Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan izinNya penyusun dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun guna
memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta.
Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Santi
Andiani, Sp.B
kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan klinik Ilmu
Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta. Dan juga ucapan terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan
dan bantuan kepada penyusun.
Dengan penuh kesadaran dari penyusun, meskipun telah berupaya semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan referat ini, namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata,
penyusun mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita
semua.
Fransisca Stephanie
REFERAT
Tumor kolon
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor usus halus jarang terjadi,sebaliknya tumor usus besar atau rectum relative
umum. Di Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ visceral dan
20% dari kematian karena penyakit kanker adalah akibat kanker kolorektal. Karsinoma
kolorektal sering dijumpai pada dekade 6 dan 7, merupakan penyakit yang banyak
menyebabkan kematian. Kejadian karsinoma kolorektal pada usia muda tidak banyak
dijumpai.
Dari penelitian yang dilakukan olh Harijono Achmad di RSSA Malang, didapatkan
bahwa kasus karsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita selama 5
tahun,terdiri dari penderita di bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita (14,26%).
Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%), rekto
sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon
tranversum (6%),flexura hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum (12%),appendix
(2%).
Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat,.Amerika Utara. Di Asia, banyak
terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan makanan. Beberapa faktor
antara lain lingkungan, genetik dan immunologi merupakan faktor predisposisi
tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan karsinogen, bakteri dan virus.
Gejala klinik karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker cecum dan
kolon asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto
sigmoid dapat menyumbat lumen atau berdarah.
Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah
tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat
diselamatkan dengan diagnosis dini dan tindakan segera. Laporan kasus Lab JUPF
Ilmu Penyaki Dalam FK. UNIBRAW - RSSA Malang, tangga1 17 Juni 1992.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang
merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri
mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali
arteri colica media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum
dan mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama
dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena
mengikuti pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri
mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju
ke Lnn. ileocolica, Lnn. colica dextra, Lnn. colica media, Lnn. colica sinistra dan Lnn.
mesenterica inferior. Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca
dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak
di sebelah ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi
letak colon ascendens ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung
melekat pada dinding dorsal abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum
dan ren dextra. Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic
dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai
flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan
pankreas di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra
letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga
lebih tajam sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan
facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah ventralnya.
Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica media. Arterialisasi colon
transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica
superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat
arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.
pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi patologis urea yang paling umum
adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak mampu menggunakan kembali urea nitrogen
yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-brain barrier dan menyebabkan
gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma hepatik.
3. Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk
kedalam kolon perharinya mencapai 1000 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon
hanya sekitar 100 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi,
yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses
hanya tersisa 25 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, n-butirat
akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena sel mamalia
tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada bakteri lumen untuk
memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh
inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya
absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare.
Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon
menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari ileus
terminalis, sehingga membuat kolon menjadi bagian sirkulasi enterohepatika. Ketika
absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas, bakteri akan mengkonjugasi
asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi akan mengganggu absorpsi natrium
dan air, sehingga menyebabkan diare sekretoris atau diare koleretik. Diare sekretoris
dapat dilihat saat setelah hemikolektomi sebagai fenomena transien dan lebih
permanen reseksi ileus ekstensif.
4. Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon
dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan rektum.
Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan sekum sebagai
segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon bagian kiri
merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit pada kolon
diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai kolon melalui
nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai kolon akan
membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus myenterika (Auerbach),
submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.
Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah kanan, gelombang
antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd sehingga isi dari usus
terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi dari lumen usus terdorong ke
arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga terpisah-pisah menjadi globulus-globulus.
Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic, merupakan gabungan antara gerakan retropulsif
dan tonis.
C. DEFINISI
Neoplasma atau tumor adalah suatu massa abnormal dari sebuah jaringan akibat dari
pertumbuhan atau pembelahan yang abnormal dari suatu sel. Tumor dapat memiliki
sifat jinak (benign), potensi ganas (malignan) atau ganas.
Dalam hal ini, tumor kolon berarti terdapatnya suatu massa abnormal di dalam kolon
atau usus besar, berarti tidak hanya kolon saja namun juga appendix dan rektum.
Massa tersebut dapat bersifat jinak atau ganas, dan dapat menyebabkan gejala atau
tidak menyebabkan gejala.
D. EPIDEMIOLOGI
Karsinoma kolon adalah penyebab kematian kedua akibat karsinoma. Kemungkinan
mengidapnya adalah 1 dalam 17. Insidennya berkurang 2 peratus setahun sejak 1985
hingga 1995 tetapi baru-baru ini peratusannya meningkat kembali. Ini menunjukkan
keberhasilan deteksi awal melalui program skrining.
Tumor terjadi ditempat yang berada dalam colon, kira-kira pada bagian :
26 % pada caecum dan ascending colon
10 % pada transfersum colon
15 % pada desending colon
20 % pada sigmoid colon
30 % pada rectum
Insiden karsinoma kolon menunjukkan variasi geografik. Negara industri kecuali
Jepang mempunyai insiden tertinggi. Manakala Negara Amerika Selatan dan China
mempunyai angka kejadian yang relative rendah. Ini disebabkan oleh perbedaan diet
antara negara berkenaan dan faktor lingkungan
Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi belum ada
angka yang pasti berapa insiden karsinoma kolon. Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi
data-data
di
Departemen
Kesehatan
mendapatkan
1,8
per
100.000
risiko
b. Hamartomas
Hamartoma adalah jaringan normal yang tidak tersusun dengan teratur atau
dengan semestinya. Hamartoma dapat muncul secara sporadik atau diikuti oleh
autosomal dominant juvenile polyposis syndrome.
Juvenile polyps
Juvenile polyp (congenital polyp, retention polyp, juvenile adenoma) biasanya
muncul pada anak-anak dibawah umur 10 tahun. Insiden pada pria lebih tinggi
dibanding pada perempuan. Adalah tumor yang paling sering terjadi pada anak-anak.
80% tumor muncul di rectum, namun bisa saja menyebar di seluruh kolon. Polip ini
biasanya berdiameter lebih dari 1 cm. Polip tampak kistik dengan ruangan berisi
mukus.
Diagnosis dikonfirmasi dengan mengambil polip yang direseksi dan diperiksa
histologinya. Pada kasus juvenile polyp, seluruh kolon sebaiknya dieksplorasi.
Juvenile polyp tidak bersifat neoplasia ataupun dalam kondisi premaligna.
Juvenile polyposis syndrome adalah kondisi yang tidak umum dimana juvenile
polyp muncul multipel tidak hanya di kolon namun juga di saluran usus halus. Sekitar
20-50% pasien memiliki riwayat keluarga dengan diagnosis yang sama. Juvenile
polyp yang soliter memiliki kemungkinan rekuren < 20%, pada kasus familial
mendekati 90%. Gejala dapat berupa hematochezia, anemia defisiensi besi,
hipoproteinemia, dan hipokalemia. Ada juga manifestasi ekstrakolon yang kongenital
dan didapat seperti makrosefali, alopesia, pembengkakan tulang, bibir sumbing
(labioschisis), glomerulonefritis akut, pelvis renalis dan ureter ganda, undesensus
testis, uterus dan vagina bifida. Bentuk fatal dari juvrnile polyposis pada bayi
dikarakterisasi dengan diare yang berlebihan, enteropati yang mengakibatkan
kehilangan protein, perdarahan dan prolapsus recti. Bentuk juvenile ini sangat jarang,
biasanya muncul dengan disertai oleh neoplasma yang benign atau maligna. Kasus ini
biasanya muncul pada masa anak-anak.
Semua juvenile polyp sebaiknya direseksi dengan kolonoskopi, terutama
Juvenile polyposis syndrome karena berpotensi premaligna. Bila polip terlalu banyak
maka restorative proctocolectomy dengan kantung ileal dapat dipertimbangkan.
Follow-up berkala dengan kolonoskopi dan endoskopi saluran cerna atas dapat
diperhitungkan.
Peutz-Jeghers polyps
Peutz-Jeghers polyps pada sindroma Peutz-Jeghers (penyakit autosomal
dominan) muncul soliter atau multipel. Polip multipel ini tersebar di seluruh saluran
gastro-intestinal, disertai mukosa melanotik, pigmentasi kutaneus disekitar bibir,
mukosa mulut, wajah, genitalia dan permukaan palmar tangan.
Pada sindroma ini, kemungkinan polip ini muncul di usus halus adalah 100%,
pada kolon 30%, pada gaster 25%. Diagnosis sindroma ini berdasarkan riwayat
keluarga, pigmentasi kulit dan gejala gastrointestinal. Gejala yang paling umum
adalah nyeri abdomen akibat obstruksi (baik akibat polip itu sendiri atau intususepsi).
Perdarahan rektal adalah gejala umum lainnya. Pemeriksaan kontras dan endoskopi
menunjukkan luas penyakit, sedang hasil histology menunjukkan lesi dengan proses
hamartomatosa atau malformasi sel dibandingkan dengan gambaran neoplasma.
Peutz-Jeghers polyps yang soliter dapat direseksi dengan kolonoskopi. Fokus organ
sesuai dengan prevalensi frekuensi polip ini adalah usus halus dan duodenum. Polip
usus halus dapat direseksi saat laparotomi dengan menggunakan endoskopi atau
enterotomi. Pendekatan agresif untuk reseksi endoskopik dibenarkan karena frekuensi
tumor yang berkurang seiring bertambahnya usia. Reseksi usus dapat diperhitungkan
dengan indikasi restriktif.
Juvenile polyps sendiri tidak memiliki potensi maligna, namun pada pasien
dengan penyakit ini memiliki peningkatan resiko berkembangnya karsinoma
pankreas, payudara, paru, ovarium dan uterus. Adenokarsinoma gastrointestinal pada
penyakit ini muncul dari lesi adenomatosa yang potensial, bukan berasal dari polip
juvenile. Lokasi yang paling umum adalah kolon dan rektum.
c.
Polip Inflamatorik
Polip inflamatorik (pseudo-polip) mewakili tonjolan kecil dari inflamasi mukosa
yang sedang mengalami regenerasi yang dikelilingi oleh ulserasi. Jenis ini terlihat
pada pasien yang mengalami inflamasi usus jangka panjang (colitis ulseratif atau
penyakit Crohn).
d.
Polip Limfoid
Polip limfoid (hiperplasia limfoid, limfoma benigna) adalah polip jinak yang
fokal atau difus yang muncul secara tipikal dimana sekelompok folikel-folikel limfoid
muncul di ileum terminalis atau rectum. Pada hasil radiografi, polip limfoid muncul
dengan ciri-ciri lesi polipoid yang kecil, seragam terlokalisasi atau generalisata.
Pemeriksaan endoskopi dan biopsi akan mengkonfirmasi sifat polip. Polip ini terdiri
dari jaringan limfoid yang cukup terdiferensiasi. Lesi pada rektal memiliki gejala
yang tidak jelas, sedangkan pada kolon gejala dapat tampak sebagai perdarahan, nyeri
abdomen, perubahan sifat pencernaan, dan intususepsi terutama pada anak-anak.
G. PATOFISIOLOGI
Polip
Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi
kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang
bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation,
perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker.
Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion
memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan
peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu
proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen
gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan
pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis
(kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen,
karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel.
Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas
genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi
pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan
melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi protoonkogen,
TSG,
dan
gen
gatekeeper
secara
seimbang.
Jika
terjadi
ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan
baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus sel.
Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi
melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian
sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang
tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga
kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi adalah
mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi baik,
akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia
adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak
diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non
neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik
yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip),
limfoid aggregate dan inflamatory polip.
Gambar
kolonoskopi
untuk
menentukan
kebutuhan
akan
total
proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.
Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa
dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif
menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat
2.
Penyakit Crohns
Pasien yang menderita penyakit crohns mempunyai risiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan
ulseratif kolitis.
yang terjadi
fibrosis. Adenokarsinoma
3.
Faktor Genetik
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat
kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat
yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita
kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang
yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.
4.
Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang
menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi
antara
resistensi
insulin
dengan
adenoma
dan
kanker
kolorektal.
Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua
setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar.
Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika
dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan
hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas,
obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap
hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari
kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan
pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker
kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang
berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat
diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya
adenoma.
6.
Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita
adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali
(2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4
kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang
berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa
pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker
paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48%
kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker
payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru paru
(118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker
kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal
meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50
tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang
dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada
usia 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang
dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65
tahun.
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal
sebesar 5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker
kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah
empat puluh tahun hanya memiliki kemungkinan menderita kanker kolorektal
kurang dari 10%. Dari tahun 2000-2003, rata-rata usia saat terdiagnosa
menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia
dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun
sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74
tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.
Pada kebanyakan kasus kanker terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan pada usia lanjut yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi,
terutama antara Negara berkembang dan Negara maju. Bila di Negara maju
angka kejadian penyakit ini meningkat tajam setelah seseorang berusia 50
tahun dan hanya 3 persen di bawah 40 tahun, di Indonesia berdasarkan data
Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI,
1996-1999) menunjukkan persentase yang lebih tinggi yakni 35,25%.
Proporsi dari orang yang berusia lanjut telah meningkat di berbagai Negara
beberapa dekade terakhir, dan akan terus meningkat lebih jauh beberapa tahun
mendatang. Tingkat harapan hidup di Indonesia pada saat kelahiran
diperkirakan adalah 67,86 tahun untuk pria dan wanita. Peningkatan usia
harapan hidup yang ada beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat
4 dunia akan menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai
jumlah usia lanjut paling tinggi di dunia. Meningkatnya jumlah orang yang
berusia lebih tua akan menambahkan beban ganda pada penyakit, dengan
umumnya penyakit yang menular di satu sisi, dan meningkatnya prevalansi
penyakit yang tidak menular di sisi lainnya. Kanker pada usia lanjut di masamasa yang akan datang merupakan masalah yang perlu ditangani dengan
serius dikarenakan perubahan populasi penduduk dengan kelompok usia lanjut
yang semakin banyak. Oleh karena itu sangat perlunya penggalakan penelitian
mengenai pencegahan kanker dan perencanaan terapi pada orang yang berusia
lanjut.
H. STADIUM KARSINOMA5
Stadium dan faktor prognostis kanker kolorektal dapat dilihat pada tabel dan gambar
di bawah ini:
Klasifikasi karsinoma rektum menurut Dukes:
Tahap A: Infiltrasi karsinoma terbatas pada dinding usus (survive for 5 years 97 %)
Tahap B: Infiltrasi karsinoma sudah menembus lapisan muskularis mukosa (80 %)
Tahap C: Terdapat metastasis ke dalam kelenjar limfe
C1: Beberapa kelenjar limfe dekat tumor primer (65 %)
C2: Dalam kelenjar limfe jauh (35 %)
Tahap D: Metastasis jauh (< 5 %)
Klasifikasi TNM
T Tumor primer
Tx - Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 - Tidak ada tumor primer
T1 - Invasi tumor di lapisan sub mukosa
T2 - Invasi tumor di lapisan otot propria
T3 - Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik yang
tidak dilapisi peritoneum atau perirektal
T4 - Invasi tumor terhadap organ atau struktur sekitarnya atau peritoneum viseral
M Metastasis jauh
Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 - tidak ada metastasis jauh
M1 - terdapat metastasis jauh
menunjukkan gejala
I. GEJALA KARSINOMA
Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan
umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan yang
paling sering dirasakan pasien adalah perubahan pola buang air besar, perdarahan per
anus (hematosezia dan konstipasi). Kanker ini umumnya berjalan lamban, keluhan dan
tanda-tanda fisik timbul sebagaia bagian dari komplikasi seperti obstruksi. Perdarahan
invasi lokal kakheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon
desendens dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih sempit daripada kolon yang
proksimal. Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila
obstruksi total terjadi akan menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker
kolon dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi.
Meskipun perdarahan umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada sebagian
kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai hematoseczhia atau darah
tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering disertai dengan anemia defisiensi
besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih
berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat terjadi bilamana tumor tersebut
menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula antara kolon dengan lambung atau usus
halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor ke lapisan serosa dan sebaran ke
peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri perut, ikterus dan hipertensi
portal. 4
Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi kanker di
dalam usus besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-kira enam kali lebih
besar daripada daerah sigmoid dan mengandung aliran fekal yang cair. Tumor yang
terletak di usus bagian kanan walaupun besar cenderung menggantung (fungating) dan
lunak, yang tidak tumbuh mengelilingi usus. Sebagai salah satu akibatnya gejala dari
tumor yang timbul di kolon kanan tidak disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien dapat
mengalami rasa yang tidak enak atau kolik di abdomen yang samar-samar. Lebih sering,
penyakit disertai dengan kehilangan darah kronis yang dideteksi dengan tes darah samar.
Sebaliknya tumor di daerah kiri cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan
fungsi normal dalam daerah ini adalah sebagai penyimpan massa feses yang keras. Gejala
obstruksi akut atau kronis adalah gambaran klinis yang penting. Di samping itu pasien
dapat mengalami perubahan dalam pola defekasi (bowel habits), memerlukan laksatif,
atau penurunan kaliber feses. Perdarahan adalah lebih jelas, dengan darah gelap atau
darah merah yang melapisi permukaan feses.1
Gambaran klinis kanker kolorektal tergantung pada tempat tumor. Sekitar
seperempat tumor usus besar terletak pada kolon kanan. Kolon transversal dan kolon
desenden relatif jarang terkena, sehingga kebanyakan tumor terletak pada kolon sigmoid
dan rektum. Gejala berdasarkan lokasi kanker dibagi menjadi 2
Kolon kanan
a. Pasien dengan obstruksi : sekitar seperempat pasien datang dengan tanda obstruksi
usus kecil di bagian bawah yaitu kolik, muntah, konstipasi dan distensi. Foto polos
abdomen memperlihatkan dilatasi usus kecil.
b. Tanpa obstruksi : banyak pasien yang datang tanpa obstruksi tiadak mempunyai
gejala yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Mereka memberikan riwayat
anemia dan penurunan berat badan akibat perdarahan gastrointestinal samar. Gejala
yang kompleks ini memberikan kemungkinan karsinoma lambung, tetapi karsinoma
kolon kanan (yang seharusnya lebih membutuhkan terapi) seringkali terlewatkan.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya massa yang dapat dipalpasi dalam fossa
iliaka kanan. Apakah ini ada atau tidak, seluruh kolon harus diperiksa dengan
kolonoskopi atau pada pemeriksaan barium enema.
Kolon kiri
a. Pasien dengan obstruksi : pada semua 25-30% pasiendatang dengan lesi pada kolon
kiri datang sebagai pasien gawat darurat. Pasien dapat menderita perforasi dengan
abses perikolik atau bahkan peritonitis umum tetapi lebih sering obstruksi usus besar.
Sejauh ini penyebab paling umum dari obstruksi usus besar adalah karsinoma, penting
untuk menyingkirkan penyebab lain yang mungkin dapat ditangani dengan terapi
konservatif. Pemeriksaan barium enema darurat diindikasikan pada semua kasus
obstruksi usus besar untuk mengkonfirmasi derajat obstruksi dan untuk mendiagnosis
pseudo-obstruksi yang tidak membutuhkan pembedahan. Kolonoskopi darurat telah
dianjurkan sebagai alternatif dari pemeriksaan barium enema.
b. Pasien tanpa obstruksi : gangguan kebiasaan defekasi merupakan keluhan pasien
yang datang tanp obstruksi. Hal ini bisa berupa konstipasi yang meninkat, diare atau
berubah-ubah antara kedua hal tersebut, pasien biasanya menemukan darah bersama
feses dan mengeluh nyeri atau rasa tidak enak pada abdomen bawah. Penurunan berat
badan umum ditemukan dan pada umumnya merupakan tanda yang buruk. Karsinoma
kadang-kadang bisa diraba dengan palpasi abdomen.
Karsinoma rektum
Pasien dengan karsinoma rektum hampir tidak pernah datang sebgai pasien gawat
darurat. Pasien mengalami perdarahan yang jelas melalui rektum. Mungkin terdapat
perubahan kebiasaan defekasi dan sering tenesmus, perasaan defekasi yang belum
selesai dengan keinginan defekasi yang berulang-ulang, tetapi yang keluar hanya
lendir dan darah. Tumor sampai 10 cm dari anal biasanya dapat dilihat dengan
sigmoidoskopi.
J. PENDEKATAN DIAGNOSIS 6
A. Anamnesis
Pada stadium dini, karsinoma kolon tidak memberikan gejala. Gejala
biasanyam u n c u l s a a t p e r j a l anan penya k i t s u d a h l a n j u t . P a s i e n d e n g a n
k a r s i n o m a k o l o n biasanya mengeluh rasa tidak enak, kembung, tidak bisa
flatus, sampai rasa nyeri dip e r u t . D i d a p a t kan juga p e r u b a h a n k e b i a s a a n
b u a n g a i r b e s a r b e r u p a d i a r e a t a u sebaliknya, obstipasi, kadang disertai darah
dan lendir. Buang air besar yang disertaidengan darah dan lendir biasanya
dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma kolon b a g i a n p r o k s i m a l . H a l
ini
disebabkan
karena
darah
ya n g
dikeluarkan
oleh
C. Pemeriksaan penunjang
1.
Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika
terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna.
2.
manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes
occult blood dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas
dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan
evaluasi lebih lanjut.
3.
Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium
enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat
kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada
barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang
dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya
sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk
menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.
Tahap pengosongan
Setelah diyakini mukosa kolon terlapisi sempurna, maka sisa larutan
barium dalam lumen kolon perlu dibuang sebanyak yang dapat
dikeluarkan kembali. Caranya dengan memiringkan penderita ke kiri (left
decubitus) dan menegakkan meja pemeriksaan (upright)
b4
Tahap pengembangan
Di sini dilakukan pemompaan udara ke dalam lumen kolon. Usahakan
jangan sampai terjadi pengembangan yang berlebihan (overdistention)
karena akan timbul hal-hal yang tidak diingini.
b.5
Tahap pemotretan
Setelah
seluruh
kolon
mengembang
sempurna,
maka
dilakukan
tergantung pada bentuk kolonnya atau kelainan yang ditemukan. Hal yang
sama juga berlaku untuk jumlah film yang dipakai.
c. Lama pemeriksaan
Dianjurkan lama pemeriksaan tidak melebihi 5 menit. Makin lama pemeriksaan
itu berlangsung, kemungkinan terjadinya kerak-kerak barium di sepanjang
kolon makin besar.
d. Alat-alat yang dipakai
Irigator plastic dengan balon dan pompa udara terpasang sangat disukai untuk
dipakai karena sifatnya yang fleksibel sehingga penderita tidak perlu
meninggalkan meja pemeriksaan pada tahap pengosongan.
e. Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop
Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :
-
4.
Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari
pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai
polip premaligna.
5.
Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa
kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160
cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan
polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan
kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2%
pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut
Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging
yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker
kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.
a.
CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre
operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal,
ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat
berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang
meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan
mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan
kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum
tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran
pada
klarifikasi
lesi
yang
tak
teridentifikasi
dengan
c.
K. TATALAKSANA6
Kemoprevensi
Obat Anti Inflamatori Steroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan dengan
penurunan motalitas kanker kolon. Bebrapa OAIN seperti sulindac dan celecoxib telah
terbukti sewcara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma pada pasien
dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Data epidemiologi menunjukkan
adanaya penurunan risiko kanker di kalangan pemakai OAIN namun bukti yang
mendukung manfaat pembrian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah kanker kolon
sporadik masih lemah. (FKUI)
Pada kasus dengan obstruksi kolon kiri, metode tradisional yang digunakan adalah
prosedur 3 tahap:
1. Kolostomi saja
2. Reseksi dengan anastomosis
3. Penutupan kolostomi
Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya kecenderungan ke arah reseksi
sebagai prosedur primer. Seringkali tidak dilakukan anastomosis pada operasi darurat.
Kolon atas yang tersisa dikeluarkan seperti pada kolostomi, dan kolon bawah
dikeluarkan (dengan menghasilkan fistula mukus) atau ditutup (dengan prosedur
Hartmann). Operasi kedua dapat dilakukan jika pasien sudah benar-benar pulih dan
kesinambungan usus dapat dipertahankan.
Tindakan lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara tidak hanya mereseksi tumor tetapi
juga melakukan anastomosis primer. Hal ini dibantu dengan pembilasan kolon di atas
meja operasi, yang membersihkan kolon dari feses dan mengurangi disproporsi ukuran
antara usus yang di atas dan di bawah karsinoma yang direseksi. Pilihan lebih lanjut
adalah melakukan kolektomi subtotal dan anastomosis usus kecil ke sisa kolon distal
atau rektum.
c. Karsinoma rektum
Karsinoma setengah bagian atas rektum yang dioperasi dapat dieksisi secara adekuat
dan dianastomosis dengan baik. Prosedur ini disebut reseksi anterior dan rektum.
Anastomosis dapat dilakukan dengan penjahitan manual, tetapi dengan adanya alat
stapler sirkuler secara teknik mempermudah untuk dilakukannya beberapa reseksi
anterior. Prosedur reseksi pada kaarsinoma rektum dapat dilihat pada gambar di bawah
ini :
Terapi ajuvan
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi
ajuvan dimaksudakan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolon setelah
operasi. Pasien dengan kriteria Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara
signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor. Kemoterapi
ajuvan tidak berpengaruh pada pasien dengan kriteria Dukes B. Irinotecan (CPT11)
inhibitor topoisomer dapat memperpanjang masa harapan hidup. Oxaliplatin analog
platinum juga memperbaiki respon setelah diberikan 5FU dan leucoverin. Manajemen
kanker kolon yang tidak reseksibel meliputi : Nd-YAG foto koagulasi laser dan self
expanding metal endoluminal stent.
Pemilihan terapi pada pasien disesuaikan dengan stadium penyakitnya, seperti gambar
dibawah ini:
Penentuan stadium
A
Tumor Dukes A dan B1
Pembedahan radikal
Pembedahan radikal
Observasi
Observasi
Percobaan klinis
dengan terapi ajuvan
Tumor metastasis
Pembedahan
paliatif
Kemoterapi
Keterangan :
A. Tumor dengan klasifikasi Dukes A atau B1, dimana tumor belum mempenetrasi
keseluruhan tebal dinding usus, bentuk kemoterapi ajuvan tidak diperlukan, tetapi
rencana pengawasan ketat untuk dteksi dini adanya rekurensi harus dilakukan.
Tindakan tersebut harus termasuk adanya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
carciniembryogenik antigen (CEA) tiap 3 bulan dan foto dada dengan interval 6
bulan. Kolonoskopi harus diulangi dalam waktu 1 tahun untuk mendeteksi secara dini
adanya pembentukan polip dan, jika negatif selanjutnya harus diulangi dengan
interval 3 tahun. Follow-up yang lebih ketat diperlukan pada pasien dengan tumor
yang timbul pada keadaan peradangan usus (inflammatory bowel disease) atau
sindroma poliposis herediter. Pada kasus tersebut, harus diambil pertimbangan untuk
melakukan kolektomi profilaksis.
B. Bagi pasien dengan lesi dukes B2 dan C, dengan penetrasi melalui lapisan muskularis
dan/metastasis kelenjar getah bening regional, harus diambil pertimbangan untuk
memasukkan pasien ke dalam percobaan terapi klinis terapi ajuvan. Pada saat ini, data
dari percobaan terkontrol tidak mengharuskan pemakaian rutin kemoterapi ajuvan
dengan 5-flourouracil (5-FU) atau dengan kombinasi 5-FU dengan semustine
(methyl-CCNU [methyl-cyclohexyl chloroethylni-trosoureal]).
Pada appendicitis infiltrat terasa nyeri dan panas yang mirip dengan tumor sekum
stadium lanjut (tumor sekum pada stadium awal bersifat mobile).
4. Haemoroid
Pada haemoroid, feces juga bercampur darah namun pada haemoroid darah keluar
sesudah feces keluar baru kemudian bercampur. Sedangkan pada tumor kolon darah
keluar bersamaan dengan feces.
5. Tumor Ovarium
Pada tumor ovarium dan tumor kolon kiri sama-sama sering ditemukan gangguan
konstipasi. Pada tumor ovarium, juga didapati pembesaran abdomen namun tumor ini
tidak menyebabkan keluarnya darah bersama feces. Selain itu tumor ovarium
menyebabkan gangguan pada miksi berupa peningkatan frekuensi di mana hal ini
tidak dijumpai pada tumor kolon.
M. KOMPLIKASI
1. Anemia
Anemia pada tumor kolon terutama disebabkan akibat adanya perdarahan. Anemia
yang terjadi adalah anemia hipokrom mikrositik.
2. Perforasi
Perforasi terjadi karena adanya sumbatan oleh tumor yang akan mengganggu pasase
dari feses.
3. Metastasis
Terutama ke hepar, paru, tulang, dan otak.
N. PROGNOSIS7
Stage
I
IIA
IIB
IIC
IIIA
IIIB
IIIC
IV
5-Year Observed
Survival Rate
74%
65%
52%
32%
74%*
45%*
33%
6%
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB,
Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition).
2. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 17th ed., Copyright 2004 Elsevier.
3. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000. Springer.
4. Zuber M, Harder F. Benign tumors of the colon and rectum; in Surgical Treatment:
Evidence-based
and
Problem-Oriented.
Available
at:
of
colorectal
cancer.
Available
at:
http://www.hopkinscoloncancercenter.org/CMS/CMS_Page.aspx?CurrentUDV=59&
CMS_Page_ID=EEA2CD91-3276-4123-BEEB-BAF1984D20C7. Accessed on july 9,
2014
6. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378
7. Staging
of
colorectal
cancer.
Available
at: