Anda di halaman 1dari 28

PEMBELAJARAN PENGARUH NASIONALISME AMERIKA SERIKAT

TERHADAP ARSITEKTUR KEUANGAN INTERNASIONAL:


RENUNGAN TERHADAP SISTEM KEUANGAN BRETTON WOODS,
SMITHSONIAN INSTITUTE, DAN KONSENSUS WASHINGTON

Disusun sebagai makalah akhir mata kuliah Hubungan Luar Negeri dan Keamanan AS

Disusun oleh:

Teguh Prayogo Sudarmanto (0706291432)

Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

2009

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan internasional memang sudah harus terjadi dan tidak dapat dihindari. Salah satu
elemen penting dari hubungan internasional adalah konsep untuk merumuskan bagaimana
hubungan internasional ini dikelola. Salah satu elemen penting dalam penentuan konsep itu
adalah faktor identitas kebangsaan. Akibat adanya nasionalisme misalnya, ketika menunjuk
seseorang yang dilahirkan di Amerika Serikat (AS), mempunyai kedua orang tua yang juga
sama-sama orang AS, dibesarkan di AS, yang kemudian secara legal dilekatkan identitas
kebangsaan kepadanya semenjak dia menjadi seorang yang dianggap telah cukup umur, orang
tersebut kemudian tanpa adanya pertentangan identitas yang ada di kemudian hari, anugerah
sebagai seorang berkebangsaan AS diberikan kepadanya.
Namun, sudah menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan ketika di masa globalisasi ini,
ketika semua akses informasi dapat diperoleh dengan mudah dan cepat, setidaknya, terpikirkan
sebuah kalimat: pentingkah identitas kebangsaan itu? Terutama ketika mengingat bahwa
setidaknya pertanyaan itu ditujukan untuk mencari relevansi muara kepentingan yang secara
terbaik adalah cocok untuknya. Misalnya saja, ketika dia diberikan identitas kewarganegaraan
AS, namun kemudian identitas tersebut menjadi dipertanyakan karena kebijakan AS sebagai
sebuah negara yang mana suara dia diwakilkan dalam pemerintahan ternyata tidak sesuai
dengan keinginannya. Masih patutkan identitas yang diberikan ini diterima begitu saja tanpa ada
penjelasan mengapa dia harus tetap memakai identitas tersebut ketika kepentingan dia justru
tidak dapat disalurkan melalui identitas tersebut.
Adalah pertanyaan yang masih sangat besar dan semakin besar untuk ditanyakan di masa
globalisasi ini tentang pembentukan negara bangsa. Khususnya dalam hubungan internasional.
Karena ketika manusia yang berlainan identitas kebangsaan kemudian berhubungan dan
membangun relasi yang kemudian dari relasi tersebut mengacaukan batas-batas imajiner yang
dibuat oleh negara. Lihat saja, ketika kini dunia sedang untuk mencapai kata „sudah‟ terkoneksi,
berbagai tanda itu kemudian muncul. Ketika setiap negara kini saling tergantung satu sama lain,
ketika hasrat manusia untuk mengembangkan kehidupannya tidak lagi terkotak-kotak di dalam

2
batas negara, terutama dalam melihat aliran modal yang bahkan tidak dapat dikontrol lagi oleh
negara, ketika juga melihat kekuatan perasaan manusia untuk saling membantu melalui kegiatan
sosial yang juga sudah tidak dapat dikontrol lagi oleh manusia, masihkah pertanyaan tersebut
tidak boleh dan semakin tidak boleh untuk dikemukakan?
B. Permasalahan
Makalah ini akan membahas pertanyaan “apa yang dapat dipetik dari pembelajaran akan
pembentukan identitas kebangsaan Amerika Serikat (AS) dalam menentukan kebijakan luar
negerinya mengelola arsitektur keuangan global: pada era Bretton Woods, pada era Smithsonian
Institution, dan pada era Konsensus Washington”. Pembelajaran-pembelajaran ini kemudian di
akhir akan disimpulkan dalam bentuk renungan.
C. Kerangka Konsep
Zygmunt Bauman berusaha menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam salah satu
artikel yang dibuatnya.1 Identitas digunakan manusia adalah tidak terlepas dari usaha-usaha
manusia untuk misalnya: keadilan dan persamaan dibuat untuk menghadirkan adanya
pengenalan terhadap diri seseorang, kebudayaan juga ada karena manusia mempunyai
perbedaan-perbedaan baik secara individu maupun kelompok dan mengenai bagaimana
perbedaan itu dikelola, dan untuk mencapainya diperlukan semacam proses politik yang
bertujuan untuk memisahkan identitas dengan cara mengkonstruksi identitas melalui negosiasi
dan penilaian. Jika ini dimengerti maka identitas bukanlah hanya sesuatu yang diberikan, namun
juga merupakan sesuatu yang dapat diperjuangkan. Ini bukanlah merupakan perjuangan
terhadap keindividuan, namun terlebih daripada itu, ini merupakan penggambaran bagaimana
manusia dapat hidup secara sosial. Ketika bertemu dengan orang lain, penghargaan terhadap
identitas tentunya adalah tersingkap dalam penelusuran seseorang yang belum dikenal dengan
menanyakan, kamu siapa yang terlontar tentunya setelah penanya memahami dirinya, dan
kemudian akibat adanya kepercayaan di antara keduanya bahwa kemudian mereka membangun
ulang penafsiran identitas terhadap diantara diri mereka dan diri mereka sendiri berdasarkan
pengalaman itu. Namun sayangnya, semenjak jaman pencerahan di Barat hingga sekarang, tidak
semua orang mengerti proses ini.

1
Zygmunt Bauman, “Identity in the Globalizing World”, dalam Social Anthropology (2001), European Association
of Social Anthropologies, hlm. 121-129.
3
Identitas adalah dibentuk, dan setiap manusia dapat membentuk identitas yang bersifat
pribadi ini secara bersama-sama dengan manusia lain. Identitas kebangsaan dapat didefinisikan
ulang mengenai bagaimana seharusnya identitas itu memberikan manfaat dengan mengajukan
satu pertanyaan: apa untungnya bagi saya untuk memilih identitas kebangsaan yang diberikan
ini? Benedict Anderson dalam bukunya Komunitas-Komunitas Terbayang mengatakan bahwa
bahasa-bahasa sakral yang diciptakan membentuk komunitas-komunitas terbayang akan lambat
laun memudar kesakralannya seiring dengan ketidakmampuan bahasa tersebut yang merupakan
akar-akar budaya untuk menjawab permasalahan yang misalnya hanya dibahas di naskah suci
saja.2 Apa yang dibahas oleh Anderson ternyata juga menjadi pertanyaan bagi Bauman
mengenai the problem of identity.3 Dilanjutkan, bahwa kemudian untuk membuat setiap orang
sadar akan keadaan dimana identitas kebangsaan yang dilekatkan kepadanya adalah tidak murni
given, tetapi juga ada proses pembentukan yang mana mereka sebagai bagian dari pemilik
identitas tersebut juga harus membangun identitas tersebut agar sesuai dengan apa yang
diinginkan adalah masih sulit. Dunia penuh diisi dengan ketidakadilan. Jaonna Depledge juga
mengatakan kesulitan ini pada proses di dalam negosiasi dimana bisa saja manusia yang terlibat
dalam negosiasi tidak mudah untuk melupakan kompleksitas hubungan di antara mereka dan
ketidaksamaan kekuasaan yang dimiliki yang cenderung kemudian membuat proses negosiasi
tersebut terhambat untuk dapat mencapai hasil optimumnya.4
Sebelum memperjelas konsep ini dengan rangkaian pertanyaan dan jawaban akan identitas
kebangsaan, penulis akan memaparkan beberapa definisi dan pembahasan singkat tentang apa
itu negara, apa itu bangsa, dan apa itu nasionalisme yang dibahas oleh Anthony D. Smith,
Stephen Ryan, dan Benjamin D. Muller dalam salah satu artikel yang mereka buat. 5 (1)
Terminologi bangsa (nation) tidak dapat dilepaskan dari identitas bangsa (national identity).
Nation dan national identity juga tentunya harus dipisahkan secara analitis dari istilah negara
(state) meskipun banyak terdapat istilah yang membuyarkan seperti state-nations dengan contoh

2
Benedict Anderson, “Akar-Akar Budaya”, dalam Benedict Anderson, Komunitas-Komunitas Terbayang,
(Yogyakarta: INSIST, 2008), hlm. 21.
3
Zygmunt Bauman, “Identity in the Globalizing World”, op. cit., hlm. 125.
4
Joanna Depledge, the Organization of Global Negotiations: Constructing the Climate Change Regime, (London:
Earthscan, 2005), hlm. 6.
5
Anthony D. Smith, “Nations in Decline? The Erosion and Persistence of Modern National Identities”, dalam
Mitchel Young dan, Eric Zuelol, dan Andreas Sturm (ed.), Nationalism in A Global Era: The Persistence of
Nations, (New York: Routledge, 2007), hlm. 17-18.
4
Britania Raya. Pembedaan ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas penggunaan istilah seperti
pada kasus menghilangnya konsensi negara bukan mengindikasikan bahwa di lain sisi bangsa
yang mendiami negara tersebut juga ikut tergerus. Begitu juga dengan adanya pertanyaan
apakah negara turut terlibat dalam menggerus keberadaan bangsa (?). (2) Terminologi nation
dan national identity juga harus dibedakan dari nationalism karena istilah nationalism sangat
dekat dengan ideologi dan pergerakan atau pergerakan ideologis. Juga harus dibedakan dari
national sentiments yang tidak berkaitan dengan ideologi maupun politically organised. Kedua
istilah ini tidak saling mempengaruhi layaknya pada contoh penjelasan pertama. Namun yang
patut ditekankan, nasionalisme dapat mengakibatkan penggerusan keberadaan nations. (3)
Istilah nation dan national identity juga walaupun hampir sama, patut dibedakan
penggunaannya. Nation digunakan sebagai bentuk kumpulan dari manusia yang memiliki dan
membagi sistem yang dimiliki dan dibagi bersama seperti mitos, simbol, nilai dan kenangan,
peraturan, hukum bersama, adat, dsb. Sedangkan national identity adalah sesuatu (perasaan)
yang muncul akibat adanya kepemilikkan bersama termasuk karena adanya proses reproduksi,
reinterpretasi, dan transmisi bersama pada simbol, nilai, kenangan, mitos, tradisi, warisan, dsb.,
yang kemudian menjadi identitas yang melekat pada pemiliknya. Baik nation maupun national
identity dalam level yang lebih konkrit dapat diartikan sebagai sesuatu yang intersubjektif
terhadap kesadaran komunal yang bersifat objektif. Definisi ini berkembang secara
berkelanjutan setiap saat dalam dua level yaitu sebagai sesuatu yang diresapi, dan komunitas
yang powerful bagi anggota sehingga memberikan dampak.
(4) Nasionalisme dalam tatanan ideal merupakan pergerakan ideologis untuk memperoleh
dan mempertahankan otoritas atau kekuasaan yang kemudian di suatu saat dapat berpotensi
menjadi nation. Namun dalam keadaan riilnya, nasionalisme juga merupakan fenomena historis
yang dihasilkan dari proses kultural dan pembedaan sosial yang bisa diambil dari banyak bentuk
baik antara maupun sepanjang komunitas dan kebudayaan. (5) Pembentukkan dari nations
berasal dari perkembangan dari beberapa proses sosial dan dari beberapa sumber kejadian serta
dari kombinasi keduanya yang dapat digunakan untuk mempelajari secara ideal bagaimana
nations terbentuk. Tentunya, ketika kembali dituangkan dalam praktik, akan banyak ditemukan
faktor-faktor baru yang mempengaruhi bagaimana proses sosial dan kejadian sumber ini dapat
terjadi untuk kembali merumuskan proses pembentukan itu.

5
Stephen Ryan sendiri mengemukakan perbedaan tersebut ketika membahas tentang
nasionalisme dan konflik etnis.6 Bangsa atau etnis muncul karena adanya perasaan yang sama
dimana bagi perasanya akan merasakan sesuatu yang dapat dibagi bersama seperti kepercayaan,
pemikiran, solidaritas, yang berada dalam suatu wilayah. Sedangkan nasionalisme adalah ide
modern yang mengubah isu ethnisitas atau kebangsaan menjadi kekuatan politik yang mana
suatu nasionalisme dapat menjadi dominan dalam kegiatan politik di suatu negara. Ketika suatu
bangsa memilih untuk membangun negara, diperlukan semacam gerakan pembangkitan yang
dilakukan secara politik dalam artian kegiatan ini bertujuan untuk mempengaruhi semua pihak
untuk sadar mengenai keberadaan bangsa tersebut. Sadar akan bangsa yang dapat mengelola
dirinya sendiri melalui pembentukan negara. Kegiatan politik tersebut mungkin dapat dipandang
sebagai kegiatan pemanfaatan identitas kebangsaan atau juga mungkin identitas kebangsaan ini
berevolusi dengan cepat untuk membentuk entitas politik identitas ini ketika dipertemukan
dengan identitas lain mendapatkan pengakuan sebagaimana yang dibahas oleh Bauman
mengenai kebutuhan manusia akan identitas—untuk membedakan siapa kamu, siapa saya, dan
bagaimana kita berinteraksi. Disadari atau tidak, penciptaan entitas politik negara ini pada
akhirnya akan mengatur bagaimana manusia-manusia yang ada di dalamnya menafsirkan
identitas kebangsaan yang melekat pada entitas politik tersebut yang tidak lain adalah untuk
mendukung keterusberlanjutannya entitas tersebut untuk ada. Oleh karenanya kemudian dikenal
terutama oleh kalangan pemikir Barat ketika melihat fenomena bangkitnya negara-negara dunia
ketiga adalah tidak lain karena mereka hendak memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi
mereka untuk bebas dari penjajahan dan mengelola diri mereka sendiri, walaupun kemudian
pada akhirnya negara-negara dunia ketiga haruslah lebih belajar dengan giat bagaimana
mewujudkan apa yang mereka ingin dapatkan dari negara yang sebelumnya menjajah mereka
yang kini menjadi negara yang lebih maju. Adalah kemudian Benjamin J. Muller yang
kemudian menekankan pentingnya untuk memanajemen identitas kebangsaan yang baik dalam
pendirian negara.7 Penulis merumuskan alur konsep tentang penjelasan manajemen identitas di
grafik dalam lampiran.

6
Stephen Ryan, “Nationalism and Ethnic Conflict”, dalam Brian White et.al (eds.), hlm. 134.
7
Benjamin J. Muller, “(Dis)Qualified Bodies: Securitization, Citizenship, and ‘Identity Management’”, dalam
“Citizenship Studies” Vol. 8 No. 3, September 2004, (Diunduh oleh Monash University, Carfax Publishing), hlm.
280.
6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Keuangan Bretton Woods dan Nasionalisme Amerika Serikat (AS)


Arsitektur keuangan global dirumuskan secara bersama dalam sebuah konferensi yang
diselenggarakan oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II yang diinisasi oleh Amerika
Serikat (AS) di Bretton Woods tahun 1944. Setiap negara tidak dapat lagi melakukan isolasi diri
karena pada kenyataannya hubungan internasional akan semakin terjalin secara terbuka.8
Selama masih berada di titik awal untuk memulai kehidupan baru yang lebih baik, perundingan
permasalahan yang diasumsikan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya dua perang besar
dunia adalah sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan. Dunia tidak dapat lagi melihat
ketidakadilan dapat memicu agresivitas dari negara-negara seperti Jerman, Italia, dan Jepang.9
Perundingan itu menghasilkan tiga institusi besar kerjasama keuangan dunia yang kesemuanya
dipimpin AS, the International Monetary Fund (IMF), the International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).10
AS memimpin karena banyak hal yang mana secara rasional dapat dilihat bahwa AS
menjadi satu-satunya negara besar yang „tersisa‟ dalam keadaan baik setelah perang. Cadangan
emas yang dimilikinya sekitar 80% dari cadangan emas yang dimiliki dunia.11 AS bahkan masih
mampu mengembangkan teknologi bom atom yang membuat Jepang menyerah kalah di tengah
keadaan yang berbanding terbalik yang dialami oleh sekutu dan musuhnya ketika perang.
Dengan kemampuan inilah kemudian AS merasa yakin untuk memimpin pengelolaan keuangan
dunia secara bersama-sama yang amat riskan secara nasionalisme sempit. Riskan karena
kemudian Pemerintah AS harus berani menjamin keberlangsungan kehidupan ekonominya di
tengah-tengah kontrol yang semakin dibebaskan kepada institusi kerjasama internasional. AS

8
Ben Thirkell-White, The IMF and the Politics of Financial Globalization, (Hamsphire: MacMillan Distribution
Ltd., 2005), hlm. 20.
9
Dikatakan dalam perundingan oleh Menteri Keuangan AS, Henry Morgenthau Jr.; dan Menteri Luar Negeri AS,
Cordell Hull; dalam Christopher Herrick dan Patricia B. McRae, “the IMF and International Monetary
Management”, dalam Christopher Herrick dan Patricia B. McRae, Issues in America Foreign Policy, (New York:
Longman, 2002), hlm. 446.
10
Gerald M. Meier, “The Bretton Woods Agreement – Twenty Five Years After”, (Stanford Law Review, Vol. 23,
No. 2, 1971), diakses dari http://www.jstor.org/stable/1227663, hlm. 236.
11
Addison Wiggin, “Bretton Woods”, diakses dari http://www.gold-eagle.com/gold_digest_05/wiggin120106.html,
diakses pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 10.02.
7
dikhawatirkan akan gagal mengamankan keadaan ekonominya bila dibandingkan ketika jaman
isolasi dulu di pertengahan abad ke-19.
Jawaban yang memukau dari keriskanan ini terletak pada kepemimpinannya di
perundingan Bretton Woods. Pada saat itu dengan tegas wakil AS, Henry Dexter White menolak
usul dari wakil Inggris, John Maynard Keynes, untuk menciptakan sistem keuangan bersama
termasuk penggunaan mata uang tunggal bersama yang disebut sebagai bancor jika memang
stabilitas tujuan dari perundingan itu.12 Jika dianalisis, penolakan White amat berdasar pada
kerangka keinginan AS untuk tetap mengkiblatkan pengambilan keputusan utama sistem
keuangan dunia pada AS. Dua alasan penopang bagi AS adalah: (a) dunia belum siap
meninggalkan kedaulatan terhadap kegiatan ekonominya masing-masing, dan (b) dunia sendiri
masih harus tetap memfokuskan pengelolaan pada sistem emas.13 Ini akan lebih terlihat dalam
argumen dari White yang menyatakan bahwa yang diperjuangkan bukanlah perkembangan
ekonomi dunia, melainkan bagaimana menciptakan kestabilan harga (sistem kurs) untuk
menghindarkan diri dari perang—menunjukkan keinginan untuk mempertahankan superioritas
negara melalui pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal (bukan karena bancor buruk, bahkan
dianggap ide yang baik14).15 Hasil keputusan selanjutnya adalah menggunakan mata uang Dollar
AS sebagai mata uang dunia karena emas dimiliki oleh AS dalam jumlah yang besar. Transfer
emas ke mata uang selain ke mata uang pemilik emas terbesar dikhawatirkan akan menggangu
stabilitas keuangan dunia. Jika dianalisis, sebenarnya negara lain mengemis uang kepada AS
untuk membangun negaranya kembali, dan AS tentunya dengan senang hati membantu namun
harus sesuai dengan prasyarat yang diinginkan.
Mekanismenya adalah melalui sirkulas pendanaan global melalui dua institusi, IMF
digunakan dalam jangka pendek dan IBRD dalam jangka panjang. Masalah perdagangan
menjadi isu penting karena perdagangan menjadi bangunan dari sistem keuangan global itu
sendiri. Perdagangan amat terkait dengan kegiatan ekspor dan impor yang terjadi di antara
negara-negara dunia. Inilah prasyarat politis AS yang dirumuskan bersama dengan dunia bahwa
kemudian menurut penulis, keberadaan IMF dan IBRD bukanlah diciptakan karena kondisi

12
Addison Wiggins, “Bretton Woods”, ibid.
13
John H. Williams, “International Monetary Plans: After Bretton Woods”, (Foreign Affairs, Vol. 23, No. 1, 1944),
diakses dari http://www.jstor.org/stable/20029871, hlm. 43.
14
Ibid., hlm. 41-42.
15
Addison Wiggins, “Bretton Woods”, op. cit.
8
ekonomi, namun lebih disebabkan pada kondisi politik. AS yang memiliki dana besar membantu
negara lain dengan menyuntikan dana ke dua badan ini. Dengan demikian, AS selain membantu
negara lain juga semakin menambah kuasa kepada kedua badan ini karena bekerjanya kedua
badan ini akan ditentukan oleh negara yang memiliki sumbangan terbesar. Patut diingat, IMF
dan IBRD bukanlah bank sentral yang pengelolaannya bergantung untuk menciptakan stabilitas,
namun dilandasi kemauan politik negara penyumbang dana ke badan tersebut. Padahal,
sebelumnya, Poundsterling Inggris-lah yang digunakan sebagai mata uang global, yang
kemudian dikarenakan kesepakatan yang muncul, harus diganti dengan Dollar AS.16 Proses
penggantiannya sendiri bahkan merugikan Inggris karena Inggris yang sebelumnya merupakan
negara superpower harus rela menjadi pasien IMF untuk beberapa kali.17
AS semakin gencar memberikan bantuan secara politik ke negara-negara sekutunya untuk
menghindarkan negara-negara tersebut dari komunisme Uni Soviet (US) yang membahayakan
falsafah hidup yang dianut AS, hak kepemilikan dan pasar. Eropa Barat dan Jepang terus
diberikan bantuan melalui Kerangka Marshall yang disalurkan melalui IMF. Kebijakan yang
berbau politik ini mengakibat tiga hal; (a) dengan mengalirnya Dollar AS ke Eropa Barat dan
Jepang, jumlah emas yang dimiliki AS menurut drastis, (b) akibatnya, negara di Eropa Barat dan
Jepang berkembang menjadi negara industri baru yang menjadi saingan bagi industri AS, (c)
pasar AS menjadi serbuan produk dari Eropa Barat dan Jepang yang kemudian menyebabkan
neraca perdagangan AS menjadi defisit, dan (d) defisit lebih menyebabkan Dollar AS semakin
lari kencang keluar dari AS. Utang AS menjadi dengan cepat menumpuk. Industri dalam
negerinya juga menjadi semakin babak belur. Namun, Eropa Barat dan Jepang menjadi terhindar
dari komunisme. Diperparah, AS harus kembali berutang untuk membiayai perang proxy-nya
dengan US di semenanjung Korea dan Vietnam.18 Dengan semakin parahnya defisit yang
dimiliki oleh AS, yang meningkat dari sesaat setelah Perang Dunia II sekitar 43 milyar Dollar
AS menjadi di tahun 1970 sekitar 200 milyar Dollar AS19—terutama diakibatkan oleh Perang
Vietnam yang jika dikalkulasikan dengan nilai Dollar AS kini yang menghabiskan hingga 500

16
Cyrillus Harinowo, “Membaca Tanda-Tanda Zaman: Dollar AS vs Euro”, Majalah Tempo, diakses dari
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/06/09/KL/mbm.20030609.KL88240.id.html.
17
Ibid.
18
Charles Michael Aho, "National Debt", dalam Microsoft® Encarta® 2009 [DVD], (Redmond, WA: Microsoft
Corporation, 2008).
19
Bill Bonner dan Addison Wiggin, Empire of Debt: The Rise of an Epic Financial Crises, (New Jersey: John
Wiley and Sons, Inc., 2006), hlm. 181-187.
9
milyar Dollar AS20—ekonomi AS mendapatkan tekanan luar biasa. Ini diperparah dengan
diperdagangkannya emas dengan harga yang lebih murah daripada standar emas yang
diciptakan sebesar satu troy ons emas = 35 Dollar AS di pasar gelap yang jika dilakukan dalam
jumlah masif tentunya akan semakin sangat membahayakan perekonomian AS.21 Akhirnya pada
tanggal 15 Agustus 1971, di bawah Presiden Nixon, AS mengguncangkan dunia.22 AS harus rela
melepas patokan tetap pada mata uangnya pada emas.23 Setidaknya, apa yang terjadi di AS di
tahun 1960-an adalah seperti apa yang terjadi di Eropa Barat dan Jepang di tahun 1950-an
namun dalam skala yang terlampau besar dan dalam keadaan AS belum dibantu oleh siapapun
karena ekonomi negara-negara yang menjadi sekutunya masih dalam keadaan bangkit.24
Analisis Pertama. Untuk memperjelas penjelasan pada bagian ini, dapat melihat grafik
pada lampiran. Pada masa ini dunia dipenuhi oleh keadaan bahwa pembangunan terhadap
negara-negara yang terkena dampak perang haruslah dilakukan. Dunia juga mulai pada tahap
awal mengenai pertarungan dua ideologi besar antara Barat dan Timur. Pertanyaan identitas
pada saat itu adalah AS sebagai sebuah negara yang besar mampu menunjukan
kepemimpinannya dalam menangani dua permasalahan tersebut. AS dengan kebanggaannya
merumuskan strategi agar superioritasnya tetap dijaga dengan membuat tiga institusi keuangan
dunia di bawah kepemimpinannya. Keadaan ini mampu memaksa setiap elemen banga untuk
ikut terlibat dalam keadaan ini. Pada akibatnya, banyak sekali emas AS yang terdapat dalam
bentuk Dollar AS disalurkan ke luar AS yang berakibat kepada semakin defisitnya neraca
pembayaran pemerintah. Walaupun pada akhirnya hal ini merupakan kesepakatan bersama di
antara setiap elemen bangsa di AS untuk menggunakan cadangan devisanya membantu
perkembangan pembangunan di Eropa Barat dan Jepang serta dalam usahanya untuk
menanggulangi komunisme, lambat laun, setiap elemen bangsa di AS merasa bahwa perjuangan
untuk membawakan identitas seperti ini tidaklah lagi sesuai. Eropa Barat dan Jepang yang
enggan untuk terus mengikuti perkembangan seperti ini pada akhirnya juga tidak mau
membantu AS terlebih karena terjadi pergolakan dan pembangunan di kedua wilayah yang
belum sempurna. Bagi Pemerintah AS sendiri, tentunya keadaan ini akan mempersulit mereka

20
Ibid., hlm. 180.
21
Cyrillus Harinowo, “Membaca Tanda-Tanda Zaman: Dollar AS vs Euro”, op. cit.
22
Bill Bonner dan Addison Wiggin, Empire of Debt: The Rise of an Epic Financial Crises, hlm. 177.
23
Ibid.
24
Ben Thirkell-White, The IMF and the Politics of Financial Globalization, op. cit., hlm. 51.
10
untuk mempolitisasi identitas yang telah mereka bangun yang dapat mengancam stabilitas
kegiatan ekonomi di AS.
Oleh karenanya, kemudian Pemerintah AS memaksa semua bagian yang dipolitisasi
identitasnya untuk mendukung apa yang diinginkan oleh pemerintah AS tunduk adalah dengan
melepaskan kontrol mereka terhadap Dollar AS. Mereka merasa bahwa ini bagian dari
kedaulatan mereka yang terganggu dan baik seluruh elemen yang kemudian setuju untuk
mewujudkan keadaan perekonomian dunia yang sesuai dengan apa yang dibuat di awal haruslah
bertanggungjawab terhadap keadaan ini. Keadaan ini tidak dapat ditanggung sendirian oleh AS
terutama pemerintah yang diwarisi tanggung jawab ini pada saat itu. Pada akhirnya, hal ini
memang mampu memaksa setiap elemen untuk kembali merumuskan yang terbaik kemudian.
B. Era Smithsonian Institution dan Nasionalisme Amerika Serikat (AS)
Inflasi yang ditimbulkan dalam mata uang Dollar AS yang sejak tahun 1971—dimana
patokan terhadap standar emas gagal untuk diterapkan—sudah menjadi terkenal sebagai
pegangan pengganti emas sesuai dengan keinginan dalam Perundingan Bretton Woods
dikhawatirkan akan merembet ke seluruh negara yang memegang Dollar AS. Kegiatan ekonomi
AS sendiri masih banyak mendapatkan permintaan dari Pemerintah AS terutama dalam usaha-
usaha untuk terus membendung penyebaran komunisme. Namun dari sisi penawaran,
Pemerintah AS tidak memiliki dana untuk mencukupi sisi permintaannya tersebut. Seharusnya
secara rasional Pemerintah AS tidak dapat terus mengikuti hasrat nafsunya untuk membiayai
kegiatan politiknya sementara di lain sisi Pemerintah AS tidak memiliki dana untuk
merealisasikannya. Untuk itulah kemudian AS menggunakan strategi memanfaatkan Dollar AS
yang telah digunakan di seluruh dunia dengan melepas Dollar AS ke arah float system. Dengan
demikian keberadaan utang AS akan dibantu negara lain yang menggunakan mata uangnya
sebagai simpanan cadangan devisanya dengan menularkan inflasi ke seluruh dunia dan menarik
banyak pinjaman melalui mekanisme kebijakan moneter bank sentral dengan perbandingan
tingkat suku bunga AS yang lebih menjanjikan dibandingkan tingkat suku bunga negara lain.
Negara-negara Eropa Barat dan Jepang yang memiliki banyak cadangan devisa dalam bentuk
Dollar AS pun terkena imbasnya.25

25
Mengenai imbas ini dapat dilihat dapal Michael Hudson, ibid., hlm. 336.
11
Sebelumnya, apa yang terjadi di dalam pembatalan terhadap kesepakatan Bretton Woods
mengenai patokan Dollar AS terhadap emas sudah diramalkan oleh AS dan sekutunya.26 AS pun
mengusulkan menggunakan Special Drawing Rights (SDR) yang diusung bersama oleh Dollar
AS, Poundsterling Inggris, Yen Jepang, dan Mark Jerman dengan mematok stabil terhadap nilai
kisaran tertentu terhadap emas.27 Strategi ini pada awalnya ditolak oleh Eropa Barat karena
Eropa Barat merasa sudah tidak tergantung lagi dengan bantuan AS sehingga tidak memiliki
kewajiban apapun untuk membantu urusan AS karena perang baik di Semenanjung Korea
maupun di wilayah Indocina, apalagi semenjak kesepakatan bersama GATT mengenai
penentuan bersama kegiatan ekspor dan impor di antara AS, Eropa Barat, dan Jepang yang
diadakan baru-baru saja pada saat itu telah merugikan Eropa Barat sendiri karena terpaksa
menekan produksi dalam negeri, yang bahkan pengangguran di Inggris meningkat menjadi lebih
dari sejuta orang.28 Perancis yang ingin membela AS pun disergap dari dalam negeri dengan
adanya demonstrasi mahasiswa yang melarang Perancis untuk terlibat lebih jauh dalam Perang
Vietnam. AS pun juga telah mencoba alternatif lainnya seperti membatasi jumlah impor tekstil
dari Jepang dan Cina namun gagal karena mendapat tentangan karena menghambat insentif
produksi industri dalam negeri mereka.29 Selain itu, dalam mekanisme SDR Akhirnya di tahun
1971, badai krisis datang menghantam dengan jatuhnya nilai mata uang Dollar AS yang
menyebabkan nilai riil mata uang yang berkontak dengan Dollar AS juga ikut tergerus. SDR pun
akhirnya disetujui oleh Eropa Barat dan Jepang untuk digunakan sebagai mekanisme
penggantian stabilitas nilai tukar Dollar AS terhadap emas sesuai yang dicitakan dalam Bretton
Woods.
Kemudian di Desember 1971 dicapailah kesepakatan the Smithsonian Institution (SI) yang
mengarahkan tingkah laku yang terjadi dalam neraca pembayaran sebagai salah satu keadaan
normal yang harus dijalani (willful policy) karena sudah semestinya dalam neraca pembayaran

26
Tanda-tanda mengenai kegagalan ini sudah terlihat ketika AS mengancam negara-negara yang memberikan
sumbangan bagi defisit dalam neraca pembayarannya untuk membantu AS mengurangi defisit ini karena sangat
berat bagi AS, dalam Michael Hudson, ibid., hlm. 328.
27
Menurut informasi dari IMF, nilai SDR dipatok dalam harga satu SDR sama dengan 0,888671 gram emas,
diakses dari http://www.imf.org/external/np/exr/facts/sdr.htm.
28
Michael Hudson, Super Imperialism: the Origins and Fundamentals of U.S. World Dominance, op. cit., hlm.
345-346.
29
Michael Hudson, Super Imperialism: the Origins and Fundamentals of U.S. World Dominance, op. cit., hlm. 329.
12
terdapat negara yang mengalami surplus dan negara yang mengalami defisit.30 Perhatian AS
sangat tertuju kepada mekanisme bagaimana mengarahkan defisit yang dimilikinya sebagai
tindak lanjut dari SDR sebagai tindak lanjut dari perubahan sistem Bretton Woods tidak
menghancurkan Dollar AS sendiri dan mata uang lainnya yang tergabung dalam SDR akibat
adanya defisit tersebut.31 Oleh karenanya, AS memilih untuk tetap menggunakan float system
untuk terus dapat menghidupkan strategi SI ini.
Setidaknya Haberler mengemukakan tiga prasyarat untuk mempertahankan strategi SI ini;
(a) keberadaan inflasi, (b) keberadaan float system, dan (c) adanya akumulasi stok Dollar AS.32
Artinya adalah, strategi ini akan menghasilkan suatu kondisi defisit tanpa henti dimana ada
bagian dunia yang terus berproduksi (surplus) dan ada bagian dunia yang berkonsumsi (defisit)
dimana negara surplus mendapatkan cadangan devisa dan negara defisit mendapatkan utang
yang tentunya defisit berlebih ini diarahkan untuk dibiayai dari surplusnya negara lain. Salah
satu mekanismenya adalah melalui penerbitan surat utang dari negara defisit yang dibeli oleh
negara surplus dengan margin kentungan berasal dari inflasi dan bunga.
Sistem ini akan bergerak tanpa henti, apalagi jika mengingat negara defisit dalam hal ini
adalah AS sebagai sumber asal dari Dollar AS yang sudah menjadi mata uang dominan yang
dipegang hampir di seluruh negara di dunia, yang kemudian jika disinggung untuk dilakukan
perubahan akan menghancurkan seluruh sistem yang telah di buat. 33 Apalagi, defisit neraca
pembayaran AS bukan disebabkan karena inkapabilitas industri AS yang tidak mampu
mencukup kebutuhan dalam negeri AS yang juga bukan disebabkan karena ketidakberdayaan
ekonomi AS, melainkan dikarenakan berasal dari program militer dalam rangka membendung
komunisme di seluruh dunia yang oleh karenanya menurut Daniel segala bentuk defisit yang
disebabkan karenanya harus ditanggung bersama oleh negara-negara di lingkaran AS seperti
Eropa Barat dan Jepang.34 Melalui strategi baru inilah ditemuinya titik temu diantara
kepentingan politik yang bermain di antara negara-negara besar di dunia dalam mengontrol
kegiatan moneter dunia. AS yang dahulu berstatus sebagai negara pemberi utang atau negara
kreditor kini harus berganti status menjadi negara penerima utang atau negara debitor dalam

30
Ibid., hlm. 348.
31
Ibid., hlm. 350-351.
32
Ibid., hlm. 350.
33
Ibid., hlm. 377.
34
Ibid., hlm. 355.
13
artian tidak mengindikasikan bahwa rakyat AS tidak bekerja karena industri dalam negeri AS
lumpuh. Namun ini lebih disebabkan karena adanya keinginan untuk mengarahkan proses
produksi dan konsumsi, proses surplus dan defisit ke arah perlindungan dari sistem tersebut
yang mendapatkan ancaman dari komunisme melalui pemanfaatan dana bagi militer.
Analisis Kedua. Dapat melihat penggambaran pada grafik di lampiran. Pemerintah AS
semakin gencar untuk memaksakan keadaan yang memang dianggap harus ditanggung bersama.
Inilah bagian kepentingan dunia yang harus diselamatkan. Setiap elemen bangsa di AS
menginginkan adanya keterbukaan pasar dan hak kepemilikan mereka dapat terjamin. Begitu
pula dengan yang ada di Eropa Barat dan Jepang. Kemakmuran memang tujuan mereka. Oleh
karenanya, kemudian melalui SI setiap negara setuju untuk menggunakan SDR dengan
menggunakan mata uang Dollar AS, Poundsterling Inggris, Deutchs Mark Jerman, dan Yen
Jepang. Dengan mekanisme seperti ini mereka dapat menopang keadaan surplus dan defisit
untuk mengarahkan keadaan kepada penciptaan tujuan bersama itu. Jika ada negara yang
surplus, pasti ada negara yang defisit. Surplus identik dengan Eropa Barat dan Jepang,
sedangkan AS mengalami defisit. Keadaan memang seimbang seperti itu. Tetapi, adalah
kemudian mengarahkan pencapaian pembangunan untuk kepentingan bersama yaitu melawan
komunisme. Melalui SDR, mereka mampu menciptakan keseimbangan sendiri yang walaupun
mereka dalam keadaan defisit maupun surplus, setidaknya karena kesepakatan, hal ini bukanlah
menjadi masalah karena ditujukan untuk mewujudkan hasil kesepakatan tersebut.
C. Konsensus Washington dan Nasionalisme Amerika Serikat (AS)
Istilah Konsensus Washington diciptakan oleh John Williamson untuk mengindikasikan
keberadaan negara-negara ekonomi baru di luar negara-negara yang selama ini mendominasi
seperti AS, Eropa Barat, dan Jepang. Pengeluaran istilah ini adalah untuk menunjukkan adanya
program (yang ditulis ke dalam sepuluh poin utama oleh Williamson) yang dilakukan oleh IMF
sebagai institusi dari Washington di tahun 1989 kepada negara-negara di Amerika Latin sebagai
persiapan untuk menjadi negara industri baru namun melahirkan perdebatan dalam
penerapannya.35 Namun, istilah dan poin ini sendiri tidak hanya digunakan untuk negara-negara
Amerika Latin, tetapi juga di seluruh wilayah „baru‟ yang selama ini belum banyak disentuh

35
John Williamson, “The Washington Consensus and Beyond”, (Economic and Political Weekly, Vol 38, No. 15),
diakses dari http://www.jstor.org/stable/4413431 hlm. 1475.
14
akibat Perang Dingin.36 Konsep yang kebanyakan berisikan nilai neoliberal ini mulai banyak
disebarkan di wilayah seperti Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia terutama ketika Uni Soviet
tidak lagi menjadi penghalang semenjak keruntuhan di tahun 1989.
Ada sepuluh poin penting dalam Konsensus Washington;37 (1) mendisiplinkan fiskal
terkait dengan keberadaan status negara-negara yang mengalami defisit neraca pembayaran
dimana negara-negara tersebut harus mendisiplinkan fiskal mereka agar terhindar dari defisit
karena memberikan efek inflasi dan kerentanan terhadap krisis, (2) memprioritaskan
pengeluaran publik ke arah pemerataan pendapatan (di lain sisi pro-pertumbuhan dan di
sisi yang satunya adalah pro-terhadap kaum miskin) seperti untuk pembiayaan kesehatan,
pendidikan, dan infrastruktur, (3) reformasi pajak yang terkait dengan mengkonstruksi sistem
pajak ke arah yang lebih luas dan pajak yang lebih bersahabat, (4) liberalisasi suku bunga
terkait dengan liberalisasi struktur keuangan dalam keadaan yang lebih luas, (5) sistem kurs
yang kompetitif dimana Washington sendiri sudah mulai melupakan batas-batas sistem kurs
yang ditetapkan secara tegas dan dibiarkan secara bebas yang berarti sistem kurs tidak harus lagi
terpaku pada salah satu dari dua sisi pengelolaan sistem kurs yang sangat berlawanan itu, (6)
liberalisasi perdagangan yang segera harus ditentukan arahnya karena perdagangan haruslah
terjadi walaupun pada kenyataannya terjadi banyak perdebatan panjang di dalam perumusannya,
(7) liberalisasi foreign direct investment yang tidak memasukkan liberalisasi kapital secara
menyeluruh, (8) privatisasi terkait dengan pelaku dalam kegiatan ekonomi seperti kegiatan
produksi hingga distribusi dimana kepemilikkan pemerintah terhadap aset kegiatan ekonomi
dipandang sebagai salah satu penyebab terjadinya inakuntabilitas sebuah sistem karena amat
terkait dengan politik dan kekuasaan walaupun di lain sisi privatisasi benar-benar dapat
memberikan keuntungan apabila dilakukan dengan baik, (9) deregulasi yang terkait dengan
mempermudah hambatan untuk melakukan kegiatan perdagangan seperti hambatan saat masuk
dan keluar ke dan dari sebuah negara, (10) melindungi hak kepemilikkan dimana difokuskan

36
Dalam menerangkan penerapan Konsensus Washington, Williamson banyak memberikan contoh di wilayah-
wilayah ini seperti Amerika Latin, Asia, dan Eropa Timur, lihat ibid., hlm. 1476-1481.
37
John Williamson, "What Should the World Bank Think about the Washington Consensus”, (Oxford University
Press, 2000), diakses dari http://www.jstor.org/stable/3986418, dimana keterangan mengenai sepuluh poin penting
dalam the Washington Consesus yang dirumuskan oleh Williamson diperoleh dari John Williamson, “The
Washington Consensus and Beyond”, dalam Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 15, diakses dari
http://www.jstor.org/stable/4413431, hlm. 1476.
15
pada sektor informal yang masih belum banyak disentuh dalam hal perlindungan terhadap hak
kepemilikkan.
Mengapa Konsensus Washington ini menjadi perdebatan? Dalam beberapa kasus di
beberapa negara, Konsensus Washington dipandang sebagai salah satu penyebab terjadinya
krisis keuangan yang seharusnya diatasi oleh keberadaan konsensus ini. Setelah AS, Eropa
Barat, dan Jepang mantap dengan strateginya untuk memanfaatkan proses surplus dan defisit, di
penghujung tahun 1980an Uni Soviet runtuh yang menyebabkan isu liberal dan demokrasi
menyebar dengan cepat yang membawa manusia ke era kosmopolitanis. 38 Selain itu, dengan
tidak adanya persaingan di antara dua kutub yang berbeda, dan menyebarnya paham demokrasi
dan liberalisme, peran negara akan semakin tergerus di dalam hubungan internasional untuk
kemudian diimbangi oleh aktor lain seperti individu dan kumpulan individu seperti dalam
komunitas global ataupun perusahaan transnasional. Konsensus Washington kemudian
dipersiapkan sebagai proses transisi bagi negara-negara yang beranjak ke arah keterbukaan
tersebut, yang dapat terlihat di dalam poin-poin utama dalam Konsensus Washington. Proses
transisi ini sebenarnya baik, namun tidak memandang keadaan timpang di negara-negara yang
mengalami proses transisi bahwa negara-negara ini masih tertinggal jauh bila dibandingkan
dengan negara maju seperti masih rendahnya tingkat pendidikan.39
Beberapa kasus yang menjadi sumber dari perdebatan mencuat semenjak terjadinya krisis
keuangan di Asia yang kemudian menyebar ke seluruh dunia terutama di kalangan negara-
negara berkembang. Konsensus Washington dipandang melupakan beberapa kondisi yang
sedang berlaku di negara-negara yang sedang berjalan dalam proses transisi. Konsensus ini lupa
untuk memandang sebagai contoh bahwa masih banyak negara-negara ini yang masih di bawah
belenggu kekuasaan otoriter yang dekat dengan kesewenang-wenangan yang padahal peran
aktor di luar negara semakin meningkat.40 Dalam beberapa kasus, ketika dalam keadaan seperti
ini negara tidak cepat merespon adanya hak kepemilikkan, maka percuma saja menarik modal

38
Francis Fukuyama, “The Former Question Answered”, dalam Francis Fukuyama, The End of History and the
Last Man, (New York: Macmillan, Inc., 1992), hlm. 126-130.
39
(Tidak diketahui Penulisnya), “Gambaran Global Sangat Rumit”, dalam Kompas, diakses dari
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0301/20/EKONOMI/89279.htm, diakses pada Minggu, 20 Desember
2009, pukul 12.54.
40
Doni Rodrik, “Good Bye Washington Consensus, Hello Washington Confusion?: A Review of the World Bank’s
Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of Reform”, (Journal of Economic Literature, Vol. 44,
No. 4, 2006), diakses dari http://www.jstor.org/stable/30032391, hlm. 976-977.
16
dari investasi ke dalam sebuah negara, yang mana para investor enggan untuk menanamkan
investasinya dalam bentuk investasi langsung yang lebih memberikan guna kepada
perkembangan industri karena hak kepemilikkan di negara tersebut masih belum diatur.41 Inilah
yang kemudian dialami oleh Argentina yang masih saja belum bangkit semenjak bantuan IMF
di tahun 1990an hingga mengalami krisis di tahun 2002 karena Konsensus Washington
melupakan perbaikan di manajemen pengelolaan utang yang didapatkan Argentina dari IMF
sehingga menyebabkan utang salah dikelola dan semakin menghimpit Argentina dengan utang
yang semakin membengkak.42 Hal ini juga dapat terlihat dalam perbedaan proses pemulihan
akibat krisis yang dialami Korea Selatan dan Indonesia dimana Korea Selatan lebih cepat pulih
karena Korea Selatan secara politik mampu merespon dengan cepat kebutuhan di luar
Konsensus Washington seperti manajemen pengelolaan utang yang baik sehingga menimbulkan
kepercayaan yang cepat baik dari warganegaranya sendiri maupun investor; sedangkan apa yang
terjadi di Indonesia, liberalisasi yang dicanangkan sebelumnya (sekitar tahun 1994) cenderung
tidak diikuti oleh pengelolaan manajemen keuangan yang baik yang memang tidak terdapat
dalam Pemerintahan Soeharto (seperti terlalu sentralistik, makro, dan berpatronasi) sehingga
ketika krisis menghantam hal-hal inilah yang kemudian menyebabkan warganegara cenderung
kurang memiliki aset-aset ekonomi akibat terlalu sentralistis, kurang menyentuh mikro, dan
dikuasai oleh orang-orang di lingkar Soeharto yang cenderung korup yang kemudian
melemahkan kepercayaan baik dari warganegaranya sendiri maupun investor hingga berujung
kepada kejatuhan Soeharto dan reformasi.43 Oleh karenanya, dalam beberapa perdebatan
mengenai Konsensus Washington, ditemui beberapa kritik tajam seperti mengenai perlunya
menambah beberapa poin di dalam Konsensus Washington seperti yang disuarakan oleh Doni
Rodrik;44 (1) corporate governance, (2) anti-corruption, (3) flexible labor market, (4) WTO
(World Trade Organization) Agreement, (5) Financial Codes and Standard, (6) Prudent

41
Ibid., hlm. 977.
42
Joseph E. Stiglitz, “The Burden of Debt”, dalam Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Works, (New York:
W.W. Norton & Company, Inc., 2006), hlm. 224-225.
43
Ben Thirkell-White, The IMF and the Politics of Financial Globalization, op. cit., hlm 128-129. Namun untuk
melihat secara keseluruhan proses-proses yang terjadi di Korea Selatan dapat dilihat di hlm. 98-127, Indonesia hlm.
128-157.
44
Doni Rodrik, “Good Bye Washington Consensus, Hello Washington Confusion?: A Review of the World Bank’s
Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of Reform”, op. cit., hlm. 978.
17
Capital-Account Opening, (7) Non-Intermediate Exchange Rate Regimes, (8) Independent
Central Banks for Inflation Targeting, (9) Social Safety Nets, (10) Targeted Poverty Reduction.
Satu hal yang sejak tadi telah disinggung penulis bahwa semenjak kejatuhannya Uni
Soviet, dunia kini tidak didominasi lagi oleh negara. Aktor lain seperti individu dan kelompok
individu (perusahaan multinasional, organisasi sipil, dsb.) telah meramaikan hubungan
internasional seiring menyebarnya paham demokrasi dan liberalisme termasuk satu hal penting,
perkembangan yang demikian pesat di bidang teknologi informasi dan transportasi seperti yang
dikatakan oleh Robert O. Koohare dan Joseph S. Nye, Jr. mengenai akibatnya sebagai global
village.45 Jika dibandingkan dengan keadaan sebelum penghujung tahun 1980-an, negara masih
dapat mengontrol melalui strategi dalam SI. Segala bentuk surplus dan defisit yang dilakukan di
dalam neraca pembayaran dan penumpukkan defisit tanpa henti masih dapat dikontrol. Dengan
bermainnya individu, terutama dalam kaitan mencari keuntungan sesaat melalui pasar keuangan
dan pergerakan likuiditas dari apa yang dilakukan oleh individu-individu ini kemudian menjadi
permasalahan besar bagi strategi SI yang belum siap untuk dihadapi.
Analisis Ketiga. Masih dapat menggunakan gambar grafik di lampiran yang membahas
bagian ini untuk lebih dapat memahami analisis ini. Pada bagian ini, ada empat hal yang harus
diperhatikan: (a) negara sudah tidak lagi menjadi aktor dominan dalam hubungan internasional.
Hal ini akan berpengaruh kepada setidaknya kapabilitas pemerintah yang selalu mendominasi
kebijakan negara untuk membangun identitas kebangsaannya ini. Lihat gambar grafik mengenai
pemahaman konsep dasar identitas kebangsaan. Ketika negara yang diwakili oleh elit bangsa
yang mampu menyalurkan aspirasinya tidak lagi diikuti oleh elemen bangsa yang merasakan
bahwa kebijakan identitas kebangsaan mereka sesuai dengan aspirasi elemen bangsa tersebut,
maka kemudian identitas kebangsaan yang dibangun ini lambat laun akan hancur. Inilah yang
terjadi di tubuh AS sendiri karena melalui demokrasi saja dirasakan tidak cukup untuk
memuaskan kepentingan elemen bangsa yang semakin terbuka matanya akan pentingnya
mengelola identitas dengan lebih baik. (b) Semakin terbukanya mata elemen bangsa AS tidak
mudah untuk dilupakan juga dikarenakan bahwa penutupan aspirasi ini untuk difokuskan
kepada perlawanan terhadap komunisme hancur. Ini menyebabkan kemudian pemerintah AS

45
Robert O. Koohare dan Joseph S. Nye, Jr., “Power and Interdependence in the Information Age”, dalam Charles
W. Kegley, Jr. dan Eugene R. Wittkopf, The Global Agenda: Issues and Perspectives, 6th ed., (New York: Mc.
Graw-Hill, 2005), hlm. 27-28.
18
tidak lagi memiliki kemampuan untuk membuat suatu isu yang dapat kembali membantu elemen
bangsa yang ada memotivasi mereka tunduk pada isu yang mereka suarakan. Semenjak Perang
Dingin berakhir, fokus isu cepat sekali berubah dan barulah sampai pada penghancuran terhadap
gedung World Trade Center dan Pentagon yang menyebabkan mereka sama-sama kembali
kepada fokus isu—terlepas dari berbagai konspirasi pemerintah untuk mengembalikan dominasi
isu. (c) Keterbukaan akses informasi menyebabkan elemen bangsa semakin mudah untuk tidak
tunduk kepada kebijakan identitas kebangsaan AS. Dan (d) munculnya negara baru dunia ketiga
yang bangkit yang menjadi tempat bagi elemen bangsa untuk melampiaskan realisasi
pelaksanaan tujuan-tujuan ideal pada identitas kebangsaan untuk memakmurkan dirinya dengan
menanamkan investasi ke dalamnya. Keempat faktor ini kemudian yang menjadi landasan kuat
untuk dilaksanakannya Konsensus Washington yang disuarakan oleh kepentingan identitas
kebangsaan AS melalui IMF, Bank Dunia (IBRD), dan the World Trade Organization (WTO
yang merupakan perubahan dari GATT).
Negara dunia ketiga diajak untuk semakin membuka akses transparansi dan akuntabilitas
keadaan semenjak Konsensus Washington ini. Namun sayangnya, kemudian penyuruhan ini
tidak diikuti oleh AS dan beberapa negara Eropa Barat lainnya yang kemudian menyebabkan
runtuhnya pasar keuangan di tahun 2008. Ternyata di lain sisi, apa yang terjadi di Krisis Asia
tidak segera dijadikan pelajaran bagi sistem moneter yang berjalan di negara-negara di AS,
Eropa Barat, dan Jepang.46 Dalam kasus Krisis Keuangan 2008, ketiadaan regulasi yang
mengatur pergerakkan individu inilah (dan termasuk Perusahaan Fannie Mae dan Freddie Mac.
sebagai perusahaan yang menyalurkan kredit perumahan ke pasar keuangan) yang dituding
menjadi penyebab yang menyebabkan inflasi besar yang menyebar dari harga rumah di AS ke
seluruh dunia.47 Kredit perumahan yang dijualkan di pasar keuangan tanpa regulasi ini
kemudian selalu berpindah tangan secara cepat dari individu ke individu lainnya dengan komisi
yang makin lama makin membengkak yang ketika sumber individu yang seharusnya membayar
kredit itu tidak mampu membayar dan menjadi isu di kalangan investor, maka kepanikkan dan

46
(Tidak diketahui Penulisnya), “Menghidupkan Kembali Bretton Woods”, dalam Koran Kompas, diakses dari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01524395/menghidupkan.kembali.bretton.woods, diakses pada
Minggu, 20 Desember 2009, diakses pukul 12.45.
47
Eswar Prasad, “Belajar dari Krisis Keuangan saat ini”, dalam Tempo, Rabu 15 Oktober 2008, diakses dari
http://www.tempo.co.id/hg/kolom/2008/10/15/kol,20081015-34,id.html, diakses pada Minggu, 20 Desember 2009,
pukul 14.43.
19
ketidakpercayaan menyebar di pasar keuangan hingga merembet ke bangkrutnya beberapa
perusahaan asuransi besar yang menjadi agen perlindungan kredit tersebut. Perilaku individu
yang mencari keuntungan dengan seenaknya yang menyebabkan terjadinya krisis ini48 penulis
lihat sebagai keadaan yang berbalik penyerangannya terhadap negara maju yang berusaha
menginisasi Konsensus Washington tanpa bercermin terlebih dahulu. Akibatnya, utang AS
membengkak hingga 10 trilyun Dollar AS49 dengan sedikit manfaat yang dapat dinikmati oleh
warga negara AS sendiri. Pertanyaan akan pentingnya mengikuti kebijakan politik identitas
kebangsaan yang dihasilkan oleh pemerintah pada akhirnya kembali menyeruak dengan dalam.
Dalam era Konsensus Washington ini sebenarnya pelaksanaan SI juga masih berjalan, namun
lebih diarahkan untuk memperhatikan keempat faktor alasan yang disebutkan. Sebagai contoh,
pembentukan kerjasama bank sentral untuk mengatasi krisis keuangan global.50
Dalam grafik di lampiran, dijelaskan mengenai tantangan bahwa tidaklah mudah untuk
menjelaskan pernyataan dalam keempat faktor alasan yang menyebabkan pengelolaan kebijakan
identitas kebangsaan AS semakin dipertanyakan saat ini. Entah mengapa, inilah titik akhir yang
hendak penulis jelaskan dalam bagian kesimpulan sebagai sebuah renungan pembelajaran dari
nasionalisme AS untuk membentuk semacam kerangka kebijakan politik identitas yang lebih
baik ke depannya bagi dunia.

48
MON, “Sistem Bonus Picu Kebangkrutan dan Krisis Global”, dalam Kompas, 16 Oktober 2008, diakses dari
http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/16/08061898/sistem.bonus.picu.kebangkrutan.dan.krisis.global, diakses
pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 14.46.
49
Diakses dari http://www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2006/pdf/hist.pdf, diakses pada Minggu, 20 Desember
2008, pukul 22.10.
50
Beberapa cara yang ditempuh beberapa negara ini antara lain Bank Sentral Eropa yang menyuntikkan dana
sebesar 95 milyar Euro ke pasar pada tanggal 9 Agustus 2008 yang juga diikuti oleh AS dan Jepang. Pada 10
Agustus 2008 Bank Sentral Eropa kembali menyuntikkan dana segar sebesar 61 milyar Euro ke pasar. Dilanjutkan
tanggal 13 Agustus 2008 dengan menyuntikkan dana sebesar 47,7 milyar Euro. Informasi diperoleh dari George
Soros, The New Paradigms for Financial Market, (New York: PublicAffairs, 2008), hlm. xv.
20
BAB III
KESIMPULAN: RENUNGAN PEMBELAJARAN

Amerika Serikat (AS) adalah negara besar, negara adikuasa. Dia menguasai keseluruhan
optimasi dari setiap bidang yang dipelajari manusia. Apakah itu hukum, ekonomi, politik,
hingga teknologi dan kegiatan sosial budaya. Kemudian adalah menjadi sangat penting untuk
mempelajari bagaimana AS mengelola identitas kebangsaannya ini agar terus dapat
menyesuaikan dengan keinginan masyarakatnya dan kegiatan di luar negara AS. Untuk menjadi
pembelajaran juga bahwa realisasi suatu konsep kebangsaan tidak dapat dilepaskan juga dari
pentingnya untuk memperhatikan kejadian di luar negara yang kemudian dalam hal ini
direalisasikan dengan melakukan hubungan internasional yang benar-benar sesuai dengan
kehendak yang diinginkan oleh konsep kebangsaan tersebut.
Pada analisis pertama didapatkan poin bahwa AS adalah negara biasa seperti negara
lainnya di penghujung Perang Dunia II. Yang membuatnya tidak biasa adalah keadaan
ekonominya yang tertolong akibat keadaan yang memaksa dia untuk lebih maju dibandingkan
negara-negara yang terkena dampak dari Perang Dunia II. Beruntung, perang tidak terjadi di
wilayahnya. Keadaan inilah yang kemudian didasari juga dengan niat baik seluruh negara-
negara di dunia terutama para pemenang perang untuk membuat dunia berikutnya lebih baik.
Definisi lebih baik tentunya adalah didefinisikan oleh masing-masing negara. Namun, keadaan
pada saat itu adalah keberhasilan AS untuk memperjuangkan kepentingannya mengelola
kehidupan ekonomi dunia yang menguntungkan bagi kegiatan ekonomi dalam negerinya.
Pembuatan tiga institusi keuangan dunia yang diharuskan oleh keadaan dipimpin olehnya adalah
bentuk kesuksesan terbesar. Dengan adanya ketiga institusi tersebut, AS dapat menjalankan
dominasi terhadap kegiatan keuangan dunia termasuk memberikan bantuan kepada negara-
negara yang hancur lebur akibat perang di Eropa dan Asia yang kemudian lebih difokuskan
kepada Eropa Barat dan Jepang untuk mencegah kedua wilayah penting tersebut jatuh ke
komunisme. Akibatnya, tentunya Eropa Barat dan Jepang jauh dari komunisme karena kegiatan
ekonomi di kedua wilayah tersebut bangkit. Di luar dugaan, Perang Korea dan Perang Vietnam
terjadi yang justru semakin banyak mengeluarkan uang pemerintah. Selain itu, serbuan produk
dari kedua wilayah juga menyebabkan keadaan ekonomi AS semakin melemah. Dilema ini pada

21
kahirnya diakhiri dengan pelepasan sistem keuangan terkontrol yang dilandasi semangat bahwa
AS bukanlah negara yang harus dikorbankan, namun semua harus berkorban untuk menjalankan
keinginan untuk menghindari komunisme.
Kemudian Smithsonian Institute (SI) berkembang menggantikan Bretton Woods. Pada
tahap ini, AS kembali berhasil untuk memperjuangkan kebangsaan mereka, memperjuangkan
kehendak rakyat untuk memakmurkan mereka dengan jalan mereka yaitu pasar dan adanya hak
kepemilikan. Melalui hubungan internasional, AS mampu memaksa negara-negara mitra mereka
di Eropa Barat dan Jepang untuk mendukung usaha ini karena pada dasarnya keinginan mereka
sama di bidang pengelolaan keuangan dunia. Inilah poin utama dari analisis kedua dimana mulai
disadari secara nyata bahwa AS mampu untuk lebih merealisasikan keinginannya untuk
mengatur kegiatan keuangan dunia berdasarkan kepentingan identitas kebangsaan mereka.
Nilai-nilai yang terdapat dalam kebangsaan mereka berhasil dihidupkan kembali atau
dihidupkan di kedua wilayah ini. AS berhasil memaksa negara-negara ini untuk mengelola
kegiatan keuangan dunia bersama-sama. Titik ini sangat penting untuk mempelajari bagian
analisis berikutnya. Hal yang selama ini diselesaikan secara sendiri dan memicu perang pada
akhirnya benar-benar dihidupkan dalam sebuah imajinasi keadaan bahwa mereka harus bersatu
melawan komunisme karena komunisme adalah musuh bersama. Hingga pada akhirnya
komunisme runtuh seiring dengan runtuhnya penopang utama, Uni Soviet.
Pada bagian ketiga, dibahas mengenai Konsensus Washington yang berisikan rangkaian
strategi untuk siap menerima keadaan dunia baru yang benar-benar baru. Ada empat faktor yang
harus diperhatikan: (a) aktor hubungan internasional lebih luas daripada hanya pemerintah saja,
(b) Perang Dingin sudah usai, (c) keterbukaan akses informasi, dan (d) kebangkitan negara
dunia ketiga. Strategi yang dikembangkan masih sama dengan SI, untuk mengarahkan kegiatan
keuangan dunia secara bersama-sama. AS pada dasarnya di dunia yang baru ini ingin
membentuk tatanan dunia baru yang juga masih memberikan tempat bagi superioritasnya.
Namun hal inilah yang sangat sulit untuk dilakukan ketika kemudian misalnya AS menyuarakan
isu pengganti komunisme sebagai bagian dari strategi penggunaan keuangan dunia, tidak banyak
yang menolak ini dan mencemooh. Keempat alasan ini benar-benar sangat kompleks untuk
mampu menjelaskan keinginan dunia untuk masih mengikuti kepentingan kebangsaan AS.
Untuk kemudian bahkan, AS sendiri menguji dirinya sendiri dengan keadaan yang sama sekali

22
berbeda ini AS tetap memaksakan keadaan untuk berperilaku sama seperti dunia sebelumnya.
Jelas, ini justru menjadi bumerang bagi AS karena AS justru bersikap layaknya negara otoriter
yang kemudian gagal untuk membawakan identitas kebangsaannya diperjuangkan oleh setiap
elemen bangsanya. AS semakin lemah untuk membuat kebijakan yang menjadi dasar bagi setiap
perilaku masyarakatnya karena kegagalan memasukan aspirasi rakyat terhadap pembentukan
kebijakan yang ada. Bangkrutnya industri keuangan AS akibat kegagalan pemerintah menerima
aspirasi masyarakat untuk merevisi bagaimana membuat sistem ini akuntabel dan transparan
sebagaimana Konsensus Washington sendiri menyarankan pada akhirnya juga turut
menyebabkan terbukanya aspirasi ini di bagian masyarakat yang menginginkan kegiatan
keuangan yang aman yang tertutup oleh kesenangan sesaat melalui tingkah lakunya yang rakus.
Bukankah dalam renungan ini jelas terlihat bahwa: (a) keempat faktor itulah ciri dunia
baru, (b) keempat faktor menunjukan bahwa setiap negara bergerak ke arah yang sama untuk
melakukan apa yang telah dilakukan oleh AS sebelumnya mengenai bagaimana mereka
memperjuangkan identitas kebangsaan mereka dominan di percaturan politik ekonomi
internasional seperti yang terjadi di dalam setiap periode pembahasan, (c) ini berarti dunia juga
masih terdiri dari ketimpangan-ketimpangan yang masih belum dapat dijelaskan arahnya mau
kemana: ada negara surplus dan defisit namun dengan memperhatikan keempat faktor yang
disebutkan dan ketiadaan rencana strategi untuk mengelola arah ini bersama yang dapat
dijadikan titik alasan penting dunia memperlakukan keadaan ini. AS tentu misalnya, tidak ingin
selamanya mengalami defisit dan utang dalam jumlah yang sangat besar. Namun untuk
menjawab ketidakinginan ini tidak semudah dengan mengatakan bahwa AS-lah yang harus
bertanggungjawab terhadap utang yang dilakukannya karena ternyata utang-utang itu hadir juga
diakibatkan surplus negara lain, pelaku pembuat utang yang juga tidak dilakukan oleh
pemerintah AS saja, namun juga warga negaranya, dan bahkan mungkin keberadaan utang
tersebut dalam akumulasinya juga menggambarkan selisih total juga terhadap utang warga
negara lain terhadap warga negara AS, dsb. Dunia yang baru ini sungguh sangat menarik untuk
dibayangkan bagaimana ke depannya. Pembayangan ini sangat penting agar setidaknya manusia
memiliki asumsi yang sangat berguna bagi melangkahkan kaki di masa depan. Inilah
pembelajaran sebenarnya dari apa yang dilakukan AS sebagai sebuah negara bangsa yang selalu
mengembangkan identitas kebangsaannya dengan lebih baik dalam hubungan internasional bila

23
dibandingkan negara lain. Tujuan, dan motivasinya sangat berharga untuk dijadikan
pembelajaran terutama dalam mengelola kegiatan keuangan bagi dirinya dan dunia.
Lagi-lagi, jawaban dari segala pertanyaan adalah terletak dari bagaimana manusia
mengelola identitas mereka secara bersama-sama. Mengelola agar ditanyakan kemudian: siapa
kamu, siapa aku, dan kita mau melakukan apa. Tampaknya AS hendak menyerahkan jawaban
itu khususnya pada dunia daripada hanya pada dirinya secara umum. Kebijakan keseimbangan
ekonomi dunia yang dikemukakan oleh Presiden Barrack Obama jika dianalisis adalah ingin
mengajak dunia kepada keadaan yang lebih stabil. Dia sadar benar bahwa jawaban tidaklah
dapat dirumuskan sendiri oleh AS. Masa depan dunia adalah milik manusia seutuhnya secara
bersama-sama walaupun di dalamnya juga terdapa kepentingan AS sebagai sebuah negara dan
juganya negara bangsa. Beberapa langkah yang dapat penulis ajukan untuk membantu
menjawab pertanyaan ini didasarkan pada pembelajaran; (a) aktivtias keuangan dunia haruslah
benar-benar ditransparan dan diakuntabilitaskan. Dengan berangkat dari data yang valid dan
benar akan lebih dapat membantu untuk memulai proses perencanaan bersama tingkat global
atau regional (sesuai dengan keinginan bersama) yang lebih baik. (b) Libatkan semua aktor yang
berkontribusi terhadap kegiatan keuangan dunia. Ini tidak dilakukan secara serempak
(tergantung juga kesepakatan yang ada) namun dengan misalnya belajar dari permainan catur
bahwa setiap tingkat (yang diwakili misalnya oleh pion, raja, ratu, dsb.) memiliki fungsinya
masing-masing. Fokus pelaksanaan pada tingkat lokal untuk memperoleh data dan informasi
unik untuk diselesaikan dan disampaikan pada tingkat lebih tinggi adalah salah satu cara yang
cukup baik dalam menyelesaikan masalah secara kompleks dan dinamis. Dan (c) lakukanlah
konsep pemerintahan dunia dalam bentuk perundingan dalam merumuskan strategi pengelolaan
keuangan dunia dengan niat baik. Khusus niat baik ini adalah dengan mencari alasan di balik
suatu perjuangan identitas (substansi dan esensinya). Penulis kemudian menyarankan agar
politisasi suatu identitas memperhatikan hal ini yaitu dengan berani meninggalkan imajinasi
identitas kebangsaan pada saat perundingan dengan membuka pikiran bahwa ada esensi dan
substansi dibaliknya yang harus lebih diperjuangkan. Untuk memulai niat baik seperti ini adalah
sulit. Oleh karenanya, kemudian penulis menekankan untuk dilibatkannya juga aktor-aktor yang
bergerak di lintas batas negara yang bergerak untuk mencari esensi dan substansi tersebut dalam
membantu aktor konvensional memahami dan memulai perubahan pada dinamika.

24
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Anderson, Benedict. 2008. “Akar-Akar Budaya”. Dalam Anderson, Benedict. Komunitas-
Komunitas Terbayang. (Yogyakarta: INSIST).
Bonner, Bill, dan Addison Wiggin. 2006. Empire of Debt: The Rise of an Epic Financial Crises.
(New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.).
Depledge, Joanna. 2005. The Organization of Global Negotiations: Constructing the Climate
Change Regime. (London: Earthscan).
Fukuyama, Francis. 1992. “The Former Question Answered”. Dalam Fukuyama, Francis. The
End of History and the Last Man. (New York: Macmillan, Inc.).
Herrick, Christopher, dan Patricia B. McRae. 2002. “The IMF and International Monetary
Management”. Dalam Herrick, Christopher, dan Patricia B. McRae. Issues in America
Foreign Policy. (New York: Longman).
Hudson, Michael. 2003. Super Imperialism: the Origins and Fundamentals of U.S. World
Dominance. (London: Pluto Press).
Koohare, Robert O., dan Joseph S. Nye, Jr. 2005. “Power and Interdependence in the
Information Age”. Dalam Kegley, Jr., Charles W., dan Eugene R. Wittkopf. The Global
Agenda: Issues and Perspectives, 6th ed. (New York: Mc. Graw-Hill).
Ryan, Stephen. “Nationalism and Ethnic Conflict”. Dalam Brian White et.al (eds.).
Soros, George. 2008. The New Paradigms for Financial Market. (New York: PublicAffairs).
Smith, Anthony D. 2007. “Nations in Decline? The Erosion and Persistence of Modern
National Identities”. Dalam Young, Mitchel, Eric Zuelol, dan Andreas Sturm (ed.).
Nationalism in A Global Era: The Persistence of Nations. (New York: Routledge).
Stiglitz, Joseph E. 2006. “The Burden of Debt”, dalam Joseph E. Stiglitz, Making Globalization
Works. (New York: W.W. Norton & Company, Inc.).
Thirkell-White, Ben. 2005. The IMF and the Politics of Financial Globalization. (Hamsphire:
MacMillan Distribution Ltd.).

25
Artikel dan Internet
Bauman, Zygmunt. 2001. “Identity in the Globalizing World”. Dalam Social Anthropology.
(European Association of Social Anthropologies).
Harinowo, Cyrillus. “Membaca Tanda-Tanda Zaman: Dollar AS vs Euro”. Dalam Majalah
Tempo. Diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/06/09/KL/mbm.
20030609.KL88240.id.html.
IMF, nilai SDR dipatok dalam harga satu SDR sama dengan 0,888671 gram emas. Diakses dari
http://www.imf.org/external/np/exr/facts/sdr.htm.
Meier, Gerald M. 1971. “The Bretton Woods Agreement – Twenty Five Years After”. (Stanford
Law Review, Vol. 23, No. 2, 1971). Diakses dari http://www.jstor.org/stable/1227663.
MON. “Sistem Bonus Picu Kebangkrutan dan Krisis Global”. Dalam Kompas, 16 Oktober
2008, diakses dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/16/08061898/sistem.bonus.
picu.kebangkrutan.dan.krisis.global. Diakses pada Minggu, 20 Desember 2008, pukul
14.46.
Muller, Benjamin J. 2004. “(Dis)Qualified Bodies: Securitization, Citizenship, and ‘Identity
Management’”. Dalam “Citizenship Studies” Vol. 8 No. 3, September 2004. (Diunduh
oleh Monash University, Carfax Publishing).
Prasad, Eswar. “Belajar dari Krisis Keuangan saat ini”. Dalam Tempo, Rabu 15 Oktober 2008.
Diakses dari http://www.tempo.co.id/hg/kolom/2008/10/15/kol,20081015-34,id.html.
Diakses pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 14.43.
Rodrik, Doni. 2006. “Good Bye Washington Consensus, Hello Washington Confusion?: A
Review of the World Bank’s Economic Growth in the 1990s: Learning from a Decade of
Reform”. (Journal of Economic Literature, Vol. 44, No. 4, 2006). Diakses dari
http://www.jstor.org/stable/30032391.
Wiggin, Addison. “Bretton Woods”. Diakses dari http://www.gold-eagle.com/gold_digest_05
/wiggin120106.html. Diakses pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 10.02.
Williams, John H. 1994. “International Monetary Plans: After Bretton Woods”. (Foreign
Affairs, Vol. 23, No. 1, 1944). Diakses dari http://www.jstor.org/stable/20029871.
Williamson, John. “The Washington Consensus and Beyond”. (Economic and Political Weekly,
Vol 38, No. 15). Diakses dari http://www.jstor.org/stable/4413431.

26
Williamson, John. "What Should the World Bank Think about the Washington Consensus”.
(Oxford University Press, 2000). Diakses dari http://www.jstor.org/stable/3986418.
(Tidak diketahui Penulisnya). “Gambaran Global Sangat Rumit”. Dalam Kompas. Diakses dari
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0301/20/EKONOMI/89279.htm. Diakses pada
Sabtu, 20 Desember 2009, pukul 12.54.
(Tidak diketahui Penulisnya). “Menghidupkan Kembali Bretton Woods”. Dalam Koran
Kompas. Diakses dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01524395/meng
hidupkan.kembali.bretton.woods. Diakses pada Minggu, 20 Desember 2009, pukul 12.45.
http://www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2006/pdf/hist.pdf. Diakses pada Minggu, 20
Desember 2009, pukul 22.10.

Sumber Lain
Aho, Charles Michael. 2008. "National Debt". Dalam Microsoft® Encarta® 2009 [DVD].
(Redmond, WA: Microsoft Corporation).

27
LAMPIRAN

28

Anda mungkin juga menyukai