Anda di halaman 1dari 5

Pencegahan[sunting | sunting sumber]

Tindakan pencegahan pembentukan batu tergantung kepada komposisi batu yang ditemukan
pada penderita. Batu tersebut dianalisis dan dilakukan pengukuran kadar bahan yang bisa
menyebabkan terjadinya batu di dalam air kemih.[1]
Batu kalsium[sunting | sunting sumber]
Sebagian besar penderita batu kalsium mengalami hiperkalsiuria, dimana kadar kalsium di
dalam air kemih sangat tinggi. Obat diuretik thiazid(misalnya trichlormetazid) akan mengurangi
pembentukan batu yang baru.
1. Dianjurkan untuk minum banyak air putih (8-10 gelas/hari).
2. Diet rendah kalsium dan mengonsumsi natrium selulosa fosfat.
Untuk meningkatkan kadar sitrat (zat penghambat pembentukan batu kalsium) di dalam air
kemih, diberikan kalium sitrat. Kadar oksalat yang tinggi dalam air kemih, yang menyokong
terbentuknya batu kalsium, merupakan akibat dari mengonsumsi makanan yang kaya oksalat
(misalnya bayam, coklat, kacang-kacangan, merica dan teh). Oleh karena itu sebaiknya asupan
makanan tersebut dikurangi. Kadang batu kalsium terbentuk akibat penyakit lain,
seperti hiperparatiroidisme, sarkoidosis, keracunan vitamin D, asidosis tubulus
renalis atau kanker. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan pengobatan terhadap penyakit-penyakit
tersebut.
Batu asam urat[sunting | sunting sumber]
Dianjurkan untuk mengurangi asupan daging, ikan dan unggas karena makanan-makanan
tersebut menyebabkan meningkatnya kadar asam urat di dalam air kemih. Untuk mengurangi
pembentukan asam urat bisa diberikan allopurinol. Batu asam urat terbentuk jika keasaman air
kemih bertambah, karena itu untuk menciptakan air kemih yang alkalis (basa), bisa diberikan
kalium sitrat. Selain itu juga sangat dianjurkan untuk banyak minum air putih.

Pathophysiology of Nephrolithiasis
Any factor that reduces urinary flow or causes obstruction, which results in
urinary stasis or reduces urine volume through dehydration and inadequate fluid
intake, increases the risk of developing kidney stones. Low urinary flow is the
most common abnormality, and most important factor to correct with kidney
stones. It is important for health practitioners to concentrate on interventions for
correcting low urinary volume in an effort to prevent recurrent stone disease
(Munver & Preminger, 2001; Pak, Sakhaee, Crowther, & Brinkley, 1980).

Contributing Factors of Nephrolithiasis


Sex. Males tend to have a three times higher incidence of kidney stones than
females. Women typically excrete more citrate and less calcium than men, which

may partially explain the higher incidence of stone disease in men (National
Institutes of Health [NIH], 1998-2005).
Ethnic Background. Stones are rare in Native Americans, Africans, American
Blacks, and Israelis (Menon & Resnick, 2002).
Family History. Patients with a family history of stone formation may produce
excess amounts of a mucoprotein in the kidney or bladder allowing crystallites to
be deposited and trapped forming calculi or stones. Twenty-five percent of stoneformers have a family history of urolithiasis. Familial etiologies include absorptive
hypercalciuria, cystinuria, renal tubular acidosis, and primary hyperoxaluria
(Munver & Preminger, 2001).
Medical History. Past medical history may provide vital information about the
underlying etiology of a stone's formation (see Table 1 ). A positive medical
history of skeletal fracture(s) and peptic ulcer disease suggests a diagnosis of
primary hyperparathyroidism. Intestinal disease, which may include chronic
diarrheal states, ileal disease, or prior intestinal resection, may be a
predisposition to enteric hyperoxaluria or hypocitraturia. This may result in
calcium oxalate nephrolithiasis because of dehydration and chemical imbalances
(see Figure 1). Irritable bowel disease or intestinal surgery may prevent the
normal absorption of fat from the intestines and alter the manner in which the
intestines process calcium or oxalate. This may also lead to calculi or stone
formation. Patients with gout may form either uric acid stones (see Figure 2) or
calcium oxalate stones. Patients with a history of urinary tract infections (UTIs)
may be prone to infection nephrolithiasis caused by urea-splitting bacteria
(Munver & Preminger, 2001). Cystinuria is a homozygous recessive disease
leading to stone formation. Renal tubular acidosis is a familial disorder that
causes kidney stones in most patients who have this disorder.

(Enlarge Image)

Figure 1.
Calcium Oxalate Stone

(Enlarge Image)

Figure 2.
Uric Acid Stone

Dietary Habits. Fluid restriction or dehydration may cause kidney stone


formation. Dietary intake that is high in sodium, oxalate, fat, protein, sugar,
unrefined carbohydrates, and ascorbic acid (vitamin C) has been linked to stone
formation. Low intake of citrus fruits can result in hypocitraturia, which may
increase an individual's risk for developing stones.
Environmental Factors. Fluid intake consisting of drinking water high in
minerals may contribute to kidney stone development. Another contributing factor
may be related to geographical variables such as tropical climates (NIH, 19982005). Stone formation is greater in mountainous, high-desert areas that are
found in the United States, British Isles, Scandinavia, Mediterranean, Northern
India, Pakistan, Northern Australia, Central Europe, Malayan Peninsula, and
China (Menon & Resnick, 2002). Affluent societies have a higher rate of small
upper tract stones whereas large struvite (infection) stones occur more commonly
in developing countries (see Figure 3). Bladder stones are more common in
underserved countries and are likely related to dietary habits and malnutrition
(Menon & Resnick, 2002).

(Enlarge Image)

Figure 3.
Struvite Stone

Medications. Medications such as ephedrine, guaifenesin, thiazide, indinavir,


and allopurinol may be contributory factors in the development of calculi
(see Drug-Induced Nephrolithiasis).
Occupations. Occupations in which fluid intake is limited or restricted or those
associated with fluid loss may be at greater risk for stone development as a result
of decreased urinary volume.

Ureterolitotomi
Ureterolitotomi adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk
mengambil batu ureter baik ureter proksimal (atas) ataupun distal
(bawah).

Operasi ini dengan menggunakan sayatan di kulit. Letak irisan sangat


bergantung letak batu. Untuk batu di ureter atas, irisan berada di
pinggang berbentuk garis lurus yang oblik. Untuk batu di ureter
bawah maka irisan di perut bawah garis lurus yang sejajar tubuh.
Panjang irisan sangat bergantung gemuk tidaknya pasien. Semakin
gemuk maka irisan makin panjang. Semakin kecil batu irisan juga
makin panjang. Seandainya batu tersebut bergerak gerak maka sangat
mungkin irisan lebih lebar.

Tehnik operasi ini saat ini saat ini mulai ditinggalkan. Hal ini karena
irisan yang panjang akan mengakibatkan nyeri dan secara kosmetik
tidak bagus. Tetapi tehnik operasi ini masih digunakan untuk batu
yang besar (lebih dari 1cm), terdapat kelainan ureter yang perlu
dikoreksi dan batu ureter dengan ureter yang melebar di atasnya.
Lama operasi sekitar 1 jam jika tidak terdapat penyulit selama operasi.
Setelah dilakukan operasi akan dipasang drain (selang pengalir darah
kotor). Biasanya selang ini dipertahankan selama 2 hari, tetapi jika
produksi cairan yang melalui selang tersebut masih banyak (lebih dari
20 cc) akan tetap dipertahankan. Selama selang tersebut terpasang
maka antibiotic diberikan dengan suntikan. Setelah drain dicabut,
antibiotic dan analgetik masih dilanjutkan hingga 7 hari.
Jika selama operasi didapatkan batu yang sangat melekat pada
permukaan ureter atau ureter yang sangat kecil atau ureter yang
berkelok-kelok maka sering dipasang DJ stent. (keterangan menenai
DJ stent silahkan dibaca di artikel DJ stent). Perlu diingat, seandainya
dipasang DJstent harus dilepas sebelum 2 bulan, seandainya terlalu

lama dikhawatirkan akan muncul batu sehingga DJ stent tak dapat


dilepas. Untuk mencabut DJ stent dapat dilakukan dengan rawat
jalan.

Anda mungkin juga menyukai