><
Ndoro Kakung
Ups. Itu bukan kata saya, loh. Itu kata seorang teman perempuan saya. Lajang.
Umurnya thirty something. Smart and charming.
Kami berjumpa di sebuah kedai kopi di jantung Ibu Kota pada sebuah malam.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, wetan-kulon, topik pembicaraan kami sampai ke
tema-tema kosmopolitan. Salah satunya ya itu tadi, soal relasi Mars dan Venus.
Awalnya saya bertanya kenapa dia masih lajang. Padahal dengan semua yang
diraih dan dimilikinya sekarang, mestinya dia ndak susah cari pasangan.
Eh, dia malah nyerocos, ngerasani kaum adam yang katanya kebanyakan
nggombal doang.
Laki-laki zaman sekarang itu cuma mau nyari duit dan seks dari perempuan,
Mas,” katanya.
Ups. Tuduhan yang gegabah pikir saya. Tapi, saya biarkan dia curhat dulu. Saya
malah jadi penasaran ingin tahu pandangannya lebih jauh.
“Ah, Mas ini kura-kura dalam perahu. Mana ada lelaki yang mau ndeketin
perempuan hanya untuk ngobrol, diskusi, atau apa itu kata sampean,
pencerahan? Ndak ada Mas. Itu cuma ada di negeri dongeng. Ngimpi, Mas. Laki-
laki itu ya maunya cuma ini, ini, atau ini,” katanya sambil menunjuk dompetnya
yang bersimbol huruf LV, dada, dan bagian bawah perutnya.
Saya melengos pura-pura ndak lihat. Untung kedai itu agak remang-remang
sehingga wajah saya yang mungkin sudah berubah ungu ndak kelihatan. Tiba-tiba
saya ingat seleb-seleb perempuan yang nikah, cerai, nikah lagi, cerai lagi itu.
“Ah, ini pasti gara-gara sampean sering dikecewakan laki-laki yo, Jeng?”
“Padahal kan ndak semua laki-laki gombal, Jeng,” saya menyoba menetralisir
pesonanya.
“Memang, Mas. Saya tahu itu. Tapi, laki-laki yang baik itu cepet laku, ya seperti
sampean ini.”
Halah. Modyar aku.
“Mas kan tahu, jumlah perempuan itu lebih banyak dari laki-laki. Untuk nyari satu
saja, kompetisinya ketat, Mas. Kami ini, para femina, harus berebut sesuatu yang
jumlahnya kian menipis. Siapa cepat, dia dapat. Yang telat silakan gigit jari. Saya
termasuk yang sampai sekarang gigit jari,” katanya.
“Ealah sampean kok ndak percaya sih, Mas. Dan, ini yang menarik Mas, saya kok
biasanya ngerasa cocok, nyambung gitu, kalau bertemu pria-pria yang umurnya
jauh di atas saya. Yang sebaya itu ndak ada yang mutu. Kebanyakan ndak tahu
apa yang mereka mau. Repot, kan? Dia aja ndak tahu apa yang dia mau, apalagi
saya. Males, Mas.
Saya pernah nyoba deket-deket dengan cowok sepantaran, eh lah kok malah jadi
baby sitting. Aku ogah, Mas. Aku kan pengennya laki-laki yang bisa ngemong,
bukan sebaliknya. Saya kan juga pengen disayang-sayang, Mas. Dipeluk-peluk.
Dimanja gitu …, ” katanya sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang
putih.
“Pantes, sampean banyak bergaul dengan bapak-bapak dan om-om itu ya, Jeng?”
Dia ngakak. Bibirnya yang merah menyeruput gelas berisi jus jeruk di meja. Bekas
lipstik terlihat menempel di sedotan plastik itu. Saya tergoda ingin mengelapnya.
Saya mengalihkan perhatian dengan membaca majalah. Lima menit kemudian dia
meletakkan telepon. Matanya terlihat basah. Saya ndak perlu bertanya apa yang
terjadi.”
“Pulang yuk, Mas. Tolong anterin saya cari taksi dong,” ajaknya tiba-tiba sambil
ringkes-ringkes tas, mematikan Marlboro mentol hijau kesepuluh yang baru
setengah diisapnya.
Saya tersenyum dan berdiri. Sayup-sayup saya mendengar suara The Beatles dari
speaker di atas meja kami, “The long and winding road … “
PRADA
Bayangkanlah Anne Hathaway dibungkus Prada. Kulit langsat. Hidung mbangir.
Bibir merah merekah. Dada padat.
Malam itu saya akhirnya mengantarkan sosok yang dalam imaji saya adalah Anne
Hathaway mencari taksi beberapa meter dari kedai kopi tempat kami bertemu.
Jalanan sepi. Sedikit gelap. Kawan perempuan saya itu berkali-kali melirik arloji
Bvlgari yang melingkar di tangannya. Sesekali dia menarik dan menengok
handphone Nokia merah hati dari tas tangan Prada maroon, barangkali ada SMS
yang masuk tapi tak terdengar bunyinya.
“Ah, enggak Mas,” jawabnya singkat. Tapi saya tahu matanya sangat gelisah.
Setelah hampir setengah jam, yang kami tunggu tak lewat juga. Saya
menawarkan diri mengantarnya pulang naik gerobak butut hitam itu.
“Ndak keberatan kan, Jeng. Lagi pula ini sudah malam. Sampean kelihatan
capek.”
Sejenak dia terlihat agak ragu. Matanya melirik arloji lagi. “Boleh deh, Mas. Tapi,
ndak apa-apa kan, Mas? Nanti simboke nyari-nyari?”
“Masih di tempat yang dulu, kan?” saya memastikan arah ketika kami sudah
bergerak keluar tempat parkir.
Ia mengangguk.
Lagi-lagi ia tersenyum. “Mau pindah ke mana lagi, Mas? Saya nyaman di sana.
Ndak ada tetangga yang usil, resek. Lagian deket dari mana-mana.”
Saya masih ingat betul apartemennya di lantai 9 itu. Tipe studio. Dindingnya hijau
mint. Desain interior minimalis. Tak banyak perabot di dalamnya. Ada satu sofa
kulit besar di tengah, TV Sony plasma layar lebar, satu set stereo Nakamichi,
poster-poster film ukuran raksasa di tembok kiri dan kanan.
Saya terbayang ke masa-masa ketika kami dulu sering melewatkan waktu berdua
di sofa itu, berdua saja, ditemani botol-botol Foster’s dingin dan kacang Bali
kesukaannya. Tak banyak yang kami lakukan selain nonton TV, memutar DVD,
atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Ia perempuan betah bercerita apa saja,
bahkan sampai menjelang subuh.
“Kapan terakhir ke apartemenku ya, Mas? Rasanya tiga, empat, atau lima tahun
ya?” ia tiba-tiba bertanya dan membuyarkan lamunan saya.
“Ndak ada yang berubah kok, Mas. Masih sama semua seperti ketika kamu
terakhir pergi pagi-pagi dan ndak pernah menelepon lagi.”
Ups. Saya merasa seperti ada sebuah upper cut menghajar ulu hati.
“Lumayan, Mas. Kebetulan Minggu lalu ada yang ngajakin ke Milan. Jadi ya gitu
deh, belanja, Mas. Saya beli baju, belt, sepatu, dan tas,”
“Ah si Mas, masih inget aja favoritku,” katanya sambil mencubit lengan.
“Jeles yo, Mas? Don’t be. You are still the best, Mas.”
Dia ngakak. Lampu merah menyala. Saya ngerem pelan-pelan. Tiba-tiba bibirnya
yang hangat itu menyentuh pipi kiri saya. Begitu mendadak. Saya kaget. Lirak-
lirik spion kiri-kanan dan belakang, menengok keluar.
“Kenapa Mas? Takut? Atau ada yang berubah, Mas?” tanyanya sambil tersenyum.
Kali ini saya merasa ada sebuah jab menghantam dagu. Telak!
Dia nyengir.
“For the old time sake, Mas. Untuk semua yang pernah Mas berikan. Juga
pertemanan ini.”
“Halah. Old time? Dulu itu cuma abadi di masa lalu, Jeng. But thanks anyway.”
“Apik, Jeng. Apik. Saya kan seperti sopir bus Transjakarta itu. Setiap hari
melakukan pekerjaan yang sama, melewati rute yang sudah ditentukan, jam yang
telah teratur, penumpangnya saja yang beda-beda.”
Dia ngakak. “I like the way you describe it. Ah, kamyu ndak berubah, Mas. Kalau
kamu sopir, jadi siapa kernet dan penumpangnya?”
“Hei, kamu ndak pernah naik busway ya, Jeng? Ndak ada kernet di sana. Yang ada
penumpang, orang yang kita temui setiap hari. Berganti-ganti. Dengan kelakuan
macem-macem. Ada yang baik, ada yang aneh.”
“Wah, analogi kamu menarik, Mas. Itu yang membuat kamu selalu berbeda.
That’s why I like you so much since we first met.”
“Haiyah, ngrayu.”
Saya acak-acak rambutnya yang hitam sebahu itu. Ia ngelendot manja di bahu kiri
saya. Ah ….
Untung, atau sialnya, apartemennya tak jauh. Rasanya baru semenit kami
berjalan, tiba-tiba sudah sampai di gerbang. Satpamnya membuka portal dan
memberi hormat. Wajahnya menunjukkan keheranan, seperti mau mengatakan,
“Wah, pa kabar, Mas. Lama tak ke sini.” Saya melambaikan tangan kepadanya.
Ia tak bereaksi. Kepalanya masih menyandar di bahu kiri saya. Matanya setengah
terpejam.
“Mas, stay with me, please,” pintanya pelan.
Modyar, aku!
RUANG
Saya pernah membaca bait-bait itu di buku harian kawan perempuan saya itu,
bertahun yang lalu. Ia memamerkannya ketika kami sama-sama sedang
keranjingan belajar menulis puisi.
Saya lupa kenapa waktu itu kami seperti itu. Mungkin gara-gara kami baru saja
menyaksikan sebuah pertunjukkan baca puisi di Taman Ismail Marzuki. Atau
barangkali setelah kami menonton DVD lawas, Dead Poets Society untuk yang
kesepuluh kalinya. Entah. Saya tak ingat.
Malam itu, anehnya, saya tiba-tiba ingat puisi itu ketika dia meminta saya
menemaninya tinggal sejenak di apartemennya. Saya tahu hatinya sedang
terluka. Karena itu, ia pasti membutuhkan seseorang untuk berbincang ― seperti
biasanya dulu. Tapi, menuruti permintaanya cuma akan membuat persoalan kian
rumit. Saya ndak mau memanfaatkan kesempatan.
“Shit! Ayo, Mas. Kita jalan lagi aja,” ajaknya sambil mengangkat kepalanya yang
dari tadi nyender di bahu kiri saya.
Jalan? Oke. Tanpa bertanya, saya masukkan gigi transmisi dan menginjak pedal
gas perlahan. Fiuh. Saya menghela napas lega terlepas dari dilema itu.
Di pintu depan, satpam yang tadi membuka portal terlihat bingung ketika kami
ternyata keluar lagi tanpa sempat turun dari mobil. Saya tahu dari wajahnya yang
nyengir wagu. Ah, biarlah. Itu urusan dia, bukan urusan saya.
“Ke mana sajalah. Terserah, Mas. Pokoknya pergi dari sini. Cepetan, Mas.”
Pergi? Wah, gawat nih, saya membatin. Terus terang mata saya mulai tak bisa
diajak kompromi. Menyetir dalam keadaan mengantuk itu berbahaya. Dua kali
saya pernah kecelakaan gara-gara tertidur sewaktu menyopir.
Last time, saya menghajar pantat truk yang sedang berhenti di dekat Slipi Jaya,
lima tahun yang lalu. Hidung mobil ringsek. Untunglah safety belt bekerja dengan
semestinya sehingga saya terhindar dari cedera yang lebih serius.
Malam ini saya ndak mau mengulang insiden itu. Apalagi dengan seorang
perempuan di kursi sebelah ini. Bisa panjang urusannya.
Tapi, bagaimana saya bisa menolak? Pesonanya begitu kuat. Saya bahkan
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melupakannya. Itu pun dengan susah
payah. Berjuang melawan godaan untuk meneleponnya, terutama di saat-saat
saya tengah meranggas seperti pepohonan di musim kemarau, sungguh
melelahkan.
“Eh, gimana kalau saya antar ke rumah mami aja, Jeng?” saya mencoba
menawar. Ibunya memang tinggal di pinggir Jakarta. Tapi, daripada berjalan tak
tentu arah, mengantar ke rumah ibunya jelas pilihan terbaik saat ini.
Dia terlihat berpikir sebentar. “Bolehlah, Mas. Masih ingat jalan ke sana, kan?”
Saya mengangguk dan segera menghela kencang si hitam membelah jalanan
Jakarta yang menyepi menuju ke selatan.
Di dalam mobil, ditikam sepisau sepi, kami tenggelam dalam lamunan masing-
masing. Tapi, tak lama. Sebentar kemudian, saya lihat dia
mengambil handphone dan menghubungi seseorang. Terdengar nada sambung …
“Halo Mas, aku belum sampai di apartemen nih. Masih ketemu klien. Belum tahu
sampai jam berapa. Malam ini Mas nggak usah dateng deh. Besok aja. Iya … iya
… Nggak, nggak, nggak apa-apa kok … Oke, Mas. CU. Miss you too.”
“Laki-laki kok suka gitu ya, Mas,” tiba-tiba ia bicara begitu saja.
“Maksudnya?”
“Ya gitu deh. Suka ngotot kalau punya lagi ada mau. Padahal kan kita kadang lagi
nggak mood. Nggak sreg ketemu. Tapi, dianya keukeuh. Mas suka ngerasa gitu
nggak?”
“Ya kadang-kadang,” jawab saya sekenanya sambil menyalakan radio. Ah, ada
Noe Letto. Suaranya yang jernih mengalun lirih …
Dia membungkuk, mencari-cari sesuatu di panel radio butut itu. “Kalau buat
ngencengin suara yang mana sih, Mas?”
“Aku gedein ya. Soalnya aku seneng lagu ini. Kamu suka nggak, Mas?’
“Yah, gitu deh. Kenapa kamu suka?”
“Karena aku jadi inget kamu kalau denger lagu ini, Mas.”
Gubraks!
“Eh, kalau kamu apa, Mas? Lagu apa yang mengingatkanmu padaku?”
Ia ngakak.
“Ih, boong banget. Hehehe … Itu mestinya lagu ‘kebangsaan’ pacar-pacarku dulu
yang selalu kuduakan dan akhirnya kutinggal pergi. Kamu kan bukan pacarku
Mas, kamu lebih dari itu, dan yang ninggalin aku tuh kamu. Bukan sebaliknya.”
Ups. Wrong answer. Padahal saya tadi jawab asal-asalan. Lah kok tafsirnya lain.
Tapi, sudah telanjur. Pantang mundur. Jadi saya cuma mringis.
“Kenapa kamu jadi inget saya setiap mendengar lagu ini, Jeng?”
Ah, suaranya masih semerdu dulu. Suara yang pernah menyihir saya selama
bertahun-tahun. Suaranya itu pula yang sering menggoda saya di saat-saat saya
meranggas di musim panas. Rasanya sudah berabad-abad saya tak
mendengarnya bernyanyi.
“Aku juga suka meremin mata saat kangen dan pengen ketemu kamu, Mas.
Sayang, aku cuma bisa menemuimu di ruang rindu …”
Saya pura-pura tak mendengar. Mata saya tengah mencari-cari rumah dua tingkat
bercat putih dan berpagar besi hitam di perumahan elit itu. Ah itu dia.
“Kita sudah sampai, Jeng. Rumah mami masih yang ini, kan?”
“Oh iya. Ah, senengnya diantar si Mas....” katanya dengan manja. “Mau turun
nggak, Mas?”
“Nggak usahlah, Jeng. Paling mami juga dah tidur. Ndak enak membangunkan dia
hanya untuk pamit.”
“Ya udah, tapi lain kali kamu harus ketemu mami lo, Mas. Dia masih sering
nanyain kamu tuh. Kamu kan masih punya utang. Inget nggak? Kamu dulu pernah
janji mau bawain CD Billie Holiday buat mami. Tapi, Mas nggak pernah dateng
lagi. Kalau besok dia tahu malam ini kamu anterin aku, mami pasti marah karena
nggak dibangunin.”
“Wadoh, iya saya lupa. Eh, nganu … bilang saja saya buru-buru. Udah malem. Jadi
ndak sempet pamit. Lain kali deh, saya janji.”
“Bener ya. Soalnya kasihan mami. Dia sering kesepian sejak papi nggak ada.
Apalagi kamu juga nggak pernah ke sini lagi buat ngajak ngobrol mami. Padahal
cuma kamu Mas yang bisa membuat mami tertawa dan nggak sedih lagi karena
ingat papi.”
“Iya, iya … kapan-kapan saya pasti ke sini lagi. Saya juga kangen lasagna buatan
mami kok. Enak banget soalnya, kejunya lebih nendang dibanding bikinan The
Spaghetti House.”
“Halah, gombal. Kamu tuh ya Mas, ndak berubah dari dulu. Tapi, gombalmu itu
juga Mas, yang bikin mami suka kamu. Mungkin karena mami nggak punya anak
laki-laki.”
“I know,” jawab saya sambil nyengir. “Ya sudah, sana masuk. I call you
tomorrow.”
“Iya deh, Mas. Thanks ya,” katanya sambil tersenyum, senyum paling
mendebarkan hati saya sejak bertemu tadi sore.
Ia memeluk dan mencium pipi saya sekilas, lalu keluar. Sekilas saya melihat
satpam penjaga rumah maminya itu siap membukakan pintu pagar.
Malam itu, setelah saya meninggalkannya di pagar depan rumah ibunya, saya
merasa seperti baru saja memindahkan Gunung Merapi ke Laut Jawa. Saya hirup
napas dalam-dalam, lalu membuangnya pelan-pelan. Di radio, Freddie Mercury
bersenandung …
Saya mendapati rumah dalam keadaan gelap. Anak-anak dan ibunya pasti sudah
dari tadi terlelap. Saya lirik arloji. Hm, sudah hampir pagi. Pelan-pelan saya
membuka garasi dan pintu rumah biar ndak membuat mereka terbangun.
Benar saja. Di dalam kamar, saya lihat anak-anak sudah tidur dengan gaya
masing-masing. Si sulung, seperti biasa, bergaya bebas. Ranjangnya berantakan.
Bantalnya di mana, gulingnya ke mana, dia sendiri telentang ndak keruan.
Si bungsu, juga seperti biasanya, tidur dalam posisi yang tak pernah berubah,
nyaris tak bergerak. Saya menduga ini pasti turunan ibunya. Hanya perutnya
yang naik turun saja yang menunjukkan bahwa dia masih bernapas. Mungkin
memang begitu beda anak perempuan dan anak laki-laki kalau tidur.
Tapi, bagaimana pun gayanya, saya selalu merasa bagaikan mandi air dingin di
siang yang panas setiap kali melihat mereka tidur. Benar-benar menyegarkan.
Mungkin benar nasihat ayah dan ibu saya dulu. “Menikahlah, Nak. Segeralah
punya anak. Anak-anak itu di atas segalanya,” begitu selalu mereka memberi
wejangan.
Ah, saya jadi ingat Diajeng, teman perempuan saya itu. Apakah dia juga sudah
tidur? Nyenyakkah tidurnya setelah saya tinggal pulang?
Dulu memang ada masa-masanya ketika dia sulit tidur. Dan, kalau sudah seperti
itu, biasanya saya harus siap-siap jadi korban, menjadi tempat sampah buat
semua uneg-uneg yang ada di kepalanya, sekaligus teman menjelang ia masuk
ke gerbang mimpi.
Suatu malam, misalnya, dia mengirim SMS berisi pertanyaan semacam ini, “Mas,
kenapa sih dulu menikah?”
Saya yang masih di tengah jalan, dalam keadaan letih, lemah, dan lesu setelah
seharian melayani perintah ndoro-ndoro juragan di pabrik, tentu saja setengah
ogah-ogahan melayani pertanyaan itu. Siapa juga yang masih cukup energi buat
menjawab pertanyaan “kelas berat” macam itu. Memangnya saya masih ingat
alasan menikah?
Tapi, saya toh ndak tega juga untuk tak segera membalas SMS itu. Masalahnya,
apa yang harus saya tulis?
Saya diam dan tak membalasnya. Eh, pesan pendeknya masuk lagi. “Jadi kenapa,
Mas? Answer it, please.”
Halah, ngeyel.
Saya pun menjawab sekenanya. “Wah, saya lupa, Jeng. Sudah lama sih.”
Apa yang saya dapat? Handphone saya langsung berdering. Saya lihat layar
monitornya, ehm, “Diajeng calling”.
“Halah, pakai nanya. Si Mas nggak asyik sih. Lah wong ditanya kok jawabnya asal-
asalan … Bla-bla … “
Begitulah dia, selalu bertanya apa saja. Tapi, begitu dijawab asal-asalan, pasti
langsung menelepon. Kapan saja, di mana saja. Kadang-kadang memang
merepotkan, tapi saya susah menolaknya. Soalnya saya ndak selalu punya alasan
tepat.
Apalagi dia bukan tipe perempuan yang mudah menyerah begitu saja. Selalu saja
ada celah buat bertanya. Kalau jawaban saya ndak memuaskan, pasti dia akan
kejar terus. Kadang saya heran, kok ya ada perempuan yang selalu penasaran,
bertanya-tanya, ingin tahu banyak hal?
Pernah saya bertanya mengapa dia sering menanyakan ini dan itu. Eh, dia
menjawab, “Karena aku ndak tahu dan aku tahu Mas punya jawabannya.”
Gemblung! Punya hobi kok bertanya. Apa ndak ada pekerjaan lain? Dia cuma
nyengir, memamerkan wajahnya yang polos.
Tapi, dari situlah saya kemudian tahu bahwa dia tipe orang yang selalu ingin
tahu. Seseorang yang selalu bertanya-tanya ― seseorang yang gelisah. Dan, dia
butuh seseorang yang bisa diajak ngomong, minimal menenangkan
kegelisahannya.
Kali lain dia pernah bertanya, dan lagi-lagi membuat saya pusing memikirkan
jawabannya. Misalnya dia bertanya begini, “Kenapa sih Mas, kamu ndak mau
meninggalkan Mbakyu dan menikahi aku saja? Memangnya dia bisa membuatmu
tertawa … seperti yang selalu kulakukan?”
“Mungkin dia memang jarang membuat saya tertawa, tapi dia tak pernah
membuat saya menangis, Jeng,” jawab saya setengah jengkel, setengah males,
sedikit ketus.
Skak mat. Tampaknya dia menyadari kesalahannya. Sejak itu dia tak pernah
bertanya-tanya lagi tentang istri saya, apalagi membanding-bandingkan dengan
dirinya. Tapi hobinya mengajak saya diskusi ndak pernah berhenti, malah kian
menjadi.
Well, suka ndak suka, kadang-kadang saya memang menikmati acara ngobrol
dengannya. Nyaris selalu ada waktu buat dia. Kapan saja. Di mana saja.
Saya merasa mendapatkan sparing partner yang menyenangkan. It’s about
sharing. It’s about being a man.
Pertanyaan itu baru terjawab kemudian ketika akhirnya saya bertemu ibunya di
rumahnya yang asri, beberapa tahun silam.
“Mam, ini kenalin si Mas, temen baruku. Mami pasti suka, deh. Orangnya asyik lo,
Mam,” begitu dia memperkenalkan saya kepada ibunya sambil menarik tangan
saya.
Saya jengah dan misuh-misuh dalam hati, “Asyik dari Hong Kong.”
Ibunya berumur hampir enam puluh waktu itu. Seorang perempuan Jawa dari
Solo. Tapi, sudah lama sekali meninggalkan kampung halamannya karena
mengikuti suaminya, seorang pengusaha macam-macam, yang kerap berpindah-
pindah kota.
Paras maminya mengingatkan saya pada Citra Dewi, bintang film Tiga Dara.
Meski sudah memasuki usia lanjut, saya berani bertaruh, waktu muda dulu ibunya
pasti secantik putri-putri keraton itu. Pembawaannya lemah lembut, hangat,
ramah, dan sabar. Dan, ini yang penting, maminya pintar memasak. Jari-jari
ajaibnya mampu menyulap apa saja menjadi masakan yang menggoyang lidah.
Setiap kali saya datang, mami menyuguhkan masakan baru.
Ia sering mengajak saya berbicara dalam bahasa Jawa kromo inggil ― sesuatu
yang kadang membuat saya malu karena ndak mampu mengimbanginya. Bahasa
Jawa saya belepotan. Akhirnya, supaya ndak terlalu kelihatan ngawur dan wagu,
saya sengaja memakai bahasa Indonesia. Netral dan aman.
Yang membuat saya heran, ibunya suka musik jazz. Koleksinya CD dan piringan
hitamnya lumayan banyak, rapi tersusun di sebuah lemari besar di ruang
keluarga. Saya sampai terperangah dibuatnya. Dari swing sampai acid jazz. Dari
Glenn Miller Big Band hingga Fourplay. Dari Duke Ellington sampai Ella Fitzgerald.
Lengkap deh, pokoknya.
Kalau sudah diajak ngobrol soal jazz di pinggir kolam renang berukuran Olimpiade
di bagian belakang rumahnya, wah bisa-bisa sehari semalam pun ndak cukup.
Maminya itu hapal betul album-album jazz, nama-nama musisinya, termasuk
kehidupan pribadi, juga gosip-gosip mereka.
Tapi air cucuran atap rupanya tak jatuh ke pelimbahan. Kedua anak
perempuannya, terutama Diajeng, si bungsu itu, sama sekali tak suka jazz. “Ndak
mudeng,” katanya. Dia lebih suka pop, yang manis-manis, juga para penyanyi Idol
itu. Belakangan ia tergila-gila pada Beyonce.
Dari maminya jugalah sedikit demi sedikit saya tahu perihal keluarga dan sosok
Diajeng. Dia bungsu dari dua bersaudara perempuan semua. Kakaknya dokter
bedah tulang yang bermukim di Jerman bersama suaminya yang dokter juga.
Saya pernah bertemu mereka sekali di bandar udara Frankfurt ketika kebetulan
mendapat tugas kantor ke Swedia. Mami menitipkan sambal teri kering buatan
sendiri untuk anak sulungnya itu.
Saya sempat bingung mesti memanggil kakaknya itu apa, mbak atau dek?
Usianya jelas di bawah saya, tapi saya kan temen adeknya. Akhirnya saya panggil
namanya saja. Toh dia oke-oke saja.
Papinya dari Italia, tapi kemudian menjadi warga negara Indonesia setelah
menikah dengan maminya. Waktu Diajeng masih kanak-kanak dulu, papinya
selalu menyebutnya faccia d’angelo. Wajah malaikat. Julukan itu membuat saya
teringat tokoh Lucia Carmine dalam novel The Sands of Time karya Sidney
Sheldon.
Papinya sangat sayang padanya. Semua yang dia inginkan, sang ayah
memenuhinya. Berapa pun ongkosnya, bagaimana pun sulitnya. Dia tak pernah
ditolak.
Hubungan mereka sangat dekat. Ke mana pun sang ayah pergi, hal pertama yang
dilakukan begitu sampai di hotel adalah menelepon anak bungsunya. Begitu juga
sebaliknya.
Saya ndak tahu mengapa ibunya merasa cocok dengan saya dan mau
menceritakan semua tentang keluarganya, bahkan meski saya tak bertanya.
Mungkin karena saya dari Yogya, mungkin karena saya juga berbahasa Jawa, bisa
jadi karena dia ingin menjodohkan saya dengan anak bungsunya, barangkali oleh
sebab lain. Saya ndak tahu dan ndak mau menduga-duga.
Sepekan saja saya ndak ke rumahnya, dia pasti menyuruh anaknya menelepon
atau mengirim SMS untuk meminta saya ke datang menjenguk. Alasannya
macam-macam, karena mau menunjukkan CD jazz koleksi barunya kek, baru saja
memasak lasagna kesukaan saya kek, atau lantaran mau ngajak ngobrol saja.
Itu artinya saya harus ke rumah ibunya di pinggir selatan Jakarta itu, mengarungi
kemacetan. Terus terang saya tak selalu mampu menolak permintaannya untuk
berkunjung. Selain karena segan, keluarga itu memang membuat saya nyaman.
Setiap kali ke datang, rasanya saya pulang ke rumah.
Lama-lama saya merasa tempat tinggal mereka adalah rumah ketiga saya,
setelah rumah orangtua saya di Yogya dan rumah yang saya tempati bersama
anak dan istri sekarang.
Sampai suatu ketika akhirnya teman perempuan saya itu punya apartemen
sendiri. Dan segalanya tak pernah sama lagi …
DAUN
Daun-daun kenangan berdesah sedih dalam gelap ― Longfellow.
Saya bangun ketika rumah sudah sepi. Anak-anak pasti sudah berangkat ke
sekolah diantar ibunya sejam yang lalu.
Angin merayap pelan melalui jendela mengelus badan. Saya menengok keluar
dan melihat daun-daun rontok satu-satu di halaman. Kemarau tampaknya
sebentar lagi datang.
Saya memang suka kopi. Rasanya ada yang kurang jika bangun pagi dan tak
menyesap cairan hitam berkafein itu. Biasanya saya menikmatinya menjelang
mandi. Baru setelah itu berangkat ke pabrik.
Tapi, saya ndak pernah minum kopi lebih dari dua cangkir sehari. Saya pernah
baca di sebuah majalah kesehatan, minum kopi terlalu banyak tak baik buat
perut, juga kesehatan. Saya kira segala yang “terlalu” memang tak pernah baik.
Nah, perempuan berwajah malaikat itu bukan hanya suka, ia keranjingan kopi. Ia
bisa minum bergelas-gelas kopi dalam sehari hanya untuk menemani acara
mengisap Marlboro mentolnya itu. Saya ingat, dia pernah mengatakan sesuatu
tentang kopi dan percakapan.
Ini pertemuan kami yang kesekian di tempat yang sama ― tempat favoritnya.
Hampir semua pelayannya hapal kami berdua, termasuk apa yang selalu kami
pesan. Saya pernah mengusulkan kedai lain. Ia menolak.
“Enakan di sini, Mas. Tempatnya cozy,” katanya sambil memeluk pinggang saya
dengan manja.
Kalau sudah begini, saya biasanya nyerah. Percuma pula berdebat, ngotot
membawanya ke tempat lain dengan risiko bertemu kawan-kawan saya di pabrik
yang terkenal sebagai petualang-petualang kedai di Jakarta itu.
“Ndak heran kalau komunikasi itu begitu menggairahkan seperti kopi hitam, lah
wong kamu aja maunya ngajak ngobrol saya terus ya, Jeng.”
Ia tergelak. “Ah, si Mas … “
“Sebetulnya bukan kopi yang membuat aku bergairah, tapi kamu, Mas.”
Halah. “Saya ini apalah, Jeng. Lah wong ndesit, kuper, pemalu, kayak gini kok
menggairahkan. Kamu mengada-ada, ah … “
Lagi-lagi ia tergelak. “Jangan minder gitu ah, Mas. Kamu itu ndak sadar ya? Atau
kamu sebetulnya pura-pura aja? Kamu tuh punya sesuatu yang nggak setiap laki-
laki punya. Kamu punya sesuatu yang dibutuhkan perempuan. Kata-kata yang
menyejukkan dan hati yang meneduhkan. Kamu sabar, mau mendengarkan
keluhan. Perempuan butuh laki-laki seperti itu, Mas. Aku berani taruhan, pacarmu
dulu pasti banyak ya, Mas?”
“Banyak dari Hong Kong? Aku baru punya pacar setelah kerja di Jakarta. Pacar
satu-satunya itu ya yang sekarang jadi istriku. Aku pemalu, ndak punya
keberanian mendekati gadis-gadis. Apalagi meminangnya … ”
“Huuu … boong banget. Dengan pesona dan gombalmu yang kek gini, kamu pasti
gampang menaklukan setiap perempuan yang kesepian di Jakarta ini, Mas,”
katanya sambil mencolek ujung hidung saya dengan jarinya yang lentik.
“Eh, saya kasih tahu ya, Jeng. Saya tuh bukan penakluk perempuan. Saya juga
bukan orang yang sengaja datang ke Jakarta buat nyari perempuan. Saya cuma
mau kerja, nyari duit, biar saya bisa menghidupi keluarga. Biar saya bisa
menyisihkan sedikit uang untuk ibu di Yogya sana. Itu saja, Jeng.”
“Loh, loh, kok marah sih, Mas? Aku kan ndak bermaksud menyinggung egomu.
Maaf deh, Mas,” katanya dengan wajah memelas.
Saya lihat ada setitik kristal bening di ujung matanya. Saya trenyuh, ndak tega.
“Kita jalan-jalan saja yuk, Jeng,” ajak saya untuk mengubah suasana.
Speaker di kedai itu memperdengarkan suara Phil Collins, One more night. Just
give me one more night …
Pagi itu, saya terkenang potongan-potongan hari yang pernah kami lalui bersama-
sama. Ada saat-saat yang menyenangkan, banyak pula yang mengesalkan.
Adegan-adegan itu berputar ulang dengan cepat seperti film dokumenter bikinan
Michael Moore.
Saya menduga dia belum bangun pagi ini di rumah maminya. Setelah
melewatkan reuni pertama kami sejak empat atau lima tahun yang lalu itu tadi
malam, ia pasti tidur panjang. Maminya pasti juga ndak tega membangunkan
anak bungsunya itu. Mami sosok yang terlalu baik, terlalu penuh pengertian.
Saya menimbang-nimbang apakah perlu meneleponnya sekarang, sekadar
bertanya sudah bangun atau belum. Atau haruskah saya menelepon maminya
untuk minta maaf karena tadi malam tak sempat bertemu?
Dalam bimbang itulah, handphone saya berbunyi. Aha, sebuah kebetulan. Saya
lihat layar, Diajeng calling.
“Halo, Jeng … “
Ups. Mami? Rasanya sudah berabad yang lalu sejak terakhir saya mendengar
suaranya lewat telepon. Ada apa? Mendadak saya seperti kesetrum listrik ribuan
watt. Syaraf saya menegang. Peluh menitik satu-satu …
WAKTU
Kepada waktu yang mengapung antara ada dan tiada. Antara pagi, siang, dan
malam. Adakah luka yang terhapus?
Saya tergagap. “Eh, eng … baik … baik, Mam. Mami sendiri gimana kabarnya?
Saya kira tadi Diajeng yang menelepon.”
“Ah, dia sudah pergi dari tadi, Mas. Ndak tahu dijemput siapa tadi. Tapi, sebelum
pergi, dia sempat cerita. Katanya Mas yang mengantarnya semalam ya? Kok
Mami ndak dikasih tahu?
“Iya, Mam. Maaf. Tadi malam saya buru-buru. Lagi pula sudah terlalu malam.
Mami pasti sudah tidur.”
“Iya sih, Mami kecapekan sehabis pengajian di rumah tetangga. Tapi, lain kali
mampirlah ke rumah, Mas. Sudah lama Mami ndak lihat kamu. Nanti Mami
masakin deh makanan kesukaanmu. Sampean pengen apa, Mas? Lasagna?
Gudeg?”
“Ah, Mami. Gampang, Mam. Lain kali saya pasti mampir. Belakangan ini saya lagi
banyak kerjaan. Ndak sempat ke mana-mana. Siang jadi malam, malam jadi
siang. Ternyata susah cari duit di Jakarta ya, Mam.”
“Mami tahu kok, Mas. Mami juga lihat di TV, baca koran. Banyak berita seru. Mas
pasti sibuk.”
“Ah enggak, Mam. Biasa saja, Mam. Kerja rutin tiap hari. Eh, tapi Mam, ngomong-
omong gimana Mami bisa pakai telepon Diajeng? Katanya dia pergi?” tanya saya
mencoba mengalihkan perhatian Mami.
“Halah, Mas. Kayak kamu ndak tahu Diajengmu saja. Pelupanya kan dari dulu
ndak ilang-ilang. Dia bawa telepon yang satunya. Yang ini ada di tempat tidurnya.
Waktu Mami beresin kamarnya, Mami lihat telepon ini di bawah bantal. Gara-gara
dia cerita diantar Mas pulang, eh iseng-iseng Mami cari nomor teleponmu. Pasti
dia menyimpan. Eh, bener. Mami kehilangan nomormu. Sudah ganti ya, Mas?”
Saya merasa berdebar ketika mami menyebut “Diajengmu”. Tapi, buru-buru saya
menepis debaran itu.
“Iya, Mam. Telepon saya yang dulu hilang. Saya terus ganti nomor sekalian.”
“Oh, pantes. Setiap kali Mami telepon bunyinya tulalit. Ya sudah, Mas. Mami
sekarang sudah tahu nomor teleponmu. Lain kali kalau Mami butuh kamu, Mami
pasti telepon. Tadi Mami cuma mau nanya kamu soal Diajeng … “
“Ah, sudahlah Mas. Gadis zaman sekarang mungkin memang beda. Lain dari
zaman Mami muda dulu.”
“Maksud Mami?”
“Yah … begitulah, Mas. Wis ndak usah dipikir, Mas. Mungkin Mami yang mesti
tahu diri.”
Tapi, tunggu. Eh, kok sepertinya Mami terisak? Menahan tangis? Saya rapatkan
telepon ke telinga.
Hening lagi.
“Sudah lama saya ndak ketemu dia dan baru tadi malam kami jalan bareng lagi,
Mam. Teman-temannya yang dulu saya kenal pasti sudah berganti dan saya tak
mengenalnya lagi. Memangnya kenapa, Mam?”
“Belakangan ini Mami merasa ada yang aneh. Diajeng jarang pulang ke rumah
Mami. Dulu, meski dia tinggal di apartemen, setiap Sabtu pasti ke sini. Sekarang
ndak pernah lagi. Baru setelah Mami telepon, Diajeng mau pulang. Itu pun setelah
Mami pakai nangis-nangis. Maklumlah Mas, Mami kan sekarang sendirian. Mami
suka kesepian kalau Diajeng jarang ke sini.”
“Lah itu kan biasa, Mam. Diajeng kan memang suka begitu. Dari dulu senengnya
menclok sana, menclok sini. Tergantung hatinya. Hari ini di Jakarta, besok tahu-
tahu sudah di Bali. Besoknya lagi sudah di Singapura. Terus suka lupa kalau
masih ada Mami. Tapi, Mami ndak usah khawatir deh. Paling cuma sebentar dia
pergi.”
“Yang ini lain, Mas. Mami merasa ndak enak. Rasanya dia kumat lagi, Mas. Seperti
dulu.”
“Ya sudah gini aja Mam, nanti saya coba telepon dia. Siapa tahu dia ndak kenapa-
kenapa. Mungkin lagi ada janji dengan teman-temannya. Mami tenang saja, ndak
usah mikir apa-apa. Gimana, Mam?”
“Iyalah Mas, moga-moga ndak ada apa-apa. Tapi, bener ya Mas, tolongin Mami.
Cuma Mas yang bisa nolong.”
“Suwun, Mas.”
Ugh, lega rasanya. Tapi, kepala saya mendadak pening. Terlalu banyak beban
yang mesti saya tanggung. Terlalu banyak yang mesti saya simpan di depan
Mami. Dan, susah benar rasanya berterus terang. Ah, sampai kapan saya mesti
menyepak rahasia itu jauh-jauh ke sudut ingatan?
Setengah cangkir kopi sisa tadi langsung saya tenggak habis untuk mengusir
keruwetan pikiran. Saya nyalakan TV. Berita pagi. Di layar muncul seorang
Jenderal Polisi yang tengah diwawancara. Ah, pasti tentang tragedi cicak lawan
buaya itu.
Saya ndak peduli. Saya punya tragedi sendiri. Sebuah tragedi yang kemudian
mengubah pandangan saya tentang perempuan, laki-laki, dan perkawinan, dulu,
sepuluh lalu .…
HUJAN
Matahari kian tinggi. Sinarnya menyilaukan mata. Sudah lebih dari sepekan
Jakarta tak disiram hujan. Kemarau mungkin memenuhi janjinya mulai bulan ini.
Tadi malam saya lupa memberi tahu mereka. Lagi pula percuma membangunkan
mereka hanya untuk sesuatu yang bisa ditunda itu. Mereka pasti kaget jika
sepulang sekolah nanti melihat kado itu di meja belajar masing-masing karena tak
ada yang ulang tahun hari ini.
Saya tersenyum memikirkan kejutan yang bakal mereka temukan itu. Sudah sejak
beberapa hari yang lalu saya memang berniat membelikan mereka sesuatu.
Kenaikan kelas memang masih sebulan lagi, tapi tak ada salahnya juga memberi
hadiah sekarang. Mereka toh pasti naik kelas. Seandainya nanti setelah menerima
rapor mereka minta kado lagi, yah tinggal nyari lagi. Apa susahnya?
Seminggu yang lalu, si bungsu akhirnya bisa naik sepeda sendiri setelah
berbulan-bulan jatuh bangun naik sepeda roda empatnya itu. Kakinya sampai
lecet-lecet. Dia berteriak-teriak kegirangan sambil memanggil saya karena mau
memamerkan kemampuannya mengayuh sepeda tanpa bantuan dua roda kecil
lagi.
Si sulung juga makin pandai memetik gitar. Tiga hari yang lalu ia menunjukkan
kemahirannya memainkan sebuah lagu klasik Beethoven, Fur Elise. Saya tahu
jari-jarinya kapalan hanya karena dia berusaha keras memegang senar. Tapi, dia
tersenyum girang begitu saya memberinya tepuk tangan dan tawa lebar.
Saya terpana menyaksikan semua itu. Saya seperti melihat ada keajaiban turun
dari langit. Ibunya, seperti biasa, cuma tersenyum melihat ketakjuban saya.
“Makanya, punya anak sering-sering diperhatiin, dong,” komentarnya singkat.
Rasa bersalah itulah yang membuat saya harus menebusnya dalam bentuk
hadiah-hadiah kecil. Saya berharap hadiah itu bisa menjadi semacam pengganti
perhatian saya yang sangat, bahkan teramat sangat, kurang. Padahal saya tahu,
anak-anak pasti semakin membutuhkan perhatian lebih besar dari saya, ayahnya.
Diajeng dulu juga sering bermaksud memberi saya hadiah setiap kali merasa
bersalah atau melakukan kesalahan yang membuat saya marah. Korek api Zippo,
dompet Lacoste, ikat pinggang Bvlgari, sepatu Adidas, T-shirt Versace, dan entah
apa lagi. Tak semuanya saya ingat.
Saya tak pernah mau menerimanya. Setiap kali ia memberikan, setiap kali itu
pulalah saya kembalikan. Barang-barang itu akhirnya ditumpuk begitu saja di
almari kecil di pojok ruang tengah apartemennya. Semuanya masih dibungkus
rapi.
Satu-satunya hadiah yang pernah saya terima darinya justru bukan sebuah
benda. Dia memberikannya pada sebuah malam yang lembab, ketika Jakarta
diguyur hujan lebat, enam bulan setelah kami pertama kali berkenalan, kira-kira
sepuluh tahun yang lalu.
Waktu itu, kami baru saja pulang dari nonton sebuah konser musik kamar di
Gedung Kesenian. Tepatnya saya bekerja, dia menemani. Semula saya agak
segan membawanya, tapi dia ngotot ikut.
“Aku pengen melihat Mas bekerja,” begitu alasannya. Padahal saya tahu dia bakal
tersiksa mendengarkan sesuatu yang tak dia sukai selama dua jam pertunjukan
itu.
Anehnya, di dalam mobil hitam butut yang membawa kami pulang, dia malah
senyum-senyum sendiri.
“Aku seneng Mas, bisa ikut kamu malam ini,” katanya memecah kebisuan.
“Lalu?”
“Buat kamu mungkin biasa Mas, tapi ini sesuatu yang baru buatku.”
“Pastinya, Mas. Kalau lihat kamu kerja, aku jadi inget Papi. Dia mirip kamu.
Pekerja keras. Sayang kamu ndak sempat kenal ya, Mas.”
“Kamu dekat sama Papi ya?’
“Huuu .. ge-er,” katanya sambil meninju lengan kiri saya. Eh, kita cari makan dulu
yuk, Mas. Aku laper.”
“Boleh. Di mana?”
“Terserah Mas, saja. Makanannya sih ndak penting, Mas. Yang penting aku bisa
makan sama kamu.”
“Haiyah. Ngopo sih, kowe, Jeng? Lah wong cuma mau makan saja kok pake
ngrayu. Wagu, ah.”
Dia tergelak.
Kami akhirnya makan di dekat Taman Menteng, persisnya di depan Keris Gallery.
Saya tahu, di sana ada banyak tempat makan dan buka sampai malam. Ada nasi
goreng gila, sate Padang, dim sum, bakso, juga aneka minuman dingin. Jumat
malam begini pasti lagi ramai-ramainya.
Saya memesan sate Padang. Diajeng minta sepiring dim sum. Kami makan
dengan lahap malam itu, diselingi dengan obrolan ringan. Satu dua pengamen
berhenti menyela obrolan, minta izin menyanyikan lagu-lagu andalan mereka.
“Chrisye dong, Mas. Selamat Jalan Kekasih. Bisa nggak?” teriak Diajeng ke salah
satu pengamen.
Saya tersenyum. Suaranya enak juga. Dia rebahkan kepalanya ke bahu kiri saya.
Wangi rambutnya membuat saya nyaman. Dia terus bernyanyi bahkan ketika
kami masuk ke dalam apartemennya dengan lengan memeluk pinggang saya.
Malam itu, di tengah hujan yang menggila, untuk pertama kalinya saya tidur
dengan perempuan yang bukan istri saya.
GELOMBANG
Perempuan berhubungan seks karena cinta dan komitmen ― atau imbalan. Laki-
laki melakukannya bila ada kesempatan.
Kami sudah tak sempat memikirkan lagi perbedaan antara perempuan dan laki-
laki itu ketika sudah sama-sama berguling di atas ranjang empuk berlapis sprei
lembut. Napasnya memburu. Debar jantungnya bertalu-talu.
Dalam sekejap, kami menyatu dalam satu gerak, saling mengisi relung-relung
kosong. Kami menari bersama. Melangkah berbarengan. Inci demi inci, detail
demi detail.
Dia kuda liar yang lepas di hamparan savana. Surainya melambai membelai
angin. Ekornya mengelus rumput. Kami berpacu melawan kabut. Basah dalam
peluh.
Sampai akhirnya badai itu datang, meledak indah begitu kencang. Kami terlontar
menembus awan. Lalu terhempas ke bawah. Pasrah.
Malam itu, saya baru tahu betapa dahsyatnya magma seorang perempuan yang
bertahun-tahun terbenam dalam kesunyian yang panjang.
Paginya, mata saya melek ketika dia masih meringkuk dalam selimut. Dia terlihat
lelah. Saya kelaparan. Tapi, mau makan apa di tempat yang asing begini? Mau
membangunkan dia kok ndak tega. Diam saja kok perut keroncongan.
Saya berdiri, berjingkat, hendak mencari dapur. Ah, itu dia di sebelah kamar
mandi. Dapurnya bergaya seperti bar. Meski tak terlalu besar, kira-kira 3×3
meter, tapi tertata rapi dan bersih.
Di depan kompor inilah, dibatasi tembok yang berfungsi sebagai meja, ada tiga
bangku bulat berkaki besi agak tinggi. Orang yang mau makan tak perlu ke mana-
mana, cukup duduk di sini.
Lemari kayu itu berisi aneka bumbu, pisau, sendok, dan garpu. Saya buka lemari
es. Aha, ada beberapa enam butir telor, keju, beberapa batang sosis, beberapa
lembar daging sapi asap, dan beberapa kaleng minuman. Saya lihat di atas meja
makan ada satu plastik roti tawar. Lumayan buat sarapan.
Tapi sarapan apa? Ah, ndak usah yang rumit-rumit. Telor dan daging asap bisa
jadi omelet. Roti-roti itu bisa dipanggang. Sosis tinggal digoreng. Kurang apa lagi?
Dalam sekejap, saya menyelesaikan sebuah maha karya ala chef hotel berbintang
pagi itu. Diajeng bangun pas saya menuangkan orange juice ke dalam gelas.
Tubuhnya dibungkus kaos singlet dan hot pant putih. Serasi sekali. Begitu melihat
saya di dapur, Diajeng mengucek-ucek mata seolah tak percaya.
“Nggak salah nih? Mas masak? Wah … hebat,” katanya sambil bertepuk tangan.
Dia langsung memeluk saya dari belakang dan menggigit kuping. “Adow!” saya
mengaduh.
“Kalau dari dulu aku tahu kamu pinter masak, mestinya aku ndak perlu susah-
susah nyari kafe tiap pagi. Mending kamu tinggal di sini aja sekalian, Mas.”
“Kamu mengingatkanku pada almarhum Papi deh, Mas. Dia juga senang
memasak. Papi juga yang ngajarin Mami jadi pinter masak seperti sekarang,”
katanya ringan.
“Apa?”
“You’re great last night. I should thank you for doing that.”
Saya tersipu. “Terima kasih, Jeng. Kamu juga … luar biasa. Belajar dari mana?”
“Kehidupan.”
Modyar, aku!
BATU
Masa depan merupakan tanah liat. Bisa dibentuk dari hari ke hari. Masa lalu
adalah batu padas. Tak bisa diapa-apakan – Sidney Sheldon
“Halo, Yah. Ayah di mana?” terdengar suara anak saya di ujung telepon.”
“Pulangnya masih lama nggak? Nanti sore kita jadi berenang, kan?”
“Daag…”
Saya menutup telepon. Ugh, lega rasanya. Saya kira ibunya yang menelepon.
Kalau dia yang menelepon, pasti lebih susah menjawabnya.
“Iya. Nggak apa-apa kok, Jeng. Dia cuma mau menagih janjiku mengajaknya
berenang nanti sore.”
“Ah, aku jadi pengen berenang. Eh, mandi yuk, Mas!” ajaknya.
“Kamu duluan deh. Saya masih mau beresin piring, sendok, garpu.”
Halah. Manja!
Saya tak kuasa menolak. Dia sudah menarik tangan saya, mengajak ke kamar
mandi. Pagi itu, kami mengulang lagi asyiknya berselancar meniti buih
kenikmatan seperti tadi malam – sesuatu yang saya tahu pasti bukan yang
pertama dan terakhir untuk kami.
Dalam perjalanan ke pabrik, saya kembali terkenang setiap detail kejadian tujuh
tahun yang lalu itu. Saya ingat betul bagaimana dia begitu bahagia pagi itu. Saya
ndak tahu apakah dia sering mendapatkan perasaan yang sama sebelum
bertemu saya. Ah, saya ndak peduli.
Saya lebih peduli tentang keadaan dan di mana dia sekarang. Setelah maminya
menelepon sambil terisak tadi pagi karena Diajeng tiba-tiba pergi entah ke mana,
saya terpaksa memutar otak ke mana mesti mulai mencarinya. Saya sudah tak
mengenal teman-temannya yang sekarang. Setelah berpisah tiga tahun silam,
kontak kami terputus. Begitu juga hubungan dengan satu dua teman dekatnya.
Iseng-iseng saya nyalakan radio, siapa tahu ada pengumuman orang hilang. Tapi
bukan pengumuman yang terdengar, melainkan suara Bams Samsons yang
tengah menyanyikan Kisah yang tak Sempurna.
Asem tenan ki. Lagu kok nyindir. Saya ganti saluran. Tapi, tak ada apa-apa. Ya
sudah. Que sera sera …
“Tadi ada telepon, Mas. Cewek. Dia titip pesen ini,” katanya sambil menyerahkan
kertas itu.
Saya ambil kertas itu lalu saya baca pesannya. Pendek saja. Kutunggu nanti sore
di tempat senja memerah dan kabut turun.
Pesan itu tak bernama. Tapi, saya tahu siapa yang meninggalkannya.
Tempat di mana senja memerah dan kabut turun itu hanya ada satu dalam kamus
saya dan dia: Melrimba Garden di Puncak. Kami memang sering menghabiskan
waktu di sana, sekadar makan siang atau leyeh-leyeh sampai sore. Dalam
sebulan bisa tiga atau empat kali kami ke sana.
Melrimba Garden berada di Jalan Raya Puncak, kilometer 87. Dari arah Jakarta,
lokasinya ada di sisi kiri jalan, persis di bawah restoran Rindu Alam yang mashyur
itu. Taman yang luasnya sekitar tiga hektare dihiasi oleh aneka kembang dan
pucuk-pucuk pinus di atas hamparan rumput. Di sebelah kirinya ada sebuah
Factory Outlet dan orang berjualan kembang. Di sebelah kanannya ada sebuah
play ground lengkap dengan mainan anak-anak, seperti ayunan dan jungkat-
jungkit.
Di dalam taman itu juga ada sebuah restoran, Melrimba Kitchen. Bangunannya
berbentuk persegi panjang dua tingkat warna putih dengan atap cokelat. Struktur
bangunan dengan desain minimalis dan terbuka itu ditopang oleh dinding beton
dan tiang kayu jati.
Ia selalu memilih meja paling ujung di lantai dua yang menghadap ke taman.
“Soalnya aku suka pemandangan di bawah sana itu, Mas,” jawabnya sambil
menunjuk kebun teh di kejauhan ketika saya tanya mengapa ia selalu memilih
tempat di pojok.
Bila kami datang siang menjelang sore, ia selalu memesan menu yang sama.
Poffertjass, main coursekakap steam dan tom yam goong, dan penutupnya
blueberry ice cream pancake.
Saya lebih suka fettuccine mushroom cream dan bandrek hangat. Ia sering
mentertawakan kombinasi pesanan saya yang dianggapnya aneh itu.
“Fettucine kok campur bandrek sih, Mas? Nggak nyambung tau …” katanya
sambil terkekeh.
Saya cuma nyengir, menyadari kendesitan saya. “Biarin ah, yang penting bisa
masuk perut. Dingin-dingin begini paling enak minum bandrek, Jeng.”
“Nggak mau nyoba ginger mint tea-nya, Mas? Enak lo, Mas.”
“Nanti saja.”
“Ya sudah, terserah Mas mau pesen apa deh,” katanya sambil ngelendot di
lengan saya.
Pelayanan yang sedang mencatat pesanan kami terpaksa membuang muka. Saya
merasa ndak enak. Tapi, Diajeng cuek saja.
Ketika terakhir kami makan di sana, matahari sedang menuju peraduan. Senja
sebentar lagi datang. Langit merah saga. Ia terpana. “Wah, gila … Bagus banget
ya, Mas,” komentarnya.
“Sini Mas, sini. Aku mau foto kamu,” dia menarik tangan saya.
Saya menurut dan bergaya. “Ya, ya … di situ aja,” katanya. Wis jan, wagu tenan.
Ia terkekeh lalu memeluk saya dari belakang. Kepalanya bersandar di bahu saya.
Angin berdesir-desir dingin. Kabut perlahan turun di kejauhan. Saya mencium
wangi cemara.
Saya menurut dan mencoba ikut merasakan suasana yang dia rasakan. Hening.
Tak ada apa-apa. Hanya terdengar suara angin yang berdesir pelan. Dingin.
Di atas sana, langit yang memerah dan kabut yang turun membuat sore itu
menjelma seperti puisi-puisi T.S. Elliot, sederhana, lembut, dan syahdu.
Di tempat senja memerah dan kabut turun itulah, Diajeng meminta saya ke sana
sore nanti.
Sejenak saya ragu. Apakah dia sedang berusaha membawa kembali kenangan
masa lalu? Rebound? Rasanya mustahil. Masa lalu itu batu padas. Tak bisa diapa-
apakan.
ANGIN
Izinkan mentari pagi menghangatkan hatimu di masa muda
Dan biarkan angin siang yang lembut mendinginkan gairahmu ― Arthur Rimbaud
Saya cari kantong tak ada. Di tas juga tak ada. Alamak, pasti tertinggal di rumah.
Saya tadi memang meninggalkannya di dekat televisi karena baterainya harus
diisi ulang. Dan telepon itu dalam keadaan off ketika saya tinggal. Pantas Diajeng
menelepon ke pabrik dan meninggalkan pesan singkat itu di resepsionis.
Tanpa handphone itu bisa apa saya. Padahal nomor barunya ada di phonebook.
Dan sialnya saya belum hapal. Tanpa handphone, saya seperti orang buta
kehilangan tongkat.
Handphone dan Internet adalah dua anak ajaib dari seorang ibu bernama
teknologi. Merekalah yang menyatukan kami. Lewat SMS dan email kami
merenda obrolan, bertukar amarah, juga kerinduan.
Dulu, hampir setiap menit dia mengirim SMS. Sekadar menyapa atau
menanyakan apakah saya sudah makan. Dan, hampir setiap hari dia mengirim
email. Salah satu email yang masih saya simpan dalam inbox membuat saya
selalu terkenang masa-masa pertama kami melewatkan awal yang manis itu.
Email itu merupakan jawaban email saya sebelumnya yang isinya ucapan terima
kasih kepadanya setelah dia mentraktir saya di sebuah kafe.
From: diajeng@hotmail.com
To: mas@hotmail.com
Subject: oh la la?
Date: Sun, 05 Nov 2000 12:06:05 GMT
Hi adorably beautiful,
Pertanyaan pertama, kenapa email malam minggu itu berjudul Oh La La Cafe?
Lha wong kita nggak pernah ke sana sama sekali toh? Ayo, kamu ke sana sama
siapa? Sama perempuan lain ya? Oh lala! Dasar playboy! (gejala posesif, maklum
namanya juga baru jadian … hihihi …)
Kemarin itu kita bukan di Oh La La, Masku sayang … tapi di Cemara Cafe. Itu tuh
yang ada galerinya. Ih, Mas ngelamun ya? Kali ini kumaafkan deh, tapi lain kali
nggak. Awas ya, ntar kucubit pinggangmu.
Eh, aku membalas ini di kantor lho. Yup, hari ini hari Minggu dan aku di kantor.
Bekerja, tentu saja. Berusaha bekerja, tepatnya. Aku malas betul menyusun
budget pameran minggu depan. Kalau deadline-nya bukan Senin besok, mending
aku melingker di kasur sama kamu, Mas. Hehehe …
Oh ya Mas, aku baru saja pulang dari menonton pertunjukkan David Glass
Ensemble. Terus terang, rada terpaksa juga aku menontonnya. Nggak enak sama
teman-teman yang mengajak, itu alasan tepatnya. Dan kangen juga sama anak-
anak yang ikut boyongan ke Jakarta itu untuk pentas. Rasanya sudah lama sekali
aku tak ketemu mereka.
Betul juga, celetukan muncul dari sana-sini, “Lho kok baru nongol nih? Ke mana
aja?” tanya anak-anak. Aku sih mesam-mesem aja, Mas. Masa mesti jujur sih
kalau aku memang lebih banyak melewatkan waktu bersamamu.
Sebagai ratu ngeles, langsung membanjirlah alasan dari mulutku (yang tengah
merindukan mulutmu… hehehe. tapi detik ini sedang kusibukkan dengan
Marlboro Menthol. Bukan analogi yang tepat dengan yang aku rindukan, memang.
tapi, lumayanlah, hehehe).
Ya udah, aku jawab aja, “Banyak kerjaan nih di kantor…” Nggak sepenuhnya
salah, bukan? Kan mereka nggak perlu tahu kalau aku baru jadian dan lagi seru-
serunya melewatkan waktu bersama dengan Masku, sang tambatan hati. Ahai …
Lantas, karena aku malas betul untuk langsung kembali ke kantor, aku ngeloyor
dulu ke Pasaraya. Dasar perempuan, aku mampir ke salon untuk menata rambut
yang mulai jatuh di bahu menjadi ala Bella Saphira dan belanja-belanja baju baru.
Konsumtif betul, bukan? Hehehe.
Menarik juga ternyata berada di kantor sendirian. Aku bisa punya ruang untuk
menangis sedikit… bukan, aku tidak menangis karena sedih, nggak tau apa…
mixed emotion jadi istilah yang tepat, yang sepertinya akan kerap muncul dalam
benakku. Karena toh, seperti aku tulis dalam email malam mingguan, ternyata
rasa sakit bisa juga dinikmati, sangat bisa.
Aku juga masih terngiang betul pada suaramu saat berbincang ringan soal apa
yang diperbuat Nicholas Cage dan pasangannya sepanjang film Wild at Heart
setelah kita melakukannya untuk pertama kali di apartemenku itu. Gemuruh
degup jantung yang berdebar-debar saat kita sama-sama berbaring di atas
tempat tidur masing-masing, ketika kilometer demi kilometer memisahkan kita.
Suara tuts keyboard yang tak sabar menautkan kata dalam body text email. Bau
asap rokok yang merebak di udara saat ini. Suara HP-ku yang mengingatkan pada
dunia nyata ketika kita tengah berdua. Kegamangan yang meruap saat kita
berdua sepakat bahwa ‘what we are doing is basically an affair’.
Aku pun belum lupa sosok beruang kecil yang memeluk angka 9 pemberianmu
itu. Bantal-bantal Hazara Cafe yang menyangga tubuh kita. SMS demi SMS yang
muncul di layar sempit Siemens M35. Kepahitan dan rasa sakit yang kini terasa
menyesakkan…
Do you know what kind of person I want to become when I was a kid? I just want
to be a person who is able to be honest to oneself. I don’t want to lie to myself,
that’s all …
Aku tidak tahu bagaimana ini semua akan … berakhir. Cepat atau lambat, hal
tersebut akan datang, bukan? Namun di atas segalanya, aku tak sedikit pun
menyesalkan apa yang sudah kita lakukan bersama, Mas. Aku mensyukurinya
dan akan menyimpannya baik-baik dalam lembaran hidupku, lembaran yang
mungkin cuma kita yang perlu tahu bahwa ini pernah sungguh-sungguh ada.
Waduh, hari Minggu kok malah jadi sentimentil ya … Hehehe. Sorry ah!
Udah. Mau kerja lagi. Mesti back to work nih … Bye, Mas!
Diajeng
“manchester united big fan”
Siang ini, saya kembali teringat email itu. Lengkap sampai ke titik dan komanya.
Di luar pabrik, angin membawa hawa panas Jakarta yang membakar apa saja.
Saya tercenung panjang. Sudah sampaikah Diajeng di Melrimba?
LONELY
Hanya angin yang tahu betapa sepinya padang-padang ilalang. Hanya angin yang
bisa merasakan perasaan kesepian sebatang pohon yang nyaris tumbang di
tengah hutan …
Saya naik ke lantai dua, menuju ruangan saya di pojokan. Komputer sudah
menyala, langsung mengakses Internet dan email. Saya tergoda membuka
kembali surat-surat lama yang tersimpan di arsip. Surat-surat dari Diajeng.
Dulu kami memang sering berdiskusi lewat email tentang apa saja, termasuk
hubungan kami. Saya sering mengungkapkan kegelisahan saya tentang
hubungan ini. Begitu juga dia.
Demi masa lalu itulah, saya buka satu per satu surat-surat di inbox. Salah satunya
berisi cerita ketika dia merasa terluka. Sakit. Tapi, dia tetap menikmatinya.
From: diajeng@hotmail.com
To: mas@hotmail.com
Subject: I don’t want what I haven’t got ― a title of Sinead o’ Connor’s second
album
Date: Thu, 23 Nov 2000 17:56:08 -0000
Dear my beloved,
Well, I guess, I can’t really separate what I felt right now from a piece of our
phone conversation on your way back home. About runaway bride, remember? I
believe that you remember.
I guess that sort of things just won’t slip away that easy from our minds, right?
Well, I don’t really know you, but I know me. It has not gone away from my mind,
up until now.
My love, I have a confession to make. There was one thing that one of my friend
and I discussed very seriously on our last meeting, that I haven’t let you know
about that.
Remember what I said about at least I now know what I want and what I will be
looking for in my next step of life? Remember that I am actually an ordinary girl
who still needs to feel safe and secure and I feel really good knowing that?
She asked me, what will I do after that, after I have found out what I am looking
for? What will I do when the need keeps growing and growing. It hurts real bad
when you know what you want but you just can’t have it, she said.
Diajeng
“want to be Sinead O’ Connor”
Saya tutup email itu dan menghembuskan napas panjang. Saya nyalakan
sebatang Marlboro Light satu-satunya yang masih tersisa di kotak. MP3 player
yang saya pasang tadi mengalunkan bait-bait lagu lawas The Police, So Lonely.
Ada kenangan yang menyenangkan. Tak sedikit yang menyakitkan. Saya pun
paham dan bisa menyesap kegetiran yang sama dengan yang Diajeng rasakan
dan bicarakan dengan teman perempuannya itu.
It hurts real bad when you know what you want but you just can’t have it. Saya
tahu, Jeng. Been there. Done that.
Siang ini, tujuh tahun kemudian, di pabrik yang mulai berdenyut, saya menikmati
setiap lembar kenangan dari email-email yang pernah Diajeng kirim. Well,
kenangan memang mengasyikkan untuk diulang-ulang, seperti halnya kita juga
masih suka memutar lagu-lagu kelas “melodi memori” itu.
Buruh-buruh pabrik mulai hilir mudik di depan meja saya. Satu dua menyapa
ramah. Saya balas seperlunya. Saya mendadak merasa sibuk sekali dan ndak
sempat melayani beberapa kawan yang sepertinya ingin ngajak ngobrol. Maaf,
lain kali saja sobat. Many things to do.
Salah satu surat yang menarik untuk saya baca lagi dikirim tak lama setelah kami
bertengkar. Pemicunya masih yang itu-itu saja. Dia merasa berjuang sendiri untuk
mempertahankan hubungan, sedangkan saya justru tenang-tenang saja.
Seperti biasa, dia langsung mengirim lusinan SMS berisi protes. Saya balas
seperlunya karena pada dasarnya saya memang ndak suka membaca, apalagi
mengetikkan kalimat-kalimat di layar handphone yang cuma seuprit itu. Mata
saya mestinya sudah harus memakai kacamata +1.
Kesabaran saya membuahkan hasil. Tak lama setelah SMS-SMS yang seolah
bersicepat melawan angin itu, Diajeng menulis email. Kali ini ndak terlalu
panjang. Tumben.
From: diajeng@hotmail.com
To: mas@hotmail.com
Subject: thin rope
Date: 26 Nov 2000 21:15:46 -0000
Dear Masku,
Our fingers were so busy last night typing words on that tiny keypads (mine were
busier than yours, as always, hehehe) …
And those feelings were true. I hate it when you consider our relationship as a
game. I know that we have our misunderstandings that night. It is just… there
was so much truth in that song.
Come to think of it, they are simply ourselves in both ends. Mine consists of my
certainty and my doubt, both simply alive in our mind only. In other words, those
were assumptions… I-assume-that-you-are-the-right-one-for me and I-assume-
that-you-are-not-the-right-one-for-me.
Which is the right one for me? I can’t tell which is the real one, what is the one I
will have in the future- while I am still busy with this balancing struggle…
Well, I say,
I am going to throw away that balancing stick of mine and just walk on my thin
rope called life. I might just fall, I might not. I know God will take good care of me,
no matter what. I know He will be my safety net when everything else fails.
Diajeng
“lagi pengen meluk masnya”
Fiuh. Rasanya lega betul mendapat kiriman email seperti itu. Ibarat panas
setahun yang terhapus oleh hujan sehari.
Hari-hari berikutnya, Diajeng pulih seperti sedia kala. Kecuali kalau dia lagi kumat
iseng atau gilanya. Seperti hari itu …
KINKY
Sejarah bisa dimulai dari sebuah ketidaksengajaan. Hanya butuh satu menit
untuk membuatnya.
Tak selamanya Diajeng mengirim email berisi rasa cemasnya, ketakutan, atau
kekangenannya pada saya. Sering kali ia juga menulis sesuatu yang remeh temeh
atau sebaliknya justru serius. Ia misalnya pernah bertanya, “Mas tahu nggak,
butir-butir Pancasila itu apa aja sih?“
Halah. Apa sih? Mosok butir-butir Pancasila ditanyakan? Siapa yang hapal? Lagi
pula ketika dia mengirim email waktu itu saya sedang ditunggu-tunggu para bos
yang ingin segera tahu hasil proyek yang tengah saya kerjakan. Tapi, Diajeng
mendesak, minta emailnya segera dibalas saat itu juga.
Email itu dia tulis tak lama setelah menonton film Million Dollar Hotel. Ia memang
menonton sendirian. Saya tak bisa menemani karena ada tugas dari pabrik yang
tak bisa ditinggal. Ia nyaris ngamuk waktu itu karena saya menolak ajakannya.
Soalnya sudah berhari-hari kami tak bertemu. Dan ia begitu menginginkan saya
saat itu. Tapi setelah saya beri alasan karena ada tugas dari pabrik, barulah ia
mengerti dan mau berangkat ke bioskop sendiri. Tentu saja tetap dengan wajah
cemberut.
From: diajeng@hotmail.com
To: mas@hotmail.com
Subject: kinky one
Date: 02 Dec 2000 22:46:56 -0000
Dear my beloved,
I wanna tell you a story – a kinky one. Kamu jangan mikir yang enggak-enggak
dulu ya, Mas, hehehe … Mau tahu nggak?
Well, gini ceritanya. Waktu itu film sudah diputar setengahnya. Mulai bosan, aku
melihat ke kiri dan ke kanan. Uh, di balkon ini semuanya berpasang-pasangan.
Cuma aku aja yang sendirian, sebel … Lantas aku jadi terkenang-kenang pada
gemuruh keinginan yang sama-sama kita rasakan.
Ya sudah, aku cuma bisa menarik napas. Panjang. Betul-betul panjang. Sambil
meluruskan kaki yang menjuntai ke kursi depanku (kurang ajar betul aku ya?
kalau ini bioskop 21, mungkin aku sudah diusir keluar), aku menengadah ke
langit-langit bioskop. Terlihat burai blok-blok sinar menyembur keluar dari ruang
proyektor. Cahayanya bergerak-gerak sesuai dengan adegan yang berganti-ganti.
Aku jadi ingat khayalan kita tentang apa yang bisa kita lakukan di ruang
proyektor.
Ya sudahlah. Aku menyerah. So I put my black jacket on my lap to cover the most
intimate part of my feminity. I unzipped my pant and excited myself, wishing it
was your finger inside me. Picturing you pumping me, I reached my peak
somewhere around the end of the movie.
So, when Tom Tom ran on the attic in the slow motion and waved her lover
goodbye, I was gasping and biting my lips trying not to produce any sounds.
When Tom Tom finally jumped, my body was trembling hard. Just before the
credit title was shown, I zipped myself back.
I lit my cigarette up while walking out of the cinema. Quite dramatic, isn’t it, Mas?
Hahaha …
Saya tergelak panjang sambil misuh-misuh bila ingat email itu. Diajeng memang
punya selera humor yang luar biasa. That’s why I like … err … love her so much.
Dia memang perempuan yang luar biasa. Ia dari jenis yang suka berterus terang,
spontan, dan apa adanya. Kalau ngomong ndak pakai tedeng aling-aling. Saya
kadang suka malu sendiri kalau mendengar. Well, mungkin sudah bawaan dia
sejak lahir. Saya bisa apa? Padahal saya tak pernah menyangka dia seperti itu
bahkan sejak pertama bertemu.
Saya pertama kali berjumpa dengannya di pabrik tujuh tahun silam. Pada sebuah
pagi yang dingin di bulan April. Saat saya hendak mandi. Waktu itu saya masih
rookie di pabrik ini. Lagi giat-giatnya bekerja. Hampir 24 jam per hari, 7 hari
sepekan, 30 hari dalam sebulan, saya ada di pabrik. Bahkan tak jarang saya
menginap di pabrik pada hari-hari tertentu. Biasanya menjelang akhir pekan.
Para bos suka meledek, kuda pacu yang baik memang harus diberi banyak beban.
Saya cuma bisa nyengir mendengarnya. Tapi, terus terang saya memang
menyukai pekerjaan ― dan bekerja ― di pabrik ini. Jadi saya ndak pernah merasa
keberatan apalagi menolak setiap pekerjaan yang para bos berikan.
Suatu pagi, saya terbangun ketika pabrik sedang memutar kencang mesin-mesin
produksinya. Semua komputer di meja sudah menyala. Begitu juga pendingin-
pendingin ruangan.
Saya membuka mata dengan segan. Malas tepatnya. Tadi malam saya memang
bergadang dan baru menjelang subuh memejamkan mata. Ada satu tugas yang
mesti saya selesaikan pagi itu juga.
Dengan mata setengah terpejam, langkah gontai, saya ke kamar mandi sambil
menenteng sabun, handuk, sikat gigi, dan odol. Seperti biasa, saya cuma
memakai sarung dan kaos oblong – “seragam kebangsaan” saya setiap kali tidur
di pabrik.
Tangan saya sedang terulur hendak membuka pintu kamar mandi ketika
mendadak saya seperti melihat ada sesosok bayangan dari arah dalam yang mau
keluar. Begitu tiba-tiba. Tangan saya nyaris menyentuh dadanya. Seorang
perempuan!
“Oh, maaf. Kirain ndak ada orang,” seru saya tak kalah kaget.
Saya mundur. Sedikit kikuk. “Eh, Anda siapa?” tanya saya heran. Rasanya baru
kali ini saya melihat dia. Karyawan baru?
“Sori, Pak. Eh, Mas. Saya karyawan magang. Baru masuk hari ini,” jawabnya.
Saya tergagap. “Ah, eh, salam kenal kembali. Saya mau mandi.”
“Iya, iya … Saya tahu, Mas,” dia terkekeh. “Saya panggil ‘Mas’ aja ya? Boleh,
kan?”
Dalam hati saya misuh-misuh. Asyu. Pagi-pagi kok sudah ada perempuan cantik di
pabrik. Bidadari dari mana? Wangi betul tubuhnya.
Begitulah saya bertemu dia pertama kali. Hanya semenit. Tidak lebih.
Saya tak pernah menyangka, yang satu menit itu akan membawa saya
bertamasya ke masa-masa yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya.
Bersama Diajeng.
BERLIAN
Hujan mengamuk. Sesekali garis kilat menyambar dan memecahkan tirai hujan
menjadi air terjun berlian yang berkilauan. Matahari bersembunyi di pojok
kegelapan …
Hawa dingin pagi hari yang tak tertahankan membuat saya mandi cepat-cepat.
Lagi pula saya harus segera menyelesaikan pekerjaan yang tinggal beberapa
bagian lagi. Sebentar lagi para bos datang dan menagih semuanya. Bisa gawat
urusannya kalau saya melanggar waktu yang sudah mereka tetapkan.
Hampir tengah hari ketika saya membubuhkan titik terakhir sebagai penutup
pekerjaan. Tinggal kirim via jaringan. Beres. Saya melirik jam di dinding. Hm,
waktunya makan. Tapi, makan apa yang enak buat siang-siang yang mendung
begini?
“Siang, Mas. Ini Diajeng. Kita bertemu tadi pagi di depan pintu kamar mandi.
Masih ingat, kan?”
“Nggak juga. Baru aja selesai. Sekarang mau makan dulu. Kamu sudah makan?”
“Kebetulan dong. Aku juga belum makan. Bareng yuk, Mas!” ajaknya ringan.
“Sip.”
Ada apa tiba-tiba Diajeng menelepon? Bukankah baru tadi kami berkenalan
dengan cara yang aneh? Ah, saya tak mau berandai-andai, apalagi
bersyakwasangka. Mungkin saja dia cuma mengenal saya di pabrik ini. Dia toh
karyawan magang. Apa salahnya?
Ketika bertemu di lobi itulah saya baru sempat memperhatikan lebih dekat dan
detail seperti apa sosok Diajeng. Hm, lebih segar ketimbang tadi pagi. Rambutnya
yang hitam dan panjang dibiarkannya lepas terurai.
Berbeda dari umumnya buruh di pabrik saya, ia memakai setelan yang serasi.
Celana jins tiga perempat biru tua dan blus kembang-kembang biru muda. Sepatu
ketsnya biru pula. Sportif sekali. Saya sempat menangkap wangi parfum Bvlgari
yang menguar ketika dia membalikkan badannya.
Dengan penampilan seperti itu, Diajeng seperti berlian di antara kerikil para
buruh di pabrik saya.
Saya mengajak Diajeng makan di kedai dekat pabrik. Itu tempat makan yang
nyaris tak pernah dikunjungi lagi oleh para buruh. “Bosan,” kata mereka.
“Menunya itu-itu melulu.”
Sebaliknya, saya memang jarang makan di sana. Pekerjaan membuat saya lebih
sering makan jauh dari pabrik. Lagi pula, masakan si empunya kedai cocok di
lidah saya. Rasa masakan rumah.
“Sering makan di sini, Mas?” tanya Diajeng setelah kami duduk di dekat jendela.
“Jarang, Jeng. Saya lebih sering di luar pabrik. Cuma akhir pekan seperti sekarang
saja saya biasa makan di sini.”
“Aku juga baru sekali kok, Mas. Kemarin-kemarin aku makan di tempat lain.”
“Hampir sebulan.”
“Ah, Masnya sibuk terus sih. Mas nggak pernah merhatiin aku pula,” katanya
sambil nyengir lucu. “Padahal aku sudah sering lihat Mas loh. Mas sering tidur di
sofa merah lantai dua itu kan?”
“Nggak juga, Jeng. Masalahnya, pada malam-malam menjelang akhir minggu saya
memang terpaksa menginap karena pekerjaan yang ndak bisa ditinggal.”
“Wah, kasihan yang ditinggal di rumah dong,” candanya sambil melirik cincin di
jari manis kanan saya.
“Mosok Mbakyu nggak pernah protes karena Mas sering tidur di pabrik?”
“Ah, kalau aku punya suami kayak kamu Mas, pasti kularang menginap di pabrik.
Nggak sehat kan, Mas?”
“Saya kan ndak setiap hari tidur di pabrik, Jeng. Lagi pula saya selalu
menyediakan waktu dua hari penuh buat anak-anak waktu libur akhir pekan kok.
Saya berusaha jadi bapak yang baik buat mereka.”
“Dua. Eh, kamu kok bisa nyasar ke pabrik ini sih? Gimana ceritanya?” tanya saya
mengalihkan pembicaraan.
Diajeng lalu bercerita bahwa dia baru saja lulus kuliah. Ia mengambil program
master di bidang desain dari sebuah universitas luar negeri. Sebetulnya ia bisa
saja langsung bekerja di perusahaan teman papinya.
“Tapi, aku mau nyari pengalaman dulu di tempat lain. Kebetulan aku punya
teman yang bercerita ada lowongan buat karyawan magang di pabrik kamu.
Jadilah aku ke sini dan bertemu kamu, Mas.”
“Oh, gitu. Terus kenapa tadi menelepon saya dan mengajak makan, Jeng?”
“Idih curiga ya? Memangnya saya ndak boleh ngajak makan Mas? Ada yang
marah?”
“Bukan, bukan … Jangan salah sangka. Saya cuma merasa aneh saja,” jawab saya
sedikit tak enak.
“Oh, maaf. Maafkan juga teman-temanku. Mereka memang jarang punya waktu
buat ngobrol, meskipun hanya sebentar. Maklum kerja di pabrik. Okelah, kamu
bisa bertanya apa saja ke saya. Moga-moga saya bisa bantu.”
“Nah, gitu dong. Makasih sebelumnya ya, Mas,” katanya sambil tersenyum lebar
memamerkan sebaris giginya yang putih, bersih, terawat, dan teratur.
Begitulah. Makan siang itu sebuah awal. Pada siang-siang berikutnya kami sering
makan berdua. Kalau tak di kedai yang sama, ya di tempat makan yang agak jauh
dari pabrik. Kalau kebetulan saya di luar pabrik, Diajeng sering meminta bertemu
di tempat yang kebetulan dekat dengan posisi terakhir saya. Pokoknya asal bisa
makan bareng.
Hazara Cafe di Kebon Sirih, Kafe Cemara di Jalan Cemara, Menteng, atau Penang
Bistro di Kebayoran Baru, sekadar menyebut contoh kedai yang rutin kami
datangi. Kalau malam, kami sering makan di Muara Karang atau Pecenongan.
Diajeng memang tergila-gila sea food dan chinese food. Karena
tergolong aphrodisiac? Saya ndak peduli. Soalnya bukan makanannya benar yang
dia nikmati.
“Terus terang, aku suka ngobrol dengan kamu, Mas. Kamu juga membuatku
nyaman. Being with you is so relaxing. Indeed,” begitu alasannya.
“Saya juga menikmati obrolan kamu kok, Jeng. Kamu pintar,” jawab saya jujur.
“Ah, gombal. Kamu tuh yang pintar, Mas. Diajak ngobrol apa aja pasti
nyambung.”
Pesonanya memang menyihir saya. Saya seperti kucing yang berubah jadi tikus.
Ia bisa menaklukkan alasan apa pun yang saya ajukan sebagai basa-basi untuk
menolak ajakannya. Rayuan, bujukan, dan godaan memang salah satu
keahliannya. Celakanya, lama-lama saya menikmati sihirnya.
Ruangan para bos terletak di belakang pabrik, terpisah dari bangunan utama.
Luasnya sekitar dua puluh meter persegi, cukup lapang untuk menampung para
bos yang cuma dua orang, satu perempuan dan satu laki-laki. Bagian luar
ruangan mereka berwarna putih. Bersih. Kami, para buruh, menjulukinya White
House.
Dinding dalamnya yang tak disemen juga dicat putih. Foto-foto mereka dalam
pelbagai ukuran tertempel di dinding kiri dan kanan – di antara lemari kayu berisi
ratusan buku dan lemari kaca berisi piala, plakat, dan benda-benda memorabilia
lainnya – menyerupai pameran simbol kesuksesan atau narsisme mereka. Ada
foto bos sedang bersalaman dengan presiden dan menteri-menteri, bos
merangkul seorang pejuang Afganistan, bos menerima penghargaan dari seorang
utusan Bank Dunia, bos di atas kapal pesiar seorang taipan, dan banyak lagi.
Di dinding belakang terdapat dua jendela lebar dengan gorden kain broken white
tanpa corak. Di tengah ruangan ada dua meja besar dengan masing-masing satu
komputer di atasnya. Dari perangkat kerja yang tersambung oleh sebuah sistem
jaringan itulah para bos memantau proses kerja para buruh.
Para bos biasanya duduk di atas kursi kulit bersandaran tinggi. Bila sedang duduk
dan bekerja, telinga mereka nyaris selalu tertempel di gagang telepon. Entah
dengan siapa saja mereka bicara hampir seharian lewat alat komunikasi jarak
jauh itu. Kadang saya merasa ada sesuatu yang aneh di antara mereka. Mengapa
mereka justru jarang terlihat saling bercakap-cakap meski berada dalam satu
ruangan?
Ah, embuhlah. Saya ndak mau ambil pusing urusan orang. Apalagi orang-orang
seperti dua bos saya itu. Mereka boleh dikatakan legenda-legenda hidup di
bidangnya. Meski usia dua orang itu belum lima puluh tahun, kaki mereka sudah
melanglang nyaris ke seluruh pojok dunia. Mereka bertemu dengan bermacam-
macam orang dari pelbagai kalangan. Tugas dan pekerjaan di industri yang
mereka tekuni selama bertahun-tahun telah memahat pengalaman mereka.
Banyak orang mengakui karya mereka nyaris tiada tanding.
Saya menaruh hormat pada mereka. Ibarat dalam jagad persilatan, mereka
sepasang pendekar dunia kangouw. Bu Kek Siansu. Eh, atau mungkin Sepasang
Pendekar Rajawali keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es karya
Asmaraman S. Kho Ping Ho itu, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee. Di depan
mereka, saya seperti anak kemarin sore tanpa ilmu apa pun. Tidak punya
ginkang, tidak juga iwekang. Jadi saya harus menjura dalam-dalam.
Ke ruangan para dewa itulah kaki saya menuju pagi itu, beberapa menit setelah
sekretaris bos memberitahu bahwa saya dipanggil dengan pesan, “Segera!”
Sindrom anak buah yang selalu curiga membuat benak saya penuh prasangka.
Ada apa mereka memanggil? Adakah kesalahan yang telah saya lakukan? Ada
pekerjaan yang belum beres? Atau ada sesuatu yang menyangkut urusan pribadi.
Hari-hari ini pabrik saya memang dipenuhi oleh banyak rumor dan gosip. Salah
satunya tentang kedekatan saya dan Diajeng. Beberapa di antara mereka
berkomentar langsung ke saya. Sebagian lagi hanya berani menyindir-nyindir.
“Nggak takut sama yang di rumah, Mas? Aku juga perempuan, bisa ikut
merasakan sakitnya dikhianati …”
Saya cuma bisa senyum kecut dan tak memedulikan mereka. Percuma
menanggapi ocehan yang saya anggap sarkastis dan pedas itu. Mereka tahu apa.
Mereka pasti tak paham bahwa kedekatan saya dan Diajeng tak lebih dari
kedekatan seorang guru dan murid. Diajeng bertanya, saya
menjawab. Technically speaking, saya tak melakukan sesuatu yang lebih jauh dari
sekadar duduk berdekatan.
Memang Diajenglah yang nyaris setiap pagi meletakkan makanan kecil, sekadar
kudapan, di meja saya. Beberapa potong semar mendem, arem-arem, bolu
gulung, atau brownies. “Semuanya buatan mami,” katanya. “Buat sarapan, Mas.
Tadi malam nglembur lagi, kan?”
Memang Diajeng jugalah yang hampir selalu mengingatkan saya kapan harus
menemui orang-orang di luar kantor itu, kapan saya mesti makan siang, atau
sekadar memberi tahu ada pameran lukisan di Kemang, pembacaan puisi di
Gedung Kesenian, atau peragaan busana di JCC. Kadang kami nonton bersama
karena dia memang suka puisi, lukisan, juga trend busana. Kadang saya
berangkat sendiri sebab pekerjaan mengharuskan demikian dan Diajeng punya
acara lain.
Begitu sampai di depan ruangan mereka, agak ragu-ragu saya mengetuk pintu.
Tok, tok, tok …
Saya membuka pintu dan masuk ruangan. “Pagi Bu, Pak,” saya menyapa mereka
ringan.
“Wah … pagi, Mas. Sudah saya tunggu dari tadi. Ayo, silakan duduk. Mau minum
apa?” tanya bos perempuan sambil berdiri dari kursinya.
Bos laki-laki ikut berdiri dan tersenyum lebar. “Makin seger saja sampean, Mas,”
katanya.
“Halah, seger apa sih, Pak? Lah wong kurus kering begini kok dibilang seger. Eh,
ndak usah repot-repot, Bu. Saya baru saja ngopi tadi di meja.”
“Bener nih?”
“Iya, Pak. Saya mau cepat-cepat saja. Banyak kerjaan sudah menumpuk dan
menunggu. Kalau telat nanti sampean marah,” jawab saya setengah bercanda.
“Haiyah, sampean memang paling bisa, Mas,” kata bos perempuan sambil
tersenyum.
Wah, ini tak seperti yang saya bayangkan semula. Tak ada tanda-tanda mereka
akan bertanya sesuatu yang serius. Atau pribadi. Mereka justru terlihat santai.
Tak menunjukkan mau marah atau bersikap layaknya atasan kepada bawahan.
Alarm kecurigaan saya matikan.
Mereka tertawa. Saya terpana. Asyem ki. Lah kok malah semakin riang?
“Anak muda selalu nggak sabar rupanya. Nggak ada apa-apa, Mas. Nggak ada
yang serius kok. Satu-satunya yang serius ya cuma ini, Mas,” jawab bos laki-laki
sambil mengangsurkan sepucuk amplop putih ke saya.
“Ndak percuma sampean sering begadang di pabrik, Mas,” kata bos perempuan.
“Ah, ini semua kan juga berkat sampean berdua bos. Berkat bimbingan sampean
juga saya bisa begini. Buat saya, ini amanah.”
“Ya sudah, Mas. Moga-moga tahun depan sampean bekerja lebih keras lagi. Lebih
produktif. Saya juga ingin tahun depan sampean mendapatkan lagi amplop yang
sama,” kata bos laki-laki.
Saya kaget sebenarnya. Aneh, bos sama sekali tak menyebut satu kata pun soal
Diajeng. Bahkan tentang kedekatan kami.
Setengah berlari saya mencari Diajeng. Dia layak menjadi orang yang pertama
kali mendengar kabar menggembirakan ini.
Saya menemukan Diajeng sedang duduk di belakang meja kerjanya. Saya acung-
acungkan amplop itu di depan wajahnya yang terbengong-bengong melihat saya
cengengesan.
“Buka deh, baca saja sendiri,” jawab saya sambil memberikan amplop itu.
“Wah, selamat. Kamu hebat, Mas. Ayo, kita harus merayakannya,” katanya
senang.
“Sip.”
Saya ingat, malam itu kami nyaris batal merayakan sukses kecil itu. Bos memberi
tugas mendadak. Saya harus ke Gedung Kesenian menonton konser musik kamar.
Diajeng sempat merengut, tapi setangkai mawar merah berhasil
menaklukkan hatinya.
Dan, sepulang dari Gedung Kesenian, setelah jajan di depan Keris Gallery,
Menteng, sehabis hujan yang menggila, perayaan yang tertunda itu akhirnya jadi
juga kami lakukan diapartemennya ― untuk pertama kalinya setelah enam bulan
kami berkenalan. Sebuah kejutan di balik tikungan kehidupan saya yang akan
mengubah segalanya …
CEMARA
Di bawah bukit-bukit yang kering. Di tengah pucuk-pucuk cemara mendesau.
Pada dasarnya kita semua adalah pelaku, sekaligus saksi setiap peristiwa. Kita
beraksi dalam lakon yang berubah setiap hari.
Kita bertarung. Terluka. Berpeluh. Menangis dan tertawa. Kita menjadi bagian dari
sejarah peradaban. Dan, sejarah bukanlah sebuah kreasi show business.
Sejarah terukir di jalanan, di dalam keraton, di balik gedung parlemen, di
lapangan, juga di atas ranjang.
Diajeng adalah hamparan laut luas tak bertepi. Bercakap dengannya itu tak ada
habisnya. Kami bisa bercakap tentang apa saja bila bertemu sambil menyesap
bercangkir-cangkir kopi hangat di sebuah kedai. Kami bisa melakukan kegiatan
apa saja yang buat orang lain mungkin tak ada artinya. Menghitung jumlah
bintang di atas The Peak, memandang takjub bulir-bulir gerimis yang membasahi
kaca jendela sebuah hotel di Carita, menanti embun jatuh dari ujung dauh teh di
Puncak.
Mengingat keping-keping keintiman masa lalu seperti itu membuat saya seperti
menelan biji duku. Pahit. Barangkali ini yang disebut orang sebagai kesedihan
yang mengasyikkan itu.
Saya berusaha membuang kenangan lama itu ke arah jalan tol Jagorawi yang
lempang. Tumben, sore-sore begini lalu lintasnya agak sepi. Saya langsung
menginjak pedal gas lebih dalam. Tapi, di lajur sebelah kanan saya, seekor Jaguar
perak metalik seri X-Type ternyata lari lebih kencang ketimbang gerobak Jepang
saya yang sudah layak masuk museum itu. Asyu!
Ah, biarin. Yang penting saya tetap bisa segera sampai di Melrimba Garden di
Puncak sebelum matahari terbenam. Diajeng pasti sudah sampai di sana. Seperti
biasa, ia pasti sudah menunggu dalam kesabaran yang belum pernah tertandingi
perempuan mana pun dalam kehidupan saya.
Saya ingat, Diajeng memang sering menunggu saya dalam malam-malam yang
panjang berteman kesepian. Seperti ketika saya mendapat tugas ke Swedia,
menghadiri undangan sebuah perusahaan telepon genggam. Kalau sudah begitu,
biasanya Diajeng mengirim e-mail seperti ini.
To: mas@hotmail.com
From: diajeng@hotmail.com
Subject: kangen cemara
Belahan jiwa,
Hari ini tepat sepekan kamu berada di Stockholm. Aku nggak tahu kamu lagi
ngapain ketika membuka e-mail ini, Mas. Yang jelas aku makin kesepian di sini.
Perasaanku tak menentu. Ada kekangenan sekaligus kekesalan di hati.
Belahan jiwa,
Asal kamu tahu saja, aku getting insane belakangan ini. Setiap hari aku cuma
memandangi frame berisi foto kita berdua yang sedang berpelukan dan kupajang
di atas komputer. Kamu tentu masih ingat kan Mas, bagaimana kita membuat
foto itu?
Waktu itu, kalau nggak salah ingat, kita abis jalan-jalan dan kehujanan sampai
basah kuyup. Tiba-tiba kamu punya ide gila untuk bikin foto berdua dalam
keadaan basah kuyup. Berhubung kita lagi di Pasaraya, kamu langsung
menyeretku ke bilik foto di basement itu.
Kamu bilang, kamu mau mewujudkan rencanaku yang belum kesampaian saat
itu: bikin foto berdua. Uh, asal kamu tahu aja Mas, aku kan malu sebenernya
ketika itu. Apalagi waktu mbak-mbak yang jaga bilik foto itu mesem-mesem ngliat
tingkah kamu yang maunya pelukan terus.
Sampai sekarang aku masih suka senyum-senyum sendiri kalau ingat kejadian
itu. Kamu emang gila kadang-kadang. Tapi harus kuakui, foto itu jadi unik.
Bajumu basah kuyup kayak tikus kecebur got. Dan, posemu itu loh, hehehe… aku
nggak bisa membayangkan apakah kamu mau melakukannya lagi sekarang.
Hahaha …. Kamu pasti membaca e-mail ini sambil cemberut sebel dan dalam hati
kamu bilang, “Awas kalau ketemu di Jakarta nanti ya ….”
Belahan jiwa,
Selain ngliatin foto, kamu tahu apa yang selalu aku lakukan dua hari terakhir ini?
Aku selalu membuka lemari dan mencari baju-bajumu yang tertinggal di
apartemenku. Kuambil satu per satu, lalu kuciumi. Termasuk underwear-mu,
hehehe …
Kucari-cari adakah bau tubuhmu yang masih tertinggal di sela-sela kain itu. Gila
memang, tapi asal kamu tahu aja, itu cara manjur untuk mengobati kerinduanku
padamu. (Uuuuh, pasti kamu ngetawain deh caraku ini. Kamu emang nggak
sayang aku sih, Mas … Huh!)
Tapi, memang itulah yang bisa kulakukan saat ini ketika kamu nggak ada.
Kadang-kadang nyesel juga aku nggak menerima ajakanmu buat ikut saja
sekalian ke Swedia. Ah, seandainya saja urusan pameranku di Jakarta beres, aku
pasti nggak mikir dua kali deh. Tapi kan kamu tahu sendiri, banyak urusan yang
mesti diselesaikan di sini.
Eh, mami udah nggak ngambek lagi tuh. Tadi, pagi mami mampir ke sini bawain
spagheti carbonara buatannya sendiri. Dia bilang masakannya itu sebenarnya
buat arisan di rumah. Tapi, karena kebanyakan, sisanya dikasih ke aku.
Mamiku baik ya, Mas? Biar ngambek, ternyata masih juga inget sama aku yang
lagi kesepian ditinggal belahan jiwanya, hehehe ….
Anyway, enak juga loh rasanya. Kamu mesti coba juga sekali-sekali. Mami juga
sempet nanyain kenapa kamu nggak pulang-pulang. Katanya, dia udah nunggu
oleh-oleh dari kamu.
Belahan jiwa,
Waktu nulis e-mail ini, aku sempet nglirik kalender. And you know what? Hari ini
tanggal 18 November. Yes, our great day. Uh, kamu pasti lupa deh. Buktinya
nggak nelpon aku hari ini. Aku jadi inget, bertahun-tahun yang lalu kita biasanya
merayakan hari ini cuma berdua di Cafe Cemara 6: that historical place for us.
Belahan jiwa,
Aku merasa banyak hal yang nggak kita lakukan lagi belakangan ini. Saat-saat
berdua, pelukan-pelukan, mesra-mesraan, gigitan di telinga, atau adu hidung
kesukaan kita itu. Tapi, kamu terlalu sibuk akhir-akhir ini, Mas. Pergi mulu. Huh,
sebel!
Kamu sering melupakan apa yang seharusnya kita lakukan untuk kita sendiri.
Kamu merasa gitu juga nggak sih? Pokoknya, kalau kamu pulang nanti, kita akan
mengubah semuanya ini. Kita harus memperhatikan diri kita lagi. Kita harus
meluangkan waktu buat kita sendiri. Awas ya kalau nggak …
Sweet kisses
Diajeng, yang lagi kangen Cemara, bukan kamu, weeeek …
Saya tersenyum mengenangkan surat itu. Surat itu hanya satu di antara surat lain
yang hampir tiap hari masuk ke inbox. Untunglah, Scandic Hotel di seberang
Central Station, Stockholm, tempat saya menginap memang menyediakan akses
internet super kencang sehingga saya gampang membuka dan membalas e-
mail Diajeng.
Apakah sekarang Diajeng juga sedang merasa tak diperhatikan karena sudah
menunggu terlalu lama di Merlimba? Sudah berapa batang rokok yang
dihabiskannya? Saya tak tahu.
Yang jelas, pucuk pinus dan cemara di taman itu sudah mulai terlihat. Jalan
menikung. Jarak semakin dekat. Kabut mulai turun. Jantung saya berdegup
semakin kencang, tak sabar bertemu Diajeng …
KABUT
Malam seperti itu, hujan sering turun
Ada kabut tipis dalam gelap, tumbuh dari udara panas
Kulit terasa lekat
Tapi hujan telah menunjukkan janjinya, untuk datang
Kaki-kaki telah bergegas
Orang mencari tempat dan atap ― Fred de Silva
Bukan cuma hujan yang menepati janji. Di Puncak, kabut justru nyaris tak pernah
ingkar janji untuk datang di senja hari.
Seperti sore itu, beberapa puluh meter menjelang Melrimba Garden, kabut mulai
membungkus jalanan, lalu perlahan turun seperti kelambu putih menutup
ranjang.
Saya menginjak rem, mengoper gigi, lalu belok kiri menuju pintu gerbang taman.
Seorang petugas parkir menyambut ramah. Senyumnya mengembang seraya
tangannya mengangsurkan selembar karcis.
“Lurus saja, Pak,” katanya. Tangannya menunjuk ke sebidang lahan kosong persis
di depan Melrimba Kitchen, tempat makan favorit Diajeng.
Saya celingukan seperti rusa masuk kampung, mencari-cari sosok Diajeng atau
paling tidak mobil merah hadiah ulang tahun dari papinya itu di tempat parkir.
Tapi, tak ada. Saya lihat halaman parkir di sebelah kanan taman juga kosong.
Jangan-jangan Diajeng tak jadi datang?
Aneh. Seaneh gerimis yang mendadak jatuh. Saya segera meninggikan kerah baju
dan berlari kecil menuju Melrimba Kitchen. Seorang pelayan bergegas
menyambut di pintu. “Berapa orang, Pak?” ia bertanya dengan ramah.
“Sendiri. Eh, sebetulnya saya ada janji dengan seorang teman. Saya ndak tahu
apakah dia sudah datang atau belum?” jawab saya sambil mencari-cari sosok
Diajeng.
“Dari tadi belum ada tamu lain tuh, Pak. Barangkali Bapak mau menunggu sambil
pesan minum dulu?”
“Iya deh,” jawab saya seraya menuju meja di pojok, tempat favorit Diajeng. “Saya
minta kopi, Mbak.”
Asyem tenan. Dalam hati saya mengutuk diri saya sendiri yang kelupaan
membawa handphone. Beginilah nasib orang zaman sekarang yang sudah begitu
tergantung pada handphone. Tanpahandphone, saya ndak bisa mengontak
Diajeng. Saya ndak tahu apakah dia masih on the way atau membatalkan janji. Di
mana dia sekarang?
Jarang-jarang Diajeng datang terlambat atau ingkar janji. Biasanya justru saya
justru yang datang telat kalau kami rendevouz di suatu tempat.
Di luar, gerimis berubah menjadi hujan. Ah, saya jadi ingat kumpulan cerita
pendek Nugroho Notosusanto, Hujan Kepagian, tentang mereka yang bertempur
dan tewas untuk tanah airnya, dalam usia begitu muda. Mereka ibarat hujan yang
jatuh terlalu pagi mungkin, karena cuaca terlalu buruk.
Sesungguhnya memang tak banyak orang tahu betapa cuaca bisa jadi buruk. Kita
juga ndak tahu bahwa kita bisa nangis, bisa kecewa, bisa marah, bisa terluka atau
lebih dari itu ― bukan karena soal-soal biasa.
Memang tak selalu orang tahu pasti apakah cuaca akan membaik atau justru
memburuk. Kita hanya bisa meramal, seperti nyanyian Bob Dylan itu. You don’t
need a weatherman to know which way the wind blows …
Sambil menunggu Diajeng datang, saya menyesap kopi perlahan. Hmmm, nikmat
betul kopi panas di tengah hujan yang mendinginkan suasana ini. Air hujan
menghapus kabut. Tapi, matahari tak nampak juga. Sudah kesorean rupanya.
Saya mengingat-ingat pesan Diajeng tadi. Kutunggu di tempat senja memerah
dan kabut turun. Apakah saya salah tempat? Rasanya mustahil. Tak ada lagi
tempat seperti itu dalam kamus kami berdua selain di Melrimba Garden. Apakah
saya salah tebak?
Sedetik berubah jadi semenit. Menit-menit berlalu. Tak terasa sudah hampir
sejam saya menunggu. Pelayan datang lagi, “Sudah mau pesan makan, Pak?”
Saya mulai kehilangan kesabaran. Resah. Berkali-kali saya melihat ke arah pintu
gerbang. Satu dua mobil masuk. Tapi, bukan Diajeng. Lama-lama saya nyerah.
Kalau begini caranya, mending saya balik kucing saja. Pulang. Bodo amat dengan
Diajeng. Bukan saya yang butuh, tapi dia. Saya memang sudah berjanji pada
maminya untuk mencari dan menyampaikan pesannya. Tapi, kalau ndak ketemu
seperti ini, ya nanti bilang saja ke mami apa adanya.
Saya sudah hendak berdiri ketika tiba-tiba seorang pelayan datang dengan
tergesa. Setengah berlari. “Maaf Pak … Bapak menunggu Diajeng, ya?”
Saya kaget bin heran. “Iya, kok tahu?”
“Anu Pak, ada telepon untuk Bapak. Katanya dari Diajeng,” katanya sedikit
tergagap.
“Iya, Pak. Silakan Pak, pakai teleponnya di dekat kasir. Mari saya antar,” jawab
pelayan itu seraya membalikkan badan.
Saya mengikutinya dari belakang. Saya bertanya-tanya dalam hati. “Di mana
Diajeng. Kenapa dia telepon? Kenapa …”
Saya segera menuju ke telepon di sebelah kasir dengan sedikit tergopoh. Begitu
sampai, saya langsung mengangkat gagang telepon.
“Kamu di mana, Jeng? Saya sudah nunggu kamu sejam lebih. Kalau … “
“Mas,” Diajeng memotong pertanyaan saya. “Aku nggak punya waktu banyak.
Tolong dengarkan aku dulu ya, Mas. Please.”
“Sebelumnya aku minta maaf, Mas. Aku nggak jadi ke Melrimba. Aku tahu kamu
pasti marah. Tapi, tolong dengarkan aku dulu. Aku sekarang di bandara. Sebentar
lagi pesawatku berangkat.”
“Di bandara? Ngapain? Kamu mau ke mana?” tanya saya penuh rasa heran.
“Aku mau ke Milan, diajak Om. Mendadak memang. I am so sorry for that. But do
you remember that calling? Malam itu lo Mas, waktu kamu mengantarku pulang
ke rumah mami? Itu telepon dari Om. Akhirnya aku nggak bisa menolak
ajakannya. Aku harus, Mas. Ini impianku sejak dulu. Aku nggak tahu sampai kapan
di sana, mungkin malah nggak balik lagi ke Jakarta. Kamu ngerti kan, Mas?”
“Sik, sik, sik … ” saya menyela. “Om? Impian? Kamu ngomong apa sih? Mami kan
…“
Tak ada sahutan. Cuma ada suara tut … tut … tut … Saya pencet-pencet telepon
itu, tapi ndak nyambung juga. Saya tunggu sebentar, siapa tahu Diajeng
mengulang teleponnya.
Lima menit berlalu, telepon tak berdering juga. Kenapa? Akhirnya saya kembali ke
meja.
“Sudah, Mbak. Putus tadi,” jawab saya. “Biarin deh, mungkin nanti dia menelepon
lagi.”
Dalam hati saya misuh-misuh. Diamput. Asyem. Semprul. Diajeng ki maunya apa
sih? Sudah jauh-jauh ke sini, eh dia malah ke bandara. Mau ke Milan pula.
Ngapain gitu lo? Terus yang dia maksud om itu siapa? Seingat saya, Diajeng ndak
punya om. Papinya bungsu dari tiga bersaudara. Satu-satunya adik maminya ada
di Solo. Apa dia yang mengajak Diajeng ke Milan? Ah, embuhlah.
Ciloko tenan ini. Saya ndak bisa menelepon Diajeng pula. Sepertinya dia tadi
memakai telepon umum. Saya ingat handphone Diajeng juga memang di rumah
maminya. Terus piye iki?
Daripada menunggu dalam bengong, saya pesan makan saja. Perut saya mulai
keroncongan, belum diisi sejak siang tadi.
Sambil makan pelan-pelan, otak saya berpikir keras. Saya mulai merasa ada
sesuatu yang ndak beres. Dulu, jarang-jarang Diajeng pergi mendadak seperti ini.
Biasanya jauh-jauh hari dia sudah memberi tahu saya.
Ah, waktu mungkin memang telah mengubah segalanya. Banyak yang saya ndak
tahu lagi tentang Diajeng sejak kami berpisah dulu. Pantas saja, maminya
terdengar seperti agak khawatir juga ketika tadi pagi menelepon saya di rumah.
Entah, saya ndak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Tak terasa, satu jam berlalu. Makanan di piring sudah tandas pindah ke perut.
Diajeng ternyata tak kunjung menelepon. Mungkin dia sudah terbang. Jadi
ngapain saya berlama-lama di sini?
Saya segera membayar dan beranjak meninggalkan Melrimba. Dewi malam mulai
menunjukkan kedatangannya lewat angin yang dingin. Kabut dan gerimis sudah
pergi. Jalanan agak sepi.
Saya ingat, malam-malam begini di Puncak bertahun yang lalu, Diajeng sering
mengajak saya berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di sekitar vila langganan kami
itu. Vila bercat hijau itu kecil saja. Desainnya sangat moi indie, mirip rumah-
rumah sinyo Belanda tempo doeloe. Halaman depannya dihampari rumput dan
pinus.
Kalau sedang berjalan-jalan seperti itu, Diajeng pasti minta digandeng atau
dipeluk, lalu lama-lama ngelendot di bahu saya. “Soalnya aku seneng kalau ada
kamu di sebelahku, Mas. Hangat,” begitu alasannya waktu itu.
Saya cuma mesem. Di atas, langit benderang. Bintang-bintang berjejeran tak
beraturan.
“Mas, bener nggak sih, kata orang bintang itu sebetulnya sudah lama mati,
mungkin bertahun-tahun yang lalu? Hanya karena jaraknya begitu jauh, sinar
terakhirnya baru sampai dan terlihat oleh mata kita sekarang,” tiba-tiba Diajeng
bertanya sambil menengadahkan dagunya yang lancip.
“Misalnya Robert Frost. Dia pernah menulis sebuah puisi, judulnya Stars. Di
antara bait-bait puisinya, Frost menyebut tentang bintang.”
“Tentu.”
Saya lalu membacakan puisi Frost, diambil dari kumpulan sajak A boy’s Will.
Diajeng mendengarkan saya membaca sajak dengan mata tak berkedip dan
mulut melongo.
“Wah … kamu romantis sekali deh, Mas,” katanya sambil memeluk pinggang saya
erat-erat.
“Halah. Romantis opo seh?” jawab saya sambil mengacak-acak rambut Diajeng.
“Tapi, sampai kapan kita begini terus, Mas? Kenapa kita harus bersembunyi
dalam gelap, seperti tikus yang menghindari kucing? Aku kan nggak mau seperti
bintang yang harus mati dulu supaya sinarnya bisa kamu kenang? Aku nggak
mau seperti bintang yang cuma menarik di kejauhan. Aku pengen di dekatmu,
Mas. Bisakah kau tinggalkan mbakyu demi aku?” tanya Diajeng.
Saya lihat bibirnya bergetar. Ups. Sepertinya perang bubat bakal dimulai lagi nih.
Di mana ada pemadam kebakaran?
“Kenapa kamu menanyakan itu, Jeng?” saya balik bertanya untuk meredakan
ketegangan.
“Ya bagaimana lagi, Jeng,” jawab saya masih ogah-ogahan. “Kamu tahu benar
kan, situasinya? Mas kan ndak mungkin meninggalkan mbakyu dan anak-anak.
Sudahlah, Jeng. Mas kan sudah sering bilang, nanti saja kita pikirkan bagaimana
sebaiknya.”
Ah, biarlah. Untuk apa diingat-ingat lagi. Diajeng toh sudah tak ada di sini dan
entah kapan dia pulang lagi. Mungkin juga Diajeng tak akan pernah kembali. Saya
ndak mau terlalu larut memikirkannya lagi. Que sera, sera. Whatever will be, will
be.
Di atas, tak ada bintang seperti yang pernah kami lihat dulu. Langit tertutup
mendung. Jakarta masih sejam lagi, masih cukup panjang jalan menuju pulang. Di
depan, masih ada banyak tikungan yang mesti saya lewati. We never know what
tomorrow brings.
Selamat jalan, Jeng …
HOPE
One look at love and you may see
It weaves a web over mystery,
All ravelled threads can rend apart
For hope has a place in the lover’s heart.
Hope has a place in a lover’s heart … [Enya]
Malam yang murung di pabrik yang sepi. Para buruh sudah pulang sejak tadi.
Tinggal satu-dua orang yang masih bertahan menyelesaikan pekerjaan. Sayup-
sayup terdengar suara Enya menyanyikan Hope Has A Place yang nglangut itu
dari pemutar CD milik seorang teman di pabrik. Ugh, hati saya ikut nglangut.
Kosong.
Sudah tiga hari berlalu sejak Diajeng terbang ke Milan. Rasanya sudah bertahun-
tahun. Saya masih belum mengerti juga bersama siapa dan mengapa ia
mendadak pergi. Terlalu banyak yang saya ndak tahu. Saya sampai pecas ndahe
memikirkan kelebatan bayangan demi bayangan hidup yang bersicepat melawan
waktu. Seperti hubungan saya dan Diajeng dulu.
Berawal dari yang biasa-biasa saja, sampai kemudian kami terjebak dalam
pusaran hubungan yang kian rumit. Sebetulnya saya bukan tak menyadarinya.
Begitu pula Diajeng. Tapi, mungkin kami terlalu bebal atau justru keasyikan
menikmati sesuatu yang sebetulnya kurang patut kami lakukan.
“We did start something, Jeng. So, sooner or later, we have to finish it,” saya
membuka percakapan, straight to the point.
“Makanya, Mas. Don’t start what you cannot finish,” jawab Diajeng enteng.
“Asyem, bukan aku yang memulai,” jawab saya ndak mau kalah.
“Ok. The question is: how? How are we going to finish it, Mas?”
“Cuma dua: kalah atau menang. Kamu atau Mbakyu. Well, memilih itu hal biasa
dalam hidup bukan?”
“Aku nggak tahu, Mas. Toh semua pilihan dan kemungkinan itu punya
kebolehjadiannya sendiri.”
Sekarang mari kita berhitung soal risiko. Ketika saya mempertaruhkan Mbakyu,
risiko terbesar yang mesti saya tanggung adalah perceraian. Sedangkan kamu
mungkin ndak punya konsekuensi yang kamu harus tanggung. Rasanya sulit bagi
diri saya menemukan apa saja yang kamu cintai dalam hidup kemudian
diletakkannya dalam skala prioritas. Suka ndak suka, harus diakui, saya
menanggung risiko yang amat jauh lebih besar.
Diajeng diam saja. Sepertinya tengah berpikir keras. Sesaat kemudian, dengan
suaranya yang melodius, dia bicara.
“Mas, mungkin kita memang tak perlu mengalami pertaruhan kelas berat seperti
yang kamu gambarkan itu. Bisa saja, sampai kita mati nanti, baik Mbakyu dan
anakmu tidak akan pernah tahu soal hubungan kita. Kemungkinan ini ada dan
harus dipertimbangkan, dan aku rasa kita berdua cukup cerdas dan tidak bodoh
untuk menjaga hal tersebut.
Sebaliknya, bisa pula Mbakyu tahu dan ternyata tak ambil pusing tentang
hubungan kita ini. Mungkin, kan? Atau, bisa jadi kita ternyata mampu menjalani
dua kehidupan ini dengan seimbang dan teramat baik. Bisa juga. Bisa jadi
hubungan kita justru mampu membawa kita dalam satu titik equilibrium dari our
good and evil side. Bisa jadi.
Sebaliknya, bisa saja kita bertengkar hebat, saling membanting telpon, pintu, dan
entah apa lagi, lalu hubungan kita pun hancur berantakan. Semuanya punya
kemungkinan dan ketidakmungkinannya masing-masing, Mas.
One thing you should know. Sebenarnya, yang ingin aku sampaikan itu sederhana
sekali. Di tengah-tengah segala kalkulasi yang selama ini aku paparkan dan aku
perkirakan, aku kepingin kamu tahu bahwa aku tuh punya lho sisi sentimentil
yang sangat emosional. Ketika sisi itu berkuasa, segala urusan bisa berjalan
dengan sangat tidak sistematis dan di luar kerangka logis, Mas.
Satu hal aja deh, ngapain sih pakai nangis di kantor? Kenapa coba? Nangis? Di
kantor? Dan nggak kerja? Ngapain juga sih aku begitu? Apa perlunya coba?
Namun, ya harus diakui, aku punya sisi itu. Sekalipun kita sudah melakukan
’semuanya’ dalam waktu kurang dari 6 bulan, sisi kacau balau ini rasanya belum
termasuk ‘paket instan’ itu deh.
Jadi, kalau sekarang kamu bertanya, apakah aku ingin mengakhiri semuanya
sekarang? Wah, sebenarnya yang aku mau kasih tahu ke kamu adalah … hehehe,
aku … aku lagi kangen sekali nih sama kamu … dan maaf ya, aku menyatakannya
dengan rada-rada cengeng dan kacau balau… hehehe, jadi malu … “
Saya cuma bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban, err … isi hati Diajeng.
Rupanya dia sudah ndak bisa dibelokkan lagi ke mana-mana. Satu kata, satu hati,
satu keinginan: hidup bersama saya.