Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

Daftar isi............................................................................................................................1
Bab I. Pendahuluan...........................................................................................................2
Bab II. Pre Op Visite........................................................................................................5
Bab III. Premedikasi........................................................................................................12
Bab IV. Ruang pulih........................................................................................................15
Daftar pustaka.................................................................................................................18

BAB I
PENDAHULUAN

Pasien yang akan menjalani operasi harus melewati tahapan preoperatif. Hal ini
merupakan mekanisme standar awal yang digunakan oleh ahli atau bagian anestesi.
Kesalahan atau kegagalan dalam tahapan ini dapat meningkatkan resiko yang ditanggung
oleh pasien baik saat premedikasi maupun saat operasi dilakukan. Resiko memberi anestesi
tepat sekali bila disamakan dengan resiko menerbangkan pesawat yang mempunyai
persamaan dalam acara pelaksaan dan hasil akhirnya (outcome).Dokter spesialis anestesi
harus mengumpulkan data yang berhubungan dengan resiko tindakan anestesi dan operasi
agar persiapan dan tindakan anestesi dapat disesuaikan dengan resiko tersebut. Resiko ini
dapat dibagi dalam :
1. Resiko yang dapat diketahui sebelum operasi melalui pemeriksaan sehingga dapat di
antisipasi kemudian. Contoh : (a)Seorang pasien perokok berat dapat diramalkan akan
mengalami gangguan pernafasan selama dan sesudah operasi. (b) Operasi yang luas
dan lama dapat mengakibatkan perdarahan yang banyak.
Penentuan resiko fisik memang biasa dilakukan oleh dokter spesialis anestesi untuk
meramalkan hasil akhir tindakan anestesi dan operasi.
2. Resiko yang tidak diketahui sebelumnya, yang datangnya mendadak tak terduga.
Contoh : (a) Reaksi berlebihan ( menimbulkan syok ) dapat saja tejadi terdapat
pemberian suatu obat. (b) Pada suatu opersi kebidanan secara mendadak timbul
emboli air ketuban yang berakibat fatal.
Untuk mencapai tindakan anestesi yang aman dan efisien maka urutan pelaksanaan
anestesi adalah sebagai berikut :

Dokter spesialis anestesi memeriksa pasien sebelum operasi untuk


menentukan kesiapan fisik dan kelayakan ( resiko ) operasi atau anestesi.

Sebelum anestesi memeriksa fungsi dan kelengkapan peralatan, obat-obatan


yang diperlukan.

Dokter spesialis anestesi melakukan sendiri induksi anestesi yang merupakan


saat berbahaya. Induksi adalah dimulainya pemberian obat sampai pasien
hilang kesadarannya. Obat anestesi (atau kombinasi ) yang digunakan
semuanya bersifat poten dan depresif ( menghambat ) karena itu harus
dilakukan pengawasan ketat terhadap reaksi obat pada pernafasan, jantung dan
kesadaran.

Setelah kedalaman anestesi tercapai, pasien stabil, operasi dapat dimulai.


Pengawasan dilakukan terhadap semua penyulit bedah maupun anestesi yang
mungkin timbul pada saat ini.

Dokten harus hadir saat pengakhiran operasi dan anestesi yang juga
merupakan saat berbahaya. Pengawasan dilakukan terhadap kompliksi
pengakhiran bedah, pengaruh sisa obat anestesi, nyeri, dan stres operasi.
Pengawasan ini harus terus oleh dokter di kamar pulih sadar dan kalau perlu
diteruskan di Unit Terapi Intensif ( UTI ).

Tujuan dilakukan preoperatif adalah :


1. Memastikan bahwa operasi itu realistis dilakukan bila membandingkan antara
keuntungan operasi dan kemungkinan resiko yang ditanggung pasien.
2. Mengantisipasi masalah yang potensial akan timbul saat premedikasi maupun saat
operasi.
3. Memastikan bahwa pasien telah disiapan dengan maksimal untuk menjalani operasi.
4. Menyediakan informasi yang adekuat mengenai rencana anestesi yang dilakukan.
3

5. Menyiapan semua peralatan untuk premedikasi serta untuk pencegahan-pencegahan


yang sesui indikasi pasien.
Tahapan yang selanjutnya adalah premedikasi yang bertujuan untuk :
a. Menimbulkan rasa nyaman.

Menghilangkan khawatir.

Memberikan ketenangan ( sedatif ).

Membuat amnesia ( diazepam ).

Memberikan analgesik ( narkotik ).

Mencegah muntah.

b. Mempermudah atau memperlancar induksi.


c. Mengurangi jumlah obat anestesi.
d. Menekan reflek-reflek yang tidsk diinginkan.
e. Mengurangi sekresi kelenjar saluran napas.
f.

Mendapakan efek anti sialoque.

g. Menaikkan pH asam lambung.

BAB II
PRE OP VISITE

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat
harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat
dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya
dilakukan 1 2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih
singkat.
Hal-hal yang harus dilakukan di tahapan preoperative adalah :

Anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Kelengkapan dan pemeriksaan penunjang.

Teknik atau rencana operasi.

Persetujuan tindakan medis tertulis ( informed consent ).

2.1 Anamnesis.
Dapat diperoleh dari pasien sendiri ( autoanamnesis ) atau keluarga pasien
heteroanamnesis ). Yang harus diperhatikan pada anamnesis :

Identitas pasien ( nama, umur, alamat, pekerjaan, BB, TB, dll ).

Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesi.
Tanyakan pada pasien riwayat operasi dan anestesi yang terdahulu, berapa
kali dan selang waktunya ( apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah ), penyakit serius
yang

pernah

dialami,

hemoglobinopati,

juga

penyakit

mengenai

kardiovasculer

malaria,
atau

penyakit
system

kuning,

pernafasan.
5

Sehubungan dengan keadsan pasien sekarang, perlunjuga ditanyakan toleransi


terhadap olahraga, batuk, sesak napas, wheezing, sakit dada, sakit kepala, dan
pingsan.

Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin


menimbulkan interaksi ( potensiasi, sinergis, antagonis, dll).
Obat-obatan yang berhubungan secara nyata dengan anestesi adalah obat
diabetic, anti koagulan, antibiotic, kortikosteroid dan anti hipertensi, dimana
dua bat terakhir harus diteruskan selam anestesi dan operasi, tetapi obat-obat
lainnya harus dimodifikasi seperlunya.

Riwayat alergi.
Catatlah bila ada keterangan mengenai reaksi alergi terhadap obat, juga
apakah pasien atau keluarganya pernah mengalami reaksi penolakan terhadap
obat anestesi pada masa yang lalu.

Kebiasan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya


anestesi seperti :
Merokok : perokok berat ( > 20 batang/hari ) dapat mempersulit
induksi anestesi kareba merangsang batuk-batuk, sekresi jalan
nafas yang banyak atau memicu atelektasis dan pneumonia pasca
bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal 24 jam sebelumnya
untuk menghindari adanya CO dalam darah.
Alkohol : pencandu alcohol umunya resisten terhadap obat-obat
anestesi khususnya golongan barbiturate.
Meminum obat-obat penenang atau narkotik.

2.2 Pemeriksaan fisik.


Pemeriksaan fisik yang harus di lakukan adalah :
1. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urine selama dan sesudah pembedahan.(1)
2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernapasan, serta suhu
tubuh.(1)
3. keadaan psikis : gelisah, takut, kesakitan.(2)
4. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas.(2)
5. Jalan napas (airway). Daerah kepala dan leher diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, panjang leher (diukur
jarak mento-hyoid), gangguan fleksi ekstensi leher, fraktur, deviasi trachea,
massa dan bruit.(1)
6. Tanda-tanda penyakit saluran pernapasan : batuk-batuk, sputum kental atau
encer, sesak napas, tanda-tanda sumbatan jalan napas atas, bising mengi
(wheezing), hemoptisis, dll.(2)
7. Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovascular : dispneu atau ortopneu,
sianosis, jari tabuh, nyeri dada, edema tungkai, hipertensi, anemia, syok,
murmur (bising katup).(2)
8. Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.(1)
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat perfusi distal, jari tabuh, sianosis, dan
infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok
saraf regional.(1)
10. Punggung, bila ditemukan adanya deformitas, memar, atau infeksi.(1)

11. Neurologis: status mental,saraf cranial, kesadaran, dan sensorik motorik.(1)


2.3 Pemeriksaan penunjang.
7Setelah dilakukan pemeriksaan, kita dapat mengetahui beberapa masalah. Putuskan
apakah

diperlukan

pemeriksaan

lain

seperti

laboratorium,

radiologi

dan

elektrokardiogram. Radiologi rutin untuk thorak tidak diperlukan jika tidak ada gejala
atau abnormal pada dada, taoi pemeriksaan Hb dan Hct sebaiknya rutin dilakukan
pada pasien yang akan menjalani anestesi umum.

Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, tes fungsi hati ( LFT ), tes fungsi
ginjal ( RFT ), serum elektrolit, faal hemostasis, dll.

P emeriksaan radiologi : foto thoraks, foto polos perut ( BOF ), USG, CT S,


foto polos perut ( BOF ), USG, CT Scan, dll.

EKG, Ekokardiografi, treadmill, dll.

Setelah pemeriksaan fisik dilakukan dan memperoleh gambaran tentang keadaan mental
pasien beserta masalah-masalah yang ada, selanjutnya dibuat rencana pemberian obat dan
teknik anestesi yang digunakan.
Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat
menimbulkan hiperglikemia. Atau premedikasi untuk pasien dengan riwayat tirotoksikosis
tidak menggunakan atropin.(2)
Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik
analgesia regional daripada anesthesia umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca
bedah. Rencana anestesi meliputi hal-hal berikut :(1)
1

. Premedikasi

. Jenis anestesi
a. umum : perhatikan manajemen jalan napas (airway), pemberian obat induksi, rumatan
dan relaksan otot.
8

b. anestesi lokal/regional : perhatikan teknik dan zat anestetik yang akan digunakan.
3
4

. Perawatan selama anestesi : pemberian oksigen dan sedasi.


Pengaturan intra operasi, meliputi monitoring, keracunan, pengaturan cairan dan
penggunaan teknik khusus.

5 Pengaturan pasca oprasi, meliputi pengendalian nyeri dan perawatan intensif (ventilasi
pasca oprasi dan pengawasan hemodinamik).
Menentukan Prognosis
Berdasarkan status fisik pasien praanestesia, ASA (American Society of
Anesthesiologist) membuat klasifikasi ke dalam 6 kelompok atau kategori sebagai berikut :
ASA 1

: Pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.

ASA 2

: Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit
bedah maupun penyakit lainnya. Tidak ada keterbatasan fungsional.
Contoh : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien
appendicitis akut dengan leukositosis atau febris.

ASA 3

: Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi.
Contoh : pasien appendicitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus
obstruksi dengan iskemia miokard.

ASA 4

: Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan


menyebabkan ketidak mampuan fungsi.
Contoh : pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.

ASA 5

: Pasien tidak dapat bertahan hidup dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi.
Contoh : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik
karena ruptur hepatik.

ASA 6

: Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil.(1)

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat
(D = Darurat / E = Emergency). Misalnya 1D atau 3D.
Persiapan Pada Hari Operasi
1

. Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan.


Pengosongan lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi lambung
karena regurgitasi dan muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung
dilakukan dengan puasa, pada pasien dewasa puasa 6-9 jam, pada bayi/anak dipuasakan
3-4 jam.(1,2)
Pada pembedahan darurat, pengosongan lambung dapat dilakukan lebih aktif dengan
cara merangsang muntah, memasang pipa nasogastrik atau memberi obat yang
menyebabkan muntah seperti apomorphin, dsb.(2)
Cara-cara ini tidak menyenangkan pasien sehingga jarang sekali dilakukan. Cara lain
yang dapat ditempuh adalah menetralkan asam lambung dengan memberi antasida
(magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (cimetidin, ranitidine atau famotidin)
Puasa yang cukup lama pada kasus akut kadang-kadang tidak menjamin lambung
kosong secara sempurna, misalnya pada stress mental yang hebat, kehamilan, rasa nyeri
atau pasien diabetes mellitus.(2)
Pemberian obat pencahar umumnya dilakukan pada laparotomi eksplorasi. Komplikasi
penting yang harus dihindari kerena puasa adalah hipoglikemia atau dehidrasi, terutama
pada bayi, anak, dan pasien geriatrik.(2)

2. Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus ditinggalkan dan bahan kosmetik
seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar tidak menggangu pemeriksaan selama
anestesi, misalnya sianosis.(1,2)
3. Kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi. Untuk membersihkan

10

jalan napas, pasien diminta batuk kuat-kuat dan mengeluarkan lendir jalan napas.(1,2)
4. Penderita dimasukan ke dalam kamar bedah dengan memakai pakaian khusus, diberikan
tanda atau label, terutama untuk bayi. Periksa sekali lagi apakah pasien atau keluarga
sudah memberikan izin pembedahan secara tertulis (informed consent).(1,2)
5. Pemeriksaan fisik yang penting dapat diulang sekali lagi di kamar operasi karena
mungkin terjadi perubahan bermakna yang dapat menyulitkan perjalanan anestesi, misal
hipertensi mendadak, dehidrasi, atau serangan akut asma.(2)
6. Pemberian obat premedikasi secara intra muscular atau oral dapat diberikan - 1
jamsebelum dilakukan induksi anestesi atau beberapa menit bila diberikan secara intra
vena.(1,2)

11

BAB III
PREMEDIKASI

Dengan kemajuan teknik anestesi sekarang, tujuan utama pemberian premedikasi


tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan,
akan tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi.
Kini obat premedikasi ringan banyak digunakan, agar masa pulih setelah pembedahan
singkat. Selain itu ditekankan agar obat-obat yang digunakan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing pasien oleh karena kebutuhan tiap-tiap pasien berbeda.
Tujuan Premedikasi
1

. Memberikan rasa nyaman bagi pasien.


a. Menghilangkan rasa khawatir.
b. Memberikan ketenangan.
c. Membuat anestesi.
d. Memberikan analgesi.

. Memudahkan/memperlancar induksi.

. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi.

. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan.

. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual, dan muntah pasca anestesi.

. Mengurangi keasaman lambung.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat:

Usia

: Merupakan variabel yang penting dalam kerja obat. Sesudah usia 40 tahun,

efek narkotika dan sedatif meninggi karena rasa nyeri berkurang dengan peningkatan
usia. Dengan penambahan usia tidak hanya penurunan persepsi nyeri, tetapi juga
12

penurunan aktivitas refleks jalan nafas.

Suhu

: Setiap kenaikan suhu 1 derajat Fahrenheit, laju metabolisme basal naik

sebesar 7%.

Emosi

: Mungkin merupakan penyebab terbanyak kelainan metabolisme basal pra

anestesia. Takut dan ketengangan merupakan faktor utama dan keduanya meninggalkan
kepekaan terhadap rasa nyeri.

Penyakit : Pasien harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan terapinya. Pada pasien
penyakit kronis seperti osteomielitis dengan gizi jelek, morfin dapat lebih mudah toksik,
karena hati tidak dapat mengolah morfin dosis besar. Pada pasien anemia, pemakaian
opiate atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.

Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi sebagai berikut:
Analgesik Narkotik
a. Morfin
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB) intra muscular. Digunakan
untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari
takipneu pada pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan dalam.
(1) Morfin adalah depresan susunan saraf pusat.(2)
Kerugian penggunaan morfin adalah perpanjangan waktu pemulihan, bisa timbul
spasme pada kolik bilier dan ureter, penyempitan bronkus pada pasien asma (2). Kadangkadang terjadi konstipasi, retensi urine, hipotensi, dan depresi nafas. (1)
b. Pethidin
Dosis premedikasi dewasa 1-1,5 mg/kgBB intravena diberikan untuk menekan
tekanan darah dan pernapasan, serta merangsang otot polos. Dosis untuk penggunaan induksi
1-2 mg/kgBB intravena.(1)

13

Barbiturat
Pentobarbital dan Sekobarbital. Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa
100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kgBB secara oral atau intramuskular. Keuntungannya
adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak
diinginkan. Yang mudah didapat adalah fenobarbital, dengan efek depresan yang lemah
terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.(1)
Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus selama
90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular. Bekerja setelah 10-15 menit.
Tranquilizer (Obat penenang)
a. Diazepam. Merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian dosis rendah bersifat sedative,
sedangkan dosis besar bersifat hipnotik.(1)
Dosis premedikasi dewasa 10 mg intramuscular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB)
dengan dosis maksimal 15 mg.
Dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena.
Dosis induksi 0,2-1 mg/kgBB intravena.
b. Midazolam
Dibandingkan dengan diazepam, midazolam mempunyai awal dan lama kerja lebih
pendek. Belakangan ini midazolam lebih disukai dibandingkan dengan diazepam.(1)

14

BAB IV
RUANG PULIH

Ruang pulih merupakan tempat observasi penderita segera sesudah pembedahan. Ruangan ini
bukanlah tempat untuk rawat inap.
Lokasi:

Dekat dengan kamar bedah.


Memudahkan dokter anestesi dan dokter bedah keluar masuk untuk observasi

penderita.

Memudahkan penderita kembali ke kamar bedah apabila diperlukan, penerangan

harus baik.
Alat-alat yang disediakan :

Alat pengisap.

Kateter dan sungkup oksigen, pulse oximetry.

Alat untuk mengukur tekanan darah dan stetoskop.

Cairan infus.

Alat resusitasi dan alat suntik.

Alat trakeostomi.

EKG & defibrilator.

Termometer.

Alat penghangat.

Obat yang dibutuhkan dalam keadaan darurat dan oksigen harus disediakan.

15

Penderita tiba di ruang pulih :


1

. Beri oksigen, pada pasca operasi kecil boleh/tidak diberi oksigen tergantung keadaan

penderita.
2

. Posisi penderita diperhatikan.

. Observasi penderita :

Tekanan Darah, nadi, warna membran mukosa bibir : warna merah muda/tidak.
Respirasi : Anjurkan penderita napas dalam.
Penderita harus dapat dibangunkan dan dapat bereaksi terhadap rangsangan.
Masalah yang dapat terjadi di ruang pulih :
1

. Gangguan pernapasan :

Hipoventilasi karena :
a. Obat pelemas otot -> beri prostigmin
b. Nyeri pada operasi abdomen -> analgetik

Obstruksi jalan napas karena :


a. Lendir dan posisi kepala yang salah, penanganan : bebaskan jalan napas dan
beri oksigen, gunakan alat pengisap untuk lendir.
b. Muntah : dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan kematian. Aspirasi
dalam jumlah sedikit dapat menyebabkan batuk, laringospasme, edema paru,
atelektasis, pneumonia dan abses paru.

Penanganan :

Bebaskan jalan napas dan beri oksigen.

Jika perlu -> bantuan pernapasan.


Berikan hidrokortison, aminofilin dan antibiotika.
Lakukan bronkoskopi.

1 Gangguan sirkulasi
16

a. Hipotensi, dapat disebabkan oleh :

Narkotik.

Perdarahan.

Tranfusi darah.

Kekurangan cairan (dehidrasi).

Penanganan : Beri oksigen, observasi pemberian cairan dan darah, atasi


penyebab.

b. Hipertensi, dapat disebabkan oleh :

Nyeri.

Hipoksemia.

Penanganan : beri oksigen dan atasi penyebab.

c. Gemetar / menggigil
Merupakan reaksi tubuh terhadap temperatur yang rendah dapat juga terjadi karena
pemberian Panthotal, Halotan, dan Enfluran.

Beri oksigen, menutup penderita dengan selimut atau penghangat.

Suhu ruangan tidak terlalu rendah.

Beri diazepam / klorpromazine 5-10 mg i.v.

d. Nyeri

Penanganan : beri analgesik.

Syarat penderita keluar dari ruang pulih (recovery room) :


1

. Penderita sadar.

. Tanda vital stabil.

. Mukosa bibir warna merah muda.

. Bila menggunakan kateter, urine normal.


17

Bila ada masalah yang belum teratasi maka penderita dimasukan ke ICU (Intensive Care
Unit).

DAFTAR PUSTAKA

. Arif Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan, editor. Kapita

Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,


2000.
2

. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi

dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010


3

.http://www.asahq.org/Home/For-Members/Clinical-Information/ASA-Physical-

Status-Classification-System
4

. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010

5
. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, editor. Anestesiologi. Jakarta :
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonersia, 1989.

18

19

Anda mungkin juga menyukai