Maria Priscilla
102011352-C3
Fakultas Kedokteran UKRIDA
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
beckzseven7@yahoo.co.id
Pendahuluan
Banyak kejadian tidak terduga yang terjadi pada pasien pasca penanganan oleh tenaga
medis. Akibat terburuk yang dapat terjadi adalah pasien sampai meninggal. Dalam
kenyataannya, pasien sendiri dapat meninggal karena penyakit yang memang dideritanya,
ataupun dapat terjadi unforeseeable risk, dan yang paling marak terjadi adalah diduga adanya
kejadian malpraktek. Maraknya pengaduan tersebut selain disebabkan oleh meningkatnya
kesadaran hukum dan dan kesadaran akan hak-hak pasien adalah karena masyarakat mengaggap
kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter terhadap pasien identik dengan kegagalan
tindakan medik. Padahal dokter tidak bisa di persalahkan jika ia telah melaksanakan tugas
profesinya sesuai dengan standar pelayanan medik, sesuai dengan standar prosedur yang telah
disepakati oleh organisasi profesinya dan Rumah Sakit tempat ia bekerja. Seorang dokter tidak
menjamin hasil akhir upayanya yang sungguh-sungguh untuk kesembuhan pasien atau
meringankan penderitaan pasiennya.
Komunikasi dan consent
Informed consent merupakan alat paling penting dalam hubungan dokter-pasien pada
masa kini. Informed consent yang benar harus disertai dengan komunikasi baik antara dokter
dan pasien. Keterangan yang dapat diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan informed
consent termasuklah menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan pengobatan
penyakit. Perlu juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang bakal dilakukan.
Informed consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima atau menolak tindakan
medik yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi lain.1 Pasien yang
kompeten boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa tindakan ini dapat
mengancam nyawa pasien. Terdapat dua kondisi di mana informed consent dikecualikan yaitu:
1. Pasien menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik terhadap dirinya kepada
dokter. Apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter yang merawatnya,
dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal dilakukan.
2. Keadaan apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien dapat berdampak besar
terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional. Contohnya adalah apabila pasien
cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang penyakitnya. Namun,
dokter pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien dapat menerima berita
tentang penyakitnya dan memberikan informasi selengkapnya sesuai dengan hak pasien.
Malpraktek
Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical malpractice
(malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :
1. John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai a form of
professional negligence in which measerable injury occurs to a plaintiff patient as the
direct result of an act or ommission by the defendant practitioner (malpraktik medik
merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang
terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan
dokter).2
2. Black Law Dictionary merumuskan malpraktik sebagai any professional misconduct,
unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice, or
illegal or immoral conduct (perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam
keterampilan yang dibawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam
menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan
yang tidak bermoral).3
Dari beberapa pengertian tentang malpraktik medik diatas semua sarjana sepakat untuk
mengartikan malpraktik medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak
mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar
2
profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau bahkan meninggal
dunia.
A. Jenis-jenis Malpraktek
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktik medik menjadi dua bentuk, yaitu
malpraktik etik (ethical malpractice) dan malpraktik yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari
segi etika profesi dan segi hukum.
-Malpraktik Etik
Yang dimaksud dengan malpraktik etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan.
-Malpraktik Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktik yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktik perdata
(civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktik administratif
4
(administrative malpractice).
B. Teori-Teori Malpraktik
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktik yaitu:
2,4
a. Teori Pelanggaran Kontrak Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan
malpraktik adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara
hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bila
mana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan
dengan pasien.
b. Teori Perbuatan Yang Disengaja Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai
dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktik adalah kesalahan
yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik
mengalami cedera (asssult and battery)
c. Teori Kelalaian Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah
kelalaian (negligence).
Kelalaian
yang
dikategorikan dalam malpraktik ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian
yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata).
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan
nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
4
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi
yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti
melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi
prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error
(mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian
harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian,
sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error
yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah
satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang
paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak
sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki
kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa
pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan
yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan
sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi
orang lain.
Dokter yang melakukan praktik kedokteran adalah dalam rangka melaksanakan hak dan
kewajiban dalam suatu hubungan hukum dokter pasien. Yang dimaksud dengan hubungan
hukum (rechtsbetrekking) adalah hubungan antardua subjek hukum atau lebih, atau antara
subjek hukum dan objek hukum yang berlaku di bawah kekuasaan hukum, atau diatur/ada
dalam hukum dan mempunyai akibat hukum. Jelasnya, hubungan hukum ada 3 kategori, yaitu:
13
a) Hubungan hukum antar dua subjek hukum orang dengan subjek hukum orang, misalnya
hubungan hukum dokter-pasien
b) Hubungan hukum antara subjek hukum orang dengan subjek hukum badan, misalnya
antara pasien dengan rumah sakit; dan
c) Hubungan hukum antara subjek hukum orang maupun badan dengan objek hukum benda
berupa hak kebendaan.
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) dalam transaksi terapeutik, baik oleh dokter maupun tenaga kesehatan
lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onreghmatige daad), sehingga menimbulkan
kerugian kepada pasien.
Ingkar janji atau wanprestasi ini diatur dalam Pasal 1234, Pasal 1239, Pasal 1243 dan Pasal
1320 KUH Perdata. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, disebutkan bahwa: Perikatan ditujukan
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Kemudian Pasal 1239 KUHPerdata mengatur pula mengenai akibat hukum bagi pihak yang
tidak melaksanakan isi dari perikatan yang terjadi. Hal ini sebagaimana ditegaskan bahwa:
Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang
tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan
penggantian biaya, rugi dan bunga.
keempat bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta
benda orang lain.
Masalah tanggungjawab dokter dalam kasus malpraktik medik, ada relevansi dengan
kedua, ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit juga dapat
bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya)
Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul
perbuatannya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain dapat dikatakan
bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat
dikatakan bahwa seorang tahu betul hal adanya keadaan-keadaan yang menyebabkan
kemungkinan akibat itu akan terjadi.
Kesalahan bertindak ini terjadi karena kurangnya ketelitian dokter di dalam melakukan
observasi terhadap pasien sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan bersama. Ketidaktelitian
ini merupakan tindakan yang masuk di dalam kategori tindakan melawan hukum hukum,
sehingga menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh pasien.
F. Perlindungan Hukum Korban Malpraktik Dokter
Doktrin adalah pendapat para ahli hukum dan landasan penggunaan doktrin yaitu asas
hukum yang mengedepankan communis opinio doctorum atau seseorang tidak boleh
menyimpang dari pendapat umum para sarjana atau ahli hukum. Doktrin yang berlaku di dalam
ilmu kesehatan yaitu Res Ipsa Loquitur artinya doktrin yang memihak pada korban. Pembuktian
dalam hukum acara perdata yang menentukan bahwa pihak korban dari suatu perbuatan melawan
hukum dalam bentuk kelalaian tidak perlu membuktikan adanya unsur kelalaian tersebut, cukup
menunjukkan faktanya. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan.
Unforseeable risk
Tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis. Suatu peristiwa buruk
yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis
yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian
malpraktik atau kelalaian medik. An injury occurring in the course of medical treatment which
could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the
treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability.
Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Dengan demikian adverse events dapat terjadi
sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan dapat pula disebabkan oleh error. Adverse
events akibat errors dianggap dapat dicegah (preventable). Apabila preventable adverse events
tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia memenuhi semua unsur kelalaian medis menurut
hukum, sehingga disebut sebagai negligent adverse events.
Anafilaksis Syok
Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi alergi obat. Meskipun terdapat
berbagai definisi mengenai anafilaksis, tetapi umumnya para pakar sepakat bahwa anafikasis
merupakan keadaan
segera setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus lainnya. Gejala yang timbul
melalui rekasi alergen dan atibodi yang disebut sebagai reaksi anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada
pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obatobat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini
diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat
organ tubuh menetap.5
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tandatanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi
jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas
parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas
dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau
a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Segera berikan adrenalin 0.30.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg
untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai
keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 24
ug/menit. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi atau diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 23 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam
untuk observasi
Kesimpulan
Pada skenario 6 ini, pada kasus terjadinya reaksi anafilaksis akibat penyuntikan dokter
tidak dapat disalahkan karena merupakan unforeseeable risk. Tetapi dokter dipersalahkan karena
setelah reaksi anafilaksis terjadi ia tidak memberikan penanganan yang seharusnya ia berikan
sesuai dengan standar penanganan pasien anafilaksis, padahal seharusnya seorang dokter dapat
memberikan penanganan sesuai prosedur pada pasien anafilaksis dan dikategorikan sebagai
tindakan malpraktek.
Daftar Pustaka
1. Guwandi, 2007, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
2. Bawono, Bambang Tri. 2011. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan
Malpraktik Profesi Medis. Jurnal Hukum Unissula
3. Danny Wiradharma. 1999. Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta,
EGC.
4. Dr. Anny Isfanyarie Sp. An. SH, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum
Pidana, Prestasi Pustaka. Jakarta. hal. 31.
5. Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 4th Ed. Jilid I. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
p: 190-193
10