Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung
jawab terhadap pergerakan. Komponen utama sistem muskuloskeletal adalah
jaringan ikat (Carter, 2005). Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon,
ligamen, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur
ini.
Beragamnya jaringan dan organ yang terdapat pada sistem muskuloskeletal
tentunya dapat menimbulkan berbagai macam bentuk gangguan. Beberapa gangguan
primer timbul pada sistem itu sendiri, sedangkan gangguan sekunder berasal dari
bagian lain tubuh yang berefek pada sistem muskuloskeletal. Tanda utama gangguan
sistem muskuloskeletal adalah nyeri dan rasa tidak nyaman, yang dapat bervariasi
dari tingkat yang paling ringan hingga sangat berat (Carter, 2005).
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat
melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah tulangtulang tertentu berisi jaringan hematopoietik yang berfungsi untuk membentuk sel
darah merah. Selain itu, tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan
kalsium dan fosfat (Guyton dan Hall, 2007). Beberapa kelainan yang dapat
menyerang tulang, di antaranya adalah fraktur, osteomielitis, tumor, serta kelainan
lainnya (Mansjoer, 2008).
Di negara-negara berkembang, osteomielitis masih merupakan masalah
dalam bidang ortopedi. Sebelum ditemukannya antibiotik, osteomielitis masih
merupakan salah satu penyebab kematian pada anak-anak. Keberhasilan pengobatan
osteomielitis ditentukan oleh faktor-faktor diagnosis dini dan penatalaksanaan berupa
pemberian antibiotik atau tindakan pembedahan.
Osteomielitis merupakan suatu proses peradangan pada tulang yang
disebabkan oleh invasi mikroorganisme (bakteri dan jamur). Diagnosis perlu
ditegakkan sedini mungkin, terutama pada anak-anak, sehingga pengobatan dapat
segera dimulai dan perawatan pembedahan yang sesuai dapat dilakukan untuk
mencegah penyebaran infeksi dan kerusakan yang lebih lanjut pada tulang (Carter,
2005).

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana etiologi, patogenesis, serta patofisiologi penyakit pasien?
2. Pemeriksaan apa saja yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit
pada pasien?
3. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis penyakit yang diderita pasien?
4. Mengapa pasien tidak dapat menikmati kartu asuransi kesehatan yang
dimilikinya?
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi, patogenesis, serta patofisiologi penyakit
pasien yang mengarah pada osteomielitis.
2. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis osteomielitis.
3. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan yang sesuai dan prognosis osteomielitis.
4. Mahasiswa mengetahui faktor-faktor atau alasan yang mengakibatkan pasien
dalam skenario tidak dapat menikmati fasilitas kartu asuransi kesehatan yang
dimilikinya.
D. Manfaat
1. Sebagai pendorong bagi mahasiswa untuk mempelajari sistem muskuloskeletal
secara komprehensif, dimulai dari aspek fisiologis hingga aspek patologis.
2. Sebagai sarana memperdalam keilmuan di bidang kedokteran yang akan
membantu dalam menghadapi masalah kesehatan berbasis evidence-based
medicine (EBM).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Jaringan Tulang
Sel-sel pada tulang, antara lain (Carter, 2005; Junqueira dan Carneiro, 2007):
1. Osteoblas
Osteoblas bertanggung jwab dalam hal sintesis komponen organik dari matriks
tulang (kolagen tipe I, proteoglikan, dan glikoprotein). Deposisi komponen
anorganik tulang juga tergantung pada osteoblas. Osteoblas secara eksklusif
terletak pada permukaan jaringan tulang, dari sisi ke sisi, yang menyerupai
jaringan epitel selapis. Dalam bentuk aktif (mensintesis matriks), osteoblas
berubah bentuk dari kuboid ke kolumnar dan sitoplasmanya lebih basofilik.
Namun, saat aktivitas sintesisnya berkurang, bentuknya memipih diikuti
berkurangnya sifat basofilik pada sitoplasmanya.
2. Osteosit
Osteosit, berasal dari osteoblas, terletak di dalam lakuna di antara lamela matriks.
Hanya satu osteosit di dalam setiap lakuna. Terdapat kanalikuli yang
menghubungkan setiap lakuna. Kanalikuli ini juga berfungsi menghubungkan
setiap osteosit via gap junction, sehingga tetap terjalin komunikasi antarsel dan
tetap ada aliran nutrisi.
3. Osteoklas
Sel ini berukuran sangat besar dan motil. Bagian perluasan dari badan selnya
mengandung 5 50 (atau lebih) nukleus. Pada bagian tulang yang mengalami
resorpsi, osteoklas terletak pada bagian matriks yang disebut Howships lacunae.
Osteoklas berasal dari fusi sel-sel mononuklear sumsum tulang.
4. Sel osteoprogenitor
Sel ini merupakan sel mesenkimal primitif yang menghasilkan osteoblas selama
pertumbuhan tulang dan osteosit pada permukaan dalam jaringan tulang.
STRUKTUR MAKROSKOPIK
Pada potongan tulang terdapat 2 macam struktur, yaitu (Junqueira dan
Carneiro, 2007):
1. Substantia spongiosa (berongga)
2. Substantia compacta (padat)

Bagian diaphysis tulang panjang yang berbentuk sebagai pipa dindingnya


merupakan tulang padat, sedang ujung-ujungnya sebagian besar merupakan tulang
berongga yang dilapisi oleh tulang padat yang tipis. Ruangan dari tulang berongga
saling berhubungan dan juga dengan rongga sumsum tulang.
JENIS JARINGAN TULANG
Secara histologis, tulang dibedakan menjadi 2 komponen utama, yaitu
(Junqueira dan Carneiro, 2007):
1. Tulang muda/tulang primer
Dalam pembentukan tulang atau juga dalam proses penyembuhan kerusakan
tulang, tulang yang tumbuh bersifat muda atau tulang primer yang bersifat
sementara karena nantinya akan diganti dengan tulang sekunder. Jaringan tulang
ini berupa anyaman, sehingga disebut sebagai woven bone, merupakan komponen
muda yang tersusun dari serat kolagen yang tidak teratur pada osteoid. Woven
bone terbentuk pada saat osteoblas membentuk osteosit secara cepat seperti pada
pembentukan tulang bayi dan pada dewasa ketika terjadi pembentukan susunan
tulang baru akibat keadaan patologis. Selain tidak teraturnya serabut-serabut
kolagen, terdapat ciri lain untuk jaringan tulang primer, yaitu sedikitnya
kandungan garam mineral sehingga mudah ditembus oleh sinar-X dan lebih
banyak jumlah osteosit jika dibandingkan dengan jaringan tulang sekunder.
Jaringan tulang primer akhirnya akan mengalami remodeling menjadi tulang
sekunder (lamellar bone) yang secara fisik lebih kuat dan resilien. Pada tulang
orang dewasa yang sehat hanya terdapat lamella saja.
2. Tulang dewasa/tulang sekunder
Jenis ini biasa terdapat pada kerangka orang dewasa. Dikenal juga sebagai
lamellar bone karena jaringan tulang sekunder terdiri dari ikatan paralel kolagen
yang tersusun dalam lembaran-lembaran lamella. Ciri khas: serabut-serabut
kolagen yang tersusun dalam lamellae (lapisan) setebal 3-7 m yang sejajar satu
sama lain dan melingkari konsentris saluran di tengah yang dinamakan Canalis
Haversi. Dalam Canalis Haversi ini berjalan pembuluh darah, serabut saraf, dan
diisi oleh jaringan pengikat longgar. Keseluruhan struktur konsentris ini dinamai
Systema Haversi atau osteon. Sel-sel tulang yang dinamakan osteosit berada di
antara lamellae atau kadang-kadang di dalam lamella. Di dalam setiap lamella,
serabut-serabut kolagen berjalan sejajar secara spiral meliliti sumbu osteon, tetapi

serabut-serabut kolagen yang berada dalam lamellae di dekatnya arahnya


menyilang. Di antara masing-masing osteon seringkali terdapat substansi amorf
yang merupakan bahan perekat. Susunan lamellae dalam diaphysis mempunyai
pola sebagai berikut:
a. Tersusun konsentris membentuk osteon.
b. Lamellae yang tidak tersusun konsentris membentuk systema interstitialis.
c. Lamellae yang malingkari pada permukaan luar membentuk lamellae
circumferentialis externa.
d. Lamellae yang melingkari pada permukaan dalam membentuk lamellae
circumferentialis interna.
Adapun lapisan-lapisan tulang terdiri atas (Junqueira dan Carneiro, 2007):
1. Periosteum
Bagian luar dari jaringan tulang yang diselubungi oleh jaringan pengikat pada
fibrosa yang mengandung sedikit sel. Pembuluh darah yang terdapat di bagian
periosteum luar akan bercabang-cabang dan menembus ke bagian dalam
periosteum yang selanjutnya samapai ke dalam Canalis Volkmanni. Bagian dalam
periosteum ini disebut pula lapisan osteogenik karena memiliki potensi
membentuk tulang. Oleh karena itu, lapisan osteogenik sangat penting dalam
proses penyembuhan tulang. Periosteum dapat melekat pada jaringan tulang
karena:

Pembuluh-pembuluh darah yang masuk ke dalam tulang.

Terdapat serabut Sharpey (serat kolagen) yang masuk ke dalam tulang.

Terdapat serabut elastis yang tidak sebanyak serabut Sharpey.

2. Endosteum
Endosteum merupakan lapisan sel-sel berbentuk gepeng yang membatasi rongga
sumsum tulang dan melanjutkan diri ke seluruh rongga-rongga dalam jaringan
tulang termasuk Canalis Haversi dan Canalis Volkmanni. Endosteum berasal dari
jaringan sumsum tulang yang berubah potensinya menjadi osteogenik.
B. Proses Pembentukan Jaringan Tulang
Pertumbuhan Tulang
Perkembangan tulang pada embrio terjadi melalui dua cara, yaitu
osteogenesis desmalis dan osteogenesis enchondralis. Keduanya menyebabkan

jaringan pendukung kolagen primitif diganti oleh tulang, atau jaringan kartilago
yang selanjutnya akan diganti pula menjadi jaringan tulang. Hasil kedua proses
osteogenesis tersebut adalah anyaman tulang yang selanjutnya akan mengalami
remodeling oleh proses resorpsi dan aposisi untuk membentuk tulang dewasa
yang tersusun dari lamella tulang. Kemudian, resorpsi dan deposisi tulang terjadi
pada rasio yang jauh lebih kecil untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi
karena fungsi dan untuk mempengaruhi homeostasis kalsium. Perkembangan
tulang ini diatur oleh hormone pertumbuhan, hormone tyroid, dan hormone sex.
a. Osteogenesis Desmalis
Nama lain dari penulangan ini yaitu osteogenesis intramembranosa, karena
terjadinya dalam membran jaringan. Tulang yang terbentuk selanjutnya
dinamakan tulang desmal. Yang mengalami penulangan desmal ini yaitu tulang
atap tengkorak. Mula-mula jaringan mesenkhim mengalami kondensasi menjadi
lembaran jaringan pengikat yang banyak mengandung pembuluh darah. Sel-sel
mesenkhimal saling berhubungan melalui tonjolan-tonjolannya. Dalam substansi
interselulernya terbentuk serabut-serabut kolagen halus yang terpendam dalam
substansi dasar yang sangat padat.
Tanda-tanda pertama yang dapat dilihat adanya pembentukan tulang yaitu
matriks yang terwarna eosinofil di antara dua pembuluh darah yang berdekatan.
Oleh karena di daerah yang akan menjadi atap tengkorak tersebut terdapat
anyaman pembuluh darah, maka matriks yang terbentuk pun akan berupa
anyaman. Tempat perubahan awal tersebut dinamakan pusat penulangan primer.
Pada proses awal ini, sel-sel mesenkhim berdiferensiasi menjadi osteoblas
yang memulai sintesis dan sekresi osteoid. Osteoid kemudian bertambah
sehingga berbentuk lempeng-lempeng atau trabekulae yang tebal. Sementara itu
berlangsung pula sekresi molekul-molekul tropokolagen yang akan membentuk
kolagen dan sekresi glikoprotein. Sesudah berlangsungnya sekresi oleh osteoblas
tersebut disusul oleh proses pengendapan garam kalsium fosfat pada sebagian
dari matriksnya sehingga bersisa sebagai selapis tipis matriks osteoid sekeliling
osteoblas.
Dengan menebalnya trabekula, beberapa osteoblas akan terbenam dalam
matriks yang mengapur sehingga sel tersebut dinamakan osteosit. Antara sel-sel
tersebut masih terdapat hubungan melalui tonjolannya yang sekarang

terperangkap dalam kanalikuli. Osteoblas yang telah berubah menjadi osteosit


akan diganti kedudukannya oleh sel-sel jaringan pengikat di sekitarnya. Dengan
berlanjutnya perubahan osteoblas menjadi osteosit maka trabekulae makin
menebal, sehingga jaringan pengikat yang memisahkan makin menipis. Pada
bagian yang nantinya akan menjadi tulang padat, rongga yang memisahkan
trabekulae sangat sempit, sebaliknya pada bagian yang nantinya akan menjadi
tulang berongga, jaingan pengikat yang masih ada akan berubah menjadi sumsum
tulang yang akan menghasilkan sel-sel darah. Sementara itu, sel-sel
osteoprogenitor pada permukaan Pusat penulangan mengalami mitosis untuk
memproduksi osteoblas lebih lanjut
b. Osteogenesis Enchondralis
Awal dari penulangan enkhondralis ditandai oleh pembesaran khondrosit
di tengah-tengah diaphysis yang dinamakan sebagai pusat penulangan primer.
Sel-sel khondrosit di daerah pusat penulangan primer mengalami hypertrophy,
sehingga matriks kartilago akan terdesak mejadi sekat-sekat tipis. Dalam
sitoplasma khondrosit terdapat penimbunan glikogen. Pada saat ini matriks
kartilago siap menerima pengendapan garam-garam kalsium yang pada
gilirannya akan membawa kemunduran sel-sel kartilago yang terperangkap
karena terganggu nutrisinya. Kemunduran sel-sel tersebut akan berakhir dengan
kematian, sehingga rongga-rongga yang saling berhubungan sebagai sisa-sisa
lakuna. Proses kerusakan ini akan mengurangi kekuatan kerangka kalau tidak
diperkuat oleh pembentukan tulang disekelilingnya. Pada saat yang bersamaan,
perikhondrium di sekeliling pusat penulangan memiliki potensi osteogenik
sehingga di bawahnya terbentuk tulang. Pada hakekatnya pembentukan tulang ini
melalui penulangan desmal karena jaringan pengikat berubah menjadi tulang.
Tulang yang terbentuk merupakan pipa yang mengelilingi pusat penulangan yang
masih berongga-rongga sehingga bertindeak sebagai penopang agar model
bentuk kerangka tidak terganggu. Lapisan tipis tulang tersebut dinamakan pipa
periosteal. Setelah terbentuknya pipa periosteal, masuklah pembuluh-pembuluh
darah dari perikhondrium, yang sekarang dapat dinamakan periosteum, yang
selanjutnya menembus masuk kedalam pusat penulangan primer yang tinggal
matriks kartilago yang mengalami klasifikasi.

Darah membawa sel-sel yang diletakan pada dinding matriks. Sel-sel


tersebut memiliki potensi hemopoetik dan osteogenik. Sel-sel yang diletakan
pada matriks kartilago akan bertindak sebagai osteoblas. Osteoblas ini akan
mensekresikan matriks osteoid dan melapiskan pada matriks kartilago yang
mengapur. Selanjutnya trabekula yang terbentuk oleh matriks kartilago yang
mengapur dan dilapisi matriks osteoid akan mengalami pengapuran pula
sehingga akhirnya jaringan osteoid berubah menjadi jaringan tulang yang masih
mengandung matriks kartilago yang mengapur di bagian tengahnya. Pusat
penulangan primer yang terjadi dalam diaphysis akan disusun oleh pusat
penulangan sekunder yang berlangsung di ujung-ujung model kerangka kartilago.
Mekanisme Kalsifikasi dan Resorpsi Tulang (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood,
1996)
Kalsifikasi dalam tulang tidak terlepas dari proses metabolisme kalsium
dan fosfat. Bahan-bahan mineral yang akan diendapkan semula berada dalam
aliran darah. Osteoblas berperan dalam mensekresikan enzim alkali fosfatase.
Dalam keadaan biasa, darah dan cairan jaringan mengandung cukup ion fosfat
dan kalsium untuk pengendapan kalsium Ca3(PO4)2 apabila terjadi penambahan
ion fosfat dan kalsium. Penambahan ion-ion tersebut diperoleh dari pengaruh
enzim alkali fosfatase dari osteoblas. Hal tersebut juga dapat diperoleh dari
pengaruh hormon parathyroid dan pemberian vitamin D atau pengaruh makanan
yang mengandung garam kalsium tinggi. Faktor lain yang harus diperhitungkan
yaitu keadaan pH karena kondisi yang agak asam lebih menjurus ke
pembentukan garam CaHPO4 daripada Ca3(PO4)2. Karena CaHPO4 lebih mudah
larut, maka untuk mengendapkannya dibutuhkan kadar fosfat dan kalsium yang
lebih tinggi daripada dalam kondisi alkali untuk mengendapkan Ca3(PO4)2 yang
kurang dapat larut.
Kenaikan kadar ion kalsium dan fosfat setempat sekitar osteoblas dan
khondrosit hipertrofi disebabkan sekresi alkali fosfatase yang akan melepaskan
fosfat dari senyawa organik yang ada di sekitarnya. Serabut kolagen yang ada di
sekitar osteoblas akan merupakan inti pengendapan, sehingga kristal-kristal
kalsium akan tersusun sepanjang serabut. Resorpsi tulang sama pentingnya
dengan proses kalsifikasinya, karena tulang akan dapat tumbuh membesar
dengan cara menambah jaringan tulang baru dari permukaan luarnya yang

dibarengi dengan pengikisan tulang dari permukaan dalamnya. Resorpsi tulang


yang sangat erat hubungannya dengan sel-sel osteoklas, mencakup pembersihan
garam mineral dan matriks organic yang kebanyakan merupakan kolagen. Dalam
kaitannya dengan resorpsi tersebut terdapat tiga kemungkinan:

Osteoklas bertindak primer dengan cara melepaskan mineral yang disusul


dengan depolimerisasi molekul-molekul organik,

Osteoklas menyebabkan depolimerisasi mukopolisakarida dan glikoprotein


sehingga garam mineral yang melekat menjadi bebas,

Sel osteoklas berpengaruh kepada serabut kolagen.

C. Proses Inflamasi
Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung
suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk akut ditandai
adanya tanda klasik, yaitu: dolor, kalor, rubor, tumor, dan fungsiolesa (Soenarto,
2007).
Dikenal adanya inflamasi akut, subakut, dan kronis. Inflamasi merupakan
keadaan dinamik yang konstan, yaitu suatu reaksi dari jaringan hidup guna melawan
berbagai rangsangan. Dalam melawan inflamasi, dari tubuh memiliki respon alami
dan penyesuaian. Yang alami (tidak spesifik) terdiri dari sel-sel neutrofil, eosinofil,
basofil, trombosit, makrofag, monosit, sel mast dan sel NK, serta faktor-faktor yang
larut yang terdiri dari lisozim, sitokin, interferon, komplemen, dan protein fase akut
(Soenarto, 2007). Dalam osteomielitis, diduga juga terlibat peranan sitokin
interleukin-8 (IL-8), inducible protein-10 (IP-10), monocyte chemoattractant protein1 (MCP-1), dan regulated on activation normal T cell expressed and secreted
(RANTES) (Wright dan Friedland, 2002).
D. Definisi dan Klasifikasi Fraktur
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Carter, 2005; Ekayuda, 2009). Ada beberapa jenis fraktur menurut
pembagiannya masing-masing. Misalnya, berdasarkan penyebabnya maka fraktur
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. fraktur disebabkan trauma yang berat

b. fraktur spontan atau patologik yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang
sebelumnya telah mengalami proses patologik, misalnya tumor tulang primer
atau sekunder, mieloma multiple, kista tulang, osteomielitis dan sebagainya.
Trauma ringan saja sudah dapat menimbulkan fraktur.
Jenis fraktur yang mungkin terjadi sangat bervariasi dan bergantung pada
berbagai faktor, misalnya: besar/kuatnya trauma, trauma langsung/tidak langsung,
umur penderita, lokasi fraktur. Bila trauma terjadi pada atau dekat persendian,
mungkin terdapat fraktur tulang disertai dislokasi sendi yang disebut fraktur dislokasi
(Carter, 2005).
Fraktur berdasarkan sudut patah dapat dibagi menjadi: fraktur transversal,
bila arah patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang; fraktur oblik, bila
garis patahnya membentuk sudut pada tulang; dan fraktur spiral, timbul akibat torsi
pada ekstremitas (Mansjoer, 2008).
Berdasarkan ada tidaknya luka, fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan
fraktur tertutup. Fraktur tertutup adalah fraktur di mana kulit tidak ditembus oleh
fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan. Sedangkan
fraktur terbuka adalah fraktur di mana kulit dari ekstremitas yang terlibat telah
ditembus. Fragmen fraktur dapat menembus kulit pada saat terjadinya cedera,
terkontaminasi, kemudian kembali hampir pada posisinya semula. Pada keadaan
semacam ini, maka operasi untuk irigasi, debridement, dan pemberian antibiotika
secara intravena mungkin diperlukan untuk mencegah terjadinya osteomielitis. Pada
umumnya, operasi irigasi dan debridement pada fraktur terbuka dilakukan dalam
waktu enam jam setelah terjadinya cedera untuk mengurangi kemungkinan infeksi.
Beberapa tipe fraktur lainnya adalah fraktur kominutif bila terjadi pada lebih
dari dua fragmen, fraktur avulsi, fraktur greenstick, fraktur kompresi, fraktur impresi
pada tengkorak.
E. Osteomielitis
Osteomielitis adalah infeksi tulang, lebih sulit disembuhkan daripada infeksi
jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respon jaringan terhadap inflamasi,
tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru
di sekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang
akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas
(Hidayat, 2009).
10

Infeksi disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fokus


infeksi di tempat lain (misalnya, tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi
saluran nafas). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi di tempat
di mana terdapat trauma atau di mana terdapat resistensi rendah, kemungkinan akibat
trauma subklinis (tak jelas) (Setiyohadi dan Tambunan, 2007).
Infeksi dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak
(misalnya, ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi
langsung tulang (misalnya, fraktur terbuka, cedera traumatik seperti luka tembak,
pembedahan tulang).
1. Faktor Risiko
Pasien yang beresiko tinggi mengalami osteomielitis adalah mereka yang
nutrisinya buruk, lansia, kegemukan, atau penderita diabetes mellitus. Selain itu,
pasien yang menderita artitis rheumatoid, telah dirawat lama di rumah sakit,
mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi
sebelum operasi sekarang, atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang
menjalani pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus,
mengalami nefrosis insisi margial atau dehidrasi luka, atau memerlukan evakuasi
hematoma pascaoperasi (Hidayat, 2009).
2. Etiologi
Disebabkan infeksi oleh Staphylococcus aureus (70% 80 %), Amoeba proteus,
Pseudomonas, dan Eschericia coli (Hidayat, 2009).
3. Patogenesis dan Patofisiologi
Pada bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bab pembahasan.
4. Klasifikasi
Pembagian osteomielitis yang sering digunakan adalah sebagai berikut (Hidayat,
2009; Ekayuda, 2009; Setiyohadi dan Tambunan, 2007):
a. Osteomielitis primer (hematogenik) yang disebabkan oleh penyebaran secara
hematogen dari fokus lain. Osteomielitis hematogen merupakan ostemielitis
primer pada anak-anak dan dapat dibagi menjadi akut dan kronik.
1) Osteomielitis hematogen akut
Merupakan suatu infeksi pada tulang yang sedang tumbuh. Tulang yang
sering terkena adalah tulang panjang seperti femur, tibia, humerus, radius,
ulna dan fibula. Bagian tulang yang diserang adalah bagian metafisis.

11

2) Osteomielitis hematogen kronik


Merupakan lanjutan dari osteomielitis hematogen akut. Dapat terjadi oleh
karena terapi yang tidak adekuat, adanya strain kuman yang resisten
terhadap antibiotik, penggunaan obat-obat imunosupresif, serta kurang
baiknya status gizi.
b. Osteomielitis sekunder (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh penyebaran
kuman dari sekitarnya, seperti bisul dan luka.
5. Manifestasi Klinis
Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya onset mendadak, sering terjadi
dengan manifetasi klinis septikemia (misalnya menggigil, demam tinggi,
takikardia dan malaise umum). Gejala sistemik pada awalnya dapat menutupi
gejala lokal secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke
korteks tulang, akan mengenai posterium, dan jaringan lunak, dengan bagian
yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak, dan sangat nyeri tekan. Pasien
menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan
gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul.
Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau
kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah terinfeksi
membengkak, hangat, nyeri, dan nyeri tekan.
Pada pasien dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu
mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi,
pembengkakan dan pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah terjadi pada jaringan
parut akibat kurangnya asupan darah.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai peningkatan laju
endapan darah.
b. Pemeriksaan titer antibodi anti staphylococcus
Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti
dengan uji sensitivitas.
c. Pemeriksaan biopsi tulang.
d. Pemeriksaan ultra sound
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.

12

e. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama tidak ditemukan kelainan
radiologik, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi tulang yang
bersifat difus.
7. Evaluasi Diagnostik
Pada osteomielitis akut, pemeriksaan sinar-X hanya menunjukan
pembengkakan jaringan lunak. Sekitar dua minggu terdapat daerah dekalsifikasi
ireguler, nefrosis tulang, pengangkatan periosteum dan pembentukan tulang baru.
Pemindaian tulang dan MRI dapat membantu diagnosis definitive awal.
Pemeriksaan darah memperhatikan peningkatan leukosit dan peningkatan laju
endap darah. Kultur darah dan kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis
antibiotika yang sesuai.
Pada osteomielitis kronik, besar, kavitas ireguler, peningkatan periosteum,
sequestra atau pembentukan tulang padat terlihat pada sinar-X. Pemindaian
tulang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi area terinfeksi. Laju sedimentasi
dan jumlah sel darah putih biasanya normal. Anemia, dikaitkan dengan infeksi
kronik. Abses ini dibiakkan untuk menentukan organisme infektif dan terapi
antibiotik yang tepat.
8. Diferensial Diagnosis

Osteosarkoma

Ewing Sarkoma

9. Penatalaksanaan

Medikamentosa symptomatis: mengobati berdasarkan gejala


antibiotik: berdasarkan sensitivitas kuman penyebab

Perawatan luka dikompres dengan larutan salin fisiologis steril.

Terapi bedah/operatif

Rehabilitasi medik

13

BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario pertama blok muskuloskeletal, disebutkan bahwa seorang
wanita usia 18 tahun datang ke rumah sakit dengan nyeri tungkai bawah kiri,
pireksia, kemerahan, sinus di kulit hilang timbul. Dua setengah tahun yang lalu
mengalami kecelakaan sehingga terjadi patah tulang di tungkai bawah di mana tulang
tampak dari luar. Kemudian dibawa ke dukun tulang. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan deformitas, scar tissue diameter 10 cm pada region anterior tibia kiri.
Sinus dengan discharge seropurulen melekat pada tulang di bawahnya, ekskoriasi
kulit sekitar sinus.
Dokter mencurigai adanya infeksi tulang, sehingga dilakukan plain photo dan
didapatkan penebalan periosteum, bone resorption, sklerosis sekitar tulang,
involucrum, sequester, serta angulasi tibia dan fibula (varus). Dokter kemudian
mendiagnosis sebagai osteomielitis.
Dari penggalan skenario di atas, kita dapat mengetahui bahwa pasien
memiliki riwayat kecelakaan motor yang mengakibatkan fraktur terbuka yang pada
akhirnya mengalami luka infeksi dengan nanah yang keluar terus-menerus selama
dua tahun lebih. Infeksi yang terjadi berasal dari os tibia. Berdasarkan manifestasi
klinis dan klasifikasi penyakit pada tinjauan pustaka, maka diagnosis pada pasien
dalam skenario memang mengarah kepada osteomielitis hematogen kronik.
Osteomielitis hematogen kronik merupakan lanjutan dari osteomielitis
hematogen akut yang dapat terjadi oleh karena terapi yang tidak adekuat, adanya
strain kuman yang resisten terhadap antibiotik, atau kurang baiknya status gizi. Pada
pasien dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar
dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan
pengeluaran pus (Hidayat, 2009; Setiyohadi dan Tambunan, 2007).
Adapun patogenesis dan patofisiologinya akan dijelaskan sebagai berikut.
Terjadinya suatu osteomielitis selalu dimulai dari daerah metafisis tulang karena pada
daerah tersebut peredaran darahnya lambat dan banyak mengandung sinusoid.
Penyebaran osteomielitis dapat terjadi sebagai berikut:
1. Penyebaran ke arah korteks, membentuk abses subperiosteal dan selulitis pada
jaringan sekitarnya.

14

2. Penyebaran menembus periosteum membentuk abses jaringan lunak. Abses dapat


menembus kulit melalui suatu sinus dan menimbulkan fistel. Abses dapat
menyumbat dan menekan aliran darah ke tulang dan mengakibatkan kematian
jaringan tulang.
3. Penyebaran ke arah medulla.
4. Penyebaran ke persendian, terutama bila lempeng pertumbuhannya intrartikuler,
misalnya sendi panggul pada anak-anak.
Pada awalnya terdapat fokus infeksi di daerah metafisis, lalu terjadi
hyperemia dan oedem. Karena tulang bukan jaringan yang dapat berekspansi maka
tekanan dalam tulang ini menyebabkan nyeri lokal yang hebat. Infeksi dapat pecah
ke ruang subperiosteum kemudian menembus subkutis dan menyebar menjadi
selulitis atau menjalar ke rongga subperiosteum ke diafisis. Penjalaran subperiosteal
ke arah diafisis akan merusak pembuluh darah pada diafisis sehingga menyebabkan
nekrosis tulang yang disebut sekuester (James, 2001).
Pada tahap lanjut, periosteum akan membentuk tulang baru yang disebut
involukrum yang akan membungkus jaringan tulang yang nekrosis (sekuester) dan
menutup tempat peradangan. Bila pembentukan tulang baru berlanjut, tempat
tersebut menjasi sklerotik, disebut Garres scleroting osteomyelitis (James, 2001).
Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung
suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Dalam hal ini, yang secara
nyata berkaitan dengan proses inflamasi pada tulang adalah pembentukan
involukrum.
Adapun pembentukan nanah disebabkan adanya Staphylococcus aureus yang
menjadi penyebab tersering (70-80%) osteomielitis (Hidayat, 2009). Enzim
proteolitik yang dimiliki Staphylococcus aureus dapat melisiskan komponen protein
dan fibrin yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya nanah. Apabila infeksi yang
timbul disebabkan Streptococcus, biasanya manifestasi klinis yang timbul tampak
lebih parah karena adanya enzim hialuronidase dari Streptococcus yang dapat
mendestruksi jaringan sekitarnya.
Sebagaimana kita ketahui, osteomielitis pada pasien tergolong dalam fase
kronik. Pada kasus kronik, kemungkinan besar jika dilakukan pemeriksaan kultur
darah tidak akan didapatkan lagi bakteri Staphylococcus aureus. Padahal pada pasien

15

ini nanah terus keluar dari lukanya. Pembentukan nanah tersebut juga dapat
dimediasi

adanya

endotoksin

dari

Staphylococcus

aureus.

Endotoksin

Staphylococcus aureus tergolong superantigen kuat. Selain itu, adanya IL-8, IP-10,
MCP-1, dan RANTES yang bereaksi dengan endotoksin tersebut juga memperkuat
respon inflamasi yang timbul (Wright dan Friedland, 2002). Mungkin apabila kita
melakukan pemeriksaan titer antibody anti- Staphylococcus aureus akan didapatkan
hasil yang positif disebabkan reaksi antibodi dengan endotoksinnya.
Dalam penatalaksanaan kasus osteomielitis, daerah yang terkena harus
diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur.
Sebagai perawatannya, dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit
beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran darah.
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi.
Kultur darah, swab, dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme
dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu
patogen (Hidayat, 2009).
Begitu spesimen kultur diperoleh dimulai terapi antibiotika intravena, dengan
asumsi bahwa terdapat infeksi staphylococcus yang peka terhadap peningkatan semi
sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengontrol infeksi sebelum aliran darah
ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika
terus menerus sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam
darah yang terus-menerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme
penyebab yang diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi
tampak telah terkontrol antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3
bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama
makanan.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibioka, tulang yang
terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan
daerah itu diirigasi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril, sedangkan
terapi antibiotika tetap dilanjutkan.
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen
bedah. Dilakukan sequestrektomi (pangangkatan involukrum secukupnya supaya ahli
bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang
untuk menjalankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal

16

(saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya
dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau
dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan grunulasi atau dilakukan grafting
dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpenghisap untuk mengontrol hematoma
dan membuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai
8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dangan pemberian irigasi ini.
Rongga yang didebridemen dapat diisi dangan grafit tulang kanselus untuk
merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan
transfer tulang berpembuluh darah atau flap otot (dimana suatu otot diambil dari
jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro
ini akan meningkatkan asupan darah, perbaikan asupan darah kemudian akan
memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat
dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah
dapat melemahkan tulang, yang kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong
dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah
tulang (Brunner, 2001).
Mengenai alasan atau faktor yang menyebabkan pasien dalam skenario tidak
dapat menikmati fasilitas dari asuransi kesehatan, kemungkinan disebabkan rujukan
yang tidak tepat. Biasanya, perusahaan asuransi kesehatan tertentu bekerja sama
dengan rumah sakit atau dokter tertentu pula, sehingga jika kita datang pada rumah
sakit yang tidak memiliki koneksi dengan perusahaan asuransi yang mengeluarkan
askes kita, maka kita tidak mendapatkan fasilitas seperti yang tercantum pada kartu
askes. Selain itu, askes yang kadaluarsa, identitas yang tidak sesuai, dan jenis askes
yang spesifik untuk pengobatan tertentu juga dapat berpengaruh.

17

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan tinjauan pustaka dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka
kemungkinan besar pasien menderita osteomielitis kronik yang disebabkan oleh
fraktur terbuka yang terinfeksi sejak dua setengah tahun yang lalu. Penatalaksanaan
ditujukan terutama untuk menghilangkan infeksi dengan menggunakan antibiotika
yang didahului tes sensitivitas kuman. Apabila pasien tidak merespon terhadap
penggunaan antibiotika dan hal ini sering terjadi pada kasus kronik, maka biasanya
disarankan dengan terapi pembedahan.
B. Saran
Sebagai seorang dokter umum yang menyajikan layanan primer, dokter dapat
menyarankan kepada pasien untuk melakukan rehabilitasi medik yang bertujuan
untuk menghindari adanya cacat permanen.

18

DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan-Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 3.


Jakarta: EGC.
Carter, Michael A. 2005. Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi. Dalam: Price dan
Wilson (ed.): Patofisiologi: Konsep Klinis dan Proses-proses Penyakit, Edisi
6. Jakarta: EGC.
______________. 2005. Fraktur dan Dislokasi. Dalam: Price dan Wilson (ed.):
Patofisiologi: Konsep Klinis dan Proses-proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Ekayuda, Iwan. 2009. Infeksi Tulang dan Sendi. Dalam: Ekayuda, Iwan (ed.):
Radiologi Diagnostik, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Guyton, Arthur C. dan Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11.
Jakarta: EGC.
Hidayat,
Agung.
2009.
Asuhan
Keperawatan
Osteomielitis,
(http://hidayat2.wordpress.com/2009/06/10/askep-osteomielitis-2/,
diakses
pada 12 November 2009).
Junqueira, Luiz Carlos dan Carneiro, Jose. 2007. Basic Histology, Text and Atlas,
11th. New York: The McGraw-Hill Companies.
Maguire, James H. 2001. Harrisons 15 Principles of Internal Medicine, Volume 1.
New York: The McGraw-Hill Companies.
Mansjoer, et al. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Setiyohadi, Bambang dan Tambunan, A. Sanusi. 2007. Infeksi Tulang dan Sendi.
Dalam: Sudoyo, Aru W., et al (ed.): Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sherwood, Lauralee. 1996. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC.
Soenarto. 2007. Inflamasi. Dalam: Sudoyo, Aru W., et al (ed.): Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Wright, Kathleen M. dan Friedland, Jon S. 2002. Differential Regulation of
Chemokine Secretion in Tuberculous and Staphylococcal Osteomyelitis.
Journal Bone and Mineral Research, 17: 1680-1690.

19

LAMPIRAN

Gambar 1. Gambaran osteomielitis pada os tibia. Sejumlah abses pada tulang


tampak radiolusen (tanda panah merah).
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Osteomyelitis)

20

Anda mungkin juga menyukai