Anda di halaman 1dari 13

58

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANGUNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG


JAMINAN FIDUCIA
Syamsul Munir
- Fakultas Hukum Universitas Lumajang Jl. Musi No. 12 Lumajang
Email: syamsulmunir_unilu@yahoo.co.id

ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 menegaskan dengan
jelas bahwa jaminan fiducia adalah agunan atas kebendaan
atau jaminan kebendaan (zakelijk zekerheidsecuruty in rem),
sehingga dengan demikian hak yang diperoleh pemegang
fiducia (kreditur) adalah hak kebendaan (yang terbatas)
sehingga dapat dipertahankan kepada siapapun. Praktek
perjanjian kredit dengan jaminan fiducia ini telah lama
dilakukan oleh beberapa Bank yang ada, dan khusus Bank
Perkreditan Rakyat (BPR), terhitung baru sebagai
penyelenggara bentuk perjanjian ini. Hal yang terkadang
mengkhawatirkan adanya ketidakseimbangan antara besaran
kredit yang dimohon dengan nilai ekonomis barang
jaminannya, dikarenakan hingga saat ini belum terbentuk
Lembaga Jaminan, yang diprediksikan dapat memberikan
penafsiran harga barang jaminan secara akuntabel.
Kata kunci : Kredit, Jaminan, UU No. 42 Tahun 1999.
A. PENDAHULUAN
Pembangunan di bidang perekonomian sebagai bagian dari
Pembangunan Nasional, adalah merupakan salah satu upaya
mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara dan
meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, pemerintah
maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum,
memerlukan dana yang tidak kecil. Seiring dengan meningkatnya
kegiatan pembangunan meningkat pula kebutuhan terhadap
pendanaan, bahkan tidak jarang demi untuk memenuhi
kebutuhannya itu dilakukan kegiatan pinjam meminjam.

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

59

Selama ini kegiatan pinjam meminjam dengan


menggunakan hak tanggungan telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan
pelaksanaan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan sekaligus
sebagai pengganti dari lembaga Hipotik atas tanah dan
Creditverband, Gadai serta Fiducia.
Peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan
Fiducia, diantaranya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukinan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun. Pada intinya Undang-undang tersebut
mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani fiducia, jika status
tanahnya adalah hak pakai atas tanah negara. Serta Undang-undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia.
Jaminan fiducia telah digunakan di Indonesia sejak jaman
penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari
yurisprudensi. Bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam
transaksi pinjam meminjam karena proses pembebanannya
dianggap sederhana, mudah dan cepat, akan tetapi tidak menjamin
adanya kepastian hukum. Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang
dapat memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin adanya
kepastian hukum serta untuk memberikan perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan maka pengaturan tentang Fiducia
selanjutnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fiducia, dan jaminan tesebut didaftarkan pada
Kantor Pendaftaran Fiducia.
Lembaga Jaminan Fiducia memungkinkan kepada
pemberi fiducia untuk menguasai benda yang dijaminkan, dan
selanjutnya digunakan untuk melakukan kegiatan usaha yang
dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan fiducia
tersebut.. Dalam praktek pelaksanaan lembaga jaminan fiducia
seringkali terjadi perjanjian kredit dengan jaminan fiducia yang
telah menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 sehingga terjadi perbuatan melawan
hukum baik dari pihak debitur yang mengalihkan obyek fiducia
kepada pihak ketiga sehingga pihak kreditur tidak dapat melelang
obyek jaminan fiducia setelah terjadi kemacetan dalam pembayaran
kredit, begitu pula sebaliknya pihak kreditur dalam melakukan

60

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

pelelangan atas obyek jaminan fiducia tidak sesuai dengan


peraturan yang telah ada.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari paparan di atas dapat dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah karakteristik Perjanjian Jaminan Fiducia
itu?
2. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan perjanjian Jaminan
Fiducia berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 1999?
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan diskriptif,
yang berarti penelitian hanya mendeskripsikan atau melukiskan
obyek atau masalah tanpa bermaksud untuk mengambil
kesimpulan-kesimpulan yang berlaku umum.1 Sedangkan penulisan
laporan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif,
yaitu pendekatan melalui peraturan-peraturan yang pernah
diberlakukan untuk mengatur masalah yang menjadi topik
pembahasan ini, yakni dalam hal ini mencakup peraturan yang
berada dalam lapangan hukum perdata, hukum pidana dan
perbankan. Dan yang utama adalah peraturan perundang-undangan
yang kini berlaku sebagai hukum positif.
Sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah sumber
bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan sumber
bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan
hukum yang mengikat, terdiri dari norma atau kaidah dasar yang
melekat pada setiap subyek dan obyek hukum, antara lain UndangUndang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Fiducia dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti misalnya buku-buku literature, hasil penelitian para peneliti,
hasil karya tulisan kalangan praktisi hukum, keterangan-keterangan
pihak-pihak yang berkompeten dan lain-lain. Serta yang dimaksud
bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

R.H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 1988, hlm 16

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

61

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer


dan sekunder, misalnya kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
Selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan
berdasarkan teknis pengumpulan yang lazim dilakukan, guna
ditemukan pokok-pokok aturan yang relevan dengan topik
pembahasan. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan
adalah interview atau wawancara, observasi dan dokumentasi.
Interview adalah proses tanya jawab lisan dengan dua orang atau
lebih berhadap-hadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka,
yang lain mendengarkan. Dalam penelitian ini interview dilakukan
ke pihak Bank selaku kreditur dan beberapa orang yang
mengikatkan diri dalam perjanjian pinjam meminjam tersebut
sebagai debitur.
Observasi merupakan salah satu teknik utama pengumpulan
data penelitian kualitatif, dan observasi dapat digunakan untuk
memeriksa aktivitas individu, kelompok individu, orang yang
berperan serta dalam suatu aktivitas. Dokumentasi adalah suatu cara
meneliti terhadap buku-buku catatan, arsip tentang suatu masalah
yang ada hubungannya dengan hal-hal yang akan diteliti, sehingga
data-data yang ditemukan dapat dijadikan salah satu rujukan untuk
pengambilan konklusi pada suatu kegiatan penelitian.
Untuk menganalisis bahan hukum digunakan metode
deskriptif kualitatif artinya metode analisis yang dilakukan dengan
cara memberikan uraian dan gambaran atas bahan-bahan hukum
yang diperoleh dari studi literatur atau kepustakaan, dokumenter,
maupun fakta empiris yang terjadi di lapangan. Pendeskripsian
bahan-bahan hukum yang telah diperoleh tersebut dilakukan dengan
berdasarkan pada norma-norma, kaidah-kaidah hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berkaitan dengan
masalah yang dibahas.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
D.1. Karakteristik Perjanjian Jaminan Fiducia
D.1.1. Pengertian Perjanjian Fiducia
Perjajian Fiducia adalah perjanjian yang bersifat accecoir,
yang berarti adanya tergantung pada perjanjian pokok yang
biasanya berupa perjanjian pinjam meminjam uang pada Bank. Di
dalam praktek perbankan perjanjian fiducia ini sering diadakan
sebagai tambahan dalam jaminan pokok manakala jaminan pokok
itu kurang memenuhi. Adakalanya fiducia diadakan secara mandiri,

62

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

dalam arti tidak sebagai tambahan jaminan pokok, yaitu sering


dipakai pegawai kecil, pedagang kecil, pengecer dan lain-lain,
sebagai jaminan kredit mereka pada bank.2
Pengertian lembaga fiducia menurut para ahli sering
disebut dengan bermacam-macam istilah tergantung pada
penekanannya, ada yang menamakan bezitloos pand atau pand
tanpa bezit, karena dalam hal ini yang menguasai bendanya tetap
debitur, akan tetapi bukan sebagai eigenaar dan bukan pula sebagai
bezitter, melainkan hanya sebagai houder atau detentor. Disamping
itu ada pula yang menyebutnya sebagai eenverkapt pandrecht yaitu
pand yang terselubung, dan ada juga yang menamakannya utbow
dari pand, yang artinya perluasan dari pand. Selanjutnya Pitlo
menamakan figur itu merupakan zakerheids eigendoms atau hak
milik atas kepercayaan.
Adapun pengertian Fiducia menurut Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia, adalah
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi
bahwa : Fiducia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda
atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda .3
Dengan demikian berarti bahwa pengalihan benda itu bukan
tertuju pada pengalihan secara fisik, melainkan hanya bukti-bukti
haknya yang berpindah untuk sementara waktu sampai dengan
berakhirnya perjanjian dengan jaminan fiducia ini.
Sedangkan pengertian Jaminan Fiducia adalah hak jaminan atas
benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan
benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan.
D.1.2. Sifat Jaminan Fiducia
Fiducia merupakan jaminan khusus yang timbul dengan
perjanjian, dan perjanjian Fiducia sendiri merupakan perjanjian
yang bersifat zakelijk atau perjanjian yang menimbulkan hak-hak
jaminan zakelijk atau kebendaan bagi kreditur, mengingat fiducia
2
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia
Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta, hlm 26
3
., 2001, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fiducia dan Petunjuk Pelaksanaannya, CV Tamita Utama, Jakarta, hlm. 5

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

63

timbul sebagai penyimpangan dari Gadai dan mempunyai sifat-sifat


kebendaan.
Dikatakan pula bahwa jaminan fiducia adalah agunan atas
kebendaan atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan
yang didahulukan kepada penerima fiducia terhadap kreditur
lainnya. Hak yang didahulukan dari penerima fiducia tidak hapus
karena adanya kepailitan pemberi fiducia.4 4)
Dengan demikian, fiducia merupakan hak kebendaan yang
tentu saja memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hak kebendaan,
sedangkan perjanjian jaminan fiducia merupakan perjanjian yang
bersifat accesoir.
D.1.3. Obyek Jaminan Fiducia
Pada umumnya yang dapat dijadikan obyek fiducia adalah
benda-benda bergerak, baik yang sudah ada maupun yang masih
akan ada. Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat,
fiducia dapat juga dibebankan pada benda-benda bergerak yang
berwujud dan juga benda tidak bergerak.5 5)
Menurut Jurisprudensi Arrest Hogeraad (Tahun 1929) ,
lazimnya yang menjadi obyek jaminan fiducia adalah benda
bergerak dan menolak benda tidak bergerak sebagai obyek fiducia.
Namun setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan, ditegaskan kembali bahwa benda tidak
bergerak dapat menjadi obyek fiducia, sebagaimana ketentuan Pasal
1 ayat (2) Undang-undang tersebut.
Pasal 9, 10 dan 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
mengidentifikasi benda-benda yang menjadi obyek jaminan adalah :
1. Benda tersebut harus dimiliki dan dialihkan secara hukum
2. Dapat atas benda berwujud
3. Dapat juga atas benda tudak berwujud
4. Benda bergerak
5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak
tanggungan
6. Benda tidak bergerak yang tidak diikat dengan hipotik
7. Benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan
diperoleh dikemudian hari
4
J. Satrio, 2005, Hukum Jaminan Hak Jaminan Fidusia, PT Citra Adytia
Bhakti, Bandung, hlm 37
5
Ibid, hlm 4

64

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012


8. Dapat atas satuan atau jenis benda
9. Dapat juga atas satu jenis atau satuan benda
10. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi obyek fiducia
11. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi
obyek jaminan fiducia
12. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan).

D.1.4. Pemberi dan Penerima Fiducia


Pemberi fiducia adalah debitur yang menyerahkan hak milik
atas suatu barang tertentu yang dimilikinya kepada kreditur sebagai
jaminan pelunasan atas pembayaran hutang yang
diberikan oleh kreditur. Menurut Pasal 1 ayat (5) UU No. 42 Tahun
1999 bahwa : Pemberi Fiducia adalah perseorangan atau
koorporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fiducia .
Seorang pemberi fiducia mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan hak milik kepada kreditur dan pemberi fiducia berhak
untuk menguasai secara fisik sebagai houder atau detentor dari
barang tersebut. Dan pemberi fiducia wajib untuk memelihara
barang jaminan itu dengan baik dan tidak mengalihkan kepada
pihak lain tanpa persetujuan penerima fiducia.6
Penerima fiducia adalah pihak kreditur yang member
perutangan
kepada
pemberi
fiducia,
untuk
kemudian
penguasaannya diberikan kembali pada debitur untuk dimanfaatkan.
Pasal 1 ayat (6) UU No. 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa :
Penerima fiducia adalah orang perseorangan atau koorporasi yang
mempunyai piutang yang pembayaraanfaannya dijamin dengan
jaminan fiducia.
Kreditur berkedudukan sebagai penerima jaminan, hanya
saja karena yang dijaminkan itu berupa hak milik oleh seorang
pemilik, maka dengan demikian kreditur berkewajiban melakukan
pengawasan atas barang jaminan dimaksud, mengingat kewenangan
atas barang jaminan itu diikuasakan oleh debitur.
Dengan demikian kreditur tidak akan menjadi pemilik penuh
(volle eigenaar) melainkan kreditur hanya merupakan bezitloos
eigenaar atas barang-barang jaminan. Dengan kata lain kedudukan
kreditur hanyalah sebagai pemegang jaminan sehingga berkaitan

Munir Fuady, 2000, Jaminan Fidusia, PT Citra Aditya Bhakti,


Bandung, hlm 27

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

65

dengan kewenangannya dikatakan pula sebagai pemilik yang


terbatas.
D.2. Pelaksanaan Jaminan Fiducia Menurut Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 di Kabupaten Lumajang
D.2.1. Pelaksanaan Jaminan Fiducia Menurut Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999.
Perjanjian kredit dengan jaminan fiducia sudah lama
dipraktekkan oleh Bank-Bank di Indonesia, termasuk pula oleh
Bank-Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada umumnya perjanjian
kredit dengan jaminan fiducia yang dilakukan pada Bank atau BPR
ditujukan untuk perjanjian dengan jaminan benda-benda bergerak
yang berupa barang-barang inventaris, barang-barang dagangan,
mesin-mesin dan kendaraan bermotor.
Dalam pelaksanaannya Bank atau BPR secara administratif
mencantumkan perjanjian fiducia dengan model KR 0305 dengan
titel Perjanjian Pemberian Jaminan Dengan Penyerahan Hak Milik
Secara Kepercayaan (Fiduciare Eigendomsoverdracht). Dalam
perjanjian tersebut dinyatakan bahwa untuk menjamin ketertiban,
kelancaran dan kepastian pembayaran lunas dari semua yang wajib
dibayar oleh debitur, maka debitur menyerahkan hak milik secara
kepercayaan kepada Bank atau BPR, yang selanjutnya Bank atau
BPR tersebut menyatakan menerima penyerahan hak milik secara
kepercayaan dari debitur berupa barang atau barang-barang
bergerak, yang telah ada maupun yang akan dikuasai. Dan barangbarang bergerak yang diserahkan tersebut selanjutnya disebut
barang-barang jaminan.
Jaminan adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khusunya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan.
Jaminan fiducia merupakan perjanjian ikutan dari suatu
perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban dari para pihak
untuk memenuhi suatu prestasi. Jaminan itu dituangkan dalam suatu
akta jaminan fiducia sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
yakni sekurang-kurangnya memuat :
1. Identitas pihak pemberi dan penerima fiducia

66

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

2. Data perjanjian pokok yang dijamin fiducia


3. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan
fiducia
4. Nilai penjamin
5. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Yang dimaksud pemberi fiducia menurut Undang-undang
Nomor 42 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) adalah perseorangan atau
korporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fiducia.
Sedangkan penerima fiducia adalah orang perseorangan atau
korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin
dengan jaminan fiducia.
Sifat jaminan fiducia adalah agunan atas kebendaan atau
jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan yang didahulukan
kepada penerima fiducia. Penerima fiducia mempunyai hak yang
didahulukan terhadap kreditur lainnya.
Berkaitan dengan obyek jaminan maka debitur harus
menjamin bahwa barang atau jaminan yang diserahkan haknya itu
benar-benar miliknya, bebas dari sengketa ataupun keterikatan
dengan pihak lain. Dengan demikian berarti debitur membebaskan
Bank atau BPR selaku kreditur atau pemberi pinjaman, dari
kemungkinan tuntutan pihak manapun.
Penyerahan dan penerimaan hak milik secara
kepercayaan itu dilakukan ditempat dimana barang atau jaminan
tersebut berada, dan setelah itu menjadi milik Bank atau BPR secara
kepercayaan, oleh karenanya semua asli surat-surat yang merupakan
bukti kepemilikan barang-barang jaminan tersebut akan dipegang
dan dikuasai oleh Bank atau BPR. Sementara itu barang-barang
jaminan tersebut secara fisik akan tetap berada dalam kekuasaan
debitur sampai terbayarnya pinjaman tersebut.
Dalam pelaksanaannya, demi keamanan maka pihak Bank
atau BPR akan melakukan pemeriksaan terhadap barang atau
barang-barang jaminan yang diajukan oleh debitur sebelum
menyetujui permohonan kredit. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
melihat kondisi barang atau barang-barang jaminan dalam rangka
menentukan berapa nilainya, dan apakah mencukupi untuk melunasi
kredit yang dicairkan jika suatu saat nanti debitur wanprestasi.
Nilai barang atau barang-barang jaminan oleh Bank
biasanya ditentukan lebih besar dari nilai kredit, kira-kira 125 %
diatas nilai kreditnya. Langkah ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi terjadinya kerugian di pihak Bank ketika harus

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

67

melakukan penjualan atau lelang atas barang atau barang-barang


jaminan tersebut. Selain itu pemeriksaan ini juga untuk melihat
status hukum barang atau barang-barang jaminan tersebut apakah
sungguh-sungguh milik debitur dan tidak sedang berada dalam
sengketa. Dan hasil pemeriksaan ini sangat berpengaruh terhadap
pencairan kredit yang dimohonkan.
Di samping itu sebelum menyetujui permohonan kredit,
Bank atau BPR selaku kreditur melakukan pemeriksaan terhadap
pembukuan atau pencatatan perusahaan, laporan keuangan baik
neraca maupun rugi labanya. Melalui pemeriksaan ini Bank atau
BPR akan memperoleh informasi mengenai keadaan keuangan
perusahaan calon debitur, lalu lintas dana, prospek usaha dimasa
mendatang serta menilai kemampuan calon debitur dalam
mengelola perusahaannya. Jika perusahaan debitur belum
mempunyai laporan keuangan, maka Bank atau BPR akan
membantu pembuatan laporan keuangan tersebut.
Di dalam pemberian kredit kepada debitur, Bank atau BPR
memberlakukan prinsip commanditeringsverbod, yang berarti
adanya larangan bagi Bank atau BPR dengan pemberian kredit
tersebut ikut menanggung resiko usaha debitur sehingga sewaktuwaktu Bank atau BPR dapat menarik kembali piutangnya.
D.2.2. Tindakan Hukum Terhadap Pelaksanaan Jaminan
Fiducia
Perjanjian fiducia adalah perjanjian yang bersifat accesoir
artinya mengikuti perjanjian kredit yang telah dibuat lebih dulu.
Pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, dirumuskan bahwa : Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetjuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar
Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak pemimpin untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
Kredit yang diberikan oleh Bank selalu mengandung resiko
sehingga didalam pelaksanaannya pihak Bank harus memperhatikan
asas-asas perkreditan yang sehat, antara lain bahwa Bank tidak
diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis,
memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah

68

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

diperhitungkan kurang sehat, dan memberikan kredit yang


melampaui batas maksimum pemberian kredit.
Dalam usaha untuk mengurngi resiko kerugian dalam
pemberian kredit, diperlukan jaminan dalam pemberian kredit yang
berarti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan
sebelumnya. Di dalam praktek perbankan selain diisyaratkan
adanya jaminan berupa suatu hak kebendaan tertentu, lazimnya juga
disyaratkan jaminan immateril mengenai keadaan calon debitur,
atau yang lebih dikenal dengan kriteria 5 C (The Five Cs of Credit
Analysis), yakni :
1. Character (kepribadian, watak)
2. Capacity (kemampuan atau kesanggupan)
3. Capital (modal, kekayaan)
4. Collateral (jaminan, agunan)
5. Condition of economy (kondisi ekonomi)
Jika berdasarkan analisis permohonoan kredit dari debitur
dinilai layak untuk dikabulkan maka akan diterbitkan Surat
Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK), oleh Bank/BPR yang
dituju. SPPK dapat diterbitkan oleh setiap Kantor Cabang Bank
atau BPR, mengingat setiap kantor cabang memiliki kewenangan
memutuskan pemberian kredit.
Setelah SPPK diterbitkan maka diajukan kepada calon
debitur. Jika calon debitur menyetujui maka akan dibuat Perjanjian
Kredit., yang formatnya telah dibakukan oleh Bank atau BPR dalam
bentuk perjanjian baku atau perjanjian standart. Customer Service
Bank atau BPR akan membantu calon debitur untuk memahami isi
perjanjian kredit tersebut. Jika calon debitur menyetujui apa yang
tercantum maka debitur dapat segera menandatanganinnya. Dalam
perjanjian kredit tersebut dicantumkan salah satu pasal mengenai
kewajiban pemberian jaminan berikut cara pengikatan jaminannya.
Biasanya pejanjian pengikatan jaminan ditandatangani bersamaan
dengan penandatanganan perjanjian kredit.
Langkah-langkah sebagaimana tersebut diatas pada dasarnya
dilakukan oleh Bank atau BPR untuk menjamin kepastian hak dari
masing-masing pihak, baik debitur maupun kreditur. Namun
demikian di dalam prakteknya terkadang terjadi pelanggaran atau
hal-hal menyimpang dari perjanjian sehingga mengakibatkan
adanya keberatan dari salah satu pihak, contohnya pihak debitur
memindahtangankan barang yang telah menjadi obyek fiducia

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

69

sehingga menyulitkan bagi kreditur untuk melakukan pelelangan


atas barang dimaksud, manakala debitur tidak dapat memenuhi
kewajiban pokoknya, yakni mengembalikan uang yang telah
dipinjam beserta bunganya sesuai yang telah ditentukan oleh Bank
atau BPR tempat perjanjian fiducia berlangsung.
Pada kondisi yang demikian kreditur dapat mengajukan
gugatan ke Lembaga Peradilan secara perdata, mengingat
persoalannya termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata, yang
melibatkan antar person. Kondisi lain yang merepotkan para pihak
yang terikat dalam perjanjian jaminan fiducia adalah belum adanya
Lembaga Fiducia,
sehingga menyulitkan pihak-pihak yang
berkompeten untuk melakukan konsultasi sesuai dengan aturanaturan yang berlaku, dalam rangka menghindari terjadinya sengketa
hukum atas perjanjian jaminan fiducia tersebut.
E. PENUTUP
E.1. Kesimpulan
1. Karakteristik Jaminan Fiducia pada umumnya adalah sebagai
berkut :
a. merupakan agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan
b. obyeknya benda bergerak dan benda tidak bergerak yang
tidak dapat diikat dengan hak tanggungan
c. diadakan sebagai tambahan dalam jaminan pokok
manakala jaminan pokok itu kurang mencukupi
d. dilekatkan dalam perjanjian yang bersifat accesoir
2. Pelaksanaan perjanjian fiducia menurut UU Nomor 42 Tahun
1999 menempatkan kreditur sebagai pihak yang memberikan
pinjaman uang kepada debitur dengan jaminan fiducia, yang
berupa benda bergerak dan atau benda tidak bergerak sebagai
agunan atau jaminannya, serta dilakukan pencatatan data
barang jmainan terlebih dulu sebelum akhirnya dibuatkan
surat perjanjian yang mengikat kreditur dan debitur,
sekaligus pencatatan itu bermanfaat sebagai upaya preventif
terhadap kemungkinan meruginya kreditur jika terjadi
wanprestasi, yakni debitur tidak mau memnuhi kewajiban
pembayaran kreditnya.
E.2. Saran-Saran
1. Mengingat perkembangan minat masyarakat terhadap fasilitasi
perbankan kian meningkat, khususnya dalam rangka

70

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012


memperoleh modal untuk melakukan usaha di bidang-bidang
tertentu yang dapat menopang kebutuhan ekonominya, maka
dipandang perlu adanya lembaga jaminan di tiap-tiap daerah,
yang berperan untuk menafsir atau memperkirakan nilai
ekonomis barang jaminan., sehingga pemenuhan kebutuhan
kreditur dan debitur berimbang, tanpa harus ada yang merasa
dirugikan.
2. Oleh karena pemberian jaminan fiducia itu didasarkan pada
perjanjian yang dibuat oleh pihak debitur dan kreditur, maka
dalam penetapan klausul perjanjiannya harus didasari dengan
itikad baik dari kedua belah pihak agar tidak terjadi
permasalahan hukum di kemudian hari.
------DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT Citra


Aditya Bhakti, Bandung
J. Satrio, 2005, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan
Fidusia, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung
Mariam Badrulzaman, 1978, Mencari Sistem Hukum Benda,
Alumni, Bandung.
Munir Fuady, 2000, Jaminan Fidusia, PT Citra Aditya Bhakti,
Bandung
Philipus, M. Hadjon, dkk, 2006, Metode Penelitian Hukum,
Universitas Merdeka Malang, Malang
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum,
Aksara Baru, Jakarta
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di
Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan
Perorangan, Liberty, Yogyakarta
Subekti dan Tjitrosudibyo, 1987, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta
-------, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fiducia,

Anda mungkin juga menyukai