Anda di halaman 1dari 10

TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB.

TPI
diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara
bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara
selama 8 jam sehari. TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana
alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada.
Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak
memiliki kinerja keuangan yang baik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan keluar dari
naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut pada pertengahan 1990-an. Secara
berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk, utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun
2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode
tahun itu.
Tahun 1996 TPI yang masih dipegang oleh pemilik lama mengeluarkan Subordinated Bonds
(Sub Bonds) sebesar USD53 juta. Sub Bonds tersebut pertama kali dibeli oleh Peregrine Fixed
Income Ltd dengan cara membayar USD53 juta pada 26 Desember 1996. Namun esoknya pada
27 Desember 1996, dengan jumlah yang sama ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed
Income Ltd. Setelah dilunasi oleh TPI, dokumen dokumen asli Sub Bond tersebut disimpan oleh
pemilik lama yang diduga diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat
sebagai Direktur Utama PT Citra Marga Nusaphala Persada).
Tahun 2004 Diketahui bahwa dokumen-dokumen Sub Bond yang sudah dilunasi oleh TPI
diperjualbelikan dari Filago Ltd kepada CCGL pada 27 Desember 2004. Ini menandakan bahwa
dokumen asli Sub Bonds yang diambil oleh pemilik lama diperjualbelikan. Transaksi jual beli
Sub Bonds antara Filago Ltd dengan CCGL hanya menggunakan promissory note sehingga tidak
ada proses pembayaran.
Pertengahan 2009 PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dimohonkan pailit di
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) karena dinilai belum
membayar surat utang (obligasi) senilai 53 juta USD kepada PT Crown Capital Global Limited
selaku

pemegang

hak

tagih

No.31/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST,

piutang
tertanggal

tersebut
19

Juni

2009.

dengan
Pemohon,

perkara
dalam

permohonan pailitnya, mengklaim termohon mempunyai kewajiban yang telah jatuh tempo.

Untuk terpenuhinya unsur-unsur pasal 2 (1) UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pemohon juga menyertakan kreditur lainnya yakni Asian
Venture Finance Limited dengan tagihan US$10,325 juta, di luar bunga, denda, dan biaya
lainnya.
Menurut PT Crown, TPI memiliki surat utang yang diterbitkan pada tahun 1996 dengan masa
berlaku 10 tahun sehingga sudah jatuh tempo pada 24 Desember 2006, namun tidak kunjung
dibayarkan. PT Crown menjadi kreditur TPI karena telah membeli surat utang tersebut dari
pemegang sebelumnya, yakni PT Fillago Limited pada tahun 2004. Karena sudah mengantongi
hak tagih itu, seharusnya TPI membayar utangnya, sejak jatuh tempo berakhir.
Dalam penerbitan obligasi tersebut, PT Bhakti Investama menjadi placement agent atau agen
penempatan dan arranger. Crown mengajukan permohonan pailit dengan membawa bukti bahwa
TPI memiliki kreditur lain, sehingga memenuhi persyaratan mengajukan pailit kepada
Pengadilan Niaga. Utang yang lain, dimiliki oleh Asian Venture Finance Limited sejak
November 1998 sebesar 10,325 juta dollar AS, yang telah jatuh tempo pada 1999. Karena itu,
pihak PT Crown mengajukan pailit kepada TPI.
14 Oktober 2009 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan PT Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya. 21
Oktober 2009 Perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo PT Media Nusantara Citra (MNC) ikut
masuk dalam proses kasasi atas putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang telah mempailitkan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) karena takut rugi dalam
pembagian harta pailit.
16 November 2009 PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) melaporkan dugaan
pelanggaran kode etik dan perilaku hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang telah memutuskan TPI sebagai perusahaan yang pailit kepada Komisi Yudisial.
12 Desember 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk mengabulkan permohonan
kasasi atas putusan pailit PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (PT CTPI). dalam putusan No.
834 K/Pdt.Sus/2009, majelis kasasi menyatakan pembuktian kasus pailit TPI tidak sederhana
lantaran eksistensi adanya utang masih dalam konflik. 23 Desember 2009 Advokat Marthen

Pongrekun dan Andi F Simangunsong yang telah memberikan pengumuman di salah satu media
massa, mengenai status PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) yang sudah tidak di
bawah kurator, dilaporkan ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Kuasa hukum PT Crown Capital Global Limited Ibrahim Senen menyatakan seluruh pihak
hingga saat ini, termasuk hakim pengawas dan kurator belum mendapatkan salinan putusan
kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan pailit TPI. Selain itu, PT Crown Capital
Global Limited juga melaporkan PT Media Nusantara Citra (MNC) Tbk kepada Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) atas dugaan rekayasa
laporan keuangan anak perusahaannya PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia. Pasalnya, surat
utang dengan hak tagih yang dikeluarkan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) senilai
53 juta USD, milik kliennya itu, telah terungkap dalam rapat verifikasi tertanggal 15 Desember
2009 sebagai milik Santoro Corporation.
25 Maret 2010 Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali Crown
Capital Global Limited untuk kembali memailitkan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia
(TPI).
Analisa
a. Tinjauan Syarat Pengajuan Permohonan Kepailitan
Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka
syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai
1. Adanya utang;
2. Minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;
3. Adanya Kreditur lebih dari satu;

4. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan
Niaga
5. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.
Bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat debitor untuk dapat
dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim
harus menyatakan pailit, bukan dapat menyatakan pailit, sehingga dalam hal ini kepada
hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan judgement yang luas seperti pada perkara
lainnya.
Penulis akan menganalisa kepailitan TPI terutama mengenai terpenuhi atau tidaknya persyaratan
yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004 sekaligus pasal 8 ayat (4) mengenai asas
pembuktian sederhana. Adapun uraian dari unsur-unsur pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a)

Minimal ada 2 kreditur atau lebih.

Dalam pasal 1 butir 2 UUK 2004, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena
perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan. Dalam kasus kepailitan
TPI, permohonan pailit diajukan oleh Crown Capital Global Limited yang diwakili oleh kuasa
hukumnya Ibrahim Senen. Untuk terpenuhinya unsur-unsur pasal 2 (1) UU No.37/2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pemohon juga menyertakan
kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance Limited.
Dengan demikian uraian tersebut diatas jelas terlihat bahwa syarat adanya minimal dua kreditur
atau lebih telah terpenuhi. Namun setelah proses perkara berjalan penulis menemukan data
mengenai adanya kekeliruan yang dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga yaitu
ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih dari dua.
Tapi, ada kejanggalan, hanya ada satu kreditur, PT Crown Capital Global Limited (CCGL).
Sementara, kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited, dinilai
perusahaan buatan atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan dalam kategori kreditur. Asian
Venture Limited (AVL) yang jelas-jelas tidak lagi memiliki tagihan kepada TPI, tetapi tetap saja

diterima oleh majelis hakim di Pengadilan Niaga yang dipimpin oleh Maryana sebagai salah satu
kreditor. Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit itu cuma ada satu.
b)

Adanya utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Berdasarkan UUK 2004 Pasal 1 angka 6, Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik
secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak
kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Utang merupakan
kewajiban yang harus dilakukan atau dibayarkan oleh pihak lain, dimana kewajiban dapat lahir
dari Undang-undang dan perjanjian (pasal 1233 KUHPerdata). Jadi pada dasarnya utang berarti
dapat timbul dari undang-undnag maupun perjanjian.
Kemudian jika dikaitkan dengan kasus kepailitan TPI, Crown Capital Global Limited
(CCGL) yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku memiliki subordinated bond (surat
utang) senilai 53 juta dollar AS dan Asian Venture Finance Limited (AVFL) yang berdiri di
British Virgin Island yang mengaku memiliki piutang ke TPI sebesar 10.350.000 dollar AS.
Kewajiban Subordinated Bonds sebesar USD 53 juta tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih
di luar bunga, denda, dan biaya lainnya. PT Crown menjadi kreditur TPI karena telah membeli
surat utang tersebut dari pemegang sebelumnya, yakni PT Fillago Limited pada tahun 2004.
Karena sudah mengantongi hak tagih itu, seharusnya TPI membayar utangnya, sejak jatuh tempo
berakhir. Surat utang yang diterbitkan pada tahun 1996 dengan masa berlaku 10 tahun sehingga
sudah jatuh tempo pada 24 Desember 2006, namun tidak kunjung dibayarkan. Dan juga utang
kepada kreditur lain yaitu Asian Venture Finance Limited dengan tagihan US$10,325 juta, di luar
bunga, denda, dan biaya lainnya.
Setelah hasil penyelidikan TPI menemukan bahwa CCGL memperoleh sub bond tersebut dari
Filago pada Tahun 2004, yang berdiri di British Virgin Island namun menggunakan alamat di
Wijaya Graha Puri Blok A No. 3-4 Jalan Wijaya 2 Jakarta Selatan. Filago Ltd. Memperoleh sub
bond tersebut dari Benmall Ltd. yang didirikan di British Virgin Island yang ternyata sudah
dilikuidasi tahun 1998. TPI menemukan bahwa AVFL telah menjual tagihannya ke PT.

Khatulistiwa Prima Citra dengan harga 1 dollar AS pada tahun 2003. Dengan demikian, seluruh
klaim tagihan CCCGL dan AVFL kepada TPI adalah tidak sah.
Utang terhadap PT Crown Diketahui bahwa dokumen-dokumen Sub Bond yang sudah dilunasi
oleh TPI diperjualbelikan dari Filago Ltd kepada CCGL pada 27 Desember 2004. Ini
menandakan bahwa dokumen asli Sub Bonds yang diambil oleh pemilik lama diperjualbelikan.
Transaksi jual beli Sub Bonds antara Filago Ltd dengan CCGL hanya menggunakan promissory
note sehingga tidak ada proses pembayaran. Belakangan diketahui bahwa Filago adalah
perusahaan yang beralamat di Wijaya Graha Puri Blok A No 3-4, Jalan Wijaya 2 Jakarta Selatan,
yang juga merupakan kantor dari salah satu pemilik lama. Semua transaksi pengalihan Sub Bond
tidak pernah diketahui dan dilaporkan ke TPI. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa
transaksi tersebut adalah ilegal. Berdasarkan RUPS TPI tanggal 21 Juli 2006, PT Media
Nusantara Citra (MNC) menjadi pemegang saham TPI sebesar 75 persen. Dalam laporan
keuangan TPI tidak pernah tercatat utang dalam bentuk Sub Bonds senilai USD53 juta.
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, CCGL tidak mempunyai legal standing yang
jelas karena CCGL sebagai penggugat pailit tidak jelas pemiliknya dan hanya memiliki modal
sebesar USD. 50.000 sehingga sangat tidak mungkin perusahaan yang tidak jelas bidang
usahanya mampu mempunyai piutang sebesar USD. 53.000.000. Domisili perusahaan tersebut
adalah di British Virgin Island, tapi menumpang alamat di Camelot Trust Pte. Ltd., di 14 Ann
Siang Rd Unit 02-01 Singapore dan semua pengurus perusahaan tersebut adalah nominee.
Selanjutnya dasar penerimaan kasus ini oleh Pengadilan Negeri terletak pada didasarkan pada
asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi
jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited
(CCGL). Padahal, kata Marx, pengacara PT TPI, bukti-bukti yang diajukan penggugat untuk
mempailitkan TPI tidak berdasar dan penuh rekayasa. Sementara di lain pihak, CCGL menduga
ada rekayasa laporan keuangan PT TPI mengenai hak tagih USD 53 juta, di mana uang sebesar
itu adalah milik Santoro Corporation yang terafiliasi dengan PT Media Nusantara Citra (MNC).
1. Pembuktian Sederhana

Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas pembuktian sederhana. Menurut
penulis, hal tersebut sejalan dengan tujuan dari hukum kepailitan yaitu untuk kepentinagn dunia
usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Dengan dianutnya asas pembuktian sederhana seyogyanya salah satu tujuan dari hukum
kepailitan yaitu cepat dapat tercapai. Kecepatan dalam menyelesaikan suatu kasus kepailitan
sangat penting, mengingat adanya pembatasan waktu pengucapan putusan Pengadilan maksimal
60 hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan pernyataan pailit
terdapat fakta atau keadaan yang secara terbkti secara sederhana bahwa prasyarat pernyataan
pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004 dapat terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk memutus
suatu permohonan pernyataan pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat pernyataan pailit
dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004, akan tetapi harus pula terpenuhi asas pembuktian sederhana
dalam pasal 8 ayat (4) UUK 2004.
Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, permohonan pailit TPI
berdasarkan keputusan pengadilan Negeri yang diajukan oleh Pemohon secara sederhana teleh
terpenuhi dalam pasal 2 ayat (1). Termohon mempunyai kreditur lebih dari satu yaitu Crown
Capital Global Limited dan Asian Venture Finance Limited.
Termohon tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
kepada Crown Capital Global Limited (CCGL) yang berdiri di British Virgin Island yang
mengaku memiliki subordinated bond (surat utang) senilai 53 juta dollar AS dan Asian Venture
Finance Limited (AVFL) yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku memiliki piutang ke
TPI sebesar 10.350.000 dollar AS.
Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan pada
asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi
jangka panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited
(CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah :

1. Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti Rukmana alias
Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond) sebesar USD53 juta. Utang
dalam bentuk sub ordinated bond tersebut.
2. Di buat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx
menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine Fixed
Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang sehari
tepatnya 27 Desember 1996, uang tersebut langsung ditransfer kembali ke rekening
Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utang-utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI,
dokumen- dokumen asli Sub Bond masih disimpan pemilik lama yang kemudian diduga
diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat sebagai Direktur
Utama PT Cipta Marga Nusaphala Persada)
3. Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan
promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses pembayaran. Semua
transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond berpindah
tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari Sub Bond, jelas-jelas illegal.
Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk memailitkan TPI pada 14 Oktober 2009.
Pihak kuasa hukum PT TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan buktbukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang
menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993
telah ditandatangani Perjanjian yang piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA)
sebesar USD50 juta. Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI
tapi ke rekening pribadi pemilik lama, utaang piutang antara TPI dengan Brunei Investment
Agency (BIA) sebesar USD50 juta.Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke
rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama.
Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub Bond
senilai USD53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan kantor
akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya
kreditur maupun tagihan dari CCGL. Seharusnya utang-hutang obligasi jangka panjang tercatat

di dalam pembukuan. Bahkan,kata Marx, pada 2007, MNC sebagai pemilik saham 75 persen di
TPI mencatatkan diri sebagai perusahaan terbuka (PT MNC Tbk).
Merasa tidak bersalah, PT TPI kemudian meminta peninjauan ulang atas masalah ini. Sesuai
prosedur, TPI membawa masalah ini ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Setelah melakukan
tahap verifikasi (Pencocokan piutang), ditemukan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu Maryana selaku ketua majelis hakim dengan dua
anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin. Beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh majelis
hakim terdahulu :
1. ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit haruslah lebih dari
dua. Tapi, dalam masalah ini, hanya ada satu kreditur, PT Crown Capital Global Limited
(CCGL). Sementara, kreditur lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited,
dinilai perusahaan buatan atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan dalam kategori kreditur.
Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit itu cuma ada satu,
2. menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka panjang (sub ordinated
bond) senilai USD53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam
peraturan tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit
adalah transaksi yang sederhana.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka TPI menganggap bahwa putusan PN Niaga Jakpus
sangat tidak berdasar dan merasa sangat dirugikan oleh perusahaan kecil yang domisili hukum
dan alamatnya tidak jelas. Hal ini sangat menganggu kelangsungan hidup perusahaan (going
concern) dan menimbulkan keresahan di kalangan karyawan serta pihak ketiga yang mempunyai
hubungan kerja dengan TPI dan pada akhirnya dapat menganggu pelayanan TPI kepada
masyarakat melalui siarannya.
TPI akhirnya melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada
Mahkamah Agung. Dari kasus tersebut, diperlihatkan bagaimana proses peradilan Indonesia
berjalan. Setelah proses verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan-kesalahan yang belum
teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai Nampak. Sedikit demi sedikit bukti pembayaran
tagihan utang oleh TPI dimunculkan dalam setiap persidangan kasasi. Dalam laporan keuangan

tersebut dikatakan, bahwa surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$53 juta yang jatuh tempo
pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar. Lagipula, ada masalah lain yang lebih
kompleks tentang keberadaan surat-surat utang itu. Dengan meninjau kekeliruan-kekeliruan
tersebut, akhirnya Mahkamah Agung memutus kasus tersebut dan menyatakan bahwa TPI tidak
pailit. Karena dalam hukum nasional, kedudukan Mahkamah Agung adalah kedudukan tertinggi,
maka keputusan ini tidak dapat diganggu gugat dan PT TPI resmi tidak pailit.
Dapat disimpulkan terdapat kekeliruan hakim pengadilan Niaga dalam memutus kasus
pailit TPI adalah menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka panjang
(sub ordinated bond) senilai USD53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana.
Sedangkan dalam peraturan tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat
diajukan pailit adalah transaksi yang sederhana. Namun dapat di anulir oleh Mahkamah Agung
dalam upaya Hukum kasasi, dimana Majelis hakim Memutus TPI tidak jadi dipailitkan karena
pembuktiannya tidak sedehana terapi sangat rumit dan kompleks.

Anda mungkin juga menyukai