Anda di halaman 1dari 17

ASFIKSIA NEONATORUM

A. PENDAHULUAN
Asfiksia adalah progresif hipoksemia dan hiperkapnea yang disertai
dengan perkembangan progresif dari asidosis metabolik. Kejadian Asphyixia
neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam
uteris dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Faktor tersebut
diantaranya dalah adanya (1) penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti
hipertensi, gangguan atau penyakit paru, dan gangguan kontraksi uterus, (2)
pada ibu yang kehamilannya beresiko, (3) faktor plasenta, seperti janin
dengan solusio plasenta, (4) faktor janin itu sendiri, seperti terjadi kelainan
pada tali pusat antara janin dan jalan lahir, serta (5) faktor persalinan seperti
partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.1,2,3
Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan
ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko
disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan
utama. Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan perdarahan
pada

bayi

sebagai

akibat

hipoksia

sangat

tinggi.Asidosis,gangguan

kardiovaskuler serta komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia


merupakan penyebab utama kegagalan ini akan sering berlanjut menjadi
sindrom gangguan pernafasan pada hari-hari pertama setelah lahir
(james,1959). Penyelidikan patologi anatomis yang dilakukan oleh Larrhoce
dan Amakawa (1971) Menunjukkan nekrosis berat dan difus pada jaringan
otak bayi yang meninggal karena hipoksia.4,5
B. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di
seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir
mati yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6,


yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah
pneumonia,

malaria,

sepsis

neonatorum

dan

kelahiran

prematur.1,3

Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir
kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi
mental dan gangguan belajar.4 Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun
2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan
pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis
neonatorum (12.0%). 4
Menurut data-data di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2004
bayi baru lahir berjumlah 184 orang, meninggal 9 orang (4,89%) 1 bayi
meninggal dengan asphyxia neonatorum. Tahun 2005 bayi baru lahir
berjumlah 215, meninggal 9 orang (4,19%) dimana 1 bayi meninggal dengan
asphyxia neonatorum.2
Di Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan. Tahun 2005, bayi baru lahir
berjumlah 754 orang, 27 bayi (3,58%) meninggal dan tahun 2006 dari jumlah
kelahiran 1.185 bayi, bayi dengan asphyxia neonatorum 205 meninggal
sebelum usia 7 hari sejumlah 134 (11,31%), dimana asphyxia neonatorum
merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 108 bayi (81%) dan
tahun 2007 angka kelahiran 757, bayi lahir dengan asfiksia neonatorum
sebanyak 234 (30,31%) dan meninggal sebelum usia 7 hari sebanyak 59
(77,94 per seribu) dan bayi meninggal dengan asphyxia neonatorum sebanyak
20 bayi (34%). 2
C. ETIOLOGI
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat
bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan
pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal
maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia.4
Perubahan pertukaran gas dan transport oksigen selama kehamilan dan
persalinan akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya

dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel ini dapat
ringan dan sementara atau menetap, tergantung dari perubahan homeostatis
yang terdapat pada janin. Perubahan homeostatis ini berhubungan erat dengan
beratnya dan lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita dan mengakibatkan
terjadinya perubahan fungsi sistem kardiovaskuler. 2
Toweil (1966) menggolongkan penyebab asphyxia neonatorum terdiri
dari 3:
1. Faktor Ibu
a. Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan
segala akibatnya
b. Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya

aliran

darah

pada

uterus

akan

menyebabkan

berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan kejanin. Hal ini


sering ditemukan pada (a) Ganguan kontraksi uterus, misalnya
hipertoni, hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, (b)
Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) Hipertensi pada
penyakit akiomsia dan lain-lain.
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak
pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lainlain.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara
ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan :
tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar
janin dan jalan lahir dan lain-lain.

4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal, yaitu : (a) Pemakaian obat anestesia/analgetika yang
berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat
pernafasan janin. (b) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya
perdarahan intrakranial.(c) Kelainan konginental pada bayi, misalnya
hernia diafrakmatika atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru
dan lain-lain.
D. PATOFISIOLOGI
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau
jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di
dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2)
parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui
paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan
melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta.4
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai
sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam
jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan
memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar
alveoli.4
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat
tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru
akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. 4
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada
duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh
darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen
kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi
baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%)

untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen
meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai
menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang
melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke
seluruh jaringan tubuh. 4
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama
dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya.
Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi
pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh
darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan. 4
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama
kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak
tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai
dengan suatu periode apnu (Primany apnea) disertai dengan penurunan
frekuensi jantung selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas
(gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita
asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada
dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan
bradikardi dan penurunan tekanan darah. 3
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula G3 metabolisme
dan pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat
pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidoris
respiratorik, bila G3 berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme
anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh , sehingga glikogen tubuh
terutama pada jantung dan hati akan berkuang.asam organik terjadi akibat
metabolisme ini akan menyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada
tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan
oleh beberapa keadaan diantaranya hilangnya sumber glikogen dalam jantung
akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya asidosis metabolik akan

mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehinga


menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus yang kurang
adekuat akan menyebabkan akan tingginya resistensinya pembuluh darah
paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan kesistem tubuh lain akan
mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi
dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang
terjadi menimbuikan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi
selanjutnya. 3
E. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir
dan lahir tidak bernafas/menangis.4 Pada anamnesis juga diarahkan untuk
mencari faktor resiko. 6
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat
berat ringannya asfiksia 6
Klinis

Warna Kulit
(Appearance)
Frekuensi Jantung
(Pulse)
Rangsangan Refleks
(Grimace)
Tonus Otot
(Activity)
Pernafasan
(Respiratory)

Biru Pucat
Tidak Ada

Tubuh merah,
ekstremitas biru
<100x/ menit

Merah seluruh
tubuh
>100x/menit

Tidak Ada

Gerakan sedikit

Batuk/ Bersin

Lunglai

Fleksi ekstremitas

Gerakan aktif

Tidak Ada

Menangis lemah/
terdengar seperti
meringis atau
mendengkur

Menangis kuat

Tabel. Skor Apgar (dikutip dari kepustakaan 2)


Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah
kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk
kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah
dan refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah
satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar. (IDAI, 1998)2
1. Skor apgar 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat dan
tidak memerlukan tindakan istimewa. 5

2. Skor apgar 4-6 (Mild-moderate asphyxia)- Asfiksia sedang. Pada


pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada. 5
3. a. Asfiksia berat. Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat
frekuensi jantung kurang dari 100 x/ menit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
b. Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti
jantung ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih
dari 10 menit sebelum ;ahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi
menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya
sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat. 5
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila
nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit
sampai skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai
resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis. 6
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos dada
2.

Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah 6


Pada pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hasil :
a. Pa O2 < 50 mm H2O
b. PaCO2> 55 mm H2O
c.

pH < 7,30

F. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan
hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul
dikemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut
resusitasi bayi baru lahir.5

1. Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4
pertanyaan:4
a. apakah bayi cukup bulan?
b. apakah air ketuban jernih?
c. apakah bayi bernapas atau menangis?
d. apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ya maka bayi dapat langsung dimasukkan
dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi
dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen
kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban tidak dari salah satu
pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan
resusitasi berikut ini secara berurutan4 :
1) Langkah awal dalam stabilisasi4
a) memberikan kehangatan4
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant
warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai
tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh. 4
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi
hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus.23 Beberapa
kepustakaan

merekomendasikan

pemberian

teknik

penghangatan tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus


dan meletakkan bayi dibawah pemancar panas pada bayi kurang
bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah alas
penghangat. 4
b) memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya4
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah
dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea
dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya
udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi

dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa


endotrakeal.4
c) membersihkan jalan napas sesuai keperluan4
Aspirasi

mekoneum

saat

proses

persalinan

dapat

menyebabkan pneumonia aspirasi.16 Salah satu pendekatan


obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah
dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya
bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari
beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan
efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium. 4
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah
bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium.

Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak


bugar (bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang
dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan
penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi
langkah-langkah

pemasangan

laringoskop

dan

selang

endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter


penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glotis. 4
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi
tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan
seperti pada bayi tanpa mekoneum.4
d) mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan
pada posisi yang benar4
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan
mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi
untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar,
penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas
adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan

menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok


punggung, tubuh atau ekstremitas bayi. 4
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada
hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam
apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan
reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada
telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang
waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan
rangsangan taktil. 4
2) Ventilasi tekanan positif4
Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah
resusitasi lanjutan bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan
bayi bernapas atau frekuensi jantungnya tetap kurang dari
100x/menit. Sebelum melakukan VTP harus dipastikan tidak ada
kelainan congenital seperti hernia diafragmatika, karena bayi dengan
hernia diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum
mendapat VTP. Bila bayi diperkirakan akan mendapat VTP dalam
waktu yang cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau
pemasangan selang orogastrik untuk menghindari distensi abdomen.
Kontra indikasi penggunaan ventilasi tekanan positif adalah hernia
diafragma.4
3) Kompresi dada4
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari
60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30
detik. Tindakan kompresi dada (cardiac massage) terdiri dari
kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke
arah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan
memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi
dada hanya bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga
diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif
satu orang menekan dada dan yang lainnya melanjutkan ventilasi.
Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan frekuensi jantung,

dan suara napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan


kompresi harus dilakukan secara bergantian.4
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru
lahir karena akan menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner
yang lebih besar. 4
4) Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume
expander) 4
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori
berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan
(pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap
langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan
untuk melanjutkan ke langkah berikutnya (lihat bagan 1). 4
a) Epinefrin
Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung
kurang dari 60x/menit setelah dilakukan VTP dan kompresi
dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin tidak boleh
diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin
akan meningkatkan beban dan konsumsi oksigen otot jantung.
Dosis yang diberikan 0,1-0,3 ml/kgBB larutan1:10.000 (setara
dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau melalui selang
endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara intravena bila
frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal diberikan
jika pemberian dilakukan melalui selang endotrakeal. 4
b) Volume Ekspander
Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai
berikut: bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami
hipovolemia

dan

tidak

ada

respon

dengan

resusitasi,

hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok.


Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil atau
lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang
adekuat. Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit.
Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis. Jenis cairan

yang diberikan dapat berupa larutan kristaloid isotonis (NaCl


0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi golongan darah O negatif jika
diduga kehilangan darah banyak. 4
c) Bikarbonat
Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik
pada bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila
ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan bikarbonat pada
keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai
dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang
digunakan adalah 2 mEq/kg BB atau 4 ml/kg BB BicNat yang
konsentrasinya 4,2 %. Bila hanya terdapat BicNat dengan
konsetrasi 7,4 % maka diencerkan dengan aquabides atau
dekstrosa 5% sama banyak. Pemberian secara intra vena dengan
kecepatan tidak melebihi dari 1 mEq/kgBB/menit. 4
d) Nalokson
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan
dengan indikasi depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang
ibunya menggunakan narkotik dalam waktu 4 jam sebelum
melahirkan. Sebelum diberikan nalokson ventilasi harus adekuat
dan stabil. Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya
dicurigai

sebagai

pecandu

obat

narkotika,

sebab

akan

menyebabkan gejala putus obat pada sebagian bayi. Cara


pemberian intravena atau melalui selang endotrakeal. Bila
perfusi baik dapat diberikan melalui intramuskuler atau
subkutan. Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg BB, perlu
diperhatikan bahwa obat ini tersedia dalam 2 konsentrasi yaitu
0,4 mg/ml dan 1 mg/ml. 4

Bagan 1. Algoritma Resusitasi Asfiksia Neonatorum (dikutip dari kepustakaan 4)

G. PENCEGAHAN
Pencegahan secara Umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan
atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita,
khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan
melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak
mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya
derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan,
pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya.
Untuk itu dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling
terkait.4
Pencegahan saat persalinan
Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin partus adalah
penting, juga kerja sama yang baik dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 7
Yang harus diperhatikan:
1. Hindari forceps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul sempit, serta
pemberian pituitarin dalam dosis tinggi.7
2. Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan berikan O2
dan darah segar.7
3. Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat, dan jangan
menunggu lama pada kala II.
H. KOMPLIKASI
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan berbagai macam gangguan
organ.
Sistem
Sistem Saraf Pusat
Kardiovaskular
Pulmonal
Ginjal
Adrenal
Saluran Cerna

Pengaruh
Ensefalopati hipoksik-iskemik, infark,
perdarahan intrakranial, kejang-kejang, edema
otak, hipotonia, hipertonia
Iskemia miokardium, kontraktilitas jelek,
bising jantung, insufisiensi trikuspidalis,
hipotensi
Sirkulasi janin persisten, perdarahan paru,
sindrom kegawatan pernapasan
Nekrosis tubular akut atau korteks
Perdarahan adrenal
Perforasi, ulserasi, nekrosis

Metabolik

Sekresi ADH yang tidak sesuai, hiponatremia,


hipoglikemia, hipokalsemia, mioglobinuria

Kulit
Hematologi

Nekrosis lemak subkutan


Koagulasi intravaskular tersebar

Tabel 2. Pengaruh Asfiksia (dikutip dari kepustakaan 8)


Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang
dilakukan. 4
Sistem Organ
Otak

Komplikasi yang
mungkin terjadi
Apnu
Kejang

Paru-paru

Hipertensi Pulmoner
Pneumonia
Pneumotoraks
Takipnu transien
Sindrom aspirasi
mekonium Defisiensi
surfaktan

Kardiovaskuler

Hipotensi

Ginjal

Nekrosis tubuler akut

Gastrointestinal

Ileus
Enterokolitis
Nekrotikans

Metabolik/ hematologik

Tindakan Pasca resusitasi


Pemantauan apnu
Bantuan ventilasi kalau perlu
Pemantauan gula darah,
elektrolit
Pencegahan hipotermia
Pertimbangkan terapi anti
kejang
Pertahankan ventilasi dan
oksigenasi
Pertimbangkan antibiotika
Foto toraks bila sesak napas
Pemberian oksigen alir bebas
Tunda minum bila sesak
Pertimbangkan pemberian
surfaktan
Pemantauan tekanan darah dan
frekuensi jantung
Pertimbangkan inotropik
(misal dopamin) dan / atau
cairan penambah volume
darah
Pemantauan produksi urin
Batasi masukan cairan bila ada
oliguria dan volume vaskuler
adekuat
Pemantauan kadar elektrolit
Tunda pemberian minum
Berikan cairan intravena
Pertimbangkan nutrisi
parenteral

Hipoglikemia
Pemantauan gula darah
Hipokalsemia
Pemantauan elektrolit
Hiponatremia
Pemantauan hematokrit
Anemia
Pemantauan trombosit
Trombositopenia
Tabel 3. Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi
yang dilakukan (dikutip dari kepustakaan 4)

I. PROGNOSIS
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi
metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat
diobati, pada umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi preterm),
dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik.8
Prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalam
otak. Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkan
kemungkinannya menderita cacat mental seperti epilepsi dan bodoh pada
masa mendatang. 7

DAFTAR PUSTAKA
1. David. K, William E, Benitz, and Philip Sunshine. Fetal and Neonatal Brain
Injury : Mechanisms, Management and the Risks of Practice, Third Edition.
2012
2. Desfauza, Evi. Faktor faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia
Neonatorum Pada bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi
Medan. 2007. Medan :Universitas Sumatera Utara.
3. Hidayat, A. Aziz Alimul. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. 2008. Jakarta : Salemba Medika.
4. Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan
penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum.
5. Dr. Rusepno Hassan,dkk. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Info
Medika Jakarta : Fakultas Kedokteran UI.
6. Utomo, Martono Tri. Asfiksia Neonatorum. Cited on : December 28th. 2011.
Updated on : 2006. Available on http://www.pediatrik.com
7. Prof. Dr. Hanifa Winkjosastro, Sp.OG. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 4.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo.
8. Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai