Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

EPILEPSI

Disusun Oleh :
Ryan Falamy, S.Ked.

Preceptor :
dr. Zam Zanariah, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SMF SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2014

KATA PENGANTAR
Assalammualaikum wr. wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat ini
tentang Epilepsi dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr.
Zam Zanariah, Sp.S selaku preceptor yang telah membimbing penulis sehingga
Referat ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan dan
kesalahan, untuk itu saya menerima kritik dan saran yang bersifat membangun
sehingga ke depannya makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata Penulis berharap semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
setiap pembacanya. Aamiin
Wassalamualaikum wr. wb.

Bandar Lampung, Juli 2014

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanien yang berarti serangan


dan menunjukan bahwa sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga
dia jatuh. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di
masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial
dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan
sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk
menjauhi penderita epilepsi. 2
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.

Oleh

karena itu, pada referat ini akan dijabarkan tentang definisi, epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi epilepsi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh aktivitas neuron yang berlebihan di dalam
korteks serebral.
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah
manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan
berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba
dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan
gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom ataupun psikis.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan
kejang.
2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus).

2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan
biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
ditemukannya alat alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil
Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan
epilepsi mioklonik

2.4. KLASIFIKASI
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan
sindrom epilepsi.
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1.

Dengan gejala motorik

2.

Dengan gejala sensorik

3.

Dengan gejala otonomik

4.

Dengan gejala psikik

B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)


1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonikklonik, tonik atau klonik)
1.

Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

2.

Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

3.

Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,


dan berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)


A. Lena/ absens
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence)
dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan
penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak
yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus
otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan
mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas
dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan,
penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru
dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang
khas yakni spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit
secara menyeluruh.
B. Mioklonik
C. Tonik

Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum


dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
D. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan
otot dan terjatuh secara tiba-tiba.
E. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik
fokal berlangsung 1 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan
kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini
dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi
besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
F. Tonik-klonik
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan
terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul
gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki).
Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau
bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita
akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan
biasanya akan tertidur setelahnya.
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :


I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik

Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

Childhood epilepsy with occipital paroxysm

B. Simptomatik
o Lobus temporalis
o Lobus frontalis
o Lobus parietalis
o Lobus oksipitalis
C. Kriptogenik
II. Epilepsi Umum
A. Idiopatik

Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal

convulsions

Benign myoclonic epilepsy in infancy

Childhood absence epilepsy

Juvenile absence epilepsy

Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

Wests syndrome (infantile spasms)

Lennox gastaut syndrome

Epilepsy with myoclonic astatic seizures

Epilepsy with myoclonic absences

C. Simtomatik

Etiologi non spesifik

Early myoclonic encephalopathy

Specific disease states presenting with seizures

2.5. PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel
opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap selsel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga
merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal


mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik
tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda
(lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil
dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan
seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap
orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis
rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini
dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas
timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan
kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya
bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai
ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED
tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai
hal dasar.

10

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang


adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium
dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium.
Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ),
dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori
dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila
natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak
secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan
Glisin ) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan
Aspartat ) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila
konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia
yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh
GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post
synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan
bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh
GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak.
Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka
semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias
menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi
dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh

11

neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis
ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA )
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu
fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam
penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron
inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi,
tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh
karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron,
maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan
kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi
yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di
lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi
dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah
terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan
sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia
atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat
neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat
trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat
mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga
menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya
grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy.Walaupun
demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme
yang sama.

12

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000


2.6 GEJALA

Kejang parsial simplek

Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
-

deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama

sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat dijelaskan

13

Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada

bagian tubih tertentu.


- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar
tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:

Gerakan seperti mencucur atau mengunyah


Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan

pakaiannya
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan

berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung


- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:
terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien
mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.14

14

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi
berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran
epileptik form pada EEG.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat

trauma kepala dengan

kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,


malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus

15

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang


- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan Fisik Umum:
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tandatanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan
alkohol, atau obat terlarang, kelainan pada kulit (neurofakomatosis),
kanker, dan defisit neurologik fokal atau difus.
Pemeriksaan Neurologik :
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat bergantung da
interval antara saat dilakukanya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
- Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka
akan tampak tanda pasca-iktal terutama tanda fokal seperti Todds paresis,
transient aphasic symptoms, yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk
lokalisasi.
- Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu,
sasaran utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi
sistem saraf permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang apakah
ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila keadaan
kemungkinan. Pemeriksaan ini mencakup :
Pemeriksaan Electro-encephalography (EEG).
Rekaman EEG merupakan pemeriksan yang paling berguna pada dugaan
suatu bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjang diagnosis

16

dan membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada


keadaan tertentu dapat membantu menentukan prognosis dan penentuan
perlu/tidaknya pengobatan dengan AED.
Pemeriksaan pencitraan Otak (brain imaging)
Pemeriksaan CT Scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam
mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Dengan MRI beresolusi tinggi
berbagai macam lesi patologik dapat terdiagnosis secara non-invasif,
misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi
kavernosus,

DNET

(dysembryoplastic

neuroepihelial

tumor).

Ditemukannya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi pada epilepsi yang


refrakter terhadap OAE. Funtional brain imaging seperti Positron
Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Comuted
Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
bermanfaat dalam menyediakan informasi tambahan mengenai dampak
perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan
dengan bangkitan.
Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan hematologik
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit, hematokrit, trombosit,
apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium). kadar
gula, fungsi hati, ureum, kreatinin). Pemeriksaan ini dilakukan pada awal
pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul gejala klinik,
dan rutin setiap tahun sekali.
Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai
steady state, pada saat kebangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien.
Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan timbul kembali, atau bila
terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau saat
melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat perubahan fisiologi
pada tubuh penyandang (kehamilan, luka bakar, gangguan fungsi ginjal).

17

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Banyak kemungkinan yang harus dipertimbangkan didalam menegakkan
diagnosis epilepsi, termasuk diagnosis banding. Adapun diagnosis banding
epilepsi adalah

Sinkop, dapat bersifat vasovagal attack, kardiogenik, hipovolemik,


hipotensi dan sinkop saat miksi (micturation syncope)

Bangkitan iskemik sepintas (transient ischemic attack)

Vertigo

Transient Global Amnesia

Narkolepsi dan berbagai gangguan tidur

Psikogenik (non-epileptic attack disorder = NEAD)

Bangkitan panik

Cataplexy

2.9 TERAPI
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan
pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen
maupun kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30
menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10
menit

18

Algoritme manajemen status epileptikus

TTujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk


pasien. Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:

OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat


minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.

Terapi dimulai dengan monoterapi

19

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol


bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak


dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila


kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas
pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala
disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. 16
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)

Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi konduksi ion: Na+, Ca2+,


K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE


Pada penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2
tahun bebas serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau


keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan

Gambaran EEG normal

Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis


semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai


dari satu OAE yang bukan utama

20

Antiepilepsi
Penggolongan obat antiepilepsi
(1) Hidantoin
Fenitoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonikklonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf (11).
Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien
dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah (12). Mekanisme aksi fenitoin
adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) (13) yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11). dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis
awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap
6 jam (10). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah
depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan
penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian
fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan
nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival
hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat
mengurangi resiko gingival hyperplasia (14).
(2) Barbiturat
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonikklonik (11). Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan
fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya
serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah
mengurangi penggunaannya sebagai obat utama (15). Aksi utama fenobarbital
terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K.
Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap
reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi

21

pembukaan reseptor GABAA (7) dan meningkatkan konduktan post-sinap


klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan
meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition (16). Dosis awal penggunaan
fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari
(14). Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan
fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan,
mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat
menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan
kulit, dan Stevens-Johnson syndrome (10).
(3) Deoksibarbiturat
Primidon
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik (4).
Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori (11). Efek anti
kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam
tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan
feniletilmalonamid (PEMA) (4). PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal
(11). Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari (7). Efek samping yang sering
terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan,
perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi (11).
(4) Iminostilben
(a)

Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik (4).


Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan
tonik-klonik (11). Karbamazepin menghambat kanal Na+ (7), yang mengakibatkan
influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11) dan
menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada
neuron (4). Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali
sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis
pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan

22

dewasa 400 mg 2 kali sehari (8). Efek samping yang sering terjadi pada
penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda),
pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan
Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan usia (10).
(b) Okskarbazepin
Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan
prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu
suatu turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal (4).
Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial (10). Mekanisme aksi
okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin (4). Dosis
penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari
sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari (11). Efek samping penggunaan
okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi,
dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki
efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan
karbamazepin (10). Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450 (4).
(5) Suksimid
Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens (11). Kanal kalsium merupakan
target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca 2+
tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai
oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal
tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens (4). Dosis etosuksimid
pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk
dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun
dan dewasa 500 mg/hari (11). Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual
dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah

23

ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat


berdiri tegak), pusing dan cegukan (10).
(6) Asam valproat
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik (11). Asam valproat dapat
meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi
sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post
sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium
(10). Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (11). Efek samping yang
sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah,
anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin
ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan
kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek
samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.
Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan
kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai
menyebabkan kerusakan hati (10).
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah
terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat
secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah
efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme
lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim
dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek
samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan
penggunaan obat terkait efek samping tersebut (12).
(7) Benzodiazepin
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang (11). Benzodiazepin merupakan
agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan
frekuensi pembukaan reseptor GABAA (7). Dosis benzodiazepin untuk anak usia

24

2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau
lebih 0,2 mg/kg (11), dan dewasa 4-40 mg/hari (7). Efek samping yang mungkin
terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran,
pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual (11).
(8) Obat antiepilepsi lain
(a)

Gabapentin

Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi


walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati (12). Uji
double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit
diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain
leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median seizure yang diinduksi
oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian
double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan
bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari) (15).
Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme
yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks
saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca 2+ pada
saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan
potensial aksi berulang terus-menerus (4). Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4
tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari,
anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari (11). Efek samping
yang

sering

dilaporkan

adalah

pusing,

kelelahan,

mengantuk,

dan

ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak.


Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat
badan (10).
(b) Lamotrigin
Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang
memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum (10). Lamotrigin tidak
menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme
aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+

25

serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti glutamat


dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari (11). Penggunaan lamotrigin
umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien
geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan
(penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri
tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada
penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan
setelah menggunakan lamotrigin (10).
(c)

Levetirasetam

Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide) (31). Levetirasetam digunakan dalam terapi
kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik (10).
Mekanisme levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada
suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca 2+
tipe N (11) dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori
(atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein
sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari (7). Efek
samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP.
Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan
levetirasetam (10).
(d) Topiramat
Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan
menghambat kanal sodium (Na+), meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis
reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat karbonat anhidrase yang
lemah (11). Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari (7). Efek samping utama yang
mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit
mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal).
Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan
penurunan berat badan (10).
(e)

Tiagabin

26

Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak 16 tahun.
Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA (11), antagonis neuron atau menghambat
reuptake GABA (7). Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari (11). Efek samping yang
sering terjadi adalah pusing, asthenia (kekurangan atau kehilangan energi),
kecemasan, tremor, diare dan depresi (17). Penggunaan tiagabin bersamaan
dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP (10).
(f)

Felbamat

Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya
digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang
mempunyai resiko anemia aplastik (11). Mekanisme aksi felbamat menghambat
kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA (4). Dosis felbamat untuk anak
usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari (11). Efek samping
yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah anorexia,
mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia
dan penurunan berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan
konsumsi kalori yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat
pada wanita yang mempunyai riwayat penyakit cytopenia (10).
(g) Zonisamid
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid (4) yang digunakan sebagai
terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa (11).
Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca 2+) tipe
T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari (7). Efek samping yang umum terjadi
adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi. Di United
Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal (10).
Tabel II. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik (10)
Tipe seizure

Terapi pilihan

Obat alternatif

Seizure parsial

pertama
Karbamazepin

Gabapentin

Fenitoin

Topiramat

Lamotrigin

Levetiracetam

27

Asam valproat

Zonisamid

okskarbanzepin Tiagabin
Primidon
Fenobarbital
kejang

absens

Asam valproat

Felbamat
Lamotrigin

Mioklonik

Etosuksimid
Asam valproat

Levetiracetam
Lamotrigin,

Klonazepam

topiramat,

umum

felbamat,
zonisamid,
Tonik-klonik

Fenitoin

levetiracetam
Lamotrigin,

Karbamazepin

topiramat,

Asam valproat

primidon,
fenobarbital,
okskarbanzepin,
Levetiracetam

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In :


Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
2005. p119-127.
2. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
3. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical
development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
4. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and
Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.
2005
5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses
6.
7.
8.
9.

Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC


Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 4. Jakarta. 2011
Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics.
Philadelphia: Saundres Elsevier. 2008. 593(6)

29

Anda mungkin juga menyukai