Anda di halaman 1dari 22

SPONDILOSIS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 S1 yang paling besar menerima
beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal paling
besar sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute (2010),
daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya nyeri
pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat
menumpuh berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang
sangat berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar spine.

Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang


umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy
lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi dan
tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan skoliosis)
(William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90%
pasien nyeri pinggang mengalami spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan
menurut Kelly Redden (2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu mekanikal nyeri
pinggang dan non-mekanikal nyeri pinggang. Mekanikal nyeri pinggang terdiri dari lumbar
strain/sprain, spondylosis lumbal, piriformis syndrome, herniasi diskus, spinal stenosis,
fraktur kompresi osteoporotik, spondylolisthesis, fraktur traumatik, dan penyakit kongenital

(skoliosis). Diantara kondisi tersebut, spondylosis lumbal menduduki peringkat kedua


dengan persentase 10% dari mekanikal nyeri pinggang sedangkan lumbar strain/sprain
memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari mekanikal nyeri pinggang.
Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau
diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk
dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan
bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas
juga berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia,
2009).
Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang menyebabkan
perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet joint). Kondisi ini
terjadi pada usia 30 45 tahun namun paling banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih
banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya
spondylosis lumbar adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress mekanikal dalam
aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar dapat bersifat
asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik (muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering
muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann
Thomson, 1991).
Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan intervensi
fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut.
Pemberian Short Wave Diathermy yang menghasilkan efek thermal dapat menurunkan nyeri
dan spasme otot. Adanya efek panas yang sedatif dapat merangsang ujung saraf sensorik dan

proprioseptor sehingga nyeri dan spasme otot lambat laun akan menurun (Hilary
Wadsworth, 1988). Kemudian pemberian William Flexion Exercise dapat menghasilkan
peningkatan stabilitas lumbal dan menambah luas gerak sendi pada lumbal melalui
peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot (Paul Hooper, 1999). Kondisi ini juga banyak
ditemukan disetiap Rumah Sakit Kota Makassar dan di RSUD. Syekh Yusuf Gowa.
Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa pasien yang berusia 40 tahun keatas dan
umumnya wanita mengalami kondisi spondylosis lumbal dengan problem nyeri pinggang
serta gangguan gerak dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya membatasi aktivitas
kegiatan sehari-hari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh fisioterapi kondisinya
menjadi membaik. Hal ini yang mendorong peneliti tertarik mengambil topik penelitian ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Spondylosis Lumbal


1. Pengertian
Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi
intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis
yang juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga
dapat terjadi pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua
perubahan degeneratif tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al,
1991).
Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan
diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra
tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang
lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam
(Bruce M. Rothschild, 2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005),
spondylosis lumbar didefinisikan sebagai perubahan degeneratif yang menyerang
vertebra lumbar atau diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan
kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau
kompresi akar saraf lumbosacral.
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang
yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi
umumnya terjadi pada segmen L4 L5 dan L5 S1. Komponen-komponen vertebra yang

seringkali mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus


vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum) (John J. Regan, 2010).
2. Etiologi
Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau
perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak
berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok
dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009).
Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 45 tahun dan paling banyak pada usia
45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktorfaktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al,
1991) :
a. Kebiasaan postur yang jelek
b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan
mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.
c. Tipe tubuh

Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada


vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :
a. Faktor usia
Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses
penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya
pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis
deformans atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39

70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan
sekitar 98% pada usia 70 tahun.
b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan
Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian
retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban
pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus
menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor
yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.
c. Peran herediter
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus.
Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang
ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian
tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan
bahwa sekitar (47 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan
lingkungan, sedangkan hanya 2 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance
training.
d. Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif
pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit
mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin
terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi
fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.
3. Patologi Terapan

Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan
tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (loadbearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang
cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55%
kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40
tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat
dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang
melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan fraktur
end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene Hertling and
Randolph M. Kessler, 2006).
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus
sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada
cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara
bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang
memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang
dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan
memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar.
Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan
harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,
2006).
Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,
2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang

mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3
fase kemunduran yaitu :
a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi
abnormal pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi
pada segmen gerak masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada
facet joint selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya.
Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat menyebabkan stretch pada kapsul sendi.
Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk suatu lipatan didalam sendi
sehingga menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan cartilago dan
kerusakan cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain
melibatkan kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang
penopang (corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi
kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus.
Jika kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi
karena adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang
terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara perlahan akan
terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential yang robek dimana
bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan
hilangnya kandungan proteoglycan.
b. Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang
berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan permanen
dari instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada
tahun-tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang

subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi,
sehingga menghasilkan osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus
membentuk jangkar oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya,
sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil.
c. Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian
posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit
membentuk respon terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang
terlibat. Formasi osteofit yang terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan
permukaan penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan suatu
kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada segmen gerak.
Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan
fraktur end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial
terhadap segmen tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas.
Pada lumbal spine bagian bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun
terakhir, dan perubahan facet terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama
kali terjadi pada L5 S1 dan pada L4 L5. Perubahan degenerasi pada synovial dan
intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan, dan paling sering terjadi pada
lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang melibatkan seluruh segmen
gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60% pada orang-orang yang
lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat
perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan
degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari

penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan


penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat
penipisan ligamen longitudinal posterior yang berlebihan dapat memungkinkan bulging
(penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan
gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular
superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral
joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan perubahan
mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan space sendi yang
mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada processus articular
inferior superior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan
canalis sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya
penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan space
diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks
saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada
facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri
pinggang (S.E. Smith, 2009).
4. Gambaran Klinis
Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi
nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis,
sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine
(Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).

Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam


gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui
pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi
diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran
klinis yang muncul berupa neurogenik claudication, yang mencakup nyeri pinggang,
nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang
dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang
(Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi
hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa
timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus
fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan
gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti
mengangkat beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat
meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010).
5. Anatomi Biomekanik Lumbal
Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum sacrum.
Pada regio lumbal tidak mempunyai foramen transversum dan facet articular costalis.
Corpus vertebra lumbal berbentuk besar dan sedikit lebih tebal seperti ginjal.
Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang tumpul
dan kuat. Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen lumbal bagian
atas, tetapi pada L5 processus tranversusnya tebal dan bulat puntung. Diantara segmen

gerak lumbal terdapat foramen intervertebralis yang terbentuk dari pedicle yang
berhubungan dengan lamina bagian atas dan bawah.
Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan dengan
pedicles dan lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang terletak dalam
bidang oblique kearah posterior dan lateral dimana facet articularisnya konkaf dan
mengarah ke dorsomedial sehingga hampir saling berhadapan satu sama lain, serta
processus articularis inferior yang muncul dari tepi inferior arcus vertebra yang dekat
antara lamina dan processus spinosus, menghadap kearah inferior dan medial, dan
permukaan sendinya mengarah ke ventrolateral. Dengan demikian antara facet articularis
superior vertebra bagian bawah dan facet articularis inferior pada vertebra bagian atas
dapat saling mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah bahwa
susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal.
Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal, maka dapat
dipilah dalam segmentasi regional sebagai berikut :
a. Thoracolumbal junction
Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine
dimana th12 arah superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang arah
inferior facet pada bidang sagital gerakan utamanya flexion-extension yg luas. Pada
gerak lumbar spine memaksa th12 hingga Th10 mengikuti. Pada atlit senam pada
daerah ini dapat mencapai ROM fleksi 550 dan ekstensi 250.
b. Lumbal spine
Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis dengan
puncak L3 sebesar 24 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk kompresi

maupun momen. Stabilitas dan gerakannya ditentukan oleh facet, diskus, ligament dan
otot disamping corpus itu sendiri.
Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung dalam
posisi bidang sagital sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan gerak yang
luas yaitu fleksi - ekstensi lumbal.
c. Lumbosacral joint
L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat lumbal
mempunyai gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya lumbosacral
joint menerima beban gerakan dan berat badan paling besar pada regio lumbal.
Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal
Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak terdapat
pada setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting sebagai elemen
fungsional tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian anterior (diskus
intervertebralis yang membentuk symphisis joint), dan 2 sendi bagian posterior
(apophyseal/facet joint). Sedangkan segmen transitional adalah segmen gerak yang
terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal terdapat 2 segmen transitional
yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal junction) dan segmen gerak L5-S1
(lumbosacral joint). Dibawah ini akan dijelaskan tentang three joint kompleks.
a. Diskus Intervertebralis
Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis,
merupakan fibrocartilago compleks yang membentuk articulasio antara corpus
vertebra, dikenal sebagai symphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang dewasa
memberikan kontribusi sekitar dari tinggi spine. Diskus intervertebralis memberikan

penyatuan yang sangat kuat, derajat fiksasi intervertebralis yang penting untuk aksi
yang efektif dan proteksi alignmen dari canal neural. Diskus juga dapat
memungkinkan gerak yang luas pada vertebra. Setiap diskus terdiri atas 2 komponen
yaitu :
1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly transparan,
mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan
unsur-unsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan
hidrophilic yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks mucopolysaccharida
yang mengandung ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid & keratin sulfat.
Nukleus pulposus tidak mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus
mempunyai kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi
serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus & sebagai shock absorber.
2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan collagen
yang nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique & menjadi lebih oblique
kearah sentral. Karena serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30o satu
sama lainnya maka struktur ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban
kompresi, tension, dan shear. Serabut-serabutnya sangat penting dalam fungsi
mekanikal dari diskus intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan organisasi
dan orientasi saat pembebanan pada diskus dan saat degenerasi diskus. Susunan
serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya & mencegah terjadinya
prolapsus nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring
(gulungan pegas) terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra

secara bersamaan melawan tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti
bola.
Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan
postur tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis disebut
tekanan intradiskal. Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal berhubungan erat
dengan perubahan postur tubuh. Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal
yaitu pada L3-L4 karena L3-L4 menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio
lumbal. Dari penelitian Nachemson menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat
berbaring antara 15 25 kp dan tidur miring menjadi 2 x lebih besar dari berbaring.
Pada saat berdiri tekanan intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan tersebut menjadi lebih
besar saat duduk tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat berdiri
membungkuk dari 100 kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk membungkuk
tekanan intradiskal meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan tekanan dapat mencapai
200 kp lebih jika mengangkat barang dalam posisi berdiri membungkuk dan duduk
membungkuk.
b. Facet Joint
Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah
dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam
non-axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan
terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada sendi facet adalah gliding
yang cukup kecil. Besarnya gerakan pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah
permukaan facet articular.

Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya terletak lebih
dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap kearah medial dan sedikit
posterior, sedangkan facet bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit
anterior. Kemudian, facet bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet
bagian bawah adalah konveks. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal
sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbal sangat terbatas.
Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih kearah bidang frontal daripada
sebenarnya pada sendi-sendi lumbal lainnya.
Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk
menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana -nya diberikan oleh sendi facet. Sendi
facet juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama pada saat spine
hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar terjadi pada sendi facet L5-S1.
Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot.
Ligamen-ligamen yang memperkuat segmen gerak adalah :
a. Ligamen longitudinal anterior
Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari basis
occiput ke sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke sacrum,
ligamen ini masuk ke dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan melekat pada
antero-superior corpus vertebra. Ligamen longitudinal anterior merupakan ligamen
yang tebal dan kuat, dan berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi
lumbal.
b. Ligamen longitudinal posterior

Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal sacral


pada bagian posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada permukaan
posterior vertebra. Pada regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit dan semakin
sempit pada lumbosacral, sehingga ligamen ini lebih lemah daripada ligamen
longitudinal anterior. Dengan demikian diskus intervertebralis lumbal pada bagian
posterolateral tidak terlindungi oleh ligamen longitudinal posterior. Ligamen ini sangat
sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A delta dan tipe C)
dan memiliki sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator
pasif saat gerakan fleksi lumbal.
c. Ligamen flavum
Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap
lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan
ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut
elastin daripada serabut kolagen dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada
vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan fleksi lumbal.
d. Ligamen interspinosus
Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan
memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan
sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
e. Ligamen supraspinosus
Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio lumbal,
ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal.
Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.

f. Ligamen intertransversalis
Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan
berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi
kearah kontralateral.
Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:
a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia
lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan
procesus spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu:
1) M. Transverso spinalis
2) M. Longissimus
3) M. Iliocostalis
4) M. Spinalis
5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m. intrasversaris
Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai
stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.
b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat
dinding abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam
fungsi spine, yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan
m. transversalis abdominis. Group otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat
dan berperan dalam mendatarkan kurva lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan
external berperan pada rotasi trunk. Didalam memperkuat dinding abdominal, m.
abdominal bekerja sebagai direct brace, m. obliqus internal bekerja sebagai oblique

brace kearah inferior dan posterior sedangkan m. obliqus external bekerja sebagai
brace kearah anterior.
c. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang
terdiri dari :
1) M. Quadratus Lumborum
2) M. Psoas
Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.
Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada saat
fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur
serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama, processus articularis
inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak
menjauhi processus articularis superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsularligamenter sendi facet akan mengalami peregangan secara maksimal serta ligamen pada
arcus vertebra (ligamen flavum), ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus dan
ligamen longitudinal posterior.
Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus
fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen longitudinal anterior
juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal posterior relaks. Pada saat
yang sama, processus articularis dari vertebra bagian bawah dan atas menjadi saling
terkunci, dan processus spinosus dapat saling bersentuhan satu sama lain.
Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah
ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena nukleus
bergeser kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi kontralateral mengalami

peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular
relatif bergeser satu sama lain sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari
vertebra atas akan bergerak naik sementara sisi kontralateral akan bergerak turun.
Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadap vertebra bagian
bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara processus
spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan dalam
gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet
vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B. Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal
mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10o dan ROM segmental sekitar 2o dan
segmental unilateral sekitar 1o.

B.

Tinjauan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Spondylosis Lumbal


1. Problematik Fisioterapi
Spondylosis lumbal umumnya menimbulkan nyeri dan kekakuan gerak pada regio
lumbal, khususnya muncul pada pagi hari. Nyeri dapat bersifat menjalar baik ke dorsal
paha maupun ke daerah kaki. Rasa nyeri dan kekakuan dapat menyebabkan spasme pada
otot erector spine sehingga membatasi gerakan pada lumbal. Dengan demikian, kondisi
ini dapat menimbulkan problematik fisioterapi, antara lain : nyeri menjalar, spasme otot
erector spine lumbal, keterbatasan gerak vertebra lumbal yang menyebabkan gangguan
fleksibilitas lumbal.
2. Tindakan Fisioterapi
a. Short Wave Diathermy (SWD)
Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi
yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan tubuh.

Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek-efek nonthermal.


Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atas short wave diathermy
(yang akan dibahas) dan microwave diathermy.
Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi
elektromagnetik dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal Communications
Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada short wave
diathermy, yaitu :
1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter
2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter
3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter
Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah
frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.
Short wave diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus
yaitu arus Continuos SWD dan Pulsed SWD.
1) Sifat Pancaran energi elektromagnetik
Telah

dijelaskan

diatas

bahwa

arus

SWD

menghasilkan

energi

elektromagnetik, dimana energi tersebut memancarkan medan listrik dan medan


magnet. Arus tersebut tidak menimbulkan aksi potensial pada serabut saraf motorik
maupun sensorik, dengan kata lain tidak merangsang saraf motorik untuk
berkontraksi, karena arus frekuensi tinggi mempunyai osilasi lebih dari 500.000
siklus/detik yang akan memberikan 1.000.000 implus

Anda mungkin juga menyukai