Pulpa dalam gigi sewaktu-waktu dapat terkena infeksi atau radang. Pemicu hal ini antara lain lubang
yang sudah dalam, proses lubang yang berlanjut di bawah tambalan, kebiasaan mengerot-ngerot
saat tidur (bruxisme), perokok (menurut penelitian lebih sering menderita masalah pada gigi yang
membutuhkan penanganan berupa PSA), peradangan gusi parah, tindakan penambalan yang
berulang-ulang pada gigi, crack atau keretakan pada gigi, serta trauma (misalnya gigi terbentur
karena kecelakaan).
Walaupun secara visual tidak terdapat kerusakan (misalkan pada crack yang halus),
namun hal-hal di atas dapat menghancurkan lapisan pelindung pulpa sehingga bakteri dapat masuk.
Bakteri kemudian dapat keluar dari ujung akar dan menimbulkan infeksi pada tulang dan gusi di
sekitar akar gigi. Bila pulpa yang telah terinfeksi tidak diobati maka dapat menimbulkan sakit dan
akan terbentuk nanah.
PSA dibutuhkan karena dapat membuang pulpa dan bakteri yang menyebabkan infeksi, sehingga
tulang di sekitar gigi dapat sehat kembali dan sakit gigi pun hilang. Gejala-gejala gigi yang
membutuhkan perawatan yaitu: sakit sepanjang waktu, selalu sensitif terhadap panas atau dingin,
sakit saat mengunyah atau bila disentuh, gigi goyang, gusi bengkak, diskolorasi (perubahan warna)
gigi, pipi bengkak dan adanya jerawat kecil berwarna putih di gusi yang mengeluarkan nanah.
Bagaimana pun, terkadang ada juga kasus yang tidak terdapat gejala-gejala tersebut sama sekali.
Bila satu atau lebih gejala tersebut terjadi pada anda, bisa jadi anda membutuhkan perawatan
saluran akar. Pencabutan belum tentu menyelesaikan masalah. Bila gigi yang sakit dicabut, gigi-gigi
di sebelahnya akan bergeser sehingga mengganggu gigitan dan pengunyahan. Gigi yang hilang
bisa saja diganti dengan gigi palsu, tapi rasanya tidak akan bisa senyaman gigi asli, khususnya saat
dipakai menggigit dan mengunyah makanan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah semua pembuatan mahkota dan jembatan harus dilakukan pulpektomi?
2. Apa saja macam-macam perawatan endodontik beserta indikasi dan kontraindikasinya?
3. Apa saja prosedur perawatan endodontik konvensional?
4. Apa saja teknik dari perawatan saluran akar?
5. Apa saja faktor yang menyebabkan kegagalan dari perawatan saluran akar?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah semua pembuatan mahkota dan jembatan harus dilakukan pulpektomi.
2. Untuk mengetahui macam-macam perawatan endodontik beserta indikasi dan kontraindikasinya.
3. Untuk mengetahui prosedur perawatan endodontik konvensional.
4. Untuk mengetahui teknik dari perawatan saluran akar.
5. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan kegagalan dari perawatan saluran akar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada perawatan saluran akar, setelah jaringan pulpa di keluarkan akan terdapat luka yang
kemudian dibersihkan dan didesinfeksi dengan instrumentasi dan irigasi. Luka ini tidak akan tertutup
epitelium, seperti luka pada bagian tubuh lain karena itu mudah terkena infeksi ulang. Untuk
mencegah penetrasi mikroorganisme dan toksin dari luar melalui ruang pulpa ke tubuh, ruang ini
harus ditutup dibagian koronal dan apikal, hal ini untuk mencegah infeksi dan juga untuk memblokir
lubang masuk ke periapikal bagi organisme. Selain itu untuk mencegah infeksi ulang dari ruang
pulpa oleh mikroorganisme dari rongga mulut. Seluruh ruang pulpa harus diisi, jadi memblokir tubula
2. Faktor Penderita
Faktor penderita yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu perawatan saluran
akar adalah sebagai berikut (Ingle, 1985; Cohen & Burns, 1994; Walton &Torabinejad, 1996) :
1. Motivasi Penderita
Pasien yang merasa kurang penting memelihara kesehatan mulut dan melalaikannya, mempunyai
risiko perawatan yang buruk. Ketidaksenangan yang mungkin timbul selama perawatan akan
menyebabkan mereka memilih untuk diekstraksi (Sommer, 1961).
2. Usia Penderita
Usia penderita tidak merupakan faktor yang berarti bagi kemungkinan keberhasilan atau kegagalan
perawatan saluran akar. Pasien yang lebih tua usianya mengalami penyembuhan yang sama
cepatnya dengan pasien yang muda. Tetapi penting diketahui bahwa perawatan lebih sulit dilakukan
pada orang tua karena giginya telah banyak mengalami kalsifikasi. Hali ini mengakibatkan prognosis
yang buruk, tingkat perawatan bergantung pada kasusnya (Ingle, 1985).
3. Keadaan kesehatan umum
Pasien yang memiliki kesehatan umum buruk secara umum memiliki risiko yang buruk terhadap
perawatan saluran akar, ketahanan terhadap infeksi di bawah normal. Oleh karena itu keadaan
penyakit sistemik, misalnya penyakit jantung, diabetes atau hepatitis, dapat menjelaskan kegagalan
perawatan saluran akar di luar kontrol ahli endodontis (Sommer, dkk, 1961; Cohen & Burns, 1994).
3. Faktor Perawatan
Faktor perawatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu perawatan saluran
akar bergantung kepada :
1. Perbedaan operator
Dalam perawatan saluran akar dibutuhkan pengetahuan dan aplikasi ilmu biologi serta pelatihan,
kecakapan dan kemampuan dalam manipulasi dan menggunakan instrumen-instrumen yang
dirancang khusus. Prosedur-prosedur khusus dalam perawatan saluran akar digunakan untuk
memperoleh keberhasilan perawatan. Menjadi kewajiban bagi dokter gigi untuk menganalisa
pengetahuan serta kemampuan dalam merawat gigi secara benar dan efektif (Healey, 1960; Walton
&Torabinejad, 1996).
2. Teknik-teknik perawatan
Banyak teknik instrumentasi dan pengisian saluran akar yang tersedia bagi dokter gigi, namun
keuntungan klinis secara individual dari masing-masing ukuran keberhasilan secara umum belum
dapat ditetapkan. Suatu penelitian menunjukan bahwa teknik yang menghasilkan penutupan apikal
yang buruk, akan menghasilkan prognosis yang buruk pula (Walton & Torabinejad, 1996).
3. Perluasan preparasi atau pengisian saluran akar.
Belum ada penetapan panjang kerja dan tingkat pengisian saluran akar yang ideal dan pasti.
Tingkat yang disarankan ialah 0,5 mm, 1 mm atau 1-2 mm lebih pendek dari akar radiografis dan
disesuaikan dengan usia penderita. Tingkat keberhasilan yang rendah biasanya berhubungan
dengan pengisian yang berlebih, mungkin disebabkan iritasi oleh bahan-bahan dan penutupan
apikal yang buruk. Dengan tetap melakukan pengisian saluran akar yang lebih pendek dari apeks
radiografis, akan mengurangi kemungkinan kerusakan jaringan periapikal yang lebih jauh (Walton &
Torabinejad, 1996).
4. Faktor Anatomi Gigi
Faktor anatomi gigi dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan suatu perawatan saluran akar
dengan mempertimbangkan :
1. Bentuk saluran akar
Adanya pengbengkokan, penyumbatan,saluran akar yang sempit, atau bentuk abnormal lainnya
akan berpengaruh terhadap derajat kesulitan perawatan saluran akar yang dilakukan yang memberi
efek langsung terhadap prognosis (Walton & Torabinejad, 1996).
2. Kelompok gigi
Ada yang berpendapat bahwa perawatan saluran akar pada gigi tunggal mempunyai hasil yang
lebih baik dari pada yang berakar jamak. Hal ini disebabkan karena ada hubungannya dengan
interpretasi dan visualisasi daerah apikal pada gambaran radiografi. Tulang kortikal gigi-gigi anterior
lebih tipis dibandingkan dengan gigi-gigi posterior sehingga lesi resorpsi pada apeks gigi anterior
terlihat lebih jelas. Selain itu, superimposisi struktur radioopak daerah periapikal untuk gigi-gigi
anterior terjadi lebih sedikit, sehingga interpretasi radiografinya mudah dilakukan. Radiografi standar
lebih mudah didapat pada gigi anterior, sehingga perubahan periapikal lebih mudah diobservasi
dibandingkan dengan gambaran radiologi gigi posterior (Walton & Torabinejad, 1989).
3. Saluran lateral atau saluran tambahan
Hubungan pulpa dengan ligamen periodontal tidak terbatas melalui bagian apikal saja, tetapi juga
melalui saluran tambahan yang dapat ditemukan pada setiap permukaan akar. Sebagian besar
ditemukan pada setengah apikal akar dan daerah percabangan akar gigi molar yang umumnya
berjalan langsung dari saluran akar ke ligamen periodontal (Ingle, 1985).
Preparasi dan pengisian saluran akar tanpa memperhitungkan adanya saluran tambahan, sering
menimbulkan rasa sakit yang hebat sesudah perawatan dan menjurus ke arah kegagalan perawatan
akhir (Guttman, 1988).
5. Kecelakaan Prosedural
Kecelakaan pada perawatan saluran akar dapat memberi pengaruh pada hasil akhir perawatan
saluran akar, misalnya :
1. Terbentuknya ledge (birai) atau perforasi lateral.
Birai adalah suatu daerah artifikasi yang tidak beraturan pada permukaan dinding saluran akar yang
merintangi penempatan instrumen untuk mencapai ujung saluran (Guttman, et all, 1992). Birai
terbentuk karena penggunaan instrumen yang terlalu besar, tidak sesuai dengan urutan;
penempatan instrument yang kurang dari panjang kerja atau penggunaan instrumen yang lurus
serta tidak fleksibel di dalam saluran akar yang bengkok (Grossman, 1988, Weine, 1996).
Birai dan ferforasi lateral dapat memberikan pengaruh yang merugikan pada prognosis selama
kejadian ini menghalangi pembersihan, pembentukan dan pengisian saluran akar yang memadai
(Walton & Torabinejad, 1966).
2. Instrumen patah
Patahnya instrumen yang terjadi pada waktu melakukan perawatan saluran akar akan
mempengaruhi prognosis keberhasilan dan kegagalan perawatan. Prognosisnya bergantung pada
seberapa banyak saluran sebelah apikal patahan yang masih belum dibersihkan dan belum
diobturasi serta seberapa banyak patahannya. Prognosis yang baik jika patahan instrumen yang
besar dan terjadi ditahap akhir preparasi serta mendekati panjang kerja. Prognosis yang lebih buruk
jika saluran akar belum dibersihkan dan patahannya terjadi dekat apeks atau diluar foramen apikalis
pada tahap awal preparasi (Grossman, 1988; Walton & Torabinejad, 1996).
4. Fraktur akar vertikal
Fraktur akar vertikal dapat disebabkan oleh kekuatan kondensasi aplikasi yang berlebihan pada
waktu mengisi saluran akar atau pada waktu penempatan pasak. Adanya fraktur akar vertikal
memiliki prognosis yang buruk terhadap hasil perawatan karena menyebabkan iritasi terhadap
ligamen periodontal (Walton &Torabinejad, 1996).
BAGAN PERAWATAN SALURAN AKAR
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 PEMBUATAN GIGI TIRUAN MAHKOTA DAN JEMBATAN
Bridge Fixed Prosthodontic (gigi tiruan jembatan), merupakan Gigi Tiruan Cekat untuk
menggantikan kehilangan gigi asli dimana gigi asli yang hilang itu masih di dampingi 2 gigi yang
masih ada di sebelahnya. Ke-2 gigi tetangga yang masih ada itu di jadikan abutment (penyangga)
untuk pontik (gigi hilang yang akan kita gantikan). Ke-2 gigi tetangga itu akan di kecilkan ukurannya
pada saat preparasi, dibuatkan mahkota jacket dan di buat perlekatannya pada ke-2 penyangga ini
dengan di sementasi sehingga tidak dapat dilepas pasien.
Sedangkan untuk pembuatan mahkota, crown di jadikan indikasi karena menutupi seluruh
permukaan gigi dengan direkatkan oleh bahan cement perekat ke sisa mahkota gigi asli, sehingga
akan lebih awet dan tak mudah lepas. Perlekatannya dengan gigi umumnya baik, namun masih
dapat dilepas oleh dokter gigi dengan alat khusus. Jadi, metode pembuatannya, sisa jaringan gigi
asli si pasien di preparasi dengan mengecilkan ukuran gigi asli dahulu sehingga crown dapat di
rekatkan secara permanen. Selama crown dibuat, pada pasien akan dibuatkan provisoris (mahkota
sementara). Dan tentu saja, gigi tersebut masih dalam keadaan vital, dimana pulpa gigi belum
terkena. Jika pulpa gigi terkena,maka konsep perawatan berubah menjadi perawatan saluran akar
dan pembuatan mahkota pasak berinti.
Jadi pembuatan gigi tiruan jembatan dan mahkota tidak harus melalui pulpektomi. Pulpektomi
dilakukan apabila pulpa gigi dari gigi yang akan dipreparasi terkena infeksi. Bila gigi dalam keadaan
vital (pulpa belum terkena) maka pulpektomi tidak perlu dilakukan.
3.2 MACAM-MACAM PERAWATAN ENDODONTIK
3.2.1. ENDO KONVENSIONAL
1. PULP CAPPING
a. DIREK
b. INDIREK
2. PULPOTOMI
3. PERAWATAN S.A
a. PULPEKTOMI
b. ENDOINTRAKANAL
4. APEKSIFIKASI
3.2.2. ENDO BEDAH
1. KURETASE APEKS
2. RESEKSI APEKS
3. INTENTIONAL REPLANT
4. HEMISEKSI
5. IMPLAN ENDODONTIK
3.2.3. Indikasi umum perawatan endodonsia :
1. Gigi dengan kelainan yang telah mengenai jaringan pulpa dan periapikal
2. Sebagai pencegahan untuk menghindari infeksi jaringan periapikal
3. Untuk rencana pembuatan mahkota pasak
4. Sebagai penyangga / abunment gigi tiruan
5. Kesehatan umum pasien baik
6. Oral hygiene pasien baik
7. Masih didukung jaringan penyangga gigi yang baik
8. Pasien bersedia untuk dilakukan perawatan
9. Operator mampu.
3.2.4. Kontraindikasi perawatan endodonsia :
1. Gigi yang tidak dapat direstorasi lagi
2. Tidak didukung jaringan penyangga gigi yang cukup
3. Gigi yang tidak strategis, tidak mempunyai nilai estetik dan fungsional. Misalnya gigi yang
lokasinya jauh di luar lengkung.
4. Fraktur vertikal
5. Resorpsi yang luas baik internal maupun eksternal
6. Gigi dengan saluran akar yang tidak dapat dipreparasi; akar terlalu bengkok, saluran akar banyak
dan berbelit-belit.
7. Jarak interoklusal terlalu pendek sehingga akan menyulitkan dalam instrumentasi.
8. Kesehatan umum pasien buruk
9. Pasien tidak bersedia untuk dilakukan perawatan
10. Operator tidak mampu.
3.3 PERAWATAN ENDODONTIK KONVENSIONAL
Tujuan dasar dari perawatan endodontik pada anak mirip dengan pasien dewasa, yaitu untuk
meringankan rasa sakit dan mengontrol sepsis dari pulpa dan jaringan periapikal sekitarnya serta
mengembalikan keadaan gigi yang sakit agar dapat diterima secara biologis oleh jaringan
sekitarnya. Ini berarti bahwa tidak terdapat lagi simtom, dapat berfungsi dengan baik dan tidak ada
tanda-tanda patologis yang lain. Faktor pertimbangan khusus diperlukan pada saat memutuskan
rencana perawatan yang sesuai untuk gigi geligi sulung yaitu untuk mempertahankan panjang
lengkung rahang.
3.3.1 Pulp Capping
Pulp Capping didefinisikan sebagai aplikasi dari satu atau beberapa lapis bahan pelindung di atas
pulpa vital yang terbuka. Bahan yang biasa digunakan untuk pulp capping ini adalah kalsium
hidroksida karena dapat merangsang pembentukan dentin sekunder secara efektif dibandingkan
bahan lain. Tujuan pulp capping adalah untuk menghilangkan iritasi ke jaringan pulpa dan
melindungi pulpa sehingga jaringan pulpa dapat mempertahankan vitalitasnya. Dengan demikian
terbukanya jaringan pulpa dapat terhindarkan. Teknik pulp capping ini ada dua yaitu indirect pulp
capping dan direct pulp capping.
3.3.1.1 Indirect Pulp Capping
Istilah ini digunakan untuk menunjukan penempatan bahan adhesif di atas sisa dentin karies.
Tekniknya meliputi pembuangan semua jaringan karies dari tepi kavitas dengan bor bundar
kecepatan rendah. Lalu lakukan ekskavasi sampai dasar pulpa, hilangkan dentin lunak sebanyak
mungkin tanpa membuka kamar pulpa. Basis pelindung pulpa yang biasa dipakai yaitu zinc okside
eugenol atau dapat juga dipakai kalsium hidroksida yang diletakan di dasar kavitas. Apabila pulpa
tidak lagi mendapat iritasi dari lesi karies diharapkan jaringan pulpa akan bereaksi secara fisiologis
terhadap lapisan pelindung dengan membentuk dentin sekunder. Agar perawatan ini berhasil
jaringan pulpa harus vital dan bebas dari inflamasi.
Biasanya atap kamar pulpa akan terbuka saat dilakukan ekskavasi. Apabila hal ini terjadi maka
tindakan selanjutnya adalah dilakukan direct pulp capping atau tindakan yang lebih radikal lagi yaitu
amputasi pulpa (pulpotomi).
3.3.1.2 Direct Pulp Capping
Direct Pulp Capping menunjukkan bahwa bahan diaplikasikan langsung ke jaringan pulpa. Daerah
yang terbuka tidak boleh terkontaminasi oleh saliva, kalsium hidroksida dapat ditempatkan di dekat
pulpa dan selapis semen zinc okside eugenol dapat diletakkan di atas seluruh lantai pulpa dan
biarkan mengeras untuk menghindari tekanan pada daerah perforasi bila gigi di restorasi. Pulpa
diharapkan tetap bebas dari gejala patologis dan akan lebih baik jika membentuk dentin sekunder.
Agar perawatan ini berhasil maka pulpa di sekitar daerah terbuka tersebut harus vital dan dapat
terjadi proses perbaikan.
Langkah-langkah Pulp Capping :
1. Siapkan peralatan dan bahan.
Gunakan kapas, bor, dan peralatan lain yang steril.
2. Isolasi gigi.
Selain menggunakan rubber dam, isolasi gigi juga dapat menggunakan kapas dan saliva ejector,
jaga posisinya selama perawatan.
3. Preparasi kavitas.
Tembus permukaan oklusal pada tempat karies sampai kedalaman 1,5 mm (yaitu kira-kira 0,5 mm
ke dalam dentin. Pertahankan bor pada kedalaman kavitas dan dengan hentakan intermitten
gerakan bor melalui fisur pada permukaan oklusal.
4. Ekskavasi karies yang dalam
Dengan perlahan-lahan buang karies dengan ekskavator, mula-mula dengan menghilangkan karies
tepi kemudian berlanjut ke arah pulpa. Jika pulpa vital dan bagian yang terbuka tidak lebih besar
diameternya dari ujung jarum maka dapat dilakukan pulp capping.
5. Berikan kalsium hidroksida.
Keringkan kavitas dengan cotton pellet lalu tutup bagian kavitas yang dalam termasuk pulpa yang
terbuka dengan pasta kalsium hidroksida.
3.3.2 Pulpotomi
Pulpotomi adalah pembuangan pulpa vital dari kamar pulpa kemudian diikuti oleh penempatan obat
di atas orifis yang akan menstimulasikan perbaikan atau memumifikasikan sisa jaringan pulpa vital
di akar gigi. Pulpotomi disebut juga pengangkatan sebagian jaringan pulpa. Biasanya jaringan pulpa
di bagian korona yang cedera atau mengalami infeksi dibuang untuk mempertahankan vitalitas
jaringan pulpa dalam saluran akar. Pulpotomi dapat dipilih sebagai perawatan pada kasus yang
melibatkan kerusakan pulpa yang cukup serius namun belum saatnya gigi tersebut untuk dicabut,
pulpotomi juga berguna untuk mempertahankan gigi tanpa menimbulkan simtom-simtom khususnya
pada anak-anak.
Indikasi pulpotomi adalah anak yang kooperatif, anak dengan pengalaman buruk pada pencabutan,
untuk merawat pulpa gigi sulung yang terbuka, merawat gigi yang apeks akar belum terbentuk
sempurna, untuk gigi yang dapat direstorasi.
Kontraindikasi pulpotomi adalah pasien yang tidak kooperatif, pasien dengan
penyakit jantung kongenital atau riwayat demam rematik, pasien dengan kesehatan umum yang
buruk, gigi dengan abses akut, resorpsi akar internal dan eksternal yang patologis, kehilangan
tulang pada apeks dan atau di daerah furkasi. Saat ini para dokter gigi banyak menggunakan
formokresol untuk perawatan pulpotomi. Formokresol merupakan salah satu obat pilihan dalam
perawatan pulpa gigi sulung dengan karies atau trauma. Obat ini diperkenalkan oleh Buckley pada
tahun 1905 dan sejak saat itu telah digunakan sebagai obat untuk perawatan pulpa dengan tingkat
dengan zinc oxide. Keluarkan kapas yang mengandung formokresol dan berikan pasta secukupnya
untuk menutupi pulpa di bagian akar. Serap pasta dengan kapas basah secara perlahan dalam
tempatnya. Dressing antiseptik digunakan bila ada sisa-sisa infeksi.
9. Restorasi gigi.
Tempatkan semen dasar yang cepat mengeras sebelum menambal dengan amalgam atau penuhi
dengan semen sebelum preparasi gigi untuk mahkota stainless steel.
3.3.2.2 Pulpotomi Non Vital
Prinsip dasar perawatan endodontik gigi sulung dengan pulpa non vital adalah untuk mencegah
sepsis dengan cara membuang jaringan pulpa non vital, menghilangkan proses infeksi dari pulpa
dan jaringan periapikal, memfiksasi bakteri yang tersisa di saluran akar.
Perawatan endodontik untuk gigi sulung dengan pulpa non vital yaitu perawatan pulpotomi mortal
(pulpotomi devital). Pulpotomi mortal adalah teknik perawatan endodontik dengan cara
mengamputasi pulpa nekrotik di kamar pulpa kemudian dilakukan sterilisasi dan penutupan saluran
akar.
Langkah-langkah perawatan pulpotomi devital :
Kunjungan pertama:
1. Siapkan instrumen dan bahan.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Preparasi kavitas.
4. Ekskavasi karies yang dalam.
5. Buang atap kamar pulpa dengan bor fisur steril dengan handpiece kecepatan rendah.
6. Buang pulpa di bagian korona dengan ekskavator besar atau dengan bor bundar.
7. Cuci dan keringkan pulpa dengan air atau saline steril, syringe disposible dan jarum steril.
8. Letakkan arsen atau euparal pada bagian terdalam dari kavitas.
9. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
10. Bila memakai arsen instruksikan pasien untuk kembali 1 sampai dengan 3 hari, sedangkan jika
memakai euparal instruksikan pasien untuk kembali setelah 1 minggu
Kunjungan kedua :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
Lihat apakah pulpa masih vital atau sudah non vital. Bila masih vital lakukan lagi perawatan seperti
pada kunjungan pertama, bila pulpa sudah non vital lakukan perawatan selanjutnya.
3. Berikan bahan antiseptik.
4. Tekan pasta antiseptik dengan kuat ke dalam saluran akar dengan cotton pellet.
5. Aplikasi semen zinc oxide eugenol.
6. Restorasi gigi dengan tambalan permanen.
3.3.3 Pulpektomi
Pulpektomi adalah pengangkatan seluruh jaringan pulpa. Pulpektomi merupakan perawatan untuk
jaringan pulpa yang telah mengalami kerusakan yang bersifat irreversibel atau untuk gigi dengan
kerusakan jaringan keras yang luas. Meskipun perawatan ini memakan waktu yang lama dan lebih
sukar daripada pulp capping atau pulpotomi namun lebih disukai karena hasil perawatannya dapat
diprediksi dengan baik. Jika seluruh jaringan pulpa dan kotoran diangkat serta saluran akar diisi
dengan baik akan diperoleh hasil perawatan yang baik pula.
Indikasi perawatan pulpektomi pada anak adalah gigi yang dapat direstorasi, anak dengan keadaan
trauma pada gigi insisif sulung dengan kondisi patologis pada anak usia 4-4,5 tahun, tidak ada
gambaran patologis dengan resorpsi akar tidak lebih dari dua pertiga atau tiga perempat.
3.3.3.1 Pulpektomi Vital
Langkah-langkah perawatan pulpektomi vital satu kali kunjungan :
1. Pembuatan foto Rontgen.
Untuk mengetahui panjang dan jumlah saluran akar serta keadaan jaringan sekitar gigi yang akan
dirawat. Pemberian anestesi lokal untuk menghilangkan rasa sakit pada saat perawatan.
b. Daerah operasi diisolasi dengan rubber dam untuk menghindari kontaminasi bakteri dan saliva.
c. Jaringan karies dibuang dengan bor fisur steril. Atap kamar pulpa dibuang dengan menggunakan
bor bundar steril kemudian diperluas dengan bor fisur steril.
d. Jaringan pulpa di kamar pulpa dibuang dengan menggunakan ekskavatar atau bor bundar
kecepatan rendah.
e. Perdarahan yang terjadi setelah pembuangan jaringan pulpa dikendalikan dengan menekankan
cotton pellet steril yang telah dibasahi larutan saline atau akuades selama 3 sampai dengan 5 menit.
f. Kamar pulpa dibersihkan dari sisa-sisa jaringan pulpa yang telah terlepas kemudian diirigasi dan
dikeringkan dengan cotton pellet steril. Jaringan pulpa di saluran akar dikeluarkan dengan
menggunakan jarum ekstirpasi dan headstrom file.
g. Saluran akar diirigasi dengan akuades steril untuk menghilangkan kotoran dan darah kemudian
dikeringkan dengan menggunakan paper point steril yang telah dibasahi dengan formokresol
kemudian diaplikasikan ke dalam saluran akar selama 5 menit.
h. Saluran akar diisi dengan pasta mulai dari apeks hingga batas koronal dengan menggunakan
jarum lentulo.
i. Lakukan lagi foto rontgen untuk melihat ketepatan pengisian.
j. Kamar pulpa ditutup dengan semen, misalnya dengan semen seng oksida eugenol atau seng
fosfat.
k. Selanjutnya gigi di restorasi dengan restorasi permanen.
3.3.3.2 Pulpektomi Non Vital
Perawatan endodontik untuk gigi sulung dengan pulpa non vital adalah pulpektomi mortal
(pulpektomi devital). Pulpektomi mortal adalah pengambilan semua jaringan pulpa nekrotik dari
kamar pulpa dan saluran akar gigi yang non vital, kemudian mengisinya dengan bahan pengisi.
Walaupun anatomi akar gigi sulung pada beberapa kasus menyulitkan untuk dilakukan prosedur
pulpektomi, namun perawatan ini merupakan salah satu cara yang baik untuk mempertahankan gigi
sulung dalam lengkung rahang.
Langkah-langkah perawatan pulpektomi non vital :
Kunjungan pertama :
1. Lakukan foto rontgen.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Buang semua jaringan karies dengan ekskavator, selesaikan preparasi dan desinfeksi kavitas.
4. Buka atap kamar pulpa selebar mungkin.
5. Jaringan pulpa dibuang dengan ekskavator sampai muara saluran akar terlihat.
6. Irigasi kamar pulpa dengan air hangat untuk melarutkan dan membersihkan debris.
7. Letakkan cotton pellet yang dibasahi trikresol formalin pada kamar pulpa.
8. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
9. Instruksikan pasien untuk kembali 2 hari kemudian.
Kunjungan kedua :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Jaringan pulpa dari saluran akar di ekstirpasi, lakukan reaming, filling, dan irigasi.
4. Berikan Beechwood creosote.
2. Celupkan cotton pellet dalam beechwood creosote, buang kelebihannya, lalu letakkan dalam
kamar pulpa.
5. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
6. Instruksikan pasien untuk kembali 3 sampai dengan 4 hari kemudian.
Kunjungan ketiga :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Keringkan kamar pulpa, dengan cotton pellet yang berfungsi sebagai stopper masukkan pasta
sambil ditekan dari saluran akar sampai apeks.
b. Outline Form Kaninus RA : bentuknya oval / bulat dengan arah insiso servikal
c. Outline Form Premolar RA : bentuknya oval memanjang seperti ginjal dengan arah bukal palatal
Bekerja lambat
Harus berkontak langsung
Dapat digunakan sebagai antiseptik antar kunjungan (terutama pada gigi nekrotik)
3.4.8.5.6 Antibiotik
3.4.8.5.7 Kombinasi
3.4.9. Perbenihan
3.4.9.1 Prosedur perbenihan :
- Pasien dikontrol lebih dulu
- Siapkan papper point dan cotton pellet. Masukkan papper point dan cotton pellet ke dalam
Glassbead sterilisator dan ditutup, nyalakan, biarkan sampai lampu pada glassbead sterilisator
menjadi hijau (Ready). Papper point dan cotton pellet siap digunakan. Buka alat glassbead
sterilisator.
Hasil Perbenihan negatif, saluran akar dapat diisi dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut
:
- Tidak ada keluhan pasien
- Tidak ada gejala klinik
- Tidak ada eksudat dalam saluran akar (cek dari papper point yang terdapat dalam saluran akar
caranya ulaskan papper point pada glass lab. Bila tidak berbekas, berarti bisa dilakukan pengisian),
papper point diulaskan di glass lab.
- Tumpatan sementara masih baik
Hasil pembenihan positif, maka dilakukan sterilisasi ulang sampai hasil pembenihan negatif.
3.4.10. Bahan Pengisian Saluran Akar
3.4.10.1 Syarat-Syarat Bahan Pengisi Saluran Akar
a. Bahan harus dapat dengan mudah dimasukkan ke saluran akar.
b. Harus menutup saluran ke arah lateral dan apikal.
c. Harus tidak mengerut setelah dimasukkan.
d. Harus kedap terhadap cairan.
e. Harus bakterisidal atau paling tidak harus menghalangi pertumbuhan bakteri.
f. Harus radiopak.
g. Tidak menodai struktur gigi.
h. Tidak mengiritasi jaringan periapikal atau mempengaruhi struktur gigi.
i. Harus steril atau dapat segera disterilkan dengan cepat sebelum dimasukkan.
j. Bila perlu dapat dikeluarkan dengan mudah dari saluran akar.
3.4.10.2 Gigi Sulung
- Zinc oxide eugenol paste
- Iodoform paste
- Calcium hydroxide
3.4.10.3 Gigi Permanen
3.4.10.3.1 Siller berbasis OSE
Keuntungan :
Riwayat keberhasilan berlangsung lama, kualitas positif mengalahkan aspek negatifnya (mewarnai
gigi, waktu pengerasan sangat lambat, tidak adhesive, larut).
3.4.10.3.2 Formula Grossman
Bubuk :
- ZnO (badan semen) 42 bagian
Dengan teknik preparasi saluran akar secara step back. Sering digunakan hampir semua keadaan
kecuali pada saluran akar yang sangat bengkok / abnormal
Tahapan :
- Pencampuran pasta
- Guttap point ( trial foto disterilkan 70% alcohol dan dikeringkan
- Guttap point nomor 25 (MAF) diulasi dengan pasta ke saluran akar sesuai dengan tanda yang
telah dibuat dan ditekan kea rah lateral menggunakan spreader.
- Ke dalam saluran akar diberi guttap tambahan, setiap memasukan guttap di tekan ke arah lateral
sampai saluran akar penuh dan spreader tidak dapat masuk dalam saluran akar.
- Guttap point dipotong 1-2mm dibawah orifice dengan eskavator yang telah dipanasi
- Guttap point dipadatkan dengan root canal plugger
- Bila pengisian sudah baik, maka dasar ruang pulpa diberi basis semen seng fosfat, ditutup kapas
dan tumpatan sementara.
3.4.11.4 Teknik Kondensasi Vertical (Gutta perca panas)
Untuk pengisian saluran akar dengan teknik step back. Menggunakan pluger yang dipanaskan,
dilakukan penekanan pada guttap perca yang telah dilunakan dengan panas kearah vertical dan
dengan demikian menyebabkan guttap perca mengalir dan mengisi seluruh lumen saluran akar.
Tahapan :
- Suatu kerucut guttap perca utama sesuai dengan instrument terakhir yang digunakan pada saluran
dengan cara step back
- Dinding saluran dilapisi dengan lapis tipis semen dengan menggunakan lentulo.
- Kerucut disemen
- Ujung koronal kerucut dipotong dengan instrument panas
- Pembawa panas segera didorong ke dalam 1/3 koronal guttap perca. Sebagian terbakar oleh
plugel bila diambil dari saluran akar.
- Condenser vertical dengan ukuran yang sesuai dimasukan dan tekanan vertical dikenakan pada
guttap perca yang telah dipanasi untuk mendorong guttap perca yang menjadi plastis ke arah apikal
- Apikalis panas berganti oleh pembawa panas dan condenser diulangi sampai guttap perca plastis
menutup saluran aksesori besar dan mengisi luman saluran dalam 3 dimensi foramen apikal.
Bagian sisa saluran diisi dengan potongan tambahan guttap perca panas.
- Bila pengisisan sudah baik, maka dasar pulpa diberi basis semen ZnPO4, kemudian ditumpat
sementara.
3.4.11.5 Metode seksional (teknik pluger)
Dapat digunakan untuk mengisi saluran ke arah apikal dan lateral. Teknik menggunakan suatu
bagian kerucut guttap perca untuk mengisi suatu bagian 1/3 saluran akar / ujung apikal.
Tahapan :
- Dinding saluran akar dilapisi semen
- Pluger saluran dimasukan sampai 3-4mm dari apeks dipanaskan dalam sterilitator garam panas
(1011)
- Kerucut guttap perca dipotong beberapa bagian sesuai dengan ukuran saluran yang telah
dipreparasi dengan panjang 3-4mm
- Potong apikal ditempelkan pada pluger yang telah dipanasi, dimasukan ke dalam saluran pada
kedalaman yang sebelumnya telah diukur dan ditekan ke arah vertical
- Pluger dilepas dengan hati-hati untuk mencegah ke luarnya bagian guttap perca yang dimasukan
- Dibuat radiograf untuk memeriksa posisi dan kesesuaian bagian yang dikondensasi
- Bagian berikutnya dimasukan kedalam eukaliptol, dipanaskan tinggi diatas nyala api dan
ditambahkan pada bagian sebelumnya dengan tekanan vertical untuk memampatkan pengisi
3.4.11.6 Metode kompaksi
- Menggunakan panas untuk mengurangi viskositas guttap perca dan menaikan plastisitasnya
- Digunakan untuk pengisi saluran yang lurus
Seleksi kasus menentukan apakah perawatan dapat dilakukan atau tidak. Sejumlah kegagalan yang
disebabkan oleh seleksi kasus yang buruk akan menimbulkan kekliruan dalam menilai kerjasama
pasien serta kesukaran yang mungkin timbul selama perawatan.
4. Merawat gigi dengan prognosis yang buruk.
3. Preparasi berlebihan
Yang dimaksud dengan preparasi berlebihan adalah pengambilan jaringan gigi yang berlebih dalam
arah mesio-distal dan buko-lingual. Hal ini dapat terjadi dibagian koronal atau pertengahan saluran
sehingga melemahkan akar dan dapat menyebabkan fraktur akarselama berlangsungnya
kondensasi.
Pengambilan dentin saluran akar yang terlalu banyak akan melemahkan akar gigi, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya fraktur vertikal.
3. Terkenanya jaringan periodontal
Kegagalan bisa disebabkan karena non endodontik, walaupun perawatan saluran akar dilakukan
dengan baik. Hal ini dapat disebabkan karena efek merusak dari perawatan ortodontik atau penyakit
periodontium.
3.5.4. Tanda-Tanda Kegagalan Perawatan Saluran Akar
Di samping kurangnya konsensus mengenai kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan,
rentang waktu yang diperlukan bagi tindak lanjut pasca perawatan yang memadai juga masih
kontroversial. Periode yang dianjurkan berkisar 6 bulan sampai 4 tahun. Keberhasilan yang nyata
dalam kurun waktu satu tahun bukan keberhasilan yang langgeng karena kegagalan mungkin terjadi
setiap saat. Penentuan berhasil atau tidaknya suatu perawatan diambil dari pemeriksaan klinis dan
radigrafis dan histologis (mikroskopis). Hanya temuan klinis dan radiografis yang dapat dievaluasi
dengan mudah oleh dokter gigi, pemeriksaan histologis pada umumnya digunakan sebagai alat
penelitian.
3.5.4.1. Tanda-tanda Kegagalan secara Klinis
Kegagalan perawatan saluran akar yang dilihat secara klinis yang lazim dinilai adalah tanda gejala
klinis, yaitu :
1. Rasa nyeri baik secara spontan maupun bila kena rangsang.
2. Perkusi dan tekanan terasa peka.
3. Palpasi mukosa sekitar gigi terasa peka.
4. Pembengkakan pada mukosa sekitar gigi dan nyeri bila ditekan.
5. Adanya fistula pada daerah apikal.
3.5.4.2. Tanda-tanda Kegagalan secara Radiografis
Kemungkinan kesalahan dalam interprestasi radiografis adalah faktor penting yang dapat
merumitkan keadaan. Konsistensi dalam jenis film dan waktu pengambilan, angulasi tabung sinar
dan film, kondisi penilaian radiograf yang sama merupakan hal-hal yang penting untuk diperhatikan.
Biasa perorangan juga akan mempengaruhi interpretasi radiografis. Perubahan radiologis
cenderung bervariasi menurut orang yang memeriksanya sehingga pendapat yang dihasilkan pun
berbeda. Tanda-tanda kegagalan perawatan saluran akar secara radiografis adalah adanya :
1. Perluasan daerah radiolusen di dalam ruang pulpa (internal resorption).
2. Pelebaran jaringan periodontium.
3. Perluasan gambaran radiolusen di daerah periapikal.
3.5.4.3. Tanda-tanda Kegagalan secara Histologis (Mikroskopis)
Karena kurangnya penelitian histologis yang terkendali dengan baik, ada ketidakpastian mengenai
derajat korelasi antara temuan histologis dengan gambaran radiologisnya. Pemeriksaan histologis
rutin jaringan periapikal pasien jarang dilakukan. Tanda-tanda kegagalan secara histologis adalah :
1. Adanya sel-sel radang akut dan kronik di dalam jaringan pulpa dan periapikal.
2. Ada mikro abses.
3. Jaringan pulpa mengalami degeneratif sampai nekrotik.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Pembuatan Mahkota dan Jembatan
Pembuatan gigi tiruan jembatan dan mahkota tidak harus melalui pulpektomi. Pulpektomi dilakukan
apabila pulpa gigi dari gigi yang akan dipreparasi terkena infeksi. Bila gigi dalam keadaan vital
4.1.3.2 Pulpotomi
4.1.3.2.1 Pulpotomi vital
Langkah-langkah perawatan pulpotomi vital formokresol satu kali kunjungan untuk gigi sulung :
1. Siapkan instrumen dan bahan.
2. Pemberian anestesi lokal untuk mengurangi rasa sakit saat perawatan
3. Isolasi gigi.
4. Preparasi kavitas.
5. Ekskavasi karies yang dalam.
6. Buang atap pulpa.
7. Buang pulpa bagian korona.
8. Cuci dan keringkan kamar pulpa.
9. Aplikasikan formokresol.
10. Berikan bahan antiseptik.
11. Restorasi gigi.
4.1.3.2.2 Pulpotomi Non-Vital
Langkah-langkah perawatan pulpotomi devital :
Kunjungan pertama:
1. Siapkan instrumen dan bahan.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Preparasi kavitas.
4. Ekskavasi karies yang dalam.
5. Buang atap kamar pulpa dengan bor fisur steril dengan handpiece kecepatan rendah.
6. Buang pulpa di bagian korona dengan ekskavator besar atau dengan bor bundar.
7. Cuci dan keringkan pulpa dengan air atau saline steril, syringe disposible dan jarum steril.
8. Letakkan arsen atau euparal pada bagian terdalam dari kavitas.
9. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
10. Bila memakai arsen instruksikan pasien untuk kembali 1 sampai dengan 3 hari, sedangkan jika
memakai euparal instruksikan pasien untuk kembali setelah 1 minggu
Kunjungan kedua :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Berikan bahan antiseptik.
4. Aplikasi semen zinc oxide eugenol.
5. Restorasi gigi dengan tambalan permanen.
4.1.3.3 Pulpektomi
4.1.3.3.1 Pulpektomi Vital
Langkah-langkah perawatan pulpektomi vital satu kali kunjungan :
1. Pembuatan foto Rontgen.
2. Pemberian anestesi lokal untuk menghilangkan rasa sakit pada saat perawatan.
3. Daerah operasi diisolasi dengan rubber dam untuk menghindari kontaminasi bakteri dan saliva.
4. Jaringan karies dibuang dengan bor fisur steril.
5. Jaringan pulpa di kamar pulpa dibuang dengan menggunakan ekskavatar atau bor bundar
kecepatan rendah.
6. Perdarahan yang terjadi setelah pembuangan jaringan pulpa dikendalikan dengan menekankan
cotton pellet steril yang telah dibasahi larutan saline atau akuades selama 3 sampai dengan 5 menit.
7. Kamar pulpa dibersihkan dari sisa-sisa jaringan pulpa yang telah terlepas kemudian diirigasi dan
dikeringkan dengan cotton pellet steril
8. Saluran akar diirigasi dengan akuades steril untuk menghilangkan kotoran dan darah kemudian
dikeringkan dengan menggunakan paper point steril yang telah dibasahi dengan formokresol
kemudian diaplikasikan ke dalam saluran akar selama 5 menit.
9. Saluran akar diisi dengan pasta mulai dari apeks hingga batas koronal dengan menggunakan
jarum lentulo.
10. Lakukan lagi foto rontgen untuk melihat ketepatan pengisian .
11. Kamar pulpa ditutup dengan semen, misalnya dengan semen seng oksida eugenol atau seng
fosfat.
12. Selanjutnya gigi di restorasi dengan restorasi permanen.
4.1.3.3.2 Pulpektomi Non-Vital
Langkah-langkah perawatan pulpektomi non vital :
Kunjungan pertama :
1. Lakukan foto rontgen.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Buang semua jaringan karies dengan ekskavator, selesaikan preparasi dan desinfeksi kavitas.
4. Buka atap kamar pulpa selebar mungkin.
5. Jaringan pulpa dibuang dengan ekskavator sampai muara saluran akar terlihat.
6. Irigasi kamar pulpa dengan air hangat untuk melarutkan dan membersihkan debris.
7. Letakkan cotton pellet yang dibasahi trikresol formalin pada kamar pulpa.
8. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
9. Instruksikan pasien untuk kembali 2 hari kemudian.
Kunjungan kedua :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Jaringan pulpa dari saluran akar di ekstirpasi, lakukan reaming, filling, dan irigasi.
4. Berikan Beechwood creosote.
5. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
6. Instruksikan pasien untuk kembali 3 sampai dengan 4 hari kemudian.
Kunjungan ketiga :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Keringkan kamar pulpa, dengan cotton pellet yang berfungsi sebagai stopper masukkan pasta
sambil ditekan dari saluran akar sampai apeks.
4. Letakkan semen zinc fosfat.
5. Restorasi gigi dengan tambalan permanen.
4.1.3.4 Endo Intrakanal
Langkah-langkah perawatan endo intrakanal :
1. Pembuatan foto Rontgen.
Untuk mengetahui panjang dan jumlah saluran akar serta keadaan jaringan sekitar gigi yang akan
dirawat.
2. Daerah operasi diisolasi dengan rubber dam untuk menghindari kontaminasi bakteri dan saliva.
3. Jaringan karies dibuang dengan bor fisur steril. Atap kamar pulpa dibuang dengan menggunakan
bor bundar steril kemudian diperluas dengan bor fisur steril.
4. Jaringan pulpa di kamar pulpa dibuang dengan menggunakan ekskavatar atau bor bundar
kecepatan rendah.
5. Kamar pulpa dibersihkan dari sisa-sisa jaringan pulpa yang telah terlepas kemudian diirigasi dan
dikeringkan dengan cotton pellet steril. Jaringan pulpa di saluran akar dikeluarkan dengan
menggunakan jarum ekstirpasi dan headstrom file.
6. Saluran akar diirigasi dengan akuades steril untuk menghilangkan kotoran dan darah kemudian
dikeringkan dengan menggunakan paper point steril yang telah dibasahi dengan formokresol
kemudian diaplikasikan ke dalam saluran akar selama 5 menit.
7. Saluran akar diisi dengan pasta mulai dari apeks hingga batas koronal dengan menggunakan
jarum lentulo.
8. Lakukan lagi foto rontgen untuk melihat ketepatan pengisian.
9. Kamar pulpa ditutup dengan semen, misalnya dengan semen seng oksida eugenol atau seng
fosfat.
10. Selanjutnya gigi di restorasi dengan restorasi permanen.
4.1.4 Teknik Perawatan Saluran Akar
Tahap-tahap perawatan endotektomi :
- Membuat foto untuk diagnose dan rencana perawatan
- Menyiapkan file, paper point
- Melakukan devitalisasi untuk gigi yang masih vital
- Untuk gigi non vital dilakukan pre sterilisasi
- Open bur, mengambil atap pulpa, mencari orifice : preparasi cavity entrance
- DWF ; tentukan panjang kerja
- Preparasi saluran akar dengan file, irigasi, foto preparasi : teknik konvensional, teknik step back,
teknik crown down
- Sterilisasi memakai paper point, obat, kapas steril, tumpatan sementara. Sterilisasi ulang, sampai
paper point kering dan tidak berbau
- Tes perbenihan
- Pengisian pasta Zn Oxide Eugenol : teknik single cone, teknik kondensasi lateral, teknik
kondensasi vertikal
- Foto pengisian
- Basis Zn PO4
- Control 2 minggu kemudian, apabila tidak ada keluhan, dapat ditumpat tetap.
4.1.5 Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Perawatan Saluran Akar
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan suatu perawatan saluran akar
adalah faktor patologi, faktor penderita, faktor perawatan, faktor anatomi gigi dan faktor kecelakaan
prosedural.
2. Macam-macam penyebab terjadinya kegagalan suatu perawatan saluran akar adalah kesalahan
yang terjadi pada tahap praperawatan, kesalahan selama perawatan dan kegagalan
pascaperawatan.
3. Tanda-tanda kegagalan perawatan saluran akar yang mudah ditentukan oleh dokter gigi adalah
dengan cara pemeriksaan klinis dan radiologis, cara histologis jarang dilakukan.
4. Kegagalan perawatan saluran akar sebagian besar disebabkan oleh faktor kesalahan selama
perawatan dan pengisian saluran akar yang tidak sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Bence, R. 1990. Buku Pedoman Endodontik Klinik, terjemahan Sundoro. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia.
Cohen, S. and Burns, R.C. 1994. Pathway of the pulp. 6 th ed. St. Louis : Mosby.
Guttman, J.L. 1992. Problem Solving in Endodontics, Prevention, identification and management. 2
nd ed., St louis : mosby Year Book.
Grossman, L.I., Oliet, S. and Del Rio, C.E., 1988. Endodontics Practice. 11 th ed. Philadelphia : Lea
& febiger.
Harty. FJ. alih bahasa Lilian Yuono. 1992. Endodontik Klinis. Jakarta : Hipokrates.
Ingle, J.L. & Bakland, L.K. 1985. Endodontics. 3 rd ed. Philadelphia : Lea & Febiger.
Mardewi, S. K.S.A. 2003. Endodontologi, Kumpulan naskah. Cetakan I. Jakarta : Hafizh.
Tarigan, R. 1994. Perawatan Pulpa Gigi (endodonti). Cetakan I, Jakarta : Widya Medika.
Walton, R. and Torabinejad, M., 1996. Principles and Practice of Endodontics. 2nd ed. Philadelphia :
W.B. Saunders Co.
Weine, F.S. 1996. Endodontics Theraphy. 5 th ed. St. Louis : Mosby Year Book. Inc
Diposkan oleh Amelia Aya di 09.54 3 komentar:
Epidemiologi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada mulanya epidemiologi diartikan sebagai studi tentang epidemi. Hal ini berarti bahwa
epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja tetapi dalam perkembangan
selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi, sehingga dewasa ini
epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit pada manusia di dalam
konteks lingkungannya. Mencakup juga studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian
determinan-determinan penyakit tersebut. Dapat disimpulkan bahwa epidemiologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang penyebaran penyakit serta determinan-determinan yang mempengaruhi
penyakit tersebut.
Di dalam batasan epidemiologi ini sekurang-kurangnya mencakup 3 elemen, yakni :
a. Mencakup semua penyakit
Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun penyakit non infeksi,
seperti kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrisi), kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan
kerja, sakit jiwa dan sebagainya. Bahkan di negara-negara maju, epidemiologi ini mencakup juga
kegiatan pelayanan kesehatan.
b. Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran dari penyakit-penyakit individu
maka epidemiologi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi penyakit pada populasi
(masyarakat) atau kelompok.
c. Pendekatan ekologi
Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada keseluruhan lingkungan manusia
baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal inilah yang dimaksud pendekatan ekologis.
Terjadinya penyakit pada seseorang dikaji dari manusia dan total lingkungannya.
Di dalam epidemiologi biasanya timbul pertanyaan yang perlu direnungkan yakni :
1. Siapa (who), siapakah yang menjadi sasaran penyebaran penyakit itu atau orang
yang terkena penyakit.
2. Di mana (where), di mana penyebaran atau terjadinya penyakit.
3. Kapan (when), kapan penyebaran atau terjadinya penyakit tersebut.
Jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan ini adalah merupakan faktor-faktor yang
menentukan terjadinya suatu penyakit. Dengan perkataan lain terjadinya atau penyebaran suatu
penyakit ditentukan oleh 3 faktor utama yakni orang, tempat dan waktu.
Peranan epidemiologi, khususnya dalam konteks program Kesehatan dan Keluarga Berencana
adalah sebagai tool (alat) dan sebagai metode atau pendekatan. Epidemiologi sebagai alat diartikan
bahwa dalam melihat suatu masalah KB-Kes selalu mempertanyakan siapa yang terkena masalah,
di mana dan bagaimana penyebaran masalah, serta kapan penyebaran masalah tersebut terjadi.
Demikian pula pendekatan pemecahan masalah tersebut selalu dikaitkan dengan masalah, di mana
atau dalam lingkungan bagaimana penyebaran masalah serta bilaman masalah tersebut terjadi.
Kegunaan lain dari epidemiologi khususnya dalam program kesehatan adalah ukuran-ukuran
epidemiologi seperti prevalensi, point of prevalence dan sebagainya dapat digunakan dalam
perhitungan-perhitungan : prevalensi, kasus baru, case fatality rate dan sebagainya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan tentang field control trial, community control trial, dan randomized trial serta cara
penarikan kesimpulan pada epidemiologi eksperimental!
2. Bagaimana analisis skenario berdasarkan klasifikasi epdemiologi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang field control trial, community control trial, dan randomized trial serta
cara penarikan kesimpulan pada epidemiologi eksperimental.
2. Untuk mengetahui analisis skenario berdasarkan klasifikasi epdemiologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Epidemilogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu (Epi = pada, Demos = penduduk, logos = ilmu),
dengan demikian epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
masyarakat.
2. Definisi
Banyak definisi tentang Epidemiologi, beberapa diantaranya :
a. W.H. Welch
Suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan penyakit, terutama penyakit
infeksi menular. Dalam perkembangannya, masalah yang dihadapi penduduk tidak hanya penyakit
menular saja, melainkan juga penyakit tidak menular, penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa,
kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Oleh karena batasan epidemiologi menjadi lebih
berkembang.
b. Mausner dan Kramer
Studi tentang distribusi dan determinan dari penyakit dan kecelakaan pada populasi manusia.
c. Last
Studi tentang distribusi dan determinan tentang keadaan atau kejadian yang berkaitan dengan
kesehatan pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk menanggulangi masalah kesehatan.
d. Mac Mahon dan Pugh
Epidemiologi adalah sebagai cabang ilmu yang mempelajari penyebaran penyakit dan faktor-faktor
yang menentukan terjadinya penyakit pada manusia.
e. Omran
Epidemiologi adalah suatu studi mengenai terjadinya distribusi keadaan kesehatan, penyakit dan
perubahan pada penduduk, begitu juga determinannya dan akibat-akibat yang terjadi pada
kelompok penduduk.
f. W.H. Frost
Epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, distribusi, dan jenis penyakit pada
manusia menurut waktu dan tempat.
g. Azrul Azwar
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan
pada sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3 komponen penting yang ada dalam
epidemiologi, sebagai berikut :
6. Penelitian Epidemiologi
Menurut sejarah perkembangan, epidemiologi dibedakan atas :
1. Epidemiologi klasik : terutama mempelajari tentang penyakit menular wabah serta terjadinya
penyakit menurut konsep epidemiologi klasik.
Epidemiologi klasik terutama mempelajari tentang penyakit menular wabah serta terjadinya penyakit
menurut konsep epidemiologi klasik. Wabah merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit
dalam masyarakat dengan jumlah penderita meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan
yang lazim pada waktu dan daerah tertentu, serta dapat menimbulkan malapetaka.
Wade Hampton Frost (1972), mendefinisikan epidemiologi sebagai suatu pengetahuan tentang
fenomena missal penyakit infeksi atau sebagai riwayat alamiah penyakit menular. Di sini tampak
bahwa pada waktu itu penekanan perhatian epidemiologi hanya ditujukan kepada masalah penyakit
infeksi yang mengenai masyarakat.
Greenwood (1934), mengemukakan batasan epidemiologi yang lebih luas di mana dikatakan bahwa
epidemiologi mempelajari tentang penyakit dan segala macam kejadian yang mengenai kelompok
penduduk. Pengertian ini yang kemudian menjadi dasar berkembangnya epidemiologi klasik yang
disempurnakan ke dalam cakupan yang lebih luas lagi pada epidemiologi modern.
2. Epidemiologi modern merupakan sekumpulan konsep yang digunakan dalam studi epidemiologi
yang terutama bersifat analitik, selain untuk penyakit menular wabah dapat diterapkan juga untuk
penyakit menular bukan wabah, penyakit tidak menular serta masalah-masalah kesehatan lainnya.
Menurut bidang penerapannya, epidemiologi modern dibagi atas:
a. Epidemiologi lapangan
b. Epidemiologi komunitas
c. Epidemiologi klinik
Ruang lingkup epidemiologi lapangan & komunitas :
FENOMENA
Status kesehatan & fisiologi
Penyakit & kematian
Perilaku yang berhubungan dengan kesehatan
Determinan dari masing-masing tersebut diatas
Program intervensi dari masing-masing tersebut diatas
PENDUDUK
Karakteristik kelompok, misal: usia, jenis kelamin, dan kebudayaan
Karateristik perilaku
Faktor-faktor resiko dalam kelompok penduduk
Keadaan lingkungan
Ruang lingkup epidemiologi klinik
PERISTIWA
Populasi beresiko
Faktor resiko (rokok <--> usia)
Awitan penyakit
Diagnosis: gejala dan tanda, foto Ro toraks, sitologi sputum, biopsi
Terapi
Hasil akhir (kematian, penyakit, kesembuhan)
Secara sederhana, studi epidemiologi dapat dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut :
1. Epidemiologi deskriptif, yaitu suatu penelitian yang tujuan utamanya melakukan eksplorasi
diskriptif terhadap fenomena kesehatam masyarakat yang berupa risiko ataupun efek.
Epidemiologi deskriptif adalah cabang epidemiologi yang mempelajari tentang kejadian dan
distribusi penyakit. Distribusi penyakit dikelompokkan menurut faktor orang (who), tempat (where),
eksperimental dalam membuat inferensi kausal, yaitu penelitian dimulai dengan menentukan faktor
penyebab (anteseden) diikuti dengan akibat (konsekuen). Kedua, peneliti dapat menghitung laju
insidensi. Ketiga, studi kohort sesuai untuk meneliti paparan yang langka (misalnya faktor-faktor
lingkungan). Keempat, studi kohort memungkinkan peneliti mempelajari sejumlah efek serentak dari
sebuah paparan. Kelima, pada studi kohort prospektif, kemungkinan terjadi bias dalam menyeleksi
subjek dan menentukan status paparan adalah kecil, sebab penyakit yang diteliti belum terjadi.
Keenam, karena bersifat observasional, maka tidak ada subjek yang sengaja dirugikan karena tidak
mendapatkan terapi yang bermanfaat (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kohort juga memiliki berbagai kelemahan. Kelemahan utama, rancangan studi kohort
prospektif lebih mahal dan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada studi kasus kontrol atau
studi kohort retrospektif. Kedua, tidak efisien dan tidak praktis untuk mempelajari penyakit yang
langka, kecuali jika ukuran besar atau prevalensi penyakit pada kelompok terpapar cukup tinggi.
Ketiga, subjek dapat saja hilang atau pergi selama penelitian. Keempat, karena faktor penelitian
sudah ditentukan terlebih dahulu pada awal penelitian, maka studi kohort tidak cocok untuk
merumuskan hipotesis tentang faktor-faktor etiologi lainnya untuk penyakit itu, tatkala penelitian
terlanjur berlangsung (Kuntoro, H. 2006.).
2) Studi kasus control / case control study / studi retrospektif. Tujuannya mencari faktor penyebab
penyakit.
Pada penelitian kasus kontrol dilakukan perbandingan antara kelompok populasi yang menderita
penyakit dengan yang tidak menderita penyakit kemudian dicari faktor penyebabnya. Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan waktu secara longitudinal, atau period time approach. Karena
yang diketahui adalah efek dan yang ingin dilihat adalah faktor risiko maka sifat penelitian ini disebut
penelitian retrospektif yaitu melihat kembali kebelakang kejadian yang berhubungan dengan
kesakitan.
Penelitian diawali dengan penentuan kelompok disease dan kelompok non disease. Selanjutnya
di lacak kemungkinan adanya faktor resiko di masa lampau yang ada kaitannya dengan timbulnya
disease yang dipelajari. Dalam melacak adanya faktor resiko tentunya ada kelemahannya yaitu
bias karena individu diminta untuk mengingat tentang apa yang pernah dialaminya dalam terpapar
faktor resiko di masa lampau. Bias tersebut dikenal dengan recall bias. Peluang bias lebih besar
pada kelompok non disease dibandingkan kelompok disease (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus kontrol mengikuti paradigma yang menelusuri dari efek ke penyebab. Di dalam studi
kasus kontrol, individual dengan kondisi khusus atau berpenyakit (kasus) dipilih untuk dibandingkan
dengan sejumlah indivual yang tak memiliki penyakit (kontrol). Kasus dan kontrol dibandingkan
dalam hal sesuatu yang telah ada atau atribut masa lalu atau pajanan menjadi sesuatu yang relevan
dengan perkembangan atau kondisi penyakit yang sedang dipelajari (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus kontrol merupakan salah satu rancangan riset epidemiologi yang paling popular
belakangan ini karena kekuatan yang dimilikinya. Kelebihan studi kasus kontrol anatara lain, relatif
murah, relatif cepat, hanya membutuhkan perbandingan subjek yang sedikit, tak menciptakan
subjek yang berisiko, cocok untuk studi dari penyakit yang aneh ataupun penyakit yang memiliki
periode laten lama, dan sebagainya (Kuntoro, H. 2006.).
Studi kasus kontrol memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertama adalah studi kasus kontrol
memiliki metodologi kausal yang bertentangan dengan logika eksperimen klasik. Logika normal
penelitian hubungan kausal paparan dan penyakit lazimnya diawali dengan identifikasi paparan
(sebagai penyebab) kemudian diikuti selama periode tertentu untuk melihat perkembangan penyakit
(sebagai akibat). Studi kasus kontrol melakukan hal yang sebalikanya : melihat akibatnya dulu, baru
menyelidiki apa penyebabnya. Kelemahan-kelemahan yang lain adalah studi kasus kontrol tidak
efisien untuk mempelajari paparan-paparan yang langka, peneliti tak dapat menghitung laju
insidensi penyakit baik populasi yang terpapar maupun yang tak terpapar karena subjeknya dipilih
berdasarkan status penyakit, tidak mudah untuk memastikan hubungan temporal antara paparan
dan penyakit (Kuntoro, H. 2006.).
3) Studi Cross Sectional Study / studi potong lintang / studi prevalensi atau survey yaitu merupakan
penelitian untuk mempelajari hubungan antara faktor-faktor risiko dengan efek dengan pendekatan
atau observasi sekaligus pada suatu waktu tertentu. Disebut juga penelitian transversal karena
model yang digunakan adalah Point time Approach. Pendekatan suatu saat bukan dimaksudkan
semua subyek diamati pada saat yang sama melainkan tiap subyek hanya diamati satu kali saja dan
pengukuran dilakukan terhadap suatu karakter atau variabel pada saat pemeriksaan.
Penelitian ini disebut juga prevalence study karena dari penelitian ini diperoleh prevalensi suatu
penyakit. Penelitian ini disebut juga correlational study karena bisa digunakan untuk mengukur
kuatnya hubungan antara faktor resiko dengan penyakit. Dikatakan cross-sectional study karena
faktor resiko dan penyakit diamati pada waktu yang bersamaan. Penelitian ini tidak bisa digunakan
untuk membuktikan hubungan sebab akibat (Kuntoro, H. 2006.).
Cross-sectional studi ini adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit
dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit serentak pada
individu-individu dari populasi tunggal pada satu saat atau satu periode. Tujuan studi ini adalah
untuk memperoleh gambaran pola penyakit dan determinan-dterminannya pada populasi sasaran
(Kuntoro, H. 2006.).
Kelebihan studi belah lintang ialah mudah untuk dilakukan dan murah, sebab tidak memerlukan
follow-up. Jika tujuan penelitian sekadar mendeskripsikan distribusi penyakit dihubungkan dengan
faktor-faktor penelitian, maka studi potong lintang adalah rancangan studi yang cocok, efisien, dan
cukup kuat di segi metodologik. Selain itu, studi belah-lintang tak memaksa subjek untuk mengalami
faktor yang diperkirakan bersifat merugikan kesehatan faktor resiko (Kuntoro, H. 2006.).
Kelemahan studi belah-lintang adalah tidak tepat digunakan untuk menganalisis hubungan kausal
paparan dan penyakit. Hal ini disebabkan karena validitas penilaian hubungan kausal yang
menuntut sekuensi waktu yang jelas antara paparan dan penyakit (yaitu, paparan harus mendahului
penyakit) sulit untuk dipenuhi pada studi ini (Kuntoro, H. 2006.).
b. Eksperimental atau penelitian intervensi adalah penelitian eksperimental yang dilakukan terhadap
masyarakat. Peneliti memberikan perlakuan atau manipulasi pada masyarakat, kemudian efek
perlakuan tersebut diobservasi, baik secara individual maupun kelompok. Penelitian dapat
melakukan manipulasi / mengontrol faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dan
dinyatakan sebagai tes yang paling baik untuk menentukan cause and effect relationship serta tes
yang berhubungan dengan etiologi, kontrol, terhadap penyakit maupun untuk menjawab pertanyaan
masalah ilmiah lainnya.
1) Randomized Control Trial
Randomized control trial (atau randomized clinical trial) adalah sebuah eksperimen epidemiologi
yang mempelajari sebuah pencegahan atau cara hidup yang dapat mengobati. Subjek dalam
populasi adalah kelompok yan acak, biasanya disebut perawatan dan kelompok kontrol, dan
hasilnya diperoleh dengan membandingkan hasil dari dua atau lebih kelompok. Hasil yang
diinginkan dapat saja berbeda tetapi, mungkin saja perkembangan penyakit baru atau sembuh dari
penyakit yang telah ada.
Kita dapat memulainya dari menentukan populasi dengan acak untuk mendapatkan perawatan baru
atau perawatan yang telah ada, dan kita mengikuti subjek dalam setiap grup untuk mengetahui
seberapa banyak subjek yang mendapatkan perawatan baru berkembang dibandingkan subjek
dengan perawatan yang telah ada. Jika perawatan menghasilkan outcome yang lebih baik, kita
dapat berharap untuk mendapatkan outcome yang lebih baik pada subjek dengan perawatan baru
dibandingkan subjek dengan perawatan yang telah ada.
Randomized trial dapat dipakai untuk berbagai macam tujuan. Cara ini dipakai untuk mengevaluasi
obat-obatan baru dan perawatan lain tentang penyakit, termasuk test teknologi kesehatan dan
perawatan medis yang baru. Juga bisa digunakan untuk memperkirakan program yang baru untuk
skrining dan deteksi dini, atau cara baru mengatur dan mengantarkan jasa kesehatan.
2) Field Trial / Eksperimen Lapangan
Ekperimen lapangan adalah jenis eksperimen yang dilakukan di lapangan dengan individu-individu
yang belum sakit sebgai subyek. Mirip dengan studi kohort prospektif, rancangan ini diawali dengan
memilih subyek-subyek yang belum sakit. Subyek-subyek penelitian dibagi dalam kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol, lalu diikuti perkembangannya apakah subyek itu sakit atau tidak.
Berbeda dengan studi kohort, peneliti menentukan dengan sengaja alokasi faktor penelitian kepada
kelompok-kelompok studi.
Subyek yang terjangkit dan tidak terjangkit penyakit antara kedua kelompok studi kemudian
dibandingkan, untuk menilai pengaruh perlakuan. Jika laju kejadian penyakit dalam populasi rendah,
maka eksperimen lapangan membutuhkan jumlah subjek yang sangat besar pula. Pada ekperimen
lapangan kerap kali peneliti harus mengunjungi subyek penelitian di lapangan. Peneliti dapat juga
mendirikan pusat penelitian di mana dilakukan pengamatan dan pengumpulan informasi yang
dibutuhkan dengan biaya yang ekstra.
3) Community Trial / Intervensi Komunitas
Intervensi komunitas adalah studi di mana intervensi dialokasikan kepada komunitas, bukan kepada
individu-individu. Intervensi komunitas dipilih karena alokasi intervensi tidak mungkin atau tidak
praktis dilakukan kepada individu.
Contoh intervensi ini adalah riset tentang efektivitas flurodasi air minum untuk mencegah karies
pada masyarakat. Riset Newburgh-Kingston (Ast et al., 1950) memberikan natrium florida pada
tempat-tempat penyediaan air minum yang dikonsumsi oleh komunitas (Newburgh). Komunitas
lainnya (Kingston) menerima air minum seperti sebelumnya (tanpa suplementasi fuor). Eksperimen
ini memperlihatkan kemaknaan pengaruh floridasi, baik secara statistik maupun klinik, dalam
mengurangi kerusakan, kehilangan, dan pergerakan gigi masyarakat.
Perbedaan Penelitian Deskriptif dan Penelitian Analitik
Penelitian Epidemiologi Diskriptif
Hanya menjelaskan keadaan suatu masalah kesehatan (who, where, when)
Pengumpulan, pengolahan, penyajian dan interpretasi data hanya pada suatu kelompok
masyarakat saja
Tidak bermaksud membuktikan suatu hipotesa
Penelitian Epidemiologi Analitik
Juga menjelaskan mengapa suatu masalah kesehatan timbul di masyarakat (why)
Pengumpulan, pengolahan, penyajian dan interpretasi data dilakukan terhadap dua kelompok
masyarakat
Bermaksud membuktikan suatu hipotesa
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Epidemiologi Eksperimental
Epidemiologi Eksperimental atau penelitian intervensi adalah penelitian eksperimental yang
dilakukan terhadap masyarakat. Peneliti memberikan perlakuan atau manipulasi pada masyarakat,
kemudian efek perlakuan tersebut diobservasi, baik secara individual maupun kelompok. Penelitian
dapat melakukan manipulasi / mengontrol faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian
dan dinyatakan sebagai tes yang paling baik untuk menentukan cause and effect relationship serta
tes yang berhubungan dengan etiologi, kontrol, terhadap penyakit maupun untuk menjawab
pertanyaan masalah ilmiah lainnya.
1) Randomized Control Trial
Randomized control trial (atau randomized clinical trial) adalah sebuah eksperimen eoidemiologi
yang mempelajari sebuah pencegahan atau cara hidup yang dapat mengobati. Subjek dalam
populasi adalah kelompok yan acak, biasanya disebut perawatan dan kelompok kontrol, dan
hasilnya diperoleh dengan membandingkan hasil dari dua atau lebih kelompok. Hasil yang
diinginkan dapat saja berbeda tetapi, mungkin saja perkembangan penyakit baru atau sembuh dari
penyakit yang telah ada.
Kita dapat memulainya dari menentukan populasi dengan acak untuk mendapatkan perawatan baru
atau perawatan yang telah ada, dan kita mengikuti subjek dalam setiap grup untuk mengetahui
seberapa banyak subjek yang mendapatkan perawatan baru berkembang dibandingkan subjek
dengan perawatan yang telah ada. Jika perawatan menghasilkan outcome yang lebih baik, kita
dapat berharap untuk mendapatkan outcome yang lebih baik pada subjek dengan perawatan baru
dibandingkan subjek dengan perawatan yang telah ada.
2) Field Trial / Eksperimen Lapangan
Ekperimen lapangan adalah jenis eksperimen yang dilakukan di lapangan dengan individu-individu
yang belum sakit sebgai subyek. Mirip dengan studi kohort prospektif, rancangan ini diawali dengan
memilih subyek-subyek yang belum sakit. Subyek-subyek penelitian dibagi dalam kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol, lalu diikuti perkembangannya apakah subyek itu sakit atau tidak.
Berbeda dengan studi kohort, peneliti menentukan dengan sengaja alokasi faktor penelitian kepada
kelompok-kelompok studi.
Subyek yang terjangkit dan tidak terjangkit penyakit antara kedua kelompok studi kemudian
dibandingkan, untuk menilai pengaruh perlakuan. Jika laju kejadian penyakit dalam populasi rendah,
maka eksperimen lapangan membutuhkan jumlah subjek yang sangat besar pula. Pada ekperimen
lapangan kerap kali peneliti harus mengunjungi subyek penelitian di lapangan. Peneliti dapat juga
mendirikan pusat penelitian di mana dilakukan pengamatan dan pengumpulan informasi yang
dibutuhkan dengan biaya yang ekstra.
3) Community Trial / Intervensi Komunitas
Intervensi komunitas adalah studi di mana intervensi dialokasikan kepada komunitas, bukan kepada
individu-individu. Intervensi komunitas dipilih karena alokasi intervensi tidak mungkin atau tidak
praktis dilakukan kepada individu. Contoh intervensi ini adalah riset tentang efektivitas flurodasi air
minum untuk mencegah karies pada masyarakat. Riset Newburgh-Kingston (Ast et al., 1950)
memberikan natrium florida pada tempat-tempat penyediaan air minum yang dikonsumsi oleh
komunitas (Newburgh). Komunitas lainnya (Kingston) menerima air minum seperti sebelumnya
(tanpa suplementasi fuor). Eksperimen ini memperlihatkan kemaknaan pengaruh floridasi, baik
secara statistik maupun klinik, dalam mengurangi kerusakan, kehilangan, dan pergerakan gigi
masyarakat.
3.2 Analisis Skenario berdasarkan Klasifikasi Epidemiologi
Pada dasarnya studi epidemiologi dapat dilakukan apabila terdapat masalah yang terjadi.
Keseluruhan uji dapat dapat dilakukan dan digunakan untuk menjawab berbagai permasalahan
yang timbul di kalangan masyarakat, baik masalah yang mengenai masalah kesehatan dalam
kependudukan ataupun fenomena yang terjadi disekitarnya.
Pada skenario, digunakan metode epidemiologi modern, dimana lingkup yang menjadi pokok
bahasan adalah kasus karies gigi yang terjadi pada daerah Argosari dengan unit terapan berupa
populasi masyarakat Argosari yang bekerja sebagai buruh pabrik kakao yang sebagian besar
waktunya dihabiskan untuk bekerja.
Metode investigasi yang dilakukan oleh dr. Elok pertama adalah epidemiologi deskriptif dimana pada
epidemiologi deskriptif tersebut dapat dipelajari peristiwa dan distribusi serta frekuensi dari peristiwa
yang akan diteliti. Epidemiologi deskriptif umumnya dilaksanakan jika tersedia sedikit informasi yang
diketahui mengenai kejadian, riwayat alamiah dan faktor yang berhubungan dengan penyakit.
1. Frekuensi masalah kesehatan
Frekuensi yang dimaksudkan disini menunjuk pada besarnya masalah kesehatan yang terdapat
pada sekelompok manusia / masyarakat. Untuk dapat mengetahui frekuensi suatu masalah
kesehatan dengan tepat, ada 2 hal yang harus dilakukan yaitu :
a. Menemukan masalah kesehatan yang dimaksud.
b. Melakukan pengukuran atas masalah kesehatan yang ditemukan tersebut.
2. Distribusi ( Penyebaran ) masalah kesehatan.
Yang dimaksud dengan penyebaran / distribusi masalah kesehatan disini adalah menunjuk kepada
pengelompokan masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang
dimaksudkan dalam epidemiologi adalah :
a. Menurut Ciri ciri Manusia ( MAN )
b. Menurut Tempat ( PLACE )
BAB IV
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
1. Epidemiologi Eksperimental
1) Randomized Control Trial
Merupakan sebuah eksperimen epidemiologi yang mempelajari sebuah pencegahan atau cara
hidup yang dapat mengobati. Subjek dalam populasi adalah kelompok yan acak, biasanya disebut
perawatan dan kelompok kontrol, dan hasilnya diperoleh dengan membandingkan hasil dari dua
atau lebih kelompok.
2) Field Trial
Merupakan jenis eksperimen yang dilakukan di lapangan dengan individu-individu yang belum sakit
sebgai subyek. Mirip dengan studi kohort prospektif, rancangan ini diawali dengan memilih subyeksubyek yang belum sakit. Subyek-subyek penelitian dibagi dalam kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol, lalu diikuti perkembangannya apakah subyek itu sakit atau tidak. Subyek yang
terjangkit dan tidak terjangkit penyakit antara kedua kelompok studi kemudian dibandingkan, untuk
menilai pengaruh perlakuan.
3) Community Trial
Merupakan studi di mana intervensi dialokasikan kepada komunitas, bukan kepada individu-individu.
Intervensi komunitas dipilih karena alokasi intervensi tidak mungkin atau tidak praktis dilakukan
kepada individu.
2. Analisis skenario berdasarkan klasifikasi epidemiologi
Pada skenario, digunakan metode epidemiologi modern, dimana lingkup yang menjadi pokok
bahasan adalah kasus karies gigi yang terjadi pada daerah Argosari dengan unit terapan berupa
populasi masyarakat Argosari yang bekerja sebagai buruh pabrik kakao yang sebagian besar
waktunya dihabiskan untuk bekerja.
Metode investigasi yang dilakukan oleh dr. Elok pertama adalah epidemiologi deskriptif dimana pada
epidemiologi deskriptif tersebut dapat dipelajari peristiwa dan distribusi serta frekuensi dari peristiwa
yang akan diteliti. Setelah melakukan studi epidemiologi deskriptif, drg. Elok melakukan studi
epidemiologi analitik.
DAFTAR PUSTAKA
Beaglehole, R., R. Bonita, T. Kjellstrom. Basic Epidemiology. Geneva : World Health Organization.
1993.
Budiarto, Eko. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002.
Bustan, M. N., A. Arsunan. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta. 1997.
Chandra, Budiman. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta : EGC. 1996.
Gordis, Leon. Epidemiology Third Edition. Philadelpia: Elsevier Saunders, 2004.
Kuntoro, H. Jurnal Konsep Desain Penelitian. Surabaya: Guru Besar Ilmu Biostatistika dan
Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 2006.
Murti, Bhisma. Prisnsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1997.
Notoatmodjo, Soekidjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta :
Rineka Cipta. 2003.
Schlesselman, James J. Case-Control Studies. New York : Oxford University Press. 1982.
Wahiduddin. Epidemiologi. FKM UNHAS. February 21, 2009. http://www.unhas.ac.id/ (accessed
November 13 , 2009).