DISUSUN OLEH :
R. Ifan Arief Fahrurozi
030.10.226
PEMBIMBING :
dr. Alfian Nurbi, Sp.PD
Judul
Penyusun
NIM
: 030.10.226
Universitas
Batam,
November 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronis / CKD adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar
8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40 60 kasus perjuta penduduk pertahun.
Konsekuensi utama dari CKD
stadium akhir, tetapi juga peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Sehingga dianjurkan
untuk dilakukan deteksi dini dan terapi untuk mencegah prognosis yang buruk.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL
A. ANATOMI GINJAL
Lokasi dan Deskripsi
Kedua ginjal berfungsi mensekresikan sebagian besar pdorduk sisa metabolism.
Ginjal memiliki peran penting dalam mengatur keseimbangan air dan elektrolit didalam
tubuh serta mempertahankan keseimbangan asam dan basa darah. Produk sisa yang
dihasilkan oleh ginjal disebut urine, yang mengalir ke distal tubuh melalui ureter menuju
ke vesika urinaria yang terletak didalam pelvis. Urine nantinya akan keluar dari tubuh
melalui urethra.
Ginjal berwarna coklat kemerahan, berbentuk seperti biji kacang hijau dan terletak di
belakang peritoneum (retroperitoneum). Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah
(kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya lobus hepatis dekstra
yang besar, sehingga mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi
atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11
atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2
(kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan
vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih
rendah dibandingkan ginjal kiri.
Struktur Ginjal
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
Korteks yaitu bagian luar ginjal berwarna coklat gelap, didalamnya terdapat korpus
Malpighi (glomerulus dan kapsula Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus
kontortus distal.
Medula yaitu bagian dalam ginjal berwarma coklat lebih terang dibanding korteks.
Setiap medulla terdiri dari sekitar 12 pyramida renalis yang masing masing
mempunyai basis yang menghadap ke korteks renalis. Ujung dari pyramida renalis
yait bagian apex medulla terdapat papilla renalis. Di dalam pyramida renalis terdapat
tubulus rektus, lengkung Henle dan tubulus kolektivus / pengumpul (ductus colligent).
Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau
duktus memasuki atau meninggalkan ginjal.
Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix
minor.
Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara
calix mayor dan ureter.
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus Malpighi (yaitu
glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus
kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal
tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan menuju
glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan
letaknya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus
renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian
lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di
mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam
jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut
sebagai vasa rekta.
Pendarahan / Vaskularisasi
Ginjal divaskularisasi oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis merupakan
percabangan dari aorta abdominal, sedangkan vena renalis akan bermuara pada vena cava
inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, arteri renalis akan bercabang menjadi
arteri sublobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu
segmen superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior. System vena
berasal dari vena renalis keluar dari hilus renalis didepan arteri renalis dan mengalirkan
darah ke vena cava inferior.
Persarafan
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis
ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus
imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral.
Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
B. FISIOLOGI GINJAL
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretorik yaitu :
1. Filtrasi glomerulus
Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke
dalam kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran
glomerulus yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler
yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan dalam kapsula bowman.
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel
gepeng, memiliki lubang lubang dengan banyak pori pori besar atau
fenestra, yang membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan
zat terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di
antara glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan
struktural, sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma
kecil. Walaupun protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi
karena tidak dapat melewati pori pori diatas, pori pori tersebut
sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma
terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan
menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir juga
bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya
tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil
lolos untuk masuk ke kapsula bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita
yang mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak
tonjolan memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan
podosit di dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan dikenal
7
sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari
kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah
tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan
tekanan hidrostatik kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah
tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus.
Tekana darah glomerulus yang meningkat ini mendorong cairan keluar
dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler
glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi
glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid
yang melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan
filtrasi, penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan
peningkatan GFR. Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara
tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan
GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol
simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri,
karena tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam
kapiler glomerulus. Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti
oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar
tetap konstan, maka ginjal melakukannya dengan mengubah kaliber
arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan.
Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka
GFR akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang
akan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan
adalah dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan
sistem saraf simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah
arteri sehingga terjadi perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap
perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus
difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat
glomerulus setiap hari untuk GFR rata rata 125 ml/menit pada pria dan
160 liter filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita.
2. Reabsorpsi tubulus
Merupakan proses perpindahan selektif zat zat dari bagian dalam
tubulus (lumen tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke
sistem vena kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini
meupakan transport aktif dan pasif karena sel sel tubulus yang
berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino
dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui transport
aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif
dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara
aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H2O,
Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor
pasif. Berikut ini merupakan zat zat yang direabsorpsi di ginjal :
a. Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses
reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena
molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus
membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.
b. Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 99% akan
direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi
di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung henle dan 8% di
tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang direabsorpsi
sebagian ada
berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.
c. Reabsorpsi Air
Air secar apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus.
Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal
dan ansa henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi
di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
d. Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif
mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang
bermuatan positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan
oleh kecepatan reabsorpsi Na
e. Reabsorpsi Kalium
Kalium
difiltrasi
seluruhnya
di
glomerulus,
kemudian
akan
Mensekresikan
eritropoietin,
suatu
hormon
yang
dapat
11
BAB III
CHRONIC KIDNEY DISEASE
A. DEFINISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu kelainan struktur atau fungsi ginjal yang
terjadi selama lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan tubuh. Namun
dapat diartikan sebagai suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kategori laju
filtrasi glomerulus dan albuminuria.
B. KRITERIA
Kriteria penyakit ginjal kronik berdasarkan kriteria KDIGO 2012.
Kriteria Chronic Kidney Disease (salah satu kriteria terjadi > 3 bulan)
Marker / Penanda kerusakan ginjal
Penurunan GFR
Keterangan
12
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik disusun berdasarkan rekomendasi KDIGO
yaitu klasifikasi berdasarkan penyebab, kategori GFR dan albuminuria.
Kategori Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Tingkat GFR
Kategori GFR
Keterangan
G1
G2
60 89
G3a
45 59
G3b
30 44
G4
15 29
G5
< 15
Keterangan
Gagal ginjal
Klasifikasi atas dasar GFR, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft Gault
sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73m2)
AER
ACR
Keterangan
(mg/24 jam)
(mg/mmol)
(mg/g)
A1
< 30
<3
< 30
A2
30 300
3 30
30 300
Derajat sedang*
A3
> 300
> 30
> 300
Derajat berat**
Keterangan
pada usia dewasa muda; **termasuk sindroma nefrotik (biasanya AER >2200 mg/24 jam,
ACR >220 mg/mmol atau ACR >2220 mg/g.
13
Klasifikasi atas dasar albuminuria, yang dihitung adalah AER dan ACR dengan rumus
sebagai berikut.
AER (mg/24 jam) = albumin (mg/dl) x volume urin 24 jam
ACR (mg/mmol)
= albumin (mg/dl) x 10
ACR (mg/g)
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Penyakit Sistemik dan Penemuan PA Ginjal
Penyakit Glomerulus
Mempengaruhi Ginjal
Penyakit Sistemik
Diabetes
Autoimun
fokal
Infeksi sistemik
kresentik
Obat-obatan
Keganasan
Glomerulonefritis
atau
difus,
proliferative
Glomerulosklerosis fokal
dan segmental
Nefropati membranosa
Penyakit
Infeksi sistemik
Tubulointertisial
Autoimun
Sarkoidosis
Obat-obatan
Racun
alam
(asam
aristolohik)
Penyakit Vaskular
Myeloma
Atherosklerosis
ANCA vasculitis
Hipertensi
Displasia fibromuskular
Iskemia
Kolesterol
Emboli
Vaskulitis sistemik
14
Mikroangiopati
trombotik
Sklerosis sistemik
Penyakit
Displasia ginjal
ginjal
Sindroma Alport
Podositopati
Penyakit Fabry
Kongenital
Keterangan
polikistik
D. ETIOLOGI
Berdasarkan data insidensi penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat, terdapat
beberapa penyebab utama terjadinya penyakit ginjal kronik yaitu sebagai berikut.
Etiologi CKD di Amerika Serikat
Penyebab
Insiden (%)
Diabetes mellitus
44
27
Glomerulonefritis
10
Nefritis interstisialis
Kista
Neoplasma
Tidak diketahui
Penyakit lain
Insiden (%)
Glomerulonefritis
46
Diabetes mellitus
18
15
12
Hipertensi
Sebab lain
14
E. FAKTOR RISIKO
Faktor resiko CKD diantara lain yaitu pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan riwayat
diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan
populasi
Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi
eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan
anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan
diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu CKD dapat
menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering
16
menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada CKD akan
mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan
normal 120 hari menjadi 70 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek
inhibisi eritropoiesis.
memobilisasi
kalsium
fosfat
dari
tulang.
Akibatnya
terjadi
17
G. DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus
(polidipsi, polifagia, polyuria, pruritus, polyneuritis, berat badan
menurun), infeksi / batu traktus urinarius, hipertensi, SLE dan lainnya.
2. Sindroma uremia yaitu lemah, lethargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
volume overload, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis,
kejang maupun koma.
3. Gejala komplikasi yang mungkin sudah terjadi seperti anemia, hipertensi,
CHF, asidosis dan gangguan elektrolit.
Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG.
18
urinalisis
meliputi
albuminuria,
proteinuria,
hematuria,
Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
H. TATALAKSANA
Non Medikamentosa
o Pengaturan asupan protein
19
Medikamentosa
o Kontrol tekanan darah dengan ACE Inhibitor, Antagonis reseptor
angiotensin B, calcium channel blocker, dan diuretic.
o Pasien DM kontrol gula darah dengan menghindari pemakaian
metformin dan obat sulfonylurea dengan masa kerja panjang. Target
HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi dan untuk
DM tipe 2 adalah 6%.
o Koreksi anemia dengan target Hb 10 -12 g/dL.
o Kontrol manifestasi klinis dari komplikasi.
I. KOMPLIKASI
J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dapat diukur dengan melihat penyebab / etiologi dari CKD,
tingkat GFR, tingkat ACR, dan faktor komorbid pasien yang dapat disimpulkan pada
tabel berikut.
20
BAB IV
KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronik adalah suatu kelainan struktur atau fungsi ginjal yang terjadi
selama lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan tubuh. Identifikasi CKD saat ini
berbasis pada rekomendasi KDIGO 2012 yaitu penyakit ginjal kronik diklasifikasikan
berdasarkan penyebab, kategori laju filtrasi glomerulus, albuminuria dan faktor komorbid
maupun penyakit sistemik yang terjadi pada pasien. Hingga saat ini etiologi paling terbanyak
masih diduduki oleh diabetes mellitus dan glomerulonephritis, sehingga manifestasi klinis
yang muncul perlu diperhatikan secara seksama didukung oleh berbagai pemeriksaan fisik
hingga penunjang karena pasien akan cenderung mengeluh gejala penyakit sistemik yang
terjadi saat stadium awal CKD berlangsung. Dalam memberikan terapi pasien CKD harus
berhati-hati karena pasien benar-benar dikontrol mengenai pola hidup nya terutama pola diet
dan aktivitas. Penyakit CKD tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya
buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,
bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari CKD itu sendiri, dan biasanya CKD
cenderung terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala
sehingga penanganannya sering terlambat.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. 2006. US : Saunders.
2. Snell RS. Anatomu Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. 2006. Jakarta : EGC.
3. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. 3rd ed. 2003. Jakarta : EGC.
4. Sudoyo, AW. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. 6 th
ed. 2014. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
5. Silbernagl S. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. Jakarta
: EGC
6. Rani AA. Penyakit Ginjal Kronik. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Jakarta : Interna Publishing.
7. Stevens PE, Levin A. Evaluation and management of chronic kidney disease:
synopsis of the kidney disease: improving global outcomes 2012 clinical practice
guideline. Annals of internal medicine. 2013;158(11):825-30.
22