Anda di halaman 1dari 42

Konvensi Hak Anak

Kesimpulan Pengamatan
Komite Hak Anak PBB
terhadap Laporan
Indonesia Periodik Ketiga
dan Keempat
Concluding observations on the combined third and fourth periodic reports of Indonesia

[2014]

CRC/C/IDN/CO/3-4

Konvensi Hak Anak

Distr.: Umum
13 Juni 2014
Original: Inggris1

ADVANCE
UNEDITED VERSION

Komite Hak Anak

Kesimpulan Pengamatan Laporan Indonesia Periodik Ketiga


dan Keempat *
1.
Komite mempertimbangkan laporan Indonesia periodik ketiga dan keempat
(CRC/C/IDN/3-4) pada pertemuan 1890 dan 1891 (lihat CRC/C/SR. 1890 dan 1891), yang
diselenggarakan pada tanggal 5 Juni 2014 dan diadopsi pada pertemuan 1901, yang
diselenggarakan pada tanggal 13 Juni 2014, pengamatan menyimpulkan sebagai berikut.

I.

Pengantar
2.
Komite menyambut baik penyerahan laporan Indonesia periodik ketiga dan keempat
(CRC/C/IDN/3-4) dan jawaban tertulis atas daftar masalah (CRC/C/IDN/Q/3-4/Add.1),
sehingga diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang situasi hak-hak anak di Indonesia.
Komite menyatakan penghargaannya atas dialog konstruktif yang diadakan dengan delegasi
tingkat tinggi dan multi sektoral dari Indonesia.

II.

Langkah-langkah tindak lanjut yang dilakukan dan


kemajuan yang dicapai oleh Indonesia
3.

Komite menyambut baik adopsi dari langkah-langkah legislatif berikut:


(a) Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Jaminan Sosial;
(b) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
(c) Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis;
(d) Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar;
(e) Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional
Jangka Panjang 2005-2025;
(f) Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan untuk

Diindonesiakan oleh Hamid Patilima (Dr., S.Sos., M.Si.P), Tim Penyusun Laporan Indonesia
Pelaksanaan Konvensi Hak Anak Periode 3 dan 4; Aktif di YKAI; dixie240803@yahoo.com
* Adopted by the Committee at its sixty-sixth session (26 May 13 June 2014).

CRC/C/IDN/CO/3-4

merevisi Undang-Undang No. 23 Tahun 2006;


(g) Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia;
(h) Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
(i) Revisi Pasal 43 (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan, oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 pada tanggal 17 Februari
2012, memperluas status hukum anak-anak "luar nikah".
4.

Komite menghargai:
(a) Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak
dalam Konflik Bersenjata pada bulan September 2012;
(b) Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak,
Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak pada bulan September 2012;
(c) Pengesahan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Mei 2012;
(d) Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas pada bulan November 2011;
(e) Aksesi pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
pada bulan Februari 2006.

5.

Komite menyambut baik sejumlah langkah-langkah institusional dan kebijakan.

6.
Komite menyambut penarikan Indonesia terhadap deklarasi untuk pasal 1, 14, 16,
17, 21, 22 dan 29, Konvensi tahun 2005.

III.
A.

Area utama keprihatinan dan rekomendasi


Langkah-langkah umum pelaksanaan (Pasal 4, 42, dan 44, para. 6,
Konvensi)
Rekomendasi Komite sebelumnya
7.
Komite, menyambut upaya Indonesia untuk melaksanakan rekomendasi Komite
tahun 2004 tentang laporan Indonesia periodik kedua (CRC/C/15/Add.223), disesalkan
bahwa beberapa rekomendasi yang terkandung di dalamnya belum ditangani sepenuhnya.
8. Komite mendesak Indonesia untuk mengambil semua langkah yang diperlukan
untuk mengatasi rekomendasi tersebut dari kesimpulan pengamatan laporan
Indonesia periodik kedua (CRC/C/65/Add.23), yang belum dilaksanakan atau
sedang dilaksanakan, khususnya, menegaskan kembali rekomendasi kepada
Indonesia untuk:
(a)
Melanjutkan untuk meng-upgrade sistem pengumpulan data yang
mencakup semua bidang Konvensi; memastikan bahwa semua data dan indikator
yang digunakan untuk perumusan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan, program,
dan proyek untuk pelaksanaan Konvensi yang efektif; statistik dan informasi; dan
melanjutkan kerja sama, antara lain, dengan UNICEF;
(b)
Memperkuat langkah-langkah yang berkaitan dengan penyebaran dan
pelatihan tentang Konvensi kepada semua profesional yang relevan dan
menerapkannya secara berkelanjutan dan sistematis; mengambil langkah-langkah

CRC/C/IDN/CO/3-4

khusus untuk membuat Konvensi tersebut ada dan dikenal oleh semua anak,
terutama anak-anak dari etnis minoritas;
(c)
[Mengingat Komentar Umum No. 8 (2006) tentang hak anak atas
perlindungan dari hukuman fisik dan bentuk-bentuk yang kejam atau
merendahkan hukuman lain (pasal 19, 28 ayat 2, dan 37, inter alia)]
mengamandemen undang-undang untuk melarang hukuman fisik di dalam
keluarga, sekolah, dan penitipan anak; melaksanakan kampanye pendidikan publik
tentang konsekuensi negatif dari perlakuan buruk terhadap anak-anak dan
mempromosikan disiplin positif sebagai bentuk alternatif hukuman fisik nonkekerasan;
(d)
Mengubah undang-undang terkait tentang adopsi untuk memastikan
bahwa sesuai dengan pasal 2 dan 3 Konvensi; mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk memantau dan mengawasi secara efektif sistem adopsi anak
sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak; menyetujui Konvensi Den
Haag tentang Perlindungan Anak dan Menghormati Kerjasama Adopsi
Intercountry; dan
(e)
Mengembangkan kerjasama dengan LSM dan organisasi internasional,
sistem yang komprehensif dukungan psikososial dan bantuan untuk anak-anak
yang terkena dampak konflik [bersenjata], dan menjamin privasi mereka.

B.

Definisi Anak
9.
Komite memprihatinkan, bahwa meskipun rekomendasi Komite sebelumnya
(CRC/C/15/Add.223 para 27), usia sah pernikahan untuk anak perempuan tetap pada usia
16 tahun, namun undang-undang Indonesia, anak-anak yang sudah menikah dianggap
sudah dewasa.
10.
Komite merekomendasikan bahwa Indonesia mengamandemen undangundang dan menaikkan usia pernikahan untuk anak perempuan sampai 18 tahun,
dan selanjutnya meninjau perbedaan batas usia yang ditetapkan oleh undang-undang
sesuai dengan prinsip dan ketentuan Konvensi yang mengarah pada anak di bawah
usia 18 tahun dianggap sebagai orang dewasa.
Perundang-undangan
11.
Komite memprihatinkan ketentuan Konvensi yang belum sepenuhnya dimasukkan
ke dalam perundang-undangan Indonesia. Selain itu, Komite juga memprihatinkan proses
desentralisasi yang mengarah ke pembentukan provinsi dan kabupaten baru, menempatkan
tanggung jawab untuk memberikan pelayanan publik, menghasilkan beberapa peraturan
daerah yang berlaku di tingkat provinsi atau kabupaten, namun tidak konsisten dengan
ketentuan dan prinsip-prinsip konvensi.
12.
Komite mendesak Indonesia untuk mengambil semua langkah yang diperlukan
untuk memastikan bahwa:
(a)
Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi sepenuhnya dimasukkan ke
dalam undang-undang nasional; dan
(b) Semua peraturan daerah provinsi dan kabupaten konsisten dengan
ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk dengan pembentukan lembaga pemerintah
yang khusus memantau proses penyusunan dan penerapan peraturan daerah
kabupaten dan provinsi dan peraturan yang menyangkut anak-anak.

CRC/C/IDN/CO/3-4

Koordinasi
13.
Komite memprihatinkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, yang seharusnya bertanggung jawab atas koordinasi dan pelaksanaan Konvensi dan
Rencana Aksi Nasional untuk Anak, tidak memiliki otoritas yang diperlukan atas struktur
pemerintahan di provinsi dan kabupaten agar secara benar mengoordinasikan kegiatan di
bawah Konvensi di semua tingkatan.
14.
Komite mendesak Indonesia untuk memberikan kewenangan yang cukup
kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk
mengoordinasikan dan mengevaluasi semua kegiatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan Konvensi di semua tingkatan. Selain itu, Komite merekomendasikan
agar Negara mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin kerja sama
dari otoritas nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pemantauan dan
pelaksanaan Konvensi.
Alokasi sumber daya
15.
Komite memprihatinkan rendahnya total pengeluaran kesehatan Indonesia yang
hanya 2,7% dari Produk Domestik Bruto pada tahun 2011.2 Selain itu, untuk meningkatkan
anggaran tahunan pendidikan yang signifikan, Komite menyesalkan bahwa hal itu tidak
cukup untuk menjamin pendidikan untuk semua anak dalam negeri.
16.

Komite merekomendasikan bahwa Indonesia:

(a)
Secara signifikan meningkatkan alokasi anggaran di bidang kesehatan
ke tingkat yang memadai; dan
(b)
Membangun mekanisme untuk memantau dan mengevaluasi
kecukupan, efektivitas, dan pemerataan distribusi sumber daya yang dialokasikan
untuk pelaksanaan Konvensi.
Pemantauan independen
17.
Komite, selain mengingatkan kapasitas Komisi Perlindungan Anak untuk menerima
pengaduan, juga disesalkan bahwa Komisi ini memiliki mandat yang terbatas dan otoritas
kurang eksplisit untuk menyelidiki.
18.
Komite, dalam Komentar Umum No. 2 (2002) tentang peran lembaga hak asasi
manusia independen, merekomendasikan bahwa Negara harus mengambil semua
langkah yang diperlukan untuk memperkuat mandat Komisi Perlindungan Anak,
dengan menyediakan kapasitas untuk menyelidiki dan menangani keluhan anak-anak
dengan cara yang sensitif anak, menjamin privasi, dan perlindungan korban, dan
melakukan monitoring dan tindak lanjut. Selain itu, Komite merekomendasikan agar
Negara menjamin independensi seperti mekanisme pemantauan, termasuk berkaitan
dengan pendanaan, mandat, dan kekebalan, sehingga untuk memastikan kepatuhan
penuh dengan Prinsip Paris. Untuk efek itu, Komite merekomendasikan bahwa
Indonesia bekerja sama teknis, antara lain, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak
Asasi Manusia (OHCHR), UNICEF, dan United Nations Development Programme
(UNDP) [sebagaimana berlaku].

http://www.oecd.org/els/health-systems/Briefing-Note-INDONESIA-2013.pdf

CRC/C/IDN/CO/3-4

C.

Prinsip-prinsip umum (Pasal 2, 3, 6, dan 12 Konvensi)


Non-diskriminasi
19.
Sementara dalam rangka program pengarusutamaan gender Indonesia, Komite
sangat prihatin tentang masih adanya diskriminasi dalam ketentuan legislasi nasional, dan
tentang prevalensi de facto diskriminasi, termasuk:
(a)
Diskriminasi antara anak perempuan dan anak laki-laki mengenai hak waris,
serta tingginya jumlah perempuan yang tunduk pada berbagai peraturan diskriminatif dan
diskriminasi sehari-hari;
(b)
Anak-anak penyandang disabilitas mengalami diskriminasi khusus mengenai
akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan;
(c)
Anak-anak dari kelompok minoritas agama tertentu dihadapkan dengan
diskriminasi dan kegagalan Indonesia untuk mencegah serangan terhadap mereka; dan
(d)
Anak-anak dari masyarakat adat menghadapi berbagai bentuk diskriminasi,
seperti akses ke pendidikan dan perawatan kesehatan.
20.
Komite mendesak Indonesia untuk mengatasi segala bentuk de jure dan de
facto diskriminasi, dan:
(a)
Mencabut tanpa penundaan lebih lanjut semua perundang-undangan
yang mendiskriminasikan perempuan, khususnya berkaitan dengan warisan, dan
menghilangkan sikap negatif dan praktik serta stereotip yang mengakar terhadap
perempuan dengan merumuskan strategi yang komprehensif, termasuk definisi yang
jelas tentang target dan membangun mekanisme monitoring. Koordinasi dalam hal
ini harus dipastikan dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk anak
perempuan, dan melibatkan semua sektor masyarakat sehingga memudahkan
perubahan sosial dan budaya dan penciptaan lingkungan yang kondusif yang
mempromosikan kesetaraan;
(b)
Mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin akses yang
sama anak-anak penyandang disabilitas untuk semua layanan publik, khususnya
mengenai perawatan kesehatan dan pendidikan;
(c)
Mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghapus
diskriminasi terhadap anak-anak berdasarkan agama mereka dan untuk mengakhiri
segala bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok minoritas agama tertentu; dan
(d)
Mengambil semua langkah yang diperlukan, khususnya memperbaiki
infrastruktur yang relevan, untuk menyediakan akses yang sama ke pelayanan publik
oleh anak-anak dari masyarakat adat.
Kepentingan terbaik anak
21.
Komite
menyesalkan
bahwa
meskipun
rekomendasi
sebelumnya
(CRC/C/15/Add.223, para. 33), prinsip kepentingan terbaik anak tidak terintegrasi dalam
sebagian besar undang-undang yang terkait anak di Indonesia. Komite selanjutnya mencatat
bahwa keputusan mengenai adopsi dan tahanan sering diambil atas dasar agama anak,
bukan kepentingan terbaiknya, dan tetap prihatin pada (CRC/C/15/Add.223, para.45), yang
menurut hukum Syariah berlaku untuk umat Islam, yang dalam keputusan proses
perceraiannya hak asuk anak dikaitkan berdasarkan usia anak mereka.
22.
Komite, mengingat Komentar Umum No. 14 (2013) tentang hak anak untuk
memiliki kepentingan terbaik nya diambil sebagai pertimbangan utama (pasal 3, ayat.
1), yang merekomendasikan bahwa Indonesia memperkuat upaya untuk memastikan
bahwa hak anak untuk memiliki kepentingan terbaik dipertimbangkan secara
eksplisit, disebutkan dalam undang-undang Indonesia dan diterapkan secara
5

CRC/C/IDN/CO/3-4

konsisten dalam semua proses legislatif, administratif, dan hukum, serta dalam semua
kebijakan, program, dan proyek-proyek yang relevan dengan dan berdampak pada
anak. Dalam hal ini, Indonesia didorong untuk mengembangkan prosedur dan
kriteria untuk memberikan bimbingan kepada semua orang yang relevan yang
berwenang untuk menentukan kepentingan terbaik anak di setiap daerah, dan untuk
memberikan bobot sebagai pertimbangan utama. Prosedur dan kriteria tersebut
harus disebarluaskan kepada publik, termasuk lembaga-lembaga kesejahteraan sosial
publik dan swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif, legislatif, dan
pemimpin agama.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
23.
Komite memprihatinkan insiden penggusuran paksa pada keluarga-keluarga,
termasuk anak-anak, tanpa menawarkan ganti rugi yang memadai atau perumahan
alternatif. Selain itu, Komite juga menyayangkan undang-undang Indonesia, penggusuran
paksa yang mengarah kepada munculnya tunawisma, bisa dilakukan.
24.
Komite mendesak Indonesia untuk mengambil langkah-langkah hukum yang
diperlukan untuk memastikan bahwa penggusuran paksa hanya digunakan sebagai
upaya terakhir, selalu tunduk pada alternatif yang memadai, dan sedikit
kemungkinannya menyebabkan tunawisma.
Menghormati pandangan anak
25.
Sementara menyambut pembentukan Forum Nasional untuk Partisipasi Anak,
Parlemen Remaja, Kongres Anak Indonesia, Dewan Anak, Pemilihan Pemimpin Muda, dan
Konsultasi Anak National, Komite prihatin bahwa:
(a)

Forum ini tidak sepenuhnya inklusif;

(b)
Pandangan anak yang disuarakan dalam
dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan; dan

forum

ini

tidak

cukup

(c)
Undang-Undang No. 23/2002 yang menetapkan hak anak untuk didengar,
membutuhkan hak ini harus diterapkan sesuai dengan "moral dan kesusilaan", menghambat
efektifitas, dan pelaksanaan yang transparan.
26.
Mengingat Komentar Umum No. 12 (2009) tentang hak anak untuk didengar,
Komite merekomendasikan bahwa Indonesia:
(a)
Memastikan partisipasi anak dalam situasi rentan, khususnya anakanak penyandang disabilitas maupun anak-anak dari agama atau etnis minoritas di
berbagai forum untuk partisipasi anak;
(b) Menyediakan persyaratan eksplisit untuk mempertimbangkan pendapat
disuarakan dalam forum dalam semua proses pengambilan keputusan yang
menyangkut anak-anak;
(c) Mengubah undang-undang dalam rangka untuk menghindari pembatasan
hak anak untuk didengar atau mengungkapkan pandangannya; dan
(d) Mengambil semua langkah yang tepat untuk melaksanakan hak ini dengan
memastikan bahwa forum yang berbeda di mana anak-anak dapat menyuarakan
pendapat selalu disediakan dengan semua sumber daya yang diperlukan, serta
dengan melakukan program dan kegiatan peningkatan kesadaran untuk
mempromosikan partisipasi bermakna dan memberdayakan semua anak di dalam
keluarga, masyarakat, dan sekolah.

CRC/C/IDN/CO/3-4

D.

Hak sipil dan kebebasan (pasal 7, 8, dan 13-17)


Pendaftaran kelahiran/Nama dan kebangsaan
27.
Sehubungan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan, serta perubahan hukum, memberikan hak anak yang ibunya adalah
Indonesia dan ayahnya adalah non-Indonesia, untuk memperoleh kewarganegaraan
Indonesia. Komite prihatin dengan tidak adanya mekanisme untuk mengawasi
pelaksanaannya di semua tingkatan. Komite juga mencatat bahwa agama anak ditunjukkan
pada kartu identitas, yang dapat menyebabkan diskriminasi. Selain itu, saat menyambut
pencatatan kelahiran gratis yang diberikan oleh undang-undang nasional, Komite
memprihatinkan:
(a)
Ketidakpastian yang berkaitan dengan pengawasan di tingkat pusat untuk
memastikan bahwa pemerintah daerah tertentu tidak terus membebankan biaya meskipun
undang-undang baru; dan
(b)
Anak-anak dipertaruhkan tanpa kewarganegaraan jika kedua orang tua warga
negara asing dan tidak dapat mewariskan kewarganegaraan mereka ke anak, karena
undang-undang negara mereka.
28.
Komite merekomendasikan agar Indonesia memastikan semua anak yang lahir
di Indonesia telah terdaftar dan diterbitkan akta kelahiran, terlepas dari kebangsaan,
agama, dan status saat lahir, dan pencatatan kelahiran difasilitasi dan gratis dalam
semua keadaan, menghapus persyaratan untuk menunjukkan afiliasi agama pada
kartu identitas, serta menutup celah dalam undang-undang yang dapat meninggalkan
beberapa anak tanpa kewarganegaraan. Komite selanjutnya merekomendasikan
Indonesia menyetujui Konvensi 1954 mengenai Status Tanpa Kewarganegaraan dan
Konvensi 1961 tentang Pengurangan Tanpa Kewarganegaraan.
Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama
29.
Komite sangat prihatin tentang tindakan pemerintah yang menindas terhadap
kebebasan beragama anak-anak dari kelompok minoritas agama yang tidak disebutkan
dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965, khususnya:
(a)
Kewajiban untuk menghadiri pelajaran agama di sekolah-sekolah di salah
satu dari enam agama yang disebutkan dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia
Nomor 1/PNPS Tahun 1965;
(b)
Peraturan terhadap penghujatan dan dakwah yang digunakan untuk mengadili
agama minoritas tidak disebutkan dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor
1/PNPS Tahun 1965, termasuk anak-anak mereka, dan RUU tentang "kerukunan
beragama", dapat berbahaya meningkatkan diskriminasi; dan
(c)
Non-Muslim yang secara eksplisit diwajibkan mengikuti hukum Syariah di
Aceh atau, seperti yang ditunjukkan oleh Indonesia, siswa non-Muslim mengalami tekanan
sosial untuk mengenakan busana Muslim di sekolah.
30.
Komite mendesak Indonesia untuk mengamandemen undang-undang dalam
rangka secara efektif untuk menjamin hak anak-anak atas kebebasan berpikir, hati
nurani, dan agama dari semua keyakinan. Komite selanjutnya merekomendasikan
Negara harus mengambil semua langkah yang diperlukan, termasuk peningkatan
kesadaran dan kampanye pendidikan publik untuk memerangi intoleransi atas dasar
agama atau kepercayaan lain, untuk mempromosikan dialog agama dalam
masyarakat, untuk memastikan ajaran agama mempromosikan toleransi dan
pemahaman antara anak-anak dari semua komunitas dan latar belakang agama atau
non-agama dan untuk memerangi setiap Jenis tekanan sosial terhadap anak-anak
7

CRC/C/IDN/CO/3-4

untuk mematuhi aturan agama yang bukan ia anut. Selain itu, Komite mendesak
Indonesia untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan
bahwa non-Muslim secara eksklusif diatur oleh hukum sekuler.

E.

Kekerasan terhadap anak (pasal 19, 24, para.3, 28, para. 2, 34, 37 (a)
dan 39)
Eksploitasi seksual dan penganiayaan
31.
Komite menyesalkan pencegahan, pemulihan, dan reintegrasi bagi anak korban tidak
cukup efektif dan mereka dihadapkan pada beberapa hambatan dalam mengakses keadilan.
Selain itu, Komite sangat prihatin tentang laporan jumlah anak-anak korban eksploitasi
seksual meningkat dan anak-anak yang telah menjadi korban pelecehan seksual dapat
diperlakukan sebagai penjahat bukan sebagai korban.
32.
Komite merekomendasikan Indonesia memperkuat upaya untuk melindungi
dan mencegah anak-anak dari pelecehan seksual dan eksploitasi:
(a)
Mengembangkan strategi untuk menanggapi kebutuhan khusus anakanak korban eksploitasi seksual dan penganiayaan, dan menyediakan akses ke tempat
penampungan, kesehatan, jasa hukum, dan psikologis, pelatihan yang memadai untuk
profesional yang bekerja di layanan serta memastikan saluran pelaporan ramah anak
diakses, dan rahasia, serta akses anak korban difasilitasi untuk mendapatkan
keadilan; dan
(b)
Mengubah undang-undang untuk memastikan segala bentuk eksploitasi
seksual pada semua anak selalu diperlakukan sebagai korban dan tidak dikenai
sanksi pidana.
Praktik-praktik berbahaya
33.
Komite mencatat keputusan Indonesia untuk mencabut Peraturan No. 1636 Tahun
2010 tentang sunat perempuan, melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 6 Tahun 2014.
Namun, Komite mencatat FGM (female genital mutilation) tidak secara eksplisit melarang,
termasuk praktik sunat perempuan, dan sangat prihatin tentang tingginya jumlah perempuan
yang menjadi korban FGM.
34.
Komite mendesak Indonesia untuk mengadopsi undang-undang untuk
sepenuhnya melarang FGM dalam segala bentuknya dan:
(a)
Menyediakan program pemulihan fisik dan psikologis bagi korban
FGM, serta membentuk mekanisme pelaporan dan pengaduan yang dapat diakses
oleh anak-anak perempuan yang telah menjadi korban, atau takut menjadi korban;
(b)
Dengan partisipasi penuh dari masyarakat sipil dan korban perempuan
dan gadis, mengatur kampanye peningkatan kesadaran dan program pendidikan
tentang dampak bahaya dari FGM pada kesehatan fisik dan psikologis anak
perempuan, memastikan kampanye yang sistematis dan konsisten diarusutamakan,
dan menargetkan pada semua segmen masyarakat, termasuk perempuan dan lakilaki, pejabat pemerintah, keluarga, dan semua pemimpin agama dan masyarakat;
dan
(c)
Sepenuhnya mengkriminalisasi praktik, menjamin para praktisi
menyadari kriminalisasi, serta melibatkan praktisi dalam upaya untuk
mempromosikan untuk meninggalkan praktik-praktik FGM, dan membantu mereka
dalam mencari alternatif sumber pendapatan dan mata pencaharian, dan bila perlu,
memberikan pelatihan kepada mereka.

CRC/C/IDN/CO/3-4

35.
Komite sangat menyesalkan tingginya jumlah pernikahan usia anak dan adanya
pemaksaan.
36.
Komite mendesak Indonesia untuk mencari langkah-langkah yang efektif
untuk mencegah dan memberantas praktik pernikahan usia anak atau kawin paksa,
termasuk semua tindakan legislatif yang diperlukan serta pembentukan kesadaran
dan kampanye tentang kerugian dan bahaya yang dihasilkan dari pernikahan usia
anak.
Anak bebas dari semua bentuk kekerasan
37.
Sehubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Kekerasan terhadap Anak (2010-2014), Komite sangat memprihatinkan
tentang:
(a)
Banyak kasus kekerasan terhadap anak dalam tahanan dan pada semua tahap
uji coba; dan
(b)
Perempuan paling sering mengalami kekerasan dan menghadapi kesulitan
yang cukup besar untuk mendapatkan perlindungan, termasuk akses terhadap keadilan.
Komite mencatat dalam hal ini sistem peradilan formal sering tidak dapat diakses
mengingat mahalnya biaya. Perempuan dan anak perempuan yang disebut dalam
mekanisme alternatif penyelesaian sengketa, khususnya pengadilan agama, sering
mendapat diskriminasi dan akhirnya mereka mendapat pengecualian dalam proses
pembuatan keputusan.
38.
Komite, mengingat Komentar Umum No. 13 (2011) tentang hak anak untuk
bebas dari segala bentuk kekerasan, mendesak Indonesia untuk mengambil semua
langkah yang diperlukan untuk:
(a)
Membangun mekanisme pemantauan yang memadai secara efektif
untuk menghilangkan kekerasan yang dialami oleh anak yang berkonflik dengan
hukum; dan
(b)
Memastikan perempuan terlindungi dari segala bentuk kekerasan, dan
didukung oleh program yang memberikan bantuan keuangan dan hukum untuk
memungkinkan akses penuh ke sistem peradilan formal.
Helplines
39.
Sehubungan dengan pembentukan Helpline, Indonesia bekerjasama dengan LSM
nasional dan internasional, Komite prihatin kurangnya cakupan dari semua provinsi,
kurangnya kesadaran masyarakat tentang adanya layanan helplines', dan konselor yang
memadai.
40.
Komite merekomendasikan Indonesia meningkatkan sumber daya manusia,
keuangan, dan teknis untuk memastikan anak-anak di setiap provinsi sadar dan
memiliki akses 24-jam ke helpline, dan tindak lanjut yang disediakan. Selain itu,
Komite merekomendasikan adanya pelatihan yang memadai untuk konselor.

CRC/C/IDN/CO/3-4

F.

Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (Pasal 5, 9-11, 18 (ayat


1 dan 2), 20-21, 25, dan 27 (ayat 4))
Lingkungan keluarga
41.
Komite sangat memprihatinkan tetap diperbolehkannya poligami. Situasi yang
bertentangan dengan martabat perempuan dan anak perempuan yang memasuki pernikahan
dan yang lebih negatif, pengaruhnya pada anak-anak mereka.
42.
Komite mendesak Indonesia untuk memastikan semua ketentuan yang
diskriminatif terhadap perempuan dan berdampak negatif terhadap anak-anak
mereka, seperti pengesahan poligami, dicabut.
Anak-anak kehilangan lingkungan keluarga
43.
Komite menyambut penguatan peran keluarga dalam perawatan anak melalui
pengenalan beberapa program yang ditujukan untuk pengurangan kemiskinan serta
penerapan Standar Nasional untuk Perawatan Anak tahun 2011, antara lain
mempromosikan sistem dukungan keluarga alternatif, berbasis perawatan keluarga dan
menetapkan standar perawatan institusional. Namun, Komite juga memprihatinkan:
(a)
Keluarga miskin yang berkewajiban dan masih mampu merawat kebutuhan
dasar anak-anak mereka, ditemukan menyerahkan anak-anak mereka (kepada panti
asuhan);
(b)
Rendahnya jumlah penempatan berbasis keluarga dari anak-anak dan terus
meluasnya penggunaan pelembagaan;
(c)
Persyaratan sangat terbatas untuk mendapatkan lisensi untuk menjalankan
sebuah lembaga pengasuhan alternatif;
(d)
Kurangnya kepatuhan oleh sebagian besar lembaga dengan standar yang
diperkenalkan oleh Standar Nasional untuk Perawatan Anak. Dengan tidak adanya
pemantauan kepatuhan, insiden kekerasan sering terjadi dalam lembaga-lembaga, dan anakanak yang tinggal di lembaga, ada kemungkinan kurangnya kesempatan untuk bertemu
keluarga mereka; serta
(e)
Kurangnya sistem pengumpulan data terpilah yang memadai pada anak-anak
yang tinggal di lembaga.
44.

Komite merekomendasikan bahwa Indonesia:

(a)
Memperkuat dukungan yang diberikan kepada keluarga biologis dan
memberikan bantuan berbasis masyarakat untuk keluarga dalam membesarkan
anak, oleh pekerja sosial yang terlatih;
(b)
Sedapat mungkin memberikan perawatan tipe keluarga kepada anakanak yang tidak bisa tinggal dengan keluarga mereka, dengan maksud untuk
mengurangi pelembagaan anak;
(c)
Memperkuat persyaratan untuk mendapatkan izin untuk menjalankan
sebuah lembaga pengasuhan alternatif;
(d)
Memastikan penelaahan berkala kepada penempatan anak-anak di
lembaga-lembaga, dan memantau kualitas pelayanan di dalamnya, termasuk dengan
menyediakan akses untuk memantau dan menanggulangi penganiayaan anak-anak,
serta kepastian pemberian kesempatan untuk bertemu dengan keluarga mereka; dan

10

CRC/C/IDN/CO/3-4

(e)
Membangun sistem pengumpulan data yang terpusat pada anak yang
tinggal di lembaga-lembaga, yang dipilah menurut umur, jenis kelamin, dan latar
belakang ekonomi.

G.

Disabilitas, kesehatan dasar, dan kesejahteraan (pasal 6, 18 (ayat 3), 23,


24, 26, 27 (ayat 1-3) dan 33)
Anak-anak penyandang disabilitas
45.
Sehubungan dengan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas 2013 - 2022,
Komite secara serius prihatin tentang situasi anak-anak penyandang disabilitas, khususnya
tentang:
(a) Anak-anak penyandang disabilitas, terutama anak perempuan, menghadapi
berbagai bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, termasuk hak mereka
untuk mendapatkan pendidikan dan perawatan kesehatan;
(b) Banyak anak-anak penyandang disabilitas yang tersembunyi atau ditempatkan di
lembaga-lembaga karena stigma sosial atau biaya ekonomi untuk membesarkan mereka;
(c) Hanya sejumlah kecil anak-anak penyandang disabilitas bersekolah serta
memiliki akses ke perawatan kesehatan, layanan khusus, dan pusat-pusat rehabilitasi; dan
(d) Tidak adanya pengumpulan data secara sistematis terhadap anak-anak
penyandang disabilitas.
46.
Komite, dalam Komentar Umum No. 9 (2006) tentang hak-hak anak
disabilitas, merekomendasikan Negara harus mengambil segala upaya yang
diperlukan untuk melaksanakan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas
2013-2022, dan mendesak Indonesia:
(a)
Membuat semua perubahan undang-undang yang diperlukan untuk
memastikan bahwa diskriminasi atas dasar disabilitas secara tegas dilarang, serta
memastikan bahwa semua ketentuan yang mengakibatkan diskriminasi de facto para
penyandang disabilitas dicabut;
(b)
Melakukan peningkatan kesadaran dan kampanye pendidikan untuk
menghilangkan semua jenis de facto diskriminasi, khususnya hambatan sikap dan
lingkungan terhadap anak-anak penyandang disabilitas, dan menginformasikan serta
peka akan hak-hak dan kebutuhan khusus anak disabilitas serta memastikan anakanak disabilitas disediakan dukungan keuangan yang memadai dan memiliki akses
penuh ke layanan sosial dan kesehatan;
(c)
Menjamin bahwa anak-anak penyandang disabilitas dapat sepenuhnya
menggunakan hak mereka untuk pendidikan, dan mengambil semua langkah yang
diperlukan untuk memasukkan mereka ke dalam sistem sekolah umum; dan
(d)
Mengumpulkan data spesifik anak-anak disabilitas dan terpilah untuk
diadaptasi pada kebijakan dan program untuk kebutuhan mereka.
Kesehatan dan pelayanan kesehatan
47.
Komite menyambut baik kebijakan Indonesia dalam upaya "Pembangunan
Kesehatan Desa", peningkatan jumlah Pusat Kesehatan Masyarakat, Program
Kesiapsiagaan Kelahiran dan Komplikasi, dalam pengurangan penyakit dan kekurangan
gizi serta penurunan tingkat angka kematian bayi dan balita sejak tahun 1990. Namun,
Komite sangat prihatin akan:

11

CRC/C/IDN/CO/3-4

(a)
Tingginya persentase neonatal, tingkat kematian bayi dan balita, terutama
akibat diare dan pneumonia, serta tingginya jumlah anak-anak di bawah usia lima tahun
yang kurus dan kerdil (stunting);
(b)

Tingkat kematian ibu masih sangat tinggi;

(c)

Perbedaan antar provinsi mengenai angka kematian ibu dan bayi;

(d)
Tidak adanya peraturan kesehatan publik khusus pada isu-isu kesehatan
preventif seperti imunisasi, serta pelaksanaan memuaskan dari program imunisasi; dan
(e)
Defisit terus mengenai infrastruktur dan dukungan fasilitas pelayanan
kesehatan, serta mengenai kemampuan tenaga kesehatan dan kehadiran mereka di tempat
kerja tidak teratur.
48.
Komite, dalam Komentar Umum No. 15 (2013) tentang hak anak untuk
menikmati standar kesehatan tertinggi (pasal 24), mendesak Indonesia untuk
meningkatkan anggaran kesehatan dan memperluas akses pelayanan perawatan
kesehatan primer di seluruh provinsi, dan memberikan layanan dengan kemudahan
akses dan dapat dijangkau oleh masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan, terlepas dari latar belakang ekonomi mereka, dan khususnya dalam:
(a)
Menjamin penyediaan layanan-layanan kesehatan dasar bagi semua
perempuan hamil, termasuk akses ke perawatan antenatal, perawatan persalinan
yang aman, perawatan obstetrik darurat serta perawatan pasca melahirkan, dan
untuk anak-anak, difokuskan pada intervensi untuk mengurangi penyakit yang dapat
dicegah, terutama diare, infeksi saluran pernafasan akut, dan gizi dan lain-lain, serta
mempromosikan praktik pemberian makanan bayi dan balita yang baik;
(b)
Memperkuat dan memperluas akses ke perawatan kesehatan preventif
dan layanan terapi untuk semua perempuan hamil dan anak-anak, terutama bayi dan
balita. Harus mencakup intervensi kesehatan preventif seperti layanan imunisasi
universal, terapi rehidrasi oral, dan pengobatan untuk infeksi saluran pernapasan
akut;
(c)
Memberikan bantuan profesional gratis yang cukup sebelum dan selama
persalinan, termasuk di daerah terpencil dan pedesaan, dan mengambil alih semua
upaya yang diperlukan, termasuk perawatan kebidanan darurat, untuk mengurangi
angka kematian ibu; dan
(d)
Merekrut, melatih, dan memonitor penyedia layanan kesehatan serta
memperbaiki infrastruktur kesehatan dan memastikan bahwa pelayanan kesehatan
termasuk akses ke sanitasi dan air minum yang bersih.
Kesehatan remaja
49.
Dalam Rencana Aksi Nasional untuk Kesehatan Reproduksi Remaja serta integrasi
dari program "Pelayanan Kesehatan Ramah Remaja" ke dalam program kesehatan
reproduksi, Komite menyesalkan anak-anak dihadapkan pada kesulitan mendapatkan akses
mengenai kesehatan dan pendidikan reproduksi. Selain itu, Komite prihatin sesuai dengan
Undang-Undang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan Undang-Undang
Kesehatan, akses ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi hanya diberikan kepada
pasangan yang sudah resmi menikah, namun mengesampingkan sebagian besar remaja.
Dalam konteks ini Komite juga menyesalkan meskipun ketentuan untuk pelayanan
kesehatan reproduksi yang digariskan dalam Undang-Undang Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga dan Undang-Undang Kesehatan, perempuan yang belum menikah
tidak memenuhi syarat untuk menerima manfaat kesehatan ini, dan keprihatinan selanjutnya
adalah:

12

CRC/C/IDN/CO/3-4

(a)
Layanan tertentu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi membutuhkan
informed consent dari orang tua atau suami, khususnya remaja perempuan yang sudah
menikah, harus meminta izin suami mereka terlebih dulu, untuk mendapatkan beberapa
jenis layanan kontrasepsi dari fasilitas kesehatan yang dikelola pemerintah; dan
(b)
Remaja perempuan yang belum menikah, termasuk korban perkosaan,
mungkin tidak dapat mengakses layanan ini, mereka tidak menyadari haknya untuk
mengetahui, antara lain sebab-sebab penyakit menular seksual dan tingginya jumlah
kehamilan remaja, serta bahayanya aborsi yang tidak aman atau mungkin karena mereka
takut stigmatisasi, maka dipaksa untuk menikah muda sehingga putus sekolah.
50.
Mengingat Komentar Umum No. 4 (2003) tentang kesehatan remaja dan
pembangunan dalam konteks Konvensi Hak Anak, Komite merekomendasikan
Indonesia untuk:
(a)
Mengamandemen undang-undang yang diperlukan untuk menjamin
secara penuh dan tanpa syarat apapun bagi remaja untuk mendapatkan informasi
dan layanan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi dan kontrasepsi, tanpa
perlu persetujuan dari orang tua atau suami, serta memastikan bahwa permintaan
mereka diperlakukan secara rahasia; dan
(b)
Mengembangkan serta menerapkan kebijakan untuk melindungi hakhak remaja hamil, ibu remaja, dan anak-anak mereka dan menghapus diskriminasi
terhadap mereka.
HIV/AIDS
51.
Komite sangat prihatin dengan meningkatnya prevalensi HIV/AIDS antara tahun
2000-2009 serta langkah-langkah memadai dan efektif yang dilakukan oleh Indonesia
dalam mengatasi pandemi. Selain itu, Komite juga menggarisbawahi telah terjadi
peningkatan tertentu pandemi di Papua, meningkatnya feminisasi umum HIV/AIDS, juga
kenaikan infeksi HIV pada anak-anak.
52.
Komite, dalam Komentar Umum No. 3 (2003) tentang HIV/AIDS dan hak-hak
anak, mendesak Indonesia untuk mengembangkan dan memperkuat kebijakan dan
program untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS dengan memberikan perawatan
dan dukungan bagi anak-anak yang terinfeksi atau terpengaruh oleh HIV/AIDS.
Selain itu, Komite mendesak Indonesia untuk mempertahankan langkah-langkah
untuk mencegah penularan HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi serta memberikan konseling
dan meningkatkan tindak lanjut pengobatan untuk ibu dan bayi mereka yang
terinfeksi HIV/AIDS dan untuk memastikan diagnosa dini dan inisiasi awal
pengobatan.
Obat dan penyalahgunaan zat
53.
Komite menggarisbawahi akan adanya peningkatan serius dalam beberapa tahun
terakhir ini, akan konsumsi obat oleh remaja.
54.
Komite merekomendasikan agar Indonesia mengalokasikan semua sumber
daya manusia, teknis, dan keuangan yang diperlukan untuk mengatasi penggunaan
narkoba oleh anak-anak dan remaja, antara lain, memberikan mereka informasi
yang akurat dan objektif serta kecakapan untuk mencegah penyalahgunaan zat,
termasuk tembakau dan alkohol, serta mengembangkan akses dan pengobatan
ketergantungan obat ramah remaja dan layanan pengurangan dampak buruknya.

13

CRC/C/IDN/CO/3-4

Menyusui
55.
Komite prihatin dengan rendahnya tingkat pemberian ASI di Indonesia, khususnya
hanya 42% dari anak-anak Indonesia yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan
pertama kehidupan mereka.
56.
Komite merekomendasikan Indonesia untuk memperkuat promosi pemberian
ASI, termasuk dengan membentuk sebuah program untuk mempromosikan pada
semua ibu agar berhasil menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama
kehidupan bayi. Komite selanjutnya merekomendasikan agar Negara mengadopsi
Kode Internasional Pemasaran Pengganti Susu Ibu.
Tingkat kehidupan
57.
Komite menyambut baik adanya pengentasan kemiskinan dan program-program
bantuan sosial, khususnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), serta
penerapan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang bertujuan untuk
mengurangi kesenjangan antar daerah. Namun, Komite sangat prihatin bahwa:
(a)
Diperkirakan 13,8 juta anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan
nasional, dan 8,4 juta anak-anak yang hidup dalam kemiskinan yang ekstrim;
(b)
Proses desentralisasi, yang mengarah pada pembentukan banyak provinsi dan
kabupaten baru, dapat menimbulkan kesenjangan akses terhadap pelayanan publik seperti
pencatatan kelahiran, pendidikan dasar atau air minum yang bersih;
(c)
Kesenjangan perkotaan-pedesaan, etnis, dan jenis
kemiskinan, menjadikan anak-anak di Papua menjadi sangat dirugikan;

kelamin

tentang

(d)
Program bantuan sosial untuk pendidikan tidak mencapai anak-anak miskin
yang putus sekolah dan karena itu tidak dapat mengakses skema perlindungan sosial; dan
(e)
Perempuan pedesaan dan masyarakat adat yang berhadapan dengan
kemiskinan tertentu, yang mengarah ke hasil yang lebih buruk bagi anak-anak mereka.
58.
Komite merekomendasikan Indonesia untuk mengembangkan strategi antikemiskinan holistik dan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk
memahami dan mengatasi akar penyebab, dan menghilangkan kemiskinan anak, dan:
(a)
Menetapkan strategi dan program penanggulangan kemiskinan di
semua tingkat, memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah pedesaan dan
terpencil, dan memastikan akses yang sama terhadap pelayanan dasar, khususnya
gizi yang cukup, perumahan, air dan sanitasi, pendidikan, pelayanan sosial dan
kesehatan, serta memberikan bantuan material kepada keluarga tidak mampu secara
ekonomi;
(b)
Adaptasi program bantuan sosial untuk pendidikan guna memastikan
akses oleh anak-anak yang berada di luar sekolah;
(c)
Menetapkan program dukungan yang memadai untuk memperbaiki
situasi perempuan pedesaan dan masyarakat adat, dalam rangka menjaga mereka
dan anak-anak mereka keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan; dan
(d)
Menyediakan pekerja sosial terlatih, memadai, mampu mengidentifikasi
keluarga dan anak-anak berisiko, mengelola skema sosial secara efektif dan
menindaklanjuti pelaksanaannya.

14

CRC/C/IDN/CO/3-4

H.

Pendidikan, rekreasi, dan kegiatan budaya (pasal 28, 29, 30, dan 31)
Pendidikan, termasuk pelatihan kejuruan dan bimbingan
59.
Sementara menyambut program penyediaan pendidikan universal sampai dengan
usia 18 tahun, Komite sangat prihatin dengan tingginya jumlah anak usia wajib sekolah
yang berada di luar sekolah, khususnya di Jawa, serta berbagai hambatan untuk mengakses
dan meningkatkan kualitas pendidikan, termasuk:
(a)
Pendidikan yang diakses oleh warga, tidak termasuk anak-anak tanpa akta
kelahiran, pengungsi anak atau anak-anak pekerja migran;
(b)
Sejumlah besar anak-anak, khususnya mereka yang berasal dari keluarga
miskin, menghentikan pendidikan mereka, dengan alasan biaya pendidikan, meskipun
rekomendasi sebelumnya oleh Komite (CRC/C/15/Add.223 para. 63), keluarga masih harus
membayar untuk buku dan seragam;
(c)
Tidak adanya tindakan untuk mencegah remaja dari putus sekolah dalam
kasus kehamilan, kasus anak perempuan yang hamil dan diusir, akan putus asa untuk
melanjutkan pendidikan mereka selama kehamilan, dan anak-anak yang sudah menikah
sering menghentikan pendidikannya; dan
(d)
Komite selanjutnya sangat menyesalkan terjadinya kekerasan yang tinggi di
sekolah termasuk oleh tenaga pengajar, dan tingginya jumlah guru sekolah yang tidak
memegang kualifikasi minimum yang diperlukan oleh pemerintah, serta kejadian guru tidak
hadir kerja.
60.
Komite mendesak Indonesia untuk mengambil tindakan segera untuk
menjamin aksesibilitas pendidikan berkualitas untuk semua anak dalam wilayah
Indonesia, khususnya untuk:
(a)
Menjamin bahwa pendidikan tersedia untuk semua pencari suaka dan
pengungsi anak, anak-anak pekerja migran, dan untuk anak-anak yang tidak
mempunyai akta kelahiran;
(b)
Meningkatkan pendanaan pendidikan, menfokuskan pada keluarga
yang tinggal di kabupaten paling miskin dan terpencil, serta mengambil tindakan
efektif untuk mengatasi alasan di balik kegagalan untuk menyelesaikan sekolah;
(c)
Memastikan bahwa remaja yang sudah menikah, remaja hamil, dan ibu
remaja yang didukung dan dibantu dalam melanjutkan pendidikan mereka di
sekolah umum dan dapat bergabung membesarkan anak dan menyelesaikan
pendidikan; dan
(d)
Meningkatkan jumlah guru, melatih mereka dan memastikan kehadiran
mereka di tempat kerja, serta mengambil semua langkah yang diperlukan, termasuk
rencana-spesifik tindakan sekolah, dan inspeksi sekolah secara reguler, untuk
mengakhiri hukuman fisik dan bentuk-bentuk kekerasan di sekolah, termasuk
intimidasi.
Pengembangan anak usia dini
61.
Komite prihatin akan kondisi ekonomi serta kesenjangan antara kota dengan desa,
serta keberadaan program pendidikan prasekolah. Komite juga memprihatinkan alokasi
anggaran yang tidak mencukupi untuk perawatan anak dan pendidikan usia dini,
infrastruktur yang tidak memadai dan kurangnya personil yang dalam perawatan dan
pendidikan anak usia dini di daerah terpencil.

15

CRC/C/IDN/CO/3-4

62.
Komite merekomendasikan agar Indonesia memastikan perawatan dan
pendidikan anak usia dini gratis dan lembaga-lembaga dapat diakses, termasuk
untuk anak-anak yang tinggal di daerah terpencil, memiliki staf yang cukup. dan
lengkap, serta mampu memberikan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara
holistik, termasuk perkembangan anak secara keseluruhan dan memperkuat
kapasitas orang tua.
Istirahat, waktu luang, rekreasi, dan kegiatan seni dan budaya
63.
Sambil mengingatkan Pasal 11 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menetapkan hak anak untuk berlibur, rekreasi, dan kegiatan seni dan
budaya, Komite prihatin pada perhatian yang diberikan terhadap hak ini dan upaya
dilakukan terhadap pelaksanaannya.
64.
Komite, mengingatkan Komentar Umum No. 17 (2013) tentang hak anak untuk
beristirahat, bersantai, bermain, kegiatan rekreasi, dan kehidupan budaya dan seni
(pasal 31), merekomendasikan Indonesia memperhatikan perencanaan kegiatan
budaya dan rekreasi untuk anak-anak, dengan mempertimbangkan perkembangan
fisik dan psikologis anak, serta mempromosikan hak-hak ini di antara orang tua,
guru, dan tokoh masyarakat. Komite merekomendasikan Indonesia meminta bantuan
dari UNESCO dan UNICEF.

I.

Langkah-langkah perlindungan khusus (pasal. 22, 30, 32-33, 35-36, 37


(b) - (d), 38, 39, dan 40)
Pencari suaka dan pengungsi anak-anak
65.
Komite sangat prihatin tentang perlindungan pada para pencari suaka dan pengungsi
anak, khususnya tentang anak-anak tanpa pendamping ditinggalkan tanpa perwalian dan
tidak diberikan perwakilan hukum gratis. Selain itu, Komite sangat menyesalkan penahanan
anak-anak di fasilitas penahanan imigrasi, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun,
tanpa ada judicial review dan menghadapi kondisi kotor dan kekerasan, khususnya:
(a)
Contoh kebrutalan oleh pejabat imigrasi/penjaga kepada para pencari suaka
sehingga menderita dan disaksikan oleh anak-anak;
(b)
Fasilitas penahanan berada dalam kondisi yang buruk, termasuk kepadatan
penghuni, fasilitas sanitasi yang tidak layak dan tidak memadai, dan buruknya kualitas
makanan;
(c)
Anak-anak yang tanpa pendamping sering ditahan bersama orang dewasa
yang tidak berhubungan dan kecil kemungkinan untuk menghubungi keluarga mereka; dan
(d)
kesehatan.

Kurangnya akses terhadap pendidikan dan hanya akses terbatas rekreasi dan

66.
Komite, dalam Komentar Umum No. 6 (2005) tentang perlakuan terhadap
anak-anak tanpa pendamping dan terpisah di luar negara asal mereka, mendesak
Indonesia untuk membawa undang-undang imigrasi dan suaka ke dalam kepatuhan
penuh dengan Konvensi dan standar internasional yang relevan lainnya, dan untuk
selanjutnya mengambil semua langkah yang diperlukan untuk merespon situasi anakanak pencari suaka, khususnya untuk:
(a)
Menjamin kepentingan terbaik anak selalu dianggap sebagai
pertimbangan utama dalam semua proses imigrasi dan suaka, dan anak-anak pencari
suaka tanpa pendamping disediakan dengan perwalian memadai dan perwakilan
hukum gratis;

16

CRC/C/IDN/CO/3-4

(b)
Menghentikan praktik administrasi menahan pencari suaka dan anakanak pengungsi;
(c)
Menyediakan aturan perilaku yang ketat untuk penjaga fasilitas
penahanan, dan memastikan fasilitas tersebut dinilai secara teratur oleh sebuah
badan monitoring independen;
(d)
Memastikan dalam segala situasi anak-anak dipisahkan dari orang
dewasa yang tidak berhubungan, memiliki akses ke makanan yang cukup, air minum
dan sanitasi yang bersih, kesehatan, pendidikan, dan rekreasi; dan
(e)

Mengaksesi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.

Anak-anak yang termasuk dalam kelompok minoritas dan masyarakat adat


67.
Komite sangat prihatin tentang kesulitan yang dihadapi oleh kelompok agama
minoritas, khususnya:
(a)
Perlindungan yang tidak memadai dari penyelidikan dan serangan kekerasan
terhadap kelompok agama minoritas, termasuk anak-anak;
(b)
Bantuan kepada para korban yang tidak mencukupi. Banyak dari mereka
yang kehilangan rumah mereka setelah penyerangan dan harus tinggal di tempat
penampungan sementara selama beberapa tahun, kurang akses yang memadai terhadap air
bersih dan sanitasi, makanan atau perawatan kesehatan; dan
(c)
Anak-anak dari agama minoritas tidak disebutkan dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1965, dokumen hukum sering ditolak seperti identifikasi, perkawinan atau
akta kelahiran, serta akses ke layanan publik yang berbeda.
68.
Komite mendesak Indonesia untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk
memerangi dan menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap kelompok agama
minoritas, memberikan perlindungan dan pemulihan dan membawa pelaku ke
pengadilan. Komite selanjutnya mendesak Indonesia untuk mengamandemen
undang-undang dan memastikan bahwa semua anak yang termasuk kaum agama
minoritas yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1965, untuk
memiliki akses ke semua layanan publik dan dokumen hukum.
69.
Komite selanjutnya prihatin tentang situasi anak-anak dari masyarakat adat,
khususnya mengenai Papua, yang berhadapan dengan kemiskinan, militerisasi, ekstraksi
sumber daya alam serta akses masyarakat miskin terhadap pendidikan dan perawatan
kesehatan.
70.
Komite, dalam Komentar Umum No. 11 (2009) pada anak-anak pribumi dan
hak-hak mereka di bawah Konvensi, mendesak Indonesia untuk mengambil semua
langkah yang diperlukan untuk menghilangkan kemiskinan di antara masyarakat
adat dan memonitor kemajuan, memberikan akses yang sama untuk semua layanan
publik, mengupayakan demiliterisasi dan memastikan informed consent terlebih
dahulu dari masyarakat adat mengenai eksploitasi sumber daya alam di wilayah
tradisional mereka.
Eksploitasi ekonomi, termasuk pekerja anak
71.
Komite menyambut baik Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Anak dan Program Pengurangan Buruh Anak. Komite juga sangat
menyayangkan masih tingginya prevalensi pekerja anak di dalam Negara, yang secara
signifikan lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan, khususnya:
(a)

Tingginya jumlah anak yang terkena kondisi berbahaya atau bentuk-bentuk

17

CRC/C/IDN/CO/3-4

pekerjaan terburuk anak, karena seperti bekerja di pertambangan, sektor perikanan lepas
pantai, lokasi konstruksi, pertambangan, sebagai pekerja rumah tangga anak atau sebagai
pekerja seks;
(b)
Tidak adanya ketentuan hukum mengenai kerja paksa dan hukum yang
mengatur tenaga kerja anak dari 16 - 18 tahun;
(c)
Tingginya jumlah pekerja rumah tangga anak, beberapa di antaranya berusia
11 tahun, angka putus sekolah dan kerentanan mereka terhadap kekerasan dan eksploitasi,
termasuk fisik, psikologis dan seksual, serta perdagangan anak dan kerja paksa, dan
eksklusi mereka dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang menjamin hak-hak dasar
buruh; dan
(d)
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk Anak terhambat oleh persepsi umum bahwa pekerjaan adalah bagian dari proses
pendidikan, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa, layanan kepada orang tua, dan
anak menjadi "aset keluarga", serta koordinasinya menjadi sulit setelah adanya Otonomi
Daerah.
72.
Komite mendesak Indonesia untuk melakukan segala upaya untuk memastikan
anak-anak yang bekerja melakukannya sesuai dengan standar internasional, dan
mendesak Indonesia untuk:
(a)
Menjamin tidak ada anak yang terkena kondisi berbahaya atau bentukbentuk pekerjaan terburuk anak, dan keterlibatan anak dalam kerja didasarkan
pada pilihan bebas murni, sesuai dengan peraturan internasional, tunduk pada batas
waktu yang wajar, dan sama sekali tidak menghambat pendidikan mereka;
(b)
Mengubah undang-undang untuk memastikan kriminalisasi kerja paksa
serta peraturan tenaga kerja anak antara 16 dan 18 tahun, dan menegakkan semua
standar usia minimum, menunjuk pengawas ketenagakerjaan yang memadai, yang
menjadikan mereka sebagai sumber daya yang diperlukan, termasuk keahlian
pekerja anak, untuk memantau penerapan standar hukum perburuhan di semua
tingkatan, di semua bagian negara, dan di setiap jenis pekerjaan informal;
(c)
Mengubah undang-undang untuk memastikan pekerja rumah tangga
dapat memperoleh manfaat dari semua hak-hak pekerja yang ada, dan mendapat
perlindungan khusus dari kondisi dan bahaya, seperti perlindungan dari pelecehan
seksual, termasuk bantuan hukum gratis;
(d)
Memastikan ada penyelidikan dan penuntutan yang menyeluruh dari
orang-orang yang melakukan pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan, dan
memberikan sanksi yang cukup efektif dan beralasan;
(e)
Secara aktif menyebarluaskan informasi tentang hak-hak tenaga kerja
anak di bawah Konvensi di tingkat nasional, regional, dan lokal, dan memastikan
partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan serta keterlibatan media;
(f)
Membangun sistem pengumpulan data terpusat untuk memperoleh data
secara independen untuk memverifikasi anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan.
Data harus dipisahkan berdasarkan jenis tenaga kerja, usia, jenis kelamin, lokasi
geografis, etnis, dan latar belakang sosial ekonomi;
(g)
Meratifikasi dan menerapkan Konvensi ILO No. 189 Mengenai
pekerjaan yang layak untuk Pekerja Rumah Tangga; dan
(h)
Mencari bantuan teknis dari Program Internasional Penghapusan
Pekerja Anak, Organisasi Buruh Internasional (ILO) (ILO-IPEC).

18

CRC/C/IDN/CO/3-4

Anak-anak dalam situasi jalanan


73.
Dalam program pencegahan dan pemulihan yang dilakukan Indonesia, Komite
masih menggarisbawahi sejumlah besar anak-anak yang bekerja dan tinggal di jalanan,
yang rentan terhadap berbagai risiko, termasuk penggunaan narkoba, pelecehan seksual dan
eksploitasi ekonomi. Komite juga sangat menyesalkan pendekatan hukum yang berlaku
yang terkandung dalam peraturan daerah, menangani anak-anak jalanan diperlakukan
sebagai penjahat bukan sebagai korban, serta kekerasan penegakan hukum yang mereka
hadapi, terutama selama operasi.
74.
Komite merekomendasikan kepada Indonesia untuk mengalokasikan setiap
sumber daya manusia, teknis, dan keuangan yang diperlukan secara komprehensif
diterapkan secara komprehensif pada pendekatan yang berbasis perlindungan anak
dan:
(a)
Melakukan penilaian yang sistematis dari kondisi anak-anak dalam
situasi jalanan untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang akar penyebab
dan besarannya;
(b)
Mengubah semua undang-undang tentang penanganan anak-anak
dalam situasi jalanan sebagai penjahat dan mengambil langkah yang diperlukan
untuk melindungi mereka dari kekerasan, khususnya kekerasan penegakan hukum;
(c)
Mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang komprehensif yang
mengatasi akar penyebab, dengan melibatkan anak-anak secara aktif untuk
mencegah dan mengurangi fenomena ini;
(d)
Berkoordinasi dengan LSM, memberikan perlindungan yang diperlukan
anak-anak dalam situasi jalanan, termasuk akses ke nutrisi dan tempat tinggal,
lingkungan keluarga, pelayanan kesehatan yang memadai, dan kemungkinan untuk
menghadiri sekolah dan layanan sosial lainnya; dan
(e)
Mendukung program reunifikasi keluarga, dengan memperhatikan
kepentingan terbaik anak.
Penjualan, perdagangan, dan penculikan
75.
Komite menyambut baik ratifikasi terbaru oleh Indonesia terhadap Protokol
Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi
Anak. Namun, Komite sangat prihatin dengan tingginya prevalensi perdagangan orang di
dalam Indonesia, termasuk sejumlah besar anak-anak di bawah umur yang terlibat sebagai
pekerja seks. Selain itu, saat mengeluarkan undang-undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, Komite menyesalkan bahwa undang-undang gagal untuk
mendefinisikan perdagangan anak secara komprehensif, bahwa banyak kasus perdagangan
anak berbahaya, tidak dianggap seperti itu oleh undang-undang. Selain itu, Komite
menggarisbawahi Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang yang dibentuk oleh pemerintah tidak cukup efektif, dan masih banyak daerah yang
belum memiliki gugus tugas.
76.
Komite mendesak Indonesia untuk meningkatkan dan memperpanjang Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk
melengkapi setiap bagian dari Negara, dan untuk selanjutnya mengambil langkahlangkah secara efektif menghapus perdagangan anak, khususnya untuk:
(a)
Melaksanakan semua perubahan undang-undang yang diperlukan
untuk memastikan perdagangan anak dalam segala bentuknya didefinisikan secara
komprehensif dan dikriminalisasi, serta perlu dikembangkan kebijakan dan program
yang ditargetkan untuk mencegah perdagangan orang, dan memastikan langkah-

19

CRC/C/IDN/CO/3-4

langkah penegakan hukum yang memadai untuk membawa pelaku penjualan,


perdagangan, dan penculikan anak ke pengadilan; dan
(b)
Melakukan penelitian dan menghilangkan akar penyebab perdagangan
anak, serta mengidentifikasi anak-anak beresiko diperdagangkan dan/atau menjadi
korban kejahatan di bawah Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang penjualan
anak, pelacuran anak, dan pornografi anak, dan menyediakan layanan rehabilitasi
yang memadai dan terintegrasi bagi anak korban perdagangan orang.
Administrasi peradilan anak
77.
Komite menyambut penerapan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, menaikkan usia minimum pertanggungjawaban pidana dan
memprioritaskan penggunaan keadilan restoratif. Namun, Komite menggarisbawahi
penetapan usia minimum pertanggungjawaban pidana yang masih rendah yaitu usia 12
tahun. Selain itu, Komite juga memprihatinkan tingginya jumlah anak-anak yang dihukum
dan dipenjara bahkan untuk kejahatan kecil sekalipun, ditempatkan bersama orang dewasa
dan dalam kondisi yang buruk. Komite juga prihatin pada kurangnya tindakan reintegrasi
sosial bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
78.
Komite, dalam Komentar Umum No. 10 (2007) tentang hak-hak anak dalam
peradilan anak, merekomendasikan Indonesia:
(a)
Pertimbangkan menaikkan usia minimum pertanggungjawaban pidana
minimal 14 tahun;
(b)
Memastikan semua profesional yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan undang-undang yang diubah, menerima pelatihan yang diperlukan;
(c)
Memastikan alokasi semua sumber daya manusia, teknis, dan keuangan
yang diperlukan untuk memungkinkan pelaksanaan yang efektif dari perubahan
undang-undang;
(d)
Memastikan perampasan kebebasan hanya digunakan sebagai upaya
terakhir, anak-anak tidak ditahan dengan orang dewasa dan kondisi penahanannya
telah disesuaikan dengan standar internasional, termasuk yang berkaitan dengan
akses ke nutrisi, air bersih, dan sanitasi serta layanan pendidikan dan kesehatan; dan
(e)
Selanjutnya mempromosikan langkah-langkah alternatif untuk
penahanan, seperti layanan pengalihan, masa percobaan, mediasi, konseling, atau
masyarakat, dan memberikan akses ke program rehabilitasi dan reintegrasi yang
memadai.

J.

Ratifikasi instrumen HAM internasional


79.
Komite merekomendasikan kepada Indonesia untuk lebih memperkuat
pemenuhan hak-hak anak, meratifikasi instrumen hak asasi manusia inti, yaitu
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang prosedur komunikasi, Konvensi
Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, Protokol
Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang
bertujuan untuk penghapusan hukuman mati, Protokol Opsional Konvensi
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Protokol Opsional Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Kejam, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau
Penghukuman lain dan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Penyandang
disabilitas.

20

CRC/C/IDN/CO/3-4

K.

Kerjasama dengan badan-badan regional dan internasional


80.
Komite merekomendasikan Indonesia bekerja sama, antara lain, dengan
Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak.

L.

Tindak lanjut dan diseminasi


81.
Komite merekomendasikan, Negara harus mengambil semua langkah yang
layak untuk memastikan rekomendasi ini sepenuhnya diimplementasikan, antara
lain, dengan mengirimkan kepada Kepala Negara, Parlemen, kementerian terkait,
Mahkamah Agung, dan otoritas setempat, untuk mempertimbangkan dengan tepat
dan menindaklanjuti.
82.
Komite selanjutnya merekomendasikan laporan gabungan periodik ketiga dan
keempat dan jawaban yang ditulis oleh Indonesia dan rekomendasi terkait
(kesimpulan pengamatan) dibuat secara luas, tersedia dalam bahasa Indonesia,
termasuk (namun tidak eksklusif) melalui Internet, kepada masyarakat luas,
organisasi masyarakat sipil, media, kelompok pemuda, kelompok profesional dan
anak-anak.

M.

Laporan berikutnya
83.
Komite mengundang Indonesia untuk menyampaikan laporan berkala
berikutnya kelima dan keenam pada tanggal 7 Oktober 2019, termasuk di dalamnya
informasi tentang pelaksanaan pemeriksaan akhir ini. Laporan ini harus sesuai
dengan pedoman Komite sesuai perjanjian khusus, pelaporan diadopsi pada 1
Oktober 2010 (CRC/C/58/Rev.2 dan Corr. 1) dan tidak melebihi 21.200 kata (lihat
Resolusi Majelis Umum 68/268, diadopsi pada 9 April 2014, paragraf 16). Dalam hal
laporan melebihi batas kata, Indonesia akan diminta untuk mempersingkat laporan
sesuai dengan resolusi yang disebutkan di atas. Jika Indonesia tidak dalam posisi
untuk meninjau dan menyampaikan laporan, penjabaran laporan untuk tujuan
pemeriksaan badan perjanjian, tidak dapat dijamin.
84.
Komite juga mengundang Indonesia untuk menyerahkan dokumen inti yang
sudah diperbarui sesuai dengan persyaratan dokumen inti umum dalam pedoman
pelaporan, yang disetujui pada Rapat Inter-Komite kelima dari Badan Perjanjian
Hak Asasi Manusia pada bulan Juni 2006 (HRI/MC/2006/3). Batas kata adalah 42.400
kata sebagaimana ditetapkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 68/268 (paragraf
16).

21

CRC/C/IDN/CO/3-4

CRC/C/IDN/CO/3-4

United Nations

Convention on the
Rights of the Child

Distr.: General
13 June 2014
Original: English

ADVANCE
UNEDITED VERSION

Committee on the Rights of the Child

Concluding observations on the combined third and fourth


periodic reports of Indonesia*
1.

I.

The Committee considered the combined third and fourth periodic reports of Indonesia
(CRC/C/IDN/3-4) at its 1890th and 1891st meetings (see CRC/C/SR. 1890 and 1891),
held on 5 June 2014, and adopted, at its 1901st meeting, held on 13 June 2014, the
following concluding observations.

Introduction
2.
The Committee welcomes the submission of the consolidated third and fourth
periodic reports of Indonesia (CRC/C/IDN/3-4) and the written replies to its list of issues
(CRC/C/IDN/Q/3-4/Add.1), which allowed for a better understanding of the situation of
childrens rights in the State party. The Committee expresses appreciation for the
constructive dialogue held with the high-level and multisectoral delegation of the State
party.

II.

Follow-up measures undertaken and progress achieved by


the State party
3.

The Committee welcomes the adoption of the following legislative measures:


(a)

Law No.24 of 2011 on Social Security Agency;

(b)

Law No.11of 2012 on Juvenile Justice System;

(c)

Law No. 28 of 2008 on the Elimination of Racial and Ethnic Discrimination;

(d)

Government Regulation No. 47 of 2008 on Compulsory Education;

(e)
Law No. 17 of 2007 regarding Long-term National Development Plan 2005
2025;

* Adopted by the Committee at its sixty-sixth session (26 May 13 June 2014).

22

CRC/C/IDN/CO/3-4

(f)
Law No. 24 of 2013 regarding Population Administration to revise Law No.
23 of 2006;
(g)

Law No. 12 of 2006 regarding Indonesian Citizenship;

(h)

Law No. 40 of 2004 on National Social Security System;

(i)
Revision of Article 43(1) of the Law No. 1/1974 on Marriage, by the
Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010 on 17 February 2012, expanding the
legal status of children outside wedlock.
(j)
4.

The Committee also notes with appreciation the:


(a) Ratification of the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the
Child on the Involvement of Children in Armed Conflict in September 2012;

(b)
Ratification of the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the
Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography in September
2012;
(c)
Ratification of the International Convention on the Protection of the Rights of
All Migrant Workers and Members of Their Families in May 2012;
(d)
Ratification of the Convention on the Rights of Persons with Disabilities in
November 2011;
(e)
Accession to the International Covenant on Economic, Social and Cultural
rights in February 2006.
5.
The Committee also welcomes the large number of institutional and policy
measures.
6.
The Committee welcomes the State partys withdrawal of its declarations to articles
1, 14, 16, 17, 21, 22 and 29, of the Convention in 2005.

III.
A.

Main areas of concern and recommendations


General measures of implementation (arts. 4, 42 and 44, para. 6, of the
Convention)
The Committees previous recommendations
7.
The Committee, while welcoming the State partys efforts to implement the
Committees concluding observations of 2004 on the State partys second periodic report
(CRC/C/15/Add.223), notes with regret that some of the recommendations contained
therein have not been fully addressed.
8.
The Committee urges the State party to take all necessary measures to address
those recommendations from the concluding observations of the State partys second
periodic report (CRC/C/65/Add.23) under the Convention that have not been
implemented or sufficiently implemented and, in particular, reiterates its
recommendations to the State party to:
(a)
Continue to upgrade its system of data collection to cover all areas of the
Convention; ensure that all data and indicators are used for the formulation,
monitoring and evaluation of policies, programmes and projects for the effective

23

CRC/C/IDN/CO/3-4

implementation of the Convention; widely circulate these statistics and information;


and continue its collaboration with, among others, UNICEF in this respect;
(b)
Strengthen its measures regarding the dissemination of and the training
on the Convention of all relevant professionals and implement them in an ongoing and
systematic manner; take specific measures to make the Convention available to and
known by all children, especially those belonging to ethnic minorities;
(c)
[In light of ist general comment No. 8 (2006) on the right of the child to
protection from corporal punishment and other cruel or degrading forms of
punishment (arts. 19; 28, para. 2; and 37, inter alia)] amend its current legislation to
prohibit corporal punishment everywhere, including in the family, schools and
childcare settings; carry out public education campaigns about the negative
consequences of ill-treatment of children and promote positive, non-violent forms of
discipline as an alternative to corporal punishment;
(d)
Amend the current legislation on adoption so as to ensure that it
conforms to articles 2 and 3 of the Convention; take the necessary measures to
monitor and supervise effectively the system of adoption of children in accordance
with the principle of the best interest of the child; accede to the Hague Convention on
Protection of Children and Cooperation in Respect of Intercountry Adoption; and
(e)
Develop, in collaboration with NGOs and international organizations, a
comprehensive system of psychosocial support and assistance for children affected by
[armed] conflict, which also ensures their privacy.

B.

Definition of the Child


9.
The Committee notes with concern that despite the Committees previous
recommendations (CRC/C/15/Add.223 para 27), the legal age of marriage for girls remains
at 16 years of age, and that under the State partys legislation children who are married are
considered to be adults.
10.
The Committee recommends that the State party amend its legislation and
raise the marriage age for girls to 18 years, and furthermore review the age limits set
by different legislation, in order to ensure that they conform to the principles and
provisions of the Convention and under no circumstance lead to a child under the age
of 18 being considered as an adult.
Legislation
11.
The Committee notes with concern that the provisions of the Convention have not
been fully incorporated into the State partys domestic law. Furthermore, the Committee is
concerned that the decentralization process leading to the formation of new provinces and
districts and placing on them the responsibility for delivering public services, has resulted
in several by-laws enacted at the provincial or district level, being inconsistent with the
provisions and principles of the Convention.
12.
The Committee urges the State party to take all necessary measures to ensure
that:
(a)
law; and

The provisions of the Convention are fully incorporated into its domestic

(b)
All provincial and district laws are consistent with the provisions of the
Convention, including by the establishment of a specialized government institution
closely monitoring the drafting and adoption process of local and provincial laws and

24

CRC/C/IDN/CO/3-4

regulations that concern children.


Coordination
13.
The Committee notes with concern that the Ministry for Women Empowerment and
Child Protection, responsible for the coordination and implementation of the Convention
and the National Plan of Action for Children, lacks the necessary authority over
governmental structures in provinces and districts to properly coordinate the activities
under the Convention at all levels.
14.
The Committee urges the State party to provide the Ministry for Women
Empowerment and Child Protection with sufficient authority to coordinate and
evaluate all activities related to the implementation of the Convention at all levels.
Furthermore, the Committee recommends that the State party take all necessary
measures to ensure the cooperation of national, provincial and municipal authorities
in the monitoring and implementation of the Convention.
Allocation of resources
15.
The Committee is concerned about the State partys low total health expenditure of
only 2,7 % of its Gross Domestic Product in 2011.3 Furthermore, while welcoming a
significant increase in the annual education budget, the Committee regrets that it does not
suffice to ensure education for all children in the country.
16.

The Committee recommends that the State party:

(a)
levels; and

Substantially increase the allocations in the area of health to adequate

(b)
Establish mechanisms to monitor and evaluate the adequacy, efficacy
and equitability of the distribution of resources allocated to the implementation of the
Convention.
Independent monitoring
17.
The Committee, while noting the capacity of the Child Protection Commission to
receive complaints, regrets that the Commission has a limited mandate, lacking the explicit
authority to investigate.
18.
The Committee, in light of its general comment No. 2 (2002) on the role of
independent human rights institutions, recommends that the State party take all
necessary measures to strengthen the mandate of the Child Protection Commission,
providing it with the capacity to investigate and address complaints by children in a
child-sensitive manner, ensure the privacy and protection of victims, and undertake
monitoring and follow-up. Furthermore, the Committee recommends that the State
party ensure the independence of such a monitoring mechanism, including with
regards to its funding, mandate and immunities, so as to ensure full compliance with
the Paris Principles. To that effect, the Committee recommends that the State party
seek technical cooperation from, among others, the Office of the United Nations High
Commissioner for Human Rights (OHCHR), UNICEF and the United Nations
Development Programme (UNDP) [as applicable].

http://www.oecd.org/els/health-systems/Briefing-Note-INDONESIA-2013.pdf

25

CRC/C/IDN/CO/3-4

C.

General principles (arts. 2, 3, 6 and 12 of the Convention)


Non-discrimination
19.
While welcoming the State partys gender mainstreaming programme, the
Committee is deeply concerned about discriminatory provisions still remaining in national
legislation, as well as about the prevalence of frequent de facto discrimination, including:
(a)
Discrimination between girls and boys regarding inheritance rights, as well
as the high number of girls remaining subject to various discriminatory regulations and
everyday discrimination;
(b)
Children with disabilities experiencing particular discrimination regarding
access to health care and education;Children belonging to certain religious minorities being
faced with ongoing severe discrimination, and the State partys failure to deter attacks
towards them; and
(c)
Children belonging to indigenous communities facing various forms of
discrimination, such as insufficient access to education and health care.
20.
The Committee urges the State party to vigorously address all forms of de jure
and de facto discrimination, and to:
(a)
Repeal without further delay all laws which discriminate against girls, in
particular with regards to inheritance, and eliminate negative attitudes and practices
and deep-rooted stereotypes towards girls by formulating a comprehensive strategy,
including a clear definition of targets and establishing an appropriate monitoring
mechanism. Coordination in this regard should be ensured with a wide range of
stakeholders, including girls, and involve all sectors of society so as to facilitate social
and cultural change and the creation of an enabling environment that promotes
equality;
(b)
Take all necessary measures to ensure equal access of children with
disabilities to all public services, in particular regarding health care and education;
(c)
Take all necessary measures to eliminate discrimination against children
based on their religion and to end all forms of violence suffered by certain religious
minorities; and
(d)
Take all necessary measures, in particular improve the relevant
infrastructure, to provide equal access to public services by children belonging to
indigenous communities.
Best interests of the child
21.
The Committee regrets that despite its previous recommendations
(CRC/C/15/Add.223, para. 33), the principle of the best interests of the child is not
integrated in most child related legislation in the State party. The Committee furthermore
notes with concern that decisions regarding adoption and custody are often taken on the
basis of the childs religion, rather than his or her best interests, and remains concerned
(CRC/C/15/Add.223, para.45) that according to Sharia law applicable to Muslims, in
divorce proceedings decisions relating to custody of children are based on their age.
22.
The Committee, in light of its general comment No 14 (2013) on the right of the
child to have his or her best interests taken as a primary consideration (art. 3, para.
1), recommends that the State party strengthen its efforts to ensure that the right of
the child to have his or her best interests taken into consideration is explicitly

26

CRC/C/IDN/CO/3-4

mentioned in the State partys domestic legislation and consistently applied in all
legislative, administrative and judicial proceedings, as well as in all policies,
programmes and projects that are relevant to and have an impact on children. In this
regard, the State party is encouraged to develop procedures and criteria to provide
guidance to all relevant persons in authority for determining the best interests of the
child in every area, and for giving it due weight as a primary consideration. Such
procedures and criteria should be disseminated to the public, including public and
private social welfare institutions, courts of law, administrative authorities and
legislative bodies and religious leaders.
Right to life, survival and development
23.
The Committee is concerned about incidences of forced evictions of families,
including children, without offering adequate reparation or alternative housing.
Furthermore, the Committee deeply regrets that under the State partys legislation, forced
evictions may be carried out even if leading to homelessness.
24.
The Committee urges the State party to take all necessary legal measures to
ensure that forced evictions are only used as a measure of last resort, always subject to
adequate alternatives, and may under no circumstance lead to homelessness.
Respect for the views of the child
25.
While welcoming the establishment of the National Forum for Child Participation,
Teen Parliament, Indonesian Child Congress, Child Council, Election of Young Leaders,
and National Child Consultation, the Committee is concerned that:
(a)

These fora are not fully inclusive;

(b)
Childrens opinions voiced in these fora are not sufficiently taken into
consideration in decision-making processes; and
(c)
Law number 23/2002 establishing the right of the child to be heard, requires
this right to be applied in accordance with morality and decency, which hampers
effective, transparent implementation.
26.
In light of its general comment No. 12 (2009) on the right of the child to be
heard, the Committee recommends that the State party:
(a)
Ensure the participation of children in vulnerable situations, in
particular children with disabilities as well as children belonging to religious or ethnic
minorities in the various fora for child participation;
(b)
Provide for explicit requirements to take into consideration the opinions
voiced in these fora in all decision-making processes that concern children;
(c)
Amend its legislation in order to avoid any limitation of the childs right
to be heard or express his or her view; and
(d)
Take all appropriate measures to implement this right by ensuring that
the different fora where children can voice opinions are always provided with all the
necessary resources, as well as by undertaking programmes and awareness-raising
activities to promote the meaningful and empowered participation of all children
within the family, community and schools.

D.

Civil rights and freedoms (arts. 7, 8, and 13-17)


Birth registration / Name and nationality

27

CRC/C/IDN/CO/3-4

27.
While welcoming Law No. 24 of 2014 on Civil Administration, as well as the legal
amendments entitling children whose mother is Indonesian and whose father is a nonnational to acquire Indonesian citizenship, the Committee is concerned about the absence of
a mechanism to oversee their implementation at all levels. The Committee also notes with
concern that the childs religion has to be indicated in the identity card, which may lead to
discrimination. Furthermore, while welcoming free birth registration being granted by
national law, the Committee is concerned about:
(a)
The uncertainty with regard to oversight at the central level to ensure that
certain local governments do not continue to charge fees in spite of the new law; and
(b)
Children risking statelessness if both parents are foreign nationals and are not
able to pass on their citizenship to the child due to the law of their country.
28.
The Committee recommends that the State party ensure that all children born
in Indonesia are registered and issued birth certificates, regardless of their
nationality, religion and status at birth, and that birth registration is facilitated and
free of charge under all circumstances, remove the requirement to indicate religious
affiliation on the identity card, as well as close the gap in the law which may leave
some children stateless. The Committee furthermore recommends that the State party
accede to the 1954 Convention relating to the Status of Stateless Persons and the 1961
Convention on the Reduction of Statelessness.
Freedom of thought, conscience and religion
29.
The Committee is deeply concerned about repressive government actions against the
freedom of religion of children belonging to religious minorities not mentioned in Law No.
1 of 1965, in particular:
(a)
The obligation to attend religious instruction in schools in one of the six
religions mentioned in Law No. 1 of 1965;
(b)
Regulations against blasphemy and proselytizing being used to prosecute
religious minorities not mentioned in Law No. 1 of 1965, including their children, and the
draft law on religious harmony, bearing the danger to increase discrimination; and
(c)
Non-Muslims being explicitly required to follow Sharia law in Aceh or, as
indicated by the State party, non-Muslim students risking social pressure to wear the
Islamic dress at school.
30.
The Committee urges the State party to amend its legislation in order to
effectively guarantee the right to freedom of thought, conscience and religion of
children of all beliefs. The Committee further recommends that the State party take
all necessary measures, including awareness-raising and public education campaigns,
to combat intolerance on the grounds of religion or other belief, to promote religious
dialogue in society, to ensure that religious teachings promote tolerance and
understanding among children from all communities and religious or non-religious
backgrounds and to combat every kind of social pressure on children to adhere to the
rules of a religion he or she is not affiliated with. Furthermore, the Committee urges
the State party to take all necessary measures to ensure that non-Muslims be
exclusively governed by secular law.

28

CRC/C/IDN/CO/3-4

E.

Violence against children (arts. 19, 24, para.3, 28, para. 2, 34, 37 (a) and
39)
Sexual exploitation and abuse
31.
The Committee regrets that preventive, recovery and reintegration measures for
child victims are not sufficiently effective and that they are faced with several barriers in
accessing justice. Furthermore, the Committee is deeply concerned about reports that the
number of child victims of sexual exploitation is rising, and that children who have become
victims of sexual abuse may be treated as criminals instead of as victims.
32.
The Committee recommends that the State party strengthen its efforts to
protect and prevent children from sexual abuse and exploitation and:
(a)
Develop a strategy to respond to the special needs of child victims of
sexual exploitation and abuse, and provide access to shelter, health, legal and
psychological services, adequate training to professionals working in these services as
well as ensure accessible, confidential and child-friendly reporting channels and
facilitate child victims access to justice; and
(b)
Amend legislation to ensure that all children subject to any form of
sexual exploitation are always treated as victims and are not subject to criminal
sanctions.
Harmful practices
33. The Committee notes the State partys decision to revoke Regulation No. 1636 of
2010 on female circumcision, through Ministry of Health Regulation No. 6 of 2014.
However, the Committee notes that FGM is not explicitly prohibited, including the
practice of so-called female circumcision, and is gravely concerned about the high
number of girls who have become victims to female genital mutilation (FGM).
34.
The Committee urges the State party to adopt legislation to fully prohibit FGM
in all its forms and to:
(a)
Provide for physical and psychological recovery programmes for victims
of FGM, as well as establish reporting and complaints mechanisms accessible to girls
who have become victims, or fear becoming victim of the practice;
(b)
With the full participation of civil society and women and girl victims,
set up awareness-raising campaigns and educational programmes on the harmful
impact of FGM on the physical and psychological health of the girl child, ensuring
that the campaigns are systematically and consistently mainstreamed, and that they
target all segments of society, including both women and men, government officials,
families and all religious and community leaders; and
(c)
Fully criminalize the practice, ensure that practitioners are aware of its
criminalization, as well as involve practitioners in the efforts to promote abandonment
of these practices, and assist them in finding alternative sources of income and
livelihood, and, when necessary, provide retraining for them.
35.

The Committee deeply regrets the high number of early and forced marriages.

36.
The Committee urges the State party to seek effective measures to prevent and
combat the practice of early or forced marriage, including all necessary legislative
measures as well as the establishment of awareness-raising and information
campaigns on the harm and danger resulting from early marriage.

29

CRC/C/IDN/CO/3-4

Freedom of the child from all forms of violence


37.
While welcoming Law No. 23 of 2004 on Domestic Violence, as well as the
National Plan of Action on the Prevention and Eradication of Violence against Children
(2010-2014), the Committee is deeply concerned about:
(a)

Many cases of violence against children in detention and at all trial phases;

and
(b)
Girls being frequently subjected to violence and facing considerable
difficulties to obtain protection, including access to justice. The Committee notes in this
regard that the formal justice system is often inaccessible given the prohibitive costs,
following which women and girls are referred to alternative dispute resolution mechanisms,
in particular religious courts, which frequently discriminate against them and eventually
exclude them from the decision-making process.
38.
The Committee, in light of its general comment No. 13 (2011) on the right of the
child to freedom from all forms of violence, urges the State party to take all necessary
measures to:
(a)
Establish adequate monitoring mechanisms to effectively eliminate
violence suffered by children in conflict with the law; and
(b)
Ensure that girls are adequately protected from all forms of violence,
and are supported by programmes providing financial and legal aid to allow full
access to the formal justice system.
Helplines
39.
While welcoming the State partys establishment in cooperation with national and
international NGOs of a child helpline, the Committee is concerned about a lack of
coverage of all provinces, the lack of awareness of the larger public about the helplines
services, as well as about insufficient counsellors.
40.
The Committee recommends that the State party increase human, technical
and financial resources to ensure that children in every province are aware of, and
have 24-hour-access to the helpline, and that sufficient follow-up is provided.
Furthermore, the Committee recommends that adequate training is provided to
counsellors.

F.

Family environment and alternative care (arts. 5, 9-11, 18 (paras. 1 and


2), 20-21, 25 and 27 (para. 4))
Family environment
41.
The Committee is deeply concerned that polygamy remains permissible, a situation
which is contrary to the dignity of women and girls entering these marriages and which
negatively affects their children.
42.
The Committee urges the State party to ensure that all provisions that
discriminate against women and hence negatively impact on their children, such as
those which authorize polygamy, be repealed.
Children deprived of a family environment
43.
The Committee welcomes the strengthening of the familys role in child care
through introduction of several programmes aimed at the reduction of poverty as well as the
adoption of the National Standard for Child Care in 2011 inter alia promoting family

30

CRC/C/IDN/CO/3-4

support systems, family-based alternative care and specifying institutional care standards.
However, the Committee is concerned about:
(a)
Poor families who may still be unable to care for their childrens basic needs
and find themselves obliged to give up the care of their children;
(b)
The low number of family-based placements of children and the continued
widespread use of institutionalization;
(c)
institution;

Very limited requirements to receive a license to run an alternative care

(d)
The lack of compliance by most institutions with the standards introduced by
the National Standard for Child Care, the absence of any compliance monitoring, frequent
incidences of violence within institutions, as well as children living in institutions lacking
the possibility to meet their families; and
(e)
The lack of an adequate system of disaggregated data collection on children
living in institutions.
44.

The Committee recommends that the State party:

(a)
Further strengthen the support provided to biological families and
provide community-based assistance to families in their child-rearing, by trained
social workers;
(b)
Provide family type care wherever possible for children who cannot stay
with their families, with a view to reducing the institutionalization of children;
(c)
Reinforce the requirements to receive a license to run an alternative care
institution;
(d)
Ensure periodic review of the placement of children in institutions, and
monitor the quality of care therein, including by providing accessible channels for
monitoring and remedying maltreatment of children, as well as ensure that children
are given the possibility to meet with their families; and
(e)
Establish a centralized data collection system on children living in
institutions, disaggregated by age, sex and economic background.

G.

Disability, basic health and welfare (arts. 6, 18 (para. 3), 23, 24, 26, 27
(paras. 1-3) and 33)
Children with disabilities
45.
While welcoming the National Plan of Action on Disabilities 2013 - 2022, the
Committee is seriously concerned about the situation of children with disabilities, in
particular about:
(a)
Children with disabilities, in particular girls, facing multiple forms of
discrimination in exercising their rights, including their right to education and health care;
(b)
Many children with disabilities being hidden or placed in institutions because
of the social stigma or economic cost of raising them;
(c)
The small number of children with disabilities attending school as well as
having access to health care, special services and rehabilitation centres; and
(d)

The absence of systematic data collection on children with disabilities.

31

CRC/C/IDN/CO/3-4

46.
The Committee, in light of its general comment No. 9 (2006) on the rights of
children with disabilities, recommends that the State party take every necessary effort
to implement the National Plan of Action on Disabilities 2013 - 2022, and urges the
State party to:
(a)
Make all necessary legal amendments to ensure that discrimination on
the grounds of disability be expressly prohibited, as well as ensure that all provisions
resulting in de facto discrimination of persons with disabilities be repealed;
(b)
Conduct awareness-raising and educational campaigns in order to
eliminate all kinds of de facto discrimination, in particular attitudinal and
environmental barriers, against children with disabilities and inform and sensitize
about rights and special needs of children with disabilities as well as ensure that
children with disabilities are provided with adequate financial support and have full
access to social and health services;
(c)
Ensure that children with disabilities can fully exercise their right to
education, and take all necessary measures to provide for their inclusion into the
mainstream school system; and
(d)
Collect specific and disaggregated data on children with disabilities to
adapt policies and programmes to their needs.
Health and health services
47.
The Committee welcomes the policy on Healthy Village Development, the
increase in the number of community health centers, the Program on Birth Preparedness
and Complication Readiness, the State partys efforts in the reduction of disease and
malnutrition as well as the decrease of infant and under-5 mortality rates since 1990.
However, the Committee is very concerned about:
(a)
The still high percentage of neonatal, infant and under-5 mortality rates,
particularly as a result of diarrhoea and pneumonia as well as a high number of children
below the age of five suffering from stunting and being underweight;
(b)

The rate of maternal mortality remaining particularly high;

(c)

The disparity among provinces regarding maternal and infant mortality rates;

(d)
The absence of specific public health regulations on preventive health issues
such as immunization, as well as the unsatisfactory implementation of the immunization
programme; and
(e)
The continuing deficits regarding infrastructure and support of health care
facilities, as well as regarding the skills of health workers and their irregular attendance at
work.
48.
The Committee, in light of its general comment No. 15 (2013) on the right of the
child to the enjoyment of the highest attainable standard of health (art. 24), urges the
State party to increase its health budget and expand access to primary health-care
services across all provinces, and deliver these services in such a manner as to be
accessible and affordable for populations in both urban and rural areas, independent
of their economic background, and in particular to:
(a)
Ensure the provision of primary health-care services for all pregnant
women, including access to antenatal care, safe delivery care, emergency obstetric
care as well as postnatal care, and children, focusing on interventions to reduce
preventable and other diseases, particularly diarrhoea, acute respiratory infections
and undernutrition, as well as promote good infant and young child feeding practices;

32

CRC/C/IDN/CO/3-4

(b)
Strengthen and expand access to preventive health care and therapeutic
services for all pregnant women and children, particularly infants and children under
the age of 5. They should include preventive health interventions such as universal
immunization services, oral rehydration therapy and treatment for acute respiratory
infections;
(c)
Provide sufficient free professional assistance before and during
childbirth, including in remote and rural areas, and take all necessary efforts,
including emergency obstetric care, to reduce maternal mortality; and
(d)
Recruit, train and monitor more health-care providers as well as
improve health-care infrastructure and ensure that health-care services include
access to sanitation and clean drinking water.
Adolescent health
49.
While welcoming the National Action Plan for Teenage Reproductive Health as well
as the integration of the Adolescents Friendly Health Service program into reproductive
health programs, the Committee regrets that children are faced with difficulties regarding
access to reproductive health and education. Furthermore, the Committee is concerned that
pursuant to the Population and Family Development Law and the Health Law, access to
sexual and reproductive health services may only be granted to legally married couples,
leading to the exclusion of the vast majority of adolescents. In this context the Committee
also regrets that despite provisions for reproductive health services being outlined in the
Population and Family Development Lawand the Health Law, unmarried women and girls
are not eligible to receive these health benefits, and is furthermore concerned about:
(a)
Certain services related to reproductive health require informed consent from
parents or husbands, in particular married adolescent girls having to seek their husbands
permission in order to obtain certain types of contraceptive services from government-run
health facilities; and
(b)
Unmarried adolescent girls, including rape victims, who may be unable to
access these services either because they are unaware of being entitled to them, or because
of fear of stigmatization, inter alia leading to sexually transmitted diseases and a high
number of adolescent pregnancies, leaving the girls at risk of seeking unsafe abortions,
being forced to marry young, or dropping out of school.
50.
In light of its general comment No. 4 (2003) on adolescent health and
development in the context of the Convention on the Rights of the Child, the
Committee recommends that the State party:
(a) Take all necessary legal amendments to ensure full and unconditional access of
adolescents to information and services regarding sexual and reproductive health
and contraception, without the need for consent from parents or husbands, as
well as ensure that their request is treated in a confidential manner; and
(b)
Develop and implement a policy to protect the rights of pregnant
teenagers, adolescent mothers and their children, and to combat discrimination
against them.
HIV/AIDS
51.
The Committee is deeply concerned about a continued increase in the prevalence of
HIV/AIDS between 2000 to 2009 as well as about insufficient measures by the State party
to effectively address the pandemic. Furthermore, the Committee notes with concern that
there has been a particular increase of the pandemic in Papua as well as a general increased
feminization of HIV/AIDS hence also a rise in HIV infection in children.
33

CRC/C/IDN/CO/3-4

52.
The Committee, in light of its general comment No. 3 (2003) on HIV/AIDS and
the rights of the child, urges the State party to develop and strengthen policies and
programmes to prevent the spread of HIV/AIDS and to provide care and support for
children infected or affected by HIV/AIDS. Furthermore, the Committee urges the
State party to sustain the measures in place to prevent mother-to-child transmission of
HIV/AIDS as well as provide for counselling and improve follow-up treatment for
HIV/AIDS-infected mothers and their infants to ensure early diagnosis and early
initiation of treatment.
Drug and substance abuse
53.
The Committee notes with concern that drug consumption by youth has seen a
serious increase in recent years.
54.
The Committee recommends that the State party allocate all necessary human,
technical and financial resources to address the incidence of drug use by children and
adolescents by, inter alia, providing children and adolescents with accurate and
objective information as well as life skills education on preventing substance abuse,
including tobacco and alcohol, and develop accessible and youth-friendly drug
dependence treatment and harm reduction services.
Breastfeeding
55.
The Committee is concerned about the low rate of breastfeeding in the State party, in
particular about only 42 % of Indonesian children being exclusively breastfed for the first 6
months of their lives.
56.
The Committee recommends that the State party strengthen the promotion of
breastfeeding, including by establishing a programme to promote and enable all
mothers to successfully breastfeed exclusively for the first six months of the infants
life. The Committee further recommends that the State party adopt the International
Code of Marketing of Breast Milk Substitutes.
Standard of living
57.
The Committee welcomes the existence of poverty eradication and social assistance
programmes, in particular the National Community Empowerment Program (PNPM), as
well as the adoption of Law No. 6 of 2014 on Village, aiming at reducing disparities
between regions. However, the Committee is deeply concerned about:
(a)
An estimated 13.8 million children living below the national poverty line,
and 8,4 million children living in extreme poverty;
(b)
The decentralization process, which leads to the formation of many new
provinces and districts, giving rise to disparities regarding access to public services such as
birth registration, basic education or clean drinking-water;
(c)
The urban-rural, ethnic and gender disparities regarding poverty, with
children in Papua being particularly disadvantaged;
(d)
Social assistance programmes for education not reaching the poorest children
who are out of school and therefore unable to access the social protection scheme; and
(e)
Rural and indigenous women being faced with particular poverty, leading to
poorer outcomes for their children.
58.
The Committee recommends that the State party develop a holistic anti-poverty
strategy and take all necessary measures to understand and address the root causes of,
and eliminate child poverty, and to:
34

CRC/C/IDN/CO/3-4

(a)
Establish poverty reduction strategies and programmes at all levels,
paying particular attention to rural and remote areas, and ensure equitable access to
basic services, in particular adequate nutrition, housing, water and sanitation, and to
education, social and health services, as well as provide material assistance to
economically disadvantaged families;
(b)
Adapt social assistance programmes for education to ensure access by
children who are out of school;
(c)
Establish adequate support programmes to improve the situation of
rural and indigenous women, in order to keep them and their children out of poverty
in a sustainable manner; and
(d)
Provide for sufficient, adequately trained social workers, capable of
identifying families and children at risk, manage the social schemes effectively and
follow up on their implementation.

H.

Education, leisure and cultural activities (arts. 28, 29, 30 and 31)
Education, including vocational training and guidance
59.
While welcoming the programme for universal provision of education up to the age
of 18, the Committee is very concerned about the high number of children of compulsory
school age being out of school, particularly in Java , as well as about the various obstacles
to the access to and quality of education, including:
(a) Education being solely accessible by citizens, thereby excluding children without birth
certificate, child refugees or children of migrant workers;
(b)
A significant number of children, in particular those coming from poor
families, stopping their education, one of the reasons being education fees, despite previous
recommendations by the Committee (CRC/C/15/Add.223 para. 63), families still having to
pay for books and uniforms;
(c)
Absence of measures to prevent adolescent girls from dropping out of school
in case of pregnancy, cases of pregnant girls being expelled or discouraged to continue their
education during pregnancy, as well as married children frequently discontinuing
education; and
(d)
The Committee furthermore deeply regrets the high occurrence of violence at
school including through teaching personnel, the high number of school teachers not
holding the minimum qualifications required by the government, as well as incidences of
teachers not attending to work.
60.
The Committee urges the State party to take prompt measures to ensure the
accessibility of quality education for all children in the State partys territory, in
particular to:
(a)
Ensure that education is available to all asylum-seeking and refugee
children, to children of migrant workers, and to children not holding birth
certificates;
(b)
Increase education funding, placing particular focus on families living in
the poorest and most remote districts, as well as take concrete action to effectively
address the reasons behind failure to complete schooling;
(c)
Ensure that married adolescents, pregnant teenagers and adolescent
mothers are supported and assisted in continuing their education in mainstream
schools and can combine child rearing and completing education; and
35

CRC/C/IDN/CO/3-4

(d)
Increase the number of teachers, adequately train them and ensure their
attendance at work, as well as take all necessary measures, including school-specific
action plans, and regular school inspections, to end corporal punishment and other
forms of violence in school, including bullying.
Early childhood development
61.
The Committee is concerned about economic as well as urban-rural disparities
regarding attendance of pre-school education programmes. Furthermore, the Committee is
concerned about insufficient budget allocation for early childhood care and education as
well as inadequate infrastructure and lack of adequate personnel in early childhood care and
education in remote areas.
62.
The Committee recommends that the State party ensure that early childhood
care and education is free and that institutions are accessible, including for children
living in remote areas, are adequately staffed and furnished, as well as capable of
providing early childhood care and education in a holistic manner, including overall
child development and strengthening parental capacity.
Rest, leisure, recreation and cultural and artistic activities
63.
While noting Article 11 of Law No. 23 of 2002 regarding Child Protection
stipulating the right of children to vacation, recreation and cultural and artistic activities, the
Committee is concerned about insufficient attention given to this right and insufficient
efforts made towards its implementation.
64.
The Committee, in light of its general comment No 17 (2013) on the right of the
child to rest, leisure, play, recreational activities, cultural life and the arts (art. 31),
recommends that the State party pay adequate attention to planning leisure and
cultural activities for children, taking into consideration the physical and
psychological development of the child, as well as promote these rights among parents,
teachers and community leaders. The Committee recommends that the State party
seek assistance from UNESCO and UNICEF in this regard.

I.

Special protection measures (arts. 22, 30, 32-33, 35-36, 37 (b)-(d), 38, 39
and 40)
Asylum-seeking and refugee children
65.
The Committee is highly concerned about the insufficient protection for asylumseeking and refugee children, in particular about unaccompanied children being left without
guardianship and not given free legal representation. Furthermore, the Committee deeply
regrets the detention of children in immigration detention facilities, for months or years,
without any judicial review and facing squalid and violent conditions, in particular:
(a)
Instances of severe brutality by immigration officials/guards suffered and
witnessed by children;
(b)
Detention facilities being in bad conditions, including overcrowding,
inadequate sanitation facilities and insufficient and bad quality food;
(c)
Unaccompanied children being frequently detained with unrelated adults and
denied the possibility to contact their families; and
(d)
healthcare.

36

Lack of access to education and only limited access to recreation and

CRC/C/IDN/CO/3-4

66.
The Committee, in light of its general comment No. 6 (2005) on the treatment of
unaccompanied and separated children outside their country of origin, urges the State
party to bring its immigration and asylum legislation into full compliance with the
Convention and other relevant international standards, and to furthermore take all
necessary measures to adequately address the situation of asylum-seeking children, in
particular to:
(a)
Ensure that the best interests of the child are always regarded as a
primary consideration in all immigration and asylum processes, and that
unaccompanied asylum-seeking children are provided with adequate guardianship
and free legal representation;
(b)
Cease the administrative practice of detaining asylum-seeking and
refugee children;
(c)
Provide for strict behavioral rules for guards of detention facilities, and
ensure that facilities are regularly assessed by an independent monitoring body;
(d)
Ensure that in all circumstances children are separated from unrelated
adults, have access to sufficient food, clean drinking water and sanitation, healthcare,
education and recreation; and
(e)

Accede to the 1951 Refugee Convention and its 1967 Protocol.

Children belonging to minority or indigenous groups


67.
The Committee is deeply concerned about the difficulties faced by religious
minorities , in particular:
(a)
Insufficient protection from and investigation into the violent attacks against
religious minorities , including children;
(b)
Insufficient assistance to the victims, many of whom lost their homes in the
attacks and had to stay in temporary shelters for several years, lacking sufficient access to
clean drinking water and sanitation, food or health care; and
(c)
Children of religious minorities not mentioned in Law No. 1 of 1965, often
being denied legal documents such as identification, marriage or birth certificates, as well
as access to different public services.
68.
The Committee urges the State party to take every necessary measure to
combat and eliminate all forms of violence against religious minorities, provide them
with all the necessary effective protection and reparation, and bring perpetrators to
justice. The Committee furthermore urges the State party to amend its legislation and
ensure that all children belonging to religious minorities not mentioned in Law No. 1
of 1965 have access to all public services and legal documents they have been denied.
69.
The Committee is furthermore concerned about the situation of children belonging
to indigenous communities, in particular regarding Papuans, who are faced with poverty,
militarization, extraction of natural resources as well as poor access to education and health
care.
70.
The Committee, in light of its general comment No. 11 (2009) on indigenous
children and their rights under the Convention, urges the State party to take all
necessary measures to eliminate poverty among indigenous communities and monitor
progress in this regard, provide for their equal access to all public services, pursue
demilitarization efforts and ensure the prior informed consent of indigenous peoples
regarding the exploitation of the natural resources in their traditional territories.

37

CRC/C/IDN/CO/3-4

Economic exploitation, including child labor


71.
The Committee welcomes the National Plan of Action for the Elimination of the
Worst Forms of Work for Children and the Child Labor Reduction Programme. However,
the Committee deeply regrets the high prevalence of child labor within the State party,
which furthermore is significantly higher in rural areas than in urban areas, in particular:
(a)
The high number of children, being exposed to hazardous conditions or the
worst forms of child labor, having to work in mines, the offshore fishing sector,
construction sites, quarries, as child domestic workers or as sex workers;
(b)
The absence of provisions on forced labor and of laws regulating the labor of
children of 16 18 years of age;
(c)
The high number of child domestic workers, some of whom are only 11 years
old, their early dropout rate from school and their vulnerability to violence and exploitation,
including physical, psychological and sexual abuse, as well as child trafficking and forced
labor, and their exclusion from the Manpower Act, affording basic labor rights; and
(d)
The implementation of the National Plan of Action for the Elimination of the
Worst Forms of Work for Children being hampered by a general perception of work being
part of the education process, preparing the child for adult life, a service to parents, and of
the child being a family asset, as well as coordination difficulties following the
introduction of Regional Autonomy.
72.
The Committee urges the State party to make every effort to ensure that those
children, who do work, do so in accordance with international standards, and urges
the State party to:
(a)
Ensure that no child is exposed to any hazardous conditions or to the
worst forms of child labor, and that the involvement of children in labor is based on
genuine free choice, in accordance with international regulations, subject to
reasonable time limits, and does in no way hamper their education;
(b)
Amend legislation to ensure the criminalization of forced labor as well as
the regulation of the labor of children between 16 and 18 years of age, and vigorously
pursue the enforcement of all minimum-age standards, and appoint sufficient labor
inspectors, and provide them with all the necessary resources, including child labor
expertise, to monitor the implementation of labor law standards at all levels, in all
parts of the country, and in every kind of informal work;
(c)
Amend legislation to ensure that domestic workers are able to benefit
from all existing labor rights, and furthermore receive special protection, including
free legal aid, from conditions and dangers they are particularly subject to, such as
protection from sexual harassment;
(d)
Ensure that thorough investigations and robust prosecutions of persons
violating labor laws are carried out, and that sufficiently effective and dissuasive
sanctions are imposed in practice;
(e)
Actively disseminate information about childrens rights regarding labor
under the Convention at national, regional and local level, ensuring the active
participation of stakeholders and opinion leaders, as well as the involvement of the
media;
(f)
Establish a centralized data collection system to obtain independently
verifiable data on children engaged in labor. The data should be disaggregated by the
type of labour, age, sex, geographic location, ethnicity and socioeconomic background;

38

CRC/C/IDN/CO/3-4

(g)
Ratify and implement International Labor Organization Convention No.
189 Concerning Decent Work for Domestic Workers; and
(h)
Seek technical assistance from the International Programme on the
Elimination of Child Labour of the International Labour Office in this regard.
Children in street situations
73.
While welcoming the State partys prevention and recovery programmes, the
Committee is concerned about the significant number of children working and living in the
streets, being vulnerable to various prevalent risks, including drug use and sexual abuse and
economic exploitation. The Committee also deeply regrets the prevailing legal approach
contained in local regulations, treating children in street situations as criminals instead of
victims, as well as the very strong law enforcement violence they are faced with, especially
during sweep operations.
74.
The Committee recommends that the State party allocate every necessary
human, technical and financial resource to comprehensively apply a child-protectionbased approach and to:
(a)
Undertake a systematic assessment of the conditions of children in street
situations in order to obtain an accurate picture of the root causes and magnitude;
(b)
Amend all legislation treating children in street situations as criminals
and take all necessary measures to protect them from violence, in particular lawenforcement violence;
(c)
Develop and implement, with the active involvement of the children
themselves, a comprehensive policy which should address the root causes, in order to
prevent and reduce this phenomenon;
(d)
In coordination with NGOs, provide children in street situations with the
necessary protection, including access to nutrition and shelter, a family environment ,
adequate health-care services, the possibility to attend school and other social
services; and
(e)
Support family reunification programmes, when that is in the best
interests of the child.
Sale, trafficking and abduction
75.
The Committee welcomes the recent ratification by the State party of the Optional
Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child
Prostitution and Child Pornography. However, the Committee is very concerned about the
high prevalence of trafficking within the State party, including a high number of underage
children involved in sex-work. Furthermore, while welcoming the law on Eradication of
Trafficking in Persons, the Committee regrets that the law fails to define child trafficking in
a comprehensive manner, bearing the danger that many cases of child trafficking are not
considered as such by the new law. Furthermore, the Committee notes with concern that the
Anti-Trafficking in Persons Task Force that was formed by the government is not
sufficiently effective, and that many districts still do not have the task force.
76.
The Committee urges the State party to improve and extend the AntiTrafficking in Persons Task Force to cover every part of the country, and to
furthermore take vigorous measures to effectively eliminate child-trafficking, in
particular to:
(a) Carry out all necessary legal amendments to ensure that child-trafficking in all its
forms be comprehensively defined and criminalized, as well as develop targeted
39

CRC/C/IDN/CO/3-4

policies and programmes to prevent trafficking, and ensure that adequate law
enforcement measures are taken to bring perpetrators of child sale, trafficking
and abduction to justice; and
(b)
Undertake research on, and eliminate the root causes of childtrafficking, as well as identify children at risk of being trafficked and/or becoming
victims of crimes under the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the
Child on the sale of children, child prostitution and child pornography, and provide
for sufficient and adequate reintegration and rehabilitation services for child-victims.
Administration of juvenile justice
77.
The Committee welcomes the adoption of Law No. 11/2012 on the Juvenile Justice
System, raising the minimum age of criminal responsibility and prioritizing the usage of
restorative justice. However, the Committee notes with concern that the minimum age of
criminal responsibility will remain very low, set at 12 years of age. Furthermore, the
Committee remains concerned at the high number of children sentenced to jail even for
petty crimes, oftentimes detained with adults and in poor conditions. The Committee is also
concerned at the lack of social reintegration measures for children in conflict with the law.
78.
The Committee, in light of its general comment No. 10 (2007) on childrens
rights in juvenile justice, recommends that the State party:
(a)
Consider raising the minimum age of criminal responsibility to at least
14 years of age;
(b)
Ensure that all professionals responsible for the implementation of the
amended law, receive the necessary training on it;
(c)
Ensure allocation of all the appropriate human, technical and financial
resources necessary to allow effective implementation of the amended law;
(d)
Ensure that deprivation of liberty is used only as a measure of last
resort, for the shortest appropriate time, that children are not detained with adults
and that detention conditions are compliant with international standards, including
with regard to access to nutrition, clean water and sanitation as well as education and
health services; and
(e)
Further promote alternative measures to detention, such as diversion,
probation, mediation, counseling, or community service, and provide for access to
adequate rehabilitation and reintegration programmes.

J.

Ratification of international human rights instruments


79.
The Committee recommends that the State party, in order to further
strengthen the fulfilment of childrens rights, ratify the core human rights
instruments to which it is not yet a party, namely the Optional Protocol to the
Convention on the Rights of the Child on a communications procedure, the
International Convention for the Protection of All Persons from Enforced
Disappearance, the Optional Protocol to the International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights, the Optional Protocol to the International Covenant on
Civil and Political Rights, the Second Optional Protocol to the International Covenant
on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty, the Optional
Protocol to the Convention on the Elimination of Discrimination against Women, the
Optional Protocol to the Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment and the Optional Protocol to the Convention on
the Rights of Persons with Disabilities.

40

CRC/C/IDN/CO/3-4

K.

Cooperation with regional and international bodies


80.
The Committee recommends that the State party cooperate, among others, with
the ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women
and Children.

L.

Follow-up and dissemination


81.
The Committee recommends that the State party take all appropriate measures
to ensure that the present recommendations are fully implemented. by, inter alia,
transmitting them to the Head of State, Parliament, relevant ministries, the Supreme
Court and local authorities for appropriate consideration and further action.
82.
The Committee further recommends that the combined third and fourth
periodic reports and the written replies by the State party and the related
recommendations (concluding observations) be made widely available in the
languages of the country, including (but not exclusively) through the Internet, to the
public at large, civil society organizations, media, youth groups, professional groups
and children.

M.

Next report
83.
The Committee invites the State party to submit its next fifth and sixth periodic
report by 7 October 2019 and to include in it information on the implementation of
the present concluding observations. The report should be in compliance with the
Committees harmonized treaty-specific reporting guidelines adopted on 1 October
2010 (CRC/C/58/Rev.2 and Corr. 1) and should not exceed 21,200 words (please see
General Assembly resolution 68/268, adopted on 9 April 2014, paragraph 16). In the
event a report exceeding the established word limit is submitted, the State party will
be asked to shorten the report in accordance with the above-mentioned resolution. If
the State party is not in a position to review and resubmit the report, translation of
the report for purposes of examination of the treaty body cannot be guaranteed.
84.
The Committee also invites the State party to submit an updated core
document in accordance with the requirements of the common core document in the
harmonized guidelines on reporting, approved at the fifth Inter-Committee Meeting
of the human rights treaty bodies in June 2006 (HRI/MC/2006/3). The word limit is
42,400 words as established by the General Assembly in its resolution 68/268 (para.
16).

41

Anda mungkin juga menyukai