Anda di halaman 1dari 50

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan izinNya penyusun dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun guna
memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta.
Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.Santi
Andiani, Sp.B

yang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan referat ini, serta

kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan klinik Ilmu
Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta. Dan juga ucapan terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan
dan bantuan kepada penyusun.
Dengan penuh kesadaran dari penyusun, meskipun telah berupaya semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan referat ini, namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata,
penyusun mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita
semua.

Jakarta, Juli 2014

Fransisca Stephanie

REFERAT
Tumor kolon

Pembimbing : dr. Santi Andiani, Sp.B

Disusun oleh : Fransisca S. W


030.10.109

Kepaniteraan klinik ilmu bedah


RS Budhi Asih
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode 2 Juni 2014 9 Agustus 2014

BAB I
PENDAHULUAN
Tumor usus halus jarang terjadi,sebaliknya tumor usus besar atau rectum relative
umum. Di Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ visceral dan
20% dari kematian karena penyakit kanker adalah akibat kanker kolorektal. Karsinoma
kolorektal sering dijumpai pada dekade 6 dan 7, merupakan penyakit yang banyak
menyebabkan kematian. Kejadian karsinoma kolorektal pada usia muda tidak banyak
dijumpai.
Dari penelitian yang dilakukan olh Harijono Achmad di RSSA Malang, didapatkan
bahwa kasus karsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita selama 5
tahun,terdiri dari penderita di bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita (14,26%).
Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%), rekto
sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon
tranversum (6%),flexura hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum (12%),appendix
(2%).
Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat,.Amerika Utara. Di Asia, banyak
terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan makanan. Beberapa faktor
antara lain lingkungan, genetik dan immunologi merupakan faktor predisposisi
tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan karsinogen, bakteri dan virus.
Gejala klinik karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker cecum dan
kolon asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto
sigmoid dapat menyumbat lumen atau berdarah.
Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah
tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat
diselamatkan dengan diagnosis dini dan tindakan segera. Laporan kasus Lab JUPF
Ilmu Penyaki Dalam FK. UNIBRAW - RSSA Malang, tangga1 17 Juni 1992.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Kolon dan Rektum


Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon
descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri dari
epitel selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada
lapisan submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan
sebelah luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.
Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang
disebut appendices epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat
kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan
mukosa dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica
semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh
adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah
pindah atau menghilang.

Gambar 1 : Anatomi kolon dan rektum


Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior dan
arteri mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang
memberi cabang-cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal
arteri adalah arteri ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica

sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang
merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri
mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali
arteri colica media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum
dan mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama
dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena
mengikuti pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri
mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju
ke Lnn. ileocolica, Lnn. colica dextra, Lnn. colica media, Lnn. colica sinistra dan Lnn.
mesenterica inferior. Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca
dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak
di sebelah ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi
letak colon ascendens ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung
melekat pada dinding dorsal abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum
dan ren dextra. Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic
dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai
flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan
pankreas di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra
letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga
lebih tajam sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan
facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah ventralnya.
Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica media. Arterialisasi colon
transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica
superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat
arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.

Gambar 2 : Arteri Mesenterica Superior


Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi colon
transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon transversa
disebut radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli sinistra sampai
flexura coli dextra. Lapisan cranial mesokolon transversa ini melekat pada omentum
majus dan disebut ligamentum gastro (meso) colica, sedangkan lapisan caudal melekat
pada pankreas dan duodenum, didalamnya berisi pembuluh darah, limfa dan syaraf.
Karena panjang dari mesokolon transversum inilah yang menyebabkan letak dari colon
transversum sangat bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai
fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena
hanya dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus
lumborum dan erat hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabangcabang arteri colica sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari
arteri mesenterica inferior.

Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi toneal,


dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan
yang variabel pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang
tergantung isinya didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke
dalam cavum pelvis melalui aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke
arah ventral dan ke kanan dan akhirnya ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri
kedalam rectum pada dinding mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os
sacrum. Arterialisasi didapat dari cabang- cabang arteri sigmoidae dan arteri
haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena yang
terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior dengan
vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara kedalam
vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis superior,
sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan antara vena
parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral (vena porta) yang penting bila terjadi
pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada penyakit hepar sehingga
mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai radix yang berbentuk
huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan percabangan arteri iliaca
communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki huruf V ini
terdapat reccessus intersigmoideus.

Gambar 3 : Lapisan otot dari kolon


Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, yang disebut tenia* (tenia;
taenia = pita) yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan

berbentuk seperti sakulus* (sakulus; saculus=saccus kecil; saccus=kantong), yang


disebut haustra*(haustra; haustrum=bejana).
Kolon transversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi
dengan mesenterium.

B. FISIOLOGI KOLON 1,2


Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien, sedangkan dimana
fungsi rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan nutrien tergantung pada koloni flora
normal, motilitas usus, dan absorpsi dan ekskresi mukosa.
1. Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh tercampur
oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian besar nutrien,
dan juga beberapa cairan garam empedu yang tersekresi ke lumen. Namun untuk
cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit terabsorpsi oleh usus halus akan diabsorpsi
oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan energi terlalu
banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora normal yang ada.
Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri sebanyak 1011
sampai 1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak adalah bakteri
anaerob dengan spesies yang terbanuak dari kelas Bacteroides (1011 sampai 1012
organisme/mL). Eschericia coli merupakan bakteri spesies yang paling banyak 108
sampai 1010 organisme/mL). Flora normal ini berguna untuk memecah karbohidrat
dan protein serta mempunyai andil dalam metabolism bilirubin, asam empedu,
estrogen, dan kolesterol, dan juga vitamin K. Flora normal juga berguna untuk
menekan jumlah bakteri patogen, seperti Clostridium difficile. Jumlah bakteri yang
tinggi dapat menyebabkan sepsis pada pasien dengan keadaan umum yang buruk dan
dapat menyebabkan sepsis inta-abdomen, abses, dan infeksi pada luka post-operasi
kolektomi.
2. Urea Recycling
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada manusia dan
sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease, namun flora normal bakteri

pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi patologis urea yang paling umum
adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak mampu menggunakan kembali urea nitrogen
yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-brain barrier dan menyebabkan
gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma hepatik.
3. Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk
kedalam kolon perharinya mencapai 1000 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon
hanya sekitar 100 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi,
yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses
hanya tersisa 25 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, n-butirat
akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena sel mamalia
tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada bakteri lumen untuk
memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh
inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya
absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare.
Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon
menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari ileus
terminalis, sehingga membuat kolon menjadi bagian sirkulasi enterohepatika. Ketika
absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas, bakteri akan mengkonjugasi
asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi akan mengganggu absorpsi natrium
dan air, sehingga menyebabkan diare sekretoris atau diare koleretik. Diare sekretoris
dapat dilihat saat setelah hemikolektomi sebagai fenomena transien dan lebih
permanen reseksi ileus ekstensif.
4. Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon
dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan rektum.
Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan sekum sebagai
segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon bagian kiri
merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit pada kolon
diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai kolon melalui

nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai kolon akan
membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus myenterika (Auerbach),
submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.
Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah kanan, gelombang
antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd sehingga isi dari usus
terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi dari lumen usus terdorong ke
arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga terpisah-pisah menjadi globulus-globulus.
Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic, merupakan gabungan antara gerakan retropulsif
dan tonis.
C. DEFINISI
Neoplasma atau tumor adalah suatu massa abnormal dari sebuah jaringan akibat dari
pertumbuhan atau pembelahan yang abnormal dari suatu sel. Tumor dapat memiliki
sifat jinak (benign), potensi ganas (malignan) atau ganas.
Dalam hal ini, tumor kolon berarti terdapatnya suatu massa abnormal di dalam kolon
atau usus besar, berarti tidak hanya kolon saja namun juga appendix dan rektum.
Massa tersebut dapat bersifat jinak atau ganas, dan dapat menyebabkan gejala atau
tidak menyebabkan gejala.

D. EPIDEMIOLOGI
Karsinoma kolon adalah penyebab kematian kedua akibat karsinoma. Kemungkinan
mengidapnya adalah 1 dalam 17. Insidennya berkurang 2 peratus setahun sejak 1985
hingga 1995 tetapi baru-baru ini peratusannya meningkat kembali. Ini menunjukkan
keberhasilan deteksi awal melalui program skrining.
Tumor terjadi ditempat yang berada dalam colon, kira-kira pada bagian :
26 % pada caecum dan ascending colon
10 % pada transfersum colon
15 % pada desending colon
20 % pada sigmoid colon
30 % pada rectum
Insiden karsinoma kolon menunjukkan variasi geografik. Negara industri kecuali
Jepang mempunyai insiden tertinggi. Manakala Negara Amerika Selatan dan China

mempunyai angka kejadian yang relative rendah. Ini disebabkan oleh perbedaan diet
antara negara berkenaan dan faktor lingkungan
Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi belum ada
angka yang pasti berapa insiden karsinoma kolon. Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi
data-data

di

Departemen

Kesehatan

mendapatkan

1,8

per

100.000

penduduk.2 Tirtosugondo (1986) untuk Kodya Semarang. Kira-kira 152.000 orang di


amerika serikat terdiagnosa karsinoma Colon pada tahun 1992 dan 57.000 orang
meninggal karena karsinoma ini pada tahun yang sama (ACS 1993). Sebagian besar
klien pada karsinoma Colon mempunyai frekuensi yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Karsinoma pada colon kanan biasanya terjadi pada wanita dan Ca pada
rektum biasanya terjadi pada laki-laki. Insidennya meningkat sesuai dengan usia
(kebanyakan pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun) dan makin tinggi pada
individu dengan riwayat keluarga yang mengalami karsinoma kolon.
E. ETIOLOGI (FAKTOR RESIKO) 3
Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektar merupakan hal yang
penting untuk menentukan program screening dan surveilans pada populasi dengan faktor
risiko.
1. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal, dengan
insidens yang meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus). Umur ini
dijadikan dasar rasionalitas untuk melakukan skrining pada orang dengan gejala yang
asimptomatis. Namun kanker kolorektal dapat terjadi pada seluruh usia, maka jika ada
gejala seperti perubahan keadaan usus, perdarahan rektum, melena, anemia tanpa
sebab yang jelas, atau penurunan berat badan maka diperlukan pemeriksaan yang
lebih mendetail.
2. Faktor Herediter
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat
keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian yang
lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis dini.
Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan pemeriksaan ini,
seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang ada suspek keluarga
yang dulunya terkena kanker kolorektal.

3. Faktor Diet dan Lingkungan


Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi
dengan faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga
terdapat sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan
kanker. Diet yang tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid
meningkatkan risiko kanker kolorektal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat
(minyak zaitun, minyak kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak meningkatkan resiko.
Pada penelitian dengan hewan menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik langsung
terhadap mukosa kolon sehingga mungkin dapat menyebabkan perubahan maligna.
Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur nampaknya bersifat lebih protektif. Intake
kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan fenol dapat mengurangi
kejadian kanker kolorektal. Studi ini menjadi dasar preventif primer untuk
mengeradikasi kanker kolorektal dengan cara mengatur diet dan gaya hidup.
4. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Pasien dengan penderita kolitis kronis mempunyai faktor risiko untuk terkena
kanker kolorektal. Telah ditarik sebuah hipotesis bahwa inflamasi kronis akan
membuat perubahan struktur pada mukosa kolon menjadi struktur maligna dan hal ini
juga dipengaruhi dengan derajat berat inflamasinya. Pada ulseratif pankolitis, risiko
terkena kanker meningkat sebanyak 2% setelah 10 tahun, 8% setelah 20 tahun, dan
18% setelah 30 tahun. Kolitis daerah sebelah sinistra tanpa alasan yang jelas
mempunyai

risiko

yang relatif rendah. Akibatnya, pasien dengan kolitis

direkomendasikan agar diperiksa kolonoskopi dengan biopsy mukosa acak 8 tahun


setelah terdiagnosis pankolitis dan 12 15 tahun kemudian pada pasien dengan
pankolitis sinistra.
5. Faktor Risiko Lain
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama ketika
merokok lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga mempunyai
peningkatan faktor risiko adenoma maupun karsinoma. Akromegali, dimana terjadi
peningkatan growth hormone dan insulin-like growth factor I, juga menambah faktor
risiko.

F. JENIS TUMOR KOLON 4


1. POLIP EPITELIAL NON-NEOPLASTIK
Mayoritas polip intestinal muncul secara sporadik dan frekuensinya meningkat seiring
bertambahnya waktu.
a. Polip Hiperplasia
Polip epitelial ini biasanya memiliki diameter kurang dari 5 mm. Mereka
ditemukan di dalam rectum dan sigmoid seringkali pada puncak lipatan mukosa dan
valvula. Biasanya polip ini muncul secara multipel, bila hanya satu maka penderita
tidak akan merasakan gejalanya.
Pada pemeriksaan endoskopik, mereka berwarna seperti mukosa rektum. Pada
penelitian, bahwa sel yang membentuk polip hyperplasia memiliki jangka hidup yang
lebih panjang dibanding sel-sel mukosa lain yang berdekatan. Polip-polip hiperplasia
secara kasat mata tidak memiliki potensi malginansi.
Pada penelitian, sensitifitas dalam mendeteksi adenoma sekitar 69%, sedang
spesifitasnya (akurat-tidaknya diagnosis polip hiperplasia) adalah 86%. Satu dari
polip hiperplasia multipel harus diangkat untuk mengetahui sifat sesungguhnya dari
tumor tersebut.

b. Hamartomas
Hamartoma adalah jaringan normal yang tidak tersusun dengan teratur atau
dengan semestinya. Hamartoma dapat muncul secara sporadik atau diikuti oleh
autosomal dominant juvenile polyposis syndrome.
Juvenile polyps
Juvenile polyp (congenital polyp, retention polyp, juvenile adenoma) biasanya
muncul pada anak-anak dibawah umur 10 tahun. Insiden pada pria lebih tinggi
dibanding pada perempuan. Adalah tumor yang paling sering terjadi pada anak-anak.
80% tumor muncul di rectum, namun bisa saja menyebar di seluruh kolon. Polip ini

biasanya berdiameter lebih dari 1 cm. Polip tampak kistik dengan ruangan berisi
mukus.
Diagnosis dikonfirmasi dengan mengambil polip yang direseksi dan diperiksa
histologinya. Pada kasus juvenile polyp, seluruh kolon sebaiknya dieksplorasi.
Juvenile polyp tidak bersifat neoplasia ataupun dalam kondisi premaligna.
Juvenile polyposis syndrome adalah kondisi yang tidak umum dimana juvenile
polyp muncul multipel tidak hanya di kolon namun juga di saluran usus halus. Sekitar
20-50% pasien memiliki riwayat keluarga dengan diagnosis yang sama. Juvenile
polyp yang soliter memiliki kemungkinan rekuren < 20%, pada kasus familial
mendekati 90%. Gejala dapat berupa hematochezia, anemia defisiensi besi,
hipoproteinemia, dan hipokalemia. Ada juga manifestasi ekstrakolon yang kongenital
dan didapat seperti makrosefali, alopesia, pembengkakan tulang, bibir sumbing
(labioschisis), glomerulonefritis akut, pelvis renalis dan ureter ganda, undesensus
testis, uterus dan vagina bifida. Bentuk fatal dari juvrnile polyposis pada bayi
dikarakterisasi dengan diare yang berlebihan, enteropati yang mengakibatkan
kehilangan protein, perdarahan dan prolapsus recti. Bentuk juvenile ini sangat jarang,
biasanya muncul dengan disertai oleh neoplasma yang benign atau maligna. Kasus ini
biasanya muncul pada masa anak-anak.
Semua juvenile polyp sebaiknya direseksi dengan kolonoskopi, terutama
Juvenile polyposis syndrome karena berpotensi premaligna. Bila polip terlalu banyak
maka restorative proctocolectomy dengan kantung ileal dapat dipertimbangkan.
Follow-up berkala dengan kolonoskopi dan endoskopi saluran cerna atas dapat
diperhitungkan.
Peutz-Jeghers polyps
Peutz-Jeghers polyps pada sindroma Peutz-Jeghers (penyakit autosomal
dominan) muncul soliter atau multipel. Polip multipel ini tersebar di seluruh saluran
gastro-intestinal, disertai mukosa melanotik, pigmentasi kutaneus disekitar bibir,
mukosa mulut, wajah, genitalia dan permukaan palmar tangan.
Pada sindroma ini, kemungkinan polip ini muncul di usus halus adalah 100%,
pada kolon 30%, pada gaster 25%. Diagnosis sindroma ini berdasarkan riwayat
keluarga, pigmentasi kulit dan gejala gastrointestinal. Gejala yang paling umum

adalah nyeri abdomen akibat obstruksi (baik akibat polip itu sendiri atau intususepsi).
Perdarahan rektal adalah gejala umum lainnya. Pemeriksaan kontras dan endoskopi
menunjukkan luas penyakit, sedang hasil histology menunjukkan lesi dengan proses
hamartomatosa atau malformasi sel dibandingkan dengan gambaran neoplasma.
Peutz-Jeghers polyps yang soliter dapat direseksi dengan kolonoskopi. Fokus organ
sesuai dengan prevalensi frekuensi polip ini adalah usus halus dan duodenum. Polip
usus halus dapat direseksi saat laparotomi dengan menggunakan endoskopi atau
enterotomi. Pendekatan agresif untuk reseksi endoskopik dibenarkan karena frekuensi
tumor yang berkurang seiring bertambahnya usia. Reseksi usus dapat diperhitungkan
dengan indikasi restriktif.
Juvenile polyps sendiri tidak memiliki potensi maligna, namun pada pasien
dengan penyakit ini memiliki peningkatan resiko berkembangnya karsinoma
pankreas, payudara, paru, ovarium dan uterus. Adenokarsinoma gastrointestinal pada
penyakit ini muncul dari lesi adenomatosa yang potensial, bukan berasal dari polip
juvenile. Lokasi yang paling umum adalah kolon dan rektum.
c.

Polip Inflamatorik
Polip inflamatorik (pseudo-polip) mewakili tonjolan kecil dari inflamasi mukosa

yang sedang mengalami regenerasi yang dikelilingi oleh ulserasi. Jenis ini terlihat
pada pasien yang mengalami inflamasi usus jangka panjang (colitis ulseratif atau
penyakit Crohn).
d.

Polip Limfoid
Polip limfoid (hiperplasia limfoid, limfoma benigna) adalah polip jinak yang

fokal atau difus yang muncul secara tipikal dimana sekelompok folikel-folikel limfoid
muncul di ileum terminalis atau rectum. Pada hasil radiografi, polip limfoid muncul
dengan ciri-ciri lesi polipoid yang kecil, seragam terlokalisasi atau generalisata.
Pemeriksaan endoskopi dan biopsi akan mengkonfirmasi sifat polip. Polip ini terdiri
dari jaringan limfoid yang cukup terdiferensiasi. Lesi pada rektal memiliki gejala
yang tidak jelas, sedangkan pada kolon gejala dapat tampak sebagai perdarahan, nyeri
abdomen, perubahan sifat pencernaan, dan intususepsi terutama pada anak-anak.

2. POLIP EPITELIAL NEOPLASTIK


Adenoma
Adenoma adalah neoplasma yang paling sering ditemui. Sesuai definisi, adenoma
adalah lesi benigna yang berhubungan dengan perkembangan kanker invasif. Ada 3 jenis
adenoma kolon, yaitu: tubular, vilosa, dan campuran.
Adenoma tubular adalah yang tersering; sekitar 5-10% adenoma jenis
tubulovillous dan hanya 1% yang villous. Adenoma muncul sebagai hasil dari displasia
proliferatif. Lesi premaligna atau karsinoma in situ dapat muncul dari ketiga bentuk ini.
Karsinoma in situ adalah bentuk preinvasif dari neoplasia stadium tinggi tanpa bukti
mikroskopik bahwa invasi sudah melewati membrana basalis. Resiko maligna dari polip
adenomatosa berhubungan dengan ukuran polip, arsitektur histologis, dan keparahan
displasia epitel. Jarang sekali adenoma tubular dengan besar < 1cm bersifat invasif.
Displasia yang parah sering ditemukan pada daerah yang villosa, dan biasanya ukuran
akan berlipat ganda setelah 10 tahun.
Adenoma tubular
Setengah dari adenoma tubular ditemukan di rektosigmoid dan munculnya
satu per satu. Pemeriksaan histologis memperlihatkan struktur kelenjar atau kistik di
submukosa.
Adenoma villosa
Adenoma villosa sering ditemukan di rektum dan sigmoid. Berbentuk seperti
kembang kol. Resiko kanker sebesar 40% (tinggi) pada adenoma dengan besar > 4cm.
Adenoma tubulo-vilosa
Adenoma ini menunjukkan keadaan pertengahan antara lesi tubular dan vilosa.
Resiko perkembangan menjadi karsinoma tergantung dari besar atau luas dari daerah
yang villous dari lesi.

G. PATOFISIOLOGI
Polip
Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi
kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang
bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation,
perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker.
Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion
memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan
peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu
proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen
gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan
pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis
(kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen,
karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel.
Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas
genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi
pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan
melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi protoonkogen,

TSG,

dan

gen

gatekeeper

secara

seimbang.

Jika

terjadi

ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan
baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus sel.
Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi
melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian
sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang
tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga
kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi adalah
mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi baik,

akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia
adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak
diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non
neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik
yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip),
limfoid aggregate dan inflamatory polip.

Gambar : Adenoma Carcinoma Sequences


Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna ; dan
berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous
adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous,
dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous
adenoma dibawah 5%.2

Gambar : Adenomatous Polip


Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari
adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif
karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi
dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih
besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi tergolong sebagai villous
adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal.
Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan meningkatnya
timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika
polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 fold pada pasien yang mempunyai multipel
polip. Dari penelitian didapatkan bahwa polip yang lebih besar dari 1 cm jika tidak
ditangani menunjukkan risiko menjadi kanker sebesar 2,5% pada 5 tahun, 8% pada
10 tahun dan 24% pada 20 tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi
malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk
displasia sedang dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.

Gambar

: Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C)


tubulovillous adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular
adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari sebuah villous
adenoma.

Idiopathic Inflammatory Bowel Disease


1. Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar
1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko
perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena
kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif
kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan
18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang
dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan

kolonoskopi

untuk

menentukan

kebutuhan

akan

total

proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.
Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa
dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif
menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat

esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang


berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa
mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya
invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada
pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para
ahli patologi anatomi.

2.

Penyakit Crohns
Pasien yang menderita penyakit crohns mempunyai risiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan
ulseratif kolitis.

Gambar : Ulseratif Colitis


Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohns sekitar
20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari
adenokarsinoma pada tempat

yang terjadi

fibrosis. Adenokarsinoma

meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding


intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah
dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat
pada fistula kronik pasien dengan crohns disease.

Gambar : Penyakit Crohns

3.

Faktor Genetik
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat
kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat
yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita
kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang
yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.

4.

Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang
menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi
antara

resistensi

insulin

dengan

adenoma

dan

kanker

kolorektal.

Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan


perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin,
trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini
mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga

memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal


tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua
adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat
karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat
disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel
disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar
toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik
ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan
lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis
dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses
ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan
lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme
tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan
kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat
menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
5.

Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua
setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar.
Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika
dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan
hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas,
obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap
hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari
kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan
pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker
kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang
berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat
diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya
adenoma.

6.

Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita
adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali
(2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4
kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang
berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa
pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker
paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48%
kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker
payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru paru
(118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker
kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal
meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50
tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang
dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada
usia 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang
dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65
tahun.
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal
sebesar 5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker
kolorektal adalah pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah
empat puluh tahun hanya memiliki kemungkinan menderita kanker kolorektal
kurang dari 10%. Dari tahun 2000-2003, rata-rata usia saat terdiagnosa
menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia
dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun
sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74
tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.
Pada kebanyakan kasus kanker terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan pada usia lanjut yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi,

terutama antara Negara berkembang dan Negara maju. Bila di Negara maju
angka kejadian penyakit ini meningkat tajam setelah seseorang berusia 50
tahun dan hanya 3 persen di bawah 40 tahun, di Indonesia berdasarkan data
Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI,
1996-1999) menunjukkan persentase yang lebih tinggi yakni 35,25%.
Proporsi dari orang yang berusia lanjut telah meningkat di berbagai Negara
beberapa dekade terakhir, dan akan terus meningkat lebih jauh beberapa tahun
mendatang. Tingkat harapan hidup di Indonesia pada saat kelahiran
diperkirakan adalah 67,86 tahun untuk pria dan wanita. Peningkatan usia
harapan hidup yang ada beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat
4 dunia akan menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai
jumlah usia lanjut paling tinggi di dunia. Meningkatnya jumlah orang yang
berusia lebih tua akan menambahkan beban ganda pada penyakit, dengan
umumnya penyakit yang menular di satu sisi, dan meningkatnya prevalansi
penyakit yang tidak menular di sisi lainnya. Kanker pada usia lanjut di masamasa yang akan datang merupakan masalah yang perlu ditangani dengan
serius dikarenakan perubahan populasi penduduk dengan kelompok usia lanjut
yang semakin banyak. Oleh karena itu sangat perlunya penggalakan penelitian
mengenai pencegahan kanker dan perencanaan terapi pada orang yang berusia
lanjut.

H. STADIUM KARSINOMA5

Stadium dan faktor prognostis kanker kolorektal dapat dilihat pada tabel dan gambar
di bawah ini:
Klasifikasi karsinoma rektum menurut Dukes:
Tahap A: Infiltrasi karsinoma terbatas pada dinding usus (survive for 5 years 97 %)
Tahap B: Infiltrasi karsinoma sudah menembus lapisan muskularis mukosa (80 %)
Tahap C: Terdapat metastasis ke dalam kelenjar limfe
C1: Beberapa kelenjar limfe dekat tumor primer (65 %)
C2: Dalam kelenjar limfe jauh (35 %)
Tahap D: Metastasis jauh (< 5 %)

Klasifikasi TNM
T Tumor primer
Tx - Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 - Tidak ada tumor primer
T1 - Invasi tumor di lapisan sub mukosa
T2 - Invasi tumor di lapisan otot propria
T3 - Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik yang
tidak dilapisi peritoneum atau perirektal
T4 - Invasi tumor terhadap organ atau struktur sekitarnya atau peritoneum viseral

N Kelenjar limfe regional


Nx - Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
N1 - Metastasis di 1-3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal
N2 - Metastasis di 4 kelenjar limfe perikolik atau perirektal

M Metastasis jauh
Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 - tidak ada metastasis jauh
M1 - terdapat metastasis jauh

Harapan hidup pasien dengan kanker kolon bergantung pada derajat


penyebaran saat pasien datang. Prognosis pasien berhubungan dengan dalamnya
penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan KGB regional atau metastasis jauh,
penyebaran lokal yang dapat menyebabkan perlekatan dengan struktur yang tak dapat
diangkat, dan derajat histologi yang tinggi.. Prognosis yang buruk juga terjadi pada
pasien dengan usia muda, menderita kanker koloid, dan
obstruksi atau perforasi.

menunjukkan gejala

I. GEJALA KARSINOMA
Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan
umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan yang
paling sering dirasakan pasien adalah perubahan pola buang air besar, perdarahan per
anus (hematosezia dan konstipasi). Kanker ini umumnya berjalan lamban, keluhan dan
tanda-tanda fisik timbul sebagaia bagian dari komplikasi seperti obstruksi. Perdarahan
invasi lokal kakheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon
desendens dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih sempit daripada kolon yang
proksimal. Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila
obstruksi total terjadi akan menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker
kolon dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi.
Meskipun perdarahan umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada sebagian
kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai hematoseczhia atau darah
tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering disertai dengan anemia defisiensi
besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih
berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat terjadi bilamana tumor tersebut
menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula antara kolon dengan lambung atau usus
halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor ke lapisan serosa dan sebaran ke
peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri perut, ikterus dan hipertensi
portal. 4
Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi kanker di
dalam usus besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-kira enam kali lebih
besar daripada daerah sigmoid dan mengandung aliran fekal yang cair. Tumor yang
terletak di usus bagian kanan walaupun besar cenderung menggantung (fungating) dan
lunak, yang tidak tumbuh mengelilingi usus. Sebagai salah satu akibatnya gejala dari
tumor yang timbul di kolon kanan tidak disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien dapat
mengalami rasa yang tidak enak atau kolik di abdomen yang samar-samar. Lebih sering,
penyakit disertai dengan kehilangan darah kronis yang dideteksi dengan tes darah samar.
Sebaliknya tumor di daerah kiri cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan
fungsi normal dalam daerah ini adalah sebagai penyimpan massa feses yang keras. Gejala
obstruksi akut atau kronis adalah gambaran klinis yang penting. Di samping itu pasien
dapat mengalami perubahan dalam pola defekasi (bowel habits), memerlukan laksatif,

atau penurunan kaliber feses. Perdarahan adalah lebih jelas, dengan darah gelap atau
darah merah yang melapisi permukaan feses.1
Gambaran klinis kanker kolorektal tergantung pada tempat tumor. Sekitar
seperempat tumor usus besar terletak pada kolon kanan. Kolon transversal dan kolon
desenden relatif jarang terkena, sehingga kebanyakan tumor terletak pada kolon sigmoid
dan rektum. Gejala berdasarkan lokasi kanker dibagi menjadi 2

Kolon kanan
a. Pasien dengan obstruksi : sekitar seperempat pasien datang dengan tanda obstruksi
usus kecil di bagian bawah yaitu kolik, muntah, konstipasi dan distensi. Foto polos
abdomen memperlihatkan dilatasi usus kecil.
b. Tanpa obstruksi : banyak pasien yang datang tanpa obstruksi tiadak mempunyai
gejala yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Mereka memberikan riwayat
anemia dan penurunan berat badan akibat perdarahan gastrointestinal samar. Gejala
yang kompleks ini memberikan kemungkinan karsinoma lambung, tetapi karsinoma
kolon kanan (yang seharusnya lebih membutuhkan terapi) seringkali terlewatkan.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya massa yang dapat dipalpasi dalam fossa
iliaka kanan. Apakah ini ada atau tidak, seluruh kolon harus diperiksa dengan
kolonoskopi atau pada pemeriksaan barium enema.

Kolon kiri
a. Pasien dengan obstruksi : pada semua 25-30% pasiendatang dengan lesi pada kolon
kiri datang sebagai pasien gawat darurat. Pasien dapat menderita perforasi dengan
abses perikolik atau bahkan peritonitis umum tetapi lebih sering obstruksi usus besar.
Sejauh ini penyebab paling umum dari obstruksi usus besar adalah karsinoma, penting
untuk menyingkirkan penyebab lain yang mungkin dapat ditangani dengan terapi
konservatif. Pemeriksaan barium enema darurat diindikasikan pada semua kasus
obstruksi usus besar untuk mengkonfirmasi derajat obstruksi dan untuk mendiagnosis
pseudo-obstruksi yang tidak membutuhkan pembedahan. Kolonoskopi darurat telah
dianjurkan sebagai alternatif dari pemeriksaan barium enema.
b. Pasien tanpa obstruksi : gangguan kebiasaan defekasi merupakan keluhan pasien
yang datang tanp obstruksi. Hal ini bisa berupa konstipasi yang meninkat, diare atau
berubah-ubah antara kedua hal tersebut, pasien biasanya menemukan darah bersama

feses dan mengeluh nyeri atau rasa tidak enak pada abdomen bawah. Penurunan berat
badan umum ditemukan dan pada umumnya merupakan tanda yang buruk. Karsinoma
kadang-kadang bisa diraba dengan palpasi abdomen.

Karsinoma rektum
Pasien dengan karsinoma rektum hampir tidak pernah datang sebgai pasien gawat
darurat. Pasien mengalami perdarahan yang jelas melalui rektum. Mungkin terdapat
perubahan kebiasaan defekasi dan sering tenesmus, perasaan defekasi yang belum
selesai dengan keinginan defekasi yang berulang-ulang, tetapi yang keluar hanya
lendir dan darah. Tumor sampai 10 cm dari anal biasanya dapat dilihat dengan
sigmoidoskopi.
J. PENDEKATAN DIAGNOSIS 6
A. Anamnesis
Pada stadium dini, karsinoma kolon tidak memberikan gejala. Gejala
biasanyam u n c u l s a a t p e r j a l anan penya k i t s u d a h l a n j u t . P a s i e n d e n g a n
k a r s i n o m a k o l o n biasanya mengeluh rasa tidak enak, kembung, tidak bisa
flatus, sampai rasa nyeri dip e r u t . D i d a p a t kan juga p e r u b a h a n k e b i a s a a n
b u a n g a i r b e s a r b e r u p a d i a r e a t a u sebaliknya, obstipasi, kadang disertai darah
dan lendir. Buang air besar yang disertaidengan darah dan lendir biasanya
dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma kolon b a g i a n p r o k s i m a l . H a l
ini

disebabkan

karena

darah

ya n g

dikeluarkan

oleh

k a r s i n o m a tersebut sudah bercampur dengan feses. G e j a l a u m u m l a i n


y a n g d i k e l u h k a n o l e h pasien berupa kelemahan, kehilangan nafsu makan dan
penurunan berat badan.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mungkin tidak banyak menolong dalam menegakkan
diagnosis.T u mor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi abdomen, bila
teraba menunjukkan keadaan yang sudah lanjut. Bila tumor sudah metastasis ke hepar
akan teraba hepar yang noduler dengan bagian yang keras dan yang kenyal. Asites
biasa didapatkan jika tumor sudah metastasis ke peritoneal. Perabaan
limfonodi inguinal,iliaka, dan supraklavikular penting untuk mengetahui ada atau
tidaknya metastasis ke limfonodi tersebut. Pada pasien yang diduga menderita

karsinoma kolorektal harus dilakukan rectal toucher. B i l a l e t a k t u m o r a d a


d i r e k t u m a t a u r e k t o s i g m o i d , a k a n teraba massa maligna (keras dan
berbenjol-benjol dengan striktura) di rektum atau rektosigmoid teraba keras
dan kenyal. Biasanya pada sarung tangan akan terdapat lendir dan darah.

C. Pemeriksaan penunjang
1.

Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika
terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna.

2.

Tes Occult Blood


Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna
biru oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase
menjadi sempurna dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi
sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet. Seperti contohnya daging
merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari hal ini.
Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult
blood mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10
mg hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai
masalah yang perlu dicermati dalam menggunakan tes occult blood untuk
screening, karena semua sumber perdarahan akan menghasilkan hasil positif.
Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak berdarah sama
sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,

manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes
occult blood dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas
dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan
evaluasi lebih lanjut.

3.

Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium
enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat
kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada
barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang
dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya
sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk
menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.

Gambar 9 : Gambaran colon in loop

a. Persiapan Penderita dalam Pemeriksaan Colon in Loop


a.1 Mengubah pola makanan penderita
Makanan hendaknya mempunyai konsistensi lunak, low residue, dan tidak
mengandung lemak. Ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya
bongkahan-bongkahan tinja yang keras.

a.2 Minum sebanyak-banyaknya


Oleh karena penyerapan air di saluran cernaterbanyak di kolon, maka
pemberian minum ini dapat menjaga tinja agar tetap lembek. Untuk
menjaga kebutuhan kalori dan keseimbangan elektrolit dapat diberikan oral
enteral feeding berupa bubuk yang dilarutkan dalam air.
a.3 Pemberian Pencahar
Apabila kedua hal di atas dijalankan dengan benar, maka pemberian
pencahar hanyalah sebagai pelengkap saja. Pada beberapa keadaan, seperti :
orang tua, rawat baring yang lama, dan sembelit kronis, pencahar ini mutlak
diberikan.
Sebaliknya dipilih pencahar yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
-

Melembekkan tinja dan meningkatkan peristaltis

Mempunyai cita rasa yang enak

Mempunyai kemasan yang menarik

Umumnya pemakaian pencahar hanyalah bersifat sementara, walaupun


demikian harus tetap diwaspadai terjadinya kebiasaan memakai laxative
(laxative habits). Magnesium sulfat dapat diberikan sebagai alternatif dan
memberikan hasil yang cukup baik dalam 6-8 jam setelah pemakaian.
Pengalaman menunjukkan salah satu kegagalan persiapan disebabkan
keengganan penderita untuk memakan pencahar oleh karena tidak
mempunyai sifat-sifat tadi.
b. Teknik pemeriksaan
b.1 Tahap pengisian
Di sini terjadi pengisian larutan barium ke dalam lumen kolon. Sampai
bagian kolon manakah pengisian tersebut sangat bergantung pada panjang
pendeknya kolon itu sendiri. Umumnya dapat dikatakan cukup bila sudah
mencapai fleksura lienalis atau pertengahan kolon transversum. Bagian
kolon yang belum terisi dapat diisi dengan merubah posisi penderita dari
telentang (supine) menjadi miring kanan (right decubitus)
b.2 Tahap pelapisan
Dengan menunggu 1-2 menit dapat diberikan kesempatan pada larutan
barium untuk melapisi (coating) mukosa kolon.
b.3

Tahap pengosongan
Setelah diyakini mukosa kolon terlapisi sempurna, maka sisa larutan
barium dalam lumen kolon perlu dibuang sebanyak yang dapat
dikeluarkan kembali. Caranya dengan memiringkan penderita ke kiri (left
decubitus) dan menegakkan meja pemeriksaan (upright)

b4

Tahap pengembangan
Di sini dilakukan pemompaan udara ke dalam lumen kolon. Usahakan
jangan sampai terjadi pengembangan yang berlebihan (overdistention)
karena akan timbul hal-hal yang tidak diingini.

b.5

Tahap pemotretan
Setelah

seluruh

kolon

mengembang

sempurna,

maka

dilakukan

pemotretan atau eksposun radiografik. Posisi penderita saat pemotretan

tergantung pada bentuk kolonnya atau kelainan yang ditemukan. Hal yang
sama juga berlaku untuk jumlah film yang dipakai.

c. Lama pemeriksaan
Dianjurkan lama pemeriksaan tidak melebihi 5 menit. Makin lama pemeriksaan
itu berlangsung, kemungkinan terjadinya kerak-kerak barium di sepanjang
kolon makin besar.
d. Alat-alat yang dipakai
Irigator plastic dengan balon dan pompa udara terpasang sangat disukai untuk
dipakai karena sifatnya yang fleksibel sehingga penderita tidak perlu
meninggalkan meja pemeriksaan pada tahap pengosongan.
e. Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop
Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :
-

Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession)


Bentuk klasik tipe ini adalah polip. Polip dapat bertangkai (pedunculated)
dan tidak bertangkai (sessile). Dinding kolon seringkali masih baik.

Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)


Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core). Lumen
kolon sempit dan irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis
Crohn

Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)


Bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik. Lumen kolon dapat tidak
menyempit. Bentuk ini sukar dibedakan dengan colitis ulseratif.

4.

Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari
pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai
polip premaligna.

Gambar : metode pemeriksaan endoscopy tumor kolon

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan pemeriksaan endoskopi

5.

Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa
kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160
cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan
polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan
kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2%
pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut

divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non


toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada
kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.

Gambar : Metode pemeriksaan kolonoskopi


6.

Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging
yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker
kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.

a.

CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre
operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal,
ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat
berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang
meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan
mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan
kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum
tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran

kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan


kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada
hepar dan daerah intraperitoneal.

Gambar 8 : CT scan pelvis menunjukkan adanya tumor kolon yang


sudah metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal

Gambar 9 : CT scan pelvis yang menunjukkan adanya karsinoma kolon


b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering
digunakan

pada

klarifikasi

lesi

yang

tak

teridentifikasi

dengan

menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT


scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.

Gambar : MRI dari karsinoma kolon

c.

Endoskopi UltraSound (EUS)


EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar
95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker
rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital
rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat
meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan
pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi.
Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah
bimbingan EUS.

K. TATALAKSANA6
Kemoprevensi
Obat Anti Inflamatori Steroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan dengan
penurunan motalitas kanker kolon. Bebrapa OAIN seperti sulindac dan celecoxib telah
terbukti sewcara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma pada pasien
dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Data epidemiologi menunjukkan
adanaya penurunan risiko kanker di kalangan pemakai OAIN namun bukti yang

mendukung manfaat pembrian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah kanker kolon
sporadik masih lemah. (FKUI)

Endoskopi dan operasi


Umumnya polip adenomentasi dapat diangkat dengan tingkat polipektomi. Bila ukuran
<5mm maka pengangkatan cukup dengan biopsi atau elektrokoagulasi bipolar. Di
samping polipektomi dapat diatasi dengan operasi, indikasi untuk hemikolektomi
adalah tumor di caecum, kolon ascenden, kolon transversum tetapi lesi di fleksura
lienalis dan kolon desenden di atasi dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan
rektum proksimal dapat diangkat dengan tindakan Low Anterior Resection (LAR).
Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan secara
emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi terhadap metastasis di
hepar dapat memberikan hasil 23-35% rata-rata bebas tumor.
Terapi utama untuk kanker usus besar adalah pembedahan dengan eksisi luas,
mencakup daerah drainase limfe yang tepat. Untuk kebanyakan pasien, eksisi yang
tepat adalah hemikolektomi kiri atau kanan, tetapi pada beberapa pasien dengan
beberapa adenoma dan pasien muda dengan kanker, beberapa ahli bedah menyarankan
kolektomi total dan anastomosis ileorektal (Jones dan Schofield, 1996).

a. Kanker kolon kanan


kanker kolon kanan dengan atau tanpa obstruksi diterapi dengan hemikolektomi kanan
dan anstomosis promer. Reseksi diindikasikan meskipun ada metastasis hepatik, karena
reseksi merupakan paliasi terbaik. Pada pasien dengan obstruksi yang nyata, operasi
harus dilakukan sebagai tindakan darurat. Kadang-kadang reseksi tidak mungkin
dilakukan, dan ahli bedah harus memintas tumor dengan menganastomosis ileum ke
kolon transversal.

Pengangkatan usus kanan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)

b. Kanker kolon kiri


Jika tidak ada obstruksi usus, maka terpai pilihan untuk kanker kolon kiri adalah eksisi
luas dengan hemikolektomi kiri atau kolektomi sigmoid dengan anstomosis primer.
Reseksi dilakukan meskipun ada tumor sekunder dari hepar, karena reseksi
memberikan paliasi terbaik. Kolostomi saja tidak pernah dipertimbangkan bila tidak
ada obstruksi, karena mempunyai nilai paliatif yang kecil. Hemikolektomi kiri dapat
dilihat pada gambar di bawah ini :

(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)

Pada kasus dengan obstruksi kolon kiri, metode tradisional yang digunakan adalah
prosedur 3 tahap:
1. Kolostomi saja
2. Reseksi dengan anastomosis
3. Penutupan kolostomi
Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya kecenderungan ke arah reseksi
sebagai prosedur primer. Seringkali tidak dilakukan anastomosis pada operasi darurat.
Kolon atas yang tersisa dikeluarkan seperti pada kolostomi, dan kolon bawah
dikeluarkan (dengan menghasilkan fistula mukus) atau ditutup (dengan prosedur
Hartmann). Operasi kedua dapat dilakukan jika pasien sudah benar-benar pulih dan
kesinambungan usus dapat dipertahankan.
Tindakan lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara tidak hanya mereseksi tumor tetapi
juga melakukan anastomosis primer. Hal ini dibantu dengan pembilasan kolon di atas
meja operasi, yang membersihkan kolon dari feses dan mengurangi disproporsi ukuran
antara usus yang di atas dan di bawah karsinoma yang direseksi. Pilihan lebih lanjut
adalah melakukan kolektomi subtotal dan anastomosis usus kecil ke sisa kolon distal
atau rektum.

c. Karsinoma rektum
Karsinoma setengah bagian atas rektum yang dioperasi dapat dieksisi secara adekuat
dan dianastomosis dengan baik. Prosedur ini disebut reseksi anterior dan rektum.
Anastomosis dapat dilakukan dengan penjahitan manual, tetapi dengan adanya alat
stapler sirkuler secara teknik mempermudah untuk dilakukannya beberapa reseksi
anterior. Prosedur reseksi pada kaarsinoma rektum dapat dilihat pada gambar di bawah
ini :

(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)


Pilihan terapi untuk kanker rektum bagian bawah lebih bervariasi, terapi standar untuk
tumor <6cm dari tepi anal masih dengan eksisi abdominoperineal rektum dengan
kolostomi ujung. Terapi pilihan lain dapat dipertimbangkan. Beberapa tumor yang
berdiameter 5-6 cm dapat ditangani dengan eksisi rektal dan anstomosis koloanal. Pada
tumor kecil yang berdiameter kurang dari 3-4 cm tanpa terlihat penyebaran ekstra
rektal, terapi lokal mungkin efektif; dengan pemilihan cermat, hasil akhir dapat sangata
baik. Metode yang memuaskan adalah eksisi lokal, dekstruksi dengan diatermi dan
radioterapi lokal.

Terapi ajuvan
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi
ajuvan dimaksudakan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolon setelah
operasi. Pasien dengan kriteria Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara
signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor. Kemoterapi
ajuvan tidak berpengaruh pada pasien dengan kriteria Dukes B. Irinotecan (CPT11)
inhibitor topoisomer dapat memperpanjang masa harapan hidup. Oxaliplatin analog
platinum juga memperbaiki respon setelah diberikan 5FU dan leucoverin. Manajemen
kanker kolon yang tidak reseksibel meliputi : Nd-YAG foto koagulasi laser dan self
expanding metal endoluminal stent.
Pemilihan terapi pada pasien disesuaikan dengan stadium penyakitnya, seperti gambar
dibawah ini:

Pertimbangan untuk melakukan terapi bedah dilakukan berdasarkan stadium kanker


pasien, seperti bagan bawah ini:

Penentuan stadium

A
Tumor Dukes A dan B1

Tumor Dukes B2 dan C

Pembedahan radikal

Pembedahan radikal

Observasi

Observasi

Percobaan klinis
dengan terapi ajuvan

Tumor metastasis

Pembedahan
paliatif

Kemoterapi

(sumber : Schein, 1997)

Keterangan :
A. Tumor dengan klasifikasi Dukes A atau B1, dimana tumor belum mempenetrasi
keseluruhan tebal dinding usus, bentuk kemoterapi ajuvan tidak diperlukan, tetapi
rencana pengawasan ketat untuk dteksi dini adanya rekurensi harus dilakukan.
Tindakan tersebut harus termasuk adanya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
carciniembryogenik antigen (CEA) tiap 3 bulan dan foto dada dengan interval 6
bulan. Kolonoskopi harus diulangi dalam waktu 1 tahun untuk mendeteksi secara dini
adanya pembentukan polip dan, jika negatif selanjutnya harus diulangi dengan
interval 3 tahun. Follow-up yang lebih ketat diperlukan pada pasien dengan tumor
yang timbul pada keadaan peradangan usus (inflammatory bowel disease) atau
sindroma poliposis herediter. Pada kasus tersebut, harus diambil pertimbangan untuk
melakukan kolektomi profilaksis.

B. Bagi pasien dengan lesi dukes B2 dan C, dengan penetrasi melalui lapisan muskularis
dan/metastasis kelenjar getah bening regional, harus diambil pertimbangan untuk
memasukkan pasien ke dalam percobaan terapi klinis terapi ajuvan. Pada saat ini, data
dari percobaan terkontrol tidak mengharuskan pemakaian rutin kemoterapi ajuvan
dengan 5-flourouracil (5-FU) atau dengan kombinasi 5-FU dengan semustine
(methyl-CCNU [methyl-cyclohexyl chloroethylni-trosoureal]).

C. Pada keadaan metastasis, pertimbangan pertama harus diberikan terhadap reseksi


paliatif tumor primer. Komplikasi berupa obstruksi, perdarahan, dan perforasi
mungkin ditemukan. Metastasis simptomati harus dihilangkan dengan kemoterapi.
Walaupun pemberian 5-FU secara intravena dengan jadwal setiap minggu atau tiap 5
hari merupakan seni dalammemberikan pengobatan, penelitian sekarang masih dalam
perkembangan untuk mencari bentuk pengobatan yang lebih efektif baik dengan
kombinasi 5-FU dengan leucovorin dan/methotrexate, atau dengan memberikan infus
intravena setiap 2 minggu dengan cis-platinum. Bagi pasien dengan metastasis ke
hepar, pasien tertentu dengan nodul tumor tunggal mungkin merupakan calon untuk
reseksi hepar parsial yang dalam beberapa penelitian telah menyebabkan
kemungkinan hidup yang lama dan bebas dari penyakit pada 25% kasus. Selain itu,
penggunaan infs 5-FU atau 5-FUDR (5=fluorodeoxyuridine) ke dalam sirkulasi arteri
hepatik telah dilaporkan meningkatkan paliasi dalam beberapa serial, walaupun belum
dibuktikan dapat memperbaiki kemungkinan bertahan hidup dalam kontrol lengkap.
L. DIAGNOSA BANDING
Gejala dari tumor kolon dapat menyerupai beberapa penyakit seperti :
1. Divertikulitis
Terutama divertikulitis yang terjadi di daerah sigmoid atau kolon descendens, dimana
pada kolon dan divertikulitis sama-sama ditemukan feces yang bercampur dengan
darah dan lendir.
2. Colitis Ulcerative
Pada colitis ulcerativa juga ditemukan feces yang berdarah dan berlendir, tenesmus,
mules dan nyeri perut. Tetapi pada colitis ulserativa terdapat diare sedangkan pada
tumor kolon biasanya feces berbentuk kecil-kecil seperti kotoran kambing.
3. Appendicitis Infiltrat

Pada appendicitis infiltrat terasa nyeri dan panas yang mirip dengan tumor sekum
stadium lanjut (tumor sekum pada stadium awal bersifat mobile).
4. Haemoroid
Pada haemoroid, feces juga bercampur darah namun pada haemoroid darah keluar
sesudah feces keluar baru kemudian bercampur. Sedangkan pada tumor kolon darah
keluar bersamaan dengan feces.
5. Tumor Ovarium
Pada tumor ovarium dan tumor kolon kiri sama-sama sering ditemukan gangguan
konstipasi. Pada tumor ovarium, juga didapati pembesaran abdomen namun tumor ini
tidak menyebabkan keluarnya darah bersama feces. Selain itu tumor ovarium
menyebabkan gangguan pada miksi berupa peningkatan frekuensi di mana hal ini
tidak dijumpai pada tumor kolon.
M. KOMPLIKASI
1. Anemia
Anemia pada tumor kolon terutama disebabkan akibat adanya perdarahan. Anemia
yang terjadi adalah anemia hipokrom mikrositik.
2. Perforasi
Perforasi terjadi karena adanya sumbatan oleh tumor yang akan mengganggu pasase
dari feses.
3. Metastasis
Terutama ke hepar, paru, tulang, dan otak.
N. PROGNOSIS7
Stage
I
IIA
IIB
IIC
IIIA
IIIB
IIIC
IV

5-Year Observed
Survival Rate
74%
65%
52%
32%
74%*
45%*
33%
6%

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB,
Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition).
2. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 17th ed., Copyright 2004 Elsevier.
3. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000. Springer.
4. Zuber M, Harder F. Benign tumors of the colon and rectum; in Surgical Treatment:
Evidence-based

and

Problem-Oriented.

Available

at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK6994. Accessed on july 9, 2014.


5. Staging

of

colorectal

cancer.

Available

at:

http://www.hopkinscoloncancercenter.org/CMS/CMS_Page.aspx?CurrentUDV=59&
CMS_Page_ID=EEA2CD91-3276-4123-BEEB-BAF1984D20C7. Accessed on july 9,
2014
6. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378
7. Staging

of

colorectal

cancer.

Available

http://www.cancer.org/cancer/colonandrectumcancer/overviewguide/colorectalcancer-overview-survival-rates Accessed on july 9, 2014

at:

Anda mungkin juga menyukai