Anda di halaman 1dari 13

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LARVA Chrysomyia rufifacies DAN Musca

domestica DALAM UJI EKSTRAK IN VITRO, UJI EKSTRAK IN VIVO, DAN


MAGGOT DEBRIDEMENT THERAPY PADA LUKA TERINFEKSI MethicillinResistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Prof.dr.Soebaktiningsih, DTM&H, M.Sc, Sp.Par.K, Albert Cendikiawan, Hadianto
Gunawan, Obed Trinurcahyo K.P., Vianney Tedjamulya, Cokorda A. Wahyu P.
ABSTRAK
Cendikiawan, A., Hadianto Gunawan, Obed Trinurcahyo K.P., Vianney
Tedjamulya, Cokorda A. Wahyu P. 2006. Perbandingan Efektivitas Larva Chrysomyia rufifacies dan Musca domestica dalam Uji Ekstrak in
vitro, Uji Ekstrak in vivo, dan Maggot Debridement Therapy pada Luka
Terinfeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Tugas
Akhir, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Dosen Pembimbing :
Prof.dr.Soebaktiningsih,DTM&H,M.Sc,Sp.Par.K
Larva lalat memiliki manfaat medis yang cukup penting. Beberapa jenis
larva lalat dapat digunakan untuk membuang jaringan mati pada luka. Metode
terapi ini dikenal sebagai Terapi Larva atau Maggot Debridement Therapy. Selain
dapat memakan jaringan mati, larva lalat terbukti dapat membunuh bakteri yang
terdapat dalam luka. Dua di antara beberapa jenis larva yang dapat digunakan
adalah larva Chrysomyia rufifacies dan Musca domestica.
Penggunaan larva lalat memiliki kesulitan tersendiri dalam
pengaplikasiannya. Maka, patut diteliti apakah ekstrak dari larva lalat memiliki
aktivitas antibakteri juga.
Penelitian dimulai dengan pengumpulan larva lalat yang sesuai dan
pembuatan ekstrak larva lalat dengan metode perkolasi, setelah sampel larva
terlebih dahulu dikeringkan dan dihaluskan.
Desain penelitian adalah eksperimental dengan post-test dan kelompok
kontrol. Penelitian ini membagi kelompok sampel berupa bakteri MRSA ke dalam
2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang menggunakan ekstrak larva dan
kelompok kontrol positif yang menggunakan mupirocin. Untuk mengetahui
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) digunakan metode tes dilusi tabung.
Sedangkan untuk mengetahui Minimum Bactericidal Concentration digunakan
metode plate streaking dengan membiakkan sampel dari hasil tes dilusi tabung
pada media padat untuk mengetahui ada tidaknya pertumbuhan bakteri.
Hasil uji ekstrak in vitro menunjukkan bahwa MIC dari kedua larva tidak
dapat ditentukan. MBC dari ekstrak larva Chrysomyia rufifacies adalah 0,25
mg/ml, sedangkan MBC dari ekstrak larva Musca domestica lebih besar dari 6,25
mg/ml. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak larva Chrysomyia rufifacies
memiliki aktivitas bakterisidal terhadap MRSA yang lebih besar daripada ekstrak
larva Musca domestica.
Kata kunci: larva, Chrysomyia rufifacies, Musca domestica, esktrak, MRSA.

ABSTRACT
Cendikiawan, A., Hadianto Gunawan, Obed Trinurcahyo K.P., Vianney
Tedjamulya, Cokorda A. Wahyu P 2006. Comparison on Effectiveness
of Chrysomyia rufifacies and Musca domestica larvae in Extract Test in
vitro, Extract Test in vivo, and Maggot Debridement Therapy on
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Infected Wounds.
Final Assigment, Fakultas of Medicine, Brawijaya University. Supervisor
: Prof.dr.Soebaktiningsih,DTM&H,M.Sc,Sp.Par.K
Maggot has an important medical benefit. Some species of maggot can
be used for wound debridement. This method is known as Maggot Debridement
Therapy. In addition to its ability to feed on necrotic tissue, maggot has been
proved to be able to kill bacteria in wounds. Of the usable maggots, two of them
are the maggots of Chrysomyia rufifacies and Musca domestica.
Maggot use has difficulties in its application on human. Therefore, it is
considered beneficial to research whether maggot extract also has antibacterial
effect.
The research starts on the search of the appropriate maggots, drying and
grinding the maggots, and extraction of the pulverized maggots by means of
percolation.
The design of the research is experimental with post-test and control
group. The research divides MRSA samples into 2 groups: treatment group,
which is treated with maggot extract, and positive control group, which is treated
with mupirocin. Tube dilution test is used to determine the Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) of maggot extract, after which samples are grown in solid
media by means of plate-streaking method to detect any growth of bacteria, thus
determine the Minimum Bactericidal Concentration (MBC).
The result of in vitro-extract test indicates that the MIC from both maggot
extracts remains undetermined. The MBC from Chrysomyia rufifacies maggot
extract is 0,25 mg/ml, while the MBC Musca domesticas maggot extract is
greater than 6,25 mg/ml. Thus, it can be concluded that the maggot extract of
Chrysomyia rufifacies has a more potent anti-bacterial activity to MRSA than the
maggot extract of Musca domestica.
Keywords: maggot, Chrysomyia rufifacies, Musca domestica, extract, MRSA.

PENDAHULUAN
Masyarakat pada umumnya mengidentikkan lalat dengan kotoran dan
sampah. Hal ini mungkin disebabkan
karena lalat adalah hewan yang
hidup di tempat kotor dan menyebarkan penyakit dari sampah ke
makanan serta menyebabkan banyak
permasalahan kesehatan. Selain itu,
larva lalat yang umumnya hidup di
bangkai-bangkai hewan ataupun di
tumpukan sampah oleh kebanyakan
orang juga dianggap kotor dan tidak
ada gunanya.
Beberapa larva lalat sering
menyebabkan myiasis, infestasi larva
lalat pada jaringan, pada domba di
Inggris, Australia, dan Selandia Baru
(James dan Harwood, 1969). Selain
domba, larva Lucilia juga dapat menyerang kuda, hewan ternak, dan
manusia. (Lane and Crosskey, 1993)
Myiasis pada manusia sudah dikenal
dalam buku Hortus Sanitatus pada
tahun 1491 dan bahkan sudah dicatat
dalam Alkitab. (SMTL, 2003)
Uniknya, banyak terdapat
laporan tentang kegunaan larva lalat
dalam mengatasi luka. Maggot
Debridement Therapy (MDT) adalah
penggunaan maggot atau larva lalat
untuk membersihkan jaringan mati
dari luka. Terapi ini terutama berguna
pada osteomyelitis kronis, ulkus
kronis, dan infeksi lain yang menghasilkan pus, yang biasanya ditimbulkan oleh peralatan kerja (Iversen,
2000).
MDT bukanlah hal yang sama
sekali baru, bahkan efek menguntungkan yang dihasilkan oleh
infestasi larva lalat terhadap penyembuhan luka yang terinfeksi telah dikenal selama beratus-ratus tahun.
Suku Ngemba di New South Wales,
Australia telah menggunakan larva
lalat untuk membersihkan luka
bernanah dan bergangren, suatu

praktik yang diwariskan turuntemurun dari zaman dahulu. Begitu


pula dengan masyarakat perbukitan
di Burma Utara, selama perang dunia
II, diamati meletakkan larva lalat di
atas sebuah luka lalu menutupinya
dengan lumpur dan rumput basah
(SMTL, 2003).
Orang yang memulai modern
maggot therapy adalah William Baer,
Clinical Professor of Orthopaedic
Surgery di Johns Hopkins School of
Medicine di Maryland. Baer mengamati bahwa cedera fraktur femur
dan luka yang lebar pada abdomen
dan scrotum dari dua orang prajurit
yang diinfestasi larva lalat mengalami
penyembuhan dengan cepat, hal ini
khususnya menarik, karena pada
masa itu, tingkat mortalitas fraktur
femur kira-kira 75-80%. Sejalan dengan pengamatannya, Baer lalu
menggunakan larva lalat untuk
merawat empat orang anak dengan
osteomyelitis, dan berhasil (SMTL,
2003).
Penggunaan MDT selama
tahun 1920-1930 semakin populer.
Hal ini adalah dampak keberhasilan
Baer dengan MDT-nya yang diikuti
oleh berbagai penelitian lainnya pada
tahun-tahun tersebut. Indikasi penggunaan MDT juga meluas, mencakup
penanganan abses, luka bakar, dan
mastoiditis subakut. Meskipun demikian, pada tahun-tahun itu antibiotik
juga mulai dikembangkan dan akhirnya dapat diproduksi secara massal.
Walaupun MDT memiliki efek bakterisidal, misalnya terhadap Streptococcus pyogenes, S. pneumoniae,
Clostridium welchii dan Pseudomonas sp., jumlah penggunaan antibiotik dengan cepat mengalahkan jumlah penggunaan MDT dalam penanganan kasus-kasus infeksi karena
alasan kepraktisan. Sebagai dampaknya, pada tahun 1940-an praktek

MDT hampir ditinggalkan sama sekali


(Thomas et al, 1999; SMTL, 2003).
Penggunaan antibiotik yang
sembarangan dan tidak adekuat telah
menyebabkan
timbulnya
strain
bakteri yang resisten terhadap
antibiotik tertentu. Salah satu dari
strain resisten tersebut adalah MRSA
(Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus), yang prevalensinya di
kebanyakan rumah sakit telah
meningkat menjadi 40-50%. Hal ini
sangat serius karena S. aureus
adalah penyebab yang penting dari
infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi
sistem pernafasan, dan endokarditis
infektif. Dalam peranannya sebagai
salah satu penyebab utama infeksi
nosokomial, S. aureus adalah
penyebab paling sering dari infeksi
luka postoperatif dan penyebab
kedua tersering dari bakteremia.
Selain itu, strain yang resisten
terhadap methicillin biasanya juga
resisten terhadap antibiotik lain
(Lowy, 2005).
Obat pilihan untuk MRSA
adalah vancomycin, yang telah
tersedia di Indonesia tetapi dengan
harga yang mahal. MDT dapat
menjadi salah satu terapi alternatif
bagi luka yang terinfeksi MRSA,
karena pada zaman dulu telah
digunakan pada luka jaringan lunak
yang terinfeksi baik akut ataupun
kronis,
seperti
abses,
bisul,
mastoiditis; fraktur compound; dan
osteomyelitis (SMTL, 2003). Menurut
Thomas (2000), larva lalat dapat
melawan infeksi pada aneka tipe
luka, termasuk yang terinfeksi oleh
strain
yang
resisten
terhadap
antibiotik (Thomas, 2005). Oleh
karena
itu,
diharapkan
terapi
menggunakan larva dapat mengatasi
infeksi dari bakteri-bakteri seperti
MRSA tanpa menambah resistensi
terhadap antibiotik yang lain.

Karena alasan tersebut, terapi


larva lalat perlu kembali diperkenalkan ke masyarakat mengingat banyaknya keuntungan yang ditawarkan oleh pengobatan ini. Namun,
pemakai terapi larva lalat dihadapkan
dengan permasalahan estetika dan
entomofobia. Faktor-faktor ini membuat tidak banyak orang memilih
terapi ini, walaupun penelitian menunjukkan bahwa terapi dengan
menggunakan larva lalat lebih efektif
daripada pemakaian antibiotika pada
umumnya. Bertitik tolak dari fakta
yang telah dikemukakan, perlu
adanya terobosan dalam penyajian
terapi ini yaitu dengan membuat
ekstrak larva lalat.
Pada MDT, larva lalat yang
umum digunakan adalah larva Lucillia
sp., spesies lalat yang biasanya
menyebabkan traumatic myasis.
Patut dieksplorasi apakah larva
Chrysomyia rufifacies dan Musca
domestica
yang
juga
dapat
menyebabkan
traumatic
myasis
dapat pula digunakan dalam MDT.
(Hall and Smith, 1993) Apalagi
Musca domestica memiliki persebaran geografis yang sangat luas
sehingga memungkinkan pembiakan
dan penggunaannya di hampir
semua tempat (Lane dan Crooskey,
1993).
Berangkat dari kenyataan
tersebut, perlu adanya penelitian
mengenai kemampuan larva lalat
dalam penanganan luka yang
terinfeksi kuman, terutama larva
Chrysomyia rufifacies dan Musca
domestica. Maka dari itu perlu
dilakukan
penelitian
mengenai
efektivitas ekstrak larva Chrysomyia
rufifacies dan Musca domestica
secara in vitro dan in vivo. Selain itu,
penggunaan MDT belum pernah
diteliti di Indonesia. Hal ini patut
disayangkan mengingat MDT dapat

menjadi terapi alternatif dengan


berbagai keuntungan yang ditawarkannya. Diharapkan penelitian ini
dapat menjadi pelopor penelitian
serupa di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian maggot debridement therapy dan uji efektivitas
ekstrak larva in vivo menggunakan
true experimental design: pretest and
posttest with control group design.
Penelitian uji efektivitas ekstrak larva
in vitro menggunakan true experimental design: posttest only with
control group design.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas
Brawijaya.
Penelitian dilakukan selama 7 bulan.
Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian
maggot debridement therapy dan uji
efektivitas ekstrak larva in vivo
adalah kelinci (Lepus sp.) jantan
dewasa berusia 4 6 bulan dengan
berat badan 400 500 gram.
Populasi
dalam
penelitian
uji
efektivitas ekstrak larva in vitro
adalah biakan MRSA yang didapat
dari
laboratorium
Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya.
Sampel Penelitian
Untuk Maggot Debridement Therapy:
p(n-1) 16
4(n-1) 16
4n-4 16
4n 20
n 5

Untuk Maggot Debridement Therapy,


sampel yang digunakan berupa 5
ekor kelinci untuk setiap perlakuan.
Untuk uji efektivitas ekstrak larva in
vivo:
p(n-1) 16
4(n-1) 16
4n-4 16
4n
20
n
5
Untuk uji efektivitas ekstrak larva in
vivo, sampel yang digunakan berupa
5 ekor kelinci untuk setiap perlakuan.
Untuk uji efektivitas ekstrak larva In
vitro:
p(n-1) 16
12(n-1) 16
12n-12 16
12n 28
n 2,3
Untuk uji efektivitas ekstrak larva in
vitro, tes akan diulangi sebanyak 3
kali untuk setiap perlakuan.
Keterangan:
p = jumlah perlakuan
n = jumlah sampel untuk masingmasing perlakuan
Variabel Penelitian
Variabel
bebas
dalam
penelitian
maggot
debridement
therapy ialah larva Musca domestica
atau larva Chrysomya rufifacies
Variabel bebas dalam penelitian uji
ekstrak, baik in vivo ataupun in vitro,
adalah
ekstrak
larva
Musca
domestica atau larva Chrysomya
rufifacies
Variabel
tergantung
untuk
peneltian
maggot
debridement
therapy dan uji ekstrak larva in vivo
ialah sterilitas luka, kecepatan
pembentukan jaringan granulasi, dan
kecepatan penutupan luka. Variabel
tergantung untuk penelitian uji

ekstrak larva in vitro ialah kekeruhan


tabung dan jumlah koloni bakteri
Methicillin Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA).
Variabel
kendali
dalam
penelitian ini adalah jenis kelamin,
umur, dan berat badan hewan coba;
suhu kandang, diet, cara pembuatan
luka dan infeksi pada hewan coba,
cara pembuatan biakan bakteri dari
luka, serta cara pemeriksaan luka.
Definisi Operasional
Larva
Musca
domestica
adalah larva hasil pengembangbiakan
lalat
dewasa
Musca
domestica yang telah ditangkap dan
dikembangbiakkan di Jl. Tampomas,
Malang. dan berada pada stadium II
atau kurang lebih berumur 1-2 hari
Larva Chrysomya rufifacies
yang akan dipakai dalam MDT
adalah larva dari lalat yang
diidentifikasikan sebagai Chrysomya
rufifacies menurut kunci dikotomi,
dan berada pada stadium II atau
kurang lebih berumur 1-2 hari
Ekstrak larva Chrysomya
rufifacies adalah hasil ekstraksi larva
stadium III Chrysomya rufifacies yang
dikumpulkan dari bangkai yang
diletakkan di kampus Universitas
Brawijaya, yang diekstrak dengan
menstruum alkohol 96 % menggunakan metode perkolasi dengan
apparatus soxhlet.
Ekstrak
larva
Musca
domestica adalah hasil ekstraksi
larva stadium III Musca domestica
dengan menstruum alkohol 96 %
menggunakan
metode
perkolasi
dengan apparatus soxhlet.
MRSA
adalah
strain
Staphylococcus aureus, yang dengan
metode difusi cakram pada potensi
cakram sebesar 5 g, memiliki
kepekaan
terhadap
methicillin
(oxacillin) sebesar 9 mm atau kurang.

(Winarsih, et al, 2005) Dalam


penelitian ini, MRSA diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Brawijaya
Luka terinfeksi MRSA adalah
luka incisional superfisial (di atas
fascia) yang diinokulasi dengan
MRSA dengan inokulum sebesar 1
ml dengan kepadatan 105 CFU/ml
dan menghasilkan pus.
Jaringan granulasi adalah
jaringan baru yang terbentuk awal
pada penyembuhan luka, yang
ditandai dengan warna merah muda
granuler akibat adanya neovaskularisasi luka.
Penutupan
luka
adalah
stadium akhir penyembuhan luka
yang ditandai dengan hilangnya
edema, neovaskularisasi, dan penutupan kulit yang sempurna.
Sterilitas luka adalah keadaan
bebas bakteri pada luka, ditandai
dengan tidak adanya pertumbuhan
bakteri selama tiga kali berturut-turut
pada biakan dari swab pada luka.
Kadar
Hambat
Minimum
(KHM) adalah kadar minimal ekstrak
larva Chrysomya rufifacies atau
Musca domestica yang diperlukan
untuk menghambat pertumbuhan
MRSA yang diperoleh dengan
membandingkan tingkat kekeruhan
larutan.
Kadar Bunuh Minimum (KBM)
adalah kadar minimal ekstrak larva
Chrysomya rufifacies atau Musca
domestica yang diperlukan untuk
membunuh MRSA yang diperoleh
dari
konsentrasi
ekstrak
larva
Chrysomya rufifacies terkecil dengan
jumlah koloni 0,1 % pada media
padat.
HASIL PENELITIAN
Hasil yang telah didapatkan
adalah hasil untuk tes untuk ekstrak
larva C. rufifacies in vitro, M.

domestica in vitro dan mupirocin in


vitro. Agar lebih terorganisasi hasil
tes untuk mupirocin akan dibahas
terlebih dahulu lalu dilanjutkan oleh
hasil tes untuk ekstrak larva C.
rufifacies in vitro dan M. domestica in
vitro.
Hasil tes untuk mupirocin
adalah sebagai berikut
Tabel 1 Hasil Tes untuk Mupirocin

Konsentrasi Pengulangan
(mg)
I II III IV
- - 0,25
- - 0,05
+ + + 0,01
+ + + +
0,002
+ + + +
0,0004
Keterangan:
- berarti tidak terdapat kuman yang
tumbuh pada medium padat (NAP)
+ berarti terdapat kuman yang tumbuh pada medium padat (NAP)
Konsentrasi bakteri MRSA yang
digunakan pada tes ekstrak mupirocin adalah sebesar 105 CFU/ml.
Berikut ini adalah hasil tes
untuk ekstrak larva C. rufifacies in
vitro.
Tabel 2 Hasil tes untuk Ekstrak Larva C.
rufifacies

Konsentrasi Pengulangan
(mg/mL)
I II III IV
- - 0.25
+ + + +
0,05
+ + + +
0,01
+ + + +
0,002
+ + + +
0,0004
0,00008 + + + +
Keterangan:
- berarti tidak terdapat kuman yang
tumbuh pada medium padat (NAP)
+ berarti terdapat kuman yang tumbuh pada medium padat (NAP)

Konsentrasi bakteri MRSA yang digunakan pada tes ekstrak larva C. rufifacies adalah sebesar 105 CFU/ml.
Berikut ini hasil tes untuk
ekstrak larva M. domestica in vitro
Tabel 3 Hasil Tes Pendahuluan untuk
Ekstrak Larva M. domestica

Konsentrasi Pengulangan
(mg/ml)
I
25
2,5
0,25
0,025
+
- berarti tidak terdapat kuman yang
tumbuh pada medium padat (NAP)
+ berarti terdapat kuman yang tumbuh pada medium padat (NAP)
Konsentrasi bakteri MRSA yang
digunakan pada tes tes pendahuluan
ekstrak larva M. domestica adalah
sebesar 5 x 104 CFU/ml.
Tabel 4. Hasil untuk Ekstrak Larva M.
domestica

Konsentrasi Pengulangan
(mg/mL)
I II III IV
6,25
+ + + +
1,25
+ + + +
0,25
+ + + +
0,05
+ + + +
0,01
+ + + +
- berarti tidak terdapat kuman yang
tumbuh pada medium padat (NAP)
+ berarti terdapat kuman yang tumbuh pada medium padat (NAP)
Konsentrasi bakteri MRSA yang
digunakan pada tes ekstrak larva M.
domestica adalah sebesar 105
CFU/ml.
Untuk larva C. rufifacies, larva
kering diekstrak sesuai dengan
ketentuan yang telah dijelaskan
terlebih dahulu dengan hasil 5,15 g
ekstrak murni. Kemudian ekstrak ini
dilarutkan ke dalam alkohol 10 mL

hingga mendapatkan volume akhir 20


mL.
Untuk larva M. domestica,
larva kering diekstrak sesuai dengan
ketentuan yang telah dijelaskan
terlebih dahulu. Didapatkan ekstrak
murni 9,4 g yang dilarutkan dalam
alkohol 20 mL sehingga pada
akhirnya didapatkan volume akhir 29
mL.
PEMBAHASAN
Sesuai definisinya, Kadar
Hambat Minimum (KHM) tidak dapat
diperoleh karena tingkat kekeruhan
tidak dapat terukur dengan objektif.
Kadar Bunuh Minimum (KBM)
mupirocin adalah 0,05 mg/mL. Kadar
Bunuh Minimum untuk ekstrak larva
C. rufifacies adalah 0,25 mg/mL.
Kadar Bunuh Minimum ekstrak larva
M. domestica (dari hasil tes
pendahuluan) adalah 0,25 mg/mL.
Sedangkan dari penelitian berikutnya
belum didapatkan Kadar Bunuh
Minimum karena didapatkan pertumbuhan bakteri MRSA pada semua
medium padat (NAP).
Dari hasil tersebut dapat
dinyatakan bahwa secara in vitro
mupirocin lebih unggul dibandingkan
ekstrak
kedua
larva
dalam
membunuh MRSA. Hal ini kemungkinan dikarenakan kedua jenis
ekstrak yang digunakan adalah
ekstrak kasar (crude extract), sehingga kadar bahan aktif (bahan yang
memiliki aktivitas bakterisidal terhadap MRSA) lebih sedikit daripada bila
dibuat ekstrak murninya.
Ekstrak larva C. rufifacies
memiliki potensi yang lebih besar
dalam membunuh MRSA secara in
vitro bila dibandingkan dengan
ekstrak larva M. domestica. Hal ini
mungkin dikarenakan cara pengumpulan larva yang berbeda pada
kedua ekstrak tersebut. Larva M.

domestica diperoleh dari hasil


pembiakan lalat dewasa M domestica
di laboratorium, sedangkan larva C.
rufifacies diperoleh dari pengumpulan
larva dari bangkai kelinci umpan.
Hasil ini selaras dengan penelitian
sebelumnya (Mumcuoglu, 2004) yang
menunjukkan bahwa ekstrak larva
yang diperoleh dari bangkai lebih
efektif daripada ekstrak larva steril
(yang dibiakkan di dalam laboratorium). Hal ini dikarenakan larva
yang hidup pada lokasi yang penuh
bakteri, seperti pada bangkai, akan
memproduksi lebih banyak zat
antibakteri daripada larva yang hidup
pada lokasi yang steril.
Kemungkinan lain mengapa
ekstrak larva C. rufifacies lebih poten
daripada ekstrak larva M. domestica
adalah karena ukuran larva C.
rufifacies yang lebih besar daripada
larva M. domestica, sehingga kemungkinan kandungan bahan aktif di
dalam larva C. rufifacies lebih tinggi
daripada larva M. domestica.
KESIMPULAN
1. Secara in vitro, mupirocin
lebih unggul sebagai obat
untuk MRSA
2. Secara in vitro, potensi
bakterisidal terhadap MRSA
untuk kedua esktrak larva
adalah tidak sama, dengan
potensi ekstrak larva C.
rufifacies lebih besar.
SARAN
Kami menyarankan untuk
diadakan penelitian lebih lanjut yang
bertujuan
1. Melanjutkan uji in vitro untuk
mupirocin, ekstrak larva C.
rufifacies, dan M. domestica
dengan rentang konsentrasi
yang lebih sempit

2. Meneliti potensi bakterisidal


ekstrak larva C. rufifacies dan
M. domestica untuk bakteri
lain yang juga menyebabkan
penyakit pada manusia.
3. Meneliti potensi bakterisidal
ekstrak C. rufifacies dan M.
domestica untuk jenis infeksi
MRSA lainnya seperti infeksi
telinga, hidung, dan saluran
pencernaan.
4. Mengkaji potesi bakterisidal
fraksi-fraksi tertentu dalam
ekstrak C. rufifacies dan M.
domestica.
5. Mengetahui
jenis,
berat
molekul, kadar dan manfaat
dari protein-protein khusus
yang terdapat dalam ekstrak
C. rufifacies dan M. domestica.
6. Mencoba
membandingkan
potensi bakterisidal larva lalat
lain selama jenis lalat lain
tersebut masih selektif memakan jaringan mati.
7. Mengadakan uji toksisitas dan
alergi kedua ekstrak larva C.
rufifacies dan M. domestica.
8. Meneliti menstruum apa yang
paling cocok untuk melarutkan ekstrak larva C. rufifacies
dan M. domestica.
9. Mengetahui respon masyarakat terhadap alternatif pengobatan baru ini.
10. Mengumpulkan
informasiinformasi pendukung demi
kelancaran penelitian yang
serupa dengan penelitian ini
misalnya persebaran lalat
berdasarkan
musim
dan
suksesi larva-larva berbagai
jenis lalat pada bangkai.

DAFTAR PUSTAKA
Archer, G. L. 2004. Staphylococcal
Infections dalam Goldman, L.,
Ausiello, D. (ed). 2004
Anonymous. 2003. PDR Drug
Information for Mupirocin.
www.drugs.com/prof Diakses
pada tanggal 12 September
2005
Anonymous. 2005. Wound
debridement.
www.netscape.com . Diakses
pada tanggal 7 Desember
2005
Benecke, M. 2005. Maggots Therapy:
Maggots and Wound Healing.
www.benecke.wm/index.html.
diakses tanggal 12
September 2005
Blakeley,E.K. 2001. Newlife For
Medieval Medicine.
Cluster02.body1.com/news/in
deks.CFM/1/58/86. diakses
tanggal 13 September 2005
Brooks, G. F., Butel, J. S., dan
Ornoston, L. N. 1996.
Mikrobiologi Kedokteran
Jakarta: EGC
Chambers, Henry F. 2004.
Miscellaneous Antimicrobial
Agents; Disinfectants,
Antiseptics, & Sterilants.
dalam Katzung, Bertram G.
2004.
Champion, E.R.H. (ed). 1998. RookWilkinson-Ebling Textbook of
Dermatology 6th Edition.
Oxford: Blackwell Science
Day, E. 1996. Blow Flies Maggot.
www.ext.vt.edu/departements/
entomology/factsheet/blowma
g.htm. diakses tanggal 12
September 2005
Dzen, Sjoekoer M., dkk. 2003.
Bakteriologi Medik. Malang:
Bayumedia

Ferguson, M.W.J.; Leigh, I.M. 1998.


Wound Healing dalam
Champion, E.R.H. (ed). 1998
Goldman, L., Ausiello, D. (ed). 2004.
Cecil Textbook of Medicine.
22nd ed. Vol. 2. Philadelphia:
Elsevier
Hall, Martin J.R.; Smith, Keneth G.V.
1993. Diptera causing myiasis
in man dalam Lane, Richard
P., Crosskey, Roger W. (ed)
1993
Hamman, P. J. 2005. Flies Control
Around The House.
Agweb.tamu.edu
Hiramatsu, K., Katayama, Y., dan Ito,
T. 2002. Molecule Genetics of
MRSA. Tokyo: Urbanverlag
Hussein Sanchez-Arroyo. 1998.
House Fly - Musca domestica
Linnaeus. Department of
Entomology and Nematology,
University of Florida Institute
of Food and Agricultural
Sciences. Diambil dari:
http://creatures.ifas.ufl.edu/ur
ban/flies/house_fly.htm.
Diakses tanggal: 28
Desember 2005
Iversen, Eve. 2000. Maggot
Debridement Therapy:
Veterinary Treatment of
Wounds with maggots.
Diambil dari:
http://www.ucihs.uci.edu/com/
pathology/sherman/vet_mdt/d
ebride. Diakses tanggal 25
Oktober 2005
James dan Harwood. 1969, Hermss
Medical Entomology. London:
Prentice Hall International,
Inc.
Johnson, A. 2005. MRSA Infection.
www.netdoctor.co.uk. diakses
tanggal 12 September 2005
Joklik, W.X., et al. 1992. Zinssers
Microbiology. 20th ed.. USA:
Appleton & Lange

Kano, Rokuro. dan Shinonaga,


Satoshi. 1968. Fauna
Japonica: Calliphoridae
(Insecta: Diptera). Tokyo:
Biogeographical Society of
Japan
Kasper,
Dennis
L.(ed).
2005.
Harrisons
Principles
of
Internal Medicine. 16th ed.
New York: McGraw-Hill
Katzung, Bertram G. 2004. Basic &
Clinical Pharmacology. 9th ed.
Singapore: McGraw-Hill
Kendall, D. 2005. Ordo DipteraTrue
Flies. www.kendallbioresearch.co.ud/dipt.htm.
diakses tanggal 12
September 2005
Kohler, P. G. dan Oi, F. M. 2005. Filth
Breeding Flies. University of
Florida, Institute of Food and
Agricultural Sciences
(UF/IFAS). Diambil dari:
edis.ifas.ufl.edu. Diakses
tanggal 25 Oktober 2005
Kumar, V., Cotran, R. S. dan Robbin,
S. L. 1992. Basic Pathology.
Philadelphia: W B Saunders
Lampiris, Harry W.; Maddix, Daniel S.
Clinical Use of Antimicrobial
Agents dalam Katzung,
Bertram G. 2004
Lane, Richard P., Crosskey, Roger
W. 1993. Medical Insects and
Arachnids. London: Chapman
and Hall
Lowy,
Franklin
D.
2005.
Staphylococcal infections in
Kasper, Dennis L.(ed) 2005
Murray, T. 2005. Garden Friends and
Foes.whatcom.wsu.edu/ag/ho
mehort/pest/calliphoridae.htm
Mumcuoglu, Kosta Y. 2004. Maggot
Debridement Therapy.
www.huji.ac.il/depts/parasitolo
gy/kasta/maggot%20therap_fli
es/filelist.xml .Diakses pada
tanggal 13 September 2005

Neva, Franklin A., Brown, H.W.,


1994. Basic Clinical
Parasitology. London:
Prentice Hall International,
Inc.
Rode, H.; de Wet, P.M.; Millar, A.J. ;
Cywes, S. 2005. Bactericidal
efficacy of mupirocin in multiantibiotic resistant
Staphylococcus aureus burn
wound infection. British
Society for Antimicrobial
Chemotherapy. Diambil dari:
www.bsac.org.uk. Diakses
tanggal: 20 November 2005
Ross, H. 1982. Textbook of
Entomology. New York: John
Wiley & Sons
Schwartz, S.I., Shires, G. T., dan
Spencers, F.C. 1994.
Principle of Surgery. New
York: McGrawHill
Gilman, G. A. 1991. The
Pharmacological Basis of
Therapeutics. Singapore:
Pergamon Press
Smith, Keneth C.V. 1985. Manual of
Forensic Entomology. New
York : Comstock Publishing
Association
SMTL. 2003. History of Maggot
Therapy.
www.w3.org/TR/xhtml/DTD/xh
tml 1-transitional.dtd. diakses
tanggal 12 September 2005
Soebaktiningsih. 1978. The Biology,
Life History, Morphology, and
Ecology of Some Medically
Important Flies. Thesis.
Bangkok: Mahidol University

Staf Pengajar Parasitologi FKUB.


2005. Diktat Parasitologi
Arthropoda. Malang:
Laboratorium Parasitologi
FKUB
Thomas, S. 2000. Larval Therapy.
Dalam Nursing Standard. Feb
2/vol 14/no 20/ 2000
Thomas, S et all. 1999. Maggot in
Wound Debridement an
Introduction.
www.smtl.co.uk/WMPKC/Mag
got/maggot/html . Diakses
pada tanggal 12 September
2005
Utami, L. 2001. Identifikasi Populasi
Lalat di Beberapa Daerah
Kotamadya Malang. Tugas
Akhir. Malang : Universitas
Brawijaya
Vowden, Kathryn dan Vowden, Peter.
2002.
Wound
Bed
Preparation.
http://www.worldwidewounds.
com/2002/april/Vowden/Woun
d-Bed-Preparation.html.
Diakses tanggal 3 November
2005
Zacur, H., Kirsner, R. S. 2002.
Debridement: Rationale and
Therapeutic Options.
http://www.woundsresearch.c
om/wnds/hpsupp03.cfm.
Diakses tanggal 3 November
2005
Zungoli, P. A. dan Benson, E. 1999.
Nuisance Flies.
Hyic.clemson.edu.

Anda mungkin juga menyukai