PENDAHULUAN
Pada awalnya tranfusi sel darah merah dilakukan bila kadar hemoglobin (HB)
turun dibawah 10 g/dl atau kadar hematokrit turun dibawah 30% dari level normal.
Saat ini transfusi darah merah dilakukan bila kadar HB berada dibawah level 7-8 g/dl.
Hal ini didasarkan atas hasil akhir yang lebih baik pada pasien dengan kadar HB
tersebut (4).
Terdapat beberapa reaksi yang terjadi setelah transfusi dilakukan. Hal ini
meliputi gangguan volume darah yang berkaitan dengan hemodinamik pasien
terutama pada pasien dengan gagal jantung, sehingga harus diperhatikan jumlah
volume cairan yang dimasukkan kedalam intravena, serta perlunya diberikan obatobatan diuretik. Reaksi transfusi lain yang dapat muncul ialah reaksi alergi. Reaksi ini
muncul sebagai akibat adanya reaksi antigen antibodi pada tubuh (1).
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pada tanggal 15 juni 1667, Dr. Jean Baptiste Denys mengawasi proses
transfusi darah yaitu 12 ons darah sapi di transfusikan kepada anak umur 15 tahun
yang telah di buat berdarah oleh 20 lintah. Proses transfusi ini berhasil dengan si anak
tetap hidup setelah proses transfusi. Transfusi lain yang dilakukan oleh Dr. Jean
Baptiste Denys berakibat kematian bagi orang yang menerima transfusi darah.
Pada tahun 1818, Dr. James Blundell seorang dokter kandungan melakukan
transfusi darah pertama yang sukses pada manusia. Dr. James Blundell melakukan
transfusi pada pasiennya yang mengalami perdarahan, dengan suami pasien sebagai
donor. Dari suami pasien tersebut diambil darah sebanyak 4 ons yang kemudian di
transfusikan ke sang istri.
Pada tahun 1840, Samuel Armstrong Jane di bantu oleh Dr. James Blundell
sukses dalam melakukan transfusi darh pada pasien hemofilia. Walaupun sudah
banyak orang yang selamat dalam transfusi darah tetapi banyak juga orang yang
meninggal pada saat melakukan transfusi darah.
Pada tahun 1900, Karl Landsteiner menemukan sesuatu dalam transfusi darah
yaitu golongan darah. Karl Landsteiner menemukan bahwa tipe darah manusia ada 3
jenis yaitu tipe A, B, dan O. Penemuan ini disempurnakan oleh Decastrello dan Sturli
di tahun 1902 yang menemukan tipe darah ke-4 yaitu tipe AB.
Golongan darah A, B, AB, dan O telah ditemukan, tetapi masih sering terjadi
keadaan dimana golongan darah sama tetapi hasilnya tetap kematian. Pada tahun
1939-1940 Karl Lendsteiner, Alex Wiener, Philip Levine dan R.E. Stetson membuat
penemuan baru didunia tentang transfusi darah. Karl Landsteiner dan teamnya
5
menemukan tipe golongan darah terbaru yang disebut golongan darah tipe rhesus.
Karl Lendsteiner melakukan riset menggunakan darah kera rhesus (Macaca Mulatta)
sehingga disebut rhesus. Penemuan ini membuat golongan darah yang sudah ada
harus juga dikombinasikan dengan tipe rhesus.
Pada tahu 1943, JF Loutit dan Patrick L. Mollison memperkenalkan solusi
asam sitrat dekstrosa (ACD). ACD dapat mengurangi volume antikoagulan sehingga
memungkinkan untuk melakukan transfusi darah dengan volume lebih besar serta
memungkinkan bagi darah untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama.
Carl Walter dan W.P. Murphy Jr memperkenalkan kantong plastik untuk
penyimpanan darah pada tahun 1950. Kantong plastik ini menggunakan botol kaca.
Selanjutnya untuk memperpanjang umur dari darah yang disimpan digunakkan
pengawet antikoagulan, CPDA-1 yang diperkenalkan pada tahun 1979.
3. Orang dengan golongan darah AB memiliki dua macam antigen permukaan, yang
merupakan kombinasi dari antigen A dan antigen B.
4. Golongan darah O semula dianggap tidak memiliki antigen permukaan, namun
terbukti bahwa golongan darah O masih memiliki ikatan karbohidrat pada permukaan
eritrositnya yang terdiri atas 1 molekul fukosa, 1 molekul N-asetil glukosamin, dan 2
molekul galaktosa. Gugus ini tidak bersifat imunogenik, sehingga anggapan golongan
darah O tidak memiliki antigen permukaan masih bisa diterima.
Tabel 1. Daftar Golongan Darah
Golongan Antigen di
Antibodi dalam
RBC
plasma
kompatibel
Antigen A
Anti-B
A, O
Antigen B
Anti-A
B, O
Antigen A & B
Tidak ada
A, B, AB, O
Tidak ada
Anti- A & B
AB
O
Sistem Rh
Rhesus adalah antigen yang terdapat pada permukaan sel darah merah.
Rhesus positif (Rh +) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya
sedangkan Rhesus negatif (Rh-) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen
pada eritrositnya. Antigen pada manusia dinamakan antigen-D. Antigen-D
merupakan antibodi imun IgG dengan berat molekul 160.000 dan dapat ditemukan
dalam cairan tubuh seperti air ketuban, air susu, dan air liur. Antibodi imun IgG antiD dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat
menderita penyakit hemolisis.
Sistem penggolongan darah rhesus merupakan antigen yang terkuat bila
dibandingkan dengan sistem penggolongan darah lainnya. Dengan pemberian Rh+
satu kali saja sebanyak 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai
golongan darah Rh- sudah dapat menimbulkan anti Rh+ walaupun golongan darah
ABOnya sama.
Setelah darah ditetesi serum maka akan terjadi beberapa kemungkinan yang
akan menunjukkan golongan darah tersebut. Beberapa kemungkinan tersebut
yaitu (5):
a. Jika serum anti-A menyebabkan aglutinasi pada tetes darah, maka individu tersebut
memiliki aglutinogen tipe A (golongan darah A).
b. Jika serum anti-B menyebabkan aglutinasi, individu tersebut memiliki aglutinogen
tipe B (golongan darah B).
c. Jika kedua serum anti-A dan anti-B menyebabkan aglutinasi induvidu tersebut
memiliki aglutinogen tipe A dan tipe B (golongan darah AB).
d. Jika kedua serum anti-A dan anti-B tidak mengakibatkan aglutinasi,maka individu
tersebut tidak memiliki aglutinogen (golongan darah O).
Berdasarkan ada tidaknya antigen-Rh, maka golongan darah manusia
dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orang dengan
Rh-positif (Rh+), berarti darahnya memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan dengan
reaksi positif atau terjadi penggumpalan eritrosit pada waktu dilakukan tes dengan
anti-Rh (antibodi Rh). Kelompok satunya lagi adalah kelompok orang dengan Rhnegatif (Rh-), berarti darahnya tidak memiliki antigen-Rh yang ditunjukkan dengan
reaksi negatif atau tidak terjadi penggumpalan saat dilakukan tes dengan anti-Rh
(antibodi Rh) (5).
10
11
2.
Tahap inkubasi
Tahap ini menyangkut inkubasi sel darah merah yang dites dengan serum. Sel
darah merah kemudian dicuci bersih dengan air garam untuk mengelurkan
globulin bebas dan memerlukan waktu 30-45 menit.
3.
12
13
(Hb yang
kemungkinan reaksi imunologis, volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga
kemungkinan overload berkurang dan komponen darah lainnya dapat diberikan pada
pasien lain (5,6,7).
Kerugian dari PRC adalah masih cukup banyak plasma, lekosit dan trombosit
yang tertinggal sehingga masih bisa terjadi sensitivitas yang dapat memicu timbulnya
pembentukan antibodi terhadap darah donor (5,6,7).
Pada pasien yang memerlukan tranfusi berulang, misalnya pada pasien
talasemia, paroksimal nokturnal hemoglobinuria, anemia hemolitik karena proses
imunologik serta pasien yang pernah mengalami reaksi demam sebelumnya dapat
diberikan PRC yang dicuci atau washed PRC. Washed PRC dibuat dari darah utuh
yang dicuci dengan normal saline sebanyak 3 kali untuk menghilangkan antibodi.
Washed PRC hanya dapat disimpan 4 jam pada suhu 4oC sehingga harus segera
diberikan (5,6,7).
Platelet
Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 1010 platelet
per kantong, dan 50 mL plasma. Dosis pada kasus trombositopenia cukup 1 kantong,
atau sesuai target kadar platelet biasanya 40.000-50.000/mm3. 1 kantong dapat
meningkatkan platelet sekitar 50-100.000/mm3 (5,7).
Indikasi untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet, dan
fungsi platelet yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000 pada
dewasa, dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus. Kontraindikasi autoimun
trombositopenia, trombotik trombositopeniapurpura (5,7).
15
Frozen plasma
Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP) mengandung semua protein plasma
(faktor pembekuan). 1 kantong berjumlah sekitar 250 mL yang dibekukan pada suhu 180C dalam 6-8 jam. FFP dalam 24 jam mengandung Faktor V dan Faktor VIII.
Setiap 1 unit FFP dapat menaikkan masing-masing kadar faktor pembekuan 2-3%
pada orang dewasa (6).
FFP diindikasikan pada perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan
kuagulopati pada penyakit hati, trombotik trombositopenia purpura. Dosis 10-20
mL/kg (6).
Cryoprecipitated AHF
Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic faktor. Didapatkan dengan
mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor
VIII:C, faktor VIII:vWF (von Willebrand factor), faktor XIII, fibronectin, dan 5-20
mL plasma (6).
Dosis kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1
kantong per 7-10 kgBB. Indikasi perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor
XIII, pasien dengan hemofili A atau von Willebrands disease (6).
Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada
pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik.
Transfusi granulosit mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek,
sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010 granulosit pada umumnya diperlukan.
16
18
USIA
ml/kgBB
Prematur
95
Cukup bulan
85
Anak kecil
80
Anak besar
75-80
Dewasa :Pria
Wanita
75
65
19
20
dan
gudang
penyimpanan.
Pengumpulan
darah
preoperative
22
darah
dan
mengkonfirmasikan
kompatibilitas.
Studi
yang
sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah merah.
Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis intravascular (5).
Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau delayed
(extravascular) (5).
1. Reaksi hemolisis akut
Hemolisis
Intravascular
akut
pada
umumnya
berhubungan
dengan
Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
24
dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak
terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama selama transfuse sel
darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini
dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen.Reaksi hemolisis pada tipe lambat terjadi 221 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice,
dan demam.Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya
perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan
hemoglobin (5).
Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat mungkin difasilitasi
oleh
antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel
25
darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membran antibodi resipien pada sel
darah merah dengan membran antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini
memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua
spesimen : pasien dan donor (5).
Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif.Frekuensi reaksi transfusi
hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan ( terpapar sel
darah merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloan-tibodies pada
seldarah merah.
Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH,
direct antiglobulin test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalysis.
Fungsi ginjal harus dimonitoring ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan,
hanya saja pada transfusi selanjutnya perlu berhati-hati dengan melakukan screening
golongan darah dan atibodi.
Reaksi Febris
Sensitisasi leukosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi
febris.Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi dan ditandai oleh suatu
peningkatan temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat febris
berulang harus menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi darah merah dapat dibuat
leukositnya kurang dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-thaw (5).
Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal bintik
merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1%
26
leukosit
merupakan
produk
darah
dapat
sebagai
laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya
infeksi yang serius setelah pembedahan atau trauma (5).
Overload Cairan
Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal jantung
ventrikel kiri akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering,
peningkatan JVP, ronki basal paru, hipertensi, dan takikardi (2).
Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan oksigen dan diuretik.
Iron Overload
Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang hidupnya
bergantung pada transfusi darah seperti talasemia dan sickle cell. Komplikasi ini
terjadi bila transfusi sudah mencapai 10-50 kantong (10).
Manajemen: dilakukan iron chelation therapy dengan desferoxamine 30-50
mg subkutan atau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu (10).
Komplikasi Infeksi
Infeksi Virus Hepatitis
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya
hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah
dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab
1:63,000 dan 1:1,600,000, 75% tentang kasus ini adalah anikterik, dan sedikitnya
50% berkembang menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok
yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis (11).
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
29
Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui
transfusi darah.Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2
antibodi. Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu
kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi
1:1.900.000 tranfusi (11).
Infeksi Virus Lain
Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan
penyakit sistemik ringan atau asimptomatik. Yang kurang menguntungkan, pada
beberapa individu menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari
donor
(misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ) peka terhadap infeksi
CMV berat setelah tranfusi.Idealnya, pasien - pasien menerima hanya CMV negatif.
Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari
transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV
negatif. Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara
klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan
II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah
dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan
myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor
pembekuan.dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasien
immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya mengurangi
tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas (11).
30
Infeksi Parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria,
toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi
(11).
Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi.
Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai
1/7000 untuk RBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari
1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk RBC.Angka-angka ini secara relatif
besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2
juta.Baik bakteri gram-positif (Staphylococus) dan bakteri gram-negatif (Yersinia
dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan penyakit.Untuk
mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu
kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari
donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam
rickettsia.
Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotik
sesuai bakteri penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi berikut
dapat dipertimbangkan:
-
Bakteri gram negatif: piperacillin 4,5 g tds iv; atau ceftriaxone 1 g 1x/hari; atau
meropenem 1 g tds iv.
31
32
BAB 3
RINGKASAN
33