Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

PPI DENGAN KPD


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian
Obstetri dan Ginekologi di RSUD Tugurejo Semarang

Pembimbing:
dr. Diana Handaria, SpOG

Disusun Oleh:
Dani Pramana Putra
H2A009010

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
2014

BAB I
KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. S

Umur

: 24 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan Terakhir

: SMP

Alamat

: DK Wonorejo RT 01/01, Mijen, Semarang

Tanggal masuk

: 14-11-2014

No. CM

: 461419

Biaya pengobatan

: BPJS

Nama Suami

: Tn. W

Umur

: 31 th

Alamat

: DK Wonorejo RT 01/01, Mijen, Semarang

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Karyawan Swasta (Karyawan Pabrik Mebel)

Pendidikan Terakhir

: SMK

II. ANAMNESIS
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada hari jumat, tanggal 14
november 2014 jam 13.30 WIB
Keluhan utama :
Keluar air dari jalan lahir
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan dari bidan dengan keluhan keluar air dari jalan lahir + sejak
tanggal 13 november 2014 pukul 23.00 WIB, merembes, warnanya

bening, jernih, Kenceng-kenceng (+) jarang, keluar lendir darah dari jalan
lahir, pandangan tiba-tiba kabur (-), nyeri kepala (-), Sesak nafas (-), gerak
janin masih dirasakan ibu.
Riwayat haid:
Menarche pada usia 13 tahun, teratur tiap bulan
Lama haid : 7 hari
HPHT : 23 Maret 2013
HPL

: 30 Desember 2014

Riwayat nikah:
Pasien menikah 2 kali dengan suami yang sekarang selama 1,5 tahun
Riwayat obstetri: G3P1A1
TahunPa

Usia

Jenis

BB lahir

rtus

Kehamilan

Persalinan

1(2009)

34 minggu

Spontan

2 (2013)

4 minggu

keguguran

Keadaan anak
sekarang

2500 gr

Usia 5 th Sehat

Hamil ini
Riwayat ANC : bidan tiap bulan
Riwayat KB : suntik 3 bulan
Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat penyakit asma

: disangkal

Riwayat penyakit hipertensi

: disangkal

Riwayat penyakit diabetes mellitus

: disangkal

Riwayat penyakit jantung

: disangkal

Riwayat alergi obat, alergi makanan

: disangkal

Riwayat operasi diabdomen

: disangkal

Riwayat penggunaan obat-obatan dan jamu

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Riwayat penyakit jantung

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat HT

: disangkal

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


-

Pasien seorang ibu rumah tangga, dan suami bekerja sebagai


karyawan swasta. pasientinggal bersama suami, dan orang tua. Biaya
pengobatan ditanggung sendiri

Kesan ekonomi : cukup

Riwayat Pribadi
-

Merokok

: disangkal

Alkohol

: disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum: Baik

Kesadaran

Vital sign:

:composmentis

TD

: 120/70 mmHg

Nadi

: 86 x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup

RR

: 19 x/ menit

Suhu

: 37 00C

BB

: 60 kg

TB

: 156 cm

BMI

: 24,65 kg/m2

Kesan

: status gizi baik

Status internus :
-

Kulit

: warna sawo matang, petekie (-)

Kepala

: kesan mesocephal, rambut hitam

Mata

: Konjungtiva palpebra : anemis (-/-), ikterik (-); Reflek

cahaya(+/+), Pupil isokor 3mm/3mm


-

Hidung

: Nafas cuping (-), deformitas (-), sekret (-)

Telinga

: Serumen (-/-), nyeri mastoid (-/-),sekret(-)

Mulut

: Lembab (-), Sianosis (-),stomatitis (-)

Leher

:Limfonodi (-),pembesarantiroid (-)

Thorax

:
o Cor : dbn
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
o Pulmo : dbn
Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen

: Sesuai status obstetri

Ekstremitas :

Superior

Inferior

Edem

-/-

-/-

Akraldingin

-/-

-/-

Status obstetrikus :
- Pemeriksaan luar :
Inspeksi :
Perut membuncit, membujur dan striae gravidarum (+)
Genitalia Eksterna : air ketuban (+), Lendir darah (-)
Palpasi :
Pemeriksaan leopold
I.

Teraba bulat, besar, ballotement (-). Kesan bokong.


TFU 28cm TBJ : 2480 gram

II. Teraba tahanan besar memanjang sebelah kiri (kesan punggung),


teraba tahanan kecil-kecil sebelah kanan (kesan ekstremitas).
III. Teraba bagian janin bulat, keras, tidak bisa digoyang (kesan
kepala)
IV. Kesan konvergen, bagian bawah belum masuk pintu atas panggul.
His (+) jarang 1 kali/10 durasi 30

Auskultasi :
Denyut jantung janin terdengar paling keras di sebelah kanan bawah
umbilikus dengan frekuensi 12-12-11.

- PemeriksaanDalam
VT: 1jari, KK (+), eff 25 %
Portio medial, kenyal
Bagian bawah janin: presentasi kepala turun di Hodge 1
Ubun-ubun kecil sulit dinilai.
- Lakmus test (+) : berwarna biru.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Hematologi
Darah Rutin (WB
EDTA)

Nilai

Nilai normal

Hb

10.90 g/dL

11.7-15.5g/dL

Ht

33.80 %

80-100%

Leukosit

5.48. 103/uL

3.6-11

Trombosit

191.103/uL

150-440

Eritrosit

4,2 106/uL

3.8-5.2

MCV

82.00 fL

80-100

MCH

26.70 pg

26-34

MCHC

32.20 g/dL

32-36

RDW

13.18%

11.5-14.5

Non Reaktif

Non Reaktif

Sero-Imun (Serum)
HbsAg

IV. Resume
Ny.S 24 tahun, Hamil 34 minggu rujukan bidan dengan curiga air
ketuban sedikit. Pasien mengeluh perut terasa sering sakit saat janin bergerak.
Kenceng-kenceng (-), keluar lendir darah (+), keluar air dari jalan lahir (+),
gerak jantung janin (+) dirasakan. Keluhan lain tidak ada. BAB dan BAK tidak
ada kelainan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD : 120/70 mmHg, Nafas 19x/menit,
suhu 37oC (axiler), Nadi 84x/menit.
Status Internus, dbn.
Pada pemeriksaan obstetrikus TFU:28 cm TBJ 2480 gram leopold
pres kep U puki, belum masuk PAP masih floating. His (-) DJJ 12-11-12

V. DIAGNOSIS
G3P1A1, 30 tahun, hamil 34 minggu
Janin1 hidup intra uterin
Pres kep, U puki
PPI
KPD 9 jam
Riwayat obstetri kurang baik

VI. Inisial Plan


Ip Dx S: O: USG
Ip Tx: Infus RL 20 tpm
Injeksi Ceftriakson 1 gr (2 hari) dilanjutkan cefodroxil 2x500mg
injeksi Dexamethason 2x6 mg (2 hari)
Nivedipin 30 mg dilanjutkan 3x10 mg
IpMx: Pengawasan KU, TTV, His, DJJ, tanda-tanda partus prematorus
IpEx: Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit
pasien.
Menjelaskan tentang penyak penyebab, terapi dan komplikasinya.

VII.Follow Up
Sabtu (15 november 2014 pukul 06.00) :
Keluhan utama

:-

Keadaan umum : Baik, composmentis


Tanda Vital:
TD

: 120/80 mmH

: 84 x / menit

RR
T

: 20 x / menit
: 37 oC

Mata

: Conjungtiva palpebra anemis -/-

Thorax

: Cor / pulmo tidak ditemukan kelainan

Abdomen

: membuncit

Ekstremitas

: Edema -/-

DJJ : 145 x/menit


His (+) jarang
PPV : (+)
Diagnosis :
G3P1A1, 30 tahun, hamil 34 minggu
Janin1 hidup intra uterin
Pres kep, U puki
PPI
KPD 9 jam
Riwayat obstetri kurang baik
Terapi :
- Konservatif
- Bedrest
- Cefodroxil tab 3x500 mg
- Nifedipin 3x10mg
- Vit Bc, C, Fe: @ 1x1
-

Pengawasan KU, TV, Ppv, His, DJJ, tanda-tanda partus prematorus

VIII. Follow Up
minggu (16 Januari 2014 pukul 06.00) :
Keluhan utama

:-

Keadaan umum : Baik, composmentis


Tanda Vital:
TD

: 120/80 mmH

: 84 x / menit

RR
T

: 20 x / menit
: 37 oC

Mata

: Conjungtiva palpebra anemis -/-

Thorax

: Cor / pulmo tidak ditemukan kelainan

Abdomen

: membuncit

Ekstremitas

: Edema -/-

DJJ : 145 x/menit


His (+) jarang
PPV : (+)
Diagnosis :
G3P1A1, 30 tahun, hamil 34 minggu
Janin1 hidup intra uterin
Pres kep, U puki
PPI
KPD 9 jam
Riwayat obstetri kurang baik
Terapi :
- Konservatif
- Bedrest
- Cefodroxil tab 3x500 mg
- Nifedipin 3x10mg
- Vit Bc, C, Fe: @ 1x1
-

Pengawasan KU, TV, Ppv, His, DJJ, tanda-tanda partus prematorus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Partus Prematur Iminens adalah perdarahan pada usia kehamilan
antara 20 37 minggu dan diikuti dengan dilatasi serviks yang progresif
atau penipisan serviks kurang dari 37 minggu usia gestasi. Jika pasien
dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu mengalami kontraksi yang
teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang dapat berhubungan dengan
dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain mengatakan PPI
adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir. Namun, batas bawah usia
kehamilan yang digunakan untuk membedakan PPI dengan abortus spontan
bervariasi menurut lokasi. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di
Semarang menetapkan bahwa PPI adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu.(1)
2. 2 Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan
atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI
dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam
atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi,
40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30%
PPI yang didahului ketuban pecah dini.
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI
pada wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput
amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului
ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia
kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28
minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 2831 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33

minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36


minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka
kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
kelahiran preterm atas indikasi.
2. 3 Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai
dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau
polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang

leher

rahim

(misalnya,

akibat

vaginosis

bakterialis

atau

trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisisadrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau
janin), dan
8. Insufisiensi

uteroplasenta

(misalnya,

hipertensi,

diabetes

tipe

I,

penyalahgunaan obat, merokok, atau konsumsi alkohol).


2.4 Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak
faktor risiko yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya
faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI. Namun
sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko tersebut tidaklah mudah, karena
lebih dari setengah dari PPI terjadi pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko
yang jelas.

Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:


Faktor risiko mayor
1.

Kehamilan multipel

2.

Polihidramnion

3.

Anomali uterus

4.

Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu

5.

Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua

6.

Riwayat PPI sebelumnya

7.

Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop


electrosurgical excision procedure)

8.

Penggunaan cocaine atau amphetamine

9.

Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu

10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.


Faktor risiko minor
1.

Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu

2.

Riwayat pielonefritis

3.

Merokok lebih dari 10 batang perhari

4.

Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua

5.

Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor;
atau dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status
sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan
lainnya (seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa,
kehamilan yang diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak
melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan PPI
adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan
asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.

2. 4 Patogenesis
Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain.
Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:
2. 5. 1 Aktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu:
stres
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau
fisik, yang mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis
pasien, akan mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamicpituitary
adrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko
penting untuk PPI. Beberapa penelitian telah menemukan 50% hingga
100% kenaikan angka kelahiran preterm berhubungan dengan stres pada
ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan,
kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses
perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan PPI terkait stres. Namun,
proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran
preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis
HPA. Proses ini dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone (CRH)
plasenta. Penelitian in vitro pada sel plasenta manusia menunjukan CRH
dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalam dosis yang sesuai
responnya terhadap semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol,
katekolamin, oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam
penelitian in vivo juga ditemukan hubungan yang signifikan antara stres
psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan kortisol plasma ibu. Beberapa
penelitian menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu dengan waktu
persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian kadar CRH serial selama
kehamilan dan menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita yang
melahirkan aterm, wanita yang melahirkan preterm memiliki kadar CRH
yang meningkat secara signifikan, dengan mempercepat peningkatan kadar
CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan bahwa tingkat
stres psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara signifikan dapat

memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara pertengahan


kehamilan dan setelahnya.
Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian PPI di
antara orang Afrika-Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat mewakili
hasil akhir yang umum pada berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan,
preeklampsia, dan infeksi. Asfiksia memainkan peranan penting dalam
PPI, bayi lahir mati, dan perkembangan neonatal yang merugikan. Asfiksia
kronik yang berhubungan dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat
terjadi pada infeksi plasenta seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti
diabetes, preeklamsia, hipertensi kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis
HPA janin dan berikutnya kelahiran preterm.

2.5.2

Infeksi dan inflamasi


Patogenesis dari PPI masih belum dimengerti dengan benar.
Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting
dalam PPI. Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga menyebabkan
PPI pun hingga kini belum jelas benar, namun diduga berkaitan dengan
sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi fosfolipase A2 yang
dihasilkan oleh banyak mikroorganisme. Fosfolipase A2 akan memecah
asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat
bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Selain itu, endotoksin
(lipopolisakarida) bakteri dalam cairan amnion akan merangsang sel
desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat
menginisiasi proses persalinan. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1
(IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumour necrosis factor (TNF) adalah
produk sekretorik yang dikaitkan dengan PPI. Sementara itu, platelet
activating factor (PAF) yang ditemukan dalam cairan amnion terlibat
secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan
oleh paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin tampaknya memainkan
suatu peran yang sinergik untuk inisiasi kelahiran preterm yang
disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teleologis, hal ini kemungkinan

menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan


yang terinfeksi.
Endotoksin

mikroba

dan

proinflammantori

sitokin

akan

merangsang produksi prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta


matrix-degrading enzymes. Prostaglandin akan merangsang kontraksi
uterus, dan berperan dalam mengatur metabolisme matriks ekstraselular
yang terkait dengan pematangan serviks saat dimulainya persalinan,
sedangkan degradasi dari matriks ekstraselular pada membran amnion
akan menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian menyebabkan PPI.
Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron
melalui pemecahan asam arakidonat, dan bersama sitokin akan
meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan
menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).
Meningkatnya

PGHS-2

akan

menstimulasi

sintesis

prostaglandin.

Sedangkan downregulation PGDH akan meningkatkan ratio prostaglandin


(PG) terhadap prostaglandin metabolite (PGM), yang akan meningkatkan
aktivitas uterus, pematangan serviks, dan rupturnya membran amnion.
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur
meliputi infeksi intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu,
bakteriuria asimptomatik, dan periodontitis ibu. Mikroorganisme yang
umum dilaporkan pada rongga amnion adalah genital Mycoplasma spp,
dan Ureaplasma urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang umum pada
saluran genitalia bawah, seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak
pada rongga amnion sebelum selaput amnion pecah. Rongga amnion
biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang jumlahnya cukup
signifikan pada membran amnion diduga melalui mekanisme sebagai
berikut:
1.

Secara ascending dari vagina dan serviks

2.

Penyebaran secara hematogen melalui plasenta

3.

Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif

4.

Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.

Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling
umum ialah penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks. Hal ini
dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis,
yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominanlaktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh
bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau
Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan ketuban
pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH
vagina lebih dari 5,0.
2.5.3

Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)


Perdarahan desidua dapat menyebabkan PPI. Lesi vaskular dari

plasenta biasanya dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini. Lesi
plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan PPI, 35% dari wanita dengan
ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini
dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari
arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan
mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi
uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin
diperkirakan memainkan peran utama.
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan
protease multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular,
intestinal, dan otot halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan
kontraksi otot polos longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru
ini, observasi in vitro mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang
diperkuat oleh penelitian in vivo menunjukan bahwa kontraksi
miometrium secara signifikan menurun dengan pemberian heparin yang
diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in vitro dan in vivo
memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan
aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta PPI
yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.

Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban


pecah

dini.

Matrix

metaloproteinase

(MMPs)

memecah

matriks

ekstraseluler dari membran janin dan choriodesidua, serta terlibat terhadap


KPD, seperti dibahas di bawah ini. Secara in vitro, trombin meningkatkan
ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada sel-sel desidua dan
membran janin yang dikumpulkan dari kehamilan term tanpa komplikasi.
Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin
yang bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil. Abrupsi plasenta
terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai infiltrasi
neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini
mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada
perdarahan desidua.
2.5.4 Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)
Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam
memulai

PPI

yang

berhubungan

dengan

kehamilan

multipel,

polihidramnion, dan makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan


oleh reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted reproduction
technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan
merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari PPI di negaranegara maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari semua
kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus
hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar. Mekanisme dari
distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI masih belum jelas.
Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein gap
junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi
protein lainnya yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor
oksitosin. Pada penelitian in vitro, regangan miometrium juga meningkatkan
prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E (PGE).
Regangan otot pada segmen menunjukan peningkatan produksi IL-8 dan
kolagen, yang pada gilirannya akan memfasilitasi pematangan serviks.
Namun,

penelitian

eksperimental

pada

hewan

mengenai

uterine

overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada manusia
sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.
2.5.5

Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy
losses pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa
gangguan pada serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang
merugikan dengan variasi yang cukup luas, termasuk PPI. Insufisiensi
serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat
pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi
uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1)
kelainan bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya
jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti Loop Electrosurgical
Excision Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan yang bersifat
traumatis; dan (5) infeksi.
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan
disarankan cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan
besar, kebanyakan kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian
remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur dari proses
patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan
lebih baik diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan
ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang diukur dengan
menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik dengan
risiko PPI. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari
kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks
pada kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat
obstetri dari insufisiens serviks dan panjang serviks pada kehamilan
berikutnya.
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan
pemendekan serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari
remodeling serviks prematur, hasil dari proses patologis. Infeksi dan
inflamasi mungkin memainkan peranan penting dalam pemendekan dan

dilatasi serviks prematur. Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan
amniosintesis sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada
trimester kedua, dan 9% dari pasien memiliki panjang serviks < 25 mm
tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti mengalami infeksi intraamnion. Data
ini menunjukan suatu peranan penting infeksi intraamnion yang menyebar
secara ascending.
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga
meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita
yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan
kimia dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian
besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida
merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan
plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut
mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin dan PPI.
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya
aliran darah uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi
aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan
dengan

peningkatan

hipotalamus,

corticotrophin-releasing

hormone

yang kemudian memacu sekresi

(CRH)

oleh

adrenocorticotrophic

hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya akan


menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dari korteks adrenal. Kortisol
kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan
menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi
sistemik yang juga dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui
peningkatan produksi sitokin.
2. 5 Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman PPI.
Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan
sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat
menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan

sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak
sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam
penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm
mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang
mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,
atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis
PPI ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

2. 6 Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini
memang PPI. Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin
yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi
pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan
keadaan janin/kelainan kongenital.

Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah
dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter
spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm,
atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan
bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan
rencana perawatan intensif neonatus.
Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan
tanda-tanda PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal
outcomes.
Manajemen PPI tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:
1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat
bilamana selaput ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai
4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila
TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan 34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,
mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas perawatan neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi PPI.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:

1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,


2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan
antibiotik.
2.7.1 Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,
tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan
serviks pada kehamilan preterm.

Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:


1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan
paru janin
3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap
4. Optimalisasi personil.
Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:
1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan
tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya
hanya diperlukan 20 mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi
berulang.Dan dosis perawatan 3x10 mg.
2. Obat -mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol
dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 g/menit, sedangkan per oral: 4
mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 1015 g/menit, subkutan: 250 g setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5
mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema
paru.
3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara
bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat

ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada
ibu ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi,
nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide
dapat

menghambat

produksi

prostaglandin

dengan

menghambat

cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin.


Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun
menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek
samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat
ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.
Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu
membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.
Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan
intrauterine terbukti tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien
stabil dan kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

2.7.2 Akselerasi pematangan fungsi paru


Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan
paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah
perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang
akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana
usia kehamilan kurang dari 35 minggu.

Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian


steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian
siklus tunggal kortikosteroid ialah:
1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing
hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang
kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen
inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan
dalam pembentukan surfaktan.
2.7.3 Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika
yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis
neonatorum.9 Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung
risiko terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang
dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah
ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain
seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko
necrotising enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun
anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman.
Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak
ada kontra indikasi, diberi tokolisis.
2.7.4

Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan

seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea


terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian
forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan
episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin
presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar
dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.

Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi,
bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai
indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik.
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).
2.8

Komplikasi
Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga

mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan


bagi bayi, PPI menyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta
menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas
jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan
intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner,
sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang
meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure
disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi
neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.
2.9

Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang

berhubungan dengan PPI dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


2.10.1 Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk
mencegah dan mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat
dilakukan sebagai pencegahan primer:

Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan


1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi diberikan
pendidikan mengenai faktor-faktor risiko dari PPI. Sehingga faktor-faktor
risiko yang dapat dimodifikasi seperti pengambilan keputusan mengenai
prosedur invasif (kuretase uterus dan biopsi endometrium), kehamilan
yang dibantu oleh teknologi, dan merokok dapat dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu
pemerintahan dalam melindungi wanita yang sedang hamil, seperti
menerapkan waktu cuti minimal 14 minggu pada wanita hamil yang
bekerja, memberikan izin bagi wanita yang berkerja untuk menghadiri
asuhan prenatal, menghindarkan wanita hamil dari jam kerja malam, serta
perlindungan wanita hamil terhadap bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan
kehamilan disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen
nutrisi, hingga selama kehamilan untuk mengurangi risiko masalah
kehamilan. Berdasarkan penelitian, morbiditas respiratori menurun pada
bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan,
mengingat adanya hubungan antara merokok dengan PPI.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang
melakukan asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian PPI
yang lebih rendah dibanding mereka yang melakukan asuhan prenatal
tidak memadai, atau yang tidak melakukan asuhan prenatal.
2. 10.2 Pencegahan sekunder
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko pada wanita yang
diketahui memiliki faktor risiko PPI. Sehingga dilakukan pada wanita yang
terbukti memiliki risiko PPI berdasarkan riwayat persalinan (misalnya, PPI
sebelumnya atau adanya anomali uterus) atau adanya risiko kehamilan saat ini
(misalnya kehamilan multipel atau perdarahan). Pencegahan ini memerlukan
identifikasi dan penurunan faktor risiko, yang keduanya terbukti sulit dilakukan.

Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder


diantaranya ialah:
1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi:, pemberian progesteron profilaksis,
mengontrol penyakit-penyakit seperti diabetes, seizures, asma atau hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan
aktivitas seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan PPI)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids
dianggap dapat menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang
intensif, meliputi dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan
pada wanita hamil)
d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita
yang mengalami PPI sebelumnya dengan dugaan dikarenakan bakterial
vaginosis)
e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin,
sehingga menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara
integritas serviks, dan memiliki efek antiinflamasi).
2.10.3 Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang umum dilakukan.
Dimulai setelah proses persalinan terjadi, dengan tujuan untuk mencegah
kelahiran preterm atau meningkatkan outcome dari bayi preterm. Beberapa
intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan tersier diantaranya ialah
pengiriman ibu dengan PPI ke rumah sakit yang dilengkapi perawatan bayi
preterm

dalam

sistem

regionalisasi,

yang

memberikan

pelatihan

dan

pengembangan keterampilan dan perawatan fasilitas, pemberian terapi tokolisis,


kortikosteroid antenatal, antibiotik dan PPI atas indikasi pada waktu yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Manuaba, Ida B.G, et all. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta :
EGC ; hal 456-460
2. Manuaba, Ida B.G. 2004. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan
Gynekologi. Jakarta : EGC ; Hal 72-73
3. Supriyadi, Teddy. 1994. Kedaruratan Obstetri dan Gynekology.
Jakarta : EGC ; Hal 368-373
4. Morgan, Geri. 2009. Obstetri dan Gynekologi Panduan Praktis. Jakarta
: EGC ; Hal 391-394
5. Yulaikhah, Lily. 2008. Seri Asuhan Kebidanan : Kehamilan. Jakarta :
EGC ; Hal 116-119

Anda mungkin juga menyukai