ASKEP KUSTA
KELOMPOK I
Agnesia Gloria
Deryanto
Eny Nopi Lestari
Nugraha Adhi T.
Ribka Yeriska
Teszha Eginata
Wuandari
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300SM dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuno,Mesir kuno,dan Indiapada 1995 organisasi kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan
kurang perlu dan tidak etis beberapa kelopok penderita masih dapatbditemukan dibelahan
dunia ,seperti India,dan Vietnam.
Pengonbatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940_an dengan
diperkenalkanya dapson dan derivatnya.Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra sertahap
menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar,hal ini terjadi hingga ditemukan
pengobatan multi obat pada awal 1980_an dan penyakit inipun mampu ditangani kembali.
B. Rumusan masalah
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
C. Tujuan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Micobacterium leprae
(M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit,
mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan
testis ( Amirudin.M.D, 2000 ). Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan
oleh kuman kusta ( Mycobacterium leprae ) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh
lain kecuali susunan saraf pusat, untuk mendiagnosanya dengan mencari kelainan-kelainan yang
berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit
( Depkes, 2005 ).
B. Klasifikasi Kusta
No.
Pause Basiler
Multiple Basiler
1.
Bercak (makula)
jumlah
ukuran
distribusi
konsistensi
batas
kehilangan rasa pada
bercak
kehilangan
berkemampuan
berkeringat,berbulu
2.
1-5
asimetris
Tegas
Selalu ada dan jelas
Bercak tidak
berkeringat, ada bulu
3.
tersumbat perdarahan
dihidung
Ciri hidung
Banyak
Kecil-kecil
Bilateral, simetris
Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas, jika
Ada,kadang-kadang tidak
ada
Ada,kadang-kadang tidak
ada
central healing
penyembuhan ditengah
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
4.
5.
Nodulus
Penebalan saraf tepi
e. suara sengau
Tidak ada
Kadang-kadang ada
Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut
asimetris
6.
Deformitas cacat
7. Apusan
Dibagi menjadi 2 :
simetris
Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium lanjut
dini
BTA negatif
BTA positif
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan
atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
KMB III - Kusta
tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,
termasuk massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes , 2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan
Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat lama , yaitu 2-3 minggu , diluar
tubuh manusia (dalam kondisis tropis )kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9
hari (Desikan 1977,dalam Leprosy Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting, 1985).
Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 2730 C ( Depkes, 2005).
M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat
bertahan hidup 46 hari , ada lima sifat khas :
1. M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan dimedia
buatan.
2. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.
3. Mleprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (DDihydroxyphenylalanin).
4. M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam
saraf perifer.
5. Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik yang stabil dengan
aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberculoid dan negatif
pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).
D. Patofisiologi Kusta
Setelah mikobakterium
leprae
masuk
kedalam
tubuh,
perkembangan
penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung
pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas
seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah
lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien
berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi
oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik
Pathway Kusta
Microbakterium Leprae
Sensorik
Motorik
Anastesi
kelemahan
Tangan/
kaki:
kurang rasa
Luka
Mutilasi
Absorpsi
tulang
Kornea mata
anastesi
reflek kedip
mata
berkurang
Infeksi
Buta
Tangan/kaki:
lemah/lumpu
h
jari bengkok/
kaku
Luka
Mutilasi
absorpsi
tulang
Otonomm
Gangguan
kelenjar keringat,
kelenjar minyak,
aliran darah
Mata
Logophthalm
us
Kulit: kering
/pecah/
kemerahan
Infeksi
Buta
Benjolan-benjolan
kecil diseluruh
tubuh
inflamasi
Ggg
konsep
diri
Intoleran
aktivitas
Kerusaka
n
integrita
s kulit
Nyeri
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (Eritemtous) yang mati rasa (anestesi ).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Ganggguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a) Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa.
b) Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise).
c) Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak.
3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan ini hanya
dilakukan pada kasus yang meragukan (Dirjen PP & PL Depkes, 2005 ).
F. Cara Pemeriksaan Kusta
1. Cara Pemeriksaan
a) Anamnese:
1) Keluhan yang ada/kapan timbul bercak .
2) Apakah ada riwayat kontak .
3) Riwayat pengobatan sebelumnya.
b) Pemeriksaan kulit / rasa raba.
Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian
disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita
duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana
KMB III - Kusta
merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh
dengan jari telunjuknya, menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari
tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka
bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya.Kelainan-kelainan dikulit
diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada tidaknya anestesi . pada telapak tangan
dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat ini kulit lebih tebal.
c) Pemeriksaan saraf (nervus )
Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada saraf
ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti kerusakan pada
saraf-saraf utama.
2. Tehnik Pemeriksaan Saraf .
a) Saraf Ulnaris
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku
sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari tengah
tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris
yaitu lekuken diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial
(epicondilus medialis). Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil
digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita
adakah tampak kesakitan atau tidak .
b) Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis).
1) Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam keadaan
rilek.
2) Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri
penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan.
3) Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian
luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan
tulang (caput fibula )setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf
peroneus 1 cm kearah belakang.
4) Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan dan kiri
sambil melihat mimik / reaksi penderita.
c) Saraf Tibialis Posterior .
1) Penderita masih duduk dalam posisi rileks.
2) Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior dibagian
belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam (maleolus medialis) dengan tangan
KMB III - Kusta
menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa
memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien).
3) Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik / reaksi dari
penderita.
3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf
Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah Mata,
Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang diperluka:
ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita.
Cara pemeriksaan Fungsi Saraf.
Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki.
a. Mata
Fungsi Motorik (Saraf Facialis)
1) Penderita diminta memejamkan mata.
2) Dilihat dari depan/samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak, apakah ada
celah.
3) Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, misal
lagofthalmus 3 mm, mata kiri atau kanan.
Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf
Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan .
b. Tangan
1) Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )
a) Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha
penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga
semua ujung jari tersangga.
b) Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil
memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu
atau dua titik pada telapak tangan.
c) Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat
sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain.
d) Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif .
e) Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang
diperiksa.
f) Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh.
g) Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
h) Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm .
2) Fungsi Motorik (Kekuatan Otot) Saraf Ulnaris, Medianus dan Radialis.
a) Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).
(a) Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan
penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi
KMB III - Kusta
10
11
G. Pengobatan Kusta
1. Tujuan Pengobatan adalah ;
a. Memutus mata rantai penularan.
b. Menyembuhkan penyakit Penderita.
c. Mencegah Terjadinya cacat.
2. Regimen Pengobatan MDT(Multi Drug Therapie).
KMB III - Kusta
12
<5 th
5-9 th
10-14 th
>15 th
300 mg/bl
450 mg /bl
600 mg /bl
25 mg /bl
50 mg/bl
100 mg /
bl
DDS
25 mg/hr
50 mg/hr
100 mg/hr
Clofazimin
100 mg/bl
150 mg/bl
300 mg/bl
Rifampicin
Berdasarkan
Berat badan
50 mg 2x
seminggu
50 mg/2 hr
50 mg/hr
Keterangan
Minum
didepan
petugas
Minum
didepan
petugas
Minum
dirumah
Minum
didepan
petugas
Minum
dirumah
4. Bagi anak di bawah usia 10 th dengan BB kurang ,dosis MDT diberikan berdasarkan BB:
a. Rifampicin : 10-15 mg / kg BB.
b. DDS : 1-2 mg / kg BB.
c. Clofazimin : 1mg /kg BB.
KMB III - Kusta
13
14
anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular
namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang
dapat merusak dan mematikan kuman kusta.Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh
Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni minimal
10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari
2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kondisi
rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap status
kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus memperhatikan
persyaratan sebagai berikut :
1) Bahan bangunan memenuhi syarat :
a) Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan,
karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit.
b) Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi kurang
lebih baik dari papan.
c) Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidak cocok
untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di
dalam rumah.
2) Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai,
karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap
dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat )
adalah sekitar 40 70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh
terhadap kesehatan penghuni rumah Kelembaban udara didalam ruangan naik
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban yang
tinggi akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhanbakteri patogen(bakteri
penyebab penyakit).
3) Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini
dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal
didalam rumah adalah 1830C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi,
Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada suhu37C. Paparan sinar matahari
selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup
pada tempat gelap, sehingga perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.
4) Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai
dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan
KMB III - Kusta
15
16
kebanyakan pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan
resiko cacat lebih besar.
2) Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup tindakan
yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh
kesembuhan, misalnya pelayanan kesehatan tradisional seperti : dukun, sinshe, atau
paranormal, maupun pelayanan modern atau profesional seperti : RS, Puskesmas,
Dokter dan sebagainya( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 ). Becker ( 1979 ) membuat
klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membagi menjadi tiga, yakni :
a) Perilaku Sehat (healhty behavior)
Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan, misalnya :
(1) Menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun mandi.
(2) tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, karena akan
menyebabkan bermacam-macam kelainan kulit termasuk kusta.
(3) Bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal,
kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan
barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan.
(4) Makan makanan bergizi, teratur berolahraga serta cukup istirahat.
(5) Perilaku dan gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan.
b) Perilaku Sakit(illness behavior)
Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang untuk
mencari penyembuhan , misal ke Puskesmas, RS dan sebagainya.
c) Perilaku peran orang sakit(the sick role behavior) Dari segi sosiologi, orang yang
sedang sakit mempunyai peran(roles), yang mencakup hak-haknya(rights), dan
kewajiban sebagai seorang sakit(obligation).
Menurut Becker Perilaku peran orang sakit ini antara lain :
(1) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
(2) Tindakan untuk mengenal dan atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat
untuk memperoleh kesembuhan.
(3) Melakukan kewajiban sebagai pasien untuk mematuhi nasihat dokter/perawat
(4) Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhan
(Soekidjo Notoatmodjo, 2010)
c. Sosial Ekonomi
Menurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan menyebabkan
KMB III - Kusta
17
kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu masalah kurang
gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak
juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya rendah.
Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan
pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya
beli yang dapat di gunakan untuk menjamin ketahanan pangan keluarganya. Pada saat
ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat tingkat pendapatan mendekati
suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan ) maka status
gizi dari kelompok rawan pangan akan terganggu.
Kriteria Rumah Tangga Miskin Versi( BPS 2008)
1) Luas Lantai bangunan kurang dari 8 m2 per orang, lantai dari tanah
2) Dinding rumah dari bambu, kayu kualitas rendah atau tembok tanpa plester.
3) Tidak memiliki jamban atau menggunakan jamban bersama.
4) Rumah tidak dialiri listrik dari PLN.
5) Sumber air minum dari sumur atau mata air tak terlindungi, sungai, air hujan.
6) Hanya sanggup makan dua kali sehari atau sekali sehari.
7) Hanya mengkonsumsi daging, ayam, dan susu seminggu sekali.
8) Hanya sanggup membeli baju sekali setahun.
9) Pendidikan terakhir kepala keluarga SD/tidak tamat SD
10) Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5 hektar buruh
tani , nelayan, buruh bangunan, dengan penghasilan < Rp.600 ribu perbulan ( UMR
Kabupaten Pekalongan Rp.810.000 sesuai SK gubernur Jateng no 561.4/69/2010
tentang UMK kab/kota).
11) Tidak punya tabungan atau barang dengan nilai jual dibawah Rp.500 ribu seperti
ternak, motor, dan lain-lain.
Interpretasi:
Kategori sangat miskin : skore 12 kriteria.
Kategori miskin : skore 6 10 kriteria.
Kategori mendekati miskin : skore 5 6 kriteria
18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial,
ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian
besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi
dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan
keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat kesehatan keluarga
19
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun.
Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat
akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan
menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri
karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
20
2.
Diagnosa
a.
b.
c.
d.
Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
3.
Intervensi
a. Diagnosa 1
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
2) Kriteria :
a) Menunjukkan regenerasi jaringan
b) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
3) Intervensi:
a) Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka
Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
b) Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional : menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
c) Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
d) Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan
kebersihan lesi
e) Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional : Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
b. Diagnosa 2
1) Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
2) Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang
dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
21
3) Intervensi:
a) Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
b) Observasi tanda-tanda vital
Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
c) Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri
d) Atur posisi senyaman mungkin
Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
e) kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional:menghilangkan rasa nyeri
c. Diagnosa 3
1) Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
2) Kriteria:
a) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
b) Kekuatan otot penuh
3) Intervensi:
a) Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
b) Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
c) Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian
aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/ sendi
d) Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
e) Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan
pasien dan memberikan terapi lebih konstan.
d. Diagnosa 4
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal
dan konsep diri meningkat
2) Kriteria:
a) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
KMB III - Kusta
22
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium
leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae.
Adapun cirri-ciri sesorang terkena kusta ialah sbagai berikut :
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
2. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi
kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf
tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
3. BTA positif
KMB III - Kusta
23
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta
Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC.
Jakarta, 1995
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/122/jtptunimus-gdl-budisantos-6052-2-bab2.pdf
24