Anda di halaman 1dari 18

ARGUMENTUM, VOL. 13 No.

2, Juni 2014

81

PERAN POLITIK PEREMPUAN


DALAM BADAN LEGISLATIF
(STUDI DI DPRD KABUPATEN LUMAJANG)
Titik Sri Astutik
- Fakultas Hukum Universitas Lumajang Jl. Musi No. 12 Lumajang
Email: titik_sriastutik@yahoo.com
ABSTRAK
Peran politik perempuan untuk menjadi anggota badan
legislatif di Kabupaten Lumajang masih rendah. Meskipun
ada berbagai perubahan kebijakan dan perubahan hukum
dari berbagai Konvensi yang diratifikasi dan berbagai UU
diproduksi,
dan
kelompok
perempuan
berhasil
memperjuangkan afirmasi politik, namun peran politik kaum
perempuan di Lumajang masih rendah bahkan cenderung
tidak banyak berubah. Apabila perempuan dibiarkan tidak
berperan atau kualitas hidupnya dibiarkan rendah, maka
perempuan bisa menjadi beban pembangunan pada
umumnya.
Kata Kunci: Partai Politik, Peran Politik, Perempuan, Hukum.
A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Sebagaimana telah sama-sama diketahui bersama bahwa
gerakan untuk memperjuangkan kedudukan dan peranan
perempuan di Indonesia ini telah cukup lama dilakukan.
Perjuangan kepahlawanan yang dimulai oleh beberapa pendekar
perempuan seperti halnya: Maria Walanda Maramis seorang
pahlawan nasional Indonesia abad ke-20. Tjut Nyak Dien adalah
pejuang, mengangkat senjata, berteriak lantang untuk
kemerdekaan, ia kebanggaan seluruh generasi wilayah istimewah
Aceh dan juga kebanggaan bentangan Indonesia.1
1

Dedi Kurnia Syah Putra (2012) Media dan Politik. Graha Ilmu,
Yogyakarta, hal. 96.

82

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Cut Meutia, putri Teuku bin Daud adalah salah satu pejuang
perempuan Aceh yang dengan gigih melawan Belanda. ia gugur
sebagai pahlawan pada tanggal 24 Oktober 1910.2 Kartini juga
telah merintis untuk membebaskan kaumnya dari kegelapan
melalui pendidikan, Tiap tahun berbagai upacara telah diadakan
guna memperingati hari-hari bersejarah bagi kebangkitan
perempuan serta peristiwa lain yang berhubungan dengan
perjuangan perempuan antara lain tanggal 21 April, tanggal 25
Desember, dan sebagainya.
Pergerakan-pergerakan perempuan dewasa ini didasarkan
atas keinsafan bahwa pergerakan perempuan Indonesia
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pergerakan
bangsa Indonesia.
Fakta historisnya memang tak bisa dipungkiri
kalau perempuan Indonesia berjasa ikut mengukir sejarah
perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan, melawan
kedholiman, melawan keterbelakangan, melawan ketidak adilan
itu sudah membuktikan bahwa perempuan Indonesia sejak dulu
commited dan juga terpanggil ikut maju berjuang baik fisik maupun
kultural. Perempuan Indonesia layak berperan mengarsiteki
wilayah publik dengan tidak meninggalkan kodratnya sebagai
pelaku fundamental wilayah domestik. Perempuan telah
menghadirkan apa yang disebut oleh penyair kenamaan Ahmad
Syauqy Bey masyarakat berkeringat harum karena berkat peranperan yang telah ditunjukan perempuan, masyarakat dan Negara
dapat menunjukkan jati dirinya.3
Pemilu di Indoesia baru dapat dilaksanakan sepuluh tahun
setelah adanya deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945
dan pada 1949 wakil presiden Muhamad Hatta mengeluarkan
maklumat wakil presiden No. X/1949 yang bertujuan
meliberalisasikan politik, UUDS 1950 pun menggantikan UUD 1945
yang telah diberlakukan sebelumnya.4 Sedangkan perhatian
2

Nani Soewondo (1984) Kedudukan Wanita Indonesia. Ghalia


Indonesia, Jakarta Timur, hal. 192.
3
Misbahul Munir (2004) Pemilu, Demokrasi dan Ijtihad Politik
Perempuan. Visipress, Surabaya, hal .121.
4
Agee, Warran K (1985) Introduktion to Mass Communication. Harper
and Row Publishing, New York. p. 1985

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

83

terhadap kepentingan politik perempuan secara konkrit baru


dimulai pada tahun 2003 yang ditandai dengan masuknya
pengaturan dalam UU Pemilu mengenai kebijakan kuota 30 %
keterwakilan perempuan dalam politik. Harus diakui, semenjak
lahirnya Era reformasi 1998, pengakuan terhadap peran
perempuan di ranah sosial serta upaya mendorong kiprahnya di
area politik meningkat. Ini tercermin dari upaya progresif
mendorong perubahan Undang-undang Paket Pemilihan Umum
(Pemilu) (semenjak UU No. 12 tahun 2003) agar lebih ramah
terhadap partisipasi perempuan, terutama dalam hal pencalonan.
Ujung yang dikehendaki dari proses ini adalah meningkatkan
keterwakilan perempuan dalam jabatan-jabatan politik
(eksekutif/legislatif) melalui penyelenggaraan Pemilu yang free and
fair.
UU Pemilu direvisi dan pengaturan mengenai keterwakilan
perempuan ditetapkan dengan menggariskan bahwa Parpol
peserta Pemilu harus mencalonkan 30% caleg perempuan dalam
kepengurusan partai politik maupun daftar calonnya. Pemilu tahun
2009 diperkuat oleh pengaturan dalam UU. No.10 tahun 2008,
Pemilu 2014 juga diperkuat pengaturannya dalam UU No.8 tahun
2012.
Dalam perjalanannya pemilihan umum (pemilu) tahun
2009, tahun 2014 adalah sarana penting dalam roda demokrasi
bangsa Indonesia dan juga sebagai media untuk menjalankan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih
menarik dalam menyinggung soal pemilu tahun 2009, 2014 jika
dibandingkan dengan pemilu sebelumnya atau sebelum tahun
2004, Pemilu 2009,2014 memiliki keunikan yang tidak terjadi pada
pemilu pada masa awal hingga pertengahan sejarah pemilu di
Indonesia. Semua jajaran elit politik bangsa ini ditentukan oleh
rakyat langsung, pemilu tahun 2009, tahun 2014 memang bukan
pemilu pertama dalam menentukan sistem dan regulasinya karena
masih mengadopsi aturan yang berlaku pada pemilu tahun 2004.
Sekalipun telah ada pengaturan keterwakilan perempuan
dalam lembaga legislatif melalui undang-undang Pemilu di atas,
tetapi ketentuan 30% keterwakilan perempuan di lembaga
legislatif kenyataannya belum tercapai, hal ini berarti bahwa

84

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

perempuan baik dalam menentukan kebijakan politik (political


ideas ) dan kehadirannya dalam politik ( political presence) belum
terwakili secara signifikan. Aktifitas perempuan di bidang politik di
Kabupaten Lumajang secara kuantitas juga belum menunjukkan
peningkatan yang mendasar, hal ini disebabkan karena animo
masyarakat terhadap kaum perempuan yang memperjuangkan
hak politiknya sangat memprihatinkan, bahkan partai politik
sendiri tidak begitu respek terhadap perjuangan hak politik
tersebut bahkan kalau ada perempuan yang tampil di panggung
politik, tidak betul-betul punya kapabilitas hebat, yang akan
terhadang bahkan terbendung untuk bisa mengisi dan
berpartisipasi aktif dalam arena politik atau peran-peran yang
dimainkan perempuan dalam berpolitik tak masuk dalam garapan
strategis bahkan ironisnya kalau kehadirannya sekedar diposisikan
atau untuk memenuhi syarat kuota 30 % dalam kepengurusan
partai politik ataupun caleg.
Minimnya jumlah perempuan anggota legislative khususnya
di Kabupaten Lumajang dari tahun ke tahun selalu kurang dari
30%, semua kondisi seperti tersebut di atas perlu diubah dengan
cara meningkatkan representasi keterwakilan perempuan maupun
dengan meningkatkan peran politik perempuan yang sensitif bagi
kepentingan kesetaraan laki-laki dan perempuan serta dengan
adanya UU Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilu. Dengan
demikian, perempuan mempunyai kesempatan secara langsung
untuk terlibat dalam proses politik melalui ketentuan keterwakilan
perempuan 30% tersebut.
Untuk itu semua partai politik di Kabupaten Lumajang yang
merupakan sarana aktivitas politik sudah seharusnya memberikan
kesempatan bagi perempuan untuk memperjuangkan hak-hak
politiknya dengan merekrut perempuan yang memiliki kapabilitas
untuk duduk sebagai anggota Legislatif di DPRD Kabupaten
Lumajang. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis
terbaik untuk mengadakan penelitian dan dituangkan dalam jurnal
dengan judul Peran Politik Perempuan dalam Badan Legislatif
(Studi di DPRD Kabupaten Lumajang)

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

85

A.2. Rumusan Masalah


Dengan latar belakang yang diuraikan, maka permasalahan
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa politik hukum yang diambil untuk meningkatkan peran
politik perempuan melalui badan legislatif?
2. Bagaimana peran politik perempuan untuk menjadi
anggota badan legislatif (DPRD) di Kabupaten Lumajang?
A.3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach) untuk
membandingkan pengalaman nasional dengan di Kabupaten
Lumajang dalam upaya meningkatkan keterwakilan perempuan
dalam lembaga legislatif.
B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B.1. Politik Hukum Untuk Meningkatkan Peran Politik Perempuan
Dalam Lembaga Legislatif.
Sejarah kehidupan peran politik perempuan tidak terlepas
dari perkembangan Pemilihan umum (pemilu)yang dijalankan.
Dalam perjalanan pemilu keterlibatan perempuan dalam politik
formal di Indonesia mulai memperoleh ruang sejak dikeluarkannya
undang-undang pemilu No. 12/2003, yang menyebutkan
pentingnya aksi afirmasi bagi partisipasi politik perempuan dengan
menetapkan jumlah 30% dari seluruh calon partai politik pada
parlemen di tingkat nasional maupun lokal. Aksi afirmasi seringkali
didefinisikan sebagai upaya strategis untuk mempromosikan
kesamaan dan kesempatan bagi kelompok tertentu dalam
masyarakat seperti perempuan atau kelompok minoritas yang
kurang terwakili dalam proses pengambilan keputusan.
Pemilihan Umum Anggota DPR atau DPRD 2009 dan 2014
dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka yang
perhitungannya didasarkan pada sejumlah daerah pemilihan,
dengan peserta pemilu adalah partai politik. Pemilihan umum ini

86

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

adalah yang pertama kalinya dilakukan dengan penetapan calon


terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan
berdasarkan nomor urut (pemilih memilih calon anggota DPR,
bukan partai politik). Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan
terbaru tentang pemilu yang memperkuat keterlibatan perempuan
dalam politik formal sesudah UU Pemilu Nomor 10/2008 yaitu UU
RI no.8 tahun 2012 Pasal 53(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 disusun dalam daftar bakal calon oleh partai politik
masing-masing. (2) Daftar bakal calon anggota DPR ditetapkan oleh
pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat pusat. (3) Daftar
bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai
Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi. (4) Daftar bakal calon
anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai
Politik Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota. Pasal 54 Daftar
bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling
banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada setiap daerah
pemilihan. Pasal 55 Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan. Pasal 58 (1) KPU melakukan verifikasi
terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan
administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap
terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan. (2) KPU Provinsi melakukan verifikasi
terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan
administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi
terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. (3) KPU
Kabupaten/Kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan
kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota
DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah
bakal calon sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan.
Pasal 59 (1) Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan
administrasi Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
tidak terpenuhi, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

87

Partai Politik Peserta Pemilu.(2) Dalam hal daftar bakal calon tidak
memuat sekurang- kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik
untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut
Dalam Peraturan Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan
Anggota DPR, DPD dan DPRD, menyaratkan jumlah dan prosentase
keterwakilan perempuan paling sedikit 30% untuk setiap daerah
pemilihan. Aturan ini secara tegas diatur dalam Pasal 24 ayat (1)
huruf c. Aturan sebatas syarat 30% keterwakilan perempuan masih
belum menimbulkan persoalan. Karena Pasal 55 UU No. 8 Tahun
2012 juga mengatur hal yang sama yakni daftar bakal calon
memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Perbedaan
pandangan mulai muncul ketika syarat keterwakilan 30%
perempuan ini diberlakukan untuk setiap daerah pemilihan.
Artinya, partai harus menyiapkan wakil perempuan minimal 30%
untuk setiap daerah pemilihan.
Pemilu 2009, partai politik yang tidak memenuhi syarat
keterwakilan 30% perempuan hanya diberikan sanksi
pengumuman di publik. Namun dalam Pemilu 2014 ini, Partai
Politik yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan dinyatakan
tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon pada daerah
pemilihan bersangkutan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 27
ayat (2) huruf b Peraturan KPU No. 7 Tahun 2013.
Ketentuan keterwakilan perempuan dan mekanisme
sanksinya bertentangan dengan UU Pemilu. Penolakan oleh
sejumlah partai, khususnya mereka yang juga memiliki kursi di DPR
cukup mengherankan. Mengingat aturan-aturan dalam peraturan
KPU ini juga sudah dikonsultasikan ke DPR dan bahkan Pemerintah.
Artinya aturan yang berlaku juga sudah mendapatkan persetujuan
DPR. Karena itu sangat mengherankan jika ada anggota DPR
menyoal peraturan tersebut. Karena kewajiban konsultasi
sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, dimaksudkan agar tidak ada aturan yang

88

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

bertentangan satu dengan lainnya, meskipun dari konsep


penyusunan aturan juga inkonstitusional.5
B.2. Kebijakan kuota/representasi politik Perempuan
Kebijakan kuota/representasi politik Perempuan yang
Membantu Usaha Meningkatkan Peran Politik Perempuan dalam
Legislatif antara lain :
a. Peraturan-peraturan Pokok Yang Berkaitan Dengan Kebijakan
Kuota 30% Keterwakilan Perempuan
1. UU no.12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum pasal 65
ayat 1
2. UU no.31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik pasal 13
ayat 3
3. UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu pasal 53; pasal 55
ayat 2 , pasal 57 ayat 1, ayat 2, ayat 3; pasal 58 Ayat 1, Ayat
2, Ayat 3 ; pasal 61 ayat 6
4. UU Nomor 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik pasal 2 ayat
2, Ayat 5, pasal 20; pasal 31 ayat 1
5. UU Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilu pasal 8 ayat 2e;
pasal 15; pasal 55; pasal 56 ayat 2; pasal 58 ayat 1, ayat
2,ayat 3; pasal 59 ayat 2
6. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik
pasal 2 ayat 2, ayat 5; pasal 20; pasal 31 ayat 1.
b. Ratifikasi Konvensi Internasional Yang Berkaitan Dengan
Kebijakan Kuota Perempuan
1. CEDAW Pasal 1; Pasal 2 huruf (a), Huruf (f); Pasal 3; Pasal 4
ayat 1; Pasal 7; pasal 15 ayat 1, Ayat 2, Ayat 3, Ayat 4.
2. Landasan Aksi
Beijing (Beijing Platform for Aktion)
Rumusan 9 (a)
3. UU Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konpensi
Hak-Hak Politik Kaum Wanita.
4. Milinium Developmen Goals-MDGs Tahun 2000
5. UU No. 11 Th. 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights pasal 3
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 1; Pasal 2; pasal 3 ayat 2; pasal 5 ayat 1;
5

Verijunaidi.com/2013//tantangan-kuota-30-perempu..Tantangan
Kuota 30% diakses tanggal 17-3-2014 Perempuan

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

89

Pasal 8; Pasal 46; Pasal 49 ayat 1, ayat 2, Ayat 3; Pasal 71;


pasal 72.
7. UU 12 Th. 2005 tentanPengesahan International Covenant
On Civil And Political Rights pasal 3.
c. Kebijakan-kebijakan yang mendukung Peran Politik
Perempuan Dalam Badan Legislatif
1. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional,
bagian umum angka 4.
2. Tap MPR No.VI/MPR/2002 tentang Laporan Pelaksanaan
Putusan MPR oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada
Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, angka 10.
Pasal-pasal tersebut di atas ini dianggap sebagai pasal
setengah hati, pasal karet, bersifat sukarela karena tidak bersifat
mengharuskan parpol melaksanakan ketentuan tersebut dan tidak
ada sanksi bagi parpol yang tidak melaksanakan. Hal ini membuka
peluang bagi parpol-parpol yang selama ini didominasikan laki-laki
untuk mengabaikan aturan tersebut, dan pada akhirnya
keterwakilan perempuan tetap tidak tercapai.6
Salah satu strategi mewujudkan kesetaraan gender di
bidang politik, terutama dalam hal pengambilan keputusan. Tujuan
akhir dari perjuangan mewujudkan kesetaraan gender dalam
politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif
adalah mencapai keadilan bagi perempuan dan laki-laki (keadilan
gender) di segala aspek kehidupan.
Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia
politik dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab
akses, kontrol, dan partisipasi politik perempuan dalam berbagai
tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan merupakan hak
asasi manusia. Tidak dapat dipungkiri perempuan secara
demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka
menempati posisi minoritas.
Sesuai dengan teori Feminisme yang bertumpu pada
kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah
makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga
6

2014

Ejournal.pin.or.id//E-jurnal%20Mar%Rosieana%...diakses 4 januari,

90

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya


terletak pada peran politik perempuan yang bias gender. Oleh
karena itu, sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat
pendidikan yang sama, banyak upaya memperjuangkan
kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, organisasiorganisasi perempuan dibentuk untuk menentang diskriminasi
seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan
melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam legislatif adalah
kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
Berbagai instrumen nasional tentang perlidungan hukum
terhadap hak asasi perempuan. Di level Perserikatan BangsaBangsa masalah perlindungan hak asasi perempuan sudah sangat
dipahami. Di Indonesia, sesungguhnya sudah cukup banyak
perlindungan hukum terhadap hak asasi perempuan, baik dalam
bentuk peraturan perundang-undangan ataupun dalam bentuk
kebijakan-kebijakan negara. Namun hak asasi perempuan masih
belum terlindungi secara optimal.
Pengintegrasian perspektif gender dalam setiap proses
pembentukan peraturan perundang-undangan, diharapkan lebih
menjamin pada kesejahteraan masyarakat baik laki-laki maupun
perempuan, yang keduanya berbeda aspirasi dan kebutuhan tetapi
menjadi penting untuk dianalisis dan dipertimbangkan dalam
proses perumusan suatu norma ketentuan peraturan perundangundangan. Hal ini sejalan dan sesuai dengan esensi bahwa
pembangunan bidang hukum bukan saja akan mampu
menciptakan kepastian hukum, sekaligus juga dapat menciptakan
kemanfaatan dan keadilan dalam masyarakat. Namun nyatanya
pemenuhan hak perempuan terhadap keadilan terutama dalam
peran politik masih berhadapan dengan banyak kendala.
B.3. Peran Politik Perempuan Dalam Badan Legislatif di (DPRD)
Lumajang.
Masih banyak hambatan bagi perempuan untuk mencapai
kedudukan atau peningkatan prestasi yang diharapkan
kesempatan yang sama seperti pada laki-laki, apalagi untuk
kedudukan pimpinan atau pengambil keputusan lainnya, untuk

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

91

mencapai kedudukan yang setara dengan kedudukan laki-laki,


seperti kedudukan pimpinan, legislatif maupun pengambil
keputusan, perempuan dituntut untuk mempunyai kelebihan
prestasi yang lebih menonjol, perempuan harus melalui
perjuangan yang sangat berat. Diskriminasi terhadap perempuan
setelah kemerdekaan sejak kemerdekaan Indonesia sampai tahun
2014 sekarang (69 tahun) ini ternyata masih ada pula terjadi pada
dunia pekerjaan, untuk peningkatan karier juga dalam dunia
politik.
Perjuangan perempuan yang berat untuk mencapai suatu
kedudukan, disebabkan karena masih banyak masyarakat
Indonesia termasuk di Lumajang yang masih menganut paham
patriarki, sehingga menghasilkan keputusan dan sikap yang bias
gender. Keadaan ini menjadi lebih parah dengan adanya penafsiran
yang salah dari hukum agama yang mempertajam keadaan bias
gender. Ketimpangan dan kurangnya peran serta perempuan dan
rendahnya kualitas hidup perempuan, secara umum
mengakibatkan lambatnya keberhasilan dalam Pembangunan
Nasional. Bila kualitas hidup perempuan rendah dan tidak diajak
untuk berperan serta dalam pembangunan, maka perempuan akan
menjadi beban pembangunan. Sebaliknya, bila perempuan diberi
kepercayaan untuk berperan dalam pembangunan nasional, maka
perempuan akan menjadi mitra sejajar bagi laki-laki yang ikut
bahu-membahu dan meringankan beban pembangunan.
Banyak penyebab minimnya representasi keterwakilan
perempuan yang umumnya rendah tingkat pendidikannya
dibanding laki-laki, rendah dukungan partai politik, kurang
kerjasama perempuan dalam parlemen dengan luar legislatif,
norma sosial yang berorientasi pada laki-laki, kurangnya dukungan
media, dan sistem pemilu serta kurangnya kuota perempuan.
Untuk itulah, perlu lebih banyak perempuan yang terjun
kedunia politik untuk masuk ke politik, satu-satunya cara bila
bergabung dalam sebuah politik, apalagi jika ingin menjadi anggota
dewan, satu-satunya cara ialah aktif di parpol. Karena itu ia
berharap para perempuan untuk tidak ragu terjun ke dunia politik.
Hal itu untuk memenuhi kuota suara perempuan di DPR hingga 30
persen.

92

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Undang-Undang ini diberlakukan sejak Pemilu legislatif


tahun 2004. Intinya : setiap parpol yang mengajukan calon anggota
legislatif yang akan berlaga di Pemilu, wajib komposisinya 30%
perempuan dan 70% laki-laki. Perhitungan komposisi ini berlaku
untuk setiap Daerah Pemilihan (Dapil), hingga Dapil terkecil
kumpulan beberapa kecamatan dalam suatu Kabupaten/ Kota
untuk Caleg DPRD tingkat II. Setiap Dapil sudah memiliki kuota
berapa jumlah anggota legislatif terpilih yang akan mewakili Dapil
tersebut. Dan setiap partai politik berhak mengajukan calon
anggota legislatf (caleg) sebanyak 100% dari jumlah kuota kursi di
Dapil tersebut, dari jumlah caleg yang diajukan itu, wajib 30%
diantaranya harus perempuan.
Karena kurangnya keterwakilan perempuan di DPR, perlu
digalang sebuah gerakan bersama pemberdayaan dan penyamaan
persepsi kader perempuan lintas partai politik, khususnya dalam
upaya memantapkan perjuangan perempuan Populasi penduduk
perempuan yang lebih besar sebenarnya merupakan asset dan
sumberdaya politik yang seharusnya dapat menopang posisi
perempuan dalam proses politik formal di Indonesia. Realitas
politik saat ini malah sebaliknya, jumlah populasi perempuan lebih
besar daripada laki-laki, namun institusi perpolitikan masih sangat
maskulin, tidak otomatis memiliki sensitive gender.Kenyataannya,
sampai saat ini perempuan masih merupakan kelompok marjinal
yang secara historis selalu disisihkan dalam dunia politik dan pada
proses-proses pengambilan keputusan publik.
Demikian juga jumlah penduduk Kabupaten Lumajang dari
data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kabupaten
Lumajang, Oktober 2012 berjumlah 1.183.248 jiwa, yang terdiri
atas 587.597 jiwa laki-laki (49,6%)7 Apalagi sekarang tahun 2013
pasti jumlah penduduk di Kabupaten Lumajang bertambah banyak
terutama perempuannya. Tidak dapat dipungkiri perempuan
secara demografis merupakan mayoritas, namun secara politis
mereka masih menempati posisi minoritas.
Untuk itu di Kabupaten Lumajang pada pemilu 2009
terbagi menjadi 5 Daerah Pilihan dengan 50 kursi, Pada Pemilu
tahun 2014 tentunya tetap tersedia 50 kursi sesuai ketentuan
7

http://www.harjasaputra.com diakses 7 Januari 2014

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

93

pasal 26 ayat 2g bahwa, kabupaten/kota dengan jumlah


penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) orang memperoleh
alokasi 50 (lima puluh) kursi. Tentu Satu Dapil di kabupaten
lumajang pada pemilu 2014 kuotanya rata-rata kira-kira ada 10
kursi yang diperebutkan tergantung jumlah penduduk. rata-rata
setiap dapil jumlah caleg perempuannya sekitar 3 - 4 orang,
tergantung jumlah kursi yang tersedia pada setiap daerah
pemilihan. Misalnya di dapil 1 karena penduduknya terbanyak
(kecamatan Lumajang, Sumbersuko, Sukodono, Jatiroto, dan
kecamatan Tekung) jumlah kursinya 12 kursi, Maka tiap parpol
berhak mengajukan caleg sebanyak 12 orang. Dari 12 orang itu,
maka 4 diantaranya haruslah perempuan, di kabupaten Lumajang
ada 12 parpol yang bertarung maka ada 144 caleg berebut 12
kursi di Dapil I Lumajang. Dari 144 caleg itu, 48-an diantaranya
perempuan. Padahal yang akan terpilih dan menjadi anggota
legislatif hanya 12 orang saja, dan 12 orang itu laki-laki dan
perempuan bisa dari parpol manapun yang ikut Pemilu tanggal 9
April 2014. Bisa saja 12 kursi hanya berhasil direbut oleh 5 parpol
saja, misalnya. Jadi, tidak heran jika sudah 3x Pemilu sejak adanya
kebijakan affirmasi 30 % keterwakilan perempuan dalam politik
tahun 2004,tahun 2009 bahkan pemilu tahun 2014 , keterwakilan
30% perempuan dalam badan legislatif masih belum sepenuhnya
terwujud.
Kabupaten Lumajang memiliki 4 orang (8%) keterwakilan
perempuan dalam badan legislatif periode tahun 2009-2014, serta
meningkat 8 orang (16%) keterwakilan perempuan dalam badan
legislative periode tahun 2014-2019, tetapi keterwakilan
perempuan dalam badan legislatif Kabupaten Lumajang masih
belum memenuhi minimal 30% dari 50 kursi yang tersedia (lihat
tabel 1), banyak pemilih perempuan tapi sedikit perempuan yang
terpilih, juga belum tentu semua perempuan yang terpilih
memperjuangkan hak-hak perempuan. Hal itu menandakan bahwa
kesadaran perempuan untuk memperjuangkan haknya masih
minim. Masih perlu proses panjang dan semangat juang yang besar
untuk mengikis budaya patriarkhi yang mengakar dalam pikiran,
cara pandang, dan kebudayaan masyarakat Lumajang.

94

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Melalui penguatan tindakan affirmasi dengan revisi UU


Paket Politik; penempatan caleg perempuan pada nomor urut
teratas; penambahan caleg perempuan dalam daftar calon di
semua dapil; dan pemberian sanksi pada partai politik jika tidak
memenuhi ketentuan penempatan caleg perempuan sebanyak 30
% adalah diantara usaha-usaha untuk mengejar ketidak imbangan
keterwakilan perempuan, meskipun demikian belum secara
otomatis memberikan kesempatan kepada perempuan untuk
terpilih dalam pemilu tahun 2004, tahun 2009 dan tahun 2012 di
kabupaten Lumajang dapat dilihat dari jumlah anggota DPRD lakilaki dan jumlah anggota DPRD perempuan dalam tabel 1 dibawah.
Tabel 1
Jumlah Anggota DPRD di Kabupaten Lumajang

Sumber: KPUD dan Sekretariat DPRD kabupaten Lumajang


Untuk mengkonkritkan kebijakan afirmasi 30% perempuan
dan menegaskan pengaturan pasal yang mengatur penempatan
caleg perempuan dalam daftar calon pada nomor urut jadi.
Hasilnya, Pasal 2 ayat (5) UU RI Nomor 2 Tahun 2008 juga UU RI
Nomor 2 Tahun 2011dengan tegas mengharuskan partai politik
menempatkan sedikitnya 30% perempuan dalam kepengurusan
partai. Sementara dalam Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat,
ditegaskan ketentuan dalam setiap tiga calon sedikitnya terdapat
satu calon perempuan, atau model zipper system. Kebijakan
affirmasi ini diikuti dengan mekanisme penetapan calon terpilih

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

95

yang diatur dalam Pasal 215, ketentuan pasal 215 UU Nomor 8


Tahun 2012 :
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu
didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik PesertaPemilu di
suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD propinsi, dan DPRD
kabupaten / kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh
suara terbanyak.
b. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan
perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan
berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah
pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan permpuan.
c. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang
diperoleh Partai Politik peserta Pemilu, kursi yang belum terbagi
diberikan kepada calon berdasarkan perolehan suara terbanyak
berikutnya.
Tujuan tindakan affirmative adalah mendorong jumlah
perempuan lebih banyak dalam legislatif menggantinya dengan
sistem suara terbanyak yang ditetapkan MK
merugikan
perempuan karena terdapat kontradiktif dalam putusan ini, di satu
sisi MK mendukung adanya affirmative action, namun di sisi lain
MK menganut sistem suara terbanyak. Karena, affirmative action
dalam Pasal 56 ayat (2) itu dianggap sia-sia bila sistem penetapan
caleg menggunakan suara terbanyak. Ketentuan dalam Pasal 56
ayat (2) UU RI No.8 Tahun 2012 tersebut kehilangan maknanya
ketika Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 22-24/PUUVI/208 membatalkan pasal 214 huruf a sampai e UU RI nomor 10
tahun 2008, sehingga mekanisme penetapan calon terpilih
ditetapkan melalui suara terbanyak. Mahkamah Konstitusi
memang tidak membatalkan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 yang
mengatur zipper system dalam daftar calon.Sementara itu,
penetapan calon terpilih tidak ada perubahan dalam system
pemilu dalam UU RI nomor 8 tahun 2012 melalui system
proporsional terbuka, system suara terbanyak masih berpotensi

96

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

mengurangi keterpilihan perempuan dalam legislatif di DPRD


kabupaten Lumajang.
Dari Sumber Sekretariat DPRD kabupaten Lumajang tahun
2009 juga dapat diketahui dari 50 anggota DPRD kabupaten
Lumajang hanya 4 orang dari perempuan dan hanya 1 (satu) orang
yang berperan sebagai pimpinan di legislatif yaitu ibu Vicenora
Hesti, SE. sebagai ketua Fraksi, legislatif yang berjumlah 3 orang
sebagai anggota. hal ini menunjukkan kurangnya representasi
perempuan di Lumajang dalam bidang politik antara lain yang bisa
disebabkan dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan
kebijakan publik. Pendidikan politik, perkaderan dan peningkatan
kapasitas dan kapabilitas perempuan juga dapat mempengaruhi
rendahnya representasi perempuan di parpol, legislatif atau
jabatan-jabatan politik.
C. PENUTUP
C.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Politik hukum yang diambil untuk meningkatkan peran
politik perempuan dalam badan legislatif dengan menyusun dan
memberlakukan kebijakan kebijakan berupa perundang-undangan,
guna mendukung upaya peningkatan keterwakilan perempuan di
legislatif, strategi untuk mengintegrasikan gender ke dalam
kebijakan politik dan program pembangunan di seluruh sektor
pembangunan melalui perubahan norma. Perubahan atas UU
pemilu dan partai politik menjadi lebih tegas, efektif dan
bermanfaat dapat melaksanakan keterwakilan masyarakat sebagai
upaya menguatkan kebijakan affirmasi yang sebelumnya telah
diadopsi dalam UU Paket Politik. Upaya ini diharapkan menjadi
bagian dari langkah taktis dan sinergis antara masyarakat sipil,
partai politik dan institusi negara sebagai salah satu jalan untuk
mewujudkan pemilu yang demokratis dan berkualitas dengan
memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
2. Peran politik perempuan untuk menjadi anggota badan
legislatif di Kabupaten Lumajang masih rendah meskipun dengan
adanya perubahan kebijakan dan perubahan hukum dari berbagai

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

97

konvensi diratifikasi dan berbagai UU diproduksi, kelompok


perempuan berhasil memperjuangkan afirmasi politik namun
peran politik kaum perempuan di Lumajang tidak banyak berubah
terbukti dengan data-data yang telah ada di atas bahkan peran
politik perempuan masih rendah, bila perempuan dibiarkan tidak
berperan atau kualitas hidupnya dibiarkan rendah, maka
perempuan bisa menjadi beban pembangunan, sehingga
pembangunan akan terhambat.
C.2. Saran
1. Perlu sosialisasi, pendidikan terus-menerus Undang-Undang
dibidang politik dan pengertian kesetaraan dan keadilan
gender khususnya pengurus parpol pada masyarakat pada
semua tingkatan agar memahami konsep gender dan mau lebih
banyak merekrut perempuan dalam kepengurusan partai serta
kaum perempuan sendiri agar mau aktif berpartai.
2. Perlu kewajiban untuk meningkatkan keterwakilan perempuan
dalam bidang politik dijadikan persyaratan boleh tidaknya
suatu partai politik mengikuti Pemilu karena hanya dengan
demikian partai politik berupaya untuk merekrut kader-kader
partai dari perempuan.
3. Agar ada sanksi yang tegas kepada partai politik yang mencoba
menghindar dari ketentuan minimal 30 % kepengurusan
perempuan di partai politik maupun di pencalonan anggota
legislatif seperti yang telah diatur dalam perundang-undangan,
sanksi tersebut dapat berupa penolakan untuk menerima
daftar partai politik yang tidak memenuhi persyaratan kuota.
4. Keterwakilan perempuan di parlemen menuntut suatu
kapasitas yang kualitatif Pencalonan perempuan sebagai
anggota legislatif selayaknya diperbaiki dengan mewajibkan
partai politik meningkatkan kuota minimal 30%
juga
menyeleksi kemampuannya dengan mempertimbangkan
pendidikan, tingkat kecerdasan karakter, pengalaman dalam
pekerjaan dan pengalaman organisasi serta moralnya, agar
tercapai keterwakilan perempuan di parlemen yang memenuhi
kapasitas dan yang kualitatif.
5. Sebagai kaum perempuan Lumajang khususnya dan
perempuan Indonesia umumnya terutama yang masuk

98

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014


organisasi politik, supaya perempuan tersebut dapat berbuat
banyak dapat membuktikan, menunjukkan kwalitas,
kemampuannya untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara Indonesia, patuh pada hukum sadar akan kebersamaan
dan menghargai nilai kemanusiaa secara beradab.
-----

DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Agee Warran K (1985) Introduktion to Mass Communication.
Harper and Row Publishing, New York.
Azza Karan (1998) Women in Parliament : Beyond Numbers,
International Institute for Democracy and Electoral
Asistance (International IDEA)
Dedi Kurnia Syah Putra (2012) Media dan Politik. Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Nani Soewondo (1984) Kedudukan Wanita Indonesia. Ghalia
Indonesia, Jakarta Timur.
Misbahul Munir (2004) Pemilu, Demokrasi dan Ijtihad Politik
Perempuan. Visipress, Surabaya.
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang Partai Pemilu & Partai Politik 2008. Jakarta.
Gredien Mediatama. cetakan I.
Undang-undang nomor 68 tahun 1958 tentang hak-hak politik
perempuan.
Pendapat Komnas Perempuan sebagai Pihak Terkait dalam Judicial
Review UU
Nomor 10 Tahun 2008 Perkara 22-24/PUU-VI/2008
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
INTERNET/JURNAL/HARIAN
http://www.harjasaputra.com
Ejournal.pin.or.id//E-jurnal%20Mar%Rosieana%...
politik.kompasiana.com/.../strategi-meningkatkan-...

Anda mungkin juga menyukai