Pembimbing:
dr. Diana Handaria, SpOG
Disusun Oleh:
Dani Pramana Putra
H2A009010
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
2014
BAB I
KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. S
Umur
: 24 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
Pendidikan Terakhir
: SMP
Alamat
Tanggal masuk
: 14-11-2014
No. CM
: 461419
Biaya pengobatan
: BPJS
Nama Suami
: Tn. W
Umur
: 31 th
Alamat
Agama
: Islam
Pekerjaan
Pendidikan Terakhir
: SMK
II. ANAMNESIS
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada hari jumat, tanggal 14
november 2014 jam 13.30 WIB
Keluhan utama :
Keluar air dari jalan lahir
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan dari bidan dengan keluhan keluar air dari jalan lahir + sejak
tanggal 13 november 2014 pukul 23.00 WIB, merembes, warnanya
bening, jernih, Kenceng-kenceng (+) jarang, keluar lendir darah dari jalan
lahir, pandangan tiba-tiba kabur (-), nyeri kepala (-), Sesak nafas (-), gerak
janin masih dirasakan ibu.
Riwayat haid:
Menarche pada usia 13 tahun, teratur tiap bulan
Lama haid : 7 hari
HPHT : 23 Maret 2013
HPL
: 30 Desember 2014
Riwayat nikah:
Pasien menikah 2 kali dengan suami yang sekarang selama 1,5 tahun
Riwayat obstetri: G3P1A1
TahunPa
Usia
Jenis
BB lahir
rtus
Kehamilan
Persalinan
1(2009)
34 minggu
Spontan
2 (2013)
4 minggu
keguguran
Keadaan anak
sekarang
2500 gr
Usia 5 th Sehat
Hamil ini
Riwayat ANC : bidan tiap bulan
Riwayat KB : suntik 3 bulan
Riwayat penyakit dahulu :
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat HT
: disangkal
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Riwayat Pribadi
-
Merokok
: disangkal
Alkohol
: disangkal
Kesadaran
Vital sign:
:composmentis
TD
: 120/70 mmHg
Nadi
RR
: 19 x/ menit
Suhu
: 37 00C
BB
: 60 kg
TB
: 156 cm
BMI
: 24,65 kg/m2
Kesan
Status internus :
-
Kulit
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Thorax
:
o Cor : dbn
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
o Pulmo : dbn
Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Ekstremitas :
Superior
Inferior
Edem
-/-
-/-
Akraldingin
-/-
-/-
Status obstetrikus :
- Pemeriksaan luar :
Inspeksi :
Perut membuncit, membujur dan striae gravidarum (+)
Genitalia Eksterna : air ketuban (+), Lendir darah (-)
Palpasi :
Pemeriksaan leopold
I.
Auskultasi :
Denyut jantung janin terdengar paling keras di sebelah kanan bawah
umbilikus dengan frekuensi 12-12-11.
- PemeriksaanDalam
VT: 1jari, KK (+), eff 25 %
Portio medial, kenyal
Bagian bawah janin: presentasi kepala turun di Hodge 1
Ubun-ubun kecil sulit dinilai.
- Lakmus test (+) : berwarna biru.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Hematologi
Darah Rutin (WB
EDTA)
Nilai
Nilai normal
Hb
10.90 g/dL
11.7-15.5g/dL
Ht
33.80 %
80-100%
Leukosit
5.48. 103/uL
3.6-11
Trombosit
191.103/uL
150-440
Eritrosit
4,2 106/uL
3.8-5.2
MCV
82.00 fL
80-100
MCH
26.70 pg
26-34
MCHC
32.20 g/dL
32-36
RDW
13.18%
11.5-14.5
Non Reaktif
Non Reaktif
Sero-Imun (Serum)
HbsAg
IV. Resume
Ny.S 24 tahun, Hamil 34 minggu rujukan bidan dengan curiga air
ketuban sedikit. Pasien mengeluh perut terasa sering sakit saat janin bergerak.
Kenceng-kenceng (-), keluar lendir darah (+), keluar air dari jalan lahir (+),
gerak jantung janin (+) dirasakan. Keluhan lain tidak ada. BAB dan BAK tidak
ada kelainan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD : 120/70 mmHg, Nafas 19x/menit,
suhu 37oC (axiler), Nadi 84x/menit.
Status Internus, dbn.
Pada pemeriksaan obstetrikus TFU:28 cm TBJ 2480 gram leopold
pres kep U puki, belum masuk PAP masih floating. His (-) DJJ 12-11-12
V. DIAGNOSIS
G3P1A1, 30 tahun, hamil 34 minggu
Janin1 hidup intra uterin
Pres kep, U puki
PPI
KPD 9 jam
Riwayat obstetri kurang baik
VII.Follow Up
Sabtu (15 november 2014 pukul 06.00) :
Keluhan utama
:-
: 120/80 mmH
: 84 x / menit
RR
T
: 20 x / menit
: 37 oC
Mata
Thorax
Abdomen
: membuncit
Ekstremitas
: Edema -/-
VIII. Follow Up
minggu (16 Januari 2014 pukul 06.00) :
Keluhan utama
:-
: 120/80 mmH
: 84 x / menit
RR
T
: 20 x / menit
: 37 oC
Mata
Thorax
Abdomen
: membuncit
Ekstremitas
: Edema -/-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Partus Prematur Iminens adalah perdarahan pada usia kehamilan
antara 20 37 minggu dan diikuti dengan dilatasi serviks yang progresif
atau penipisan serviks kurang dari 37 minggu usia gestasi. Jika pasien
dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu mengalami kontraksi yang
teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang dapat berhubungan dengan
dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain mengatakan PPI
adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir. Namun, batas bawah usia
kehamilan yang digunakan untuk membedakan PPI dengan abortus spontan
bervariasi menurut lokasi. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di
Semarang menetapkan bahwa PPI adalah persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan 22-37 minggu.(1)
2. 2 Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan
atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI
dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam
atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi,
40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan 25-30%
PPI yang didahului ketuban pecah dini.
Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI
pada wanita kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput
amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului
ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia
kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28
minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 2831 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33
leher
rahim
(misalnya,
akibat
vaginosis
bakterialis
atau
trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisisadrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau
janin), dan
8. Insufisiensi
uteroplasenta
(misalnya,
hipertensi,
diabetes
tipe
I,
Kehamilan multipel
2.
Polihidramnion
3.
Anomali uterus
4.
5.
6.
7.
8.
9.
2.
Riwayat pielonefritis
3.
4.
5.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor;
atau dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status
sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan
lainnya (seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa,
kehamilan yang diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak
melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan PPI
adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan
asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.
2. 4 Patogenesis
Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain.
Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:
2. 5. 1 Aktivasi aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin atau ibu:
stres
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau
fisik, yang mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis
pasien, akan mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamicpituitary
adrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko
penting untuk PPI. Beberapa penelitian telah menemukan 50% hingga
100% kenaikan angka kelahiran preterm berhubungan dengan stres pada
ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan,
kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses
perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan PPI terkait stres. Namun,
proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran
preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis
HPA. Proses ini dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone (CRH)
plasenta. Penelitian in vitro pada sel plasenta manusia menunjukan CRH
dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalam dosis yang sesuai
responnya terhadap semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol,
katekolamin, oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam
penelitian in vivo juga ditemukan hubungan yang signifikan antara stres
psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan kortisol plasma ibu. Beberapa
penelitian menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu dengan waktu
persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian kadar CRH serial selama
kehamilan dan menemukan bahwa dibandingkan dengan wanita yang
melahirkan aterm, wanita yang melahirkan preterm memiliki kadar CRH
yang meningkat secara signifikan, dengan mempercepat peningkatan kadar
CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan bahwa tingkat
stres psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara signifikan dapat
2.5.2
mikroba
dan
proinflammantori
sitokin
akan
PGHS-2
akan
menstimulasi
sintesis
prostaglandin.
2.
3.
4.
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling
umum ialah penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks. Hal ini
dapat ditunjukkan oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis,
yang merupakan sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominanlaktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh
bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau
Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan ketuban
pecah dini, PPI, dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH
vagina lebih dari 5,0.
2.5.3
plasenta biasanya dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini. Lesi
plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan PPI, 35% dari wanita dengan
ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini
dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari
arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan
mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi
uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin
diperkirakan memainkan peran utama.
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan
protease multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular,
intestinal, dan otot halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan
kontraksi otot polos longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru
ini, observasi in vitro mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang
diperkuat oleh penelitian in vivo menunjukan bahwa kontraksi
miometrium secara signifikan menurun dengan pemberian heparin yang
diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in vitro dan in vivo
memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan
aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta PPI
yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.
dini.
Matrix
metaloproteinase
(MMPs)
memecah
matriks
PPI
yang
berhubungan
dengan
kehamilan
multipel,
penelitian
eksperimental
pada
hewan
mengenai
uterine
overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada manusia
sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.
2.5.5
Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy
losses pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa
gangguan pada serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang
merugikan dengan variasi yang cukup luas, termasuk PPI. Insufisiensi
serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat
pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi
uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1)
kelainan bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya
jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti Loop Electrosurgical
Excision Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan yang bersifat
traumatis; dan (5) infeksi.
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan
disarankan cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan
besar, kebanyakan kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian
remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur dari proses
patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan
lebih baik diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan
ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang diukur dengan
menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik dengan
risiko PPI. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari
kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks
pada kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat
obstetri dari insufisiens serviks dan panjang serviks pada kehamilan
berikutnya.
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan
pemendekan serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari
remodeling serviks prematur, hasil dari proses patologis. Infeksi dan
inflamasi mungkin memainkan peranan penting dalam pemendekan dan
dilatasi serviks prematur. Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan
amniosintesis sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada
trimester kedua, dan 9% dari pasien memiliki panjang serviks < 25 mm
tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti mengalami infeksi intraamnion. Data
ini menunjukan suatu peranan penting infeksi intraamnion yang menyebar
secara ascending.
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga
meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita
yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan
kimia dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian
besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida
merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan
plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut
mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin dan PPI.
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya
aliran darah uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi
aksis hypothalamicpituitaryadrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan
dengan
peningkatan
hipotalamus,
corticotrophin-releasing
hormone
(CRH)
oleh
adrenocorticotrophic
sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak
sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam
penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm
mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang
mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,
atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis
PPI ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
2. 6 Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini
memang PPI. Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin
yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi
pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan
keadaan janin/kelainan kongenital.
Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah
dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter
spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm,
atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan
bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan
rencana perawatan intensif neonatus.
Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan
tanda-tanda PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal
outcomes.
Manajemen PPI tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:
1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat
bilamana selaput ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai
4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila
TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan 34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,
mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas perawatan neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi PPI.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada
ibu ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi,
nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).
4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide
dapat
menghambat
produksi
prostaglandin
dengan
menghambat
Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi,
bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai
indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas
indikasi obstetrik.
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).
2.8
Komplikasi
Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga
Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
dalam
sistem
regionalisasi,
yang
memberikan
pelatihan
dan
DAFTAR PUSTAKA
1. Manuaba, Ida B.G, et all. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta :
EGC ; hal 456-460
2. Manuaba, Ida B.G. 2004. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan
Gynekologi. Jakarta : EGC ; Hal 72-73
3. Supriyadi, Teddy. 1994. Kedaruratan Obstetri dan Gynekology.
Jakarta : EGC ; Hal 368-373
4. Morgan, Geri. 2009. Obstetri dan Gynekologi Panduan Praktis. Jakarta
: EGC ; Hal 391-394
5. Yulaikhah, Lily. 2008. Seri Asuhan Kebidanan : Kehamilan. Jakarta :
EGC ; Hal 116-119