Seorang wanita, 30 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang
hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan,
nyeri pada persedian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan
di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan.
Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.
Kemudian dokter menyarankan Pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker
autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan
dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam
menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.
Jawaban
1. Konstitusional yaitu penurunan berat badan,kelelahan,demam,rambut rontok, dan lain
lain.
Klinik yaitu kulit,hematologi,ginjal,serositis ada dua yaitu perioritis dan pericarditis.
Gejala-gejala SLE :
- Kelelahan
- Artritis
- Demam
- Mialgia
- Arthralgia
- Malar Rash
Sinar UV (lingkungan)
Keturunan
Hormone
Ras
Obat
Defisiensi komplemen
4. Tidak, tetapi wanita lebih berpeluang karena memiliki hormone esterogen yang dapat
meningkatkan ekspesi imun.
5. 1. Tes ANA
2. Tes ds-DNA
3. Tes antibody Anti - S
6. 1. Diskoit lupus ( kulit)
2. SLE
3. Drug indused lupus
4. Neonata lupus
5. cutaneous erimatosus lupus
7. Karena lupus tidak bias disembuhkan hanya bias bertahan.
Sasaran Belajar
LI 1. Memahami dan Menjelaskan Penyakit Autoimun
LO 1.1. Menjelaskan Definisi Autoimun
LO 1.2. Menjelaskan Etiologi Autoimun
LO 1.3. Menjelaskan Klasifikasi Autoimun
LO 1.4. Menjelaskan Mekanisme Autoimun
LI 2. Memahami dan Menjelaskan Systemic Lupus Erytematosus
LO 2..1. Menjelaskan Definisi Systemic Lupus Erytematosus
LO 2.2. Menjelaskan Etiologi Systemic Lupus Erytematosus
LO 2.3 Menjelaskan Patogenesis Systemic Lupus Erytematosus
LO 2.4. Menjelaskan Patofisiologi Systemic Lupus Erytematosus
LO 2.5. Menjelaskan Manifestasi Klinis Systemic Lupus Erytematosus
LO 2.6. Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Systemic Lupus Erytematosus
LO 2.7. Menjelaskan Penatalaksanaan Systemic Lupus Erytematosus
LO 2.8. Menjelaskan Komplikasi Systemic Lupus Erytematosus
LO 2.9. Menjelaskan Prognosis Systemic Lupus Erytematosus
LI 3. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Autoimun
LO 3.1. Menjelaskan Pemeriksaan ANA
LO 3.2. Menjelaskan Pemeriksaan ds DNA
LO 3.3. Menjelaskan Pemeriksaan Antibody Anti - S
LI 4. Memahami dan Menjelaskan Sikap Seorang Muslim dalam Menghadapi Suatu Penyakit
HIPOTESA
Autoimun adalah suatu kelainan system imun imana antibody tidak bias membedakan antigen
dengan antibody,salah satunya adalah SLE yang disebabkan oleh beberapa factor seperti
genetic,lingkungan,obat,dan lain lain,dengan manifestasi tertentudan dapat ditegakkan dengan
beberapa pemeriksaan penunjang,dan penyakit ini berlangsung seumur hidup,maka harus
dihadapi dengan sabar,ikhlas dan tawakal.
saraf
pusat.
Individu
yang
mengalami
defek
pada
komponen-komponen
komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan
nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi
meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun.
Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena
defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi
interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem
pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks
imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen
(Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada
defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun
menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan
estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria
memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus
dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen
memperberat penyakit.
4. Lingkungan
Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat
mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B
poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
Kriteria
Autoantibody atau
sel T autoreaktif
dengan spesifitas
untuk organ yang
terkena ditemukan
penyakit
Kriteria Autoimun
Notes
Kriteria ditemukan pada kebanyakan penyakit endokrin
autoimun. Lebih sulit ditemukan pada antigen sasaran yang
tidak diketahui seperti pada AR(Arthritis Reumatoid).
Autoantibody lebih mudah ditemukan dibandingkan sel T
autoreaktif, tetapi autoantibody dapat juga ditemukan pada
beberapa subjek normal.
Autoantibody dan
atau sel T ditemukan
di jaringan dengan
cedera
Ambang
autoantibody atau
respons sel T
menggambarkan
aktivitas penyakit
Penurunan respons
autoimun
memberikan
perbaikan pada
penyakit
Transfer antibody
atau sel T ke pejamu
sekunder
menimbulkan
penyakit autoimun
pada resipien
Imunisasi dengan
autoantigen dan
kemudian induksi
respons autoimun
menimbulkan
penyakit
Penyakit autoimun dapat di anggap sebagai segolongan penyakit yang jika di susun secara
berurutan akan membentuk spektrum. Pada ujung spektrum yang satu terdapat penyakit autoimun yang
spesifik organ dan pada ujung lainnya terdapat penyakit autoimun yang non-spesifik organ.
penyakitnya adalah: Tiroiditis Hashimoto, Tiritoksisitas Graves dan Sindroma myxedema primer
(Tiroiditis atrofik).
Penyakit
organ
Antibodi
Tes diagnosis
terhadap
Organ
T. hashimoto
tiroid
tiroglobulin
RIA
spesifik
Grave D.
Tiroid
TSH recep
Immunofluorescen
Pernisious
Del darah
Intrinsik
Immunofluorescen
anemia
merah
faktor
IDDM
Pankreas
Sel beta
Infertilitas
sperma
Sperma
laki
Non-
Virtiligo
organ
spesifik
Aglutinasi
immunofluorescen
Kulit
Melanosit
Immunofluorescen
IgG
IgG-latex
persendian
Rheumatoid
Kulit
arthritis
Ginjal
Aglutination
sendi
SLE
Sendi
DNA
DNA
organ
RNA
RNA
nucleiprotein
latex Aglutination
3) Mediasi Antibodi dan sel T cell : Sel T adalah salah satu dari dua tipe (yang
satunya disebut sel B) sel darah putih yang memediasi reaksi immune. Ketika
dihadapkan pada suatu antigen tertentu, sel T terprogram untuk mencari dan
merusak protein tertentu itu pula dikemudian hari. Jika seekor hewan terekspose
inti
sel
yang
berhubungan
dengan
manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multi sistim dengan etiologi dan
patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE
bersifat multifaktor yang melibatkan faktor lingkungan (terpapar oleh matahari),
genetik (keturunan) dan hormonal (berkaitan dengan hormon testosteron dan LH
untuk laki-laki dan estrogen untuk perempuan, dengan penderita lebih banyak pada
wanita). Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel
yang mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap
terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel
T helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke
Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibody.
2.2 Etiologi
1. Genetik:
a. Sering pada anggota keluarga dan saudara kembar monozigot (25%) dibanding
kembar dizigotik (3%), berkaitan dengan HLA seperti DR2, DR3 dari MHC kelas
II.
b. Individu dengan HLA DR2 dan DR3 risiko 2-3 kali dibanding dengan HLA DR4
dan HLA DR5.
c. Gen HLA diperlukan untuk proses pengikatan dan presentasi antigen, serta
aktivasi sel T.
d. Haploptip (pasangan gen yang terletak dalam sepasang kromosom yang
menetukan ciri seseorang), HLA menggangu fungsi sistem imun yang
menyebabkan peningkatan autoimunitas.
Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita
yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan
menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus
yang akan menderita penyakit ini.
2. Defisiensi komplemen
a. Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP.
b. Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik.
c. 80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES.
d. Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang akan
menyebabkan predisposisi penyakit kompleks imun.
Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat, menaikkan jumlah
kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih lama, lalu mengendap di jaringan yang
menyebabkan berbagai macam manifestasi LES.
3. Hormon
a. Estrogen : imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral yang akan
menekan fungsi sel Ts dengan mengikat reseptor menyebabkan peningkatan
produksi antibodi.
b. Androgen akan induksi sel Ts dan menekan diferensiasi sel B (imunosupresor).
c. Imunomodulator adalah zat yang berpengaruh terhadap keseimbangan sistem
imun.
3 jenis imunomodulator :
Imunorestorasi
Imunostimulasi
Imunosupresi
4. Autoantibodi
Antigen Spesifik
Prevalensi (%)
Anti ds-DNA
70 80 %
Nukleosom
60 90 %
Ro
30 40 %
La
15 20 %
Sm
10 30
Gangguan ginjal
Reseptor NMDA
33 50 %
Gangguan otak
Fosfolipid
20 30 %
Trombosis, abortus
Actinin
20 %
Gangguan ginjal
C1q
40 50 %
Gangguan ginjal
5. Lingkungan
a. Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen.
b. Sinar UV akan meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA kemudian terjadi
reaksi epidermal lalu terjadi kompleks imun yang akan berdifusi keluar endotel
setelah itu terjadi inflamasi.
Faktor fisika / kimia
Amin aromatik
Hydrazine
Merokok
Pewarna rambut
Faktor makanan
Agen infeksi
Retrovirus
2.3 Patogenesis
Faktor pemicu akan memicu sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi dan
ekspansi sel B. Lalu, akan muncul antibodi terhadap antigen nukleoplasma, meliputi DNA,
nukleoprotein, dan lain- lain yang akan membentuk kompleks imun.Kompleks imun dalam
keadaan normal, dalam sirkulasi diangkut oleh eritrosit ke hati dan limpa lalu dimusnahkan oleh
fagosit. Tetapi dalam LES, akan terdapat gangguan fungsi fagosit, yang akan menyebabkan
kompleks imun sulit dimusnahkan dan mengendap di jaringan. Lalu, kompleks imun tersebut
akan mengalami reaksi hipersensitivita tipe IV.
2.4 Patofisiologi
Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat terganggunya
regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (
sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif ) dan
lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin (
Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang anti bodi
tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan
menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya
toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan
menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibody maupun yang
berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk
didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada
nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan di
antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks
protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah
bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi
penyebab timbulnya reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma
fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,
kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol
ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau artralgia
(93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi
interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan
pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris.
(riesha)
2.5 Gejala klinis
Macam-Macam Lupus Eritematosus Sistemik
a.
b.
Lupus diskoid
-
c.
d.
Lupus obat
-
Lupus neonatal
-
Kulit
Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Sekitar
7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu
dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya
antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan
lekopeni ringan.
Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.
Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis.
Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama
terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan jenis lupus nefritis
yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya adalah : (1) Klas IV, diffuse
proliferative glomerulonephritis (DPGN) sebesar 40%-50%; (2) Klas II,
mesangial nephritis (MN) sebesar 15%-20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP)
sebesar 10%-15%; dan (4) Klas V, membranous pada > 20%.
Hematologi
Kelainan
hematologi
yang
sering
terjadi
adalah
limfopenia,
anemia,
tanpa adanya perubahan pada tulang sendi.Anak dengan JRA polyarticular yang
beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.
Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat.
Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan
aktivasi komplemen lokal.
Gejala yang lain:
1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %
2. Demam di atas 38oC 90 %
3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %
4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %
5. Ruam pada kulit 74 %
6. Anemia 71 %
7. Gangguan ginjal 50 %
8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %
9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %
10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %
11. Rambut rontok 27 %
12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %
13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynauds) 17 %
14. Stroke 15 %
15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %
16. Selera makan hilang > 60 % (nanda)
Kriteria
No
Bercak
1 malar
(butterfly rash)
Bercak
2 diskoid
Definisi
Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi,
cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic
Fotosensitif
3
Ulkus
4 mulut
Artritis
5
Serositif
6
Gangguan
7
ginjal
Gangguan
8
saraf
Gangguan
9
darah
2.7 Penatalaksanaan
Penyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam penatalaksanaan
penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus Eritematosus merupakan golongan
penyakit yang dapat relaps dan remisi. Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang terjadi
pada penyakit imun ini dan pada strategi-strategi pencegahan seperti :
Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit secara rutin,
penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan imunosupresi, terutama untuk
meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat. Penderita SLE mendapat terapi
tergantung tingkat keparahan yang dialami:
Terapi konservatif
Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan
kerusakan organ.Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat diberikan prednison 0.5
mg/kgBB/hari.
Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan ringan
seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi
pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang memperberat
keadaan umum penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal
sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik
dan OAINS tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria :
Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon
baik, maka pemberian dihentikan).Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian) dan
klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena beresiko toksik
terhadap retina.
Bila
pemberian
OAM
tidak
berespon
baik,
pertimbangkan
pemberian
Lupus kutaneus
Muka
[steroid
lokal
berkekuatan
rendah
dan
tidak
diflorinasi
(hidrokortison)]
OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun diskoid. OAM
mempunyai efek :
o
Sunblocking
Mengikat melanin
Antiinflamasi
Imunosupresan
Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF- oleh makrofag, IL-2 dan IFN-
oleh sel T.
Methemoglobinemia
Sulfhemoglobinemia
Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan berat badan,
dan demam.Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat
badan dan demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin.Seringkali hal ini tidak memerlukan
terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja.Pada keadaan
yang berat dapat menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid
sistemik dapat dipertimbangkan.
Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis.Keadaan ini dapat diatasi dengan
salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15 mg/hari).Pada keadaan berat
diberikan glukokortikoid sistemik.
Terapi agresif
Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi serius SLE
dan mengancam nyawa, misalnya :
Vaskulitis
Poliartritis
Poliserositis
Anemia hemolitik
Trombositopenia
Mielopati
Neuropati perifer
Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing agent)
Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktorfaktor ekstrarenal lainnya.
Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2.Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau jumlah
leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan
25%.Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis yang tidak
adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.Siklofosfamid diberikan
selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun.Selama pemberian
siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan
aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi :
Nausea
Vomitus alopesia
Sistitis hemoragika
Keganasan kulit
Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari siklofosfamid
adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif
siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan
pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol dengan steroid seminimal mungkin,
maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin
meliputi :
Mencetuskan keganasan
Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE baik tanpa
manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan
tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar
sebelum pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan.
Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :
Terapi hormonal
Imunoglobulin
Afaresis
o Plasmafaresis
o Leukofaresis
o Kriofaresis
Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat mengatasi
trombositopenia pada SLE.Mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Pemberian Ig intravena
juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mg/kgBB/hari selama 5 hari
berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian
Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita defisiensi IgA pada penderita SLE.
Penatalaksanaan non-farmako :
Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai
macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang
berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang
berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa
bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi,
sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun
penderita selama hamil.
Istirahat
Penderita LES sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain
perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari,
sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan
menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang
tiap 4-6 jam.
Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya.Risiko infeksi juga meningkat sejalan
denganpemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid.Risiko kejadian penyakit
kejadiankardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita
SLE,sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia
dan hipertensi. (riesha)
2.8 Komplikasi
b)
c)
Pleuritis
b)
Pericarditis
c)
Efusi pleura
d)
Efusi pericard
e)
f)
Gagal jantung
g)
Cognitive dysfunction
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia.
b)
c)
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi diskoid
Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
Anemia
Trombositopenia
Gangguan pembekuan
Limfositopenia
2.9 Prognosis
Angka harapan hidup :
5 tahun : 85-88%
10 tahun : 76-87%
Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :
Infeksi penyakit
Nefritis lupus
Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)
Penyakit kardiovaskular
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis
yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan
dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang
menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman
sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan
penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang
paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang
berat. (reskay)
LO.3 Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Lab Sistemic Lupus
Erimatosis
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :
1.. Hematologi
Ditemukan anemia,leukopenia,trombocytopenia.
2. Kelainan imunologi
Ditemukan ANA,Anti-Ds-DNA,rheumatoid factor,STS false positive,dan lain-lain.
ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE.Antibody double-stranded DNA(Anti-Ds DNA) dan anti-Sm
spesifik tapi tidak sensitive.Depresi pada serum complement(didapatkan pada fase aktif)dapat berubah
menjadi normal pada remisi.Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan aktivitas daripada perjalanan
penyakit SLE ,tetapi anti-Sm tidak.
Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic (Ro,La,Sm,RNP,Jo-1)berguna secara
diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan kadang ditemukan pada SLE dengan negatif ANA.
Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10% penderita.Mereka disertai antikoagulan
lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan Partial Thrombiplastin(PTT).
Antinuclear
antibodies
Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah kadarnya pada SLE dengan nefritis
aktif.
Urinalisis dapat normal walaupun telah terjadi proses pada ginjal.Untuk menilai perjalanan SLE pada
ginjal dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan.Adanya silinder eritrosit dan silinder
granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.
3.Pemeriksaan penunjang
Darah tepi lengkap, LED, urinalisis, sel LE, ANA*, antibodi anti doublestranded-DNA*,
antibodi antifosfolipid, antibodi lain (anti-Ro, anti-La, anti-RNP), faktor rheumatoid, titer
komplemen C3, C4,dan CH50*, titer IgM ,IgG, dan IgA, uji Coombs, kreatinin, ureum darah*,
protein urin >0.5 gram/24 jam (Nefritis)*, dan pencitraan (foto Rontgen toraks*, USG ginjal,
MRI kepala).
Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium ini harus ada, tetapi
pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan.
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk
membuatdiagnosa SLE, antara lain :
3.1 Tes ANA
Yaitu :pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti
selsering muncul di dalam darah
3.2 Tes ds-DNA
Yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materigenetik di dalam sel.
3.3 Tes Antibody anti-S
Yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yangditemukan dalam sel
protein inti).
Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan prevalensinya.Autoantibody
pada penderita SLE.
Incidence
%
Antigen detected
Clinical importance
98
Multiple nuclear
Anti-DNA
DNA(ds)
Anti-Sm
30
Anti-RNP
40
Anti-Ro(SS-A)
Anti-La(SS-B)
Antihistone
Antiphospholipid
Antierythrocyte
polimyositis,scleroderma,lupus dan
mixed connective tissue disease.
Jika + tanpa anti-DNA, resiko untuk nephritis
rendah.
30
10
Phosphoprotein
70
Histones
50
Phospholipid
60
Erythrocyte
Antiplatelet
30
Antilymphocyte
70
Lymphocyte surface
Kemungkinan berhubungan
dengan leukopenia dan abnormal fungsi sel T.
Antiribosomal
20
Ribosomal P protein
Berhubungan
ANA
AntiNativ
e
Rheuma
toid
Anti-Sm
Ani-SSA
AntiSS-B
Anti
SCL-70
Anti
Centro
AntiJo-1
ANCA
DNA
Factor
3060
0-5
72-85
0-5
0-2
LE
95100
60
20
10-25
15-20
5-20
0-1
jorgen
yndrome
95
75
60-70
60-70
Diffuse
cleroder
ma
8095
25-33
33
imited
cleroder
ma(CRES
8095
33
20
50
8095
33
20-30
0-15
50
Rheumato
d Arthritis
mere
yndrome)
olymiositi
Wegeners
ranuloma
osis
Methyldopa
Hydralazine
Procainamide
Isoniazid
Quinidine
Possible ascociation
Beta-blocker
Methimazole
Captopril
Nitrofurantion
Carbamazepine
Penicillinamine
Cimetidine
Phenitoin
Ethosuximide
Propylthiouracil
Hydrazine
Sulfasalazine
Levodopa
Sulfonamide
Lithium
Trimethadione
Unlikely ascociation
Allopurinol
Penicillin
Chlortalidone
Phenylbutazone
Gold salt
Reserpine
Griseofulvin
Streptomycin
Methysergide
Tetracycline
Oral contraceptive
(reskay)
kamu sungguh sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh
sungguh akan mendengar dari orang orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang
orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati .jika kamu
bersabar dan bertakwa, maka seseungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di
utamakan.(Ali Imran : 186).
3.) Sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian (musibah) dari Allah
Seperti Allah sebutkan dalam firman-Nya:
) 514(
) 511(
]511-511/ [
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun.
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan
mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.(Al-Baqarah:155-157). (riesha)
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2010). Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Davey P. (2002). Medicine at a Glance. England : Blackwell Science Ltd.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. (2005). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, vol III
Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.
http://www.anneahira.com/sabar-dan-ikhlas.htm
http://cetrione.blogspot.com/2008/07/systemic-lupus-erithematosus.html
http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I.dkk. (2009). Buku Ajar Penyakit Dalam. Ed 5.Jilid III. Jakarta :
Interna Publishing
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I.dkk. (2009). Buku Ajar Penyakit Dalam. Ed 5.Jilid I . Jakarta :
Interna Publishing