Anda di halaman 1dari 17

Hubungan antara Kognisi Sosial dan Konstrual Diri terhadap

Ketidakpuasan Bentuk Tubuh pada Remaja Madya di SMA Negeri 3


Malang
Annisa Prasetyo Ningrum
Program Studi Psikologi, Universitas Brawijaya Malang
annisaprasetyon@gmail.com

ABSTRACT
This study aims to determine the relationship between social cognition and
self construal toward body dissatisfaction in middle adolescents. Subjects in this
study were 205 students of SMA Negeri 3 Malang aged 15-18 years. This study
uses purposive sampling techniques and correlation analysis method. The study
found that there is no significant relationship either partially (separately) or
simultaneously (together) between social cognition and self construal toward
body dissatisfaction in middle adolescents in SMA Negeri 3 Malang (p>0.05).
Further research with social cognition variables are expected to use more specific
theory of social cognition, whereas further research using self construal variables
are expected to use culturally different subjects, so the differences of self
construal trend can be seen more clearly.
Key words:
social cognition, self construal, body dissatisfaction, middle adolescents.

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kognisi sosial
dan konstrual diri terhadap ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya.
Subjek dalam penelitian ini adalah 205 orang siswa SMA Negeri 3 Malang yang
berusia 15

2
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Masa remaja adalah suatu masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa
yang sering menimbulkan gejolak. Berbagai perubahan fisik dan psikis yang
dialami selama perkembangan membuat remaja menimbulkan respon berupa
tingkah laku yang sangat memperhatikan perubahan yang terjadi dalam dirinya.
Hurlock (2000) berpendapat bahwa remaja memiliki perhatian yang besar pada
penampilan, salah satunya adalah pada bentuk tubuh. Hanya sedikit remaja yang
mengalami kateksis tubuh atau merasa puas dengan bentuk tubuhnya.
Ketidakpuasan bentuk tubuh pada umumnya lebih banyak dialami di beberapa
bagian tubuh tertentu. Kegagalan mengalami kateksis tubuh menjadi salah satu
penyebab timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya harga diri
selama masa remaja. Hasil penelitian Briawan, dkk pada tahun 2008 (Isnani,
2011) menyatakan bahwa sebagian besar remaja merasa tidak puas terhadap
bentuk tubuhnya. Sebagian besar remaja putra berkeinginan untuk menaikkan
berat badan (76.0%), sedangkan remaja putri berkeinginan menurunkan berat
badan (80.0%).
Masalah mengenai ketidakpuasan bentuk tubuh (body dissatisfaction) juga
terjadi pada remaja di berbagai belahan dunia, sehingga mendorong banyak
peneliti untuk melakukan studi mengenai fenomena ketidakpuasan bentuk tubuh
pada remaja. Hasil dari salah satu penelitian yang dilakukan oleh Bearman,
Martinez, dan Stice (2006) menyebutkan bahwa ketidakpuasan bentuk tubuh
meningkat secara signifikan pada remaja putri dan menurun pada remaja putra
usia 12 sampai dengan 16 tahun di Amerika Serikat. Masalah ketidakpuasan
bentuk tubuh rentan dialami oleh remaja madya karena pada masa ini remaja
berada dalam rentang usia Sekolah Menengah Atas (SMA) yang lingkup
pergaulannya sangat dipengaruhi oleh teman sebaya. Persepsi teman sebaya
mengenai penampilan merupakan hasil pengolahan informasi yang memberi
pengetahuan atau pandangan tersendiri pada remaja mengenai gambaran tubuh
ideal (Najma, 2011).
Ketika anak-anak mulai memasuki masa remaja, mereka memperoleh
pengetahuan sosial yang lebih banyak (Santrock, 2007). Interaksi yang dilakukan
oleh remaja dalam lingkungan sosialnya sangat erat kaitannya dengan proses
kognisi sosial yang terjadi dalam diri mereka. Brewer (Kusumastuti, 2009)
mengatakan bahwa kognisi sosial merupakan suatu proses yang berkenaan dengan
gambaran mental pada seorang individu yang berhubungan dengan dunia
sosialnya, meliputi keyakinan tentang penyebab gejala sosial, keyakinan tentang
karakteristik seseorang dan kelompok sosial, dan pengetahuan umum tentang
hubungan diantara para pelaku sosial dan pola perilaku sosial. Menurut Santrock
(2007), keterampilan kognisi sosial dan pengetahuan sosial remaja merupakan
aspek yang penting untuk mencapai keberhasilan ketika menjalin relasi dengan
kawan sebaya. Proses interaksi sosial yang dijalani oleh remaja baik di lingkungan
sekolah maupun diluar sekolah menuntut mereka untuk mampu menerapkan
kognisi sosial terhadap lingkungannya secara tepat, agar mereka dapat bergaul
dengan kawan sebayanya tanpa mengalami hambatan.
Pada dasarnya, dinamika proses psikologi sosial (seperti misalnya orientasi
sosial terhadap nilai yang berlaku, sikap, persepsi, dan atribusi) dalam setiap diri
individu dapat dipengaruhi oleh perbedaan tipe konstrual diri yang dimiliki. Tipe

3
konstrual diri yang berbeda dapat menyebabkan timbulnya proses kognisi sosial
yang berbeda pada setiap individu dan menyebabkan timbulnya variasi dalam
berbagai proses sosial tersebut (Kuhnen, 2009). Terdapat dua kategori besar
dalam konstrual diri yaitu individu independen (bersifat individualistik), dan
individu interdependen (bersifat kolektivistik) (Supratiknya, 2006). Konstrual diri
telah menjadi suatu pengaruh penting yang menentukan bagaimana individu
berperilaku dan memproses informasi yang berhubungan dengan lingkungan
sosialnya (Baaren, Maddux, Chartrand, Bouter, & Knippenberg, 2003).
Berbagai penjelasan mengenai fenomena yang mengiringi perkembangan
remaja diatas akhirnya membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan antara kognisi sosial terhadap fenomena yang mengiringi
perkembangan remaja, yaitu ketidakpuasan bentuk tubuh. Bandura (Vonderen &
Kinally, 2012) menyatakan bahwa dalam teori kognitif sosial, individu belajar
melalui pengamatan dan memodifikasi perilaku mereka untuk mendapatkan
timbal balik sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat memungkinkan remaja
yang berada dalam masa pencarian jati diri mencoba untuk meniru apa yang
mereka anggap sebagai standar bentuk tubuh ideal dalam masyarakat (seperti
yang mereka lihat di televisi dan lingkungan sekitarnya) agar dapat diterima oleh
lingkungan sosialnya. Mereka akan mengembangkan perilaku untuk membentuk
tubuh yang dianggap ideal oleh masyarakat dan hal inilah yang dapat memicu
timbulnya ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja.
Peneliti juga ingin mengetahui apakah terdapat hubungan konstrual diri
yang dimiliki oleh remaja terhadap masalah ketidakpuasan bentuk tubuh. Hal ini
dikarenakan ketidakpuasan bentuk tubuh pada dasarnya juga dapat dipengaruhi
oleh faktor dari dalam diri individu. Kecenderungan yang berbeda terhadap tipe
konstrual diri tertentu akan dapat mengarahkan individu pada pola pikir yang
berbeda, karena masing-masing tipe konstrual diri memiliki karakteristik yang
berbeda pula. Hal ini memungkinkan remaja menampilkan perilaku yang berbeda
dalam menyikapi fenomena ketidakpuasan bentuk tubuh.
Peneliti memilih Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Malang sebagai
lokasi penelitian karena berdasarkan hasil observasi lapangan yang dilakukan oleh
peneliti, sebagian besar masyarakat kota Malang beranggapan bahwa SMA Negeri
3 Malang merupakan salah satu SMA Negeri yang terfavorit di kota Malang
dengan siswa-siswi yang berprestasi, baik di tingkat nasional maupun
internasional. SMA Negeri 3 Malang juga merupakan salah satu dari 8 SMA
terbaik di Indonesia versi Depdiknas tahun 2012 (Andy, 2012). Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Papalia, Old, dan Feldman (2008) yang menyebutkan bahwa
remaja yang diakui oleh masyarakat sebagai sosok yang berprestasi, terpandang,
dan diunggulkan, cenderung memiliki ketidakpuasan pada tubuh mereka.
HIPOTESIS PENELITIAN
Ha1
: terdapat hubungan yang signifikan secara parsial antara kognisi sosial
dengan ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya di SMA Negeri 3 Malang
: terdapat hubungan yang signifikan secara parsial antara konstrual diri
Ha2
independen dengan ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya di SMA
Negeri 3 Malang

4
Ha3
: terdapat hubungan yang signifikan secara parsial antara konstrual diri
interdependen dengan ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya di SMA
Negeri 3 Malang
Ha4
: terdapat hubungan yang signifikan secara simultan antara kognisi sosial,
konstrual diri independen, dan konstrual diri interdependen terhadap
ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya di SMA Negeri 3 Malang
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja Madya
Kanopka (Yusuf, 2009) menyatakan batasan usia pada masa remaja terbagi
ke dalam tiga tahap, yaitu (1) remaja awal, memiliki kisaran usia 12 - 15 tahun,
(2) remaja madya, memiliki kisaran usia 15 - 18 tahun, dan (3) remaja akhir,
memiliki kisaran usia 19 - 22 tahun. Menurut Sarwono (Puspawati, 2011) individu
pada masa remaja madya (middle adolescence) sangat membutuhkan kawan.
Remaja akan merasa sangat senang jika banyak teman yang menyukainya. Pada
masa ini, remaja memiliki kecenderungan sifat

5
berpikir mengenai masyarakat, dan bagaimana mereka berpikir mengenai pikiran
mereka terhadap masyarakat. Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kognisi sosial adalah tata cara dimana individu
menginterpretasi, menganalisis, mengingat, dan menggunakan informasi tentang
dunia sosialnya (Baron & Byrne, 2004).
Teori mengenai kognisi sosial merupakan salah satu teori pendekatan yang
paling utama dalam mempelajari perilaku sosial. Kognisi sosial berfokus pada
proses mental yang mengarah kepada interaksi sosial (Padilla & Perez, 2003).
Dalam kognisi sosial terdapat suatu komponen dasar yang disebut skema
(schema). Skema merupakan sebuah kerangka mental yang menuntun individu
dalam mengorganisasikan sejumlah informasi dengan cara yang efisien. Skema
telah terbukti berpengaruh terhadap semua aspek dasar kognisi sosial (Baron &
Byrne, 2004). Fitria (2012) menyebutkan bahwa skema yang mendasari proses
kognisi sosial individu dapat dikategorikan menjadi empat yaitu:
1) Self schema : berisi tentang informasi yang dimiliki diri sendiri
2) Person schema : berisi informasi tentang tipikal orang dan berguna untuk
mengkategorisasikan orang lain dan ingatan perilaku orang lain yang relevan
dengan skema dan berisi prototype (sejumlah ciri-ciri tentang seseorang yang
dihubungkan dengan keanggotaannya dalam suatu kelompok atau kategori)
3) Role schemas : merupakan skema yang berisi konsep tentang norma-norma dan
perilaku yang cocok atau pantas bagi orang-orang tertentu dari berbagai
kategorisasi sosial, misalnya ras, gender, usia, pekerjaan, dan sebagainya.
4) Event schemas: berisi pengetahuan tentang tipe urutan kejadian atau situasi
sosial dan dapat membantu individu dalam memahami dan mengingat beberapa
kejadian.
Proses kognisi sosial memiliki keterkaitan dengan memori (ingatan) yang
dimiliki oleh setiap individu. Menurut Spreng (2013), fungsi dari memori tidak
hanya untuk menggali informasi masa lalu, melainkan juga untuk membentuk dan
memperbarui berbagai model pengalaman. Individu dapat menggunakan
pengalamannya untuk menjalani kehidupan dalam lingkungannya. Lingkungan
yang paling kompleks untuk dijalani oleh individu adalah lingkungan sosial. Hal
ini dikarenakan dinamika sosial adalah hal yang sangat kompleks, tidak memiliki
struktur yang jelas, bersifat labil dan sulit diprediksi. Spreng (2013) juga
menyebutkan bahwa dewasa ini berbagai penelitian telah dikembangkan dan
hasilnya menemukan bahwa memori memainkan peran penting dalam perilaku
sosial dan kepekaan interpersonal yang timbul dalam diri individu. Ketika
individu menjalani lingkungan sosialnya, individu harus selalu mengatur,
menggunakan, menggunakan kembali, dan memperbarui informasi yang dimiliki
mengenai orang lain. Hal ini menandakan bahwa memori memiliki peranan dalam
menjelaskan kognisi sosial dalam diri individu, karena pengalaman baik dari masa
lalu maupun sekarang dibutuhkan untuk menunjang memampuan individu dalam
menjalani lingkungan sosialnya.
Terdapat tiga aspek dari memori yang juga merupakan aspek dasar dalam
kognisi sosial, yaitu:
1) Atensi (attention), merupakan proses yang pertama kali terjadi dimana individu
memperhatikan gejala sosial yang ada di sekelilingnya.
2) Pengkodean (encoding), merupakan proses dimana individu memasukkan apa
yang diperhatikan kedalam memorinya dan kemudian menyimpannya.

6
3) Mengingat kembali (retrieval), merupakan proses dimana individu
mengeluarkan memorinya dan membandingkan dengan kejadian yang baru
ketika individu mengalami kejadian yang sama atau mirip dengan kejadian
yang pernah dialami sebelumnya.
Baron dan Byrne (2004) berpendapat bahwa dalam usaha individu untuk
memahami orang lain dan dunia sosialnya, terdapat banyak hal yang dapat
menyebabkan kecenderungan untuk melakukan kesalahan atau bias dalam proses
kognisi sosial, diantaranya kecenderungan untuk berpikir terlalu negatif atau
optimis, pemikiran konterfaktual (berpikir tentang

7
2) Individu dengan tipe konstrual diri interdependen berkeyakinan bahwa:
a) Secara fundamental manusia bersifat saling terhubung atau saling
tergantung
b) Setiap orang wajib menjaga dan memelihara kesaling-tergantungan yang
ada
c) Saling tergantung berarti: memandang diri sebagai bagian dari sebuah
jaringan relasi sosial dan mengakui bahwa tingkah laku seseorang
ditentukan, tergantung, dan diarahkan oleh persepsi orang itu tentang
pikiran, perasaan, dan reaksi orang-orang yang berada dalam jaringan relasi
itu
d) Komponen diri yang menonjol pengaruhnya adalah komponen diri publik
(public self)
e) Tingkah laku seseorang tidak ditentukan oleh dunia batinnya (inner self),
melainkan oleh relasinya dengan orang lain.
Menurut Markus dan Kitayama (Supratiknya, 2006), konstrual diri
interdependen berakar pada tradisi filsafat monisme yang memandang pribadi
sebagai esensi dan tak terpisahkan dari semesta alam, serta yang lazim hidup
dalam kebudayaan-kebudayaan Timur atau non-Barat (Asia). Markus dan
Kitayama (Levine, Bresnahan, Park, Lapinski, Wittenbaum, Shearman, Lee,
Chung, & Ohashi, 2003) juga menyebutkan bahwa individu dengan
kecenderungan konstrual interdependen terkait dengan berperilaku yang baik dan
benar, menjaga harmoni dengan masyarakat, serta membaur dengan
kelompoknya. Status, peran, hubungan personal, serta kebersamaan adalah inti
dari memaknai diri. Konsep mengenai hubungan yang tampak sangat penting bagi
individu dengan kecenderungan konstrual interdependen, sehingga mereka lebih
nyaman untuk menampilkan perilaku yang diharapkan oleh orang yang ada di
sekitarnya.
Ketidakpuasan Bentuk Tubuh pada Remaja
Ketidakpuasan bentuk tubuh didefinisikan oleh Grogan (Dittmar, Halliwell,
& Ive, 2006) sebagai pengalaman yang disebabkan oleh pikiran negatif dan
pandangan seseorang mengenai keadaan tubuhnya. Hal tersebut sedikit berbeda
dengan pendapat Forbes, dkk (Evahani, 2012) yang mendefinisikan ketidakpuasan
bentuk tubuh sebagai perbedaan persepsi mengenai bentuk tubuh aktual seseorang
saat ini dengan bentuk tubuh ideal menurut pemikiran yang telah dibentuk oleh
masyarakat. Menurut Thompson (Elga, 2007), ketidakpuasan bentuk tubuh
merupakan bagian dari citra tubuh, sehingga komponen ketidakpuasan bentuk
tubuh dapat diasosiasikan dengan komponen afektif, kognitif, dan perilaku yang
terdapat dalam gangguan citra tubuh. Bhrem (Sari, 2010) berpendapat bahwa
ketidakpuasan bentuk tubuh dapat menimbulkan dampak antara lain depresi,
rendahnya kepercayaan diri dan harga diri, masalah pola makan atau masalah
kesehatan, dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Individu akan mengalami perkembangan fisik yang pesat pada saat mulai
memasuki masa remaja awal. Perkembangan tersebut kemudian berlanjut hingga
masa remaja madya, dan berhenti pada masa remaja akhir. Seiring dengan
perkembangan kognitif, emosional, dan lingkungan sosialnya, individu pada
remaja madya dan remaja akhir akan lebih mementingkan penampilannya
daripada remaja awal karena frekuensi interaksi dengan teman sebaya pada masa
remaja madya dan akhir mengalami peningkatan (UNICEF, 2006). Menurut

8
Bhrem (Evahani, 2012), gambaran perilaku remaja yang mengalami
ketidakpuasan bentuk tubuh adalah rasa yang selalu tidak puas terhadap tubuhnya
mulai dari bentuk tubuh secara keseluruhan, bagian paha, perut, dan lengan.
Adanya hal ini membuat mereka sering kali menghabiskan waktu berjam-jam
untuk memikirkan mengenai penampilan dan berat badan mereka yang dianggap
tidak sesuai dengan yang mereka inginkan. Pengaruh yang cukup besar terhadap
ketidakpuasan bentuk tubuh juga disebabkan oleh media massa yang selalu
menampilkan bentuk tubuh ideal dan indah melalui berbagai media cetak maupun
elektronik (Ruutel, 2004).
Menurut Suprapto (Evahani, 2012), remaja akan merasa sedih dan bingung
ketika memiliki badan yang dianggap kurang bagus dibandingkan dengan model
bentuk tubuh yang sering muncul di media massa. Mereka akan merasa tidak
dapat memenuhi standar kecantikan masyarakat dan merasa tidak berharga.
Mappiate (Evahani, 2012) berpendapat bahwa keadaan tidak puas pada remaja
akan mendorong mereka untuk membentuk tubuhnya menjadi bentuk yang
diinginkan dengan berbagai cara, seperti misalnya olahraga, diet ketat, puasa, dan
bahkan ada yang membiasakan meminum obat pencahar.
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel independen (bebas) yang menjadi dasar dilakukannya penelitian
ini adalah kognisi sosial, konstrual diri independen, dan konstrual diri
interdependen, sedangkan variabel dependen (terikat) adalah ketidakpuasan
bentuk tubuh.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian terdiri atas 205 orang siswa SMA Negeri 3 Malang yang
berusia 15 - 18 tahun. Subjek berusia 15 tahun berjumlah 75 orang (36,7%),
berusia 16 tahun sebanyak 81 orang (39,5%), berusia 17 tahun sebanyak 42 orang
(20,5%), dan berusia 18 tahun sebanyak 7 orang (0,03%). Rata-rata usia subjek
sebesar 15,91 dengan standar deviasi (SD) 0,84. Berdasarkan jenis kelamin,
subjek penelitian terdiri atas 120 orang subjek perempuan (58,5%) dan 85 orang
subjek laki-laki (41,5%).
Alat Ukur
1. Kognisi Sosial
Kognisi sosial dalam penelitian ini diukur dengan skala yang disusun
dengan mengacu pada aspek kognisi sosial menurut Baron dan Byrne (2004)
yaitu atensi (attention), pengkodean (encoding), dan mengingat kembali
(retrieval). Skala kognisi sosial terdiri atas 36 aitem pernyataan dengan sistem
skor skala Likert (5 pilihan alternatif respon skala). Proses analisis aitem serta uji
reliabilitas pada saat uji coba skala menghasilkan koefisien Cronbach Alpha
sebesar 0,869 dengan 19 aitem yang lolos (standar rit > 0,20). Sebanyak 17 aitem
yang gugur kemudian direvisi dan diikutsertakan dalam skala penelitian yang
sebenarnya. Hasil analisis aitem dan uji reliabilitas skala pada penelitian
sebenarnya menunjukkan bahwa terdapat 27 aitem lolos (rit > 0,20) dengan
koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,837. Hal tersebut berarti bahwa skala
kognisi sosial tergolong reliabel (standar reliabilitas > 0,60).

9
2. Konstrual Diri
Kecenderungan terhadap salah satu tipe konstrual diri diukur dengan
menggunakan adaptasi dari Singelis Construal Scale (SCS) ke dalam bahasa
Indonesia yang diterjemahkan oleh Rufaedah (2012). Kecenderungan terhadap
salah satu tipe konstrual ditunjukkan dengan perolehan skor yang lebih tinggi
pada dimensi independen atau interdependen. Skala konstrual diri terdiri atas 24
aitem pernyataan dengan sistem skor skala Likert (5 pilihan alternatif respon
skala). Proses analisis aitem serta uji reliabilitas pada saat uji coba skala
menghasilkan koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,750 dengan 10 aitem yang
lolos (standar rit > 0,20) untuk dimensi independen, dan koefisien Cronbach Alpha
sebesar 0,716 dengan 7 aitem yang lolos untuk dimensi interdependen. Aitem
yang gugur tetap diikutsertakan dalam skala penelitian yang sebenarnya, karena
skala ini merupakan hasil adaptasi. Hasil analisis aitem dan uji reliabilitas skala
pada penelitian sebenarnya menunjukkan bahwa pada dimensi independen
terdapat 11 aitem lolos (rit > 0,20) dengan koefisien Cronbach Alpha sebesar
0,714 dan pada dimensi interdependen terdapat 12 aitem lolos dengan koefisien
Cronbach Alpha sebesar 0,778. Hal tersebut berarti bahwa skala konstrual diri
baik dimensi independen maupun interdependen tergolong reliabel (standar
reliabilitas > 0,60).
3. Ketidakpuasan Bentuk Tubuh
Ketidakpuasan bentuk tubuh dalam penelitian ini diukur dengan skala yang
disusun mengacu pada aspek ketidakpuasan bentuk tubuh menurut Thompson
(Elga, 2007) yaitu komponen afektif, kognitif, dan perilaku. Skala ketidakpuasan
bentuk tubuh terdiri atas 45 aitem pernyataan dengan sistem skor skala Likert (5
pilihan alternatif respon skala). Proses analisis aitem serta uji reliabilitas pada saat
uji coba skala menghasilkan koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,936 dengan 40
aitem yang lolos (standar rit > 0,20). Sebanyak 5 aitem yang gugur kemudian
direvisi dan diikutsertakan dalam skala penelitian yang sebenarnya. Hasil analisis
aitem dan uji reliabilitas skala pada penelitian sebenarnya menunjukkan bahwa
terdapat 41 aitem lolos (rit > 0,20) dengan koefisien Cronbach Alpha sebesar
0,939. Hal tersebut berarti bahwa skala kognisi sosial tergolong reliabel (standar
reliabilitas > 0,60).
METODE ANALISIS
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi
sederhana yang dilanjutkan dengan analisi korelasi berganda. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS 17.0 for windows.
HASIL
Berdasarkan hasil olah data, diperoleh hasil bahwa :
1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kognisi sosial dengan
ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja pada remaja madya di SMA Negeri
3 Malang.
2. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konstrual diri independen
dengan ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja pada remaja madya di SMA
Negeri 3 Malang.

10
3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konstrual diri interdependen
dengan ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja pada remaja madya di SMA
Negeri 3 Malang.
4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan secara simultan antara kognisi
sosial, konstrual diri independen, dan konstrual diri interdependen terhadap
ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya di SMA Negeri 3 Malang.
PEMBAHASAN
1. Hubungan Parsial antara Kognisi Sosial terhadap Ketidakpuasan Bentuk
Tubuh pada Remaja Madya di SMA Negeri 3 Malang
Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan, diketahui bahwa
variabel kognisi sosial tidak memiliki hubungan yang signifikan secara parsial
terhadap ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya di SMA Negeri 3
Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat koefisien korelasi
sebesar -0,46, akan tetapi hubungan tersebut tidak signifikan karena nilai
signifikansi hitung lebih besar daripada taraf signifikan

11
masalah ketidakpuasan bentuk tubuh yang mereka alami tidak menjadi fokus
utama dalam skema pemikirannya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa banyaknya tuntutan yang harus
dipenuhi oleh siswa SMA Negeri 3 Malang untuk tetap dapat bersaing dalam
lingkungan sekolahnya secara tidak langsung menyebabkan siswa mengalami
kejenuhan informasi (information loaded), karena tuntutan pada sistem kognitif
lebih besar daripada yang bisa diolah. Kejenuhan informasi yang dialami
menyebabkan siswa tidak memberikan atensi yang besar terhadap masalah
ketidakpuasan bentuk tubuh yang dialami.
Burnet dan Blakaemore (2004) menyebutkan bahwa pada masa remaja,
individu mengalami perkembangan kemampuan sosial, salah satunya adalah
kemampuan untuk memutuskan tidak menghiraukan pendapat orang lain
tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh dirinya. Remaja sering kali
menggunakan berbagai strategi kognitif yang berbeda dalam memenuhi tugas
sosialnya. Berdasarkan hasil uji hipotesis dan pembahasan diatas, tidak adanya
hubungan antara kognisi sosial terhadap ketidakpuasan bentuk tubuh pada
siswa SMA Negeri 3 Malang dapat disebabkan karena mereka memutuskan
tidak menghiraukan pendapat orang lain tentang apa yang seharusnya
dilakukan oleh dirinya berkenaan dengan masalah bentuk tubuh. Hal tersebut
diterapkan sebagai salah satu strategi kognitif untuk memenuhi tugas sosialnya
sebagai siswa di sekolah unggulan, sehingga skema yang terbentuk dalam
proses kognisi sosial para siswa tidak difokuskan pada ketidakpuasan bentuk
tubuh.
2. Hubungan Parsial antara Konstrual Diri terhadap Ketidakpuasan Bentuk
Tubuh pada Remaja Madya di SMA Negeri 3 Malang
Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan, diketahui bahwa
variabel konstrual diri, baik independen maupun interdependen tidak memiliki
hubungan yang signifikan secara parsial terhadap ketidakpuasan bentuk tubuh
pada remaja madya di SMA Negeri 3 Malang. Hasil penelitian menunjukkan
adanya koefisien korelasi yang diperoleh pada konstrual diri independen
sebesar 0,009 dan pada konstrual diri interdependen sebesar -0,30. Hubungan
tersebut tidak signifikan karena nilai signifikansi hitung lebih besar daripada
taraf signifikan

12
diri independen yaitu 45,80). Temuan ini mendukung hipotesis Markus dan
Kitayama (Supratiknya, 2006) yang menyatakan bahwa orang Asia lebih
cenderung terhadap konstrual diri interdependen. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa selisih rata-rata antara tipe konstrual diri independen dan tipe konstrual
diri interdependen pada subjek cukup kecil, yaitu 0,71. Artinya, penggambaran
diri responden tidak secara ekstrim mengarah pada tipe konstrual diri tertentu.
Hal tersebut pada dasarnya sesuai dengan pendapat Suh, Diener, dan Updegraff
(2008) yang menyatakan bahwa seseorang dapat memiliki kecenderungan pada
lebih dari satu tipe konstrual karena selain dipengaruhi oleh budaya, pada
dasarnya individu memiliki kesadaran bahwa dirinya unik, bersifat personal,
dan independen, akan tetapi mereka juga memperoleh makna keberadaan
dirinya dari hubugan dengan orang-orang disekitarnya.
3. Hubungan Simultan antara Kognisi Sosial, Konstrual Diri Independen,
dan Konstrual Diri Interdependen terhadap Ketidakpuasan Bentuk
Tubuh pada Remaja Madya di SMA Negeri 3 Malang
Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui bahwa kognisi sosial, konstrual
diri independen, dan konstrual diri interdependen tidak memiliki hubungan
yang signifikan secara bersama-sama terhadap ketidakpuasan bentuk tubuh
pada remaja madya di SMA Negeri 3 Malang. Hal ini dikarenakan hasil
penelitian menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara variabel kognisi
sosial, konstrual diri independen, dan konstrual diri interdependen terhadap
variabel ketidakpuasan bentuk tubuh adalah sebesar 0,065, yang artinya
korelasi tersebut sangat lemah.
Hasil hitung koefisien korelasi antara variabel x dan y dalam penelitian
ini tidak signifikan karena nilai signifikansi hitung lebih besar daripada taraf
signifikan

13
ketidakpuasan bentuk tubuh. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
perbandingan bentuk tubuh dengan media memiliki hubungan baik secara
parsial maupun secara simultan dengan pengaruh karakteristik dan
sosiokultural pada subjek perempuan, akan tetapi tidak memiliki hubungan
baik secara parsial maupun simultan pada subjek laki-laki. Bedasarkan
penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya terdapat
banyak faktor yang berhubungan dengan timbulnya ketidakpuasan bentuk
tubuh pada seseorang selain kognisi sosial dan konstrual diri.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain hasil penelitian
ini hanya dapat digeneralisasikan secara terbatas pada populasi penelitian saja,
karena peneliti mengambil subjek secara spesifik pada satu sekolah yaitu SMA
Negeri 3 Malang. Selain itu, skala kognisi sosial yang digunakan dalam
penelitian ini adalah skala untuk mengukur kognisi sosial secara umum (tidak
mengukur kognisi sosial pada skema tertentu, misalnya skema tentang bentuk
tubuh), sehingga mempengaruhi hasil penelitian yang menunjukkan tidak
adanya hubungan antara kognisi sosial terhadap ketidakpuasan bentuk tubuh.
Penelitian ini juga memiliki keterbatasan dalam hal pemilihan subjek. Subjek
yang digunakan dalam penelitian ini kurang bervariasi (bersifat homogen)
sehingga membuat kecenderungan konstrual diri sulit dibedakan (subjek
memiliki kecenderungan yang cukup tinggi kepada kedua tipe konstrual diri).
Penelitian dengan menggunakan variabel konstrual diri biasanya merupakan
penelitian lintas budaya (cross cultural), sehingga lebih baik dilakukan dengan
melibatkan subjek yang berbeda budaya.
Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah semua
alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini memiliki reliabilitas yang cukup
tinggi, sehingga dapat digunakan untuk mengukur variabel kognisi sosial
secara umum, konstrual diri, serta ketidakpuasan bentuk tubuh dalam
penelitian selanjutnya. Selain itu, penelitian ini merupakan penelitian baru
yang memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara kognisi sosial,
kecenderungan konstrual diri dalam menjelaskan fenomena ketidakpuasan
bentuk tubuh pada remaja.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah diperoleh dari penelitian ini,
dapat diambil kesimpulan mengenai hasil penelitian sebagai berikut:
1. Kognisi sosial tidak memiliki hubungan secara parsial terhadap ketidakpuasan
bentuk tubuh pada remaja madya usia 15 sampai dengan 18 tahun di SMA
Negeri 3 Malang.
2. Konstrual diri independen tidak memiliki hubungan secara parsial terhadap
ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya usia 15 sampai dengan 18
tahun di SMA Negeri 3 Malang.
3. Konstrual diri interdependen tidak memiliki hubungan secara parsial terhadap
ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya usia 15 sampai dengan 18
tahun di SMA Negeri 3 Malang.
4. Kognisi sosial, tipe konstrual diri independen, dan tipe konstrual diri
interdependen tidak memiliki hubungan secara simultan terhadap
ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja madya usia 15 sampai dengan 18
tahun di SMA Negeri 3 Malang.

14
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti dapat
memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Saran Metodologis
a. Penelitian selanjutnya yang menggunakan variabel kognisi sosial, dalam
menyusun aitem skala sebaiknya disesuaikan dengan variabel terikat dalam
penelitian, sehingga kognisi sosial subjek dapat diukur secara tepat sesuai
dengan topik sasaran penelitian. Penelitian dengan menggunakan variabel
kognisi sosial juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif
agar dapat mengungkap proses kognisi sosial yang terjadi secara lebih
mendalam pada subjek.
b. Penelitian selajutnya yang menggunakan variabel konstrual diri sebaiknya
menggunakan subjek dari budaya yang berbeda (misalnya subjek berbeda
ras atau negara seperti pada berbagai penelitian sebelumnya mengenai
konstrual diri). Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi bias kecenderungan
konstrual diri pada satu individu. Skala yang digunakan juga sebaiknya
merupakan skala dengan dimensi yang sifatnya kontininum, sehingga subjek
dengan kecenderungan konstrual diri independen maupun interdependen
dapat dibandingkan dengan jelas.
c. Penelitian yang menggunakan variabel ketidakpuasan bentuk tubuh
sebaiknya juga dilengkapi dengan data penunjang yang lebih lengkap
misalnya Index Massa Tubuh (IMT) untuk membandingkan ketidakpuasan
bentuk tubuh yang dialami dengan kondisi subjek yang sebenarnya.\
2. Saran Praktis
a. Remaja diharapkan dapat meningkatkan kepekaan dalam berpikir mengenai
dunia sosial yang saat ini sedang dihadapi. Remaja juga diharapkan mampu
memahami dunia sosialnya secara runtut dan tepat agar tidak mengalami
hambatan dalam masa perkembangannya.
b. Remaja yang memilki masalah ketidakpuasan bentuk tubuh, hendaknya
berusaha menanamkan dalam diri bahwa tubuh yang baik adalah tubuh yang
sehat, bukan hanya tubuh yang langsing atau berotot seperti yang banyak
ditampilkan oleh media. Apabila masalah ketidakpuasan bentuk tubuh
tersebut mulai mengganggu kehidupan sehari-hari, sebaiknya remaja
menghubungi tenaga ahli untuk mengkonsultasikan masalah tersebut seperti
misalnya guru, psikolog, atau dokter.
c. Bagi orang tua atau keluarga
Orangtua disarankan untuk lebih peka terhadap perkembangan remaja saat
ini, serta memantau perkembangan remaja dengan teman sebayanya.
Apabila terdapat remaja yang mengalami masalah ketidakpusan bentuk
tubuh, orangtua diharapkan untuk dapat membimbing remaja untuk
menerima keadaan fisik saat ini dan membantu mereka untuk memiliki
pemahaman mengenai konsep tubuh ideal yang sehat.

15
DAFTAR PUSTAKA
Andy. (2012). SMA Terbaik di Indonesia (online). Diakses melalui
http://www.potretindonesia.info/sma-terbaik-di-indonesia.html
tanggal
12/08/2013
Baaren, R. B., Maddux, W.W., Chartrand T.L., Bouter, C., & Knippenberg A.
(2003). It takes two to mimic: behavioral consequences of self-construals.
Journal of Personality and Social Psychology, 84(05), 1093-1102.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12757151.
DOI
:
10.1037/00223514.84.5.1093
Baron, R.A. & Byrne D. (2004). Psikologi Sosial Jilid 1. Edisi Kesepuluh.
Jakarta: Erlangga
Bearman, S.K., Martinez, E., & Stice, E. (2006). The skinny on body
dissatisfaction :
a longitudinal study of adolescent girls and boys.
Journal Youth Adolesc.,
35
(2),
217-229.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1540456/.
DOI
:
10.1007/s10964-005-9010-9
Berg, P.V.D, Paxton S.J., Keery H., Wall M., Guo J., & Sztainer, D.N. (2007).
Body dissatisfaction and body comparison with media images in males
and females. Elsevier Journal of Body Image-4, 257-268.
http://www.elsevier.com/locate/bodyimage.
DOI
:
10.1016/j.bodyim.2007.04.003
Burnett,S., & Blakemore, S.J. (2009). The development of adolescent social
cognition. Annals of The New York Academy of Sciences 1167, 51-56.
http://discovery.ucl.ac.uk/20009/1/20009.pdf.
Dittmar, H., Halliwell, E., & Ive, S. (2006). Does barbie make girls want to be
thin? The effect of experimental exposure to images of dolls on body
image of 5 to 8 years old girls. Journal of Developmental Psychology,
42(2), 283-292. http://apa.org/journal. DOI : 10.1037/0012-1649.42.2.283
Elga, P. (2007). Hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada
remaja putri. Skripsi. Universitas Indonesia. http://www.lontar.ui.ac.id
Evahani. (2012). Hubungan antara body dissatisfaction ibu dan body
dissatisfaction anak perempuan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya 1(1), 1-16. http://unesa.ac.id/files/2012.
Fitria,
M.
(2012).
Hand
out
psikologi
sosial
(online).
http://psikoci.files.wordpress.com/2012/02/handout-jadi.doc
Hurlock, E.B. (2000). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Isnani, F. (2011). Praktik hidup sehat dan persepsi tubuh ideal remaja putri
SMA Negeri 1 Kota Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48179.
Kuhnen, U. (2009). Culture, Self-construal and social cognition: evidence from
cross-cultural and priming studies. Journal of Jacobs University Bremen,
Germany,
2,
273-282.
http://www.iaccp.org/drupal/sites/default/files/spetses_pdf/31Kuehnen.pdf
Kusumastuti, W. (2009). Dinamika kognisi sosial pelacur terhadap penyakit
menular
seksual.
Jurnal
Indigenous,
11
(2),
19-28.
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/1440/3Weni

16
kusmastuti_Volume%2011%20No.%202%20Nompember%202009.pdf?se
quence=1
Levine, T.R., Bresnahan, M.J., Park H.S., Lapinski, M.K., Wittenbaum, G.M.,
Shearman, S.M., Lee, S.Y., Chung, D., Ohashi, R. (2003). Self construal
scales lack validity. Journal of Human Communication Research, 29( 2 ),
http://international210-252.
communicationassociation/file/journal/pages/210-252.pdf.
Mara, C.A., De Cicco, T.L., & Stroink M.L. (2010). An investigation of the
relationships among self-construal, emotional intelligence, and wellbeing. International Journal of Transpersonal Studies, 29 (1),
1-11.
http://www.transpersonalstudies.org/ImagesRepository/ijts/Downloads/Ma
ra.pdf.
Najma, S. (2011). Analisis jalur model ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja
putri.
Skripsi
Universitas
Muhammadiyah
Malang.
http://library.um.ac.id/free-contents/download/pub/pub.php/48861.pdf
Padilla, A.M., & Perez, W. (2003). Acculturation, social identity, and social
cognition : a new perspective. Hispanic Journal of Behavioral Sciences,
http://sagepublications.com.
DOI
:
25
(1),
35-55.
10.1177/0739986303251694
Papalia, E.D., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2008). Psikologi Perkembangan.
Jakarta : Kencana
Psychlopedia, (2012). Self construal (online). http://psych-it.com.au.
Puspawati. (2011). Kontribusi kontrol diri pada perilaku konsumtif remaja dan
implikasinya terhadap bimbingan dan konseling : studi deskriptif terhadap
siswa kelas XI SMA Laboratorium Percontohan Universitas Pendidikan
Indonesia Tahun Ajaran 2010/2011. Skripsi. Universitas Pendidikan
Indonesia. http://repository.upi.ac.id.
Rufaedah, A. (2012). Hubungan antara self construal dan subjective well being
pada etnis Jawa. Skripsi. Universitas Indonesia. http://www.lontar.ui.ac.id.
Ruutel, E. (2004). Sociocultural context of body dissatisfaction and possibilities
of vibroacoustic theraphy in diminishing body dissatisfaction.
Dissertation.
Tallinn
Pedagogical
University.
http://eait.tlulib.ee/59/1/ruutel_eha2.pdf.
Santrock, J.W. (2007). Remaja (Jilid 1). Edisi Kesebelas. Jakarta : Erlangga.
Santrock, J.W. (2007). Remaja (Jilid 2). Edisi Kesebelas. Jakarta : Erlangga.
Sari, G.E.P. (2010). Perbedaan ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh ditinjau dari
strategi koping pada remaja wanita di SMA Negeri 2 Ngawi. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret. http://eprints.uns.ac.id .
Sira, N., & Ballard, S.M. (2011). Gender differences in body satisfaction: an
examination of familial and individual level variables. Journal Family
Science
Review,
16(1),
57-69.
http://www.familyscienceassociation.org/archived
journal
articles/FSR_16_1_2011/Sira_final.pdf.
Solso, R.L., Maclin, O.H., & Maclin, M.K. (2008). Psikologi Kognitif. Edisi
Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Spreng, R.N. (2013). Examining the role of memory in social cognition. Frontiers
in Psychology, 4 (437), 1-2. http://www.frontiersin.org. DOI :
10.3389/fpsyg.2013.00437.

17
Suh, E.M., Diener, E., & Updegraff, J.A. (2008). From culture to priming
conditions : self construal influences on life satisfaction judgements.
Journal
of
Cross
Cultural
Psychology,
39
(1),
3-15.
http://updegrafflab.org/files/2713/3886/8254/SDU-08.pdf.
DOI
:
10.1177/0022022107311769.
Supratiknya, A. (2006). Konstrual-diri di kalangan mahasiswa. Jurnal INSAN 8
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/02%20(2),
Agustus
2006.
%20Konstrual-diri%20di%20Kalangan%20Mahasiswa.pdf
UNICEF. (2006). Adolescent Development :Perspectives and Frameworks A
Discussion Paper (Learning Series Vol. 1). New York : Adolescent
Development & Participation Unit Programme Division 3 UN Plaza.
Utz, S. (2004). Self construal and cooperation : is the interdependent self more
cooperative than the independent self? Psychology Press Journal Self and
Identity,
3,
177-190.
http://dspace.ubvu.vu.nl/bitstream/handle/1871/33868/170347.pdf?sequen
ce=1. DOI : 10.1080/13576500444000001.
Vonderen, K.E.V., & Kinnally, W. (2012). Media effects on body image:
examining media exposure in the broader context of internal and other
social factors. American Communication Journal, 14 (2), 41-57, Spring,
2012. http://acjournal.org/journal/pubs/2012/SPRING%202012/McKinnally3.pdf
Widodo, T. & Kadarwati, S. (2013). Higher order thinking berbasis pemecahan
masalah untuk meningkatkan hasil belajar berorientasi pembentukan
karakter siswa. Jurnal FMIPA Universitas Negeri Semarang.
http://journal.uny.ac.id/index.php/article/download/1269/pdf
Yusuf, S. (2009). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: Rizqi
Press.

Anda mungkin juga menyukai