Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Konseling eksisitensial humanistik adalah konseling yang dikembangkan
oleh Abraham Maslow dalam eksistensial-humanistic terapy. Konseling
eksistensial-humanistik merupakan pendekatan atau model konseling yang
menekankan pada renungan renungan filosofis tentang apa artinya menjadi
manusia yang utuh. Konseling ini menyajikan suatu landasan filosofis bagi
orang orang dalam hubungannya dengan sesamanya yang menjadi ciri khas,
kebutuhan yang unik, dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui
implikasi bagi usaha membantu individu dalam menghadapi pertanyaan dasar
yang mengangkat keberadaan manusia.
Pendekatan eksistensial-humanistik berfokus pada sifat kondisi manusia
yang mencakup : kesanggupan untuk menyadari diri; bebas memilih untuk
menyadari diri, kebebasan dan bertanggung jawab; kecemasan sebagai suatu
unsur dasar; pemberian makna yang unik di dalam dunia yang tidak
bermakna; berada sendirian dan dan berada dalam hubungan dengan orang
lain;

dan

keterhinggaan

dan

kematian

serta

kecenderungan

mengaktualisasikan diri (Soeharto, 2009 : 63-64). Dalam pembahasannya


nanti akan dijelaskan mengenai prinsip dasar, konsep dasar, tujuan, hubungan
konselor dan klien, proses konseling, teknik teknik konseling dan
kecocokannya untuk diterapkan di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
1.

Apa saja yang meliputi prinsip dasar dari konseling eksistensial


humanistik?

2.

Apa saja yang meliputi konsep dasar dari konseling eksistensial


humanistik?

3.

Apa tujuan dari konseling eksistensial humanistik?

4.

Bagaimana hubungan antara konselor dan klien dalam konseling


eksistensial humanistik?

5.

Bagaimana proses dari konseling eksistensial humanistik?

6.

Bagaimana teknik teknik konseling dari konseling eksistensial


humanistik?

7.

Bagaimana kecocokan konseling eksistensial humanistik bila diterapkan


di Indonesia?

C. TUJUAN
1.

Untuk mengetahui prinsip dasar dari konseling eksistensial humanistik.

2.

Untuk mengetahui konsep dasar dari konseling eksistensial humanistik.

3.

Untuk mengetahui tujuan dari konseling eksistensial humanistik.

4.

Untuk mengetahui hubungan antara konselor dan klien dalam konseling


eksistensial humanistik.

5.

Untuk mengetahui proses dari konseling eksistensial humanistik.

6.

Untuk mengetahui teknik teknik konseling dari konseling eksistensial


humanistik.

7.

Untuk mengetahui kecocokan konseling eksistensial humanistik bila


diterapkan di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

Konseling eksisitensial humanistik adalah konseling yang dikembangkan oleh


Abraham Maslow dalam eksistensial-humanistic terapy. Namun dari sumber lain
menyebutkan bahwa banyak sekali ahli psikologi yang berorientasi pada
eksistensial humanistik diantaranya Bugental, Rogers, Rollo May, Frankl,
Jourard, Maslow dan Arbuckle (Gerald Corey,1988 : 53). Berikut merupakan
profil singkat dari Abraham Maslow sebagai pengembang dari pendekatan
eksistensial humanistik :
Nama lengkap

: Abraham Harold Maslow (sering disebut dengan :

Abraham Maslow)
Tempat lahir

: Brooklyn, New York, Amerika Serikat

Tanggal lahir

: Rabu, 1 April 1908

Tanggal meninggal

: 8 Juni 1970 (umur 62)

Abraham Maslow adalah teoretikus yang banyak memberi inspirasi dalam teori
kepribadian. Ia juga seorang psikolog yang berasal dari Amerika dan menjadi
seorang pelopor aliran psikologi humanistik. Ia terkenal dengan teorinya tentang
hirarki kebutuhan manusia.
Mungkin deskripsi yang paling tepat untuk pendekatan eksistensial adalah
pendekatan intelektual pada praktik terapeutik, atau falsafah yang dianut oleh
terapis. Namun sampai sejauh ini pendekatan eksistensial tidak termasuk salah
satu aliran terapi ataupun suatu model yang didesain secara rapi dengan teknik
yang khas. Pendekatan eksistensial-humanistik berkembang sebagai reaksi atas
dua model utama yang lain, yakni psikoanalisis dan behaviorisme. Kedudukan
psikoanalisis adalah bahwa kemerdekaan terbatas pada kekuatan kekuatan,
dorongan dorongan irrasional, dan peristiwa yang telah lewat. Kedudukan
3

behavorisme adalah bahwa kemerdekaan terbatas oleh pengkondisian sosial


budaya. Meskipun pendekatan eksistensial menerima premis bahwa pilihan yang
kita ambil terbatas pada keadaan eksternal, tetapi itu menolak pendapat yang
mengatakan bahwa kita ditentukan olehnya. Pendekatan eksistensial berdasarkan
pada asumsi bahwa kita bebas dan oleh karenanya bertanggung jawab atas pilihan
yang kita ambil dan perbuatan yang kita lakukan.
Menurut Deurzen-Smith (1988), konseling eksistensial tidak dirancang untuk
menyembuhkan orang seperti halnya tradisi model media. Klien tidak dipandang
sebagai orang yang sedang menderita sakit, melainkan sebagai orang yang bosan
hidup atau merasa kikuk menjalani kehidupan. Bagi Deurzen-Smith, orang
orang macam itu memerlukan bantuan untuk menyurvei lapangan dan
menemukan cara mereka sendiri yang terbaik. Sekali klien mulai menyadari
kenyataan bahwa selama ini dia telah secara pasif menerima keadaan dan
menyerah untuk mengontrol, mereka bisa memulai langkah pembentukan
hidupnya sendiri.
Pendekatan eksistensial-humanistik menekankan renungan renungan
filosofis tentang apa artinya menjadi manusia yang utuh. Dapat diartikan bahwa
pendekatan eksistensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia. Banyak ahli
yang berorientasi eksistensial mengajukan argumen menentang pembahasan studi
tingkah laku manusia pada metode metode yang digunakan oleh ilmu
pengetahuan alam. Mereka mengemukakan kebutuhan psikologi akan suatu
perspektif yang lebih luas yang mencakup pengalaman subjektif klien atas dunia
pribadinya. Pendekatan eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak
bisa melarikan diri dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu
saling berkaitan. Dalam penerapannya, pendekatan eksistensial-humanistik
memusatkan perhatian pada asumsi asumsi filosofis yang melandasi konseling.
Pendekatan eksistensial-humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi
manusia dalam hubungan dengan sesamanya yang menjadi ciri khas dan
kebutuhan yang unik yang menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui
implikasi implikasi bagi usaha membantu individu dalam menghadapi
pertanyaan pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia.

A. PRINSIP DASAR
Manusia adalah makhluk yang selalu dalam keadaan transisi,
berkembang, membentuk diri dan menjadi sesuatu. Berikut merupakan uraian
mengenai sifat manusia dalam eksistensinya :
1.

Manusia adalah makhluk yang memiliki eksistensi yang bergerak


dinamis. Ini berarti bahwa manusia memiliki sifat menjadi atau
mengada atau ingin diakui keber-ada-annya atau eksistensinya.
Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur dan
mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada
kemampuan individu dalam mengektualisasikan potensi potensinya.

2.

Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran yang selalu mengarah


ke luar dirinya. Ini berarti bahwa manusia tidak bersifat imanen
(terkurung dalam dirinya), melainkan transeden (keluar atau melampaui
dirinya sendiri). Melalui transeden, dunia di luar dirinya lalu menjadi
bagian dari dirinya. Manusia tidak pernah puas dengan lingkungan yang
sudah ada yang diberikan alam pada dirinya. Realitas yang semula
obyektif, lalu diberi makna subyektif, sesuai dengan kebutuhannya.
Realitas yang semula liar dan tidak terkendali, menjadi dunia yang bisa
dijinakkan

dan

dikendalikan.

Realitas

yang

semula

mungkin

menyakitkan dan tidak menyenangkan, diupayakan untuk menjadi dunia


yang menyehatkan dan menyenangkan.
3.

Manusia tidak hidup sendiri dan berada dalam diri sendiri, melainkan
berada dalam dunianya. Ini berarti bahwa manusia adalah ada-dalamdunia, dapat pula diartikan manusia tidak bisa lepas dari dunianya atau
tidak dapat terealisasi tanpa dunianya. Tidak mungkin manusia
dipisahkan dengan dunianya dan sebaliknya, tidak mungkin dunia
dilepaskan dari manusia yang mengkonstitusikannya (menciptakan atau
memaknakannya).

4.

Manusia hidup dalam Mitelt, Eigenwelt dan Umwelt. Mitelt adalah dunia
perhubungan antar manusia, yakni dalam perhubungan manusia terdapat

perasaan cinta dan benci yang tergantung pada sejumlah faktor yang
bersifat manusiawi, misalnya keputusan pribadi dan komitmen pada
orang lain. Eigenwelt adalah kesadaran diri dan perhubungan diri, yakni
pusat dari perspektif manusia dan pusat perhubungan manusia dengan
benda benda atau orang lain. Umwelt adalah dunia kebutuhan biologis,
dorongan hewani, naluri tidak sadar, dan segala sesuatu yang biasanya
dinamakan lingkungan (environment).
5.

Manusia memiliki pengalaman yang berbeda dengan yang lain atau


pengalaman miliki pribadi. Ini berarti bahwa manusia memiliki
pengalaman yang tak bisa digantikan oleh orang lain. Dicontohkan saat
manusia dalam keadaan sakit atau sedih, tidak ada seorangpun yang bisa
menggantikan posisinya yang sakit atau sedih. Kehadiran orang lain bisa
mengurangi perasaan sakit atau kesedihan tetapi tak bisa menggantikan
posisinya. Dengan demikian pengalaman manusia seperti penderitaan,
kekecewaan, ketakutan, kebahagiaan, kepuasan dan sebagainy adalah hak
milik pribadi yang menandakan individualitas manusia. Manusia pertama
tama individu baru kemudian masyarakat.

6.

Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya. Ini berarti


bahwa nasib dan takdir manusia, struktur hidup manusia dan juga
konsepsi tentang manusia adalah dipilih dan ditentukan sendiri oleh
manusia.

7.

Manusia memiliki sifat otentik dan tidak otentik. Ini berarti bahwa dalam
berperilaku, manusia dapat bertindak secara otentik maupun tidak
otentik. Sifat otentik manusia antara lain : sadar diri, bertindak atas
kekuatan sendiri, dan bersedia mendengarkan hati nurani. Sedangkan
sifat tidak otentik manusia antara lain : manusia lupa diri, dikuasai oleh
kekuatan massa atau oleh pesona benda, mengabaikan hati nurani,
gampang terpengaruh oleh iklan yang menggoda, dan sebagainya.

(Zainal Abidin, 2002 : 10-13)

B. KONSEP DASAR
Konseling eksistensial-humanistik adalah pendekatan atau model
konseling yang menekankan pada renungan renungan filosofis tentang apa
artinya menjadi manusia yang utuh. Konseling ini terutama berpijak pada
premis bahwa manusia tidak dapat melarikan diri dari kebebasan , kebebasan
dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Konseling ini menyajikan suatu
landasan filosofis bagi orang orang dalam hubungannya dengan sesamanya
yang menjadi ciri khas, kebutuhan yang unik, dan menjadi tujuan
konselingnya, dan yang melalui implikasi bagi usaha membantu individu
dalam menghadapi pertanyaan dasar yang mengengkat keberadaan manusia.
(Soeharto, 2009 : 63-64)
Konseling ini berfokus pada sifat kondisi manusia yang mencakup :
1.

Kapasitas untuk sadar akan dirinya.


Sebagai umat manusia kita bisa mengenang kembali dan
menentukan pilihan oleh karena kita menyadari diri kita sendiri. Makin
tebal kesadaran kita itu, makin besar kemungkinan kita untuk
mendapatkan kebebasan. Oleh karena itu, mengembangkan kesadaran
kita adalah meningkatkan kemampuan kita untuk bisa hidup secara
penuh. Kita menjadi sadar bahwa :
a.

Kita ini serba terbatas, dan waktu yang kita miliki untuk berbuat
sesuatu yang kita inginkan dalam hidup ini adalah terbatas.

b.

Kita ada potensi untuk bertindak atau tidak bertindak, tidak


mengambil tindakan adalah sebuah keputusan.

c.

Kita memilih tindakan yang kita ambil, oleh karenanya, kita


menentukan sebagian dari nasib kita.

d.

Makna bukan secara otomatis dipersembahkan kepada kita


melainkan merupakan hasil dari usaha kita mencari dan menciptakan
suatu tujuan yang unik.

e.

Kecemasan eksistensial, yang pada dasarnya suatu kesadaran akan


kebebasan kita sendiri, merupakan bagian hidup yang esensiil; pada
saat kita meningkatkan kesadaran kita akan tersedianya pilihan yang

bisa kita ambil maka kitapun juga telah meningkatkan rasa tanggung
jawab kita akan konsekuensi yang akan kita tanggung dari penentuan
pilihan itu.
f.

Rasa kesepian, ketidakbermanaan, kekosongan, rasa bersalah, dan


rasa terasing adalah hal hal yang selalu bisa kita alami.

g.

Pada dasarnya kita ini adalah sendiri, namun kita ada kesempatan
untuk berhubungan dengan orang lain.
Kesadaran diri merupakan akar dari kapasitas dari manusia pada

umumnya, maka keputusan untuk mengembangkannya merupakan hal


yang fundamental bagi pertumbuhan manusia. Berikut adalah daftar dari
kesadaran yang kemudian timbul yang dialami individu dalam proses
konseling.
a.

Mereka melihat betapa mereka mengadakan tawar menawar antara


keamanan dalam lingkup ketergantungan dengan kerisauan yang
menyertai menentukan pilihannya sendiri.

b.

Mereka mulai melihat bahwa identitas mereka diikat oleh difinisi


tentang diri mereka yang dibuat oleh orang lain yaitu bahwa mereka
mencari persetujuan dan konfirmasi tentang keberadaan mereka dari
orang lain dan bukan mencari sendiri untuk mendapatkan ketegasan.

c.

Mereka mengetahui bahwa dalam banyak hal mereka membiarkan


diri mereka menjadi tawanan dari beberapa dari keputusan mereka di
masa lalu, dan mereka kemudian tahu bahwa mereka bisa membuat
keputusan baru.

d.

Mereka telah mengetahui bahwa meskipun mereka tidak bisa


mengubah peristiwa peristiwa tertentu dalam hidupnya mereka
bisa mengubah sudut pandang mereka dan bereaksi terhadap
peristiwa itu.

e.

Mereka telah mengetahui bahwa mereka tidak mendapat kutukan


untuk mengalami masa depan yang sama seperti masa lalu, oleh
karena mereka telah belajar dari masa lalu mereka dan dengan bakal
itu bisa membentuk kembali masa depan mereka.

f.

Mereka melihat kenyataan akan keterbatasan mereka namun masih


merasa bahwa mereka bukan tidak berguna, oleh karena mereka tahu
bahwa untuk menjadi berguna mereka tidak perlu harus sempurna.

g.

Mata mereka bisa menjadi terbuka akan kenyataan bahwa kegagalan


dalam hidup yang mereka alami pada saat ini disebabkan oleh sikap
mereka yang masih melibatkan masa lalu, atau sibuk merencanakan
masa depan, atau berusaha untuk melakukan terlalu banyak hal hal
dengan segera.
Meningkatnya kesadaran diri, yang mencakup kesadaran akan

adanya alternatif, motivasi, faktor yang mempengaruhi seseorang, dan


tujuan hidup pribadi, merupakan sasaran dari semua konseling. Adalah
tugas konselor untuk menunjukkan pada klien bahwa peningkatan
kesadaran memerlukan imbalan. Pada saat orang menjadi lebih sadar,
orang akan tahu bahwa untuk pulang kembali dirasa makin sulit.
Mengabaikan kondisi seseorang mungkin saja telah membawa kepuasan
bersamaan dengan rasa sebagian kematian, namun apabila orang
membuka pintu dunianya, orang bisa mengharapkan perjuangan yang
lebih seru dan juga potensi yang lebih besar untuk bisa memenuhi
keinginan.
2.

Kebebasan dan tanggung jawab.


Seseorang itu bebas untuk menentukan pilihan di antara alternatif
alternatif yang ada dan oleh karenanya mengambil peranan yang besar
dalam menentukan nasibnya sendiri. Meskipun kita dulu tidak ada
pilihan untuk dilahirkan atau tidak, cara kita hidup dan menjadi apa kita
ini merupakan hasil dari pilihan pilihan yang telah kita tentukan. Oleh
karena realitas dari kebebasan yang esensiil ini, kita harus menerima
tanggung jawab dari arah hidup yang telah kita tentukan sendiri itu. Kita
sepenuhnya bertanggungjawab terhadap hidup kita, tindakan kita dan
kegagalan kita untuk bertindak. Hal ini dikarenakan kita memiliki
komitmen pada pilihan yang telah kita pilih sendiri.

Konseling eksistensial yang dilakukan terus menerus mengarahkan


fokus pada pertanggungjawaban klien atas situasi mereka. Mereka tidak
membiarkan klien menyalahkan orang lain, menyalahkan kekuatan dari
luar, ataupun menyalahkan bunda mengandung. Apabila klien tidak mau
mengakui dan menerima pertanggungjawaban bahwa sebenarnya mereka
sendirilah yang menciptakan situasi yang ada, maka sedikit saja motivasi
mereka untuk ikut terlibat dalam usaha perubahan pribadi (May &
Yalom, 1989; Yalom 1980).
Konseling eksistensial membantu klien dalam menemukan betapa
mereka telah menghindari kebebasan dan membangkitkan semangat
mereka unuk belajar mengambil resiko dengan menggunakan kebebasan
itu. Apabila klien tidak dapat mengambil resiko sendiri, maka bisa jadi
klien akan tergantung pada konselor. Secara eksplisit klien menerima
fakta bahwa sebenarnya klien memiliki pilihan, meskipun mungkin
selama hidupnya selalu berusaha untuk menghindarinya. Meskipun
begitu, inisiatif untuk berubah harus berasal dari klien.
3.

Usaha untuk mendapatkan identitas dan bisa berhubungan dengan orang


lain.
Orang menaruh perhatian pada keunikan mereka dan posisi sentral
mereka, namun pada saat yang sama mereka ada minat untuk pergi
keluar dari diri mereka untuk berhubungan dengan orang lain dan alam.
Kita masing masing ingin menemukan diri sendiri yaitu mendapatkan
(menciptakan) identitas diri kita. Ini bukanlah suatu proses otomatis, dan
diperlukan beberapa hal sebagai berikut :
a.

Keberanian untuk ada. Memang untuk menemukan inti kita dan


belajar bagaimana caranya hidup dari dalam diri kita memerlukan
keberanian. Kita berjuang untuk bisa menemukan, menciptakan, dan
tetap mempertahankan inti yang berada jauh dalam diri kita.

b.

Mengalami kesendirian. Sebagian kondisi dari manusia adalah


mengalami kesendirian. Tetapi kita bisa mendapatkan kekuatan yang
berasal dari pengalaman melihat pada diri sendiri dan memahami

10

keterasingan kita itu. Rasa terasing datang manakala kita mengakui


bahwa kita tidak bisa bergantung pada orang lain untuk menentukan
konformasi yaitu bahwa kita, tanpa bantuan orang lain, harus
menentukan makna hidup kita dan kita sendirian harus menentukan
seberapa baiknya kita akan menjalani hidup.
c.

Mengalami keterkaitan. Kita umat manusia tergantung pada


hubungan dengan orang lain. Kita ingin bermakna di dunia orang
lain, dan kita ingin merasa bahwa kehadiran orang lain di dunia kita
adalah penting. Manakal kita mampu berdiri sendiri maka hubungan
kita dnegan orang lain berdasar pada apa yang berhasil kita lakukan
dan bukan pada kekurangan kita. Namun, apabila kita merasa adanya
kekurangan dalam diri kita maka kita terpaksa mengharapkan sedikit
hubungan dengan orang lain yang sifatnya menggantungkan diri,
sebagai parasit dan simbiotik.
Pada saat berjalannya proses pemberian identitas diri individu

dengan mendasarkan diri pada apa kata orang, yang sebenarnya terjadi
adalah bahwa individu menjadi orang asing terhadap dirinya sendiri.
Eksistensi tidak otentik mencakup bermain mencari status demi pujian
pada gaya hidup yang dijalani. Individu atau klien yang seperti itu, tidak
hanya kehilangan kontak dengan diri mereka sendiri, tetapi juga
kehilangan landasan penting untuk mengembangkan hubungan yang
intens atau memuaskan dengan orang lain.
Kesadaran akan kesendirian yang pada akhirnya dialami, seperti
kesadaran akan datangnya maut dan kebebasan yang dimiliki, bisa
menakutkan.seperti halnya banyak dari individu yang menampik untuk
menerima kebebasan dan pertanggungjawaban oleh karena takut akan
resiko yang menyertainya, beberapa individu mungkin berusaha untuk
tidak menerima kesendirian dan keterasingan mereka.
Tugas konselor membantu klien untuk dapat memahami diri mereka
dengan mencari titik di mana mereka telah kehilangan sentuhan identitas
mereka, terutama dengan jalan membiarkan orang lain memolakan hidup

11

bagi mereka. Hal ini mungkin akan menakutkan klien, karena mereka
terpaksa menerima kembali kebebsan mereka yang awalnya telah
diberikan pada orang lain. Dengan realitas seperti itu, diharapkan klien
bisa menemukan jalannya sendiri.
4.

Pencarian makna.
Karakteristik manusia yang khas adalah perjuangan demi rasa
signifikan dan adanya tujuan hidup dalam hidup ini. Adapun problema
yang kita hadapi adalah :
a.

Problema membuang nilai lama. Salah satu problema seseorang


adalah orang tersebut mampu membuang nilai tradisional atau nilai
yang dipaksakan tanpa bisa menemukan nilai lain yang cocok untuk
menggantikannya. Mereka mencari peanduan serta nilai baru yang
cocok bagi faset dari diri mereka yang baru saja ditemukan namun
untuk sementara belum mereka rasakan.

b.

Ketidakbermaknaan hidup. Seseorang berpendapat bahwa dunia


tempat ia hidup nampak tidak bermakna, maka iapun akan bertanya
tanya apakah masih pantas untuk terus berjuang bahkan untuk
hidup.

c.

Menciptakan makna baru. Seseorang menemukan makna hidup yang


baru. Kemauan mendapatkan makna merupakan perjuangan utama
seorang individu. Hidup ini tidak dengan sendirinya bermakna; si
individu harus menciptakan dan menemukan makna (Frankl, 1978)
Orang yang menjalani kehidupan yang secara psikologis serba

terbatas memiliki kesadaran pribadi yang hanya terbatas, banyak dari


potensi mereka terkunci, mereka anggap hidup ini menjemukan dan tidak
bermakna, dan mereka sering bertanya tanya apakah ini semua yang
ada dalam hidup ini. Ketidakbermaknaan dalam hidup membaawa ke
kekosongan bak benda yang tidak ada isinya, suatu kondisi yang oleh
Frank disebut vakum eksistensial. Ada saatnya orang yang merasa
terperangkap dalam kekosongan hidup mereka menarik diri dari
perjuangan menciptakan hidup yang bertujuan. Oleh karena tidak ada

12

pola untuk hidup yang telah ditentuakan lebih dahulu, maka orang
dihadapkan dengan tugas untuk menciptakan makna mereka sendiri.
Ketidakbermaknaan adalah kondisi yang tumbuh dari perasaan
ketidaksempurnaan, atau kesadaran akan kenyataan bahwa orang ternyata
tidak menjadi siapa dia seharusnya. Ketidakbermaknaan juga merupakan
kesadaran bahwa tindakan serta pilihan seseorang mengungkapkan
kurang dari potensi sepenuhnya yang dimilikinya sebagai pribadi.
Manakala orang mengabaikan potensi potensi tertentu yang dimiliki,
maka tentu ada perasaan kesalahan eksistensial ini. Beban kesalahan ini
tidak dipandang sebagai neurotik, juga bukan sebagai gejala yang
memerlukan penyembuhan.yang dilakukan konselor melalui konseling
eksistensial adalah menggalinya untuk mengetahui apa yang bisa
dipelajari klien tentang cara mereka menjalani kehidupan dan hal ini bisa
digunakan untuk menantang kehadiran makna dan arah hidup.
5.

Kecemasan sebagai kondisi dalam hidup.


Bermula

dari

usaha

seseorang

untuk

hidup

dan

untuk

mempertahankan dan tetap menekankan arti pada keberadaannya, maka


ia harus berkonfrontasi dengan kecemasan sebagai bagian dari kondisi
manusia yang tidak terelakkan. Kecemasan ada dua macam yakni
kecemasan biasa dan kesemasan neurotik. Kecemasan biasa merupakan
tanggapan yang cukup wajar tehadap peristiwa yang selalu dihadapi,
kecemasan ini tidak perlu ditumpas dan justru digunakan sebagai
motivasi ke arah perubahan. Sedangkan kecemsan neurotik adalah
kecemasan yang keluar dari proporsi situasi yang ada, kecemasan ini
terjadi di luar kesadaran dan cenderung menjadikan orang tidak memiliki
mobilitas.
Kecemasan eksistensial adalah rasa keresahan yang kita alami
manakala kita menjadi sadar bahwa kita bisa menjadi yang bisa
diandalkan oleh diri kita sendiri akan apa yang akan terjadi karena
keberadaan kita. Oleh karena kecemasan eksistensial membuat kita tidak
nyaman dan oleh karena beban pertanggungjawaban pribadi itu berat,

13

kita ada kecenderungan untuk menghindar dari kecemasan ini dan


mengingkari pertanggungjawabanan atas apa yang terjadi terhadap
keberadaan kita. Meskipun kita telah mengembangkan cara menerapkan
strategi dalam hal menangani kecemasan ini, strategi itu semua tidak bisa
jalan ketika kita menghadapi krisis dalam hidup. Seringkali klien masuk
ke ruang konseling dengan harapan konselor bisa menghilangkan
penderitaannya atau paling tidak memberikan suatu formula agar
kecemasannya bisa berkurang. Namun, konselor yang berorientasi
eksistensial tidak mengabdikan diri pada sekadar menghilangkan gejala
adanya kecemasan atau pada pengurangan kecemasan. Sebenarnya,
konselor eksistensial tidak memandang kecemasan sebagai sesuatu yang
tidak diharapkan.
Kecemasan merupakan materi yang produktif. Kalau klien tidak
mengalami kecemasan maka motivasi untuk mengalami perubahan
menjadi rendah. Kecemasan dapat ditransformasikan menjadi energi
yang dibutuhkan untuk bisa menahan resiko bereksperimen dengan
perilaku baru. Konselor dan klien dapat menggali kemungkinan yang
ada, yaitu bahwamelepaskan diri dari pola yang tidak sehat dan
membangun gaya hidup baru bisa disertai dengan kecemasan untuk
sementara, keresahan itu akan berkurang pada saat klien mengalami hal
hal yang lebih memuaskan dengan cara cara hidup yang lebih baru.
Manakal klien menjadi lebih percaya diri maka kecemasan mereka
sebagai akibat dari ramalan ramalan akan datangnya bencana akan
menjadi berkurang.
6.

Kesadaran akan maut dan ketiadaan.


Kematian bukanlah hal yang negatif melainkan kesadaran akan
kematian itu memberi arti yang penting pada hidup. Maut itu adalah hal
yang tak dapat dihindari oleh manusia karena keabadian manusia itu
adalah hal yang mustahil. Kesadaran akan maut merupakan sumber
semangat kehidupan dan kreatifitas.

14

Hidup dan mati itu saling bertautan. Agar bisa tumbuh kita harus ada
kemauan untuk membiarkan beberapa dari masa lalu kita. Sebagian dari
kita harus mati apabila dikehendaki munculnya dimensi baru dari
keberadaan kita. Kita tidak bisa melekat pada aspek neurotik dari masa
lalu kita dan pada saat yang bersamaan mengharapkan sisi yang lebih
kreatif dari kita untuk berkembang dengan semarak. Konselor membantu
klien agar dapat memobilisasikan dirinya untuk seacara sungguh
sungguh memanfaatkan waktu yang masih mereka miliki, dan ini bisa
menggugah mereka untuk mau menerima kemungkinan bahwa mereka
bisa meneriman keberadaannya sebagai mayat hidup sebagai pengganti
kehidupan yang lebih bermakna.
7.

Perjuangan untuk aktualisasi diri.


Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk
menjadi apa saja yang mereka mampu. Setiap orang memiliki dorongan
bawaan untuk menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki
kecenderungan ke arah pengembangan keunikan dan ketunggalan,
penemuan identitas pribadi, dan perjuangan demi aktualisasi potensi
potensinya secara penuh. Jika seseorang mampu mengaktualkan potensi
potensinya sebagai pribadi, maka dia akan mengalami kepuasan yang
paling dalam yang bisa dicapai oleh manusia, sebab demikianlah alam
mengharapkan mereka berbuat.
Menjadi pribadi bukanlah suatu proses yang otomatis, namun setiap
orang memiliki hasrat untuk menjadi sesuatu yang sesuai dengan
kemampuannya. Meskipun kita ingin tumbuh ke arah kematangan,
kemandirian dan aktualisasi, kita menyadari bahwa perluasaan diri adalah
suatu proses yang menyakitkan. Itulah sebabnya perjuangan itu adalah
antara keamanan dari kebergantungan dan kesenangan dengan sakitnya
pertumbuhan.
Abraham Maslow (1968, 1970) dari penenlitiannya terhadap subjek
subjek yang sehat memberikan kepada kitasuatu perspektif untuk
memahami sifat aktualisasi diri. Orang orang yang normal tidak pernah

15

menumbuhkan diri menjadi apa yang mereka sanggup. Maslow


berargumen bahwa orang orang yang sehat berbeda dengan orang
orang yang normal, baik jenisnya maupun tingkatannya, dan bahwa
penelitian tentang orang yang sehat maupun yang rata rata
menghasilkan dua macam psikologi yang berbeda.
Dalam upaya menciptakan psikologi humanistik yang berfokus pada
bisa menjadi apa seseorang, Maslow merancang suatu studi yang
menggunakan subjek subjek yang terdiri dari orang orangyang
mengaktualkan diri. Beberapa ciri yang ditemukan oleh Maslow (1968,
1970) pada orang orang yang mengaktualkan diri itu adalah
kesanggupan menoleransi dan bahkan menyambut ketidaktentuan dalam
hidup mereka, penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain,
kespontanan dan kreatifitas, kebutuhan akan privacy dan kesendirian,
otonomi, kesanggupan menjalin hubungan interpersonal yang mendalan
dan intens, perhatian yang tulus terhadap orang lain, rasa humor,
keterarahan kepada diri sendiri (kebalikan dari kecenderungan untuk
hidup berdasarkan pengharapan orang lain), dan tidak adanya dikotomi
dikotomi yang artifisial (seperti kerja-bermain, cinta-benci, lemah-kuat).
Menurut kodratnya, manusia memiliki dorongan yang kuat ke arah
aktualisasi diri dan ingin mencapai lebih dari sekadar keberadaan yang
aman tetapi statis. Kecenderungan dasarnya adalah mencapai potensinya
yang tertinggi sekalipun harus berhadapan dengan masalah masalah
internal dan penolakan penolakan eksternal.

C. TUJUAN KONSELING EKSISTENSIAL HUMANISTIK


Tujuan dari konseling eksistensial-humanistik adalah sebagai berikut :
1.

Menyajikan

kondisi

untuk

memaksimalkan

kesadaran

diri

dan

pertumbuhan,
2.

Menghapus penghambat aktualisasi diri,

16

3.

Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih


dengan memperluas kesadaran diri,

4.

Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab atas arah


kehidupannya sendiri.
(Soeharto, 2009 : 64)
Dalam buku lain disebutkan bahwa pendekatan eksistensial bertujuan

agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar


atas keberadaan dan potensi potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka
diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya.
Pada dasarnya, tujuan pendekatan eksistensial adalah meluaskan
kesadaran diri klien, dan karenya meningkatkan kesanggupan pilihannya,
yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya. Penerimaan
tanggung jawab itu bukan suatu hal yang mudah, banyak orang yang takut
akan beratnya bertanggung jawab ataa menjadi apa dia sekarang dan akan
menjadi apa dia selanjutnya. Mereka harus memilih, misalnya akan tetap
berpegang pada kehidupan yang dikenalnya atau akan membuka diri kepada
kehidupan yang kurang pasti dan lebih menantang. Justru tiadanya jaminan
jaminan dalam kehidupan itulah yang menimbulkan kecemasan. Oleh karena
itu, pendekatan eksistensial juga bertujuan membantu klien agar mampu
menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan
menerima kenyataan bahwa dirinya kebih dari sekadar korban kekuatan
kekuatan deterministik di luar dirinya. ( Gerald Corey, 1988 : 56)

D. HUBUNGAN KONSELOR KLIEN


Hubungan antara konselor dan klien sangat penting, penekanannya
diletakkan pada pertemuan antar manusi dan perjalanan bersama alih alih
pada teknik teknik yang mempengaruhi klien. Isi pertemuannya adalah
pengalaman klien sekarang, bukan masalah klien. Hubungan dengan orang
lain dalam kehadiran yang otentik difokuskan kepada di sini dan sekarang.

17

Masa lampau atau masa depan hanya penting bila waktunya berhubungan
langsung.
Konselor hendaknya bertingkah laku yang otentik dan terbuka, mengajak
klien kepada keotentikan. Diharapkan konselor mampu membangun
hubungan Aku Kamu, di mana pembukaan diri pada konselor yang spontan
mampu menunjang pertumbuhan keontetikan klien. Sebagaimana dinyatakan
Sidney Jourard (1971, hal 142), manipulasi menghasilkan kontramanipulasi,
pembukaan diri menghasilkan pembukaan diri pula. Konselor diharapkan
mampu menjadi jernih ketika kejernihan itu diperlukan dalam hubungan
antara konselor dan klien, dan dengan kemanusiawiannya dia menstimulasi
klien untuk mengetuk potensinya ke arah kerielan (realness).
Yang dilakukan konselor di atas dapat disebut sebagai komunikasi
antarpribadi. Melalui proses komunikasi antarpribadi ini, klien mulai semakin
menyadari kemampuannya sendiri untuk mengatur dan menentukan arah
hidupnya sendiri secara bebas dan bertanggung jawab. Klien diharapkan akan
menjadi semakin mampu mengatasi beraneka kesulitan dan bermacam
tantangan dengan menempatkannya dalam kerangka suatu sikap mendasar
terhadap kehidupannya sebagai manusia., yang harus menerima realita hidup
sebagaimana

adanya

dan

harus

memperkaya

diri

sendiri

melalui

pengahayatan makna kehidupannya. Klien yang melibatkan diri sepenuhnya


dalam hidup secara otentik (commitment to life), akan dapat menentukan apa
yang sebaiknya dilakukannya pada saat tertentu dalam kehidupannya.

E. PROSES KONSELING EKSISTENSIAL HUMANISTIK


Proses konseling ini seperti halnya yang terjadi pada konseling yang
dikembangkan oleh Carl R. Rogers, langkah langkahnya secara implisit
dapat dipahami dari peran konselor dalam konseling, sebagai berikut :
1.

Memberikan reaksi reaksi pribadi dalam kaitan dengan apa yang


dikatakan klien.

18

2.

Terlibat dalam sejumlah pernyataan pribadi yang relevan dan pantas


tentang pengalaman pengalaman yang mirip dengan yang dialami oleh
klien.

3.

Meminta kepada klien untuk mengungkapkan ketakutannya terhadap


keharusan memilih dalam dunia yang tidak pasti.

4.

Meminta kepada klien untuk melihat seluruh cara ia menghindari


perbuatan putusan putusan, dan memberikan penilaian terhadap
penghindaran diri itu.

5.

Mendorong klien untuk memeriksa jalan hidupnya pada periode sejak


memulai terapi dengan bertanya : Jika Anda bisa secara ajaib kembali
kepada cara Anda ingat kepada diri Anda sebelum terapi, maukah Anda
melakukan sekarang?

6.

Memberitahukan kepada klien bahwa konselor sedang mempelajarinya,


bahwa apa yang dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat yang khas
sebagai manusia bahwa klien pada akhirnya sendirian, bahwa ia harus
memutuskan untuk dirinya sendiri, bahwa ia akan mengalami kecemasan
atas ketidakpastian putusan putusan yang dibuat, dan bahwa ia akan
berjuang untuk menetapkan makna kehidupannya di dunia yang sering
tampak tak bermakna.

F. TEKNIK TEKNIK KONSELING EKSISTENSIAL HUMANISTIK


Dalam konseling ini, teknik teknik yang dipergunakan meminjam
teknik teknik dari pendekatan atau model konseling lain, terutama dari
Konseling Terpusat pada Klien. Teknik teknik tersebut adalah :
1.

Penerimaan (acceptance), yaitu sikap menerima atas sikap dan perasaan


klien. Yakni menyambut dan menampung dengan tidak ada keterpaksaan
atau dengan terbuka apa yang disampaikan klien walaupun klien sedang
meluapkan emosinya. Menganggap bahwa sikap dan perasaan klien yang
dicurahkan adalah hal yang wajar. Serta mengizinkan klien meluapkan
sikap dan perasaannya pada konselor.

19

2.

Rasa hormat (respect), yaitu rasa hormat terhadap kemuliaan klien.


Yakni menghargai klien dan pengalaman yang diceritakannya apapun
yang dicurahkan klien dan dalam keadaan seperti apapun (marah, sedih,
dan sebagainya). Rasa hormat juga ditunjukkan dengan memberikan
perhatian pada klien atau tidak mengacuhkan klien.

3.

Memahami (understanding), yaitu memahami atas keadaan klien. Yakni


konselor mampu mengetahui, mengerti dan memahami benar apa yang
disampaikan / diceritakan klien, walaupun cerita klien katakanlah
amburadul karena luapan emosi, namun konselor mampu meluruskan
pembicaraan sehingga tidak tercecer kemana mana atau sesuai dengan
topik cerita awal yang ingin disampaikan klien.

4.

Menentramkan, meyakinkan (reassurance). Yakni konselor mampu


menenangkan klien yang sedang meluapkan emosinya baik kemarahan,
kesedihan, kekecewaan dan sebagainya. Serta mendengarkan sungguh
sungguh apa yang diutarakan klien.

5.

Memberi dorongan (encouragement). Yakni konselor memberikan


dorongan klien untuk menceritakan lebih detail pengalaman yang dialami
oleh klien.

6.

Pertanyaan terbatas (limited questioning). Yakni konselor memberikan


pertanyaan yang terbatas, diibaratkan sedikit tapi tepat sasaran. Bukan
pertanyaan yang banyak dan memburu klien. Walaupun sebagai konselor
memiliki keingintahuan yang banyak mengenai pengalaman klien,
namun konselor harus mampu mengontrolnya dengan pertanyaan yang
tidak terlalu banyak atau pertanyaan yang terbatas.

7.

Memantulkan pernyataan dan perasaan klien (reflection). Yakni konselor


hendaknya dapat merefleksi secara tepat terhadap perasaan yang sedang
berkecamuk dalam diri klien. Dapat menanggapi perasaan klien dengan
tepat berarti pula dapat memahaminya. Konselor dapat memahami
perasaan klien melalui ekspresi verbal klien atau kata kata serta isi
pembicaraan klien, dan ekspresi nonverbal klien atau cara klien
berbicara, mimik muka, tekanan suara, dan sebagainya.

20

8.

Menunjukkan sikap yang mencerminkan ikut merasakan apa yang


dirasakan klien (emphaty). Yakni konselor memahami apa yang
dirasakan klien namun tak mendalaminya. Empati berbeda dengan
simpati. Simpati adalah memahami apa yang dirasakan seseorang atau
lebih pada rasa kasihan dan ikut andil atau ikut membantu orang tersebut
dalam bentuk yang nyata atau bertindak, sebagai contoh : seorang
pengusaha merasa kasihan kepada pengemis jalan dan Ia memberinya
uang. Sedangkan empati hanyalah ikut merasakan apa yang dirasakan
seseorang tanpa ada tindakan yang nyata.

9.

Bersikap mengijinkan klien untuk apa saja yang bermakna (permissive


attitudes). Yakni konselor bersikap terbuka pada klien dan mengijinkan
klien untuk berpikir secara terbuka mengenai penyelesaiannya sendiri.

G. KECOCOKANNYA UNTUK DITERAPKAN DI INDONESIA


Kecocokan dari konseling eksistensial humanistik untuk diterapkan di
Indonesia terletak pada pendapat bahwa konseling eksistensial humanistik
merupakan konseling yang diberikan pada individu untuk tidak melarikan diri
dari kebebasannya namun tetap bertanggung jawab. Hal ini dapat bermanfaat
untuk menolong klien menangani nilai-nilai budaya mereka. Indonesia adalah
Negara multikultural. Ada kalanya klien mungkin merasa bahwa hidup
mereka tidak terkontrol, dan mereka mungkin memiliki perasaan bahwa
merekalah yang digiring. Oleh karena itu, dengan adanya konseling
eksistensial humanistik, diharapkan manusia Indonesia dapat tetap bebas
berpikir dan bersikap otentik dalam setiap permasalahannya serta
bertanggung jawab atas kebebasan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa konseling eksistensial humanistik cocok diterapkan di Indonesia.

21

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa konseling
eksisitensial humanistik adalah konseling yang dikembangkan oleh Abraham
Maslow dalam eksistensial-humanistic terapy. Konseling eksistensialhumanistik merupakan pendekatan atau model konseling yang menekankan
pada renungan renungan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia yang
utuh. Pendekatan eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa
melarikan diri dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu
saling berkaitan. Dalam pembahasannya di atas telah dijelaskan mengenai
prinsip dasar dan konsep dasar mengenai hakikat manusia menurut
eksistensinya; tujuan yang berintikan meluaskan kesadaran diri klien, dan
karenya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan
bertanggung jawab atas arah hidupnya; hubungan konselor dan klien saat
terlaksananya proses konseling eksistensial humanistik, proses konseling
yang berisi langkah langkah dalam konseling eksistensial humanistik,
teknik teknik konseling eksistensial humanistik dan kecocokannya untuk
diterapkan di Indonesia yang menghasilkan argumen cocok untuk diterapkan
di Indonesia.

B. SARAN
Diharapkan

dengan

adanya

pembahasan

konseling

eksistensial

humanistik pada makalah ini, konselor dapat menggunakannya sebagai acuan


dalam pelaksanaan konseling. Sehingga konselor dapat membantu klien yang
memiliki masalah dalam kebebasannya, untuk dapat berpikir otentik dalam
menyelesaikan masalahnya serta bertanggung jawab pada kebebasannya.

22

DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT
Refika Aditama.
Corey, Gerald. 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT
ERESCO.
Abidin, Zainal. 2002. Analisis Eksistensial untuk Psikologi dan Psikiatri.
Bandung : PT Refika Aditama.
Soeharto. 2009. Teknik Teknik Konseling Individual. Surakarta : Panitia
Program Pendidikan Profesi Guru FKIP UNS.
Globe, Frank G. 1987. Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham Maslow.
Yogyakarta : PENERBIT KANISIUS.

23

Anda mungkin juga menyukai