1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma
dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
D. Patofisiologi
Pembesaran prostat dapat terjadi akibat beberapa factor, antara lain
Dihydrotestosteron, Perubahan keseimbangan hormon estrogen testoteron,
Interaksi stroma epitel, Berkurangnya sel yang mati, dan Teori sel stem. Semua
itu menyebabkan kelenjar prostat membesar perlahan-lahan sehingga perubahan
pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher bulibuli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis
dan disfungsi saluran kemih atas. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat statis
urine, dimana sebagian urine tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi
sebagai media untuk organisme infektif.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
1. Penurunan kekuatan dan caliber aliran yang disebabkan resistensi uretra
adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.
2. Hesitancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama utnuk
dapat melawan resistensi uretra.
3. Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi
uretra samapi akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis
miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak dalam buli-buli.
4. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap
pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan
normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang
selama tidur.
6. Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidkstabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involuntor.
7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit urine keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah bulibuli mencapai compliance maksimum, teknan dalam buli-buli akan cepat
naik melebihi tekanan sfingter.
E. Manifestasi Klinik
Biasanya gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif :
a. Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada
malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgency),
dan nyeri pada saat miksi (disuria)
b. Gejala obstruktif yaitu pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, jika
miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengedan (straining), kencing
terputus-terputus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya
menjadi retensi urine dan inkotinensi karena oferflow.
F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain :
1. Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal
dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala
iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi
sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra
simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur
uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
1) Derajat I = beratnya 20 gram.
2) Derajat II = beratnya antara 20 40 gram.
A NURUL FADILAH ULFA, S.Kep
G. Penatalaksanaan
1. Observasi (watchfull waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang
diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi
minum kopi dantidak diperbolehkan minum alcohol agar tidak terlalu sering
miksi. Setiap 3 bulan lakukan control keluhan (sistem skor), sisa kencing dan
pemeriksaann colok dubur.
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergica
Obat-obat yang sering dipakai adalah prasozin, doxazin,terazosin,
afluzosin, atau yang lebih selektif tamzulosin. Penggunaan antagonis
adrenergic karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli
tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Hal ini akan menurunkan tekanan
pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejalagejala berkurang. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusingpusing (dizziness), capek, sumbatan hidung, dan rasa lemah.
b. Penghambat enzim 5-a-reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang
membesar akan mengecil. Salah satu efek samping obat ini adalah
melemahkan libido, ginekomastia.
3. Pembedahan
a. Indikasi pembedahan pada BPH adalah:
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2) Klien dengan residual urin > 100 ml.
3) Klien dengan penyulit.
4) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
A NURUL FADILAH ULFA, S.Kep
Penghambat adrenergic
Obat-obat yang dipakai adalah prozosin, doxazosin, trazosin, aflozosin,
dan tamsulosin. Dosis dimulai dari 1 mg/hari, sedangkan dosis tamsulosin
0,2-0,4 mg/hari.
Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak di temukan pada otot
polos di triganum, leher vesika-prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi
relaksasi di daerah prostat.
Terapi Bedah
Pengobatan untuk hipertropi prostat ada 2 macam, yaitu :
a. Konservatif
Pengobatan konservatif ini bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan
pembesaran prostat. Tindakan dilakukan bila terapi operasi tidak dapat
dilakukan, misalnya :
Tindakan terapi konservatif yaitu :
b. Operatif
Merupakan pengobatan utama pada hipertropi prostst benigna (BPH).
Pada waktu pembedahan kelenjar prostat di angkat utuh dan jaringan soft
tissue yang mengalami pembesaran di angkat melalui 4 cara yaitu :
1. Transurethral
Dilakukan bila pembesaran terjadi pada lubus medial yang langsung
mengelilingi urethra. Jaringan yang di reseksi hanya sedikit sehingga
tidak terjadi perdarahan dan waktu pembedahan tidak terlalu lama.
Rectoscope di sambungkan dengan arus listrik lalu di masukkan ke
dalam urethra. Kandung kemih di bilas terus menerus selama prosedur
berjalan.
2. Suprapubic prostatectomy
Metode operasi terbuka, reseksi suprapubic kelenjar prostat diangkat
dari urethra lewat kandung kemih.
3. Retropubic prostatectomy
Pada retropubic prostatectomy di buat insisi pada abdominal bawah
tapi kandung kemih tidak di buka.
4. Perineal prostatectomy
Dilakukan pada dugaan kanker prostat, insisi di buat di antara scrotum
dan rectum.
I. Komplikasi
Apabila buli-bulin menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urine; karena
produksi urine terus berlanjut maka suatu saat buli-buli tak sanggup lagi
menampung urine sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika
terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urine, dapat terbentuk batu endapan dalam bulibuli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
A NURUL FADILAH ULFA, S.Kep
tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis. Pada waktu miksi, pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan
dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.
Peningkatan TD
2. Eliminasi
a. Gejala :
Nokturia,disuria, hematuria
b. Tanda :
3. Makanan / cairan:
a. Gejala :
Penurunan BB
4. Nyeri / kenyamanan
a. Gejala :
5. Keamanan
a. Gejala :
Demam
6. Seksualitas
a. Gejala :
b. Tanda :
7. Penyuluhan/pembelajaran
a. Gejala :
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pre operasi
a. Obstruksi
akut/kronis
berhubungan
dengan
obstruksi
mekanik,
berhubungan
dengan
perubahan
status
kesehatan
atau
pengetahuan
tentang
kondisi,
prognosis
dan
kebutuhan
prostat,
dekompensasi
otot
destrusor
dan
Tujuan :
Tidak terjadi obstruksi
Kriteria hasil :
Tujuan :
Nyeri hilang / terkontrol.
Kriteria hasil :
Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan
relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.
Mempertahankan
fungsi
kateter
dan
drainase
sistem,
Tujuan :
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
Kriteria hasil :
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital
stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa
lembab dan keluaran urin tepat.
Tujuan :
Pasien tampak rileks
Kriteria hasil :
Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan
rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut
Tujuan :
Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya
Kriteria hasil :
Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu,
berpartisipasi dalam program pengobatan
2. Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunder pada TUR-P
Tujuan :
Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang, Ekspresi wajah klien
tenang, Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi, Klien akan
tidur / istirahat dengan tepat, Tanda tanda vital dalam batas normal
Tujuan:
Klien tidak menunjukkan tanda tanda infeksi
Kriteria hasil :
a. Klien tidak mengalami infeksi
b. Dapat mencapai waktu penyembuhan
c. Tanda tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda tanda
shock.
Tujuan :
Tidak terjadi perdarahan
Kriteria hasil :
Klien tidak menunjukkan tanda tanda perdarahan, Tanda tanda
vital dalam batas normal, Urine lancar lewat kateter
Tujuan :
Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil :
Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun, Klien
menyatakan pemahaman situasi individual, Klien menunjukkan
keterampilan pemecahan masalah, Klien mengerti tentang pengaruh
TUR P pada seksual
Tujuan :
Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat
lanjutan.
Kriteria hasil :
Tujuan :
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi
Kriteria hasil :
Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup, Klien
mengungkapan sudah bisa tidur, Klien mampu menjelaskan faktor
penghambat tidur
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer C.Suzanne & Bare G. Brenda. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth vol.2. EGC : Jakarta
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C., 2000. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, Arief &dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Media
Aesculapius : FKUI Jakarta
A NURUL FADILAH ULFA, S.Kep