Term-term adil yang digunakan dalam al-Quran terdapat tiga bentuk, yaitual-mizan, aladl, dan al-qisth. Ketiga term ini akan diuraikan, sesuai dengan konteks ayatnya masing-masing.
1. Term al-Mizan
Kata al-mizan dalam berbagai bentuknya terulang dalam al-Quran pada 16 ayat. Konteks ayatayat tersebut ada yang menunjukkan penyempurnaan takaran dan timbangan, ada yang
menunjukkan keseimbangan, dan ada pula yang membicarakan tentang timbangan di hari
kiamat.
Tujuh ayat yang berkenaan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan takaran dalam
transaksi jual beli. Lima di antaranya (QS al-Muthaffifin: 3, QS al-Isra: 35, QS al-Syuara: 182,
QS al-Rahman: 9, dan QS al-Anam: 152) yang merupakan perintah langsung bagi umat Islam
untuk melaksanakannya. Sedangkan dua di antaranya (QS al-Araf: 84 dn QS Hd: 83) yang
mengisahkan bahwa perintah seperti itu ditetapkan pula bagi penduduk Madyan (kaum Nabi
Syuaib) di masa lampau.
Tiga ayat yang menerangkan bahwa pada penciptaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang
ada di dalamnya, terdapat keseimbangan dan berpasang-pasangan (QS al-Hijr: 19, QS alRahman: 7, dan 8).
Dua ayat yang mengungkapkan bahwa Allah yang menurunkan al-Quran dan neraca ke atas
dunia ini, agar manusia dapat menegakkan keadilan dengan baik (QS al-Syra: 17 dan QS alHadid: 25).
Tujuh ayat menyangkut timbangan di hari kiamat. Allah akan menyiapkan timbangan di hari
kiamat (QS al-Kahfi: 105 dan QS al-Anbiya: 47); siapa yang berat timbangan amal
kebaikannya, maka ia akan beruntung (QS al-Araf: 8, QS al-Muminn: 102, dan QS al-Qariah:
6); siapa yang ringan timbangan amal kebaikannya, maka ia akan merugi (QS al-Muminn: 103
dan QS al-Qariah: 8).
2. Term al-Adl
Kata al-adl dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 24 ayat dalam al-Quran. Makna kata
tersebut mempunyai konotasi yang bervariasi, sesuai dengan konteks ayatnya.
Kata al-adl ada yang bermakna keseimbangan, yakni QS al-Infithar: 7. Ayat ini menjelaskan
bahwa Allah menciptakan manusia dan menyempurnakan kejadiannya dengan susunan tubuh
yang seimbang. Al-adl, terkadang juga berkonotasi tebusan (QS al-Anam: 70, QS alBaqarah: 48 dan 122). Kata ini juga ada yang berkonotasi sekutu (QS al-Anam: 1, 150, dan
QS al-Naml: 60), yakni orang-orang kafir yang menyekutukan Allah.
Kata al-adl yang bermakna keadilan melputi berbagai ayat, baik yang berkenaan dengan
kesaksian, tulisan, lisan, dan lain-lain. Keadilan yang dimaksud ditujukan kepada orang yang
bersengketa, baik terhadap kawan, lawan, atau kepada isteri-isteri bagi suami yang berpoligami.
3. Term al-Qisth
Kata al-qisth dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 20 ayat. Maknaal-qisth dalam ayatayat tersebut hanya menunjukkan kepada keadilan, meski konotasinya berlainan.
Perintah berlaku adil (dalam arti umum) dengan term al-qisth, dapat ditemukan pada QS alMumtahanah: 8, QS al-Hujurat: 9, QS al-Maidah: 42, QS al-Araf: 29, dan QS al-Nisa: 135.
Perintah mengurus anak yatim dengan adil, terdapat QS al-Nisa: 127. Perintah menjadi saksi
yang adil, ditemukan dalam QS al-Maidah: 8. Untuk orang-orang yang tidak berlaku adil, di
akhirat nanti akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam (QS Ynus: 47 dan 54).
Surga Makalah
*Dikutip dari Berbagai Sumber
ISLAM DAN
AKULTURASI BUDAYA
LOKAL
Oleh: Irfan Salim, Lc.
http://media.isnet.org/islam/Etc/Akulturasi.htm
l
konsep kesatuan kemanusiaan (wihdat alinsaniyah; the unity of humanity) yang merupakan
kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan
(wahdaniyat atau tauhid; the unity of god).
Kesatuan asasi ummat manusia dan kemanusiaan
itu ditegaskan dalam firman-firman:
"Ummat manusia itu tak lain adalah ummat yang
tunggal, tapi kemudian mereka berselisih (sesama
mereka) jika seandainya tidak ada keputusan
(kalimah) yang telah terdahulu dari Tuhanmu,
maka tentulah segala perkara yang mereka
perselisihkan itu akan diselesaikan (sekarang
juga)".9
"Ummat manusia itu dulunya adalah ummat yang
tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi untuk
membawa kabar gembira dan memberi peringatan
dan bersama para nabi itu diturunkannya kitab suci
dengan membawa kebenaran, agar kitab suci itu
dapat memberi keputusan tentang hal-hal yang
mereka perselisihkan..." 10
Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan untuk
selalu menyadari sepenuhnya kesatuan
kemanusiaan itu dan berdasarkan kesadaran itu
mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit,
yaitu sebuah pola budaya yang konsep-konsep
dasarnya meliputi, dan diambil dari dari seluruh
budaya ummat manusia. 11
Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam
bisa dilacak dalam etalase sejarah kebudayaan
Islam sejak jaman Rasulullah, baik dalam format
non material seperti konsep-konsep pemikiran,
maupun yang material seperti seni arsitektur
bangunan dan sebagainya. Pada masa awal Islam,
Rasulullah Saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah
pelepah kurma. Kemudian, tatkala kuantitas kaum
muslimin mulai bertambah banyak, dipanggillah
seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan
untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan
yang dipakai untuk khutbah Jumat dan munasabahmunasabah lainnya. Kemudian dalam perang
Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy
untuk membuat parit (khandaq) di sekitar Madinah.
Bagus sekali
dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun
1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak
pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
2. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori
Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan
pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
1. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam
(Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton
sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
2. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana pengaruh mazhab Syafii
terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut
mazhab Hanafi.
3. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
4. Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung
teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke
Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai
melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang
Arab, Persia dan Gujarat.
Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut
dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang
terus
menetap,
atau
mendirikan
perkampungan,
seperti
pedagang
Gujarat
mendirikan perkampungan Pekojan.
Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai
menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang.
Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang
menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.
Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat
menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi
juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing.
Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan
melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan
demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia.
Di pulau Jawa, peranan mubaligh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal
dengan sebutan walisongo yang merupakan suatu majelis yang berjumlah sembilan orang. Majelis
ini berlangsung dalam beberapa periode secara bersambung, mengganti ulama yang wafat / hijrah
ke luar Jawa. Dari penjelasan tersebut apakah Anda sudah paham, kalau sudah paham simak
uraian materi berikutnya tentang periode penyebaran islam oleh para ulama/wali tersebut.
1. Periode I : Penyebaran Islam dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (-), Ahmad
Jumadil Qubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasannudin,
Aliyuddin dan Syeikh Subakir (-).
2. Periode II : Penyebaran Islam digantikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta), Jafar
Shiddiq (Sunan Kudus), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
3. Periode III : hijrahnya Maulana Ishaq dan Syeikh Subakir, dan wafatnya Maulana Hassanudin dan
Aliyuddin maka penyebar Islam pada periode ini dilakukan oleh Raden Paku (Sunan Giri), Raden
Said (Sunan Kalijaga), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qashim (Sunan Drajat).
4. Periode IV : Penyebar Islam selanjutnya adalah Jumadil Kubra dan Muhammad Al-Maghribi dan
kemudian digantikan oleh Raden Hasan (Raden Patah) dan Fadhilah Khan (Falatehan).
5. Periode V : Untuk periode ini karena Raden Patah menjadi Sultan Demak maka yang
menggantikan posisinya adalah Sunan Muria.
8. Sunan Muria, adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan
islamnya di daerah Gunung Muria.
9. Sunan Gunung Jati, nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat
(Cirebon).
Sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian memandang para
wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal dengan
sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.
Wujud Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Islam
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang
dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang pernah Anda pelajari pada modul
sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses
bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling
mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya
Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari
proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut
perilaku masyarakat Indonesia.
1. Seni Bangunan
Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana.
Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri sebagai berikut:
a. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari
tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah
dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut denganMustaka.
b. Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar Indonesia
atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan
atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
c. Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan
di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Mengenai contoh masjid kuno dapat memperhatikan Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati
(Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya. Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi
kebudyaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam. Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada
bangunan makam terlihat dari:
ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.
Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:
a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat
ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran
(karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat
Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan
peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).
Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram
diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap
menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada kalender saka
juga dipergunakan.
Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram
1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.
Demikianlah uraian materi tentang wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Islam,
sebenarnya masih banyak contoh wujud akulturasi yang lain, untuk itu silahkan diskusikan dengan
teman-teman Anda, mencari wujud akulturasi dari berbagai pelaksanaan peringatan hari-hari
besar Islam atau upacara-upacara yang berhubungan dengan keagamaan.
Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan struktur
sosial masyarakat, khususnya Jawa, yaitu agama dan budaya lokal. Dalam
masyarakat Jawa, dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk
karakter khusus perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai jati diri
orang Jawa. Karakter khusus dimaksud mewarnai hampir di semua aspek sosial
masyarakat Jawa baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Struktur sosial masyarakat Indonesia (Jawa khususnya) bisa kita klasifikasikan
ke dalam tiga golongan, yakni santri, priyayi dan abangan. Klasifikasi ini
membuktikan adanya dominasi agama dan budaya lokal dalam membentuk
struktur sosial. Masyarakat santri merupakan representasi dari dominasi agama,
sementara masyarakat priyayai dan abangan adalah representasi dari kuatnya
pengaruh budaya lokal. Elaborasi agama dan budaya lokal pada akhirnya
menampilkan corak sosial masyarakat Jawa yang agamis akan tetapi masih
berpegang teguh pada budaya leluhur dalam interaksi sosial.
Permasalahan yang sebenarnya bukan terletak pada pilihan seseorang terhadap
salah satu diantara konsep agama dan budaya atau menerapkan keduanya,
akan tetapi kesadaran terhadap perbedaan nilai-nilai substantif yang dikandung
oleh agama dan budaya. Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden
sehingga sering dipahami sebagai suatu dogma yang kaku. Sementara nilai-nilai
merupakan budaya lokal. Dalam ranah moralitas bisa kita amati betapa orang
Jawa begitu mengedepankan nilai-nilai kesopanan, gotong-royong dan teposliro (toleran) dalam kehidupan bermasyarakat dan jauh dari sikap individualis,
hedonis dan liberalis.
Demikian juga pengaruh adat istiadat atau budaya terhadap kehidupan
keagamaan bisa kita jumpai dari beragam ritual di masyarakat. Lebih-lebih di
masyarakat Jawa, fenomena ini sangat kental sekali mewarnai kehidupan
mereka. Seperti dalam masa kehamilan ada acara telon-telon ketika kandungan
usia 3 bulan, tingkepan ketika kandungan usia 6 bulan dll. Dalam kelahiran bayi
ada acara sepasaran, selapanan, piton-piton, tiron-tiron dll. Dalam pernikahan
ada istilah acara ngunggahke beras, temu manten dengan berbagai ritual dan
seremonialnya, seperti kedua mempelai diminumi, disiram air bunga, menginjak
telor, dibuatkan bermacam-macam asesoris dari janur kuning berupa kembar
mayang dll. Dalam kematian ada acara telung dinonan, pitung dinonan, patang
puluh dinonan, satus dinonan, sewu dinonan dengan membuat kue berupa
apem, menyebar beras kuning dan lain seterusnya.
Adat istiadat tersebut juga bisa kita jumpai dalam momen-momen tertentu,
seperti ritual selamatan ketika hendak membangun rumah, ketika akan
menggarap sawah atau kebun, ketika panen, membuat bubur ketika bulan AsSyuro, membuat ketupat ketika lebaran dan lain sebagainya. Lebih dari itu,
dalam kehidupan masyarakat Jawa juga kita jumpai adat tradisi yang dikenal
dengan istilah hitungan primbon. Yaitu suatu metode hitungan yang mengacu
pada weton (kelahiran) untuk menentukan hari baik yang biasanya digunakan
pertimbangan dalam memilih jodoh, karir atau pekerjaan dan lain sebagainya.
Demikianlah diantara aneka ragam ritula-ritual yang dapat kita jumpai dalam
kehidupan masyarakat Jawa, yang kesemuanya telah menjadi adat tradisi yang
diwarisi secara turun-menurun dari para leluhur dan diyakini sebagai perilaku
yang baik dan memberikan kemaslahatan. Bahkan dalam tataran tertentu,
orang yang tidak mengindahkan adat tradisi tersebut akan dianggap gak ilok
(tabu) oleh masyarakat.
Apabila ditinjau melalui konteks legal-formal (baca: fiqh), secara umum nuansa
ritual-ritual seperti di atas pada dasarnya merupakan praktek ibadah yang
memiliki motif tawasul atau tafa'ul, yang melibatkan faktor keyakinan dan
tasaruf.
1. Tawasul
Dalam kacamata Islam (Ahli Sunnah wal Jama'ah), ritual tawasul dianggap legal
apabila disertai keyakinan yang lurus dan terbebas dari unsur-unsur syirik.
Dalam arti, tawasul hanya diposisikan sebagai sarana ikhtiar (wasilah) untuk
memohon kepada Allah dan tetap meyakini hakikatnya hanya Allah semata
yang mutlak memiliki qudrah dalam segalanya, dan bukan pihak yang dijadikan
obyek tawasul. Allah berfirman:
2. Tafa'ul
Adapun ritual tafa'ul (menaruh harapan baik pada sesuatu) dalam Islam
dianggap legal, lantaran tafa'ul secara substansial memiliki esensi positif yang
bisa mengantarkan pada kewajiban husnudhan kepada Allah.
Dengan demikian, apabila dalam tafa'ul masih terbersit kekhawatiran atau
ketakutan akan terjadinya hal-hal negatif jika tidak melakukan ritual, dan
kekhawatiran tersebut tanpa alasan yang mendasar secara adat, maka ritual
tersebut sudah di luar konsep tafa'ul yang diperbolehkan. Sebab, ritual yang
demikian sudah termasuk praktek mengundi nasib yang diharamkan dalam
Islam karena tergolong sikap su'udhan kepada Allah. Dalam sebuah hadits
Qudsi, Rasulullah saw. bersabda:
hamba-Ku
terahadap-Ku,
maka
Dengan demikian, segala bentuk ritual tafa'ul karena ada motif kekhawatiran
atau ketakutan hukumnya haram sepanjang kekhawatiran atau ketakutan
tersebut tidak dilatari adanya kebiasaan (dah) yang mutharridah (pasti) atau
aktsariyyah (umum). Di samping itu, legalitas tawasul atau tafa'ul di dalamnya
juga harus terhindar dari unsur idl'atul ml. Yaitu menasarufkan materi tanpa
ada nilai kemanfaatan yang kembali secara langsung maupun tidak langsung,
seperti sesaji yang dibiarkan tanpa dimanfaatkan.
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu". (QS. Al-Maidah : 3)
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam". (QS. Al-Anbiya' : 107)
Tidak ada satu pun dimensi kehidupan manusia yang luput dan tak tersentuh
oleh hukum Islam, termasuk adat-istiadat maupun tradisi budaya dan
peradaban. Islam memiliki aturan formal yang baku dan tegas mengenai
legalitas ritual-ritual yang dipengaruhi tradisi atau budaya lokal seperti yang
telah diuraikan di sub sebelumnya.
Kendati demikian, kehadiran Islam sebagai agama sebenarnya bukanlah untuk
menolak segala adat atau budaya yang telah berlaku di tengah masyarakat.
Tradisi dan budaya yang telah mapan dan memperoleh kesepakatan kolektif
sebagai perilaku normatif, maka Islam tidak akan merubah atau menolaknya
melainkan mengadopsinya sebagai bagian dari budaya Islam itu sendiri dengan
membenahi dan menyempurnakannya berdasarkan nilai-nilai budi pakerti luhur
yang sesuai dengan ajaran-ajaran syariat. Rasulullah saw. bersabda:
Sekedar untuk menyebut contoh bahwa kehadiran Islam bukan untuk menolak
segala tradisi yang telah berlaku adalah disyariatkannya ritual Sa'i di bukit
Shafa dan Marwa, di mana pada pra-Islam ritual Sa'i sudah menjadi adat orangorang Jahiliah. Hal ini seperti tergambar jelas dalam asbbun nuzl surat AlBaqarah : 158
"Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka
barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada
dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya". (QS. Al-Baqarah : 158)
Dalam ranah hukum Islam, kita juga bisa jumpai beberapa contoh lain yang
diadopsi dari adat budaya Jahiliyah dan dilestarikan ke dalam Islam seperti
diyh, qasmah, qirdl, memasang qiswah (selambu) Ka'bah dan lain
sebagainya dari perilaku-perilaku normatif sosial yang bisa diterima
kebenarannya oleh aqlus salim. Sepanjang adat tradisi dan budaya lokal secara
"Apa yang dilihat baik oleh orang Islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah".
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. Al-Anbiya' : 107)
Lebih dari itu, adalah fakta bahwa penerimaan terhadap Islam di Jawa tidak
terlepas dari strategi dakwah yang secara elegan mau menerima bahkan
mengadopsi nilai-nilai budaya lokal yang secara substansial tidak bertentangan
dengan Islam. Dalam konteks seperti ini, akulturasi bisa dipahami sebagai
penengah antara ketaatan beragama yang bersifat dogmatis dengan
penghargaan terhadap nilai-nilai tradisi budaya lokal yang bersifat fleksibel dan
berakar pada kolektifitas.
D. Sebuah Refleksi