Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KMB III

ASKEP KUSTA

KELOMPOK I
Agnesia Gloria
Deryanto
Eny Nopi Lestari
Nugraha Adhi T.
Ribka Yeriska
Teszha Eginata
Wuandari

POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
2014

KMB III - Kusta

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300SM dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuno,Mesir kuno,dan Indiapada 1995 organisasi kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan
kurang perlu dan tidak etis beberapa kelopok penderita masih dapatbditemukan dibelahan
dunia ,seperti India,dan Vietnam.
Pengonbatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940_an dengan
diperkenalkanya dapson dan derivatnya.Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra sertahap
menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar,hal ini terjadi hingga ditemukan
pengobatan multi obat pada awal 1980_an dan penyakit inipun mampu ditangani kembali.
B. Rumusan masalah
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Apa pengertian kusta?


Bagaimanakah klasifikasi kusta?
Bagaimanakah etiologi kusta?
Bagaimanakah patofisiologi kusta?
Bagaimanakah manifestasi klinik kusta?
Bagaimana cara pemeriksaan kusta?
Bagaimana pengobatan kusta?
Apa saja faktor-faktor yang dapat menyebabkan kusta?
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta?

C. Tujuan
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Untuk mengetahui pengertian kusta.


Untuk mengetahui klasifikasi kusta.
Untuk mengetahui etiologi kusta.
Untuk mengetahui patofisiologi kusta.
Untuk mengetahui manifestasi klinik kusta.
Untuk mengetahui cara pemeriksaan kusta.

KMB III - Kusta

g. Untuk mengetahui pengobatan kusta.


h. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menyebabkan kusta.
i. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien kusta.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Micobacterium leprae
(M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit,
mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan
testis ( Amirudin.M.D, 2000 ). Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan
oleh kuman kusta ( Mycobacterium leprae ) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh
lain kecuali susunan saraf pusat, untuk mendiagnosanya dengan mencari kelainan-kelainan yang
berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit
( Depkes, 2005 ).
B. Klasifikasi Kusta
No.

Kelainan kulit & hasil


pemeriksaan

KMB III - Kusta

Pause Basiler

Multiple Basiler

1.

Bercak (makula)

jumlah
ukuran
distribusi
konsistensi
batas
kehilangan rasa pada

bercak
kehilangan
berkemampuan
berkeringat,berbulu
2.

rontok pada bercak


Infiltrat
kulit
membrana mukosa

1-5

Kecil dan besar

Unilateral atau bilateral

asimetris

Kering dan kasar

Tegas
Selalu ada dan jelas
Bercak tidak
berkeringat, ada bulu

3.

ada terjadi pada yang sudah


lanjut
Bercak masih berkeringat,
bulu tidak rontok

rontok pada bercak


Tidak ada
Tidak pernah ada

tersumbat perdarahan
dihidung
Ciri hidung

Banyak
Kecil-kecil
Bilateral, simetris
Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas, jika

Ada,kadang-kadang tidak
ada
Ada,kadang-kadang tidak
ada

central healing

a. punched out lession

penyembuhan ditengah

b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana

4.
5.

Nodulus
Penebalan saraf tepi

e. suara sengau
Tidak ada
Kadang-kadang ada
Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut
asimetris

6.

Deformitas cacat

7. Apusan
Dibagi menjadi 2 :

biasanya lebih dari 1 dan

simetris
Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium lanjut
dini
BTA negatif

BTA positif

Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan
atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
KMB III - Kusta

Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak keputihan


sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi,
punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama
sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan
urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih
jelas.Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal
dari pada bentuk basah.Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak
ditemukan adanya kuman penyebab.Bentuk ini merupakan yang paling banyak
didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman
kusta cukup tinggi.
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput
lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta
bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam
menghadapi kuman kusta.Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil
dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji
jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga.Sering disertai rontoknya alis mata,
menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya
tulang rawan hidung.Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari
perjalanan penyakit.Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan
(tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini
dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
C. Etiologi Kusta
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A.Hansen pada
tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel
dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif,

KMB III - Kusta

tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,
termasuk massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes , 2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan
Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat lama , yaitu 2-3 minggu , diluar
tubuh manusia (dalam kondisis tropis )kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9
hari (Desikan 1977,dalam Leprosy Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting, 1985).
Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 2730 C ( Depkes, 2005).

M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat
bertahan hidup 46 hari , ada lima sifat khas :
1. M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan dimedia
buatan.
2. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.
3. Mleprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (DDihydroxyphenylalanin).
4. M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam
saraf perifer.
5. Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik yang stabil dengan
aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberculoid dan negatif
pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).
D. Patofisiologi Kusta
Setelah mikobakterium

leprae

masuk

kedalam

tubuh,

perkembangan

penyakit

kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung
pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas
seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah
lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien
berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi
oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik

KMB III - Kusta

Pathway Kusta
Microbakterium Leprae

Menyerang saraf perifer, kulit,


mukosa saluran pernafasan
atas
Gangguan Fungsi Saraf
Tepi

Sensorik

Motorik

Anastesi

kelemahan

Tangan/
kaki:
kurang rasa

Luka

Mutilasi
Absorpsi
tulang

Kornea mata
anastesi
reflek kedip
mata
berkurang

Infeksi

Buta

Tangan/kaki:
lemah/lumpu
h

jari bengkok/
kaku

Luka

Mutilasi
absorpsi
tulang

KMB III - Kusta

Otonomm

Gangguan
kelenjar keringat,
kelenjar minyak,
aliran darah

Mata
Logophthalm
us

Kulit: kering
/pecah/
kemerahan

Infeksi

Buta

Benjolan-benjolan
kecil diseluruh
tubuh

inflamasi

Ggg
konsep
diri

Intoleran
aktivitas

Kerusaka
n
integrita
s kulit

Nyeri

E. Manifestasi Klinik Kusta


Manifestasi klinik biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan
diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja .Penderita kusta adalah seseorang
yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologik dan
memerlukan pengobatan ( Muh.Dali Amirudin, 2000).
Untuk mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan
gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.Untuk itu dalam menetapkan
diagnosis penyakit kusta perlu mencari tanda-tanda utama atau Cardinal Sign, yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.

Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (Eritemtous) yang mati rasa (anestesi ).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Ganggguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a) Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa.
b) Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise).
c) Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak.
3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan ini hanya
dilakukan pada kasus yang meragukan (Dirjen PP & PL Depkes, 2005 ).
F. Cara Pemeriksaan Kusta
1. Cara Pemeriksaan
a) Anamnese:
1) Keluhan yang ada/kapan timbul bercak .
2) Apakah ada riwayat kontak .
3) Riwayat pengobatan sebelumnya.
b) Pemeriksaan kulit / rasa raba.
Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian
disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita
duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana
KMB III - Kusta

merasa disentuh bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh
dengan jari telunjuknya, menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari
tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka
bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya.Kelainan-kelainan dikulit
diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada tidaknya anestesi . pada telapak tangan
dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat ini kulit lebih tebal.
c) Pemeriksaan saraf (nervus )
Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada saraf
ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti kerusakan pada
saraf-saraf utama.
2. Tehnik Pemeriksaan Saraf .
a) Saraf Ulnaris
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku
sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari tengah
tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris
yaitu lekuken diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial
(epicondilus medialis). Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil
digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita
adakah tampak kesakitan atau tidak .
b) Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis).
1) Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam keadaan
rilek.
2) Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri
penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan.
3) Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian
luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan
tulang (caput fibula )setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf
peroneus 1 cm kearah belakang.
4) Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan dan kiri
sambil melihat mimik / reaksi penderita.
c) Saraf Tibialis Posterior .
1) Penderita masih duduk dalam posisi rileks.
2) Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior dibagian
belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam (maleolus medialis) dengan tangan
KMB III - Kusta

menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa
memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien).
3) Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik / reaksi dari
penderita.
3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf
Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah Mata,
Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang diperluka:
ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita.
Cara pemeriksaan Fungsi Saraf.
Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki.
a. Mata
Fungsi Motorik (Saraf Facialis)
1) Penderita diminta memejamkan mata.
2) Dilihat dari depan/samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak, apakah ada
celah.
3) Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, misal
lagofthalmus 3 mm, mata kiri atau kanan.
Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf
Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan .
b. Tangan
1) Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )
a) Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha
penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga
semua ujung jari tersangga.
b) Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil
memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu
atau dua titik pada telapak tangan.
c) Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat
sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain.
d) Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif .
e) Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang
diperiksa.
f) Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh.
g) Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
h) Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm .
2) Fungsi Motorik (Kekuatan Otot) Saraf Ulnaris, Medianus dan Radialis.
a) Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).
(a) Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan
penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi
KMB III - Kusta

10

ektensi (jari kelingking /5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan


pemeriksa.
(b) Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari
lainnya, bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan kelingkingnya
pada posisi jauh dari jari lainnya, dan kemudian ibu jari pemeriksa
mendorong pada bagian pangkal kelingking.
Penilaian :
(1) Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti
dari jari lainnya berarti lumpuh.
(2) Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa
berarti lemah.
(3) Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari
bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih
kuat.
(4) Bila masih ragu, penderita diminta menjepit sehelai kertas yang
diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa
menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan
terhadap kertas tesebut .
(5) Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah.
(6) Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat
b) Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )
(1) Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking
tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap
keatas,dan dalam posisi ekstensi.
(2) Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap
telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan
penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.
(3) Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas
antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan.
Penilaian :
(1) Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat.
(2) Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah.
(3) Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh .
c) Saraf Radialis (Kekuatan otot Pergelangan tangan).
(1) Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan
penderita.
KMB III - Kusta

11

(2) Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal


keatas (ektensi).
(3) Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu dengan
tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah
fleksi .
Penilaian :
(1) Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
(2) Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
(3) Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan tangan
tidak bisa digerakkan keatas)
c. Kaki
1) Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior )
a) Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki menghadap
keatas.
b) Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita.
c) Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.
d) Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan berdiameter 1 cm.
e) Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.
2) Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis ).
a) Dalam keadaan duduk ,penderIta diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit
tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit).
b) Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan
kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah /lantai.
Keterangan:
(1) Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
(2) Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah.
(3) Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan
keatas)

G. Pengobatan Kusta
1. Tujuan Pengobatan adalah ;
a. Memutus mata rantai penularan.
b. Menyembuhkan penyakit Penderita.
c. Mencegah Terjadinya cacat.
2. Regimen Pengobatan MDT(Multi Drug Therapie).
KMB III - Kusta

12

WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan menggunakan regimen MDT Yaitu :


a. Penderita Pauci Baciler ( PB ) lesi 2-5 Dewasa.
Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas ).
1) Satu capsul Rifampicin @300 mg ( 600 mg ).
2) Satu tab Dapson /DDs 100 mg.
Pengobatan harian : hari ke 2-28 (1 tab dapsone /DDS 100 mg 1 blister untuk satu bulan)
lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.
b. Penderita Multi-Basiler ( MB ) Dewasa
Pengobatan bulanan :hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas ).
1) Tiga capsul Rifampicin @300 mg ( 600 ).
2) Tiga Tablet Lampren @100 mg ( 300 ).
3) Satu tablet Dapsone @100 mg .
Pengobatan harian : hari ke 2-28 ( 1 tablet Lamprene 50 mg, 1 tablet Dapsone/DDS 100
mg ) 1 blister untuk satu bulan lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12-18 bulan
3. Dosis MDT menurut Umur, lihat Bagan sebagai berikut :
Type PB
Jenis Obat

<5 th

5-9 th

10-14 th

>15 th

300 mg/bl

450 mg /bl

600 mg /bl

25 mg /bl

50 mg/bl

100 mg /
bl

DDS

25 mg/hr

50 mg/hr

100 mg/hr

Clofazimin

100 mg/bl

150 mg/bl

300 mg/bl

Rifampicin

Berdasarkan
Berat badan

50 mg 2x
seminggu

50 mg/2 hr

50 mg/hr

Keterangan
Minum
didepan
petugas
Minum
didepan
petugas
Minum
dirumah
Minum
didepan
petugas
Minum
dirumah

4. Bagi anak di bawah usia 10 th dengan BB kurang ,dosis MDT diberikan berdasarkan BB:
a. Rifampicin : 10-15 mg / kg BB.
b. DDS : 1-2 mg / kg BB.
c. Clofazimin : 1mg /kg BB.
KMB III - Kusta

13

H. Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit kusta


1. Faktor Internal
a. Umur
Umur dimana kejadian penyakit kusta sering terkait dengan umur pada saat ditemukan
dari pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan
produktif. Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi, angka kejadian (Insidence Rate)
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun
Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30-50 tahun dan
kemudian secara perlahan-lahan menurun.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan sebagian
besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki
lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada wanita
kemungkinan karena faktor lingkungan atau biologi seperti kebanyakan pada penyakit
menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya
hidupnya.
c. Daya tahan tubuh seseorang
Daya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah
akan rentan terjangkit bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun
penularannya lama bila seseorang terpapar kuman penyakit sedangkan imunitasnya
menurun bisa terinfeksi, misalnya: kurang gizi/malnutrisi berat, infeksi, habis sakit lama
dan sebagainya.
d. Etnik/suku
Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat
dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang
sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena
perbedaan etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik
Burma dibandingkan etnik India, situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang
sama, kejadian lepromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik Melayu
atau India, demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak
menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu .
2. Faktor Ekternal.
a. Kepadatan hunian
Penularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara,
denganpenghuni yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga bila ada
KMB III - Kusta

14

anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular
namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang
dapat merusak dan mematikan kuman kusta.Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh
Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni minimal
10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari
2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kondisi
rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap status
kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus memperhatikan
persyaratan sebagai berikut :
1) Bahan bangunan memenuhi syarat :
a) Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan,
karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit.
b) Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi kurang
lebih baik dari papan.
c) Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidak cocok
untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di
dalam rumah.
2) Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai,
karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap
dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat )
adalah sekitar 40 70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh
terhadap kesehatan penghuni rumah Kelembaban udara didalam ruangan naik
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban yang
tinggi akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhanbakteri patogen(bakteri
penyebab penyakit).
3) Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini
dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal
didalam rumah adalah 1830C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi,
Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada suhu37C. Paparan sinar matahari
selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup
pada tempat gelap, sehingga perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.
4) Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai
dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan
KMB III - Kusta

15

penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah yang terlalu


padat penghuninya tidak sehat , sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi
O juga bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit infeksi akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan
jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni ( sleeping density) dinyatakan
baik bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7; cukup bila kepadatan antara 0,50,7;
dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura kabupaten Pekalongan
tingkat kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan sehingga angka
prevalensi lebih besar. Untuk wilayah kecamatan Tirto pada Tribulan II th 2010
tercatat 13/10.000 penduduk (Data Dinkes Kabupaten Pekalongan, 2010 ). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan ( susceptible) akan terpapar dengan
penderita kusta menular lebih tinggi pada wilayah yang kepadatan hunian lebih
tinggi.
b. Perilaku
Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi seseorang
tehadap stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi melalui
proses :
Stimulus Organisme Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori. SO-R
Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan (health behavior) menurut Skiner adalah
Respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit,
penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti
lingkungan, makanan dan minuman yang tidak sehat, dan pelayanan kesehatan. Secara
garis besar perilaku kesehatan dibagi dua, yakni :
1) Perilaku sehat (healty behavior)
Yang mencakup perilaku-perilaku (overt dan covert behavior)dalam mencegah
penyakit (perilaku preventif) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan
kesehatan (perilaku promotif), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur,
mandi pakai sabun mandi, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak
memakai handuk atau pakaian secara bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti
panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke
Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta
sehingga lebih mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat datang, karena
KMB III - Kusta

16

kebanyakan pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan
resiko cacat lebih besar.
2) Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup tindakan
yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh
kesembuhan, misalnya pelayanan kesehatan tradisional seperti : dukun, sinshe, atau
paranormal, maupun pelayanan modern atau profesional seperti : RS, Puskesmas,
Dokter dan sebagainya( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 ). Becker ( 1979 ) membuat
klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membagi menjadi tiga, yakni :
a) Perilaku Sehat (healhty behavior)
Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan, misalnya :
(1) Menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun mandi.
(2) tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, karena akan
menyebabkan bermacam-macam kelainan kulit termasuk kusta.
(3) Bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal,
kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan
barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan.
(4) Makan makanan bergizi, teratur berolahraga serta cukup istirahat.
(5) Perilaku dan gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan.
b) Perilaku Sakit(illness behavior)
Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang untuk
mencari penyembuhan , misal ke Puskesmas, RS dan sebagainya.
c) Perilaku peran orang sakit(the sick role behavior) Dari segi sosiologi, orang yang
sedang sakit mempunyai peran(roles), yang mencakup hak-haknya(rights), dan
kewajiban sebagai seorang sakit(obligation).
Menurut Becker Perilaku peran orang sakit ini antara lain :
(1) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
(2) Tindakan untuk mengenal dan atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat
untuk memperoleh kesembuhan.
(3) Melakukan kewajiban sebagai pasien untuk mematuhi nasihat dokter/perawat
(4) Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhan
(Soekidjo Notoatmodjo, 2010)
c. Sosial Ekonomi
Menurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan menyebabkan
KMB III - Kusta

17

kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu masalah kurang
gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak
juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya rendah.
Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan
pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya
beli yang dapat di gunakan untuk menjamin ketahanan pangan keluarganya. Pada saat
ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat tingkat pendapatan mendekati
suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan ) maka status
gizi dari kelompok rawan pangan akan terganggu.
Kriteria Rumah Tangga Miskin Versi( BPS 2008)
1) Luas Lantai bangunan kurang dari 8 m2 per orang, lantai dari tanah
2) Dinding rumah dari bambu, kayu kualitas rendah atau tembok tanpa plester.
3) Tidak memiliki jamban atau menggunakan jamban bersama.
4) Rumah tidak dialiri listrik dari PLN.
5) Sumber air minum dari sumur atau mata air tak terlindungi, sungai, air hujan.
6) Hanya sanggup makan dua kali sehari atau sekali sehari.
7) Hanya mengkonsumsi daging, ayam, dan susu seminggu sekali.
8) Hanya sanggup membeli baju sekali setahun.
9) Pendidikan terakhir kepala keluarga SD/tidak tamat SD
10) Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5 hektar buruh
tani , nelayan, buruh bangunan, dengan penghasilan < Rp.600 ribu perbulan ( UMR
Kabupaten Pekalongan Rp.810.000 sesuai SK gubernur Jateng no 561.4/69/2010
tentang UMK kab/kota).

11) Tidak punya tabungan atau barang dengan nilai jual dibawah Rp.500 ribu seperti
ternak, motor, dan lain-lain.
Interpretasi:
Kategori sangat miskin : skore 12 kriteria.
Kategori miskin : skore 6 10 kriteria.
Kategori mendekati miskin : skore 5 6 kriteria

KMB III - Kusta

18

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1.

Pengkajian
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial,
ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian
besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi
dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan
keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat kesehatan keluarga

KMB III - Kusta

19

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun.
Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat
akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan
menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri
karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.

f. Pola aktivitas sehari-hari


Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan
diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
g. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I,
reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik.
Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan
saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan
buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organorgan tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada
bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.

KMB III - Kusta

20

2.

Diagnosa
a.
b.
c.
d.

Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh

3.

Intervensi
a. Diagnosa 1
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
2) Kriteria :
a) Menunjukkan regenerasi jaringan
b) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
3) Intervensi:
a) Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka
Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
b) Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional : menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
c) Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
d) Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan
kebersihan lesi
e) Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional : Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
b. Diagnosa 2
1) Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
2) Kriteria:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang
dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang

KMB III - Kusta

21

3) Intervensi:
a) Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
b) Observasi tanda-tanda vital
Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
c) Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri
d) Atur posisi senyaman mungkin
Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
e) kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional:menghilangkan rasa nyeri

c. Diagnosa 3
1) Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
2) Kriteria:
a) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
b) Kekuatan otot penuh
3) Intervensi:
a) Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
b) Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
c) Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian
aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/ sendi
d) Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
e) Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan
pasien dan memberikan terapi lebih konstan.
d. Diagnosa 4
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal
dan konsep diri meningkat
2) Kriteria:
a) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
KMB III - Kusta

22

b) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif


3) Intervensi
a) Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional : episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan
dukungan dalam perbaikan optimal
b) Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan
perilaku menarik diri.
Rasional : penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi
membantu perbaikan
c) Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan
yang salah
Rasional : meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
d) Berikan penguatan positif
Rasional : kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif
e) Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional : meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih
membantu pasien

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium
leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae.
Adapun cirri-ciri sesorang terkena kusta ialah sbagai berikut :
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
2. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi
kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf
tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
3. BTA positif
KMB III - Kusta

23

4. Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.


5. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
B. SARAN
1. Dengan mengetahui perjalanan penyakit kusta, diharapkan agar dapat menangani kasus
tersebut dengan tepat.
2. Dengan adanya pengkajian serta diagnose dan intervensi keperawatan terhadap penyakit
kusta, diaharapkan agar pasien mengidap penyakit ini dapat dirawat dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta
Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC.
Jakarta, 1995
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/122/jtptunimus-gdl-budisantos-6052-2-bab2.pdf

KMB III - Kusta

24

Anda mungkin juga menyukai