Restraint
dan
PENDAHULUAN
Panduan ini dapat diaplikasikan pada semua sarana kesehatan yang mempunyai layanan/
fasilitas keperawatan. Panduan ini biasanya diterapkan oleh perawat penanggungjawab pasien,
mahasiswa keperawatan, dan asisten tenaga kesehatan. Panduan ini diaplikasikan kepada
pasien dewasa, geriatri,
dan sebagainya. Pengambilan keputusan untuk pengaplikasian restraint
dibicarakan /
sebaiknya
DEFINISI
1. Pengertian dasar restraint
: membatasi gerak atau membatasi kebebasan
2. Pengertian secara internasional: restraint
adalah suatu metode / cara pembatasan /
restriksi yang disengaja terhadap gerakan / perilaku seseorang. Dalam hal ini,
perilaku yang dimaksudkan adalah tindakan yang direncanakan, bukan suatu tindakan yang
tidak disadari / tidak disengaja / sebagai suatu refleks.
3. Pengertian lainnya:
restraint
adalah suatu tindakan untuk menghambat / mencegah
seseorang melakukan sesuatu yang diinginkan.
a. Definisi restraint
ini berlaku untuk semua penggunaan
restraint
di unit
dalam rumah sakit. Pada umumnya, jika pasien dapat melepaskan suatu alat yang dengan
mudah, maka alat tersebut tidak dianggap sebagai suatu restraint
.
b. Isolasi / pengasingan adalah suatu tindak pengasingan terhadap pasien di dalam suatu ruangan
dimana pasien tinggal sendiri dan dicegah secara fisik untuk meninggalkan ruangan tersebut.
Isolasi hanya digunakan untuk tujuan penanganan tindakan yang membahayakan diri sendiri
dan atau orang lain. Ruang isolasi ini harus dipastikan untuk selalu terkunci.
c. Seorang pasien yang dipisahkan sendirian dalam suatu ruangan yang tidak dikunci
tidak tergolong sebagai isolasi. Pengasingan pasien di suatu unit / ruang rawat yang
dikunci bersama-sama dengan pasien lainnya juga tidak tergolong isolasi. Timeout
tidak dianggap sebagai isolasi.
Timeout
adalah
suatu
intervensi
dimana pasien setuju untuk ditempatkan sendirian dalam suatu area / ruangan dalam
kurun waktu tertentu dan pasien tidak dicegah secara fisik untuk meninggalkan
ruangan. Pasien dapat meninggalkan ruangan dengan bebas.
JENIS
RESTRAINT
1. Pembatasan Fisik
a. Melibatkan satu atau lebih staf untuk memegangi pasien, menggerakkan pasien, atau
mencegah pergerakan pasien.
b. Jika pasien dapat dengan mudah meloloskan diri / melepaskan diri dari pegangan staf, maka
hal ini tidak dianggap sebagai suatu restraint
c. Pemegangan fisik: biasanya staf memegangi pasien dengan tujuan untuk melakukan sautu
pemeriksaan fisik / tes rutin. Namun, pasien berhak untuk menolak prosedur ini.
a) Memegangi pasien dengan tujuan untuk membatasi pergerakan pasien dan berlawanan
dengan keinginan pasien termasuk suatu bentuk
restraint
.
b) Pemegangan pasien secara paksa saat melakukan prosedur pemberian obat
restraint
. Sebaiknya,
2. Pembatasan Mekanis
a. Melibatkan penggunaan suatu alat.
b. Misalnya:
a) penggunaan sarung tangan khusus di ruang rawat intensif (Intensive Care Unit ICU)
b) peralatan sehari-hari: ikat pinggang / sabuk untuk mencegah pasien jatuh dari kursi,
mengalami cedera yang lebih berat dibandingkan tanpa menggunakan side rails
.
Penggunaan side rails
harus mempunyai keuntungan yang melebihi risikonya.
Namun, jika pasien secara fisik tidak mampu turun dari tempat tidur, penggunaan
side rails
bukan merupakan
restraint
karena penggunaan side
rails tidak berdampak pada kebebeasan bergerak pasien
Penggunaan restraint
pada pasien yang memerlukan mobilisasi rutin (untuk
melancarkan sirkulasi dan mencegah ulkus dekubit merupakan suatu intervensi
untuk melindungi pasien dari risiko jatuh, dan hal ini tidak dianggap sebagai
restraint
.
Penggunaan side rails
pada pasien kejang untuk mencegah pasien jatuh / cedera
tidak dianggap sebagai
restraint
c) Pengontrolan kebebasan gerak pasien: penggunaan kunci, penyekat, tombol pengatur, dan
sebagainya.
Beragam jenis sarung tangan untuk pasien tidak dianggap sebagai suatu
restraint . Namun, jika sarungt angan ini diikat / ditempelkan ke tempat tidur /
menggunakan fiksator pergelangan tangan bersamaan dengan sarung tangan dapat
dianggap sebagai suatu
restraint
dengan cukup ketat/ kencang hingga menyebabkan tangan / jari pasien tidak dapat
bergerak, hal ini dapat dianggap sebagai
restraint
.
restraint
Penggunaan
jika
3. Surveilans Teknologi
a. Teknologi yang digunakan dapat berupa: balut tekan (
televisi sirkuit tertutup, atau alarm pada pintu. Kesemuanya ini sering digunakan oleh staf
untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien yang mencoba untuk keluar / kabur atau
untuk memantau pergerakan pasien.
b. Metode ini sering diterapkan dalam program perencanaan keperawatan pasien, yang
disesuaikan dengan kebijakan organisasi dan mempunyai asesmen risiko serta panduan
yang jelas
4. Pembatasan Kimia
a. Melibatkan penggunaan obat-obatan untuk membatasi pasien.
b. Obat-obatan dianggap sebagai suatu restraint
hanya jika penggunaan obat-obatan
tersebut tidak sesuai dengan standar terapi pasien dan penggunaan obat-obatan ini hanya
ditujukan untuk mengontrol perilaku pasien / membatasi kebebasan bergerak pasien.
c. Obat-obatan ini dapat merupakan obat-obatan yang secara rutin diresepkan, termasuk obat
yang dijual bebas
d. Pemberian obat-obatan sebagai bagian dari tata laksana pasien tidak dianggap sebagai
restraint. Misalnya obat-obatan psikotik untuk pasien psikiatri, obat sedasi untuk pasien
dengan insomnia, obat anti-ansietas untuk pasien dengan gangguan cemas, atau analgesik
untuk mengatasi nyeri.
e. Kriteria untuk menentukan suatu penggunaan obat dan kombinasinya tidak tergolong
restraint
adalah:
i. Obat-obatan tersebut diberikan dalam dosis yang sesuai dan telah disetujui oleh
Food
and Drug Administration (FDA) dan sesuai dengan indikasinya
ii. Penggunaan obat mengikuti / sesuai dengan standar praktik kedokteran yang
berlaku1
iii. Penggunaan obat untuk mengobati kondisi medis tertentu pasien didasarkan pada
gejala pasien, keadaan umum pasien, dan pengetahuan klinisi / dokter yang merawat
pasien.
iv. Penggunaan obat tersebut diharapkan dapat membantu pasien mencapai kondisi
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya secara efektif, maka obat tersebut tidak
digunakan sebagai terapi standar untuk pasien.
Tidak diperbolehkan menggunakan pembatasan kimia (obat sebagai
restraint
) untuk
tujuan kenyamanan staf, untuk mendisiplinkan pasien, atau sebagai metode untuk pembalasan
dendam.
g. Efek samping penggunaan obat haruslah dipantau secara rutin dan ketat
h. Contoh kasus: seorang pasien menjalani program detoksifikasi. Selama terapi ini, pasien
menjadi agresif dan agitatif. Staf meresepkan obat yang bersifat pro re nata
(kalau
perlu) untuk mengatasi perilaku agitasi pasien. Penggunaan obat ini membantu pasien untuk
berinteraksi dengan orang lain dan berfungsi dengan lebih efektif. Obat untuk mengatasi
perilaku agitasi pasien ini merupakan standar terapi untuk menangani kondisi medis pasien
f.
(misalnya: gejala
withdrawal akibat alkohol / narkotika). Dalam kasus ini, penggunaan
obat tidak dianggap sebagai restraint
.
5. Pembatasan Psikologis
a. Dapat meliputi: pemberitahuan secara konstan / terus-menerus kepada pasien mengenai
hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau memberitahukan bahwa pasien tidak diperbolehkan
melakukan hal-hal yang mereka inginkan karena tindakan tersebut berbahaya.
b. Pembatasan ini dapat juga berupa pembatasan pilihan gaya hidup pasien, seperti:
memberitahukan kepada pasien mengenai waktu tidur dan waktu bangunnya.
c. Contoh lainnya: pembatasan benda-benda / peralatan milik pasien, seperti: mengambil alat
bantu jalan pasien, kacamata, pakaian sehari-hari, atau mewajibkan pasien menggunaka
seragam rumah sakit dengan tujuan mencegah pasien untuk kabur / keluar1
Contoh Kasus
Restraint / bukan
restraint
Pasien geriatri dengan riwayatBukanlah
karena
bedrails
tidak
stroke berulang butuh bantuan
untuk turun dari tempat tidur danmengontrol perilaku pasien atau
melakukan aktivitas sehari- hari.mencegah
Pasien juga tidak mampu untuk
Bukan
restraint
Saat dirawat di rumah sakit
karena sedasi tersebut diberikan
karena penyakit jantungnya,
untuk mengobati penyakitnya,
pasien tersebut mengalami
hipertensi emergensi. Sebagai bukan untuk mengontrol /
membatasi perilakunya.
bagian dari terapinya, pasien
disedasi berat dan dirawat di ICU.
restraint:
mengkomunikasikan
kebutuhannya.
Pasien gelisah
saat malam, mengalami spasme
otot, dan berisiko jatuh dari
tempat tidur.
Perawat memutuskan
untuk
mengunakan bedrails
untuk
`mengurangi risiko jatuh.
5
restraint
Pasien geriatri dirawat di panti Dapat dianggap
karena mencegah
jompo setelah mengalami fraktur keinginan pasien untuk turun
dari tempat tidur.
panggul. Pasien tidak
stabil saat bergerak dan sering
lupa menggunakan alat bantu
jalannya.
Keluarga
sangat
khawatir terjadi fraktur panggul
berulang dan meminta perawat
untuk
menggunakan bedrails
untuk mencegah
pasien turun sendirian dari tempat
tidur di malam hari.
1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya sendiri dan atau orang lain
2. Tahanan pemerintah (yang legal / sah secara hukum) yang dirawat di rumah sakit
3. Pasien yang membutuhkan tata laksana emergensi (segera) yang berhubungan dengan
Indikasi ini tidak spesifik terhadap prosedur medis tertentu, namun disesuaikan dengan setiap
perilaku individu dimana terdapat pertimbangan mengenai perlunya menggunakan restraint
atau tidak. Keputusan penggunaan restraint
ini tidak didasarkan pada diagnosis, tetapi
melalui asesmen pada setiap individu secara komprehensif. Asesmen ini digunakan untuk
menentukan apakah penggunaan metode yang kurang restriktif memiliki risiko yang lebih besar
daripada risiko akibat penggunaan restraint . Asesmen komprehensif ini harus meliputi pemeriksaan
fisik untuk mengidentifikasi masalah medis yang dapat menyebabkan timbulnya perubahan perilaku
pada pasien. Misalnya: peningkatan suhu tubuh, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan
elektrolit, interaksi obat, dan efek samping obat dapat menimbulkan kondisi delirium, agitasi, dan
perilaku yang agresif. Penanganan masalah medis ini dapat mengeliminasi atau meminimalisasi
kebutuhan akan
restraint
/ isolasi.2
Dalam banyak kasus, restraint
dapat dihindari dengan melakukan perubahan yang positif
terhadap pemberian/ penyediaan pelayanan kesehatan dan menyediakan dukungan pada pasien baik
secara fisik maupun psikologis. Perlu dicatat bahwa pasien yang berkapasitas mental baik dapat
meminta sesuatu, seperti penggunaan sabuk / ikat pengaman atau bedrails
untuk
meningkatkan rasa aman mereka. Meskipun hal ini mungkin tidak sejalan dengan rekomendasi
perawat, pilihan pasien haruslah dihormati dan diikutsertakan dalam penyusunan / pembuatan
rencana keperawatan pasien dan asesmen risiko.
Jika pasien tidak dapat memberikan persetujuan (consent) , perawatseyogianya selalu menjelaskan
tindakan yang akan dilakukan, berikut membantu pasien untuk memahami dan menyetujui tindakan
tersebut. Suatu studi menyarankan bahwa penggunaan
restraint
pasien
yang
delirium
sekalipun, pasien tersebut akan sangat menghargai dan mengingat penjelasan perawat mengenai
kondisi pasien dan alasan pasien dilakukan restraint
, terutama untuk meyakinkan bahwa
tindakan tersebut ditujukan untuk keselamatan pasien.
Salah satu cara untuk membantu tenaga kesehatan menghindari penggunaan
restraint
adalah dengan menyediakan lingkungan perawatan yang berkesan positif. Berikut adalah
beberapa cara untuk menyediakan lingkungan yang positif:
1. Perawatan yang berpusat pada pasien, terutama yang mempunyai kebutuhan dukungan
psikologis
2. Tingkat kebebasan dan risiko perawatan di rumah
3. Pencegahan kekerasan dan agresi
4. Pencegahan ide / tindakan bunuh diri dan melukai diri sendiri
5. Pengalaman pasien di ruang rawat intensif (ICU)
6. Pemenuhan kebutuhan pasien demensia di ruang rawat RS
7. Pencegahan dan penanganan delirium
8. Menjaga harga diri dan martabat pasien selama asuhan keperawatan
9. Pencegahan risiko jatuh
2. Dampak psikologis
a. Depresi
b. Penurunan fungsi kognitif
c. Isolasi emosional
d. Kebingungan (confusion)
dan agitasi
ASPEK ETIS
Setiap pasien berhak menerima pelayanan dalam kondisi lingkungan yang aman. Keselamatan
pasien, staf, atau orang lain merupakan dasar dalam menginisiasi dan menghentikan penggunaan
restraint atau isolasi. Semua pasien mempunyai hak kebebasan bergerak dan terbebas dari kekerasan
fisik /emosional. Semua pasien berhak untuk bebas dari pengekangan (restraint
) atau
isolasi yang dipaksakan dalam bentuk apapun, seperti pemaksaan, disiplin, atau sebagai wujud
pembalasan dendam oleh staf. Pembatasan (restraint ) atau isolasi hanya boleh diterapkan
untuk menjamin keamanan fisik pasien, anggota staf, atau orang lain dan harus diberhentikan
sesegera mungkin jika kondisi telah memadai yang didasarkan pada asesmen per-individu dan reevaluasi.2
Dalam memenuhi kebutuhan setiap staf akan pentingnya minimalisasi penggunaan
restraint
, saat initelah dikembangkan suatu strategi etika komprehensif. Strategi ini mengharuskan
tenaga kesehatan untuk memikirkan juga aspek etika dalam pengambilan keputusan penggunaan
restraint,
dan bahwa aspek etika ini diaplikasikan dalam semua aspek asuhan
keperawatan di setiap fasilitas kesehatan. Konsep etika dasar yang mendasari praktik keperawatan
meliputi:
1. Kewajiban dan tugas: identifikasi kewajiban moral tenaga kesehatan terhadap orang lain dapat
membantu dalam menentukan tindakan terbaik apa yang seharusnya dilakukan dalam situasi
tersebut
2. Hindari bahaya: merupakan salah satu konsep etika yang paling penting dan menjadi dasar dalam
mencapai praktik yang baik (ideal)
3. Asesmen terhadap konsekuensi tindakan: suatu tindakan yang diterima secara etis dapat
ditentukan dengan melakukan kalkulasi terhadap keuntungan dan kerugiannya.
4. Otonomi dan hak pasien: menghargai hak pasien untuk membuat keputusan sendiri dan
menghargai hak orang lain
5. Kepentingan yang terbaik: identifikasi dan bertindak yang terbaik sesuai dengan kepentingan
orang lain merupakan suatu tindakan atau keputusan yang etis
6. Nilai moral dan kepercayaan: dari kedua hal ini dapat diformulasikan / disusun suatu prinsip etik
Penyelesaian masalah etika dapat merupakan suatu hal yang sulit dan menantang. Dalam pembuatan
keputusan untuk melakukan pembatasan fisik (physical restraint)
, seringkali sulit untuk
mengindari
bahaya (
harm) karena baik dilakukan
restraint
atau tidak, hal ini dapat
membahayakan pasien. Perawat memiliki tanggungjawab terhadap seluruh pasien yang berada dalam
asuhan keperawatan mereka, dan jika ternyata pemberian izin kebebasan bertindak kepada satu
pasien dapat menyebabka
Penggunaan restraint sebagai respons lini pertama tidaklah kondusif untuk lingkungan sosial yang
positif. Jika seseorang merasa mampu untuk melakukan sesuatu dan mereka tidak dibatasi / dicegah
untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan, maka mereka akan berada dalam kondisi emosional
yang lebih baik dalam jangka waktu yang cukup lama. Pembuatan keputusan mengenai pilihan
tindakan terbaik kepada pasien dapat menyulitkan tenaga kesehatan. Sebagai bagian dari pelatihan
dan pengembangan profesionalitas berkesinambungan, perawat perlu mendiskusikan mengenai
dilema yang terjadi antara teoritis dan praktiknya. Kecuali dalam situasi emergensi, keputusan
pengaplikasian restraint
dan kebijakan/ panduannya harus didiskusikan dengan tim multidisiplin
dan melibatkan pasen serta keluarganya, jika memungkinkan.
ASPEK HUKUM
Situasi dimana restraint
diperbolehkan adalah jika pasien telah diberikan informasi yang
cukup mengenai kondisinya dan perlunya penggunaan
restraint
serta telah menyetujui
dilakukannya tindakan tersebut sebagai bagian dari program rencana asuhan keperawatan pasien.
Pada kasus lainnya, perawat mempunyai kewajiban profesi keperawatan untuk membatasi pasien
dengan tujuan melindungi pasien dari terjadinya risiko yang lebih membahayakan atau untuk
menghindari potensi risiko bahaya terhadap orang lain. Dalam situasi dimana perawat atau orang
lain diserang / berisiko mengalami bahaya fisik, diperbolehkan menggunakan restraint
sebagai suatu wujud pertahanan diri.
Mental Capacity Act 2005 berlaku untuk setiap orang dengan usia enam belas tahun ke atas.
Undang-undang ini menyediakan suatu kerangka hukum untuk memperkuat dan melindungi
masyarakat yang tidak dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Sebagai contohnya:
pada orang dengan demensia, memiliki gangguan dalam belajar, masalah kesehatan jiwa, stroke,
atau cedera kepala.
Dalam Mental Capacity Act 2005 , terdapat lima prinsip yang berkaitan dengan proteksi kapasitas
dan kelima-limanya harus dihormati untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Berikut adalah kelima prinsip dasar tersebut:
1. Seseorang harus dianggap memiliki kapasitas mental yang baik kecuali telah terbuki bahwa orang
tersebut tidak memiliki kapasitas.
2. Seseorang tidak boleh diperlakukan seakan-akan ia tidak dapat/ tidak mampu membuat
keputusan kecuali semua langkah praktis untuk membantunya membuat keputusan telah
dilakukan dan tidak berhasil.
3. Seseorang tidak boleh diperlakukan seakan-akan tidak dapat / tidak mampu membuat
keputusan hanya karena sebelumnya ia membuat keputusan yang tidak bijaksana / kurang tepat
4. Suatu keputusan yang dibuat di bawah naungan perundang-undangan dan diperuntukkan kepada
seseorang yang tidak mampu membuat keputusan haruslah berdasarkan kepentingan yang
menjadi pilihan terbaiknya.
5. Sebelum suatu keputusan dibuat, pertimbangkan juga mengenai apakah tujuan tersebut dapat
dicapai secara efektif dengan cara yang lebih tidak membatasi hak dan kebebasan seseorang.
Mental Capacity Act 2005 menetapkan definisi yang legal / sah mengenai status individu yang
mempunyai keterbatasan kapasitas. Seseorang dianggap tidak mampu membuat keputusan untuk
dirinya sendiri jika seseorang tersebut tidak mampu:
1. Memahami informasi yang relevan dengan keputusan tersebut
2. Mengingat informasi tersebut
3. Menggunakan informasi tersebut sebagai bagian dari proses pembuatan keputusan
4. Mengkomunikasikan keputusannya, baik dengan berbicara, menggunakan bahasa tubuh,
ataupun dengan cara lainnya
Fakta bahwa seseorang hanya mampu mengingat informasi yang relevan dengan pembuatan
keputusan dalam periode waktu yang singkat tidaklah mencegah mereka untuk dianggap kompeten
dan mampu membuat keputusan. Dalam situasi dimana terdapat pertimbangan menggunakan
restraint
pada individu yang tidak kompeten, Mental Capacity Act 2005
memperbolehkan
dilakukan tata laksana sepanjang hal ini merupakan tindakan yang terbaik untuk kepentingan pasien.
Perundang- undangan ini mengharuskan bahwa faktor-faktor di bawah ini harus
dipertimbangkan sebelum dilakukan pengambilan tindakan terhadap individu yang tidak kompeten:
1. Keinginan / harapan dan perasaan pasien dahulu dan saat ini (dan terutama pernyataan tertulis
apapun yang relevan dengan kondisinya dan dibuat saat pasien kompeten
2. Kepercayaan dan nilai / norma yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien (jika
Undang-undang mengenai HAM (1998) menetapkan panduan mengenai hak / kebebasan individu.
Penggunaan restraint
harus dijustifikasi dengan menggunakan alasan yang rasional dan jelas.
Alasan ini harus menjelaskan mengapa pertimbangan ini diyakini dapat / boleh membatasi hak /
kebebeasan individu.
Hukum perdata menyatakan bahwa jika perawat membatasi pasien tanpa adanya dasar / alas an yang
profesional dan sah secara hukum, maka individu dapat membuat klaim / gugatan kepada pengadilan
dan menyatakan permohonan kompensasi terhadap kerugian yang dialami oleh individu tersebut
akibat adanya pembatasan. Kerugian ini dapat berbentuk fisik atau psikologis yang secara langsung
disebabkan oleh tindakan pembatasan (
restraint
). Pengadilan akan menilai standar
profesional saat itu untuk melihat apakah pembatasan ini beralasan. Jika tindakan perawat berada di
bawah standar, terdapat kemungkinan bahwa klaim / gugatan individu akan menang. Fakta-fakta dari
setiap kasus akan menjadi penting dan suatu peninjauan ulang akan diselenggarakan dalam kurun
waktu tertentu
dimana restraint
tersebut digunakan. Kedua faktor ini akan dijustifikasi untuk melihat apakah
factor ini dapat diterima secara profesional dan mengandung alasan yang kuat. Penting diingat bahwa
penggunaan restraint
haruslah diantisipasi dan langkah-langkah diambil untuk
menuliskannya di rekam medis.
Hukum pidana menyatakan bahwa membatasi tindakan / gerakan seseorang tanpa persetujuan mereka
dapat merupakan suatu bentuk tindak kriminal. Perawat yang melakukan pembatasan yang tidak
beralasan dapat dituntut secara hukum dan dapat mengarah pada penahanan, bergantung pada
beratnya jenis pembatasan (restraint) tersebut. Penting diketahui bahwa kapanpun
restraint
digunakan oleh perawat, haruslah sesuai dengan standar profesional yang telah terjustifikasi
dalam kondisi tertentu. Setiap tuntutan yang diatur dalam hukum pidana akan mempertimbangkan
apakah tindakan pembatasan (restraint
) tergolong suatu tindak kriminal berdasarkan Undangundang Parlemen, dalam hal ini dapat meliputi penyerangan / kekerasan, penahanan yang tidak sah,
penanganan yang buruk, atau kelalaian yang disengaja.
Kontrak kerja sering membatasi lingkup praktik perawat dan mengharuskan perawat untuk mengikuti
kebijakan setempat yang berlaku, prosedur, ataupun protokol yang berkaitan dengan
restraint
. Hal ini dapat berupa penjelasan terperinci mengenai bagaimana suatu keputusan untuk
melakukan pembatasan dibuat dalam kondisi yang berbeda-beda, siapa yang bertanggungjawab, dan
persyaratan lainnya seperti: mengikuti pelatihan berbasis kompetensi dan pelaksanaan asesmen risiko
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian / bahaya yang tidak diinginkan sebelum
menggunakan restraint
.
PERSETUJUAN ( INFORMED CONSENT)
Persetujuan merupakan salah satu alat hukum yang legal dimana seseorang memberika kekuasaan
yang sah terhadap tata laksana atau keperawatan. Hal ini dapat mencakup memberikan persetujuan
terhadap suatu bentuk
restraint
. Dasar persetujuan yang sah identik dengan persyaratan
profesional bahwa suatu persetujuan diperlukan sebelum melakukan suatu tindakan / prosedur.
Terdapaat tiga persyaratan yang harus dipenuhi sebelum penyataan persetujuan oleh individu dapat
diterima secara sah, yaitu:
1. Persetujuan harus diberikan oleh seseorang yang kompeten dalam segi mental / kejiwaan
2. Individu yang membuat persetujuan harus memperoleh informasi yang memadai mengenai
Pemilik gedung / penyedia gedung yang berbasis layanan keperawatan bertanggungjawab untuk
menjaga keselamatan setiap orang yang berkunjung, tinggal / menetap, atau bekerja di dalamnya,
termasuk mengamankan gedung dari penyusup / orang asing. Namun, diperlukan juga suatu asesmen
untuk mencegah lansia (yang merupakan pasien / penghuni) meninggalkan gedung, yang bertujuan
untuk melindungi mereka dan meningkatkan kualita hidupnya. Pencegahan ini haruslah dilakukan
dengan cara yang paling bermartabat dan sopan. Bahkan perubahan desain / dekorasi / pintu yang
tidak kentara sekalipun dapat mendistraksi seseorang untuk tidak pergi. Perawat diharapkan untuk
berpartisipasi dalam desain gedung dan keamanan dan memastikan bahwa digunakan suatu metode
desain berbasis penelitian dalam menentukan hal tersebut.
PEMBERIAN DUKUNGAN DARI ORGANISASI / PEMILIK
Organisasi, berikut semua staf yang tercakup di dalamnya, mempunyai kewajiban pelayanan. Untuk
membantu memastikan tidak terjadinya penggunaan
restraint
perawat / staf lainnya berkontribusi dalam membuat keputusan yag tepat mengenai penggunaan
restraint
8.
Restraint
tidak boleh digunakan semata-mata untuk mengurangi beban kerja. Pemilik /
pemegang
kekuasaan tidak boleh menempatkan perawat dalam posisi dimana mereka terpaksa melakukan
restraint
karena kurangnya staf yang bertugas atau kurangnya sumber daya untuk menyediakan
perawatan yang aman dan berkualitas
Pemilik / pemegang kekuasaan di situasi yang berbeda dapat mempunyai tanggung jawab spesifik
misalnya standar minimal nasional untuk rumah keperawatan (panti jompo) adalah adanya orang
yang berwenang untuk memastikan bahwa restraint
hanya digunakan jika hal ini merupakan
cara / metode praktikal satu-satunya dalam memastikan kesejahteraan pasien/ penghuni dan bahwa
restraint
3. Memahami kerangka etik dan hukum yang berkaitan dengan restraint
4. Mengetahui tindakan apa yang dilakukan jika terdapat kecurigaan adanya penggunaan
Penggunaan
restraint
memberikan keputusan yang sulit dalam melakukan perawatan pasien. Perawat sebaiknya
mendiskusikan dan memperdebatkan masalah ini, serta bekerja dengan koleganya untuk
meningkatkan pelayanan dan memperoleh solusi praktis yang sesuai dengan masing-masing individu
pasien.2
PANDUAN
1. Yang berwenang untuk membuat keputusan mengenai penggunaan
restraint
adalah
dokter penanggungjawab pasien.
a. Jika rumah sakit menggunakan protokol yang mencakup juga mengenai penggunaan restraint
/ isolasi, instruksi spesifik dari dokter penanggungjawab pasien tetap diperlukan
setiap kali hendak mengaplikasikan restraint
/ isolasi.
b. Jika dokter penanggungjawab pasien tidak hadir saat dibutuhkan instruksi, maka tanggung
jawab ini harus didelegasikan kepada dokter lainnya. Dokter yang menerima delegasi
nantinya akan mengkonsultasikan pasien kepada dokter penangunggjawab via telepon.
2. Restraint / isolasi merupakan suatu hal yang tidak terjadi setiap waktu,bukanlah hal yang rutin
terhadap kondisi / perilaku tertentu pasien.
3. Setiap pasien harus dinilai dan intervensi yang diberikan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan pasien
4. Restraint / isolasi ini berperan sebagai cara / alternatif terakhir jika metode yang kurang
restriktif lainnya tidak berhasil / tidak efektif untuk memastikan keselamatan pasien, staf, atau
orang lain. Oleh karena itu,
restraint
ini tidak boleh dianggap sebagai prosedur /
respons standar dalam penanganan pasien.
5. Instruksi mengenai penggunaan
restraint
/ isolasi ini tidak boleh
diberlakukan sebagai instruksi pro re nata (jika perlu).
a. Setiap episode penggunaan restraint
/ isolasi harus dinilai dan dievaluasi serta
berdasarkan instruksi dokter.
b. Jika pasien akhir-akhir ini baru terbebas dari penggunaan
restraint
/ isolasi
dan kemudian menunjukkan perilaku yang membahayakan dan hanya dapat diatasi oleh reaplikasi
restraint
/ isolasi, diperlukan instruksi baru untuk melakukan re-aplikasi.
c. Staf tidak boleh memberhentikan penggunaan
restraint
isolasi dan kemudian
mereaplikasikannya kembali di bawah instruksi yang sama (sebelumnya).1
6. Pengecualian
:
a. penggunaan
side rails yang diindikasikan di rekam medis pasien. Jika status pasien
diperlukan instruksi pro re nata. Tidak diperlukan instruksi baru setiap kali pasien
keluar / kembali ke tempat tidurnya.
b. Perilaku membahayakan diri sendiri. Jika pasien mengalami kondisi medis dan
restraint
restraint
tidak
ini
adalah
c.
kasus penggunaan
restraint
10. Staf harus menilai dan memantau kondisi pasien secara berkala untuk memastikan bahwa pasien
restraint
atau isolasi hanya boleh dilanjutkan selama kondisi membahayakan tersebut masih
berlangsung
restraint
atau isolasi
restraint
harus berdasarkan pada pertimbangan
bahwa restraint / isolasi tidak lagi dibutuhkan atau bahwa kebutuhan pasien dapat dipenuhi
dengan metode yang kurang restriktif.
restraint
sementara yang diawasi secara langsung oleh
staf dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien (seperti pergi ke kamar mandi, makan, atau
latihan gerak tubuh) tidak dianggap sebagai pemberhentian restraint . Selama pasien berada
dalam pengawasan langsung oleh staf, tidaklah dianggap sebagai pemberhentian
restraint
karena pengawasan staf secara langsung dianggap memiliki tujuan serupa dengan
penggunaan restraint
.
15. Pimpinan rumah sakit bertanggungjawab dalam menciptakan suatu budaya yang mendukung hak
restraint
disesuaikan dengan kebutuhan pasien, kondisi medis, riwayat
penyakit, daktor lingkungan, dan preferensi pasien.1
restraint
hampir berakhir, perawat yang bertugas
harus menghubungi dokter untuk melaporkan mengenai keadaan / kondisi kinis serta hasil
asesmen dan evaluasi terkini pasien, sekaligus menanyakan apakah instruksi
restraint
ini akan dilanjutkan atau tidak (diperbaharui).
19. Untuk kasus aplikasi
restraint
pada pasien dengan perilaku destruktif :
a. Pasien harus ditemui dan dievaluasi secara langsung dalam waktu 1 jam setelah
diberlakukannya instruksi restraint
oleh:
i. Dokter yang bertugas
ii. Perawat / asisten dokter yang terlatih
b. dokter yang bertanggungjawab terhadap pasien harus menemui pasien secara langsung dan
melakukan asesmen dan evaluasi terhadap pasien sebelum menulis instruksi baru mengenai
penggunaan restraint
/ isolasi (dalam 24 jam). Evaluasi ini berupa:
i. kondisi umum pasien saat itu
ii. anamnesis: riwayat penyakit pasien, riwayat obat-obatan
iii. pemeriksaan fisik
iv. hasil pemeriksaan penunjang
v. reaksi / respon pasien terhadap restrant / isolasi
vi. kondisi medis dan perilaku pasien
vii.
restraint
restraint
perlu dilanjutkan atau
tidak, faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap perilaku destruktif pasien (misalnya
interaksi obat, ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, sepsis), dan apakah aplikasi
restraint ini telah sesuai dengan indikasi.
d. jika dalam suatu kondisi tidak tersedia dokter, makan evaluasi ini dapat dilakukan oleh
perawat / asisten dokter yang terlatih. Setelah evaluasi dilakukan, perawat / asisten dokter
harus segera menghubungi dokter yang bertanggungjawab terhadap pasien. Pelaporan ini
harus meliputi (minimal):
i. hasil evaluasi pasien
ii. temuan-temuan terbaru mengenai kondisi pasien
iii. diskusi mengenai perlu atau tidaknya untuk melanjutkan aplikasi
restraint
/
isolasi
iv. diskusi mengenai perlunya intervensi / tata laksana lainnya
20. Kesemuanya ini harus dicatat dalam rekam medis pasien, termasuk hasil asesmen dan evaluasi
restraint
/isolasi.
21. Aplikasi restraint / isolasi harus sejalan / sesuai dengan modifikasi tertulis dalam rencana asuhan
keperawatan pasien.
a. Penggunaan restraint
/ isolasi (termasuk obat dan alat) harus didokumentasikan
dalam rencana perawatan / tata laksana pasien
b. Keputusan untuk menggunakan
restraint
/ isolasi haruslah dicatat berikut alasan
yang mendasarinya. Pengambilan keputusan ini didasarkan pada asesmen dan evaluasi pasien.
c. Rencana perawatan pasien harus ditinjau ulang dan diperbaharui dalam rekam medis sesuai
dengan tanggal spesifik diberlakukannya suatu
restraint
/ isolasi.6,7
22. Penggunaan
restraint
aman.
23. Penggunaan
restraint
/ isolasi ini tidak boleh menjadi penghalang / penghambat
dalam pemberian penanganan / intervensi lai yang juga diperlukan oleh pasien.1
24. Penggunaan
restraint
/ isolasi harus sesuai dengan instruksi dari dokter yang
bertanggungjawab terhadap pasien
a. Pada kondisi emergensi dimana penggunaan
restraint
diperlukan segera sehingga
akan terlalu lama jika menunggu instruksi/izin dari dokter terlebih dahulu, instruksi tersebut
harus diperoleh segera (dalam hitungan menit) selama / setelah
restraint
diaplikasikan.5
25. Sebaiknya dipilih metode yang paling tidak restriktif dalam pengaplikasikan restraint
tetapi harus tetap menjamin keselamatan pasien, staf, dan orang lain dari ancaman bahaya.
26. Penggunaan
restraint
restraint
untuk pencegahan jatuh tidak boleh dianggap sebagai bagian
yang rutin dalam program pencegahan jatuh.
bedrails)
akan
mencegah atau mengurangi jatuh. Bahkan, kejadian jatuh yang terjadi pada pasien yang
dilakukan pembatasan mekanis sering menimbulkan cedera yang lebih berat. Faktanya, di
beberapa instansi, pengurangan dalam penggunaan pembatasan mekanis dapat mengurangi
risiko jatuh.
a. Contoh: pasien sindrom Sundowner, dimana gejala demensia pasien menjadi lebih jelas dan
nyata di sore hari daripada di pagi hari. Pasien tidak berperilaku agresif atau berbahaya,
namun pasien mengalami gangguan gaya berjalan yang tidak stabil dan terus-menerus
berusaha untuk turun dari tempat tidur bahkan setelah staf menggunakan beberapa
alternatif untuk menjaga pasien tetap berada di tempat tidurnya. Tidak ada bahaya
signifikan yang dihasilkan dari perilaku berkeliaran pasien. Staf meminta dokter untuk
meresepkan sedatif dosis tinggi untuk menidurkan pasien dan menjaganya tetap di tempat
tidur. Pasien tidak mempunyai gejala / kondisi medis yang mengindikasikan perlunya
menggunakan sedatif. Selain itu, pada tempat tidur pasien juga dipasang bedrails.
akibat perilaku berkeliarannya ini bukanlah suatu indikasi yang kuat. Sebenarnya, pada kasus
ini, sedasi yang diberikan (restraint ) bertujuan untuk kenyamanan staf rumah sakit. Oleh
karena itu, pemberian sedasi ini dianggap kurang tepat.
d. Saat menilai risiko jatuh pada pasien dan merencanakan asuhan keperawatan, staf harus
mempertimbangkan apakah pasien mempunyai kondisi medis yang mengindikasikan
kebutuhan akan intervensi protektif untuk mencegah pasien berkeliaran atau turun dari
tempat tidur. Riwayat jatuh tanpa adanya penyakit medis yang mendasari tidak cukup kuat
untuk mengindikasikan kebutuhan akan
restraint
. Penting diingat bahwa unsur
kenyamanan bukanlah alasan yang dapat diterima untuk melakukan
restraint
terhadap pasien.
29. Restraint
restraint
, diperlukan suatu
asesmen
pada setiap individu secara komprehensifuntuk menentukan kebutuhan akan restraint
berikut
jenis yang dipilih. Asesmen ini harus meliputi pertanyaan di bawah ini (minimal):
a. Apakah terdapat intervensi / tindakan pencegahan yang aman (selain restraint
)
yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko pasien mengalami cedera / berada dalam
kondisi yang membahayakan (misalnya terpeleset, tersandung, atau jatuh jika pasien
turun dari tempat tidur) ?
b. Apakah terdapat cara yang memungkinkan pasien untuk dapat bergerak dengan aman?
c. Apakah terdapat alat bantu yang dapat mengingkatkan kemampuan pasien untuk mandiri?
d. Apakah terdapat kondisi / obat-obatan pada pasien yang menyebabkan
ketidakseimbangan berjalan?
e. Apakah pasien bersedia untuk berjalan sambil dipapah / ditemani oleh staf?
f. Dapatkah pasien ditempatkan di kamar yang lebih dekat dengan pos perawat dimana
akibat penggunaan
restraint
restraint
restraint
(yang dianggap
menguntungkan) bukanlah suatu hal yang dapat mendasari diaplikasikannya restraint
Permintaan iniharuslah mempertimbangkan kondisi pasien dan asesmen pasien.
restraint
diperlukan, dokter harus menentukan jenis
restraint
apa yang akan dipilih dan dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan risiko
yang paling kecil dan pilihan yang paling menguntungkan untuk pasien.
36. Staf harus mencatat di rekam medis pasien mengenai keputusan penggunaan restraint
dan
jenisnya. Dituliskan juga bahwa restraint
yang digunakan merupakan intervensi yang
paling tidak restriktif namun efektif untuk melindungi pasien dan penggunaan
restraint
diputuskan berdasarkan asesmen per-individu.
restraint
, pasien harus dipastikan memperoleh asesmen,
pemantauan, tata laksana, dan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.8
d.
e.
f.
g. Dokter harus diberitahu jika terdapat perubahan signifikan mengenai perilaku pasien7
secara langsung. Alat pantau ini harus berjarak dekat dengan pasien.
b. Harus ada dokumentasi tertulis yang jelas mengenai alasan penggunaannya.6
40. Dokumentasi meliputi:
a. Deskripsi kondisi pasien
b. Deskripsi perilaku pasien
c. Deskripsi alasan dan jenis penggunaan restraint
/ isolasi
d. Evaluasi perilaku dan kondisi medis pasien setelah pengaplikasian
restraint
isolasi
e. Intervensi alternatif / yang bersifat kurang restriktif yang telah dilakukan
f. Respons pasien terhadap intervensi yang digunakan, termasuk rasionalisasi
penggunaan restraint
/ isolasi
41. Penggunaan borgol, atau alat restriktif lainnya yang dilakukan oleh petugas keamanan
pemerintah (non-rumah sakit) untuk tujuan penahanan, detensi, dan alasan keamanan publik;
dianggap sebagai alat pertahanan/ penegakan hukum dan tidak dianggap sebagai suatu
intervensi restraint
dalam layanan kesehatan yang digunakan oleh staf ruamh sakit untuk
mengekang pasien.
a. Petugas keamanan pemerintah yang bertugas mengawasi secara langsung tahanan yang
dirawat di rumah sakit bertanggungjawab dalam penggunaan, aplikasi, dan pemantauan alat
restriksi ini, disesuaikan juga dengan hukum setempat yang berlaku.
b. Namun, rumah sakit juga tetap bertanggungjawab terhadap asesmen pasien yang adekuat dan
tetap memperhatikan keselamatan pasien serta menjaga pemberian tata laksana yang sesua
standar.
42. Rumah sakit sebaiknya mewajibkan staf yang terlibat (staf yang mengaplikasikan
restra nt
/ isolasi, staf yang bertugas memantau, menilai, atau memberikan pelayanan kepada pasien)
memiliki pengetahuan dan memperoleh pelatihan mengenai :
a. teknik untuk mengidentifikasi perilaku pasien, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi,
dan kejadian kejadian yang membutuhkan
restraint
/ isolasi.
b. Cara untuk memilih intervensi apa yang paling tidak bersifat restriktif tapi efektif,
berdasarkan pada asesmen kondisi medis / perilaku pasien
c. Cara mengaplikasikan
restraint
dengan aman
d. Cara mengidentifikasi perubahan perilaku spesifik yang mengindikasikan bahwa
restraint
/ isolasi tidak lagi diperlukan
e. Pemantauan kondisi fisik dan psikologis pasien yang mengalami restraint
/ diisolasi,
termasuk status respirasi dan sirkulasi, integritas kulit, dan tanda vital
f. Teknik melakukan resusitasi jantung paru9
dengan tujuan
untuk mengontrol perilaku yang membahayakan diri sendiri atau orang lain mencakup hal-hal
berikut ini:
a. Pasien yang pernah atau saat ini menggunakan
restraint
selama dirawat di rumah
sakit
b. Alasan-alasan sehingga penggunaan
restraint
disepakati, dan pertimbangan apa
yang ada untuk memutuskan bahwa cara/ metode lain yang lebih tidak restriktif kurang
efektif dibandingkan restraint
c. Wawancara staf yang terlibat secara langsung dengan pasien untuk mengetahui sejauh apa
yang mereka ketahui dan pahami mengenai kebijakan
restraint
dan isolasi. Jika
terdapat pasien yang saat itu menggunakan restraint
, pastikan bahwa telah sesuai
dengan indikasi. Tanyakan juga mengenai kapan pasien dimonitor dan diperiksa terakhir kali.
d. Apakah selama ini penggunaan
restraint
/ isolasi tela sejalan dengan kebijakan dan
prosedur restraint
yang berlaku di rumah sakit serta sesuai dengan kebijakan pemerintah
setempat?
e. Evaluasi mengenai laporan insidens yang terjadi di rumah sakit untuk menentukan apakah
cedera yang dialami oleh pasien terjadi sebelum atau selama
restraint
digunakan.
Apakah insidens tersebut terjadi lebih sering pada pasien yang dilakukan restraint
?
f. Jika suatu tinjauan ulang terhadap rekam medis mengindikasikan bahwa pasien yang
menerima restraint mengalami cedera, tentukan apa yang telah dilakukan oleh rumah
sakit untuk mencegah terjadinya cedera berulang / berikutnya. Tentukan apakah rumah
sakit telah melakukan modifikasi terhadap kebijakan restraint
/ isolasi.
3. Kumpulkan data mengenai penggunaan
restraint
dan isolasi dalam kurun waktu
yang spesifik (misalnya 3 bulan) untuk melihat pola penggunaan restraint
di unit-unit
tertentu, setiap pergantian jaga, serta pola tiap minggunya.
4. Perhatikan pula apakah jumlah pasien yang menggunakan restraint
/ diisolasi
meningkat di
akhir pekan, saat hari libur, saat malam hari, saat jam pergantian jaga tertentu, saat
digunakan jasa perawat honorer, memiliki kecenderungan di satu unit tertentu daripada
unit lainnya.
a. Pola seperti ini dapat membantu untuk melihat adanya penggunaan
restraint
yang
tuidak sesuai dengan kepentingan / kebutuhan pasien, tetapi lebih kepada aspek
kenyamanan, kurangnya staf,atau kurangnya staf yang berpengalaman/ terlatih.
b. Peroleh pula jadwal piket perawat selama bekerja di rumah sakit untuk melihat apakah
terdapat pengaruh meningkatnya penggunaan restraint
di tingkat staf
5. Lakukan juga wawancara secara acak dengan pasien yang menjalani restraint
alasan digunakannya
dapat dimengerti?2
restraint
. Apakah
ini dijelaskan kepada pasien dengan kata-kata yang
Lampiran 1
SKEMA IMPLEMENTASI
Nilai perilaku pasien
RESTRAINT3
ertanyaan kunci:
Apa yang mendasari perilaku pasien ?
Asesmen pasien
perubahan
Jika
terdapat
perbaikan
Lampiran 2
FORMULIR APLIKASI
RESTRAINT / ISOLASI10
restraint :
Jaket pengikat
Side rails
Vest
Fiksasi pergelangan tangan / kaki
Isolasi
Restraint
kimia (obat-obatan):
Restraint
1.
Ya / tidak
2.
Ya / tidak
3.
Ya /
tidak
4.
5.
Ya / tidak
Ya / tidak
6.
Ya / tidak
Unit:
IGD
Rawat bedah
ICU
Rawat medis
ICCU
Lainnya:
2.
Pencatatan di rekam medis:
ya / tidak
Lampiran 3
PANDUAN INTERVENSI
ALTERNATIFNYA10
Intervensi alternatif Intervensi
isolasi
0
Restraint pergelangan tangan /
terjadwal
kaki
0 Berikan medikasi
pro re nata
(sesuai resep)
1 Berikan aktivitas beragam, letakkan benda yang
lunak / lembut di kedua tangan pasien
asien dengan perilaku agresif terhadap irinya sendiri atau orang lain
Terapi percakapan
0
Isolasi
0 Hindarkan stimulasi berlebihan
0
Restraint pergelangan
1 Berikan time out kepada pasien selama 15 menit
tangan
2 Lakukan interaksi verbal
1
Jaket pelindung / fiksator
3 Pemberian medikasi
pro re nata ( sesuai resep)
REFERENSI:
1.