PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
o Nama
: Tn. D
o Usia
: 53 Tahun
o Jenis Kelamin : Laki laki
o Alamat
: Jl. Teluk Pucung No.15, RT003/003, Bekasi Barat
o Status
: Menikah
o Pekerjaan
: Wiraswasta
o Agama
: Islam
o Suku
: Jawa
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis, Senin 20 Oktober 2014 di ruang
perawatan Anggrek, RSUD Bekasi.
1. Keluhan Utama
Pasien merasa lemas sejak 5 hari yang lalu.
2. Keluhan Tambahan
Badan terasa pegal pegal, dada terasa sesak, dan kedua tangan terasa
gatal gatal.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Bekasi dengan keluhan lemas sejak 5 hari
yang lalu. 3 hari yang lalu setelah berobat ke klinik umum dengan keluhan
stress. Pasien merasa semakin lemas setelah mengkonsumsi obat piroxicam dan
amitriptilin. Pasien merasa mengantuk terus menerus dan kekuatan untuk
menggenggam berkurang.
Pasien merasa semakin lemas hingga datang ke IGD serta pasien
mengeluh gula darahnya yang tinggi berdasarkan pengukuran sendiri di rumah
pada hari itu yaitu 420 g/dl. Pasien merasa lemas disertai badan terasa pegal,
dada terasa sesak, dan kedua tangan terasa gatal gatal. Selain gatal gatal
pasien sering merasa kesemutan dan baal pada kedua tangan dan kaki.
Pasien merasakan ketajaman penglihatan yang mulai berkurang hingga
sulit mengenali orang dalam beberapa tahun terakhir. Berat badan pasien
awalnya 90 kg kemudian turun menjadi 78 kg dalam beberapa tahun terakhir.
Pasien mengeluh sulit buang air besar dalam 1 minggu terakhir, buang air kecil
sedikit dan tampak berbusa. Tidak terdapat mual, muntah dan keluhan diare.
Tidak terdapat demam. Pasien tidak sampai hilang kesadaran atau pingsan.
Nafsu makan dan minum baik.
2
- Telinga : Nyeri tarik -/-, nyeri tekan -/-, benjolan -/- Mulut : Bibir kering (-), Sianosis (-), mukosa bibir dan lidah kering
(-)uvula di tengah, tonsil T1-T1 tenang, mukosa faring tidak
hiperemis,
2. Leher
- Kelenjar getah bening : Tidak tampak dan tidak teraba pembesaran
kelenjar getah bening
- Tiroid
: Tiroid teraba tidak membesar, tidak terdapat
nyeri tekan
- Trachea
: Terletak di tengah
- Kaku kuduk
: (-)
3. Paru
- Inspeksi
: - Bentuk dada normal, simetris, sela iga tidak
menyempit atau melebar, retraksi sela iga (-), dilatasi vena (-)
- Gerak nafas abdomino torakal, simetris, tidak ada
lapang paru yang tertinggal
- Palpasi
: Vocal fremitus teraba simetris
- Perkusi
: - Kedua lapang paru terdengar sonor
- Batas paru-hepar setinggi sela iga ke-5 garis
midclavicularis kanan, peranjakkan positif 2 jari
- Batas paru-jantung kanan setinggi sela iga ke-3
garis sternalis kanan
- Batas paru-jantung kiri setinggi sela iga ke-3 garis
parasternalis kiri
- Batas paru-lambung setinggi sela iga ke-8 garis
aksilaris anterior kiri
- Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/4. Jantung
- Inpeksi
: Pulsasi ictus cordis (-)
- Palpasi
: Teraba ictus cordis pada garis midclavilcularis kiri
setinggi sela iga ke-5
- Perkusi
: Kedua lapang paru terdengar sonor
- Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/- Bunyi Jantung I dan II terdengar reguler, S3 (-), S4
(-), gallop (-), tidak terdapat murmur pada kempat
Natrium (Na)
Kalium (K)
Clorida (Cl)
214 mg/dL
III. Elektrolit
133 mmol/L
135 145 mmol/L
4,9 mmol/L
3,5 5 mmol/L
89 mmol/L
94 111 mmol/L
Meningkat
Menurun
Menurun
Menurun
22/10/2014
Lemas
berkurang,
mual,
meriang
maalm hari
1.DM Tipe 2
2.Neuropati
Perifer
3.Hemiparese
Dextra
Terapi Lanjut
Injeksi
Ondansentron
4 mg 1xI IV
Novomix stop
Novorapid
2x17 U/SC
Konsul Neuro
CT Scan
23/10/2014
24/10/2014
Keton: Negatif
Urobilinogen:0,2
Bilirubin: (-)
Darah samar: (-)
Leukosit Esterase:(-)
Nitrit: (-)
Eri: 0-2;Leu: 0-5
Silinder: (-)
Epitel: Gepeng (+)
Kristal: (-),
Bakteri: (-), lain2: (-)
Kesan Toraks Foto:
Normal
Bersin,
TSS, CM
batuk,
TD: 150/90mmHg
gelisah saat N: 100x/m
akan
CT R:12x/m
Scan
S:36,5
Kepala: CA -/-, SI-/Pulmo: SN Vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/Cor:
S1-S2
reguler,
murmur (-), gallop(-)
Abd: Mendatar, BU (+),
supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat,
udem
(-),
kekuatan
motorik 4/5
GDS:229
Bersin,
TSS, CM
batuk, pilek, TD: 170/90mmHg
N: 90x/m
R:12x/m
S:36,5
Kepala: CA -/-, SI-/Pulmo: SN Vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/Cor:
S1-S2
reguler,
murmur (-), gallop(-)
Abd: Mendatar, BU (+),
supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat,
udem
(-),
kekuatan
1.DM Tipe 2
2.Neuropati
Perifer
3.Hemiparese
Dextra
1.DM Tipe 2
2.Neuropati
Perifer
3.Hemiparese
Dextra
4. SNH
Terapi lanjut
Aminofluid
stop,
IVFD
RL500cc/8
Jam
Novorapid
3x17 U/SC
Ondansentron
2xI IV
Neuro:
Provelyn
Megabalt
CT Scan
Premedikasi
diazepam
2,5mg 1xI IV
Terapi Lanjut
Novorapid
3x19 U/SC
Cek GDS
25/10/2014
Sariawan,
demam
26/10/2014
Demam
27/10/2014
Lemas,
sariawan
motorik 4/5
Kesan CT Scan: Infark
parietal
Dextra
dan
Occipital
TSS, CM
TD: 130/80mmHg
N: 90x/m
R:12x/m
S:38,3
Kepala: CA -/-, SI-/Pulmo: SN Vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/Cor:
S1-S2
reguler,
murmur (-), gallop(-)
Abd: Mendatar, BU (+),
supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat,
udem
(-),
kekuatan
motorik 4/5
GDS: 249
TSS, CM, GCS:12
TD: 130/80mmHg
N: 90x/m
R:12x/m
S:38,8
Kepala: CA -/-, SI-/Pulmo: SN Vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/Cor:
S1-S2
reguler,
murmur (-), gallop(-)
Abd: Mendatar, BU (+),
supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat,
udem
(-),
kekuatan
motorik 4/5
GDS Pagi: 208
GDS Sore: 78
GDS Malam:115
TSS, CM
TD: 120/90mmHg
N: 90x/m
R:12x/m
S:36,7
Kepala: CA -/-, SI-/-
1.DM Tipe 2
2.Neuropati
Perifer
3.Hemiparese
Dextra
4. SNH
Terapi Lanjut
IVFD RL +
NB
500cc/8jam
1.DM Tipe 2
2.Neuropati
Perifer
3.Hemiparese
Dextra
4. SNH
5. Susp.
Hipoglikemi
Terapi Lanjut
IVFD Dxtrose
40%
Sanmol drip
Cek GDS tiap
2 jam
1.DM Tipe 2
2.Neuropati
Perifer
3.Hemiparese
Dextra
Terapi lanjut
Neuro:
-lepas rawat
-Fisioterapi 2
kali seminggu
9
28/102014
Tidak
lemas,
sariawan,
nyeri
tenggorok
Pulmo: SN Vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/Cor:
S1-S2
reguler,
murmur (-), gallop(-)
Abd: Mendatar, BU (+),
supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat,
udem
(-),
kekuatan
motorik 4/5
GDS:199
TSS, CM
TD: 120/90mmHg
N: 90x/m
R:12x/m
S:36,7
Kepala: CA -/-, SI-/Pulmo: SN Vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/Cor:
S1-S2
reguler,
murmur (-), gallop(-)
Abd: Mendatar, BU (+),
supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat,
udem
(-),
kekuatan
motorik 4/5
1.DM Tipe 2
2.Neuropati
Perifer
3.Hemiparese
Dextra
4. SNH
Acc
Jalan
Rawat
10
Bab III
PEMBAHASAN
11
Eksokrin
Pankreas:
pancreatitis,
trauma/pankreaktomi,
akromegali,
sindrom
cushing,
feokromsitoma,
obat/zat
kimia:
vacor,
pentamidin,
asam
nikotinat,
12
peningkatan prevalensi, pada tahun 2007 prevalensinya dari 1,1%.2 Riskesdas 2013
3.1.4. Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah.
Dalam menentukkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan
cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM, pemeriksaan darah seyogyanya dilakukan di laboratorium
klinik yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur. Walaupun
demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole
blood), vena atau kapiler dengan memperhatikan angka angka kriteria diagnostic yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat
diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala,
yang mempunyai risiko DM. (Serangkaian uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada
mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis
definitive.)
13
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan
berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM
diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
(pria) dan pruritus vulva (wanita).4
Menurut Standar of Medical Care In Diabetes 2014 oleh ADA, Diabetes
didiagnosis berdasarkan kriteria kadar glukosa plasma, yaitu glukosa plasma puasa atau
kadar glukosa 2 jam pasca pembebanan ( tes toloeransi glukosa oral). Kriteria A1C (
6,5%) juga dimasukkan sebagai pilihan ketiga untuk mendiagnosis diabetes.6
No. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
1.
Kadar A1C 6,5%. Uji kadar A1C harus dilakukan pada laboratorium yang
menggunakan metode yang sudah tersetifikasi NGSP dan dan terstandarisasi DCCT
assay.*
Atau
2.
Glukosa Plasma Puasa 126g/dl (7,0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak
mendapat kalori tambahan setidaknya 8 jam.*
Atau
3.
Glukosa plasma 2 jam 200mg/dL (11,1 mmol/) pada TTGO. TTGO dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.*
Atau
4.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum permeriksaa, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3
yaitu:
1. Normal : <140mg/dL
2. Toleransi Glukosa Terganggu: 140-199mg/dL
3. Diabetes Mellitus: 200mg/dL
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: 1)
Aktivitas fisik kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first
degree relative), 3) masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino,
Native American, Asian American, Pacific Islander), 4) Wanita dengan riwayat
melahirkan bayi dengan berat >4.000 gram atau riwayat Diabetes Mellitus Gestational
(DMG), 5) Hipertensi (tekanan darah >140/90mmHg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi), 6) Kolsterol HDL <35mg/dL dan atau trigliserida >250mg/dL, 7) Wanita
dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT), 9) keadaan lain yang berhubungan dengan
resistansi insulin (obesitas, akantosis nigrikans) dan 10) riwayat penyakit kardiovaskular.
Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau
sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya
negative, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka
15
yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap
3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing masing pasien.
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi
glukosa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukkan langkah yang tepat untuk
mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan semetara menuju DM.
Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.
Adanya TGT sering berkaitan dengan resiten insulin. Pada kelompok TGT ini risiko
terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering
berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para
pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapar ditegakkan sedini mungkin
dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.
1) Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta. Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan
konsentrasi insulin, pro insulin, dan sekresi peptide penghubung (C-Peptide). Nilai niali
Glycosilated haemoglobin (WHO memakai istilah Glyclated haemoglobin), nilai
derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan tolerasnsi glukosa juga
bermanfaat untuk penilaian kerusakkan ini. 2) Indeks proses diabetogenik. Untuk
penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan tipe dan subtipe HLA; adanya tipe dan titer antibody dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau
pulau Langerhans (islet cell antibodies), Anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) dan
sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pankreas; ditemukannya
susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan ditemukannya penyakit lain pada
pankreas dan penyakit endokrin lainnya.7
17
18
2.1.5 Patogenesis
Pada DM tipe 1 atau yang disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
terjadi ketiadaan insulin yang mutlak, sehingga penderita membutuhkan pasokan insulin
dari luar. Kondisi ini disebabkan karena adanya lesi pada sel beta pankreas. Pembentukan
lesi ini disebabkan karena mekanisme gangguan autoimun dan infeksi virus yang terlibat
dalam kerusakan sel-sel beta. Adanya antibodi atau autoimun yang menyerang sel beta
biasanya dideteksi beberapa tahun sebelum timbulnya penyakit. DM tipe 1 dapat
berkembang secara tiba-tiba, dengan tiga gejala pokok: (1) meningkatnya glukosa darah,
(2) peningkatan penggunaan lemak untuk energi dan pembentukan kolesterol oleh hati,
dan (3) penipisan protein tubuh.
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang progresif, dimulai
dengan resistensi insulin yang mengarah ke peningkatan produksi glukosa hepatik dan
berakhir dengan kerusakan sel beta. Resistensi insulin didefinisikan sebagai
ketidakmampuan jaringan target seperti otot dan
19
jumlah cukup untuk menurunkan kadar gula darah, disertai dengan peningkatan glukosa
hepatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh otot dan lemak akan mempengaruhi
kadar gula dara puasa dan postpandrial. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas
akan menurun dan terjadi hiperglikemia berat.
2.1.6 Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi nutrisii medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
2.1.6.1 Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Perilaku yang diharapkan
adalah:
Mengikuti pola makan sehat.
Meningkatkan kegiatan jasmani.
Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaa khusus secara aman dan
teratur.
Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan data
yang ada.
Melakukan perawatan kaki secara berkala
Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut dengan
tepat
21
Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air
Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkeluapas,
kemerahan, atau luka
Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab ke kulit yang kering
22
Keringkan kaki, sela-sela jari kaki teratur setelah dari kamar mandi
Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujungujung jari kaki
Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus
Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi
Jangan gunakan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk kaki.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
Kegagalan pengendalian glikemia pada Diabetes Mellitus (DM) setelah
melakukan perubahan gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat
mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit dapat menghambatnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut sangat diperlukan peran serta para pengelola kesehatan
di tingkat pelayanan primer.
Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang
ditandai adanya gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi
insulin) pada organ target terutama hati dan otot. Selain pada otot, resistensi insulin juga
dapat terjadi pada jaringan adiposa, sehingga merangsang proses lipolisis dan
meningkatkan asam lemak bebas. Hal ini juga mengakibatkan gangguan proses ambilan
glukosa oleh sel otot dan mengganggu sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Fenomena
ini yang disebeut dengan lipotoksisitas.
2.1.6.2 Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya).Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang
23
diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan
yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhankalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin.
A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
o Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
o Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
o Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan
sama dengan makanan keluarga yang lain
o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
o Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi
batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
o Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori.
o Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
o Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
o Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
o Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
24
o Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang,cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.
o Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8g/KgBB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi.
Natrium
o Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur.
o Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400mg.
o Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk
kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
Pemanis Alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.Gula alkohol antara lain
isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. Dalam penggunaannya, pemanis
berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori
sehari. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah. Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain
aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame. Pemanis aman
digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake / ADI)
B. Kebutuhan Kalori
25
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan
Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150cm, rumus
dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih 23,0
Dengan risiko
: 23,0-24,9
Obesitas I
: 25,0-29,9
Obesitas II
: >30
26
27
tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang
relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
2.1.6.4 Terapi Farmakologis
Dengan dasar pengetahuan ini maka dapatlah diperkirakan bahwa dalam
mengelola diabetes tipe 2, pemilihan penggunan intervensi farmkologik sangat
bergantung pada fase mana diagnosis diabtes ditergakkan yaitu sesuai dengan kelainan
dasar yang terjadi pada saat tersebut:
1. Resistensi Insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
2. Kenaikan produksi glukosa oleh hati
3. Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas.
Pilar penatalakasanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu
berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan
penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah
langkah pendekatan non farmakologik tersebut belum mampu mencapai sasaran
pengendalian DM belum tercapai., maka dilanjutkan dengan penggunan perlu
penambahan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi di samping tetap
melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai. Dalam melakukan
pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan
macam macam penyebab terjadinya hiperglikemia.
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat meningkat akibatnya adanya
infeksi, stress akut (gagal jantung, iskemi jantung akut), tanda tanda defisiensi insulin
yang berat (penurunan berat badan yang cepat, ketosis, ketoasidosis) aau pada kehamilan
yang kendali glikemiknya tidak terkontrol dengan perencanaan makan, maka pengelolaan
28
29
30
diberikan bersamaan dengan makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah
asidosis laktat, meskipun jarang namun dapat berakibat fatal. Pada gangguan fungsi
ginjal yang berat, metformin dosis tinggi akan terakumulasi di mitokondria dan
menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis laktat (yang
dapat diperberat dengan alkohol. Untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin >1,3mg/dL pada perempuan dan
>1,5mg/dL pada laki laki. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi hati,
infeksi berat, pennggunaan alkohol berlebihan serta penyandang gagal jantung yang
memerlukan terapi.
Glitazone (Thiazolidones)
Merupakan agonis peroxisome proliferator-activated receptor gamma
(PPAR-y) yang sangat selektif dan poten. Glitazon merupakan regulator homeostasis
lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Sama seperti metformin, glitazone tidak
menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas bahkan menunrunkan konsentrasi
insulin lebih besar daipada metformin.
Glitazone dapat menigkatkan berat badan dan edema pada 3 -5% pasien
akibat beberapa mekanisme, antara lain; penumpukan lemak subkutan di perifer dengan
pengurangan lemak viseral; meningkatnya volume plasma akibat aktivasi reseptor
PPARy di ginjal; penurunan ekskresi natrium di ginjal sehingga terjadi peningkatan
natrium dan retensi cairan.
Selain penambahan berat badan dan edema terdapat keluhan infeksi saluran nafas
atas (16%), sakit kepala (7,1%) dan anemia dilusional (penurunan hemoglobin (Hb)
sekitar 1 gr/dL. Pemakaian glitazone dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati (ALT
dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal. Pemakaiannya harus hati-hati pada pasien
dengan riwayat penyakit hati sebelumnya, gagal jantung NYHA kelas 3 dan 4.
Berdasarkan hasil meta anylisis, dilaporkan risiko kematian akibat kardiovaskular
meningkat 43% dan infark miokard 43%.
Golongan Sekretagok Insulin
31
ketiga.
SU
generasi
pertama
adalah
acetohexamide,
tolbutamide,
dan
32
33
34
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat obatan
tersebut. (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya
24 jam).
c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan
obat oral golongan lain, bila gagal, baru beralih kepada insulin.
e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
Sasaran pengelolaan diabetes mellitus bukan hanya glukosa darah saja, tetapi
juga termasuk faktor faktor lain yaitu berat badan, tekanan darah, dan profil lipid,
seperti tampak pada sasaran pengendalian diabetes mellitus yang dianjurkan dalam
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe2 di Indonesia tahun 2011.
Dengan berbagai macam usaha tersebut, diharapkan sasaran pengendalian
glikemia pada diabetes melitus seperti yang dianjurkan oleh pakar diabetes di Indonsia
dapat dicapai, sehingga pada gilirannya nanti komplikasi kronik diabetes melitus juga
dapat dicegah dan pasien diabetes mellitus dapat hidup berbahagia bersama diabetes yang
disandangnya.
Insulin
Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human insulinsampai insulin
analog. Memahami farmakokinetik berbagai jenis insulin menjadi landasan dalam
penggunaan insulin sehingga pemakaiannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan tubuh.
Sebagai contoh, pada kebutuhan insulin basal dan prandial/setelah makan terdapat
perbedaan jenis insulin yang digunakan. Dengan demikian, pada akhirnya, akan tercapai
kendali kadar glukosa darah sesuai sasaran terapi. Seperti telah diketahui ,
untuk
memenuhi kebutuhan insulin basal dapat digunakan insulin kerja menengah (intermediate
acting insulin) atau kerja panjang ( long - acting insulin); sementara untuk memenuhi
kebutuhan insulin prandial (setelah makan) digunakan insulin kerja cepat (sering disebut
insulin reguler/short-acting insulin) atau insulin kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-rapid
acting insulin). Di pasaran, selain tersedia insulin dengan komposisi tersendiri, juga ada
35
sediaan yang sudah dalam bentuk campuran antara insulin kerja cepat atau sangat cepat
dengan insulin kerja menengah (disebut juga pre mixed insulin).8
36
Berdasarkan berbagain penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin pada pasien
hiperglikemia memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat memperbaiki status
metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki efek lain yang
bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi.
Infus insulin (glucose-insulin-potassium [GIK]) terbukti dapat memperbaiki
luaran pada pasien gawat darurat yang dirawat di ruang intensif akibat kelainan jantung
atau stroke. Terapi insulin intensif padapasien gawat darurat yang dirawat di ruang
intensif terbukti dapat menurunkan angka kematian. Hal tersebut terutama disebabkan
oleh penurunan angka kejadian kegagalan organ multipel akibat sepsis. Selain itu,
penggunaan infus insulin juga dapat menurunkan mortalitas di rumah sakit secara
keseluruhan, sepsis, gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis atau hemofiltrasi,
jumlah transfusi darah sel darah merah, polineuropati, dan penurunan penggunaan
ventilasi mekanis yang berkepanjangan serta lama perawatan di ruang intensif.
Penggunaan infus insulin-glukosa secara intensif pada pasien infark miokard akut juga
memperbaiki angka kematian jangka panjang. Hal serupa ditemukan pada pasien stroke.
Pasien stroke dengan hiperglikemia ringan sampai sedang yang mendapatkan infus
insulin (GIK) memiliki angka kematian yang lebih kecil dibandingkan pasien tanpa
pemberian infus insulin GIK. Sementara itu, perbaikan luaran klinis pada pasien mungkin
disebabkan oleh efek insulin terhadap perbaikan stres oksidatif dan pelepasan berbagai
molekul proinflamasi yang dikeluarkan saat terjadi hiperglikemia akut.
Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus
tipe 1 (DMT1). Namun demikian, pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan
oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1.
Terapi insulin pada pasien DMT2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan
kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c>7,5 % atau kadar
glukosa darah puasa >250 mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas,
riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat
penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.
37
Pada DMT2 sesuai dengan algoritma PERKENI tahun 2011, terapi insulin untuk
pasien DMT2 dapat dimulai jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik
(A1C>6,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, dengan cara
dikombinasikan dengan obat antidiabetik oral.
Cara pemberian insulin yang umum dilakukan adalah dengan semprit dan jarum,
pen insulin, atau pompa insulin (CSII). Sampai saat ini, penggunaan CSII di Indonesia
masih sangat terbatas. Pemakaian semprit dan jarum cukup fleksibel serta memungkinkan kita untuk mengatur dosis dan membuat berbagaiformula campuran insulin
untuk mengurangi jumlah injeksi per hari. Keterbatasannya adalah memerlukan
penglihatan yang baik dan ketrampilan yang cukup untuk menarik dosis insulin yang
tepat. Pen insulin kini lebih popular dibandingkan semprit dan jarum. Cara
penggunaannya lebih mudah dan nyaman, serta dapat dibawa kemana-mana.
Kelemahannya adalah kita tidak dapat mencampur dua jenis insulin menjadi berbagai
kombinasi, kecuali yang sudah tersedia dalam sediaan tetap (insulin premixed).
38
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah
alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus diberikan
intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Lokasi penyuntikan, cara
penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai
rotasi tempat suntik.
Kebutuhan insulin prandial dapat dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin
regular atau rapid acting insulin analog). Insulin tersebut diberikan sebelum makan atau
setelah makan (hanya untuk penggunaan rapid acting insulin analog) apabila jadwal dan
jumlah asupan makanan tidak pasti.
Rekomendasi jenis dan dosis pemberian insulin subkutan pada pasien DMT1 dan
DMT2 yang mendapatkan makanan secara oral dapat dilihat pada tabel di atas.
Selain berdasarkan algoritma Insulin diperlukan pada keadaan:
39
Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini
tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam
setahun.
40
41
Daftar Pustaka
1. Harrison Internal Medicine. 18th Ed. Philladelphia:McGrawHill;2010
2.Riskesdas 2013
3. PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI;2011
4.Setiawi S, Alwi I, Sudoyo, Simadibatra MK, Setiyohadi B, Syam, FA. Buku Ajar: Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 6. Jakarta: Internal Publshing;2014
5. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care. Jan 2014;37 Suppl
1:S14-78.
6. International Expert Committee. International Expert Committee report on the role of
the A1C assay in the diagnosis of diabetes. Diabetes Care 2009;32: 13271334
7.Selvin E, SteffesMW, Zhu H, et al. Glycated hemoglobin, diabetes, and cardiovascular
risk in nondiabetic adults. N Engl J Med.2010;362:800811
8.Tim Konsensus Insulin. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Mellitus.
Jakarta;2006.
42