Anda di halaman 1dari 16

ARGUMENTUM, VOL. 13 No.

2, Juni 2014

99

PENETAPAN KAWASAN HUTAN


PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
45/PUU-IX/2011 (PERSPEKTIF YURIDIS-NORMATIF)
Anis Ibrahim
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang Jalan Mahakam No. 7 Lumajang
anisibrahim18@gmail.com
ABSTRAK
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 menimbulkan polemik
tafsir karena isi putusannya mengandung dualisme status
kawasan hutan. Hal ini disebabkan frasa ditunjuk dan
atau dalam Pasal 1 angka 3 dihapus, sementara frasa
tersebut tetap dipertahankan eksistensinya dalam Pasal 81
UU No. 41/1999. Hasil analisis menyimpukan bahwa
penunjukkan kawasan hutan sebelum Putusan MK itu
bersifat indikatif dan belum bersifat definitif yang final
mengikat. Penunjukkan kawasan hutan yang ada adalah
proses awal dari seluruh rangkaian pengukuhan kawasan
hutan yang berakhir pada penetapan kawasan hutan.
Kata Kunci: Penetapan, Kawasan Hutan, Indikatif,
Definitif.
A. Pendahuluan
Wilayah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki
kawasan hutan tropis basah (tropical rain forest) terluas kedua di
dunia setelah Brazilia. Namun, sejak tiga dekade terakhir ini
kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat
serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Selain karena jumlah
penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan
terus meningkat, juga pemerintah secara sadar mengeksploitasi
sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan state revenue
yang paling diandalkan setelah minyak dan gas bumi.1
1

I Nyoman Nurjaya (2005) Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di


Indoensia. Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, hal. 35-36.

100

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Sejak empat dekade terakhir ini Indonesia memang


mengalami deforestasi yang cukup besar. Data deforestasi nasional
tahun 1985-1997, tidak termasuk Papua, tercatat seluas rata-rata
1,6 juta hektar/tahun. Dari hasil pengamatan citra landsat tahun
2000 diketahui bahwa deforestasi periode 1997-2000 mencapai
rata-rata 2,83 juta hektar/tahun untuk lima pulau besar, termasuk
Maluku dan Papua. Berdasarkan data terbaru, deforestasi tahun
2001-2003 turun menjadi di bawah 1,5 juta hektar per tahun.2
Kawasan hutan menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU No. 41/199)
disebutkan sebagai ... wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap. Meski dalam Penjelasan dikatakan cukup
jelas, namun bagi sebagian masyarakat tidak demikian, bahkan
dipertanyakan aspek konstitusionalitasnya.
Terkait dengan problem konstitusionalitas terhadap
kawasan hutan tersebut, pada tahun 2010, lima bupati di
Kalimantan Tengah dan seorang pengusaha mengajukan gugatan
terhadap UU No. 41/1999 kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Perkara yang terregister No. 45/PUU-IX/2011 untuk menguji
konstitusionalitas kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan tersebut.
Pada prinsipnya MK memutuskan dua hal: Pertama, bahwa
frasa ditunjuk dan atau ditetapkan dalam Pasal 1 angka 3, UU
No. 41/1999 bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945
dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kedua, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 UU No. 41/1999
menggunakan frasa ditunjuk dan atau ditetapkan, namun
berlakunya untuk yang ditunjuk dan atau ditetapkan dalam Pasal
81 tersebut tetap sah dan mengikat.
Menurut Menhut Zulkifli Hasan, Putusan MK No. 45 justru
menguatkan kewenangan pemerintah pusat. Putusan MK atas
Pasal 1 Angka 3 UU No. 41/1999 menegaskan peta penunjukan

http://lmdhsm.blogspot.com/2011/03/hutan-dan-pemanasanglobal.html

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

101

kawasan hutan tetap berlaku sehingga pemanfaatan hutan harus


mengacu tata guna hutan kesepakatan tahun 1986.3
Perhutani menyatakan dengan pertimbangan MK tentang
kedudukan Pasal 81 UU No. 41/1999, maka kawasan hutan wilayah
kerja Perum Perhutani yang telah ditunjuk dan Berita Acara Tata
Batasnya (BATB) disahkan oleh pejabat yang bewenang pada masa
pemerintahan Kolonial Belanda berdasarkan peraturan perundangundangan kehutanan yang berlaku pada saat itu, maka harus tetap
diakui status hukumnya sebagai kawasan hutan.4
Namun, beberapa pihak justru kontra pendapat terhadap
pemerintah. Yance Arizona et.al. menyatakan: semua tanah
yang telah ditunjuk untuk dijadikan kawasan hutan sebelum
berlakunya UU No. 41/1999 pada 30 September 1999 harus
diposisikan sebagai penunjukan kawasan hutan. Oleh karena itu
perlu dilanjutkan dengan penatabatasan, pemetaan dan kemudian
ditetapkan sebagai kawasan hutan.5
B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat tersebut di atas, permasalahan yang
diangkat dan akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimanakah
implikasi yuridis terhadap penetapan kawasan hutan yang sudah
ada selama ini pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
45/PUU-IX/2011? Hal ini didasarkan pada suatu fakta terjadinya
perbedaan pemahaman dan interpretasi terhadap Putusan MK
dimaksud. Analisis terhadap permasalahan ini dilakukan dengan
perspektif yuridis normatif.
C. Studi Pustaka dan Analisis
1. Tentang Kawasan Hutan
Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon
yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas sehingga
akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang
3

http://nasional.kompas.com/read/2012/02/28/04051351/Menhut.
Penetapan.Balik.ke.aturan. lama
4
https://docs.google.com/document/d/1UmEp998hMRJPK2Rmm
ZikIid6SAXayb4cxLFevivqp-Q/edit?pli=1
5
Ibid

102

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

khas serta berbeda dengan areal luarnya. 6 Sementara itu UU No.


41/1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan
dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat
dipisahkan.
Sedangkan pengertian kawasan hutan menurut Pasal 1
angka 3 UU No. 41/1999 adalah wilayah tertentu yang ditunjuk
dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu
ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai statusnya,
letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk
sebagai kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.
Eksistensi areal yang ditetapkan sebagai kawasan hutan
niscaya melalui suatu pengukuhan yang dilakukan secara bertahap.
Secara normatif perihal pengukuhan kawasan hutan diatur dalam
Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
a. penunjukan kawasan hutan,
b. penataan batas kawasan hutan,
c. pemetaan kawasan hutan, dan
d. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang
wilayah.
Kawasan hutan Indonesia ditetapkan oleh Menhut dalam
bentuk Surat Keputusan Menhut tentang Penunjukan Kawasan
Hutan dan Perairan Provinsi. Penunjukan kawasan hutan ini
disusun berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK). Peunjukan kawasan hutan mencakup pula
kawasan perairan yang menjadi bagian dari Kawasan Suaka Alam
(KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/pengertian-hutandefinisi-hutan.html

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

103

Tahun 1981, telah ditetapkan Peta Kawasan Hutan dalam


TGHK. Namun, Peta kawasan hutan dalam TGHK yang telah
ditetapkan tahun 1981 tersebut dinilai sebagian pihak masih
memiliki kelemahan-kelemahan, hingga perlu dikaji ulang untuk
diserasikan dengan RTRW Provinsi. Muncullah Peta Paduserasi
Kawasan Hutan yang merupakan hasil harmonisasi TGHK dengan
RTRWP.7
2. Makna Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Dalam perspektif sistem ketatanegaraan Indonesia,
Mahkamah Konstitusi (MK)
merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) (Pasal 1 angka 1 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah
Konstitusi/UUMK). Keberadaan MK di dalam kekuasaan kehakiman
adalah sebagai penjaga konstitusi (the quardian of the
constitution), yang diberikan oleh UUD NRI 1945 untuk
menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak
konstitusional (Pasal 51 ayat (1) UU MK).8
Pembentukan MK merupakan konsekuensi logis
pengawalan konstitusi atas pergeseran konsep demokrasi
parlemen (parliamentary democracy) menuju demokrasi
konstitusional (constitutional democracy) yang menjunjung tinggi
konstitusi (supemacy of the constitution).9 Atas dasar tersebut,
pelaksanaan demokrasi dilaksanakan berdasarkan UUD 1945
sebagai hukum tertinggi.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa MK merupakan
badan peradilan ketatanegaraan sesuai dengan ketentuan Pasal

http://www.dephut.go.id dan
http://petatematikindo.wordpress.com/2013/01/06/kawasan-hutan/
8
Lihat Moh. Saleh (tt) Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Pendapat
DPR Ri Mengenai Impeachment Presiden Dan/Atau Wakil Presiden. PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI - mFILES | Manajemen Files Narotama
9
Zainal Arifin Hoesein (2010) Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga
Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Rajawali Pers, Jakarta, hal.
52-53.

104

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

24C UUD 1945.10 MK tidak hanya merupakan lembaga pengawal


konstitusi (the guardian of the constitution), tetapi juga merupakan
lembaga penafsir akhir konstitusi (the last interpreter of the
constitution) dan lembaga pelindung hak konstitusioal warga
negara (the protector of constitutional rights of citizens)
(Penjelasan umum UUMK)
MK mempunyai kewenangan sebagaimana dalam Pasal 24C
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 Amandemen ketiga yang berbunyi :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap
UUD 1945 (constitutional review) didasarkan pada paham
supremasi konstitusi yang kemudian diintrodusir dalam Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 sehingga menempatkan konstitusi sebagai the
supreme law of the land.11 Constitutional review merupakan
pengujian peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi
mengenai apakah suatu peraturan perundang-undangan
bertentangan dengan konstitusi.
Secara konseptual, ruang lingkup constitutional review
terdiri atas pengujian konstitusionalitas norma dan pengujian
konstitusionalitas tindakan. Mengenai pengujian konstitusionalitas
norma yaitu segala peraturan perundang-undangan. Sedangkan
mengenai pengujian konstitusionalitas tindakan adalah tindakan
pejabat negara, seperti keputusan pejabat negara. Pengajuan
konstitusionalitas tersebut dilakukan ketika ada warga negara yang
merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh
10

Jimly Asshiddiqie (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Setjen


dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 333.
11
I Dewa Gede Palguna (2008) Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,
dan Welfare State. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, hal. 49; Jimly Asshiddiqie (2008) Menuju Negara Hukum yang
Demokratis. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, hal. 533.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

105

konstitusi sehingga kemudian diajukan kepada MK untuk diperiksa,


diadili, dan diputus secara adil yang berdasarkan pada konstitusi.12
Dalam hal ini, ruang lingkup constitutonal review secara substansi
berkaitan erat dengan pengaduan konsitusional (constitutional
complaint).
Hukum acara MK mengenal dua asas putusan, yaitu asas
putusan yang bersifat final dan Asas putusan yang memiliki
kekuatan hukum mengikat (erga omnes). Putusan bersifat final,
artinya putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat
ditempuh.13 Sedangkan pengertian mempunyai kekuatan hukum
mengikat (erga omnes) adalah putusan yang akibat hukumnya
berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang
mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Putusan MK bersifat
erga omnes mengikat secara obligatoir bagi seluruh organ negara,
baik tingkat pusat dan daerah serta semua otoritas lainnya.14
Dengan demikian, putusan MK telah memiliki kekuatan
hukum tetap sejak dibacakan oleh Hakim Konstitusi dalam
persidangan. Sedangkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap, memiliki kekuatan hukum mengikat untuk
dilaksanakan. Hal tersebut juga berarti tidak ada lagi upaya hukum
lain yang dapat ditempuh oleh para pencari keadilan (justiciable).
3. Analisis Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 dan Implikasinya
Terhadap Penetapan Kawasan Hutan
Perkara No. 45/PUU-IX/2011 adalah perkara pengujian
undang-undang yang diajukan oleh lima orang Bupati dari
Kalimantan Tengah dan satu pengusaha untuk menguji
konstitusionalitas kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal
12

Mahkamah Konstitusi (2010) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.


Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 99.
13
Pasal 24C ayat (1) Amandemen ketiga UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 ayat
(1) beserta penjelasannya dan Pasal 47 UU MK
14
Abdul Rosyid Thalib (2006) Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 55; Arsyad Sanusi (2009) Putusan MK Bersifat Erga
Omnes. Majalah Konstitusi, Nomor 32 Tahun 2009, Sekretaria Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 54.

106

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

1 angka 3 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Lima bupati yang


mengajukan gugatan tersebut merupakan bupati-bupati yang
berada dalam wilayah administratif provinsi Kalimantan Tengah.
Sedangkan pengusaha tersebut adalah Akhmad Taufik.
Pada intinya, pemohon mengajukan permohonan kepada
MK dengan mendalilkan bahwa berlakunya Pasal 1 angka 3 UU No.
41/1999, khususnya frasa ditunjuk dan atau menyebabkan
kerugian hak konstitusional pemohon, antara lain menyebabkan:
(1) tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan
kewenangannya; (2) tidak dapat menjalankan otonomi seluasluasnya; (3) tidak dapat mengimplementasikan peraturan daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan
peraturan daerah Provinsi Kalimantan Tengah tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) karena seluruh wilayahnya
masuk sebagai kawasan hutan; (4) Dapat dipidana karena
memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa izin atau
memberikan izin usaha yang menurut penunjukan termasuk dalam
kawasan hutan; (5) Hak kebendaan dan hak miliknya atas tanah
dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara karena berada di
dalam kawasan hutan.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para pemohon memohon
kepada MK untuk menyatakan, bahwa frasa ditunjuk dan atau
yang ada di dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 bertentangan
dengan konstitusi dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. Dengan kata lain, para pemohon menghendaki
perubahan Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 dari:
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.
menjadi:
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
Dalam putusannya tanggal 21 Pebruari 2012, MK
menyampaikan pertimbangan hukum sebelum memberikan
putusan atas permohonan tersebut pada bagian Pendapat
Mahkamah yang secara ringkasadalah sebagai berikut:

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

107

1) Dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak


boleh berbuat sekendak hatinya, akan tetapi harus bertindak
sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan,
serta tindakan berdasarkan freies ermessen. Penunjukan belaka
atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa
melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai
pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan
hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan
pelaksanaan pemerintahan otoriter;
2) Antara pengertian dalam Pasal 1 angka 3 dan ketentuan Pasal
15 UU No. 41/1999 terdapat perbedaan. Pasal 15 ayat (1) UU
No. 41/1999 menentukan secara tegas adanya tahap-tahap
dalam proses pengukuhan suatu kawasan hutan. Penunjukan
kawasan hutan adalah salah satu tahap dalam proses
pengukuhan kawasan hutan, sementara itu penunjukan
dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 dapat dipersamakan
dengan penetapan kawasan hutan yang tidak memerlukan
tahap-tahap menurut Pasal 15 ayat 1 UU No. 41/1999;
3) Tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan hutan dalam
Pasal 15 ayat (1) UU No. 41/1999 sejalan dengan asas negara
hukum. Dengan ketentuan tersebut harus memperhatikan
kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak
pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan
sebagai kawasan hutan yang harus dikeluarkan dari kawasan
hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
4) Penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian
proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa ditunjuk dan
atau yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999
bertentangan dengan asas negara hukum. Selain itu frasa
ditunjuk dan atau tidak sinkron dengan Pasal 15 UU No.
41/1999.
5) Pasal 81 yang menyatakan, Kawasan hutan yang telah ditunjuk
dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, sebelum berlakunya UU ini dinyatakan
tetap berlaku berdasarkan UU ini, menurut Mahkamah,
meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 UU No. 41/1999
mempergunakan frasa ditunjuk dan atau ditetapkan, namun

108

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

berlakunya untuk yang ditunjuk dan atau ditetapkan dalam


Pasal 81 UU No. 41/1999 tetap sah dan mengikat;
Kemudian MK memutuskan di antara sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2) Frasa ditunjuk dan atau dalam Pasal 1 angka 3 UU No.
41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1/2004 tentang Perubahan UU
No. 41/1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
bertentangan dengan UUD 1945;
3) Frasa ditunjuk dan atau dalam Pasal 1 angka 3 UU No.
41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 1/2004 tentang Perubahan Atas
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Putusan MK tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap
(in kracht van gewijsde) sejak dibacakan oleh Hakim MK dalam
persidangan tanggal 21 Februari 2012. Putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap adalah memiliki kekuatan
hukum mengikat untuk dilaksanakan. Sedangkan pada makna final
dan mengikat (binding) dari putusan MK adalah keinginan untuk
segera mewujudkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan.
Hal tersebut juga berarti tidak ada lagi upaya hukum lain yang
dapat ditempuh oleh justiciable. Artinya, sejak putusan tersebut
keluar, maka sudah berlaku dan segera untuk dieksekusi.
Namun faktanya, Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tersebut
menimbulkan polemik tafsir berkaitan dengan kejelasan dan
cakupan status kawasan hutan yang berlaku sekarang. Hal ini
didasarkan pada Putusan MK No. 45 tersebut yang menampilkan
dualisme tentang status kawasan hutan. Berdasakan Putusan MK
No. 45, terhadap kawasan hutan yang telah ditunjuk Menhut
sebelum tanggal 21 Pebruari 2012 berarti kawasan hutan tersebut
niscaya dimaknai telah ditetapkan sebagai kawasan hutan (vide
Pasal 81 UU No. 41/1999). Sedangkan areal hutan setelah tanggal
21 Pebruari 2012 yang belum ditunjuk sebagai kawasan hutan yang
akan dijadikan kawasan hutan harus melalui proses pengukuhan

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

109

hutan lebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutun


(vide Pasal 1 ayat 3 UU No. 41/1999).
Ibarat anak kunci, putusan MK yang membatalkan frasa
ditunjuk dan atau pada pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999, adalah
pembuka kotak pandora persoalan pemanfaatan ruang hutan.
Pasca putusan MK bernomor 45/PUU-IX/2011 tersebut, persoalan
pemanfaatan ruang hutan yang sebelumnya memang sudah rumit,
menjadi semakin kusut. Pasalnya, semua pihak menafsirkan
putusan tersebut menurut versinya sendiri. 15
Direktur Program Tropenbos International Petrus Gunarso
mengibaratkan putusan MK tersebut tsunami sektor kehutanan
karena terkait dengan pemanfaatan kawasan hutan yang sudah
ada. Namun, dia menilai, saat ini merupakan momentum penataan
kawasan hutan berjenjang dari tingkat rakyat sampai ke
pemerintah pusat. Langkah ini sangat relevan untuk mengatasi
konflik sosial yang bermunculan saat ini.16 Sementara itu, Yance
Arizona menyatakan bahwa putusan MK tersebut Tidak
mengubah kedudukan kawasan hutan yang simpang siur sampai
hari ini. Bahkan menimbulkan tafsir yang beragam setelah putusan
tersebut dibacakan oleh hakim konstitusi.17
Menhut menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor : S.E.3/Menhut-II/2002yang ditujukan kepada seluruh kepala daerah dan
kepala dinas yang membidangi kehutanan seluruh Indonesia, yang
intinya: a. Keputusan Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi maupun
parsial yang telah diterbitkan Menhut serta segala perbuatan
hukum yang timbul dari berlakunya UU No. 41/1999 tetap sah dan
mempunyai hukum mengikat dan b. Keputusan Menteri tentang
penunjukan kawasan hutan baik provinsi maupun parsial yang
diterbitkan Menhut setelah Putusan MK tetap sah dan dimaknai
sebagai penetapan awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan
UU No. 41/1999.
15

http://agroindonesia.co.id/2012/07/03/kotak-pandora-itu-terbuka/
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/28/04051351/
Menhut.Penetapan.Balik.keaturan. lama
17
Yance Arizona Ramai-ramai Mempersoalkan Kawasan Hutan. Dalam
https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h MRJPK2RmmZikIid6SAXayb4
cxLFevivqpQ/edit?pli=1
16

110

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Menhut menyatakan bahwa dengan putusan MK tersebut


maka kawasan hutan menjadi jelas dan pasti. Kawasan hutan kini
merujuk kepada TGHK yang sudah ditetapkan pada tahun 1983.
Dirjen Planologi Kehutanan Kemenhut juga mengungkap hal
senada bahwa Keputusan MK tidak berdampak negatif terhadap
kepastian kawasan hutan Indonesia. Keputusan MK hendaknya
tidak hanya dibaca amar putusannya saja, tetapi harus secara
menyeluruh. Dia merujuk kepada poin 3.14 putusan MK bernomor
45/PUU-IX/2011 itu.18
Sebelum Putusan MK No. 45, semua wilayah hutan yang
ada di seluruh Provinsi di Indonesia telah ditunjuk melalui SK
Menhut. Salah satu contohnya adalah kawasan hutan di Jawa
Timur, telah ditunjuk melalui SK Menhut No. SK.395/MenhutII/2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan
dan Perkebunan Nomor 417/Kepts-II/199 tentang Penunjukan
Kawasan Hutan Di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur
Seluas 1.357.206,30 (Satu Juta Tiga Ratus Lima Puluh Tujuh Ribu
Dua Ratus Enam dan Tiga Puluh Perseratus) Hektar.
Dengan menggunakan landasan Pasal 81 UU No. 41/1999
(yang tidak dibatalkan MK), maka frasa Penunjukan dalam
Keputusan Menhut No. SK.395/Menhut-II/2011 berarti sama
dengan frasa Penetapan. Ini artinya bahwa menurut tafsir
Menhut bahwa kawasan hutan yang ada di Provinsi Jawa Timur
tersebut adalah telah ditetapkan dan dengan demikian sah sebagai
kawasan hutan.
Tafsir hukum yang dikemukakan pihak Kemenhut tersebut
niscaya kurang komprehensif. Seharusnya pihak Kemenhut juga
mengacu Pasal 15 UU No. 41/1999 yang juga tidak dibatalkan.
Pasal 15 menentukan bahwa: Pengukuhan kawasan hutan
dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan
hutan, b. penataan batas kawasan hutan, c. pemetaan kawasan
hutan, dan d. penetapan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan
hutan tersebut dilakukan dengan memperhatikan rencana tata
ruang wilayah.

18

tghk/

http://agroindonesia.co.id/2012/02/29/kawasan-hutan-kembali-ke-

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

111

Jika demikian halnya, maka legalitas kawasan hutan yang


dibingkai melalui penunjukan oleh SK Menhut tersebut belum final
sebagai penetapan kawasan hutan. Dalam kasus kawasan hutan di
Provinsi Jawa Timur, manakala ditelaah lebih jauh amar putusan
angka 4 Keputusan Menhut No. SK.395/Menhut-II/2011 yang
berbunyi Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Planologi
Kehutanan untuk mengatur pelaksanaan penataan batas dan
penetapan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Amar
PERTAMA sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,
menunjukkan bahwa penunjukan tersebut tidak sama dengan
penetapan, sebab Dirjen Planogi Kehutanan diperintahkan untuk
mengatur pelaksanaan penataan batas dan penetapan kawasan
hutan yang telah ditunjuk oleh Menhut tersebut.
Dengan demikian, SK Menhut tentang penunjukan kawasan
hutan yang ada sebelum Putusan MK No. 45 meski sah dan
mengikat namun bersifat indikatif (arahan) dan bukan definitif
(memutuskan status kawasan hutan). Hal ini disebabkan di
dalamnya masih terdapat berbagai hak lainnya seperti hak-hak
perorangan maupun hak ulayat. Hak-hak seperti ini niscaya akan
dikeluarkan pada tahap berikutnya, serta diindikasikan dengan
skala peta relatif kecil yaitu 1 : 250.000 yang tidak dapat
dipergunakan untuk menetapkan adanya hak-hak perorangan
maupun hak ulayat.19
Sah dan mengikat yang bersifat indikatif tersebut niscaya
dimaknai bersifat sementara, yaitu sebagai dasar penetapan status
hak-hak perorangan dan ulayat maupun hak-hak lainnya pada
tahap berikutnya. Dalam pelaksanaannya, hasil-hasil penataan
batas definitif yang telah disepakati pihak-pihak terkait melalui
Panitia Tata Batas hendaknya tetap dapat digunakan sebagai batas
definitif.20
Dengan demikian niscaya dibaca bahwa pasca Putusan MK
No. 45/PUU-IX/2011 terkait dengan SK Menhut tentang
penunjukkan kawasan hutan yang diterbitkan sebelum Putusan MK
19

Hariadi Kartodihardjo (2012) Darurat Legalitas Kawasan Hutan.


Dalam http://hukum. kompasiana.com/2012/08/14/darurat-legalitas-kawasanhutan-485326.html
20
Ibid.

112

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

No. 45/PUU-IX/2011 adalah bersifat indikatif yakni yang


menginformasikan kawasan hutan yang ditunjuk oleh Menhut
tersebut baru proses awal dari seluruh rangkaian pengukuhan
kawasan hutan yang nantinya berujung pada penetapan yang final
dan mengikat atas suatu kawasan hutan dimaksud. Sesuai dengan
yang dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 41/1999, proses
pengukuhan kawasan hutan tersebut memalui 4 tahapan yakni: (1)
penunjukan kawasan hutan, (2) penataan batas kawasan hutan, (3)
pemetaan kawasan hutan, dan (4) penetapan kawasan hutan.
Dalam proses pengukuhan kawasan hutan tersebut selayaknya
dilakukan dengan partisipatif agar sesuai dengan arahan Putusan
MK No. 45/PUU-IX/2011 bahwa pengukuhan kawasan hutan yang
tidak partisipatif merupakan cerminan pemerintahan yang otoriter.
D. Penutup
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 terkait dengan status kawasan
hutan telah menimbulkan polemik tafsir karena isi putusannya
mengandung dualisme status kawasan hutan. Hal ini disebabkan
pada satu sisi frasa ditunjuk dan atau dalam Pasal 1 angka 3
dinyatakan inkonstitusional sehingga harus dihapus, pada saat
yang bersamaan frasa ditunjuk dan atau tetap dipertahankan
eksistensinya dalam Pasal 81 UU No. 41/1999.
Pihak Pemerintah (Menhut) menafsirkan bahwa dengan
tidak dihapuskannya frasa ditunjuk dan atau dalam Pasal 81 UU
No. 41/1999 menjadi jelas dan pasti tentang status kawasan hutan
yang ada selama ini. Artinya, kawasan hutan yang telah ditunjuk
sebelum Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tetap sah dan berlaku
sebagai kawasan hutan. Dengan demikian penunjukan sama
dengan penetapan. Namun dari kalangan masyarakat tidak
sependapat dengan tafsir dari Menhut. Mereka berpendapat
bahwa justru eksistensi kawasan hutan pasca Putusan MK tersebut
menjadi tidak jelas.
Berdasarkan hasil analisis yuridis, maka dapat
diketengahkan bahwa penunjukkan kawasan hutan yang ada
sebelum Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 niscaya bersifat
indikatif. Artinya, penunjukan kawasan hutan melalui Surat

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

113

Keputusan Menhut untuk seluruh kawasan hutan yang berada di


wilayah provinsi belum bersifat definitif. Penunjukkan haruslah
diposisikan sebagai proses awal dari seluruh rangkaian
pengukuhan kawasan hutan yang berakhir pada penetapan
kawasan hutan.
----DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rosyid Thalib (2006) Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia.Citra Aditya Bakti, Bandung
Arsyad Sanusi (2009) Putusan MK Bersifat Erga Omnes. Majalah
Konstitusi, Nomor 32 Tahun 2009, Sekretaria Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Hariadi Kartodihardjo (2012) Darurat Legalitas Kawasan Hutan.
Dalam http://hukum. kompasiana.com/2012/08/14/
darurat-legalitas-kawasan-hutan-485326.html
http://agroindonesia.co.id/2012/02/29/kawasan-hutan-kembalike-tghk/
http://agroindonesia.co.id/2012/07/03/kotak-pandora-ituterbuka/
http://lmdhsm.blogspot.com/2011/03/hutan-dan-pemanasanglobal.html
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/28/04051351/Menhut.
Penetapan.Balik.ke.aturan. lama
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/28/04051351/Menhut.
Penetapan.Balik.keaturan. lama
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2010/10/pengertianhutan-definisi-hutan.html
http://petatematikindo.wordpress.com/2013/01/06/kawasanhutan/
http://www.dephut.go.id
https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h_MRJPK2RmmZ
ikIid6SAXayb4cxLFevivqp-Q/edit?pli=1
https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h_MRJPK2RmmZ
ikIid6SAXayb4cxLFevivqpQ/ edit?pli=1

114

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

I Dewa Gede Palguna (2008) Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,


dan Welfare State. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta
I Nyoman Nurjaya (2005) Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di
Indoensia. Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005.
Jimly Asshiddiqie (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie (2008) Menuju Negara Hukum yang Demokratis.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi (2010) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.
Moh. Saleh (tt) Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Pendapat
DPR Ri Mengenai Impeachment Presiden Dan/Atau Wakil
Presiden. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI - mFILES |
Manajemen Files Narotama
Yance Arizona Ramai-ramai Mempersoalkan Kawasan Hutan.
Dalam https://docs.google.com/document/d/1UmEp998h MRJP
K2RmmZikIid6SAXayb4cxLFevivqpQ/edit?pli=1

Zainal Arifin Hoesein (2010) Judicial Review di Mahkamah Agung:


Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan.
Rajawali Pers, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai