitar 9% menjadi 15% pada
tahun 2015.
ii. Proyek utama BPK yaitu pemeriksaan kinerja atas
pengendalian korupsi di entitas pemerintahan, sebagai
wujud

salah

satu

peran

BPK

dalam

usaha

pemberantasan korupsi.
iii. Salah satu alasan mengapa BPK memberi perhatian
besar terhadap pemeriksaan kinerja atas pengendalian
korupsi dan korupsi adalah bahwa selama ini opini
pemeriksaan Laporan Keuangan BPK tidak berkaitan
langsung dengan keberadaan praktik korupsi di entitas
terkait.
iv. Kegiatan pemeriksaan kinerja merupakan metode yang
lebih efektif yang dapat digunakan untuk menilai
kinerja entitas dalam mencegah dan menindaklanjuti

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 45

adanya korupsi di lingkungannya.


v. BPK telah menerapkan kebijakan menggunakan jasa
KAP terpilih untuk melakukan sebagian porsi kegiatan
pemeriksaan keuangan BPK. Disisi lain, BPK akan
meningkatkan fokus dan porsi pemeriksaan kinerja dari
tahun ketahun.
vi. BPK telah melakukan kajian awal tentang keberadaan
SKK di entitas dan menemukan bahwa hanya beberapa
entitas saja yang telah mencoba menerapkan SKK
meskipun belum mengakomodir semua unsur korupsi.
BPK

menarik

isu

tentang

siapa

sebenarnya

bertanggungjawab atas keberadaan dan kualitas SKK:


BPK atau entitas?
vii. BPK menyatakan bahwa temuan-temuan pemeriksaan
yang selalu ada namun terulang di tahun-tahun
berikutnya menunjukkan bahwa ada kondisi yang salah
pada entitas. Kondisi tersebut adalah karena belum
adanya mekanisme yang mengatur agar kesalahan
atau pelanggaran yang menjadi temuan BPK tersebut
dapat ditanggulangi dan dicegah sehingga tidak
terulang lagi di tahun-tahun berikutnya.
viii. BPK selanjutnya menyampaikan pertanyaan: adakah
kemauan dari semua pihak untuk menerapkan suatu
FCP?
b)Pendapat dan tanggapan BAKN
Beberapa tanggapan dan pendapat BAKN atas rencana
kegiatan pemeriksaan kinerja atas FCP oleh BPK sebagai
berikut:
i.Meskipun opini auditor tidak berkaitan langsung
dengan keberadaan korupsi di entitas, pemeriksa harus

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 46

lebih

berhati-hati

dalam

menetapkan

opini

pemeriksaan.
ii.BPK dapat mempertimbangkan unsur korupsi dalam
menentukan opini.
iii.Pemeriksaan atas kualitas pengendalian korupsi pada
entitas merupakan tanggung jawab BPK.
iv.Kegiatan penegakan pemberantasan korupsi harus
dimulai dari pusat.
v.Pemeriksaan atas FCP dilakukan oleh pemeriksa BPK
dan bukan oleh KAP yang ditunjuk BPK, karena hal
tersebut menyangkut kerahasiaan Negara.
vi.BAKN

berpendapat

bahwa

FCP

dimulai

dari

stakeholders pemberantasan korupsi, antara lain:


Pemerintah pusat;
Depdagri;
BPK; dan
DPR RI.
vii.Pilot project pemeriksaan kinerja penanggulangan
korupsi dilakukan di pemerintah pusat dulu, sedangkan
kriteria yang digunakan adalah bahwa entitas tersebut
memiliki dampak yang besar terhadap daerah (contoh:
Depdagri).

Detail mengenai diskusi dengan BAKN dapat dilihat pada Lampiran 3.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 47

2)Diskusi dengan BPKP

BPKP

merupakan

pertama

yang

entitas
berdiskusi

dengan Litbang mengenai SKK.


Litbang menilai perlu untuk mendahulukan diskusi bersama
BPKP

dengan

pertimbangan

bahwa

BPKP

telah

mengembangkan SKK sejak tahun 2005. Ide awal BPKP untuk


menyusun dan mengembangkan SKK diperoleh dari hasil
investigasi BPKP yang menyimpulkan bahwa selama ini
penanganan korupsi bersifat represif, padahal bila korupsi
tersebut dicegah sebelum terjadi, maka penanggulangan
korupsi akan lebih efektif.
a) Sepuluh atribut SKK versi BPKP
BPKP mengembangkan SKK yang terdiri dari sepuluh
atribut sebagai berikut:
i. kebijakan terintegrasi,
ii. struktur pertanggungjawaban,
iii. penilaian risiko Korupsi,
iv. kepedulian karyawan,
v. kepedulian pelanggan masyarakat,
vi. perlindungan pelapor,
vii. sistem pelaporan Korupsi,
viii. pelaporan eksternal,
ix. standar investigasi,
x. standar perilaku dan disiplin.
b) Siklus SKK
Implementasi SKK BPKP dilakukan melalui empat siklus

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 48

sebagai berikut:
i. Sosialisasi,
ii. diagnostic assessment (terdiri dari sepuluh atribut),
iii. bimbingan teknis, dan
iv. evaluasi.
Sebagai penyusun dan pengembang SKK, BPKP akan
melaksanakan kegiatan tersebut pada entitas pemerintah
dan juga melakukan pendampingan, pemantauan, dan
pembimbingan

terhadap

entitas

dalam

kegiatan

implementasi SKK di lingkungan masing-masing.


c) Kendala yang dihadapi BPKP serta Komitmen entitas
Implementasi SKK BPKP menghadapi kendala yang
berupa resistensi entitas untuk menerapkan SKK di
lingkungan mereka. Hal tersebut disebabkan karena:
i. entitas masih menganggap bahwa SKK belum
dipandang penting untuk diterapkan;
ii. BPKP

belum

memiliki

payung

hukum

untuk

melaksanakan penerapan SKK di instansi pemerintah;


dan
iii. entitas masih memandang bahwa mereka belum
menerapkan SPIP secara menyeluruh dan benar,
sehingga entitas mengutamakan untuk perbaikan
implementasi SPIP daripada SKK.
d) Pemeriksaan SKK pada entitas
Sampai saat ini, karena entitas belum ada yang
menerapkan SKK, maka hal yang dapat dilakukan oleh BPKP
hanyalah mengidentifikasi keberadaan sepuluh atribut SKK
pada entitas terperiksa (diagnostic assessment). Metode

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 49

pemeriksaan dilakukan dengan wawancara dan kuesioner.


Hasil pemeriksan SKK kemudian diserahkan kepada entitas
dan selanjutnya BPKP melakukan pendampingan untuk
pengembangan SKK pada entitas.
e) Penerapan SKK pada BPKP
Sampai saat ini BPKP belum memiliki SKK sempurna
untuk kalangan BPKP sendiri. SKK lingkungan BPKP masih
dalam tahap pengembangan yang dilakukan secara paralel
dengan pengembangan SKK pada entitas BPKP.
f) Kerjasama BPKP dan APH dalam pencegahan korupsi
Terkait dengan korupsi, BPKP telah melakukan kerja
sama dengan KPK.
Penjelasan lebih detail mengenai kegiatan pengendalian
korupsi oleh BPKP dapat dilihat pada Lampiran 4.

3)Diskusi dengan KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


memiliki

fungsi

pencegahan

dan

penindakan korupsi. Perumusan dan


perencanaan

implementasi

pencegahan

korupsi

telah

dilakukan KPK dibawah koordinasi Litbang KPK. Berikut


penjelasan singkat mengenai peran KPK dalam pemberantasan
korupsi.
a) Peran KPK terkait pengendalian korupsi
Sehubungan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

dengan

pengendalian

korupsi,

hal. 50

jika

dikerucutkan, peran KPK dalam pengendalian korupsi


adalah pencegahan dan penindakan. Pencegahan terkait
penerimaaan

laporan

dan

pemeriksaan

gratifikasi,

penerimaan laporan dan pemeriksaan LKHPN, pendidikan,


sosialisasi, kampanye anti korupsi, kerja sama antar
lembaga serta tugas Monitor yaitu mengkaji dan
memberikan saran kepada pengelolaan administrasi
keuangan instansi pemerintah.
b) Program pengendalian gratifikasi
Saat ini KPK sedang mengembangkan program
pengendalian gratifikasi. Pengendalian gratifikasi ini saat ini
diterapkan melalui pilot project pada pertamina dan KPK
sendiri.
c) Penilaian Inisiatif Anti Korupsi
Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) adalah alat ukur
dalam menilai kemajuan suatu instansi publik dalam
mengembangkan

upaya

pemberantasan

korupsi

di

instansinya. PIAK ditujukan untuk mengukur apakah suatu


instansi telah menerapkan sistem dan mekanisme yang
efektif untuk mencegah dan mengurangi korupsi di
lingkungannya.
PIAK dinilai oleh tiga pihak, yaitu:
i. unit utama mengisi kuesioner PIAK untuk direview
oleh Inspektorat penilaian sendiri (self assessment),
ii. KPK mengumpulkan hasil penilaian setiap instansi
melalui Inspektorat untuk dikonfirmasi dan dinilai,
dan
iii. Lembaga Riset/Akademisi akan menetapkan nilai

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 51

untuk laporan kualitatif.


Saat ini PIAK diterapkan pada instansi pemerintah dan
sedang dilakukan pilot project pada BUMN.
d) Pencegahan korupsi melalui dunia pendidikan
Selain PIAK, survei integritas, dan pengkajian terhadap
sistem administrasi, upaya lain yang dilakukan oleh KPK
terkait

pencegahan

korupsi

adalah

melalui

dunia

pendidikan, KPK telah bekerja sama dengan para guru


untuk membangun modul kurikulum anti korupsi.
e) Upaya KPK dalam membangun corruption awareness di
Indonesia
Terkait dengan gratifikasi, upaya yang dilakukan adalah
membangun

semacam

komitmen

dengan

pimpinan

lembaga sebagai wujud tone from the top, yakni dengan


membangun unit pengelola gratifikasi secara internal,
personil dalam unit tersebut akan diseleksi dan ditraining
oleh KPK.
f) Program kajian terhadap sistem administrasi
Setelah KPK mengidentifikasi area-area yang rawan
terhadap korupsi, tim pengkaji Litbang akan melakukan
kajian terhadap area yang rawan, lalu tim pengembangan
akan melakukan pengembangan dengan memberikan
rekomendasi perbaikan terhadap sistem administrasi.
g) Definsi fraud menurut KPK
Persepektif KPK dalam memandang fraud adalah
korupsi, namun sebenarnya fraud seharusnya lebih luas
dari korupsi, yang dilakukan KPK saat ini pun lebih luas dari


Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 52

sekedar

korupsi,

salah

satunya

masalah

konflik

kepentingan. KPK sampai saat ini belum mendefinisikan


fraud secara khusus.
h) Rencana selanjutnya
Berdasarkan hasil diskusi dengan KPK, Litbang BPK
memutuskan untuk melanjutkan diskusi dan komunikasi
dengan KPK. Detail mengenai diskusi dengan KPK dapat
dilihat pada Lampiran 5.

4)Diskusi dengan Kejaksaan

Pertemuan

dengan

Kejaksaan

membahas

mengenai upaya dan strategi kejaksaan dalam


mengembangkan

dan

mengimplementasikan

pengendalian korupsi di lingkungan Kejaksaan serta pendapat


pihak Kejaksaan mengenai pemahaman tentang fraud dan
perbandingannya dengan korupsi.
a) Definisi fraud menurut Kejaksaan
Menurut Jamwas dan Jampidsus, sebaiknya definisi
fraud lebih dipersempit saja, karena sampai saat ini belum
ada payung hukum yang mengatur tindakan fraud, yang
ada hanyalah korupsi. Jamwas juga mengatakan bahwa
fraud merupakan tindakan yang lebih sempit dari korupsi.
Untuk itu sebaiknya istilah fraud diganti saja menjadi
perbuatan hukum yang merugikan keuangan negara.
b) Pengendalian korupsi pada Kejaksaan
Pengendalian korupsi yang dilakukan di lingkungan


Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 53

kejaksaan meliputi:
i. membangun kode etik bagi aparat kejaksaan,
ii. membentuk inspektorat untuk menjamin pelaksanaan
kegiatan yang dilakukan oleh aparat kejaksaan bebas
dari korupsi dan penyimpangan. Kegiatan inspeksi yang
dilakukan di kejaksaan meliputi.
01. Inspeksi umum: kegiatan inspeksi terhadap
penggunaan anggaran.
02. Inspeksi khusus: kegiatan inspeksi yang dilakukan
berdasarkan

permintaan

khusus,

misalnya

pengaduan masyarakat.
03. Inspeksi kasus: inspeksi yang dilakukan terhadap
penyalahgunaan

keuangan

negara,

misalnya

TPTGR.
04. Inspeksi pimpinan: inspeksi yang dilakukan oleh
pimpinan suatu unit kerja.
05. Inspeksi pemantauan.
iii. melakukan pengawasan melekat, yaitu pemantauan
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh atasan terhadap
staf di lingkungan unit kerjanya,
iv. membuka media pengaduan masyarakat terhadap
tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh aparat
kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya,
v. mencantumkan kalimat-kalimat peringatan terhadap
aparat kejaksaan untuk selalu bekerja sesuai dengan
aturan , misalnya dalam bentuk neon box.
c) SKK kejaksaan
Sampai saat ini kejaksaan juga belum memiliki SKK.
Kejaksaan merasa dengan adanya kegiatan inspeksi dan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 54

pengawasan melekat sudah cukup sebagai alat untuk


mengendalikan korupsi pada lingkungan kejaksaan. Detail
mengenai diskusi dengan Kejaksaan dapat dilihat pada
Lampiran 6.

5)Diskusi dengan POLRI

Kegiatan diskusi Litbang BPK ke POLRI


diwakili oleh satuan kerja Itwasum POLRI
d.h.i Kepala Biro Rencana dan Administrasi
beserta jajaran staf. Kegiatan diskusi tersebut menghasilkan
hal-hal sebagai berikut.
a) Definisi fraud menurut POLRI
POLRI mendefinisikan fraud sebagai suatu kecurangan
untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok
dengan cara melawan hukum dan merugikan pihak lain.
b)Risiko korupsi
Risiko yang menjadi perhatian utama POLRI adalah
pelanggaran kode etik anggota POLRI yang mengakibatkan
turunnya kepercayaan masyarakat terhadap POLRI.
c) Mekanisme Penanganan korupsi di Lingkungan POLRI
POLRI melakukan beberapa usaha pencegahan dan
penanganan korupsi di lingkungan POLRI dengan uraian
sebagai berikut.
i. Pencegahan: melalui penetapan aturan-aturan, SOP,
pakta integritas bagi pejabat kepolisian dan beberapa

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 55

prosedur lainnya.
ii. Pendeteksian:

membuka

ruang

publik

untuk

menampung semua keluhan dan aduan masyarakat.


Disamping itu, POLRI berusaha mengefektifkan kerja
sama

dengan

aparat

penegak

hukum,

lembaga

pengawas, BPK, dan KPK serta memaksimalkan peran


dan fungsi Itwasum POLRI.
iii. Penanganan: melalui perumusan dan penetapan kode
etik, pemberian sanksi dari tingkat paling ringan sampai
tingkat berat seperti hukum pidana.
d)Unit-unit pengendali korupsi
Unit-unit pengendali korupsi di lingkungan POLRI adalah
sebagai berikut:
i. masing-masing pejabat yang bertanggung jawab atas
kinerja dan integritas staffnya; dan
ii. unit-unit khusus yaitu:
 Propam: menangani pelanggaran disiplin dan etika;
 Itwasum:

menangani pelanggaran pengelolaan

keuangan negara; dan


Bareskrim: menangani pelanggaran Pidana.
e) Hal-hal lain terkait pengendalian korupsi di lingkungan
POLRI
Disamping

beberapa

mekanisme

penanggulangan

korupsi diatas, POLRI juga telah merancang peraturan


mengenai mekanisme whistle-blower. POLRI saat ini telah
mengembangka strategi pengendalian korupsi yang terbagi
dalam tiga tahapan yaitu:
 Tahap I: Membangun Kepercayaan masyarakat;
 Tahap II: Kemitraan; dan


Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 56

 Tahap III: Pelayanan Prima


Detail mengenai diskusi dengan POLRI dapat dilihat pada Lampiran
7.

6)Diskusi dengan PPATK

Pusat

Pelaporan

dan

Analisis

Transaksi

Keuangan

(PPATK)

dibentuk

berdasarkan

amanat

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana


Pencucian Uang. PPATK merupakan suatu lembaga intelejen
keuangan independen yang bertanggung jawab kepada
Presiden, yang secara internasional dikenal sebagai Financial
Intelligence Unit (FIU).
a) Definisi fraud menurut PPATK
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PPATK,
fraud merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap
hal-hal yang bersifat finansial dan juga segala bentuk
penyalahgunaan wewenang dan aset negara.
b) Risiko korupsi
Risiko korupsi yang mungkin dihadapi oleh PPATK
adalah kerahasiaan informasi. Saat ini, PPATK sedang
mengembangkan model manajemen risiko yang disesuaikan
dengan renja dengan menekankan pada outcome.
c) Kasus korupsi di PPATK
Sampai saat ini kasus korupsi yang terjadi di PPATK
meliputi penyalahgunaan aset, misalnya penyalahgunaan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 57

kendaraan dinas dan masalah pelelangan.


d) SPI dan SKK
SKK di PPATK diatur dalam good governance yang
diadopsi oleh PPATK. Menurut PPATK, SPI masih belum
cukup untuk mengendalikan korupsi, karena terdapat
beberapa komponen yang tidak ada di SPI seperti conflict of
interest dan fairness. SPI di PPATK lebih pada level
operasional, sedangkan untuk level strategis lebih banyak
diatur dalam good governance.
e) Mekanisme penanganan korupsi di lingkungan PPATK
Setelah PPATK secara internal menerima laporan
mengenai adanya korupsi, kemudian bagian audit internal
akan melakukan validasi atas informasi tersebut, informasi
tersebut akan dianalisis, lalu dilaporkan kepada pimpinan.
Jika ditemukan indikasi adanya korupsi akan disampaikan
kepada Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.
Detail mengenai diskusi dengan PPATK dapat dilihat pada
Lampiran 8.

7)Diskusi dengan Ditjen Perbendaharaan

Pertemuan

ini

membahas

mengenai

pengendalian korupsi pada Direktorat


Jenderal Perbendaharaan. Litbang BPK
menilai bahwa Ditjen Perbendaharaan
telah mengembangkan mekanisme pengendalian korupsi di
internal organisasi, sehingga Litbang BPK menilai bahwa

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 58

diskusi

dengan Ditjen Perbendaharaan akan memberi

masukan yang bermanfaat bagi BPK. Hasil diskusi dengan


dierjen Bea Cukai adalah sebagai berikut:

a) Pembahasan
i. Definisi Fraud
Menurut Ditjen Perbendaharaan, definisi fraud
merupakan penyimpangan terhadap peraturan yang
ada dan mengandung unsur kesengajaan serta
berpotensi menimbulkan tindakan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Ditjen Perbendaharaan juga mengacu pada
aturan yang berlaku umum yaitu fraud menurut UU
Tipikor yang definisinya cenderung ke arah korupsi.
ii. Strategi untuk pencegahan korupsi
Sebagai pendukung program anti korupsi, Ditjen
Perbendaharaan telah melakukan:
 Transparansi Penyelenggara Negara
 Penyampaian LHKPN
 Sosialisasi

Anti

Gratifikasi

dan

Pelaporan

Gratifikasi
 Promosi Anti Korupsi dan Akses Publik dalam
Memperoleh Informasi
 Media website, banner, flyer, running text, annual
report, talkshow di TV/Radio, dll.
 Seruan/sosialisasi anti korupsi dalam setiap
kesempatan kepada seluruh pejabat/pegawai
 Tindaklanjut

Pemeriksaan

Aparat

Pemeriksa/

Pengawas Fungsional (BPK, Itjen Kemenkeu, KPK).




Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 59

Selain itu, Ditjen Perbendaharaan juga telah


melakukan reformasi birokrasi untuk mencapai good
governance

yaitu

antara

lain

dalam

bidang

kelembagaan, proses bisnis, dan SDM.


iii. Peran Sekretariat Ditjen Perbendaharaan
Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Subbagian
Evaluasi Hasil Pemeriksaan dan Kinerja melakukan
pengelolaan Indikator Kinerja Utama (IKU) dan
manajemen

risiko

lingkup

Ditjen,

pemantauan

tindak

lanjut

pemeriksaan

aparat pengawasan

atas

melakukan

laporan

hasil

fungsional

dan

penyiapan bahan penelitian kebenaran pengaduan


masyarakat serta pengendalian pelaksanaan tugas
kantor vertikal. Bagian Administrasi Kepegawaian, Sub
bagian

Penanganan

Disiplin

dan

Pemberhentian

Pegawai melakukan urusan penegakan disiplin dan


pemberhentian pegawai serta penyiapan bahan-bahan
pembinaan pegawai.
iv. Kendala yang dihadapi Ditjen Perbendaharaan dalam
pencegahan korupsi
Kendala internal Ditjen Perbendaharaan adalah
pada pemberian pemahaman pada satker-satker dalam
rangka

pencegahan

pembentukan

KPPN.

korupsi

dan

Sedangkan

kendala

pada

hambatan

dari

eksternal adalah pihak yang ada diluar Ditjen


Perbendaharaan (seperti Kementerian/Lembaga) yang
masih mencoba untuk melakukan penyuapan pada
KPPN.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 60

b) Rencana Selanjutnya
Sebagai tindak lanjut kegiatan ini, Litbang BPK
memiliki peluang untuk menjalin kerjasama dan
komunikasi dengan Bagian Organisasi Tata Laksana
Ditjen Perbendaharaan yang saat ini sedang mengkaji
untuk pembentukan Unit Kepatuhan Internal (UKI)
sesuai dengan PMK-103/PMK.09/2010 tentang Tata
Cara

Pengelolaan

dan

Tindak

Lanjut

Pelaporan

Pelanggaran/Whistleblowing di Lingkungan Kemenkeu.


Detail mengenai diskusi dengan Ditjen Perbendaharaan
dapat dilihat pada Lampiran 9.

8)Diskusi dengan Ditjen Bea Cukai

Pertemuan

ini

membahas

mengenai

pengendalian korupsi pada Direktorat Jenderal Bea


dan Cukai. Litbang BPK menilai bahwa Ditjen Bea
Cukai

telah

mengembangkan

mekanisme

pengendalian

korupsi di internal organisasi, sehingga Litbang BPK menilai


bahwa diskusi dengan Ditjen Bea Cukai akan memberi
masukan yang bermanfaat bagi BPK. Hasil diskusi dengan
Ditjen Bea Cukai adalah sebagai berikut.
a) Pembahasan
i. Definisi Fraud
Ditjen Bea Cukai menilai bahwa cakupan fraud lebih
luas daripada korupsi. Fraud menurut Ditjen Bea Cukai
lebih diterjemahkan sebagai pelanggaran. Ditjen Bea
Cukai telah memetakan keberadaan fraud di institusinya

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 61

dan menggolongkan dalam fraud di bidang kepabean, di


bidang cukai, dan di bidang kepatuhan internal.
Fraud di DJBC termasuk pelanggaran administratif
dan pidana. Sedangkan fraud di kepatuhan internal
adalah fraud yang terjadi karena tindakan yang
berlawanan

dengan

norma-norma

yang

sudah

didefinisikan yang menimbulkan potensi kerugian


negara.
Unit khusus yaitu unit Penindakan dan Penyidikan
(P2) dan audit menangani pelanggaran di bidang
kepabeanan oleh importir dan eksportir sedangkan
fraud yang dilakukan oleh personal pegawai menjadi
bidang kepatuhan internal. Contoh: pegawai yang tidak
masuk selama sebulan merupakan fraud kepatuhan
internal.
ii. Reformasi Organisasi DJBC terkait Pengendalian
Korupsi
Ditjen Bea dan Cukai pada tahun 2007 melakukan
reformasi kepabeanan yang dimanifestasikan dengan
membentuk kantor pelayanan utama dan kantor
pelayanan madya. Reformasi ini tidak hanya terkait
dengan

pengendalian korupsi saja, namun juga

penerapan

peraturan

perundang-undangan

dan

peraturan kepabeanan. Dalam reformasi ini, Ditjen Bea


dan Cukai juga melakukan revitalisasi atas organisasi,
yakni dengan membentuk seksi kepatuhan internal
pada eselon III. Pada tahun 2009 dibentuklah Pusat
Kepatuhan Internal untuk mengintegrasikan seksi
kepatuhan internal yang ada. Selain organisasi DJBC

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 62

juga melakukan revitalisasi pada sistem dan prosedur


serta SDM yang ada dengan meningkatkan integritas
dan kompetensi.
iii. Organisasi Pengendalian Korupsi pada DJBC
Unit Kerja Kepatuhan Internal (UKKI) terdapat pada
kantor pusat dan pada instansi vertikal Ditjen Bea dan
Cukai. UKKI pada Kantor Pusat DJBC berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan, yang
karena sifat tugasnya, secara teknis operasional dan
administratif bertanggung jawab kepada Direktur
Jenderal Bea dan Cukai, UKKI pada kantor pusat adalah
Pusat Kepatuhan Internal (PUSKI). UKKI pada instansi
vertikal Ditjen Bea dan Cukai berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada instansi vertikal Ditjen Bea
dan Cukai. UKKI pada instansi vertikal terdiri dari BUKI
pada Kanwil DJBC, Bidang Kepatuhan Internal pada
Kantor Pelayanan Utama, Seksi Kepatuhan Internal pada
Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC) Tipe Madya,
Subbag Umum pada KPBC Tipe A1, A2, A3, PSO dan BPIB
serta urusan umum pada KPBC Tipe B. Selain UKKI juga
terdapat unit yang lain dalam pengendalian korupsi
yaitu unit bimbingan kepatuhan dan pelayanan
informasi.

Unit

ini

mempunyai

fungsi

untuk

mengendalikan korupsi yang dilakukan oleh pihak


eksternal. Tugas unit ini adalah untuk mendorong
importir dan eksportir agar taat pada peraturan
perundang-undangan.
iv. Implementasi Pengendalian Internal DJBC
DJBC sudah menerapkan kebijakan pengendalian

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 63

internal

seperti

peraturan

yang

terkait

dengan

pengendalian internal. Peraturan tersebut mengatur


mengenai disiplin PNS, kode etik PNS maupun DJBC,
komisi kode etik, tata kerja UKKI, pakta integritas,
penghargaan bagi pegawai DJBC, serta tata nilai dan
budaya organisasi.
v. Pengawasan Melekat
Pengawasan Melekat di DJBC dilakukan dengan
menggunakan siklus pencegahan, pemantauan, analisa,
penindakan, laporan, evaluasi, dan tindak lanjut. Peran
UKKI melakukan pemantauan pada setiap tahapan
proses waskat agar berjalan sesuai ketentuan dan
melakukan asistensi dan supervisi dalam penanganan
pelanggaran kode etik dan disiplin pegawai.
vi. Pengaduan Masyarakat
Pengaduan masyarakat bisa dilakukan melalui meja
pengaduan PUSKI KC, telepon, faksimile, email dan
surat. Hasil pengaduan masyarakat dimonitor melalui
Indikator Kinerja Utama (IKU) unit Kepatuhan Internal.
vii. Kerjasama DJBC dengan KPK
KPK sejak tahun 2006 memberi asistensi kepada
Ditjen Bea Cukai dalam hal meningkatkan skor survei
integritas layanan sektor publik DJBC dan survei
Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK), sosialisasi LHKPN,
serta asistensi dan supervisi dalam penyusunan whistle
blower system.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 64

viii. Hasil Survei Integritas Layanan Sektor Publik


Hasil Survei Integritas Layanan Sektor Publik KPK
terhadap layanan cukai dan layanan impor terdapat
perbedaan yang cukup tinggi. Hasil survei integritas
terhadap layanan impor (pelabuhan) lebih buruk (5,63)
daripada layanan cukai (6,68). Hal ini disebabkan karena
lingkungan kerja yang berbeda.
ix. Publikasi Korupsi pada DJBC
DJBC akan mempublikasikan detail korupsi yang
terjadi tapi tidak akan menyebutkan nama. Publikasi
hanya akan dilakukan secara internal dan tidak untuk
konsumsi eksternal.
x. Rencana Selanjutnya
Berdasarkan diskusi dengan Ditjen Bea dan Cukai,
hal yang dapat dilakukan selanjutnya adalah Litbang BPK
dapat terus menjalin komunikasi dengan Bagian
Kepatuhan Internal Ditjen Bea dan Cukai dalam rangka
pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan
untuk menyusun dan mengembangkan metodologi
pemeriksaan kinerja atas pengendalian korupsi pada
entitas pemerintah.
Detail mengenai diskusi dengan Ditjen Bea Cukai
dapat dilihat pada Lampiran 10.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 65

9) Diskusi dengan Garuda Indonesia

Diskusi dipimpin oleh Vice


President

Internal

audit

Garuda. Peserta diskusi dari


pihak Garuda dihadiri oleh
Senior Manager GCG Implementation dan beberapa orang staf
sekretariat

GCG

Implementation

dan

Audit

Internal.

Pertemuan ini membahas mengenai strategi pengendalian


korupsi yang dilakukan oleh Garuda Indonesia.
a) Pembahasan
Garuda telah membentuk pengendalian terhadap
korupsi sejak tahun 2002. Unit-unit yang terlibat dalam
pengendalian

korupsi

adalah

SPI,

corporate

legal,

personalia, corporate comunication. Pada tahun 2002,


berdasarkan surat Menpan dan Kemeneg BUMN, Garuda
sudah membuat mekanisme penanganan pengaduan
masyarakat.

Pada

tahun

2006

dibentuk

komite

penanganan pengaduan korupsi, kolusi, dan nepotisme


dengan media kotak pengaduan, internet, dan tromol pos.
Terakhir pada tahun 2011dibentuk whistle-blower system,
etika kerja dan etika bisnis, serta pengendalian gratifikasi
yang ditangani oleh corporate secretary.
i. Pengendalian korupsi
Pengendalian korupsi di Garuda didasarkan pada
konsep Good Corporate Gorvenance (GCG) dan nilai
perusahaan. GCG terdiri dari tiga pilar utama, yaitu (1)
compliance/ kepatuhan, yaitu kepatuhan terhadap
ketentuan dan perundangan yang berlaku; (2)

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 66

conformity/

kepatutan,

yaitu

penyelenggaraan

perusahaan sesuai dengan etika dan moral; (3)


performance/ kinerja, yaitu ketercapaian sasaran/
target perusahaan. Nilai perusahaan ditetapkan oleh
garuda dengan istilah FLY HI, yaitu F (Efisien dan
efektif), L (Loyalty), Y (Customer Satisfity) H (Honesty),
I (Integrity). Garuda juga melakukan pengukuran yang
terkait dengan pengendalian korupsi sejak tahun
2007, yakni pengukuran yang dilakukan oleh KPK
bekerjasama dengan MUC, BPKP, dan IICG (Indonesian
Institute for Corporate Governance).
ii. Pengendalian Gratifikasi
Ketentuan pengendalian gratifikasi di Garuda
meliputi penetapan batas penerimaan/ pemberian
dan

pencatatan

gratifikasi.

Saat

pengendalian

serta

pelaporan

penerimaan

mengembangkan

gratifikasi,

Garuda

program
mendapakan

asistensi dari KPK.


iii. Whistleblowing System (WBS)
WBS di Garuda baru di implemetasikan pada awal
tahun 2011. Garuda menggunakan jaringan internet
sebagai tools WBS, yakni melalui www.ga-whistleblower.com.

Whistle-blower

officer

bertanggung

jawab untuk mengelola pengaduan yang masuk


melalui jaringan dan memilah-milah pengaduan yang
masuk.
iv. Pemetaan risiko
Garuda telah melakukan risk management yang

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 67

dikelola oleh unit risk management. Namun masingmasing unit secara mandiri melakukan pemetaan dan
penilaian risiko.
b) Rencana Selanjutnya
Garuda bersedia untuk mendukung BPK dalam
pelaksanaan pilot project melalui diskusi lebih lanjut atas
hal-hal yang terkait dengan pengendalian korupsi. Detail
mengenai diskusi dengan Garuda Indonesia dapat dilihat
pada Lampiran 11.
Ringkasan mengenai fraud control atau pengendali terjadinya
korupsi di beberapa entitas diatas dapat dilihat dalam Lampiran 11.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 68

BAB 4
PEMERIKSAAN ATAS KORUPSI
Peran
Kegiatan
Pemeriksaan
dalam
Pencegahan
Korupsi

Sesuai dengan UUD 1945 pasal 23 huruf E, BPK memiliki


kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Melalui ketiga jenis pemeriksaan
yang dimiliki oleh BPK, sesuai dengan mandat dari UU No. 15/2004,
BPK memiliki peranan yang sangat besar dalam upaya-upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Suatu organisasi yang baik, terutama dalam hal pemberantasan
korupsi, harus memiliki suatu alat/program dalam pengendalian
korupsi di lingkungan organisasinya. BPK melalui kewenangannya
dapat

melakukan

pemeriksaan

untuk

memastikan

kualitas

program/sistem kendali korupsi di lingkungan entitas pemerintah.


Jenis pemeriksaan kinerja, merupakan jenis audit yang paling sesuai
untuk memenuhi tujuan ini. Hasil pemeriksaan kinerja atas program
pengendalian korupsi dari pemerintah ini bertujuan untuk:
a.mengidentifikasi keberadaan program pengendalian korupsi

di tiap-tiap auditee;
b.memperoleh temuan pemeriksaan dan memberi simpulan

pemeriksaan serta rekomendasi agar entitas dan semua


lembaga terkait melakukan perbaikan atas mekanisme
pengendalian korupsi yang telah mereka miliki; dan
c. memberikan rekomendasi pada pemerintah agar melakukan

perbaikan atas mekanisme pemberantasan korupsi dengan


tujuan supaya mekanisme pencegahan dan pemberantasan
korupsi lebih terstruktur. Pemerintah juga dituntut agar
dapat melakukan perbaikan koordinasi antar lembaga
terkait usaha pemberantasan korupsi.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 69

Kerangka Sistem
Korupsi
Kendali
(SKK)

Kegiatan kajian Litbang atas Sistem Kendali Korupsi yang


dirancang oleh tenaga ahli BPK RI Bpk. Khairiansyah Salman dan
Fraud Control System (FCP) dari ANAO menghasilkan rancangan SKK
versi Litbang yang merupakan kombinasi dari kedua model
tersebut. Gambar 4.1 merupakan bagan SKK hasil adopsi dari FCP
ANAO dan telah disesuaian oleh Litbang, khususnya pada elemen
Monitoring. Elemen monitoring menurut versi FCP ANAO
merupakan tahapan yang bersamaan dengan elemen pelaporan
dan evaluasi. Litbang mengadopsi elemen monitoring dengan
meletakkan pada setiap tahap proses SKK, yang menunjukkan
bahwa tahap monitoring dan evaluasi dilakukan tidak pada akhir
proses kegiatan, namun dilakukan pada setiap tahapan kegiatan
SKK. Keterangan lebih rinci pada sub bab berikutnya.
KEPEMIMPINAN
n & Peratu
jaka
ran
Kebi
Eval
&
g
n
uasi
itori
Mon

pora
Pela

sian
etek

Strategi
Sistem
Pengendalian
Kendali
Fraud
Korupsi

Pend

Pencegahan

Respons

Tatakelola
BUDAYA

Gambar 4.1
Sistem Kendali Korupsi versi Litbang PK2

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 70

a. Sistem Kendali Korupsi


Pengendalian

korupsi

membutuhkan

penerapan

beberapa elemen strategis utama yang akan memberikan


kontribusi terhadap kerangka pengendalian korupsi yang
efektif. Strategi ini saling terkait antara satu dengan lain dan
saling memperkuat. Lebih jauh, strategi ini menyediakan
mekanisme reviu pada setiap tahapan kegiatan. Strategi
tersebut adalah pencegahan korupsi, pendeteksian korupsi,
respons, dan pelaporan korupsi.
Satker di BPK memiliki karakteristik yang berbeda-beda
sehingga

membutuhkan

penyesuaian

di

dalam

mengembangkan elemen-elemen atas sistem kendali


korupsi sesuai dengan tupoksi dan risikonya masing-masing.
Kunci dalam mengembangkan elemen-elemen tersebut
adalah memperhatikan keseimbangan antara risiko korupsi
dan pengendalian korupsi untuk mengelola risiko korupsi
sambil

meningkatkan

dan

memaksimalkan

kinerja

operasional.
b. Pendekatan Sistematis untuk Pengendalian Korupsi, terdiri
dari Empat Elemen Kunci:
1) Pencegahan
Pencegahan adalah metode yang paling efisien
dalam pengendalian korupsi. Beberapa hal yang perlu
disiapkan oleh BPK dalam mengaplikasikan SKK ini
antara lain adalah:
a) kode etik;
b) mekanisme konflik kepentingan;
c) training untuk meningkatkan kesadaran korupsi bagi
pegawai BPK;

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 71

d) manajemen risiko korupsi merupakan suatu kegiatan


yang penting dalam pengendalian korupsi, sebagai
panduan untuk pengembangan dari sebuah rencana
pengendalian korupsi yang efektif;
e) penerapan INTOSAINT;
f) mengomunikasikan korupsi yang terdeteksi dan
respons terhadap korupsi;
g) SOP

yang

dikembangkan

BPK

harus

mempertimbangkan potensi-potensi risiko korupsi;


h) SPI

BPK

yang

dikembangkan

BPK

harus

mempertimbangkan potensi-potensi risiko korupsi.


2) Pendeteksian
Tidak ada sistem yang dapat memberikan jaminan
secara mutlak untuk mencegah terjadinya

korupsi,

sehingga BPK harus mengimplementasikan sistem yang


bertujuan

untuk

mendeteksi

korupsi.

Kegiatan

pendeteksian dapat dilakukan dengan dua pendekatan


yaitu:
a) Pengukuran deteksi secara pasif adalah suatu
aktivitas pengendalian korupsi yang tidak perlu
melibatkan peran manajemen secara langsung,
tetapi korupsi yang terjadi dapat terdeteksi melalui
aktivitas rutin operasi organisasi, misalnya:
i. SPI yang efektif,
ii. menyediakan media pengaduan baik untuk
internal maupun eksternal, dan
iii. perlindungan whistleblower yang efektif.
b) Deteksi korupsi yang aktif adalah pengendalian atau
aktivitas yang membutuhkan keterlibatan dari

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 72

manajemen, seperti:
i. aktivitas monitoring dan reviu yang dilakukan
secara kontinu oleh pimpinan satker BPK
maupun secara periodik oleh Itama;
ii. penggunaan tool dan teknik analisis (reviu
transaksi masa lalu) dalam aktivitas keuangan;
iii. membangun suatu sistem (early warning) yang
dapat mendeteksi korupsi;
3) Respons
Respons merupakan elemen kunci dari SKK. BPK
perlu mengembangkan strategi untuk melakukan respon
terhadap terjadinya korupsi di lingkungan BPK. Dengan
demikian dapat memberikan jaminan yang memadai
kepada stakeholder bahwa kejadian korupsi di BPK akan
ditangani sesuai dengan pedoman/peraturan yang
berlaku di BPK. Bentuk-bentuk respon BPK atas
terjadinya suatu kasus korupsi harus dinyatakan dalam
bentuk suatu peraturan legal misalnya:
a) prosedur operasional standar atas tindakan yang
harus dilakukan oleh pimpinan satker atau Itama
apabila terjadi kasus korupsi;
b) juklak/juknis pemeriksaan investigatif atas terjadinya
suatu kasus korupsi (misalnya: SOP Pemberkasan);
c) Tata kerja MKKE (majelis kehormatan kode etik).
4) Pelaporan
a) Pelaporan atas hasil pengendalian korupsi akan
menghasilkan efek pencegahan sehingga dapat
membantu entitas dalam mengurangi dampak
korupsi di dalam aktivitasnya.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 73

b) Hasil pemeriksaan investigasi korupsi internal,


sepanjang sesuai dengan peraturan perundangundangan dan apabila dipandang perlu, BPK dapat
mengomunikasikan hasilnya kepada pegawai.
c. Pemantauan dan Evaluasi
1) Sistem kendali korupsi harus dimonitor dan dievaluasi
secara terus menerus serta direvisi apabila diperlukan,
untuk memastikan bahwa tujuan penerapan SKK dapat
dipenuhi secara efektif.
2) Pengawasan dan evaluasi yang efektif juga dapat
membantu pimpinan satker untuk mengidentifikasi cara
lain yang lebih efisien dalam pemberantasan suatu risiko
korupsi.
3) Penilaian risiko korupsi perlu diperbarui secara regular
atau jika ada perubahan yang signifikan terjadi.
4) Korupsi yang teridentifikasi kemudian dianalisis untuk
mengetahui penyebabnya.
d. Kebijakan, Peraturan dan Tata kelola
1) Kebijakan dan peraturan
Upaya-upaya pengendalian korupsi atau SKK di BPK
harus didukung dengan kebijakan dan peraturan yang
dilengkapi pula dengan panduan pelaksanaannya.
Ditambahkan

dengan

peraturan

perundang-

undangan seputar korupsi (sort by source).


a) Kebijakan RAN PK.
b) Percepatan pemberantasan korupsi (see Inpres).
c) KUHP.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 74

d) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undangundang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
e) UU pencucian uang
f) UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Keuangan Negara.
g) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK.
h) UU Pidana Pajak.
i) Peraturan BPK tentang FCS
2) Tata kelola
a) Itama sebagai internal audit BPK memiliki peran
untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara
berkelanjutan atas pelaksanaan SKK di seluruh satker
BPK.
b) Pada dasarnya tanggung jawab untuk mencegah
terjadinya kecurangan terletak pada pimpinan
seluruh satker BPK.
c) Tanggung jawab dari pimpinan satker BPK dalam
mencegah dan mendeteksi adanya kecurangan harus
terlihat pada:
i. Level Strategis, dituangkan dalam Renstra BPK,
peraturan, dan panduan yang memuat upayaupaya BPK untuk pengendalian korupsi.
ii. Level operasional, dituangkan dalam uraian tugas
dan tanggung jawab masing-masing pegawai
maupun prosedur operasional standar.
d) Masing-masing

pimpinan

satker

BPK

harus

melakukan penilaian atas risiko yang melekat pada


satkernya. Penilaian atas risiko tersebut dilakukan

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 75

secara

terus

menerus

untuk

mengantisipasi

perkembangan risiko korupsi yang mungkin timbul.


Hasil penilaian atas risiko ini berupa identifikasi atas
risiko korupsi yang dihadapi serta langkah-langkah
mitigasinya.

e. Kepemimpinan dan Budaya


1) Kepemimpinan
Implementasi

upaya-upaya pengendalian korupsi

sangat dipengaruhi oleh komitmen pimpinan BPK


terhadap pengendalian korupsi. Gaya kepemimpinan
yang kuat merupakan bagian yang terintegrasi dengan
sistem kendali korupsi yang efektif. Kurangnya komitmen
pimpinan dalam mendukung pengendalian korupsi akan
mengurangi kemauan staf untuk melaporkan terjadinya
korupsi di seluruh satker-satker BPK. Pimpinan BPK harus
terus

melakukan

pemutakhiran

atas

upaya-upaya

pengendalian korupsi seiring dengan berkembangnya


risiko dan praktek-praktek korupsi.
Komitmen pimpinan BPK untuk mencegah korupsi
harus dinyatakan secara formal tertulis untuk terus
mengingatkan dan mendorong upaya-upaya pencegahan
korupsi. Komitmen pencegahan korupsi tersebut dapat
dituangkan dalam pedoman tentang organisasi dan tata
kerja pelaksana BPK.
2) Budaya
Budaya yang beretika merupakan elemen kunci dari
tatakelola yang baik dan berperan penting dalam

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 76

mencegah korupsi dan membantu untuk mendeteksi


terjadinya korupsi. Dalam organisasi sektor publik,
budaya yang beretika ini perlu untuk dilegalkan dalam
bentuk kode etik, yang mengikat seluruh personil dalam
organisasi tersebut. Budaya yang beretika di BPK harus
dipetakan arahnya sehingga tercipta budaya yang sehat
dan bebas korupsi. BPK telah memiliki kode etik
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan BPK No.
2/2007.

Selanjutnya

diperlukan

strategi

untuk

mengintensifkan internalisasi kode etik BPK di seluruh


bisnis prosesnya. Salah satu bentuk strategi yang bisa
dilakukan adalah pernyataan tertulis tentang pakta
integritas yang ditandatangani oleh seluruh pegawai BPK.

Pelaksanaan
Pemeriksaan atas
Fraud Control di
ANAO serta
Rencana BPK
untuk Melakukan
Studi Banding

a. Latar Belakang
Pemerintah memiliki komitmen untuk melakukan perbaikan di
segala bidang untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik
(Good Corporate Governance). Hal ini tercermin dalam RPJMN
2010, dimana prioritas pertama yang menjadi target pemerintah
adalah prioritas reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintah.
Salah satu faktor kunci yang berpengaruh pada kesuksesan
reformasi birokrasi yang secara khusus dibahas dalam kajian ini
adalah tren penurunan fraud (korupsi) di lingkungan pemerintahan.
BPK telah melakukan diskusi dengan BAKN dan aparat penegak
hukum (APH) d.h.i Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan
Korupsi, PPATK, dan POLRI untuk memperoleh informasi penting
terkait dengan aktifitas pengendalian korupsi. Selanjutnya, BPK
menilai perlu untuk melakukan studi banding (benchmarking)

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 77

mengenai pelaksanaan pengendalian korupsi di negara lain.


Sehubungan dengan dilanjutkannya kerjasama antara BPK RI
dengan ANAO melalui program Government Partnership Fund (GPF)
2, BPK bermaksud menggunakan dana kerjasama tersebut untuk
kegiatan studi banding mengenai pengembangan FCP di Australia.
Pertimbangan lain dari rencana tersebut adalah bahwa
Australia merupakan salah satu negara yang telah mengembangkan
dan melaksanakan fraud control activity pada entitas-entitas sektor
publiknya. Pemerintah Australia merilis dokumen kebijakan mereka
untuk pengendalian fraud yang pertama kali pada tahun 1987.
Sebagai hasil tinjauan yang dilakukan pada tahun 1999, kemudian
Minister for Justice and Customs menerbitkan The Commonwealth
Fraud Control Guidelines pada tahun 2002 yang berisi mengenai
prinsip dasar fraud control serta menyediakan standar minimum
sebagai

panduan

instansi/lembaga

melaksanakan

kewajiban

mereka untuk melaksanakan pemberantasan korupsi. Panduan ini


dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman.
Panduan tersebut harus diterapkan oleh: (1) semua lembaga
yang tercakup dalam Financial Management and Accountability
(FMA) Act; dan (2) Lembaga-lembaga yang tercakup dalam
Commonwealth Authorities and Companies (CAC) Act 1997 yang
menerima paling tidak 50% pendanaan bagi kebutuhan mereka dari
Commenwealth atau dari suatu lembaga Commonwealth. Untuk
penerapan The Commonwealth Fraud Control Guidelines tersebut
dan sebagai tambahan informasi maka terdapat panduan yang lain
yaitu Fraud Control in Australian Government yang diterbitkan
oleh ANAO pada tahun 2004. ANAO dan Attorney Generals
Department adalah institusi yang berperan dalam pemberantasan
fraud/ korupsi di Australia.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 78

ANAO telah mengembangkan metode pemeriksaan fraud


control serta berpengalaman dalam melakukan pemeriksaan fraud
control activity pada entitas sektor publik di Australia. Kejaksaan
Agung (AGD) bertanggung jawab untuk memberikan saran kepada
pemerintah

tentang

pengendalian

fraud

dalam

lingkup

persemakmuran. Termasuk di dalamnya adalah mengembangkan


dan meninjau kebijakan umum pemerintah sehubungan dengan
pengendalian

korupsi.

AGD

juga

bertanggungjawab

untuk

memberikan nasehat kepada lembaga di lingkup persemakmuran


tentang isi dan penerapan kebijakan yang terkait fraud/ korupsi.
ANAO bertugas untuk melakukan pemeriksaan kinerja, yaitu
mengevaluasi efisiensi dan efektivitas dari entitas sektor publik di
lingkungan persemakmuran. Pemeriksaan kinerja digunakan untuk
memeriksa

fraud

control

di

Australia.

ANAO

melakukan

pemeriksaan fraud control dengan menggunakan metode survei.


ANAO meminta kepada lembaga-lembaga yang termasuk dalam
FMA Act dan CAC Act untuk mengisi survei. Selanjutnya lembagalembaga tersebut harus memberikan bukti yang mendukung klaim
yang mereka isikan dalam survei. Data relevan yang sudah
diserahkan ke Australian Institute of Criminology (AIC) oleh
lembaga-lembaga tersebut juga menjadi bahan pemeriksaan ANAO.
Institusi pemerintah Australia yang dipilih sebagai tujuan studi
banding adalah ANAO dan AGD. Kegiatan yang akan dilakukan
adalah studi banding tentang pelaksanaan fraud control dan
pemeriksaan kinerja atas fraud control yang telah dikembangkan
oleh Australia.
b.Tujuan Studi Banding:
Tujuan utama dari studi banding adalah untuk memperoleh
gambaran dan pemahaman mengenai pelaksanaan fraud control

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 79

activity di entitas sektor publik dan pemeriksaan kinerja atas fraud


control plan pada entitas sektor publik di Australia.
Hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan
pengembangan kegiatan pengendalian korupsi di Indonesia dan
pelaksanaan pemeriksaan kinerja atas kegiatan pengendalian
korupsi.

c. Kegiatan
1)Melakukan studi banding di AGD untuk mempelajari
pendekatan-pendekatan

yang

digunakan

untuk

pengendalian fraud/ korupsi


2)Mempelajari metodologi pemeriksaan kinerja atas fraud
control plan pada entitas sektor publik di Australia.

d.Peserta Studi Banding


Studi banding ini akan mengikutsertakan institusi yang
berperan penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
yaitu BPK, Kejaksaan, KPK, dan BAKN. Kegiatan ini akan
melibatkan dua orang perwakilan dari BPK, KPK, Kejaksaan dan
satu orang perwakilan dari BAKN
e. Biaya dan Rencana Kegiatan
Biaya atas pelaksanaan studi banding ini adalah sepenuhnya
dibiayai dari program Government Partnership Fund II.
f. Hasil Studi Banding:
Laporan studi banding akan berisi mengenai:
1) pemahaman

atas

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

organisasi,

kebijakan,

standar

hal. 80

operasional dan prosedur, serta manual/ guidelines


kegiatan fraud control activity di Australia.
2) Pemahaman atas proses pelaksanaan pemeriksaan
fraud control plan dan kemungkinan penerapannya di
BPK.

g. Sistem kendali korupsi


Pengendalian korupsi membutuhkan penerapan beberapa
elemen strategis utama yang akan memberikan kontribusi
terhadap kerangka pengendalian korupsi yang efektif. Strategi ini
saling terkait antara satu dengan yang lain dan saling
memperkuat. Lebih jauh, strategi ini menyediakan mekanisme
reviu pada setiap tahapan kegiatan. Strategi tersebut adalah
pencegahan korupsi, pendeteksian korupsi, respons, dan
pelaporan korupsi.
Satker di BPK memiliki karakteristik yang berbeda-beda
sehingga membutuhkan penyesuaian didalam mengembangkan
elemen-elemen atas sistem kendali korupsi sesuai dengan
tupoksi

dan

risikonya

mengembangkan

masing-masing.

elemen-elemen

Kunci

tersebut

dalam
adalah

memperhatikan keseimbangan antara risiko korupsi dan


pengendalian korupsi untuk mengelola risiko korupsi sambil
meningkatkan dan memaksimalkan kinerja operasional.
h. Pendekatan sistematis untuk pengendalian korupsi, terdiri dari
empat elemen kunci:
1) Pencegahan
Pencegahan adalah metode yang paling efisien dalam
pengendalian korupsi.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 81

Beberapa hal yang perlu disiapkan oleh BPK dalam


mengaplikasikan SKK ini antara lain adalah.
a) Kode etik;
b) Mekanisme konflik kepentingan;
c) Training untuk meningkatkan kesadaran korupsi
bagi pegawai BPK;
d) Manajemen

risiko

korupsi

merupakan

suatu

kegiatan yang penting dalam pengendalian korupsi,


sebagai panduan untuk pengembangan dari sebuah
rencana pengendalian korupsi yang efektif;
e) Penerapan INTOSAINT;
f) Mengkomunikasikan korupsi yang terdeteksi dan respons
terhadap korupsi;
g) SOP yang dikembangkan BPK harus mempertimbangkan
potensi-potensi risiko korupsi;
h) SPI BPK yang dikembangkan BPK harus mempertimbangkan
potensi-potensi risiko korupsi.
2) Pendeteksian
Tidak ada sistem yang dapat memberikan jaminan
secara mutlak untuk mencegah terjadinya korupsi, sehingga
BPK harus mengimplementasikan sistem yang bertujuan
untuk mendeteksi korupsi. Kegiatan pendeteksian dapat
dilakukan dengan dua pendekatan yaitu:
a) Pengukuran deteksi secara pasif adalah suatu
aktivitas pengendalian korupsi yang tidak perlu
melibatkan peran manajemen secara langsung,
tetapi korupsi yang terjadi dapat terdeteksi melalui
aktivitas rutin operasi organisasi, misalnya:
i.

SPI yang efektif,

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 82

ii.

Menyediakan media pengaduan baik untuk


internal maupun eksternal, dan

iii.

perlindungan whistleblower yang efektif.

b) Deteksi korupsi yang aktif adalah pengendalian atau


aktivitas yang membutuhkan keterlibatan dari
manajemen, seperti.
i.

Aktivitas

monitoring

dan

reviu

yang

dilakukan secara kontinu oleh pimpinan


satker BPK maupun secara periodik oleh
Itama;
ii.

Penggunaan tool dan teknik analisis (reviu


transaksi

masa

lalu)

dalam

aktivitas

keuangan;
iii.

Membangun suatu sistem (early warning)


yang dapat mendeteksi korupsi.

3) Respons
Respons merupakan elemen kunci dari SKK. BPK
perlu mengembangkan strategi untuk melakukan respon
terhadap terjadinya korupsi di lingkungan BPK. Dengan
demikian dapat memberikan jaminan yang memadai
kepada stakeholder bahwa kejadian korupsi di BPK akan
ditangani sesuai dengan pedoman/peraturan yang
berlaku di BPK. Bentuk-bentuk respon BPK atas
terjadinya suatu kasus korupsi harus dinyatakan dalam
bentuk suatu peraturan legal misalnya:
a. prosedur operasional standar atas tindakan yang

harus dilakukan oleh pimpinan satker atau Itama


apabila terjadi kasus korupsi;

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 83

b. juklak/juknis

pemeriksaan

investigatif

atas

terjadinya suatu kasus korupsi (misalnya: SOP


Pemberkasan).
c. Tata kerja MKKE (majelis kehormatan kode etik).

4) Pelaporan
Pelaporan atas hasil pengendalian korupsi akan
menghasilkan

efek

pencegahan

sehingga

dapat

membantu entitas di dalam mengurangi dampak


korupsi di dalam aktivitasnya.
Hasil pemeriksaan investigasi korupsi internal,
sepanjang

sesuai

dengan

peraturan

perundang-

undangan dan apabila dipandang perlu, BPK dapat


mengomunikasikan hasilnya kepada pegawai.
i. Pemantauan dan Evaluasi
Sistem kendali korupsi harus dimonitor dan dievaluasi secara
terus-menerus serta direvisi apabila diperlukan, untuk memastikan
bahwa tujuan penerapan SKK dapat dipenuhi secara efektif.
Pengawasan dan evaluasi yang efektif juga dapat membantu
pimpinan satker untuk mengidentifikasi cara lain yang lebih efisien
dalam pemberantasan suatu risiko korupsi.
Penilaian risiko korupsi perlu diperbarui secara regular atau jika
ada perubahan yang signifikan terjadi.
Korupsi

yang

teridentifikasi

kemudian

dianalisis

untuk

mengetahui penyebabnya.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 84

j. Kebijakan, Peraturan, dan Tata kelola


1) Kebijakan dan peraturan
Upaya-upaya pengendalian korupsi atau SKK di BPK harus
didukung dengan kebijakan dan peraturan yang dilengkapi pula
dengan panduan pelaksanaannya.
Ditambahkan dengan peraturan perundang-undangan
seputar korupsi (sort by source) sebagai berikut.
a) Kebijakan RAN PK;
b) Percepatan pemberantasan korupsi (see Inpres);
c) KUHP;
d) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo.
Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.;
e) UU pencucian uang;
f) UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Keuangan Negara;
g) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK;
h) UU Pidana pajak;
i) Peraturan BPK tentang FCS.

2) Tata kelola
Itama sebagai internal audit BPK memiliki peran untuk
melakukan pengawasan dan evaluasi secara berkelanjutan atas
pelaksanaan SKK di seluruh satker BPK.
Pada dasarnya tanggung jawab untuk mencegah terjadinya
kecurangan terletak pada pimpinan seluruh satker BPK.
Tanggung jawab dari pimpinan satker BPK dalam

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 85

mencegah dan mendeteksi adanya kecurangan harus terlihat


pada.
a) Level Strategis, dituangkan dalam Renstra BPK,
peraturan, dan panduan yang memuat upayaupaya BPK untuk pengendalian korupsi.
b) Level operasional, dituangkan dalam uraian tugas
dan tanggung jawab masing-masing pegawai
maupun prosedur operasional standar.
Masing-masing pimpinan satker BPK harus melakukan
penilaian atas risiko yang melekat pada satkernya. Penilaian
atas risiko tersebut dilakukan secara terus menerus untuk
mengantisipasi perkembangan risiko korupsi yang mungkin
timbul. Hasil penilaian atas risiko ini berupa identifikasi atas
risiko korupsi yang dihadapi serta langkah-langkah mitigasinya.

k. Kepemimpinan dan Budaya


1) Kepemimpinan
Implementasi upaya-upaya pengendalian korupsi sangat
dipengaruhi

oleh

komitmen

pimpinan

BPK

terhadap

pengendalian korupsi. Gaya kepemimpinan yang kuat


merupakan bagian yang terintegrasi dengan sistem kendali
korupsi yang efektif. Kurangnya komitmen pimpinan dalam
mendukung pengendalian korupsi akan mengurangi kemauan
staf untuk melaporkan terjadinya korupsi di seluruh satkersatker

BPK.

Pimpinan

BPK

harus

terus

melakukan

pemutakhiran atas upaya-upaya pengendalian korupsi seiring


dengan berkembangnya risiko dan praktek-praktek korupsi.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 86

Komitmen pimpinan BPK untuk mencegah korupsi harus


dinyatakan secara formal tertulis untuk terus mengingatkan
dan mendorong upaya-upaya pencegahan korupsi. Komitmen
pencegahan korupsi tersebut dapat dituangkan dalam
pedoman tentang organisasi dan tata kerja pelaksana BPK.
2) Budaya
Budaya yang beretika merupakan elemen kunci dari
tatakelola yang baik dan berperan penting dalam mencegah
korupsi dan membantu untuk mendeteksi terjadinya korupsi.
Dalam organisasi sektor publik, budaya yang beretika ini perlu
untuk dilegalkan dalam bentuk kode etik, yang mengikat
seluruh personil dalam organisasi tersebut. Budaya yang
beretika di BPK harus dipetakan arahnya sehingga tercipta
budaya yang sehat dan bebas korupsi. BPK telah memiliki
kode etik sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan BPK No.
2/2007.

Selanjutnya

diperlukan

strategi

untuk

mengintensifkan internalisasi kode etik BPK di seluruh bisnis


prosesnya. Salah satu bentuk strategi yang bisa dilakukan
adalah pernyataan tertulis tentang pakta integritas yang
ditandatangani oleh seluruh pegawai BPK.

Hal-hal yang
dapat Diadopsi
BPK terkait
Pemeriksaan
Kinerja atas Fraud
Control di ANAO

Setelah melakukan kegiatan studi banding pengembangan fraud


control dan pemeriksaan kinerja atas fraud control di ANAO,
diharapkan BPK dapat memperoleh manfaat dan informasi sebagai
berikut.
1) Metode penetapan langkah-langkah P2 pemeriksaan kinerja
atas SKK;

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 87

2) Proses penetapan kriteria dan penentuan area kunci dalam


pemeriksaan kinerja atas SKK di entitas;
3) Metode analisis temuan pemeriksaan sampai penyusunan
kesimpulan;
4) Format Laporan hasil Pemeriksaan Kinerja ANAO atas SKK
entitas;

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 88

BAB 5
PENUTUP
Peran Penting
BPK dalam
Pencegahan dan
Pemberantasan
Korupsi

Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan


pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara merupakan payung
hukum bagi BPK dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai
lembaga pemeriksa pengelolaan dan lembaga yang bertanggung jawab
terhadapa keuangan negara. Kegiatan pemeriksaan tersebut dapat
dilakukan melalui tiga jenis pemeriksaan BPK yaitu Pemeriksaan
Keuangan, Kinerja, dan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), sesuai dengan
dasar dan tujuan pemeriksaan yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan kegiatan kajian pemeriksaan kinerja ini, BPK
memiliki peran dan posisi yang sangat krusial dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi melalui pemeriksaan kinerja atas keberadaan
dan kualitas alat kendali korupsi yang terdapat di entitas. Diharapkan
melalui rekomendasi dalam laporan hasil Pemeriksaan Kinerja atas
pengendalian korupsi pada entitas ini, BPK dapat meningkatkan
kemampuan entitas dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di
lingkungannya.

Rencana dan
Persiapan BPK
untuk
Melaksanakan
Pemeriksaan
Kinerja atas SKK

Kajian BPK atas Sistem Kendali Korupsi

(SKK) melalui studi

literatur dan diskusi dengan entitas pemerintah termasuk APH telah


menghasilkan informasi dan data mengenai konsep SKK yang selama ini
ada. Pemahaman antara fraud dan korupsi yang saat ini masih belum
jelas baik di lingkungan BPK dan entitas diharapkan dapat segera diatasi
setelah kajian ini terlaksana, melalui kegiatan tindak lanjut atas kajian
ini.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 89

Selanjutnya, Sub Direktorat Litbang Pemeriksaan Keuangan dan


Kinerja BPK RI akan merumuskan tindak lanjut perumusan konsep SKK
yang

ideal sebagai bahan

dasar

persiapan

dan perencanaan

pemeriksaan kinerja atas SKK di entitas. Keberhasilan kegiatan pilot


project ini sangat tergantung pada hasil rumusan dan penyusunan
konsep pemeriksaan kinerja atas SKK dan juga keberhasilan diseminasi
pemahaman mengenai SKK kepada para pemeriksa BPK.
Sebagai usaha memperkuat pemahaman atas SKK sekaligus
perencanaan pilot project yang matang, BPK akan memperkuat
pemahaman mengenai SKK melalui studi banding tentang Fraud Control
Plan (FCP) ke ANAO dan AGD. BPK menilai bahwa kegiatan studi banding
ke ANAO dan AGD ini sangat penting dan dapat memberi manfaat yang
besar bagi BPK. Hal tersebut disebabkan oleh keberhasilan program FCP
di Australia sehingga BPK dapat memanfaatkan program tersebut
sebagai kegiatan benchmark FCP bagi BPK.
Kegiatan pemeriksaan kinerja atas SKK diharapkan dapat memberi
manfaat besar baik bagi BPK maupun entitas yang diperiksa. Melalui
rekomendasi pemeriksaan kinerja atas SKK, diharapkan manajemen
entitas akan semakin menyadari bahwa tanggung jawab pengembangan
alat pengendalian korupsi adalah terletak pada mereka. Lebih lanjut,
manajemen entitas akan menyadari bahwa dengan memiliki alat
pengendalian korupsi yang baik, entitas akan terhindar dari kegiatankegiatan yang merugikan dan melawan hukum. Hal tersebut sangat
penting karena semakin kuat alat pencegahan korupsi yang dimiliki
entitas, semakin kecil kemungkinan entitas terlibat dalam salah
pengelolaan Keuangan Negara atau penyalahgunaan Keuangan Negara
serta pelanggaran terhadap peraturan.

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 90

REFERENSI

Commonwealth Fraud Control Guidelines 2002 Issued by The Minister for Justice and Customs as
Fraud Control Guidelines under Regulation 19 of the

Financial Management and

Accountability Regulations 1997.


Vona Leonard W., 2008, Fraud Risk Assessment: Building a Fraud Audit Program. New Jersey.
Singleton, Tommie and Singleton, Aaron., 2006, Fraud Auditing and Forensic Accounting, 3rd
Edition, New Jersey.
Herbert, Leo., 1979, Auditing the Performance of Management,. Wadsworth Inc., California.
International Monetary Fund (IMF), 2001, Government Finance Statistics (GFS) Manual 2001,
http://www.imf.org/external/pubs/ft/gfs/manual /pdf/all.pdf , diakses 29 Maret 2010.
Jack, Diamond, 2005, Establishing a Performance Management Framework for Government,
Fiscal Affairs Department IMF. P.5.
http://www.lsi.or.id/riset/398/Rilis%20LSI%207%20November%202010-Korupsi

Kajian awal atas Sistem Kendali Korupsi

hal. 91

LAMPIRAN

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.





Tindakan
0HODZDQKXNXP
XQWXNPHPSHUND\D
GLULVHQGLUL GDSDW
PHUXJLNDQQHJDUD

Klasifikasi
.HUXJLDQ
QHJDUD

Pasal
3V

0HQ\DODKJXQDNDQ
NHZHQDQJDQXQWXN
PHQJXQWXQJNDQGLUL
VHQGLUL GDSDW
PHUXJLNDQNHXDQJDQ
QHJDUD

3V

0HQ\XDSSHJDZDL
QHJHUL

3VD\DW
 KXUXID

6XDSPHQ\XDS

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Unsur
 6HWLDSRUDQJ
 0HPSHUND\DGLUL
VHQGLULRUDQJODLQ
DWDXVXDWX
NRUSRUDVL
 'HQJDQFDUD
PHODZDQKXNXP
 'DSDWPHUXJLNDQ
NHXDQJDQQHJDUD
GDQ
SHUHNRQRPLDQ
QHJDUD
 6HWLDSRUDQJ
 'HQJDQWXMXDQ
PHQJWXQJNDQGLUL
VHQGLULDWDXRUDQJ
ODLQDWDXVXDWX
NRUSRUDVL
 0HQ\DODKJXQDNDQ
NHZHQDQJDQ
NHVHPSDWDQDWDX
VDUDQD
 <DQJDGDSDGDQ\D
NDUHQDMDEDWDQ
DWDXNHGXGXNDQ
 'DSDWPHUXJLNDQ
NHXDQJDQQHJDUD
DWDX
SHUHNRQRPLDQ
QHJDUD
 6HWLDSRUDQJ
 0HPEHULVHVXDWX
DWDXPHQMDQMLNDQ
VHVXDWX
 .HSDGDSHJDZDL
QHJHUL
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD
 'HQJDQPDNVXG
VXSD\DEHUEXDW

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Tindakan

Pasal

3VD\DW
 KXUXIE

Litbang Pemeriksaan Kinerja




0HPEHULKDGLDK
NHSDGDSHJDZDL
QHJHULNDUHQD
MDEDWDQQ\D

3V

3HJDZDLQHJHUL
PHQHULPDVXDS


3VD\DW
 

Unsur
DWDXWLGDNEHUEXDW
VHVXDWXGDODP
MDEDWDQQ\D
VHKLQJJD
EHUWHQWDQJDQ
GHQJDQ
NHZDMLEDQQ\D
 6HWLDSRUDQJ
 PHPEHULVHVXDWX
 NHSDGDSHJDZDL
QHJHULDWDX
SHQ\HOHQJJDUD
 NDUHQDDWDX
EHUKXEXQJDQ
GHQJDQVHVXDWX
\DQJEHUWHQWDQJDQ
GHQJDQ
NHZDMLEDQ
GLODNXNDQDWDX
WLGDNGLODNXNDQ
GDODPMDEDWDQQ\D
 6HWLDSRUDQJ
 PHPEHULKDGLDK
DWDXMDQML
 NHSDGDSHJDZDL
QHJHUL
 GHQJDQPHQJLQJDW
NHNXDVDDQDWDX
ZHZHQDQJ\DQJ
PHOHNDWSDGD
MDEDWDQDWDX
NHGXGXNDQQ\D
DWDXROHKSHPEHUL
KDGLDKDWDXMDQML
GLDQJJDSPHOHNDW
SDGDMDEDWDQDWDX
NHGXGXNDQ
WHUVHEXW
 SHJDZDLQHJHUL
DWDX
SHQ\HOHQJJDUD

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Tindakan

Pasal

3VKXUXI
D

Litbang Pemeriksaan Kinerja




3VKXUXI

Unsur
QHJDUD
 0HQHULPD
SHPEHULDQDWDX
MDQML
 6HEDJDLPDQD
GLPDNVXGGDODP
SVD\DWKXUXI
DGDQE
 SHJDZDLQHJHUL
DWDX
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD
 PHQHULPDKDGLDK
DWDXMDQML
 GLNHWDKXLGLGXJD
EDKZDKDGLDK
DWDXMDQMLWHUVHEXW
GLEHULNDQXQWXN
PHQJJHUDNNDQ
DJDUPHODNXNDQ
DWDXWLGDN
PHODNXNDQ
VHVXDWXGDODP
MDEDWDQQ\D\DQJ
EHUWHQWDQJDQ
GHQJDQ
NHZDMLEDQQ\D
 SDWXWGLGXJD
EDKZDKDGLDK
DWDXMDQMLWHUVHEXW
GLEHULNDQXQWXN
PHQJJHUDNNDQ
DJDUPHODNXNDQ
DWDXWLGDN
PHODNXNDQ
VHVXDWXGDODP
MDEDWDQQ\D\DQJ
EHUWHQWDQJDQ
GHQJDQ
NHZDMLEDQQ\D
 SHJDZDLQHJHUL

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Tindakan

Pasal
E

3HJDZDLQHJHUL\DQJ
PHQHULPDKDGLDK
\DQJEHUKXEXQJDQ
GHQJDQMDEDWDQQ\D

3V

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Unsur
DWDX
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD
 PHQHULPDKDGLDK
 GLNHWDKXLGLGXJD
EDKZDKDGLDK
WHUVHEXWGLEHULNDQ
VHEDJDLDNLEDW
DWDXGLVHEDENDQ
NDUHQDWHODK
PHODNXNDQDWDX
WLGDNPHODNXNDQ
VHVXDWXGDODP
MDEDWDQQ\D\DQJ
EHUWHQWDQJDQ
GHQJDQ
NHZDMLEDQQ\D
 SDWXWGLGXJD
EDKZDKDGLDK
WHUVHEXWGLEHULNDQ
VHEDJDLDNLEDW
DWDXGLVHEDENDQ
NDUHQDWHODK
PHODNXNDQDWDX
WLGDNPHODNXNDQ
VHVXDWXGDODP
MDEDWDQQ\D\DQJ
EHUWHQWDQJDQ
GHQJDQ
NHZDMLEDQQ\D
 SHJDZDLQHJHUL
DWDX
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD
 PHQHULPDKDGLDK
DWDXMDQML
 GLNHWDKXLEDKZD
KDGLDKDWDXMDQML
WHUVHEXWGLEHULNDQ
NDUHQDNHNXDVDDQ
DWDXNHZHQDQJDQ

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Tindakan

Pasal

0HQ\XDSKDNLP

3VD\DW
 KXUXID

0HQ\XDSDGYRNDW

3VD\DW
 KXUXIE

Unsur
\DQJ
EHUKXEXQJDQ
GHQJDQ
MDEDWDQQ\DDWDX
\DQJPHPEHULNDQ
KDGLDKDWDXMDQML
WHUVHEXWDGD
KXEXQJDQGHQJDQ
MDEDWDQQ\D
 SDWXWGLGXJD
EDKZDKDGLDK
DWDXMDQMLWHUVHEXW
GLEHULNDQNDUHQD
NHNXDVDDQDWDX
NHZHQDQJDQ\DQJ
EHUKXEXQJDQ
GHQJDQ
MDEDWDQQ\DDWDX
\DQJPHPEHULNDQ
KDGLDKDWDXMDQML
WHUVHEXWDGD
KXEXQJDQGHQJDQ
MDEDWDQQ\D
 6HWLDSRUDQJ
 PHPEHULDWDX
PHQMDQMLNDQ
VHVXDWX
 NHSDGDKDNLP
 GHQJDQPDNVXG
XQWXN
PHPSHQJDUXKL
SXWXVDQSHUNDUD
\DQJGLVHUDKNDQ
NHSDGDQ\DXQWXN
GLDGLOL
VHWLDSRUDQJ
PHPEHULDWDX
PHQMDQMLNDQVHVXDWX
NHSDGDDGYRNDW\DQJ
PHQJKDGLULVLGDQJ
SHQJDGLODQ

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Tindakan

+DNLP DGYRNDW
PHQHULPDVXDS

+DNLPPHQHULPD
VXDS

$GYRNDWPHQHULPD
VXDS

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Pasal

Unsur
GHQJDQPDNVXGXQWXN
PHPSHQJDUXKL
QDVLKDWDWDXSHQGDSDW
\DQJDNDQGLEHULNDQ
EHUKXEXQJGHQJDQ
SHUNDUD\DQJ
GLVHUDKNDQNHSDGD
SHQJDGLODQXQWXN
GLDGLOL
3VD\DW  
 KDNLPDWDX
DGYRNDW
 \DQJPHQHULPD
SHPEHULDQDWDX
MDQML
 VHEDJDLPDQD
GLPDNVXGGDODP
SDVDOD\DW  
KXUXIDDWDXKXUXI
E
3VKXUXI
 KDNLP
F
 PHQHULPDKDGLDK
DWDXMDQML
 GLNHWDKXLDWDX
SDWXWGLGXJD
EDKZDKDGLDK
DWDXMDQMLWHUVHEXW
GLEHULNDQXQWXN
PHPSHQJDUXKL
SXWXVDQSHUNDUD
\DQJGLVHUDKNDQ
NHSDGDQ\DXQWXN
GLDGLOL
3VKXUXI
 DGYRNDW\DQJ
PHQJKDGLUL
G
VLGDQJ
SHQJDGLODQ
 PHQHULPDKDGLDK
DWDXMDQML
 GLNHWDKXLDWDX
SDWXWGLGXJD
EDKZDKDGLDK

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Tindakan

Pasal



3HQJJHODSDQ
GDODPMDEDWDQ

3HQJDZDLQHJHUL
PHQJJHODSNDQXDQJ
DWDXPHPELDUNDQ
SHQJJHODSDQ

3V

3HJDZDLQHJHUL
PHPDOVXNDQEXNX
XQWXNSHPHULNVDDQ

3V

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Unsur
DWDXMDQMLWHUVHEXW
XQWXN
PHPSHQJDUXKL
QDVLKDWDWDX
SHQGDSDW\DQJ
DNDQGLEHULNDQ
EHUKXEXQJ
GHQJDQSHUNDUD
\DQJGLVHUDKNDQ
NHSDGD
SHQJDGLODQXQWXN
GLDGLOL
 SHJDZDLQHJHUL
DWDXRUDQJVHODLQ
SHJDZDLQHJHUL
\DQJGLWXJDVNDQ
PHQMDODQNDQ
VXDWXMDEDWDQ
XPXPVHFDUD
WHUXVPHQHUXV
DWDXXQWXN
VHPHQWDUDZDNWX
 'HQJDQVHQJDMD
 0HQJJHODSNDQ
DWDXPHPELDUNDQ
RUDQJODLQ
PHQJDPELODWDX
PHPELDUNDQ
RUDQJODLQ
PHQJJHODSNDQ
DWDXPHPEDQWX
GDODPPHODNXNDQ
SHUEXDWDQLWX
 XDQJDWDXVXUDW
EHUKDUJD
 \DQJGLVLPSDQ
NDUHQD
MDEDWDQQ\D
 SHJDZDLQHJHUL
DWDXRUDQJVHODLQ
SHJDZDLQHJHUL

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Tindakan
DGPLQLVWUDVL

Pasal

3HJDZDLQHJHUL
PHUXVDNNDQEXNWL

3V

Unsur
\DQJGLEHULWXJDV
PHQMDODQNDQ
VXDWXMDEDWDQ
XPXPVHFDUD
WHUXVPHQHUXV
DWDXXQWXN
VHPHQWDUDZDNWX
 GHQJDQVHQJDMD
 PHPDOVX
 EXNXEXNXDWDX
GDIWDUGDIWDU
\DQJNKXVXV
XQWXN
SHPHULNVDDQ
DGPLQLVWUDVL
 SHJDZDLQHJHUL
DWDXRUDQJVHODLQ
SHJDZDLQHJHUL
\DQJGLEHULWXJDV
PHQMDODQNDQ
VXDWXMDEDWDQ
XPXPVHFDUD
WHUXVPHQHUXV
DWDXXQWXN
VHPHQWDUDZDNWX
 GHQJDQVHQJDMD
 PHQJJHODSNDQ
PHQJKDQFXUNDQ
PHUXVDNNDQDWDX
PHPEXDWWLGDN
GDSDWGLSDNDL
 EDUDQJDNWD
VXUDWDWDXGDIWDU
\DQJGLJXQDNDQ
XQWXN
PH\DNLQNDQDWDX
PHPEXNWLNDQGL
PXNDSHMDEDW
\DQJEHUZHQDQJ
 \DQJGLNXDVDL
NDUHQD

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Tindakan

Pasal

3HJDZDLQHJHUL
PHPELDUNDQRUDQJ
ODLQPHUXVDNNDQ
EXNWL

3VKXUXI
E

3HJDZDLQHJHUL
3VKXUXI
F
PHPEDQWXRUDQJODLQ
PHUXVDNNDQEXNWL

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Unsur
MDEDWDQQ\D
 SHJDZDLQHJHUL
DWDXRUDQJVHODLQ
SHJDZDLQHJHUL
\DQJGLEHULWXJDV
PHQMDODQNDQ
VXDWXMDEDWDQ
XPXPVHFDUD
WHUXVPHQHUXV
DWDXXQWXN
VHPHQWDUDZDNWX
 GHQJDQVHQJDMD
 PHPELDUNDQ
RUDQJODLQ
PHQJKLODQJNDQ
PHQJKDQFXUNDQ
PHUXVDNNDQDWDX
PHPEXDWWLGDN
GDSDWGLSDNDL
 EDUDQJDNWD
VXUDWDWDXGDIWDU
WHUVHEXW
 SHJDZDLQHJHUL
DWDXRUDQJVHODLQ
SHJDZDLQHJHUL
\DQJGLEHULWXJDV
PHQMDODQNDQ
VXDWXMDEDWDQ
XPXPVHFDUD
WHUXVPHQHUXV
DWDXXQWXN
VHPHQWDUDZDNWX
 GHQJDQVHQJDMD
 PHPEDQWXRUDQJ
ODLQ
PHQJKLODQJNDQ
PHQJKDQFXUNDQ
PHUXVDNNDQDWDX
PHPEXDWWLGDN
GDSDWGLSDNDL
 EDUDQJDNWD

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Tindakan



3HPHUDVDQ

3HJDZDLQHJHUL
PHPHUDV

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Pasal

Unsur
VXUDWDWDXGDIWDU
VHEDJDLPDQD
GLVHEXWGDODP
SDVDOKXUXID
3VKXUXI  SHJDZDLQHJHUL
H
DWDX
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD\DQJ
 GHQJDQPDNVXG
PHQJXQWXQJNDQ
GLULVHQGLULDWDX
RUDQJODLQ
 VHFDUDPHODZDQ
KXNXP
 PHPDNVD
VHVHRUDQJ
PHPEHULNDQ
VHVXDWX
PHPED\DUDWDX
PHQHULPD
SHPED\DUDQ
GHQJDQSRWRQJDQ
DWDXXQWXN
PHQJHUMDNDQ
VHVXDWXEDJL
GLULQ\DVHQGLUL
 PHQ\DODKJXQDNDQ
NHNXDVDDQ
3VKXUXI  SHJDZDLQHJHUL
J
DWDX
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD
 SDGDZDNWX
PHQMDODQNDQ
WXJDV
 PHPLQWDDWDX
PHQHULPD
SHNHUMDDQDWDX
SHQ\HUDKDQ
EDUDQJ
 VHRODKRODK

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Tindakan

Pasal

3HJDZDLQHJHUL
PHPHUDVSHJDZDL
QHJHUL\DQJODLQ

3VKXUXI
I



3HUEXDWDQ
FXUDQJ

3HPERURQJEHUEXDW
FXUDQJ

3VD\DW  
KXUXID

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Unsur
PHUXSDNDQXWDQJ
NHSDGDGLULQ\D
 GLNHWDKXLEDKZD
KDOWHUVHEXWEXNDQ
PHUXSDNDQXWDQJ
 SHJDZDLQHJHUL
DWDX
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD
 SDGDZDNWX
PHQMDODQNDQ
WXJDV
 PHPLQWD
PHQHULPDDWDX
PHPRWRQJ
SHPED\DUDQ
 NHSDGDSHJDZDL
QHJHULDWDX
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD\DQJODLQ
DWDXNHSDGDNDV
XPXP
 VHRODKRODK
SHJDZDLQHJHUL
DWDX
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD\DQJODLQ
DWDXNDVXPXP
WHUVHEXW
PHPSXQ\DLXWDQJ
NHSDGDQ\D
 GLNHWDKXLEDKZD
KDOWHUVHEXWEXNDQ
PHUXSDNDQXWDQJ
 SHPERURQJDKOL
EDQJXQDQDWDX
SHQMXDOEDKDQ
EDQJXQDQ
 PHODNXNDQ
SHUEXDWDQFXUDQJ
 SDGDZDNWX

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Tindakan

Pasal

3HQJDZDVSUR\HN
PHPELDUNDQ
SHUEXDWDQFXUDQJ

3VD\DW
 KXUXIE

5HNDQDQ71,
32/5,EHUEXDW
FXUDQJ

3VD\DW
 KXUXIF

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Unsur
PHPEXDW
EDQJXQDQDWDX
PHQ\HUDKNDQ
EDKDQEDQJXQDQ
 \DQJGDSDW
PHPEDKD\DNDQ
NHDPDQDQRUDQJ
DWDXEDUDQJDWDX
NHVHODPDWDQ
QHJDUDGDODP
NHDGDDQSHUDQJ
1. SHQJDZDV
EDQJXQDQDWDX
SHQJDZDV
SHQ\HUDKDQEDKDQ
EDQJXQDQ
2. PHPELDUNDQ
GLODNXNDQQ\D
SHUEXDWDQFXUDQJ
SDGDZDNWX
PHPEXDW
EDQJXQDQDWDX
PHQ\HUDKNDQ
EDKDQEDQJXQDQ
3. GLODNXNDQGHQJDQ
VHQJDMD
4. VHEDJDLPDQD
GLPDNVXGSDGD
SDVDOD\DW  
KXUXID
 VHWLDSRUDQJ
 PHODNXNDQ
SHUEXDWDQFXUDQJ
 SDGDZDNWX
PHQ\HUDKNDQ
EDUDQJNHSHUOXDQ
71,GDQDWDX
.HSROLVLDQ
1HJDUD5HSXEOLN
,QGRQHVLD
 GDSDW

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi

Unsur
PHPEDKD\DNDQ
NHVHODPDWDQ
QHJDUDGDODP
NHDGDDQSHUDQJ
3HQJDZDVUHNDQDQ
3VD\DW
 RUDQJ\DQJ
EHUWXJDV
71,32/5,
 KXUXIG
PHPELDUNDQ
PHQJDZDVL
SHUEXDWDQFXUDQJ
SHQ\HUDKDQ
EDUDQJNHSHUOXDQ
7HQWDUD1DVLRQDO
,QGRQHVLDGDQ
DWDX.HSROLVLDQ
1HJDUD5HSXEOLN
,QGRQHVLD
 PHPELDUNDQ
SHUEXDWDQFXUDQJ
VHEDJDLPDQD
GLPDNVXGGDODP
KXUXIF 
 'LODNXNDQGHQJDQ
VHQJDMD
3HQHULPDEDUDQJ
3VD\DW
 RUDQJ\DQJ
PHQHULPD
71,32/5,
 
SHQ\HUDKDQEDKDQ
PHPELDUNDQ
EDQJXQDQDWDX
SHUEXDWDQFXUDQJ
RUDQJ\DQJ
PHQHULPD
SHQ\HUDKDQ
EDUDQJNHSHUOXDQ
71,GDQDWDX
32/5,
 PHPELDUNDQ
SHUEXDWDQFXUDQJ
 VHEDJDLPDQD
GLPDNVXGGDODP
D\DW  KXUXID
DWDXKXUXIF
3HJDZDLQHJHUL
3VKXUXI  SHJDZDLQHJHUL
K
DWDX
PHQ\HURERWWDQDK
SHQ\HOHQJJDUD
SHPHULQWDKVHKLQJJD
QHJDUD
PHUXJLNDQRUDQJODLQ

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Tindakan

Pasal

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.

Klasifikasi



%HQWXUDQ
NHSHQWLQJDQ
GDODP
SHQJDGDDQ

Unsur
 SDGDZDNWX
PHQMDODQNDQ
WXJDVWHODK
PHQJJXQDNDQ
WDQDKQHJDUD\DQJ
GLDWDVQ\D
WHUGDSDWKDN
SDNDL
 VHRODKRODKVHVXDL
GHQJDQSHUDWXUDQ
SHUXQGDQJXQGDQJ
DQ
 WHODKPHUXJLNDQ
\DQJEHUKDN
 GLNHWDKXLQ\D
EDKZDSHUEXDWDQ
WHUVHEXW
EHUWHQWDQJDQ
GHQJDQSHUDWXUDQ
SHUXQGDQJXQGDQJ
DQ
3HJDZDLQHJHULWXUXW 3VKXUXI  SHJDZDLQHJHUL
VHUWDGDODP
L
DWDX
SHQJDGDDQ\DQJ
SHQ\HOHQJJDUD
GLXUXVQ\D
QHJDUDEDLN
 'HQJDQVHQJDMD
 ODQJVXQJPDXSXQ
WLGDNODQJVXQJ
GHQJDQVHQJDMD
WXUXWVHUWDGDODP
SHPERURQJDQ
SHQJDGDDQDWDX
SHUVHZDDQ
 SDGDVDDW
GLODNXNDQ
SHUEXDWDQXQWXN
VHOXUXKDWDX
VHEDJLDQ
GLWXJDVNDQXQWXN
PHQJXUXVDWDX
PHQJDZDVLQ\D

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Tindakan

Pasal

Lampiran 1. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang Tipikor

No.


Klasifikasi
*UDWLILNDVL

Tindakan
3HJDZDLPHQHULPD
JUDWLILNDVL

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Pasal
3V%MR
3DVDO&

Unsur
 3HJDZDLQHJHUL
DWDX
SHQ\HOHQJJDUD
QHJDUD
 0HQHULPD
JUDWLILNDVL
 <DQJ
EHUKXEXQJDQ
GHQJDQMDEDWDQ
GDQEHUODZDQDQ
GHQJDQNHZDMLEDQ
DWDXWXJDVQ\D
 3HQHULPDDQ
JUDWLILNDVL
WHUVHEXWWLGDN
GLODSRUNDQNHSDGD
.3.GDODP
MDQJNDZDNWX
KDULVHMDN
GLWHULPDQ\D
JUDWLILNDVL

4.

 Ketidakjujuran
 Menyebabkan kerugian financial
 Dapat berupa pencurian uang atau property oleh

 Ketidakjujuran untuk memperoleh keuntungan


materi
 Menyebabkan kerugian material
 Melibatkan penipuan
 Merupakan pelanggaran hukum

Fraud is a crime involving the dishonest obtaining of a


financial benefit by deception and
which involves some form of material loss to the entity
defrauded. A basic test for fraud
could include the following questions:
 Was deceit employed?
 Was the action unlawful?
 Did it result in money or benefits being received to
which a person was not entitled?
"Dishonest activity causing actual or potential financial
loss to any person or entity including theft of moneys or
other property by employees or persons external to the

3.

2.

Unsur Fraud berdasarkan definisi


 Memperoleh sesuatu dengan curang
 Mencuri
 Memperoleh keuntungan property, keuntungan
materi, atau hal lainnya dengan melakukan
This definition includes:
penipuan
 theft;
 obtaining property, a financial advantage or any other  Menyebabkan kerugian atau menghindarkan
benefit by deception;
pembayaran hutang dengan cara penipuan
 causing a loss, or avoiding or creating a liability by
 Memberikan informasi yang sesat atau gagal
deception;
memberikan informasi yang benar yang
seharusnya bisa diberikan
 providing false or misleading information to the
 membuat menggunakan atau memiliki dokumenCommonwealth, or failing to provide information
dokumen palsu atau dipalsukan
where there is an obligation to do so;
 making, using or possessing forged or falsified
 penyuapan korupsi atau penyalahgunaan jabatan
documents;
 penggunaan komputer milik negara, kendaraan,
telepon dan properti lainnya atau jasa lainnya
 bribery, corruption or abuse of office;
yang melanggar hukum
 unlawful use of Commonwealth computers, vehicles,
telephones and other property or services;
 Pelanggaran terhadap kebangkrutan
 relevant bankruptcy offences; and
x any offences of a like nature to those listed above
Fraud can be defined as a deliberate and premeditated
 Melakukan sesuatu dengan sengaja dan
turn of events which involves the use of deception to gain
direncanakan
advantage from a position of trust and authority. The
 Dengan cara muslihat
type of events include: acts of omission, theft, the making  Untuk memperoleh keuntungan
of false statements, evasion, manipulation of information  Dengan menyalahgunakan posisi, kepercayaan
dan kewenangan
and numerous other acts of deception.
 Tindakan pembiaran
 Pencurian
 Member keterangan palsu
 Penghindaran
 Manipulasi informasi

Definisi
Dishonestly obtaining benefit by deception or other
means.

No.
1.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




Lampiran 2. Definisi Fraud

Fraud and corruption


control policy

Fraud and corruption


control strategy

ANAO

Sumber
Commonwealth Fraud
Control Guidelines

hal. 1

Fraud adalah keuntungan yg diperoleh oleh seseorang


dengan cara menghadirkan sesuatu yang palsu serta
dalam makna fraud terkandung unsur-unsur: tak terduga
(surprise), tipu daya (trickery), licik (cunning) dan curang
(unfair) dengan unsur-unsur tersebut akan ada yang

Litbang Pemeriksaan Kinerja




10.

9.

8.

6.

5.

entity and whether or not deception is used at the time,


immediately before or immediately following the activity.
This also includes the deliberate falsification,
concealment, destruction or use of falsified
documentation used or intended for use for a normal
business purpose
or improper use of information or position."
the use of deception or misrepresentation to obtain an
unjust advantage, or to cause a
disadvantage or loss to the Council, and includes theft or
misappropriation of Council assets.
For the purpose of this policy fraud is not restricted to
tangible benefits only and includes
intangibles such as information.
A fraudulent act can also be committed by an act of
omission, dishonesty or deceitful and
misleading behaviour.
"The wilful misuse of the City of West Torrens' resources or
using one's position and power
for personal gain. This includes theft and acts or omissions;
improper use of influence or
position; and/or improper use of information".
A basic test for fraud and corruption could include the
following questions:
 Was deception used?
 Was the action unlawful?
 Did it result in money or other benefits being
received that the person
 was not entitled to receive?
 Was an attempt made to obtain benefits that the
person was not entitled to receive?
Fraud can be defined as any practice that involves deceit
or other dishonest means by which a benefit is obtained
from the government.
This definition takes a broad view and includes nonmonetary benefits such as misusing company time or
assets.
a dishonest act, committed by deceitful means, with
criminal intens.









Ketidakjujuran
Dilakukan dengan cara licik
Niat melakukan tindakan kriminal
Memalsukan sesuatu
Untuk memperoleh keuntungan
Tidak terduga
Tipu daya
Licik

 Praktik yang melibatkan penipuan atau


ketidakjujuran
 Untuk memperoleh keuntungan dari negara
 Keuntungan dapat berupa moneter,
penyalahgunaan waktu dan aset negara

 Penyalahgunaan sumber daya negara dengan


menggunakan posisi dan kekuasaan
 Untuk memperoleh keuntungan
 Termasuk pencurian
 Tindakan pembiaran
 Penyalahgunaan posisi atau pengaruh
 Penyalahgunaan imformasi















karyawan atau pihak eksternal dengan cara


curang
Pemalsuan
Tindakan menyembunyikan
Perusakan atau pemalsuan dokumen untuk
tujuan bisnis, penyalahgunaan informasi atau
jabatan
Penipuan, kesalahan penyajian
Untuk memperoleh keuntungan
Untuk menyebabkan kerugian negara
Termasuk pencurian, penyalahgunaan aset
negara
Ketidakjujuran
Kelalaian
Penipuan
penyesatan

Lampiran 2. Definisi Fraud

STAR SDP STAN (2007) dan


BPKP (2008) mengutip
fraud examiner manual

John Philip

Fraud and corruption


control plan health
department Australia

Fraud and corruption


prevention and control
policy

Fraud and corruption


control policy and related
principles 2010 City of
Barondara

hal. 2

deception (penipuan);
dishonestly (ketidakjujuran);
intent (niat); dan
concealment (penyembunyian).

Fraud adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja


oleh orang
di dalam maupun di luar suatu organisasi atau
perusahaan, selaku pelaku
fraud yang mengakibatkan kerugian.
Dari definisi di atas unsur-unsur suatu fraud adalah:
 perbuatan dilakukan dengan sengaja,
 pelakunya adalah orang dalam (dari
organisasi/perusahaan sendiri) atau orang luar.
 menimbulkan kerugian bagi orang lain atau
perusahaan.

1.
2.
3.
4.

fraud merupakan tindakan kriminal yang mengakibatkan


kerugian pada pihak tertentu serta menguntungkan
pihak lainnya, dilakukan dengan cara yang sulit
diperkirakan (unsuspecting) dan biasanya
oleh/melibatkan orang yang diberi
kepercayaan/kewenangan. Lebih lanjut disebutkan
tentang empat aspek penting dalam definisi fraud:

Litbang Pemeriksaan Kinerja




12.

11.

dirugikan (cheated).

Curang
Ada pihak yang dirugikan
Tindakan criminal yang merugikan negara
Menguntungkan pihak lainnya
Dilakukan dengan cara yang sulit diperkirakan
Biasanya melibatkan orang yang memiliki
kepercayaan/ kewenangan
Penipuan
Ketidakjujuran
Niat
penyembunyian

 Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja


 Baik oleh orang dalam maupun luar organisasi
 menimbulkan kerugian bagi orang lain atau
perusahaan













Lampiran 2. Definisi Fraud

Buku Pengantar audit


kecurangan

PPAK STAN (2005)

hal. 3

Lampiran 3. Risalah diskusi dengan BAKN

A. Jadwal Pertemuan
Hari/Tanggal
: Kamis, 10 Maret 2011
Tempat
: Ruang Rapat BAKN, Gedung Nusantara 2-MPR-DPR RI
Waktu
: Pukul 0.00 16.30
B. Pimpinan dan Peserta Pertemuan
Pertemuan ini dihadiri oleh pihak BPK RI yang dipimpin oleh Anggota III BPK RI bersama
Kaditama Revbang Diklat, Kasubdit Litbang Pemeriksaan Keuangan dan Kinerja; Kabag
Kerjasama Luar Negeri, Kasie Litbang Pemeriksaan Kinerja dan staf Litbang Pemeriksaan
Kinerja. Pihak BAKN dihadiri oleh ketua BAKN, wakil dan empat anggota.
C. Agenda Pertemuan
Pertemuan ini membahas mengenai rencana pemeriksaan kinerja atas pengendalian
fraud dan meminta masukan dari BAKN, serta peran BAKN dalam usaha pemerintah
untuk memberantas fraud dan korupsi.
D. Pembahasan
Dalam diskusi tersebut, anggota III BPK bapak Hasan Bisri mengemukakan rencana
kedepan BPK RI untuk meningkatkan porsi pemeriksaan kinerja dari sekitar 9% menjadi
30% pada tahun 2015. Penentuan tema pemeriksaan kinerja dilakukan berdasarkan atas:
 Isu strategis
 Rencana strategis pemerintah (RPJMN)
 Hasil pemeriksaan BPK lainnya
HB selanjutnya juga berpendapat bahwa indikator kinerja harus disusun oleh
pemerintah sesuai dengan program yang dimiliki pemerintah.

Terkait dengan pengembangan pemeriksaan kinerja tersebut, salah satu project utama
BPK adalah pemeriksaan kinerja atas pengendalian fraud di entitas pemerintahan,
sebagai wujud salah satu peran BPK dalam usaha pemberantasan fraud dan korupsi.

Salah satu alasan mengapa BPK memberi perhatian besar terhadap pemeriksaan kinerja
atas pengendalian fraud dan korupsi adalah bahwa selama ini opini pemeriksaan LK BPK
tidak berkaitan langsung dengan keberadaan praktik fraud dan korupsi di entitas terkait.
Sebagai contoh, beberapa entitas yang selama ini memiliki opini WTP seperti Bank
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 1

Lampiran 3. Risalah diskusi dengan BAKN

Century ternyata dikemudian hari terbukti sarat dengan praktik korupsi yang merugikan
keuangan negara dalam jumlah yang material.

Fauzi dari Partai Hanura membenarkan bahwa kondisi tersebut salah satunya karena
pemeriksaan atas laporan keuangan dilakukan dengan metode sampling. Melihat kondisi
tersebut, BPK masih merumuskan bagaimana agar opini yang diberikan dalam
pemeriksan LK entitas dapat sejalan dengan usaha pemberantasan fraud.

Anggota BAKN (shahibbul iman?) berpendapat bahwa perbedaan persepsi terjadi


antara BPK dan entitas atas makna dari opini WTP. Entitas menilai bahwa opini WTP
merupakan prestasi tertinggi yang diperoleh entitas sehingga mereka menilai bahwa
pengelolaan keuangan entitas secara keseluruhan telah baik dan telah memenuhi
standar akuntansi. Padahal Wajar Tanpa Pengecualian bukan merupakan opini
pemeriksa yang menyatakan bahwa entitas telah bebas dari praktik fraud atau korupsi.
Untuk itu BPK perlu melakukan sosialisasi untuk menghilangkan perbedaan persepsi
tersebut.

Fauzi Achmad berpendapat bahwa meskipun opini auditor tidak berkaitan langsung
dengan keberadaan fraud di entitas, pemeriksa harus lebih berhati-hati dalam
menetapkan opini pemeriksaan. Opini merupakan indikator tingkat keberhasilan
pengelolaan keuangan. Meskipun demikian, opini bukan merupakan satu-satunya faktor
penentu standard kualitas pengelolaan keuangan entitas.

Tambahan tentang isu opini dan fraud


Anggota BAKN mengungkapkan bahwa agar opini sejalan dengan pengelolaan keuangan
yang bebas dari fraud, dapatkah BPK juga mempertimbangkan unsur fraud dalam
menentukan opini? Atau dapatkah istilah opini wajar tanpa pengecualian lebih
diarahkan pada wajar secara administratif saja agar tidak terjadi salah persepsi oleh
pembaca laporan hasil pemeriksaan BPK.
BPK dapat melakukan sosialisasi kepada pemangku kepentingan, bahwa opini WTP yang
dikeluarkan BPK, hanya merupakan wajar tanpa pengecualian secara administratif saja.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 2

Lampiran 3. Risalah diskusi dengan BAKN

Tambahan mengenai isu peningkatan porsi pemeriksaan BPK


Anggota BAKN mengatakan, mengingat penjelasan dari angbin III yang mengatakan
bahwa BPK masih kekurangan SDM, lebih baik BPK melakukan sedikit pemeriksaan saja,
namun lebih focus dan mendalam dan tuntas.

Anggota III BPK mengungkapkan bahwa kondisi-kondisi tertentu yang tidak dapat
diidentifikasi secara lebih jauh dan mendetail dalam pemeriksaan keuangan dapat diuji
dan diperiksa melalui jenis pemeriksaan lain, salah satunya adalah pemeriksaan kinerja.
Oleh karena itu, BPK yakin bahwa kegiatan pemeriksaan kinerja merupakan metode
yang lebih efektif yang dapat digunakan untuk menilai kinerja entitas dalam mencegah
dan menindaklanjuti adanya fraud di lingkungannya. Rencana kegiatan pemeriksaan
kinerja atas pengendalian fraud akan ditekankan pada keberadaan dan kinerja fraud
control plan yang ada pada entitas, dan bukan memeriksa keberadaan fraud itu sendiri.

BAKN berpendapat bahwa pemeriksaan atas kualitas pengendalian fraud pada entitas
merupakan tanggung jawab BPK.
Selanjutnya Edwin Kawilarang menyatakan bahwa selama ini masih banyak KDH
incumbent yang mendapat opini disclaimer pada kepemimpinan periode sebelumnya.
Agar kualitas pengelolaan keuangan lebih baik dan mengurangi risiko terjadinya fraud,
KDH yang memperoleh opini disclaimer seharusnya tidak diperbolehkan untuk
mengajukan lagi pada pilkada selanjutnya.

Anggota III BPK juga menyatakan bahwa salah satu bukti bahwa pengendalian fraud
masih buruk di hampir semua entitas dapat dilihat dari kebijakan entitas yang
menempatkan pejabat atau staf yang kurang berprestasi kedalam satker Inspektorat,
termasuk bagi mereka yang bermasalah. Seharusnya Inspekotrat yang memiliki tugas
menilai dan mengawasi kinerja aparat harus terdiri dari pejabat dan staf yang
berprestasi dan memiliki kinerja yang baik, sehingga dapat menjalankan sebagai fungsi
penjamin keyakinan mutu entitas.

BPK menyadari bahwa dengan jumlah pemeriksa yang terbatas dibanding dengan jumlah
obyek pemeriksaan. Oleh karena itu, BPK telah menerapkan kebijakan menggunakan
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 3

Lampiran 3. Risalah diskusi dengan BAKN

jasa KAP terpilih untuk melakukan sebagian porsi kegiatan pemeriksaan keuangan BPK.
Disisi lain, BPK akan meningkatkan fokus dan porsi pemeriksaan kinerja dari tahun
ketahun.

Shahibbul Iman berpendapat bahwa disamping pemberian opini (WTP), beberapa hal
dapat menjadi indicator kualitas dan kinerja entitas, antara lain adalah kemampuan
entitas dalam optimalisasi pengelolaan PAD.

Kaditama Revbang Diklat menyatakan bahwa dari seluruh entitas pemerintah, hanya
beberapa yang telah mencoba menerapkan Fraud Control Plan (FCP), meskipun belum
mengakomodir semua unsur fraud elements. Diantara entitas yang memiliki FCP
tersebut, hanya beberapa yang benar-benar mencoba untuk menerapkan dan lebih jauh
lagi, belum ada entitas yang terbukti telah menerapkan FCP secara efektif. Kaditama
Revbang Diklat kemudian mengangkat permasalahan mengenai siapa sebenarnya yang
bertanggungjawab atas keberadaan dan kualitas FCP: BPK atau entitas?

Ismet berpendapat bahwa kegiatan penegakan pemberantasan fraud harus dimulai dari
pusat. Untuk BPK sendiri, rotasi pegawai khususnya pejabat harus jelas dan regular.
Pejabat BPK yang terlalu lama di posisi yang sama akan berdampak kurang baik,
khususnya pejabat di perwakilan atau teknis, karena akan berpengaruh pada kedekatan
antara pejabat BPK dengan entitas/auditee.

Terkait dengan referensi dari SAI negara lain dalam metode pemberantasan fraud dan
korupsi, Ismet dan beberapa anggota BAKN menyatakan bahwa sifat dan birokrasi di
setiap negara berbeda-beda, sehingga BPK jangan mengadopsi sistem SAI negara lain
tanpa menyesuaikan dengan aspek-aspe tersebut.

Menanggapi pernyataan tersebut, anggota III BPK RI menyatakan bahwa kebijakan rotasi
telah diterapkan di BPK. Lebih jauh lagi, BPK juga selalu melakukan pembenahan
terhadap satker inspektorat sebagai usaha peningkatan kualitas mutu/kinerja BPK.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 4

Lampiran 3. Risalah diskusi dengan BAKN

Fauzi menyarankan agar pemeriksaan atas FCP dilakukan oleh pemeriksa BPK dan bukan
oleh KAP yang ditunjuk BPK, karena hal tersebut menyangkut kerahasiaan negara.

Shahibbul Iman memberi pendapat terkait rencana BPK untuk melakukan program
pemeriksaan dengan isu korupsi dan pengentasan kemiskinan. Pemberantasan korupsi
memang sejalan dengan rencana strategis pemerintah yang tertuang dalam RPJMN.
Meskipun demikian, Shahibbul Iman berpendapat bahwa pernyataan presiden bahwa
tugas KPK adalah melakukan pemberantasan dan pencegahhan adalah kurang tepat.
Seharusnya KPK tidak memiliki fungsi untuk mencegah.

Sebagai respon atas pertanyaan Shahibbul terkait rencana pilot project BPK tahun 2011,
Kaditama revbang diklat menyatakan bahwa saat ini BPK masih dalam proses mapping
rencana dan kegiatan yang akan dilakukan.

Fauzi dan Ismet berpendapat bahwa FCP dimulai dari stakeholders pemberantasan
korupsi, antara lain:
1. Pemerintah pusat;
2. Depdagri;
3. BPK; dan
4. DPR RI.

Tambahan tentang isu pilot project pemeriksaan kinerja penanggulangan fraud


Anggota BAKN menyarankan agar pemeriksaan kinerja atas fraud dilakukan di
pemerintah pusat saja dulu, dengan criteria bahwa entitas tersebut memiliki dampak
yang besar terhadap daerah (contoh: Depdagri)

Edwin Kawilarang sependapat bahwa pemeriksaan jangan hanya terfokus pada


pemeriksaan atas laporan keuangan, namun juga pemeriksaan kinerja.

Anggota III BPK menyatakan bahwa temuan-temuan pemeriksaan yang selalu ada
namun terulang di tahun-tahun berikutnya menunjukkan bahwa ada kondisi yang salah
pada entitas. Kondisi tersebut adalah karena belum adanya mekanisme yang mengatur
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 5

Lampiran 3. Risalah diskusi dengan BAKN

agar kesalahan atau pelanggaran yang menjadi temuan BPK tersebut dapat
ditanggulangi dan dicegah sehingga tidak terluang lagi di tahun-tahun berikutnya.

Anggota III BPK selanjutnya menyampaikan pertanyaan: melihat kondisi terebut, adakah
kemauan dari semua pihak untuk menerapkan suatu FCP.

BAKN menyampaikan pemikiran untuk merekrut pemeriksa atau akuntan sehingga


dapat menganalisis dan mengkaji hasil laporan pemeriksaan BPK khususnya PDTT
sehingga dapat mengambil tindak lanjut yang lebih cermat, tanpa memberi dampak
buruk terhadap fungsi BAKN dan BPK. Atas usulan tersebut, Anggota III BPK menyatakan
bahwa hal tersebut adalah usul yang sangat baik.

Paul Nicoll selaku SME BPK menyatakan bahwa ANAO memiliki staf khusus sebagai
mediator antara ANAO dengan PAC (BAKN Australia)

Ismet menambahkan usulan agar entitas yang terbukti melakukan fraud agar mendapat
sanksi dari pemerintah.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 6

Lampiran 4. Risalah diskusi dengan BPKP

A. Jadwal Pertemuan
Hari/Tanggal
: Rabu, 23 Maret 2011
Tempat
: Ruang Rapat Deputi Investigasi BPKP
Waktu
: Pukul 09.30 12.00
B. Pimpinan dan Peserta Pertemuan
Pertemuan ini dipimpin oleh Kasubdit Litbang Pemeriksaan Keuangan dan Kinerja dan
dihadiri oleh tiga Kasubdit Deputi Investigasi dan staf litbang pemeriksaan kinerja.
C. Agenda Pertemuan
Pertemuan ini membahas mengenai pengembangan sistem pengendalian korupsi yang
dibuat oleh BPKP.
D. Pembahasan
1. Proses pengembangan SPK
Ide pengembangan SPK berawal dari banyaknya kasus korupsi yang ditemukan oleh
Investigasi BPKP yang penangannya hanya bersifat represif. Padahal sebenarnya
korupsi dapat dicegah, yakni melalui sistem pengendalian korupsi. Karena itu BPKP
menggagas untuk membuat sistem pengendalian korupsi yang dapat digunakan oleh
entitas sebagai upaya pencegahan korupsi.
SPK mulai dikembangkan sejak tahun 2005. Untuk mengembangkan SPK, referensi
yang digunakan oleh BPKP bersumber dari literatur dan browsing internet. Dalam
mengembangkan SPK, BPKP tidak melibatkan pihak lain seperti KPK atau aparat
penegak hukum lainnya.
2. Gambaran mengenai SPK BPKP
SPK merupakan alat untuk mencegah terjadinya korupsi pada suatu entitas. SPK
terdiri dari sepuluh atribut, yaitu:
D Kebijakan terintegrasi
Seluruh komponen prosedur yang ada pada setiap entitas sudah mengandung
unsur pengendalian terhadap korupsi.
E Struktur pertanggungjawaban
Setiap entitas harus memiliki prosedur standar operasi (SOP) dan adanya
mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
F Penilaian risiko korupsi
Setiap entitas harus memiliki mekanisme untuk penilaian risiko yang ada pada
setiap kegiatan yang dilakukan oleh entitas tersebut.
G Kepedulian karyawan
Setiap karyawan harus memiliki kepekaan dan kemauan untuk menginformasikan
jika mereka mengetahui terjadinya korupsi.
H Kepedulian pelanggan masyarakat
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 1

Lampiran 4. Risalah diskusi dengan BPKP

I

J

K

L

M

Masyarakat juga harus berperan aktif untuk menginformasikan kepada pihak


yang berwenang jika mereka mengetahui terjadinya suatu korupsi.
Perlindungan pelapor
Setiap entitas harus memiliki mekanisme perlindungan terhadap pihak-pihak
yang melaporkan terjadinya korupsi.
Sistem pelaporan korupsi
Setiap entitas juga harus memiliki saluran bagi para pihak yang ingin melaporkan
terjadinya korupsi.
Pelaporan eksternal
Setiap entitas harus memiliki mekanisme pelaporan kepada aparat penegak
hukum jika terjadi korupsi pada entitas tersebut.
Standar investigasi
Setiap entitas standar untuk melakukan investigasi untuk membuktikan telah
terjadi korupsi.
Standar perilaku dan disiplin
Setiap entitas harus memiliki kode etik yang dapat mengatur standar perilaku
dan kedisiplinan personil yang ada dalam entitas tersebut.

3. Siklus SPK
Siklus SPK terdiri dari:
D Sosialisasi
Sosialisasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperkenalkan konsep SPK
kepada entitas. Mekanisme sosialisasi yang dilakukan adalah dengan
memberikan penawaran kepada entitas untuk mendapatkan sosialisasi mengenai
SPK, kemudian jika entitas berminat, entitas tersebut akan melakukan
permintaan sosialisasi. Sampai saat ini sasaran sosialisasi SPK adalah pemerintah
daerah, dan sudah 104 entitas pemerintah daerah yang memperoleh sosialisasi.
E Diagnostic Assessment
Diagnostic assessment merupakan pemeriksaan kepada entitas untuk
mengidentifikasi keberadaan sepuluh atribut SPK pada entitas. Sampai saat ini
F Bimbingan teknis
Bimbingan teknis merupakan kegiatan untuk memberikan bimbingan kepada
entitas untuk membangun sepuluh atribut SPK berdasarkan hasil diagnostic
assessment.
G Evaluasi
Setelah SPK diimplemtasikan penuh pada entitas, BPKP akan melakukan evaluasi
untuk menilai efektivitas implementasi SPK.
Untuk mencegah terjadinya korupsi harus dilakukan pemantauan terus-menerus,
meskipun nantinya suatu entitas telah memiliki SPK yang memenuhi sepuluh atribut,
karena itu BPKP akan terus melakukan pengawalan pada entitas untuk terus
mengembangakan SPK.
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 2

Lampiran 4. Risalah diskusi dengan BPKP

4. Kelanjutan pengembangan SPK


BPKP terus mengembangkan dan menyempurnakan SPK. Dari keempat siklus yang
dijelaskan diatas, yang dilakukan sampai saat ini hanyalah sebatas bimbingan teknis,
itu pun tidak semua entitas yang mendapatkan sosialisasi menawarkan diri untuk
dilakukan diagnostic assessment oleh BPKP.
5. Kendala yang dihadapi BPKP dalam implementasi SPK
Kendala yang dihadapi oleh BPK dalam mengimplementasikan SPK adalah
keengganan dari entitas untuk menerapkan SPK. Hal tersebut dikarenakan SPK
belum menjadi prioritas kebutuhan entitas, selain itu SPK juga belum memiliki
payung hukum yang jelas.
6. Respon entitas terhadap SPK
Pada saat dilakukan sosialisasi entitas memiliki respon yang baik terhadap SPK,
namun seperti dijelaskan diatas, untuk mengimlemantasikan SPK, masih terdapat
keengganan, karena SPIP yang sudah lama disosialisasikan dan memiliki payung
hukum yang jelas saja belum diterapkan penuh oleh entitas. Pendekatan yang
dilakukan oleh BPKP untuk mengimplemantasikan SPK adalah dengan
menyampaikan kepada entitas, bahwa jika SPK tidak diterapkan kemungkinan
terjadinya korupsi akan semakin besar dan jika korupsi telah terjadi, maka akan
terkena tindak pidana sesuai dengan UU No. 31 Tahun 2009 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
7. Komitmen entitas terhadap SPK
Setelah dilakukan sosialisasi, BPKP menawarkan komitmen entitas terhadap
penerapan SPK. Komitmen ini tidak hanya secara lisan, namun juga harus tertulis
agar jelas dan terdokumentasi.
8. Pemeriksaan SPK pada entitas
Sampai saat ini, karena entitas belum ada yang menerapkan SPK, maka hal yang
dapat dilakukan oleh BPKP hanyalah mengidentifikasi keberadaan sepuluh atribut
SPK pada entitas terperiksa (diagnostic assessment).
D Metode yang digunakan
Metode yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara dan kuisioner.
Dalam memeriksa SPK, pemeriksa berpedoman pada panduan teknis SPK yang
dikembangkan oleh BPKP.
E Pelaporan hasil pemeriksaan SPK
Laporan hasil pemeriksaan SPK sebagaimana yang dijelaskan pada poin 8, hanya
diserahkan kepada entitas saja, sebagai bahan bagi entitas untuk
mengembangkan SPK.
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 3

Lampiran 4. Risalah diskusi dengan BPKP

F Tindak lanjut pemeriksaan SPK


Setelah dilakukan pemeriksaan atas SPK, tindak lanjut yang dilakukan entitas
adalah mengembangkan atribut-atribut yang belum ada dan yang dinilai belum
memadai dari hasil diagnostic assessment. Mekanisme tindak lanjut ini dilakukan
dengan bimbingan teknis oleh BPKP.
Pemeriksaan SPK merupakan penugasan non audit. Pemeriksaan ini tidak secara
berkala dilakukan oleh BPKP, dan bersifat on going saja.
9. Penerapan SPK pada BPKP
Sampai saat ini BPKP belum memiliki SPK sempurna untuk kalangan BPKP sendiri.
SPK lingkungan BPKP masih dalam tahap pengembangan yang dilakukan secara
paralel dengan pengembangan SPK pada entitas BPKP.
10. SPK dan SPIP
SPK merupakan strategic tools yang ditawarkan oleh BPKP untuk mencegah dan
mendeteksi sedini mungkin terjadinya korupsi, sedangkan menurut BPKP SPIP secara
spesifik masih belum dapat digunakan untuk mencegah terjadinya korupsi.
11. Kerjasama BPKP dan APH dalam pencegahan korupsi
Terkait dengan korupsi, BPKP telah melakukan kerja sama dengan KPK dengan
bentuk kerjasama antara lain:
a. Bantuan audit investigative
b. Penyerahan kasus yang berindikasi korupsi
c. Bantuan perhitungan kerugian negara
d. Pemberian keterangan ahli
e. Pertukaran informasi terkait kasus tindak pidana korupsi
E. Rencana Selanjutnya
Berdasarkan pertemuan dengan BPKP, beberapa kegiatan yang dapat dilakukan
selanjutnya adalah:
a. Litbang BPK dapat menjalin kerja sama dengan BPKP untuk memperkaya kajian yang
berhubungan dengan SPK, salah satunya dengan meminta dokumen pedoman teknis
SPK secara tertulis dengan BPKP.
b. Melaksanakan pemeriksaan kinerja atas SPK. BPKP sangat mengharapkan BPK untuk
mengaktualisasikan rencana BPK melakukan pemeriksaan kinerja atas SPK, sehingga
diharapkan rekomendasi BPK berdasarkan hasil pemeriksaan SPK dapat
meningkatkan awareness entitas pemerintah untuk mengembangkan SPK
sebagaimana yang digagas oleh BPKP.
c. Mengundang BPKP dalam seminar tentang SPK. BPKP telah melakukan pemeriksaan
atas SPK pada beberapa entitas, karena itu BPKP dapat menjadi nara sumber dalam
mengembangkan program pemeriksaan kinerja SPK yang akan dilakukan BPK.
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 4

Lampiran 5. Risalah diskusi dengan KPK

A. Jadwal Diskusi
Hari/Tanggal
Tempat
Waktu

:
:
:

Selasa, 22 Maret 2011


Ruang Rapat KPK
Pukul 10.15 13.30

B. Peserta Diskusi
Peserta diskusi dari pihak KPK dihadiri oleh Kepala Direktorat Libang KPK, Kepala Bagian
Perencanaan, Kepla Satuan Tugas Gratifikasi, Kepala Satuan Tugas Penelitian, Staf
Litbang, Staf Gratifikasi. Sedangkan peserta diskusi dari pihak BPK dihadiri oleh Kepala
Direktorat Litbang Pemeriksaan Keuangan dan Kinerja, Kepala Seksi Litbang Pemeriksaan
Kinerja, dan Staf Litbang Pemeriksaan Kinerja.
C. Agenda Pertemuan
Pertemuan ini membahas mengenai upaya dan strategi KPK dalam pengendalian fraud di
Indonesia.
D. Pembahasan
1. Tugas Litbang KPK terkait pengendalian fraud
Tugas litbang KPK terkait pengendalian fraud antara lain:
1. Melakukan kajian atas sistem administrasi keuangan pada entitas pemerintah;
2. Memberi saran kepada entitas pemerintah terhadap sistem administrasi
keuangan;
3. Memberikan laporan kepada Presiden, DPR, dan BPK jika terdapat rekomendasi
yang tidak dilaksanakan oleh entitas pemerintah.
2. Peran KPK terkait pengendalian fraud
Sehubungan dengan pengendalian fraud, jika dikerucutkan, peran KPK dalam
pengendalian fraud adalah pencegahan dan penindakan. Pencegahan terkait
penerimaaan laporan dan pemeriksaan gratifikasi, penerimaan laporan dan
pemeriksaan LKHPN, pendidikan, sosialisasi, kampanye anti korupsi, kerja sama antar
lembaga serta tugas Monitor yaitu mengkaji dan memberikan saran kepada
pengelolaan administrasi keuangan instansi pemerintah.
3. Mekanisme monitoring terhadap sistem administrasi pada instansi pemerintah
KPK tidak melakukan reviu administrasi terhadap seluruh instansi pemerintah, hal ini
dikarenakan keterbatasan sumber daya yang dimiliki KPK. Langkah awal yang
dilakukan adalah dengan melihat area-area dan sistem yang potensial untuk
melakukan korupsi, hal yang dilakukan adalah mengidentifikasi sistem-sistem yang
memiliki risiko korupsi, contohnya adalah sistem yang berhubungan dengan
pelayanan publik seperti sistem cukai, sistem penganggaran, sistem pengelolaan TKI.
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 1

Lampiran 5. Risalah diskusi dengan KPK

Dalam melakukan monitoring, beberapa hal yang direviu adalah regulasi,


kelembagaan, bisnis proses, manajemen SDM, bahkan jika dapat dipisahkan KPK juga
dapat mereviu manajemen aset dan manajemen teknologi informasi. Setelah
melakukan reviu, KPK memberikan rekomendasi dan dipaparkan kepada pimpinan
entitas, kemudian entitas diberikan tenggang waktu selama satu bulan untuk
menyusun action plan dalam rangka menjawab rekomendasi KPK, action plan
tersebut ditelaah oleh KPK, kemudian dilakukan monitoring terhadap pelaksanaan
action plan tersebut. Dalam melakukan monitoring ini, KPK juga bekerja sama
dengan Inspektorat Jenderal masing-masing instansi.
4. Program pengendalian gratifikasi
Saat ini KPK sedang mengembangkan program pengendalian gratifikasi.
Pengendalian gratifikasi ini begaimana sistem pelaporan gratidikasi dapat dibangun
dengan melibatkan lembaga dan dapat digunakan sebagai management tools bagi
lembaga tersebut. Saat ini sedang di lakukan pilot project pada pertamina dan KPK
sendiri. Dalam RANPK, setiap entitas juga dituntut untuk memiliki mekanisme
pengendalian gratifikasi. Pengendalian gratifikasi ini lebih diarahkan pada tone from
the top, artinya setiap pimpinan harus memberi suri tauladan tentang pengendalian
gratifikasi.
5. Penilaian Inisiatif anti korupsi
Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) adalah alat ukur dalam menilai kemajuan suatu
instansi publik dalam mengembangkan upaya pemberantasan korupsi di instansinya.
PIAK ditujukan untuk mengukur apakah suatu instansi telah menerapkan sistem dan
mekanisme yang efektif untuk mencegah dan mengurangi korupsi di
lingkungannnya.
PIAK dinilai oleh tiga pihak, yaitu:
a. Unit utama mengisi kuesioner PIAK untuk direview oleh Inspektorat penilaian
sendiri (self assessment)
b. KPK mengumpulkan hasil penilaian setiap instansi melalui Inspektorat untuk
dikonfirmasi dan dinilai.
c. Lembaga Riset/Akademisi akan menetapkan nilai untuk laporan kualitatif
Indikator penilaian PIAK antara lain:
a. Kode etik
b. Peningkatan transparansi dalam manajemen SDM
c. Peningkatan transparansi dalam pengadaan
d. Peningkatan transparansi pegawai negeri
e. Peningkatan akses publik dalam memeperoleh informasi unit utama
f. Pelaksanaan saran perbaikan yang diberikan oleh KPK/ BPK/ APIP
g. Kegiatan promosi anti korupsi
h. Upaya pencegahan korupsi yang dilakukan entitas

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 2

Lampiran 5. Risalah diskusi dengan KPK

Saat ini PIAK dilakukan pada instansi pemerintah dan sedang dilakukan pilot project
pada BUMN. Jika instansi pemerintah ataupun BUMN memiliki skor yang rendah,
maka KPK akan melakukan monitoring terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki.
Dikarenakan keterbatasan anggaran dan sumberdaya, PIAK hanya diukur
berdasarkan sampling yang dibuat KPK. Dasar pertimbangan PIAK adalah penilaian
terhadap risiko korupsi yang dihadapi oleh instansi pemerintah. Kuisioner PIAK ini
diisi sendiri oleh instansi pemerintah.
6. Dasar KPK dalam mengidentifikasi pemetaan instansi yang memiliki risiko korupsi
Beberapa hal yang mendasari KPK dalam menilai risiko korupsi suatu entitas antara
lain survei integritas, PIAK, survey persepsi masyarakat, data pengaduan masyarakat,
data kepatuhan LKHPN, laporan gratifikasi.
7. Pencegahan korupsi melalui dunia pendidikan
Selain PIAK, survey integritas, pengkajian terhadap sistem administrasi, upaya lain
yang dilakukan oleh KPK terkait pencegahan korupsi adalah melalui dunia
pendidikan, KPK telah bekerja sama dengan para guru untuk membangun modul
kurikulum anti korupsi. Kurikulum ini akan disisipkan pada mata pelajaran yang
disampaikan. Misalnya penyampaian contoh soal matematika yang berhubungan
dengan anti korupsi.
8. Upaya KPK dalam membangun fraud awareness di Indonesia
Terkait dengan gratifikasi, upaya yang dilakukan adalah membangun semacam
komitmen dengan pimpinan lembaga sebagai wujud tone from the top, yakni dengan
membangun unit pengelola gratifikasi secara internal, personil dalam unit tersebut
akan diseleksi dan di training oleh KPK. KPK melakukan FGD terkait untuk
meningkatkan pengetahuan personil dalam fungsi pengendalian gratifikasi pada
suatu instansi, melakukan evaluasi dan monitoring untuk mendayagunakan program
pengendalian gratifikasi bagi manajemen untuk mengetahui kondisi instansi nya
dalam hal penerimaan gratifikasi.
9. Program kajian terhadap sistem administrasi
Setelah KPK mengidentifikasi area-area yang rawan terhadap korupsi, tim pengkaji
litbang akan melakukan kajian terhadap area yang rawan, lalu tim pengembangan
akan melakukan pengembangan dengan memberikan rekomendasi perbaikan
terhadap sistem administrasi. Instansi akan menyusun action plan terhadap
rekomendasi tersebut dan KPK akan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan
rekomendasi tersebut.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 3

Lampiran 5. Risalah diskusi dengan KPK

10. Reward and punishment dalam hal tindak lanjut rekomendasi KPK
Secara payung hukum rekomendasi akan disampakan kepada Menteri, Presiden dan
BPK. Selain itu entitas juga akan diundang ke KPK untuk melakukan diskusi. Jika cara
tersebut masih belum diindahkan, KPK akan melakukan penindakan, misalnya
dengan melakukan inspeksi mendadak. KPK juga melakukan koordinasi dengan
UKP4, dengan memasukkan penilaian KPK terhadap entitas sebagai kriteria penilaian
yang digunakan UKP4. Sedangkan bagi entitas yang dinilai baik oleh KPK, KPK akan
mengumumkan hasil penilaian tersebut kepada publik, selain itu dalam
melaksanakan FGD dengan entitas-entitas lainnya, KPK akan menjadikan entitas yang
baik tersebut sebagai narasumber dan contoh.
11. FCP yang sedang dibangun BPKP
Sampai saat ini, FCP yang sedang dibuat BPKP memang belum memiliki payung
hukum, Sebenarnya terdapat pemikiran untuk memasukkan FCP ini sebagai
keharusan bagi setiap lembaga dengan memasukkan kewajiban penyusunan FCP
tersebut pada revisi undang-undang keuangan negara. Agar FCP ini dapat dibangun
pada entitas pemerintah, BPKP, BPK dan KPK harus memiliki sinergi agar FCP dapat
memiliki payung hukum. Sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh BPK adalah
pilot project pemeriksaan kinerja tentang pengendalian fraud pada entitas
pemerintah.
12. Kendala yang dihadapi KPK dalam pengendalian korupsi
KPK memiliki kewenangan yang dipayungi undang-undang, sejauh ini KPK belum
memiliki kendala yang berarti, kendala yang dihadapi adalah terdapat segelintir
entitas (dua entitas) yang belum bisa menjalankan rekomendasi KPK, baik karena
disebabkan resistensi entitas maupun sumber daya yang dimiliki entitas.
13. Definsi Fraud menurut KPK
Persepektif KPK dalam memandang fraud adalah korupsi, namun sebenarnya fraud
seharusnya lebih luas dari korupsi, yang dilakukan KPK saat ini pun lebih luas dari
sekedar korupsi, salah satunya masalah konflik kepentingan. KPK sampai saat ini
belum mendefinisikan fraud secara khusus.
E. Rencana Selanjutnya
Berdasarkan diskusi dengan KPK, hal yang dapat dilakukan selanjutnya adalah Litbang
BPK dapat terus menjalin komunikasi dengan KPK dalam rangka pengumpulan data dan
informasi yang dibutuhkan untuk menyusun dan mengembangkan metodologi
pemeriksaan kinerja atas pengendalian fraud pada entitas pemerintah. KPK juga
bersedia untuk memberikan masukan kepada BPK dalam hal mengembangkan kriteria
pemeriksaan terhadap pengendalian fraud.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 4

Lampiran 6. Risalah diskusi dengan Kejaksaan

A. Jadwal Diskusi
Hari/Tanggal
Tempat
Waktu

:
:
:

Selasa, 8 Maret 2011


Ruang Rapat Kejaksaan Agung Muda Pengawasan
Pukul 10.00 12.00

B. Peserta Diskusi
Diskusi ini dihadiri oleh empat inspektur pengawasan, dan staf dilingkungan Jamwas
serta staf litbang pemeriksaan kinerja.
C. Agenda Pertemuan
Pertemuan ini membahas mengenai upaya dan strategi Jamwas dalam pengendalian
fraud dilingkungan kejaksaan.
D. Pembahasan
a. Definisi fraud
Menurut Jamwas, sebaiknya definisi fraud lebih dipersempit saja, karena sampai saat
ini belum ada payung hukum yang mengatur tindakan fraud, yang ada hanyalah
korupsi. Jamwas juga mengatakan bahwa fraud merupakan tindakan yang lebih
sempit dari korupsi. Untuk itu sebaiknya istilah fraud diganti saja menjadi
perbuatan hukum yang merugikan keuangan negara.
b. Pengendalian fraud pada Kejaksaan
Pengendalian fraud yang dilakukan di lingkungan kejaksaan meliputi:
1. Membangun kode etik bagi aparat kejaksaan
2. Membentuk inspekstorat untuk menjamin pelaksanaan kegiatan yang dilakukan
oleh aparat kejaksaan bebas dari fraud dan penyimpangan. Kegiatan inspeksi
yang dilakukan di kejaksaan meliputi:
a. Inspeksi umum kegiatan inspeksi terhadap penggunaan anggaran.
b. Inspeksi khusus Kegiatan inspeksi yang dilakukan berdasarkan permintaan
khusus, misalnya pengaduan masyarakat.
c. Inspeksi kasus inspeksi yang dilakukan terhadap penyalahgunaan
keuangan negara, misalnya TPTGR.
d. Inspeksi pimpinan Inspeksi yang dilakukan oleh pimpinan suatu unit kerja.
e. Inspeksi pemantauan
3. Melakukan pengawasan melekat, yaitu pemantauan terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh atasan terhadap staf di lingkungan unit kerjanya.
4. Membuka media pengaduan masyarakat terhadap tindakan penyimpangan yang
dilakukan oleh aparat kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya.
5. Mencantumkan kalimat-kalimat peringatan terhadap aparat kejaksaan untuk
selalu bekerja sesuai dengan aturan , misalnya dalam bentuk neon boks.
c. Pengendalian internal pada kejaksaan

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 1

Lampiran 6. Risalah diskusi dengan Kejaksaan

Sampai saat ini, kejaksaan belum memiliki pengendalian internal yang


terdokumentasi dengan baik. Pengendalian internal masih bersifat parsial, misalnya
dalam bentuk pengawasan dan inspeksi.
d. Fraud control plan kejaksaan
Sampai saat ini kejaksaan juga belum memiliki fraud control plan. Kejaksaan merasa
dengan adanya kegiatan inspeksi dan pengawasan melekat sudah cukup sebagai alat
untuk mengendalikan fraud pada lingkungan kejaksaan.
E. Rencana Selanjutnya
Berdasarkan pertemuan Jamwas, beberapa kegiatan yang dapat dilakukan selanjutnya
antara lain.
1. Melakukan diskusi lanjutan dengan Jaksa agung tindak pidana khusus, untuk
mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai peran kejaksaan sebagai aparat
penegak hukum dalam mengendalikan fraud di Indonesia.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 2

Lampiran 7. Risalah diskusi dengan POLRI

A. Jadwal Pertemuan
Hari/Tanggal
: Rabu, 2011
Tempat
: Ruang Rapat Itwasum POLRI
Waktu
: Pukul 09.00 12.00
B. Pimpinan dan Peserta Pertemuan
Pertemuan ini dipimpin oleh Kasubdit Litbang Pemeriksaan Keuangan dan Kinerja dan
dihadiri oleh Kepala Biro Rencana dan Administrasi Itwasum POLRI beserta
pejabat=pejabat Itwasum POLRI.
C. Agenda Pertemuan
Pertemuan ini membahas mengenai pengembangan fraud control plan POLRI.
D. Pembahasan
1. Apakah definisi Fraud menurut POLRI?
Fraud merupakan kecurangan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau
kelompoknya dengan cara melawan hukum sehingga merugikakn orang lain. Dalam
hukum pidana, fraud dapat berupa penggelapan, pencurian, korupsi atau hal serupa
lainnya.
2. Bagaimana POLRI memandang fraud dan korupsi?
Dalam aspek setiap kehidupan manusia, risiko terjadinya kecurangan selalu ada.
Oleh karena itu, diperlukan hukum yang mengatur an menjatuhkan sanksi bagi
pelakunya. Korupsi itu sendiri merupakan fraud/ kecurangan yang telah diatur secara
lex spesialis yang memiliki undang-undangnya sendiridalam UU tersebut telah
mengatur perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai korupsi dan memiliki
ancaman hukuma dari setiap perbuatan tersebut.
3. Apa saja risiko fraud yang dihadapi POLRI dalam menjalankan setiap tugas dan
fungsinya?
Risiko fraud yang dihadapi POLRI dan jajarannya adalah ketika terjadi pelanggaran
kode etik yang dapat berdampak pada sanksi disiplin, pidana/perdata. Secara
keorganisasian, masalah paling besar yang dihadapi POLRI adalah turunnya
kepercayaan masyarakat terhadap kinerja POLRI.
4. Apa langkah-langkah untuk memitigasi fraud?
Melakukan tindakan preventif untuk meminimalisir dampak negatif dari fraud,
antara lain melalui:
a. Personel: memberikan reward dan punishment secara adil.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 1

Lampiran 7. Risalah diskusi dengan POLRI

b. Pembentukan unit/bagian agar check and balance yang bertugas mengawasi dan
mengontrol sehingga tidak terjadi kecurangan. Unit tersebut juga berfungsi untuk
menerima aduan masyarakat. Penyelenggaraan pengawasan yang dilaksanakan di
tingkat Polres oleh Kanit P3D dan Kasie was. Di tingkat Polda oleh Irwasda dan
Kabid Propam serta di tingkat Mabes oleh Irwasum dan Kadiv Propam;
c. Membuat aturan-aturan sebagai pedoman dan pelaksanaan tugas di masingmasing unit/bagian/fungsi baik berupa standard operasi prosedur, prinsip-prinsip
penuntun tugas, peraturan kapolri dan petunjuk arahan lainnya.
5. Apakah SPI yang diterapkan di POLRI sudah cukup sebagai alat pengendalian
fraud?
SPI di lingkungan POLRI dibuat dalam bentuk peraturan yang engatur tugas anggota
POLRI baik aturan disiplin dank ode etik, pidana maupun ganti rugi dan selalu
dilakukan update peraturan.
6. Bagaimana mekanisme pengendalian fraud: pencegahan, pendeteksian dan
penanganan, di lingkungan POLRI?
a. Pencegahan: Membuat aturan-aturan, pedoman tentang pelaksanaan tugas,
pentetapan komitmen moral, pakta integritas, pemberian jukrah dan supervise
kepada satuan dibawahnya, serta waskat.
b. Pendeteksian: Membuka ruang publik untuk menampung aduan masyarakat dan
LSM, melakukan kerjasama dengan institusi terkait seperti Kompolnas,
Ombudsman, Satgas Mafia Hukum, BPK, BPKP, Kemeneg PAN dan RB, DPR RI,
KPK dan pers untuk meningkatkan kinerja POLRI dengan meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas. Disamping itu, POLRI juga melakukan
pengawasan secara terprogram melalui Itwasum maupun berdasarkan hasil
pemeriksaan BPK.
c. Penanganan: Melalui mekanisme peraturan disiplin anggota POLRI, kode etik
POLRI, serta kepastian hukum.
7. Peraturan apa saja yang telah dibuat POLRI terkait pengendalian Fraud?
Peraturan terkait disiplin dank ode etik anggota, terutama di masing-masing fungsi,
diantaranya:
a. Bidang Pengawasan anggota personil
b. Bidang pengawasan dan pemeriksaan
c. Bidang pengawasan penyidikan; Yaitu peraturan Kapolri Nomor 12 tahun 2009
tentang Penyelenggaraan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di
Lingkungan Polri.
8. Dalam organsasi POLRI, unit manakah yang bertanggungjawab terhadap
pengendalian fraud?
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 2

Lampiran 7. Risalah diskusi dengan POLRI

a. Atasan langsung, melalui pengawasan dan pengendalian, dan para pembina fungsi
yang bertugas memberikan petunjuk-petunjuk teknis pelaksanaan tugas dan
fungsi di bawahnya;
b. Secara khusus dilakukan oleh:
1) Propam untuk pelanggaran terhadap peraturan disiplin POLRI dan etika POLRI.
2) Itwasum untuk pelanggaran terhadap manajemen dan pengelolaan keuangan
negara; dan
3) Bareskrim untuk pelanggaran yang bersifat pidana.
9. Bagaimana struktur organisasi yang dibentuk dalam pelanggaran fraud di
lingkungan POLRI?
Struktur pengendalian fraud atau istilahnya pengawasan dilakukan oleh:
a. Pengawas Internal (Itwasum) yang bertugas melakukan wasrik terutama dibidang
manajemen dan pengelolaan keuangan; dan
b. Propam yang bertugas di bidang pengawasan disiplin dan kode etik;
10. Apakah kriteria yang digunakan oleh unit pengendalian fraud dalam menilai
pengendalian fraud di lingkungan POLRI?
Mekanisme disiplin, kode etik dan pidana
11. Apakah POLRI memiliki mekanisme Whistle-blower untuk menampung segala
aduan tentang adanya fraud di lingkungan POLRI?
Mekanisme Whistle-blower sudah ada, meskipun masih dalam bentuk rancangan
peraturan Kapolri.
12. Bagaimana strategi kedepan POLRI dalam mengendalikan fraud?
a. Melalui grand strategy POLRI 2005-2025 yang saat ini masuk dalam tahap kedua.
Tahap I adalah tahap Trust Building;
b. Tahap II adalah tahap Partnership Building; dan
c. Tahap III yaitu tahap Strive for Exelent dengan prinsip mengutamakan pencegahan
daripada penindakan.
13. Bentuk apa yang paling sering dilakukan dalam pengendalian fraud?
Bentuk yang paling sering dilakukan adalah Waskat, wasrik, wasfung, sidak,
supervise, sosialisasi peraturan-peraturan jukrah, pembuatan pedoman kerja,
command wish, pelaporan LHKPN, penerimaan complain masyarakat/dumas,
kerjasama dengan lembaga-lembaga lain, proses sidang disiplin, sidang kode etik,
sidang pidana.
14. Bagaimana trend terjadinya fraud di lingkungan POLRI?

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 3

Lampiran 7. Risalah diskusi dengan POLRI

Trend terjadinya fraud di lingkungan POLRI adalah pelanggaran hukum/HAM seperti


pencurian, penggelapan dan penyalahgunaan wewenang terutama dalam proses
penyidikan suatu tindak pidana.
15. Apa saja kendala yang dihadapi POLRI dalam menangani fraud?
Pandangan negative sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa proses
penghukuman terhadap anggota belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat
khususnya yang menjadi korban, karena proses penegakan hukum juga dilakukan
oleh kepolisian itu sendiri.
16. Dengan pihak mana saja POLRI melakukan kerjasama terkait pengendalian fraud?
D Dengan BPK, BPKP dalam hal yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
negara;
EDengan KPK dan PPATK dalam hal yang berkaitan dengan pengungkapan kasus
pidana korupsi dan money laundry;
F Dengan Kompolnas, Kemeng PAN dan RB, Ombudsman dalam hal yang berkaitan
dengan complain masyarakat terhadap pelaksanaan tugas penyidikan, perilaku
anggota dan lain-lain; dan
GSatgas Mafia Hukum, dalam hal berkaitan dengan kasus-kasus penyidikan

17. Apakah terdapat kemungkinan seorang penyidik dari Itwasum melakukan


penyidikan atau pemeriksaan terhadap aparat kepolisian yang memiliki jabatan
dan pangkat lebih tinggi dari penyidik tersebut?
Ya, mungkin dan sering terjadi. Risiko yang mungkin diterima oleh penyidik tersebut
adalah kemungkinan bahwa pejabat yang diperiksa tersebut suatu saat menjadi
atasan dari penyidik tersebut, atau menggunakan jabatannya untuk membalas
tindakan penyidik tersebut. Saat ini Itwasum masih merumuskan mekanisme untuk
mengurangi risiko tersebut.
18. Bagaimana bila kasus terjadi di lingkungan Polda?
Kasus di lingkungan Polda akan ditangani oleh Irwasda. Bila kasus tersebut
menyangkut lintas wilayah, maka akan dilakukan koordinasi lintas irwasda. Kasus
akan naik ke tingkat lebih tinggi setelah pertimbangan tertentu.
19. Apakah dalam usaha pencegahan fraud / korupsi di lingkungan Kepolisian, POLRI
telah bekerja sama dengan KPK?
Ya, melalui sistem PIAK (Penilaian Inisiatif Anti Korupsi) yang dilakukan oleh Itwasum,
kemudian hasilnya diserahkan ke KPK untuk dilakukan konfirmasi dan penilaian.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 4

Lampiran 8. Risalah diskusi dengan PPATK

A. Jadwal Pertemuan
Hari/Tanggal
: Selasa, 19 April 2011
Tempat
: Ruang Rapat Wakil Kepala Bidang Administrasi Gedung Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Lantai 2
Waktu
: Pukul 10.00 12.30
B. Pimpinan dan Peserta Diskusi
Diskusi dipimpin oleh Wakil Direktur Audit Internal. Peserta diskusi dari pihak PPATK
dihadiri oleh auditor internal dan Staf Direktorat Sumber Daya Manusia. Sedangkan dari
pihak BPK dihadiri oleh Kasubdit Litbang Pemeriksaan Keuangan dan Kinerja, Kasie
Litbang Pemeriksaan Kinerja dan enam orang staf Litbang Pemeriksaan Kinerja.
C. Agenda Pertemuan
Pertemuan ini membahas mengenai strategi PPATK dalam pencegahan fraud.
D. Pembahasan
1. Gambaran Umum
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dibentuk berdasarkan
amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang. PPATK merupakan suatu lembaga intelejen keuangan independen yang
bertanggung jawab kepada Presiden, yang secara internasional dikenal sebagai
Financial Intelligence Unit (FIU). PPATK terdiri dari sembilan Direktorat, yaitu Riset
dan Analisis, Kerja Sama Antar Lembaga, Hukum dan Regulasi, Pengawasan dan
Kepatuhan, Pengembangan aplikasi Sistem, Keuangan, Sumber Daya Manusia, dan
Umum. Saat ini PPATK memiliki 250 orang pegawai dengan dengan tiga tipe status
pegawai, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai dipekerjakan, dan Pegawai
kontrak.
2. Definisi Fraud
PPATK belum secara baku mendefinisikan fraud, sehingga karyawan PPATK belum
mengetahui tindakan apa saja yang termasuk kategori fraud. Namun berdasarkan
hasil wawancara dengan pihak PPATK, fraud merupakan suatu bentuk
penyimpangan yang tidak hanya terhadap hal-hal yang bersifat finansial saja, namun
juga terhadap penyalahgunaan wewenang dan aset negara.
3. Risiko Fraud
Risiko fraud yang mungkin dihadapi oleh PPATK adalah kerahasiaan informasi. Saat
ini, PPATK sedang mengembangkan model manajemen risiko yang disesuaikan
dengan renja dengan titik berat kepada outcome, artinya PPATK mengidentifikasi
hal-hal apa yang akan menghambat ketercapaian outcome. Identifikasi terhadap
risiko ketidaktercapaian outcome tersebut dilakukan secara mandiri oleh unit kerja
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 1

Lampiran 8. Risalah diskusi dengan PPATK

yang terkait. Selain mengidentifikasi risiko, unit terkait tersebut juga


mengidentifikasikan kemungkinan penyebab, akibat dan dampak yang ditimbulkan
dari ketidaktercapaian outcome tersebut. Risiko tersebut juga akan direviu setiap
semesteran. Untuk menekan risiko kerahasiaan informasi tersebut, PPATK telah
melakukan pengendalian atas risiko tersebut, misalnya adanya CCTV, pembatasan
akses terhadap ruangan, pembatasan akses antar pekerjaan yang dilakukan oleh
analis, adanya sistem komputer yang secara terpisah hanya untuk mengkases
informasi yang bersifat rahasia, adanya perjanjian (sumpah) bagi karyawan untuk
menjaga kerahasiaan informasi. Untuk mendukung pengendalian risiko fraud di
PPATK, tingkat kesehateraan karyawan PPATK juga diperhatikan, dengan adanya
sistem penghasilan single income (tidak ada honor-honor) yang jumlahnya diatas
dari penghasilan rata-rata.
4. Kasus fraud di PPATK
Sampai saat ini kasus fraud yang terjadi di PPATK meliputi penyalahgunaan aset,
misalnya penyalahgunaan kendaraan dinas dan masalah pelelangan.
5. SPI dan fraud control
Fraud control di PPATK diatur dalam good governance yang diadopsi oleh PPATK.
Menurut PPATK, SPI masih belum cukup untuk mengendalikan fraud, karena
terdapat beberapa komponen yang tidak ada di SPI seperti conflict of interest dan
fairness. SPI di PPATK lebih pada level operasional, sedangkan untuk level strategis
lebih banyak diatur dalam good governance.
6. Mekanisme penanganan fraud di lingkungan PPATK
Setelah PPATK secara internal menerima laporan mengenai adanya fraud, kemudian
bagian audit internal akan melakukan validasi atas informasi tersebut, informasi
tersebut akan dianalisis, lalu dilaporkan kepada pimpinan. Jika ditemukan indikasi
adanya korupsi (fraud) akan disampaikan kepada kepolisian, kejaksaan dan KPK.
Dalam mengklarifikasi informasi mengenai fraud, tim auditor internal melakukan
investigasi dengan lebih mengutamakan kasus-kasus yang melibatkan pimpinan dan
material.
7. Peran PPATK dalam penanganan fraud di Indonesia
Indonesia merupakan lembaga intelejen keuangan yang menganalisis transaksitransaksi keuangan yang bersifat tidak wajar. Hal ini dilakukan melalui mekanisme
pelaporan pencucian uang yang ada pada reporting partis seperti bank, developer,
dealer, toko mas, dll. Setelah mendapatkan informasi tersebut, PPATK akan
melakukan analisis untuk mengetahui adanya fraud atau tidak. Saat ini PPATK sedang
mengembangkan on line reporting agar penanganannya lebih efisien.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 2

Lampiran 8. Risalah diskusi dengan PPATK

E. Rencana Selanjutnya
PPATK bersedia untuk mendukung kebetuhan BPK dalam hal pilot project pengendalian
fraud. PPATK lebih menyarankan agar BPK jangan menggunakan istilah pengendalian
fraud, karena akan menimbulkan resistensi ketakutan bagi para auditee, untuk itu BPK
perlu mencari istilah yang tepat agar auditee dapat bekerja sama untuk mendukung
pemeriksaan tersebut.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 3

Lampiran 9. Risalah diskusi dengan Ditjen Perbendaharaan

A. Jadwal Pertemuan
Hari/Tanggal
: Jumat, 25 Maret 2011
Tempat
: Ruang Rapat Piet Harjono Gedung Perbendaharaan I Lantai 2
Waktu
: Pukul 09.00 11.30
B. Pimpinan dan Peserta Diskusi
Diskusi ini dihadiri oleh beberapa orang dari kedua belah, BPK RI dan Ditjen
Perbendaharaan. Dari BPK RI dihadiri oleh Kasubdit Litbang Pemeriksaan Keuangan dan
Kinerja, Kasie Litbang Pemeriksaan Kinerja dan enam orang staf Litbang Pemeriksaan
Kinerja, serta dari Ditjen Perbendaharaan dihadiri oleh Kabag Organisasi Tata Laksana
(OTL), Kabag Administrasi Kepegawaian, Kasubag Evaluasi Hasil Pemeriksaan dan
Kinerja, Kasubag Penyusunan Kinerja Pelaporan (PKP), satu orang staf dari Kepegawaian,
dan satu orang staf dari OTL. Diskusi dipimpin oleh Kasubag Evaluasi Kinerja dari Ditjen
Perbendaharaan.
C. Agenda Pertemuan
Pertemuan ini membahas mengenai strategi Ditjen Perbendaharaan dalam pencegahan
fraud.
D. Pembahasan
1. Gambaran Umum
Ditjen Perbendaharaan memiliki struktur organisasi yang besar, yang terdiri dari
Kantor Pusat ( 1 Sekretariat, 7 Direktorat), 30 Kantor Wilayah (di ibukota propinsi),
37 KPPN Percontohan ( di Ibukota Propinsi), 140 KPPN Non Percontohan (di Ibukota
Kab/Kota), dan memiliki 9261 Pegawai (per Desember 2010) sehingga membutuhkan
rentang pengawasan dan pengendalian yang besar. Tugas Ditjen Perbendaharaan
adalah sebagai mengelola perbendaharaan negara, yang meliputi pelaksanaan
anggaran, pengelolaan kas negara, manajemen investasi, pembinaan PK-BLU,
akuntansi dan pelaporan keuangan yang membutuhkan kredibilitas dan integritas
tinggi; dalam melaksanakan tugas tersebut, Ditjen Perbendaharaan berinteraksi
dengan pihak Kementerian Negara/Lembaga, Satuan Kerja dan Pihak Perbankan,
yang harus dijamin tidak terjadi konflik kepentingan, dan mengakibatkan kerugian
negara.
2. Definisi Fraud
Menurut Ditjen Perbendaharaan, definisi fraud merupakan penyimpangan terhadap
peraturan yang ada dan mengandung unsur kesengajaan serta berpotensi
menimbulkan tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ditjen Perbendaharaan juga
mengacu pada aturan yang berlaku umum yaitu fraud menurut UU Tipikor yang
definisinya cenderung ke arah korupsi.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 1

Lampiran 9. Risalah diskusi dengan Ditjen Perbendaharaan

3. Strategi untuk pencegahan fraud


Ditjen Perbendaharaan sudah melakukan manajemen resiko dan membuat
pemetaan resiko dalam rangka pencegahan fraud, dalam pemetaan resiko dibagi
menjadi beberapa tahapan, yaitu: identifikasi resiko, analisis resiko, dan mitigasi
resiko.
Sebagai pendukung program anti korupsi, Ditjen Perbendaharaan telah melakukan:
 Transparansi Penyelenggara Negara
 Penyampaian LHKPN
 Sosialisasi Anti Gratifikasi dan Pelaporan Gratifikasi
 Promosi Anti Korupsi dan Akses Publik dalam Memperoleh Informasi
 Media website, banner, flyer, running text, annual report , talkshow di TV/Radio,
dll.
 Seruan/sosialisasi anti korupsi dalam setiap kesempatan kepada seluruh
pejabat/pegawai
 Tindaklanjut Pemeriksaan Aparat Pemeriksa/ Pengawas Fungsional (BPK, Itjen
Kemenkeu, KPK).
Selain itu Ditjen Perbendaharaan juga telah melakukan reformasi birokrasi untuk
mencapai good governance yaitu antara lain dalam bidang kelembagaan, proses
bisnis dan SDM.
Pada sisi kelembagaan, seluruh KPPN menerapkan SOP KPPN Percontohan
pada bulan Maret Tahun 2010 pada bulan September 2010, seluruh Kanwil Ditjen
Perbendaharaan menerapkan Layanan Unggulan. SOP KPPN Percontohan dan
Layanan Unggulan Kanwil Ditjen Perbendaharaan menjamin pelaksanaan tugas
dilakukan dengan bebas pungutan, transparan, profesional, dan akuntabel.
Pada sisi proses bisnis, Ditjen Perbendaharaan telah melakukan beberapa hal
yaitu:
 Melaksanakan Treasury Single Account (TSA)
 Melaksanakan Treasury Notional Pooling (TNP)
 Melaksanakan Lelang Bank Operasional I
 Melaksanakan Sistem barcode pada KIPS
 Melaksanakan Upaya penertiban rekening instansi
 Melaksanakan Pengamanan database pada KPPN
 Melaksanakan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN)
 Melaksanakan Manajemen Kinerja dan Manajemen Risiko
 Melaksanakan E-Procurement
Selain itu, seluruh proses bisnis yang ada di Ditjen Perbendaharaan telah ditetapkan
standar operasi prosedur. Pada kantor pusat ada 1.116 SOP, pada Kanwil DJPBN
Layanan Unggulan ada 115 SOP, pada KPPN Percontohan ada 100 SOP , pada KPPN
Khusus ada 62 SOP dan ada 6 SOP mobile/filial.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 2

Lampiran 9. Risalah diskusi dengan Ditjen Perbendaharaan

Pada sisi SDM, Ditjen Perbendaharaan telah menetapkan beberapa, sebagai


berikut:
 Kode etik yang diwajibkan untuk dipedomani para pegawai, ditampilkan dalam
setiap informasi, dilakukan sosialisasi dan monitoring secara berkala, serta
melaksanakan langkah-langkah penegakan;
Pakta Integritas ditetapkan antara:
9 Direktur Jenderal dengan Sekretaris Ditjen, Para Direktur dan Para Kepala
Kanwil;
9 Para Kepala Kanwil dengan para Kepala KPPN;
9 Para Kepala KPPN dengan Pimpinan Satuan Kerja/KPA dan mitra kerja.
Seleksi Pejabat Eselon II, Pejabat Eselon III, dan Pejabat Eselon IV, dilakukan melalui
Assessment Centre.
Peningkatan kompetensi dan kapasitas sumber daya manusia dilakukan melalui
Treasury Learning Centre.
Sistem penilaian kinerja pegawai: SE-30/PB/2009 tentang Pelaksanaan Penetapan,
Evaluasi, Penilaian, Kenaikan, dan Penurunan Jabatan dan Peringkat bagi
Pemangku Jabatan Pelaksana di Lingkungan DJPBN
September 2010 Kontrak Kinerja s.d. level Eselon III.
DJPBN menerapkan kontrak kinerja s.d. level staf /fungsional (Kemenkeu-Five) pada
tahun 2011.
4. Peran Sekretariat Ditjen Perbendaharaan
Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Subbagian Evaluasi Hasil Pemeriksaan
dan Kinerja
melakukan pengelolaan indikator kinerja utama (IKU) dan manajemen risiko lingkup
Ditjen, melakukan pemantauan tindak lanjut atas laporan hasil pemeriksaan aparat
pengawasan fungsional dan penyiapan bahan penelitian kebenaran pengaduan
masyarakat serta pengendalian pelaksanaan tugas kantor vertical.
Sedangkan Bagian Administrasi Kepegawaian, Subbagian Penanganan Disiplin
dan Pemberhentian Pegawai melakukan urusan penegakan disiplin dan
pemberhentian pegawai serta penyiapan bahan-bahan pembinaan pegawai.
5. Awareness terhadap pencegahan fraud di lingkungan Ditjen Perbendaharaan
Ditjen Perbendaharaan melakukan awareness dengan cara pemberian contoh
dari para pimpinan/pejabat, melakukan sosialisasi di forum-forum (bimbingan teknis)
sebagai motivator kepada para pegawai di Ditjen Perbendaharaan.
6. Kendala yang dihadapi Ditjen Perbendaharaan dalam pencegahan fraud
Kendala yang ada berasal dari internal dan eksternal, pada internal Ditjen
Perbendaharaan, kendalanya adalah pada pemberian pemahaman pada satkersatker dalam rangka pencegahan fraud dan kendala pada pembentukan KPPN
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 3

Lampiran 9. Risalah diskusi dengan Ditjen Perbendaharaan

Percontohan adalah pada sisi SDM yang belum paham terhadap pencegahan fraud,
teknologi yang mendukung belum dapat diterapkan sepenuhnya, sarana yang belum
memadai.
Sedangkan hambatan dari eksternal adalah pihak yang ada diluar Ditjen
Perbendaharaan (seperti Kementerian/Lembaga) yang tidak sejalan dengan Ditjen
Perbendaharaan dalam mencegah fraud, yaitu masih sering melakukan tindakan
fraud seperti penyuapan kepada pihak KPPN.

E. Rencana Selanjutnya
Dalam rangka pengumpulan data dan informasi untuk menyusun dan mengembangkan
metodologi pemeriksaan kinerja atas pengendalian fraud pada entitas pemerintah, hal
yang dapat dilakukan selanjutnya adalah Direktorat Litbang BPK dapat menjalin
kerjasama dan komunikasi dengan Bagian Organisasi Tata Laksana Ditjen
Perbendaharaan dimana bagian tersebut sedang mengkaji untuk pembentukan Unit
Kepatuhan Internal (UKI) sesuai dengan PMK-103/PMK.09/2010 tentang Tata Cara
Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan Pelanggaran/Whistleblowing di Lingkungan
Kemenkeu.
Sedangkan langkah-langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan
adalah:
1) Kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka penerapan
Program Pengendalian Gratifikasi (PPG).
2) Pengimplementasian manajemen risiko secara efektif dalam rangka pemetaan dan
mitigasi risiko fraud pada unit lingkup Ditjen Perbendaharaan.
3) Kajian pembentukan Unit Kepatuhan Internal/UKI (sesuai PMK-103/PMK.09/2010
tentang
Tata
Cara
Pengelolaan
dan
Tindak
Lanjut
Pelaporan
Pelanggaran/Whistleblowing di Lingkungan Kemenkeu).

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 4

Lampiran 10. Risalah diskusi dengan Ditjen Bea Cukai (DJBC)

A. Jadwal Pertemuan
Hari/Tanggal
: Kamis, 24 Maret 2011
Tempat
: Ruang Rapat Menteri Keuangan, Gedung Pusat Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai
Waktu
: Pukul 09.30 12.00
B. Pimpinan dan Peserta Diskusi
Diskusi ini dibuka oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Diskusi ini dipimpin oleh Kepala
Pusat Kepatuhan Internal Bea dan Cukai. Pihak Ditjen Bea dan Cukai dihadiri oleh Kepala
Bidang Analisis dan Tindak Lanjut, Kasubdit Cukai Hasil Tembakau, Kasubdit Nilai
Pabean, Kepala Bagian Keuangan, Kepala Seksi Evaluasi Kinerja, Kepala Seksi Evaluasi
Hasil Audit, Staf Bagian Keuangan, Staf Bagian Penerimaan, dan Staf Bagian Administrasi.
Sedangkan pihak BPK dihadiri oleh Kepala Direktorat Litbang, Kepala Sub Direktorat
Litbang Pemeriksaan Keuangan dan Kinerja, Kepala Seksi Litbang Pemeriksaan Kinerja
dan Staf Seksi Litbang Pemeriksaan Kinerja.
C. Agenda Pertemuan
Pertemuan ini membahas mengenai pengendalian fraud pada Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.
D. Pembahasan
1. Definisi Fraud
Definisi fraud menurut Dirjen Bea Cukai lebih luas daripada hanya sebatas
pengertian korupsi. Fraud menurut Dirjen Bea Cukai lebih diterjemahkan sebagai
pelanggaran. Fraud di Dirjen Bea Cukai terdiri dari fraud di bidang kepabean, di
bidang cukai, dan di bidang kepatuhan internal. Fraud di DJBC termasuk
pelanggaran administratif dan pidana. Fraud di kepatuhan internal adalah fraud
yang terjadi karena tindakan yang berlawanan dengan norma-norma yang sudah
didefinisikan yang menimbulkan potensi kerugian negara. Unit khusus yaitu unit
penindakan dan penyidikan (P2) dan audit menangani pelanggaran di bidang
kepabeanan oleh importir dan eksportir sedangkan fraud yang dilakukan oleh
personal pegawai menjadi bidang kepatuhan internal. Contoh: pegawai yang tidak
masuk selama sebulan merupakan fraud kepatuhan internal.
2. Reformasi Organisasi DJBC terkait pengendalian fraud
Pada tahun 2007, Ditjen Bea dan Cukai melakukan reformasi kepabeanan, reformasi
ini dimanifestasikan dengan membentuk kantor pelayanan utama dan kantor
pelayanan madya. Reformasi ini tidak hanya terkait dengan pengendalian fraud
saja, namun juga penerapan peraturan perundang-undangan dan peraturan
kepabeanan. Dalam reformasi ini, Ditjen Bea dan Cukai juga melakukan revitalisasi
atas organisasi, yakni dengan membentuk seksi kepatuhan internal pada eselon III.
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 1

Lampiran 10. Risalah diskusi dengan Ditjen Bea Cukai (DJBC)

Pada tahun 2009 dibentuklah Pusat Kepatuhan Internal untuk mengintegrasikan


seksi kepatuhan internal yang ada. Selain organisasi DJBC juga melakukan
revitalisasi pada sistem dan prosedur serta SDM yang ada dengan meningkatkan
integritas dan kompetensi.
3. Organisasi pengendalian fraud pada DJBC
Unit Kerja Kepatuhan Internal (UKKI) terdapat pada kantor pusat dan pada instansi
vertikal Ditjen Bea dan Cukai. UKKI pada Kantor Pusat DJBC berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan, yang karena sifat tugasnya, secara
teknis operasional dan administratif bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal
Bea dan Cukai, UKKI pada kantor pusat adalah Pusat kepatuhan internal (PUSKI).
UKKI pada instansi vertikal Ditjen Bea dan Cukai berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada instansi vertikal Ditjen Bea dan Cukai. UKKI pada instansi vertikal
terdiri dari BUKI pada Kanwil DJBC, Bidang Kepatuhan Internal pada Kantor
Pelayanan Utama, Seksi Kepatuhan Internal pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai
(KPBC) Tipe Madya, Subbag Umum pada KPBC Tipe A1, A2, A3, PSO dan BPIB dan
urusan umum pada KPBC Tipe B. Selain UKKI juga terdapat unit yang lain dalam
pengendalian fraud yaitu unit bimbingan kepatuhan dan pelayanan informasi. Unit
ini mempunyai fungsi untuk mengendalikan fraud yang dilakukan oleh pihak
eksternal. Tugas unit ini adalah untuk mendorong importir dan eksportir taat pada
peraturan perundang-undangan.
4. Tugas unit kerja kepatuhan internal
Tugas unit kerja kepatuhan internal antara lain memastikan bahwa semua prosedur
yang ditetapkan telah dijalankan dan seluruh pegawai telah bekerja sesuai dengan
peraturan dan standar yang ditetapkan.
5. Kebijakan Pengendalian Internal DJBC
Kebijakan pengendalian internal DJBC dibentuk berdasarkan teori pengendalian
internal dari Committee of Sponsoring Organizations (COSO). Untuk pola kerja
pengendalian internal di DJBC dibagi menjadi tiga level yaitu pusat dengan titik
fokusnya kepada kebijakan, wilayah yang fokusnya pada kebijakan dan operasional,
dan pelayanan yang lebih fokus kepada operasional. Strategi pengembangan
pengendalian internal diawali dengan penataan lingkungan pengendalian yang
berisi norma-norma yang harus dipatuhi. Strategi berikutnya adalah risk
manajemen. UKKI wajib memiliki peta risiko yang digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengendalian. Peta risiko dikelola secara
online dan dikoordinasikan dengan PUSKI. Pengelolaan peta risiko yang dikelola
secara online akan dimulai pada tahun 2011. Optimalisasi kegiatan pengendalian
dilakukan dengan pembinaan sumber daya manusia (SDM), pengawasan kepatuhan
pelaksanaan tugas, evaluasi kinerja dan penanganan pengaduan masyarakat.
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 2

Lampiran 10. Risalah diskusi dengan Ditjen Bea Cukai (DJBC)

Strategi pengembangan pengendalian internal yang terakhir yaitu pemanfaatan


teknologi informasi dan sarana dengan menggunakan alat dashboard daily activity
monitoring system (Dashboard DAMS), otomatisasi sistem dan prosedur,
pengadaan server dan sarana komunikasi UKKI melalui mailist dan tersedianya link
UKKI di website DJBC. Terkait dengan pengendalian fraud, DJBC berpendapat bahwa
pengendalian internal DJBC belum cukup sebagai alat untuk dapat mengendalikan
fraud, karena faktor waktu, mengingat implementasi pengendalian internal belum
lama diterapkan di DJBC. Namun jika Dashboard DAMS sudah berjalan, maka DJBC
yakin bahwa alat tersebut mampu mengendalikan fraud di lingkungan DJBC.

6. Implementasi Pengendalian Internal DJBC


DJBC sudah menerapkan kebijakan pengendalian internal seperti peraturan yang
terkait dengan pengendalian internal. Peraturan tersebut mengatur mengenai
disiplin PNS, kode etik PNS maupun DJBC, komisi kode etik, tata kerja UKKI, pakta
integritas, penghargaan bagi pegawai DJBC, serta tata nilai dan budaya organisasi.
Stategi penegakan kepatuhan internal berupa siklus dalam wujud Waskat,
pengawasan kepatuhan pelaksanaan tugas melalui alat Balance Scorecard, evaluasi
kinerja, penanganan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan, penanganan pengaduan
masyarakat, pembinaan personil dan rekomendasi peningkatan pelaksanaan tugas.
7. Pengawasan Melekat
Pengawasan Melekat di DJBC dilakukan dengan menggunakan siklus pencegahan,
pemantauan, analisa, penindakan, laporan, evaluasi, dan tindak lanjut. Peran UKKI
melakukan pemantauan pada setiap tahapan proses waskat agar berjalan sesuai
ketentuan, dan melakukan asistensi dan supervisi dalam penanganan pelanggaran
kode etik dan disiplin pegawai.
8. Pengaduan Masyarakat
Pengaduan masyarakat bisa dilakukan melalui meja pengaduan PUSKI KC, telepon,
facsimile, email dan surat. Hasil pengaduan masyarakat dimonitor melalui Indikator
Kinerja Utama (IKU) unit Kepatuhan Internal.

9. Kerjasama DJBC dengan KPK


KPK sejak tahun 2006 memberi asistensi kepada Dirjen Bea Cukai dalam hal
meningkatkan skor survey integritas layanan sektor publik DJBC dan survey
Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK), sosialisasi LHKPN, serta asistensi dan supervisi
dalam penyusunan whistle blower system. Sistem pengaduan sudah dibuka tidak
hanya di level pusat tapi juga di daerah baik kanwil mapun pelayanan. Tetapi
mekanisme perlindungan untuk whistle blower belum ada.
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 3

Lampiran 10. Risalah diskusi dengan Ditjen Bea Cukai (DJBC)

10. Hasil Survei Integritas Layanan Sektor Publik


Hasil Survei Integritas Layanan Sektor Publik KPK terhadap layanan cukai dan
layanan import terdapat perbedaan yang cukup tinggi. Hasil survey integritas
terhadap layanan impor (pelabuhan) lebih buruk (5,63) daripada layanan cukai
(6,68). Hal ini disebabkan karena lingkungan kerja yang berbeda. Berdasarkan PIAK
DJBC yang mendapatkan rangking nomor dua maka sebenarnya semua yang
diperlukan untuk memberantas korupsi telah ada. Sedangkan target survey
integritas layanan sektor publik DJBC adalah mendapatkan nilai minimal 6.

11. Publikasi Fraud pada DJBC


DJBC akan mempublikasikan detail fraud yang terjadi tapi tidak akan menyebutkan
nama. Publikasi hanya akan dilakukan secara internal dan tidak untuk konsumsi
eksternal.

E. Rencana Selanjutnya
Berdasarkan diskusi dengan Ditjen Bea dan Cukai, hal yang dapat dilakukan selanjutnya
adalah Litbang BPK dapat terus menjalin komunikasi dengan Bagian kepatuhan Internal
Ditjen Bea dan Cukai dalam rangka pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan
untuk menyusun dan mengembangkan metodologi pemeriksaan kinerja atas
pengendalian fraud pada entitas pemerintah.

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 4

Lampiran 11.

Risalah Diskusi Dengan Garuda Indonesia

(Pencegahan Korupsi di Garuda Indonesia)

A. Jadwal Pertemuan
+DUL7DQJJDO  6HODVD-XQL
7HPSDW
 5XDQJ5DSDW NDQWRU*DUXGD ,QGRQHVLDGL %DQGDUD8GDUD6RHNDUQR
+DWWD&HQJNDUHQJ
:DNWX
 3XNXO
B. Pimpinan dan Peserta Diskusi
'LVNXVL GLSLPSLQ ROHK 9LFH 3UHVLGHQW ,QWHUQDO DXGLW *DUXGD 3HVHUWD GLVNXVL GDUL SLKDN
*DUXGD GLKDGLUL ROHK 6HQLRU 0DQDJHU *&* ,PSOHPHQWDWLRQ GDQ EHEHUDSD RUDQJ VWDI
VHNUHWDULDW *&* LPSOHPHQWDWLRQ GDQ DXGLW LQWHUQDO 6HGDQJNDQ GDUL SLKDN %3. GLKDGLUL
ROHK .DVXEGLW /LWEDQJ 3HPHULNVDDQ .HXDQJDQ GDQ .LQHUMD .DVLH /LWEDQJ 3HPHULNVDDQ
.LQHUMDGDQHQDPRUDQJVWDI/LWEDQJ3HPHULNVDDQ.LQHUMD

C. Agenda Pertemuan
3HUWHPXDQ LQL PHPEDKDV PHQJHQDL VWUDWHJL SHQJHQGDOLDQ NRUXSVL \DQJ GLODNXNDQ ROHK
*DUXGD,QGRQHVLD

D. Pembahasan
 3HUNHPEDQJDQSHQJHQGDOLDQNRUXSVL
*DUXGDWHODKPHPEHQWXNSHQJHQGDOLDQWHUKDGDSNRUXSVLVHMDNWDKXQ8QLWXQLW
\DQJ WHUOLEDW GDODP SHQJHQGDOLDQ NRUXSVL DGDODK 63, FRUSRUDWH OHJDO SHUVRQDOLD
corporate comunication 3DGD WDKXQ  EHUGDVDUNDQ VXUDW 0HQSDQ GDQ .HPHQHJ
%801 *DUXGD VXGDK PHPEXDW PHNDQLVPH SHQDQJDQDQ SHQJDGXDQ PDV\DUDNDW
3DGD WDKXQ  GLEHQWXN NRPLWH SHQDQJDQDQ SHQJDGXDQ NRUXSVL NROXVL GDQ
QHSRWLVPH GHQJDQ PHGLD NRWDN SHQJDGXDQ LQWHUQHW GDQ WURPRO SRV 7HUDNKLU SDGD
WDKXQ GLEHQWXN whistle-blower system HWLND NHUMD GDQ HWLND ELVQLV GDQ
SHQJHQGDOLDQJUDWLILNDVL\DQJGLWDQJDQLROHKcorporate secretary
 3HQJHQGDOLDQNRUXSVL
3HQJHQGDOLDQ NRUXSVL GL *DUXGD GLGDVDUNDQ SDGD NRQVHS Good Corporate
Gorvenance *&* GDQQLODLSHUXVDKDDQ*&*WHUGLULGDULWLJDSLODUXWDPD\DLWX  
compliance NHSDWXKDQ \DLWX NHSDWXKDQ WHUKDGDS NHWHQWXDQ GDQ SHUXQGDQJDQ \DQJ
EHUODNX   conformity NHSDWXWDQ \DLWXSHQ\HOHQJJDUDDQSHUXVDKDDQVHVXDL GHQJDQ
HWLND GDQ PRUDO   performance NLQHUMD \DLWX NHWHUFDSDLDQ VDVDUDQ WDUJHW
SHUXVDKDDQ1LODLSHUXVDKDDQGLWHWDSNDQROHKJDUXGDGHQJDQLVWLODK)/<+,\DLWX)
(ILVLHQ GDQ HIHNWLI  / Loyalty  < Customer Satisfity  + Honesty  , Integrity 
*DUXGDMXJDPHODNXNDQSHQJXNXUDQ \DQJWHUNDLWGHQJDQSHQJHQGDOLDQNRUXSVLVHMDN
WDKXQ\DNQLSHQJXNXUDQ\DQJGLODNXNDQROHK.3.EHNHUMDVDPDGHQJDQ08&
%3.3 GDQ ,,&* Indonesian Institute for Corporate Governance 7UHQSHQJXNXUDQ
WHUVHEXW PDNLQ EDLN GDUL WDKXQ NH WDKXQ 3HUDQJNDW SHQJHQGDOLDQ NRUXSVL \DQJ
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 1

Lampiran 11.

Risalah Diskusi Dengan Garuda Indonesia

GLPLOLNL*DUXGDVDDWLQLDGDODK3HQJHQGDOLDQJUDWLILNDVLGDQ Whistle-blowing System


:%6 

 3HQJHQGDOLDQ*UDWLILNDVL
.HWHQWXDQ SHQJHQGDOLDQ JUDWLILNDVL GL JDUXGD PHOLSXWL SHQHWDSDQ EDWDV SHQHULPDDQ
SHPEHULDQGDQSHQFDWDWDQGDQSHODSRUDQSHQHULPDDQJUDWLILNDVL.HWHQWXDQSHQHWDSDQ
EDWDVSHQHULPDDQSHPEHULDQJUDWLILNDVLPHOLSXWLNDUDNWHULVWLNQLODLGDQIUHNXHQVL
D .DUDNWHULVWLN EDUDQJ \DQJ PDVLK GDSDW GLWHULPD GDQ GLJXQDNDQ ROHK SHQHULPD
JUDWLILNDVL\DLWX
 %DUDQJFHSDWNDGDOXDUVDDWDX
 7LGDNGDSDWGLXDQJNDQGHQJDQFHSDW
 %HUORJRSHUXVDKDDQPLWUDXVDKD
E 1LODLEDUDQJWLGDNOHELKGDUL5S
F )UHNXHQVLSHQHULPDDQKDQ\DVDWXNDOLGDULPLWUDXVDKD\DQJVDPD
*UDWLILNDVL\DQJGLWHULPDWHUVHEXWKDUXVGLODSRUNDQNHSDGDXQLWSHQJHQGDOLJUDWLILNDVL
8QLWSHQJHQGDOLJUDWLILNDVLWHUVHEXWDNDQPHQHUXVNDQODSRUDQWHUVHEXWNH.3.
%DUDQJJUDWLILNDVL\DQJGLWHULPDROHKXQLWJUDWLILNDVLDNDQGLJXQDNDQXQWXNNHJLDWDQ
VRVLDOGDQVHEDJLDQDNDQGLdisplay6DPSDLVDDWLQLSHJDZDL*DUXGDFXNXSVDGDU
XQWXNPHODSRUNDQJUDWLILNDVL\DQJGLWHULPDQ\D
6DDWPHQJHPEDQJNDQSURJUDPSHQJHQGDOLDQJUDWLILNDVL*DUXGDPHQGDSDNDQ
DVLVWHQVLGDUL.3.
 Whistleblowing System :%6 
:%6GL*DUXGDEDUXGLLPSOHPHWDVLNDQSDGDDZDOWDKXQ*DUXGDPHQJJXQDNDQ
MDULQJDQ LQWHUQHW VHEDJDL WRROV :%6 \DNQL PHODOXL www.ga-whistle-blower.com
3HQJDGXDQ \DQJ PDVXN GDODP MDULQJDQ WHUVHEXW DNDQ GLNHOROD ROHK whistle-blower
RIILFHU GL WLQJNDW NRPLVDVLU Whistle-blower officer PHUXSDNDQ VDWX RUDQJ \DQJ
GLSLOLK ROHK NRPLVDULV GDQ LQL GLUDKDVLDNDQ LGHQWLWDVQ\D VHKLQJJD SHJDZDL *DUXGD
WLGDNDGD\DQJPHQJHWDKXLVLDSD\DQJPHQMDGLwhistle-blowerRIILFHUWhistle-blower
RIILFHUEHUWDQJJXQJMDZDEXQWXNPHQJHORODSHQJDGXDQ\DQJPDVXNPHODOXLMDULQJDQ
GDQPHPLODKPLODKSHQJDGXDQ\DQJPDVXN3HQJDGXDQ\DQJPDVXNDNDQGLWHUXVNDQ
PHODOXLLQYHVWLJDVLGXDSLKDN\DLWXPHODOXLLQGHSHQGHQLQYHVWLJDWRUDWDXPHODOXLWLP
LQYHVWLJDVL LQWHUQDO  .DVXV \DQJ PHOLEDWNDQ MDMDUDQ NRPLVDULV DWDX SHMDEDW *DUXGD
DNDQ GLWDQJDQL ROHK LQGHSHQGHQW LQYHVWLJDWRU \DLWX (DUQVW  <RXQJ VHGDQJNDQ
NDVXVNDVXV \DQJ PHOLEDWNDQ SHJDZDL *DUXGD DNDQ GLWDQJDQL ROHK WLP LQYHVWLJDVL
LQWHUQDO3HUNHPEDQJDQNDVXV\DQJGLODSRUNDQGLSDQWDXROHKVXSHUXVHU\DLWXSLKDN
GLUHNVL GDQ NRPLVDULV VHUWD SHODSRU LWX VHQGLUL \DQJ GDSDW PHPDQWDXQ\D PHODOXL
LQWHUQHW 1DQWL Q\D VHWHODK NDVXV VHOHVDL GLWDQJDQL *DUXGD EHUHQFDQD XQWXN
PHPSOXELNDVLNDQ NDVXV WHUVHEXW PHVNLSXQ VDDW LQL PDVLK WHUEDWDV SDGD SXEOLNDVL
LQWHUQDO VDMD 6DPSDL VDDW LQL *DUXGD EHOXP PHPLOLNL SHGRPDQ GDODP PHQHQWXNDQ
VNDODSULRULWDVSHQ\HOHVDLDQNDVXV

 3HPHWDDQULVLNR
Litbang Pemeriksaan Kinerja


hal. 2

Lampiran 11.

Risalah Diskusi Dengan Garuda Indonesia

*DUXGDWHODKPHODNXNDQULVNPDQDJHPHQW \DQJGLNHORODROHKXQLWULVNPDQDJHPHQW
1DPXQPDVLQJPDVLQJXQLWVHFDUDPDQGLULPHODNXNDQSHPHWDDQGDQSHQLODLDQULVLNR
7HUNDLW GHQJDQ ULVLNR *DUXGD MXJD WHODK PHQHWDSNDQ Key Performance Indicator
.3, EDLNSDGDOHYHOXQLWVDPSDLSDGDOHYHOSHUVRQLO0DVLQJPDVLQJSHUVRQLOVHWLDS
WDKXQ PHPLOLNL WDUJHW SHQFDSDLDQ .3, MLND WDUJHW WHUVHEXW WHUFDSDL PDND SHUVRQLO
WHUVHEXWDNDQPHQGDSDWNDQrewardEHUXSDLQVHQWLIDWDXSXQERQXV


E. Rencana Selanjutnya
*DUXGDEHUVHGLDXQWXNPHQGXNXQJ%3.GDODPSHODNVDQDDQpilot projectPHODOXLGLVNXVL
OHELK ODQMXW DWDV KDOKDO \DQJ WHUNDLW GHQJDQ SHQJHQGDOLDQ NRUXSVL 'LVNXVL GDSDW
GLODNVDQDNDQEDLNVHFDUDUHVPLPDXSXQLQIRUPDOPHODOXLHPDLO





Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 3

Akan segera
dibentuk unit
khusus . Saat ini
dilakukan oleh sie
Ortala.

x Membentuk
unit kepatuhan
internal
x Manajemen dan
pemetaan risiko
fraud
x Penyampaian
LHKPN
x Sosialisasi anti
gratifikasi dan
pelaporan
gratifikasi;
x Promosi anti
korupsi dan
akses publik
dalam
memeroleh
informasi
x Media website,
banner, flyer,
running text,
annual report,
talkshow di TV/
Radio, dll;
x Sosialisasi anti

Ada, unit
kepatuhan
internal (KI)

x Membentuk
unit
kepatuhan
internal;
x Membuat SPI
(membuat
perturanperaturan
internal,
melakukan
risk
manajemen
melalui
pemetaan
risiko);
x Pembinaan
SDM;
x Pengawasan
kepatuhan
pelaksanaan
tugas;
x Evaluasi
kinerja;
x Penanganan
pengaduan

Litbang Pemeriksaan Kinerja




4. Langkah-langkah
yang telah
dilakukan dalam
pengendalian
fraud

Internal

Internal

Perbendaharaan
Penyimpangan thd
peraturan dan
mengandung unsur
kesengajaan serta
berpotensi
menimbulkan KKN

2. Lingkup
pengembangan
FCS
3. Satker
penanggung
jawab FCS

Bea Cukai

Pelanggaran
terhadap
peraturan

Keterangan

1. Pemahaman ttg
fraud

Deputi
Pencegahan dan
Deputi Bidang
Pengawasan
Internal dan
Pengaduan
Masyarakat
x Pemeriksaan
LHKPN;
x Pendidikan;
x Sosialisasi;
x Kampanye
anti korupsi;
x Kerja sama
antar
lembaga;
x Mengkaji dan
memberikan
saran
pengelolaan
administrasi
keuangan
instansi
pemerintah
x Program
pengendalian
gratifikasi;
x Survey
integritas;
x Penilaian
inisiatif anti
korupsi

Internal dan
eksternal

Korupsi sesuai
dengan yg diatur
dalam UU Tipikor

KPK

x Mempunyai
model FCP
yang
ditawarkan
pada
eksternal
(entitas
pemerintah)

Deputi Bidang
Investigasi

Internal dan
eksternal

Korupsi sesuai
dengan yg
diatur dalam UU
Tipikor

BPKP

Membuat
peraturan yang
terkait dengan
disiplin dan
kode etik, pakta
integritas, serta
telah dibentuk
unit yang
bertugas untuk
mengawasi dan
mengontrol
untuk
mencegah
kecurangan, dan
menerima
komplain
masyarakat.

Direktorat
Pengawasan
dan
Penyelidikan di
bawah
Bareskrim

Kecurangan
untuk
menguntungkan
diri sendiri atau
kelompok
dengan jalan
melawan
hukum sehingga
merugikan
orang lain
Internal dan
eksternal

POLRI

Lampiran 12. Matriks Fraud Control

Kejakgung

x Kode etik
x Melakukan
pengawasa
n
fungsional
x Melakukan
pengawasa
n melekat
x membuka
media
pengaduan
masyarakat

Tidak ada unit


khusus, saat ini
dikelola oleh
Jamwas.

Internal dan
eksternal

Perbuatan
hukum yang
merugikan
keuangan
negara

PPATK

x peraturan kepala
PPATK tentang
good public
governance
x memiliki
pedoman whistle
blowing
x mengembangkan
tools
manajemen
risiko
x

Direktorat Audit
Internal

Internal dan ekternal

Penyimpangan (yg
tidak hanya terkait
dengan finansial saja
namun juga terkait
penyalahgunaan
wewenang dan aset
negara)

BAKN

N/A

hal. 1

Internal dan
sekternal

N/A

Perbendaharaan
korupsi pada
setiap
kesempatan
kepada seluruh
pejabat dan
pegawai;
x Tindak lanjut
pemeriksaan
aparat
pemeriksa/
pengawasan
fungsional
x Reformasi
birokrasi untuk
mencapai good
governance
melalui bidang
kelembagaan,
proses bisnis
dan SDM;

Bea Cukai

masyarakat;
x Pemanfaatan
teknologi
informasi
dengan
mengembangk
an dashboard
daily activity
monitoring
system
x Melakukan
assesment
terhadap
risiko;

KPK
x Survey
persepsi
masyarakat;

BPKP

POLRI

Kejakgung

PPATK

BAKN

Litbang Pemeriksaan Kinerja




hal. 2


Simpulan:
1. Pemahaman dan definisi fraud pada entitas masih sangat beragam, karena belum ada peraturan yang secara spesifik mengatur tentang fraud sehingga BPK
perlu merumuskan definisi fraud;
2. Entitas telah melakukan langkah-langkah pengendalian fraud secara internal. Entitas yang telah melakukan pengendalian fraud yang paling memadai adalah
Dirjen Perbendaharaan dan Dirjen Bea Cukai. Sedangkan entitas yang masih kurang pengendalian fraudnya adalah Kejaksaan.
3. Sebagian entitas telah memiliki komponen pengendalian fraud, namun masih belum terintegrasi dalam suatu sistem pengendalian fraud.

Keterangan

Lampiran 12. Matriks Fraud Control

Direktorat Litbang Pemeriksaan keuangan dan Kinerja


Badan Pemeriksa keuangan Republik Indonesia
Jl. Jenderal Gatot Subroto 31
Jakarta 10210 Indonesia
+62-215704395 ext. 730/104/249
Email: pemeriksaan_kinerja@bpk.go.id

Anda mungkin juga menyukai