Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
EPILEPSI
Disusun Oleh :
Ryan Falamy, S.Ked.
Preceptor :
dr. Zam Zanariah, Sp.S
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum wr. wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat ini
tentang Epilepsi dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr.
Zam Zanariah, Sp.S selaku preceptor yang telah membimbing penulis sehingga
Referat ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan dan
kesalahan, untuk itu saya menerima kritik dan saran yang bersifat membangun
sehingga ke depannya makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata Penulis berharap semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
setiap pembacanya. Aamiin
Wassalamualaikum wr. wb.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh
karena itu, pada referat ini akan dijabarkan tentang definisi, epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi epilepsi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh aktivitas neuron yang berlebihan di dalam
korteks serebral.
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah
manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan
berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba
dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan
gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom ataupun psikis.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan
kejang.
2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus).
2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan
biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
ditemukannya alat alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil
Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan
epilepsi mioklonik
2.4. KLASIFIKASI
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan
sindrom epilepsi.
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1.
2.
3.
4.
2.
3.
B. Simptomatik
o Lobus temporalis
o Lobus frontalis
o Lobus parietalis
o Lobus oksipitalis
C. Kriptogenik
II. Epilepsi Umum
A. Idiopatik
convulsions
C. Simtomatik
2.5. PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel
opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal
inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh
konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan
keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap selsel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga
merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor
rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
10
11
neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis
ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA )
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu
fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam
penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron
inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi,
tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh
karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron,
maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan
kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi
yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di
lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi
dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah
terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan
sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia
atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat
neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat
trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat
mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga
menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya
grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy.Walaupun
demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme
yang sama.
12
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
-
sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat dijelaskan
13
pakaiannya
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:
terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien
mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.14
14
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi
berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran
epileptik form pada EEG.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat
15
16
DNET
(dysembryoplastic
neuroepihelial
tumor).
17
Vertigo
Bangkitan panik
Cataplexy
2.9 TERAPI
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan
pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen
maupun kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30
menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10
menit
18
19
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
20
Antiepilepsi
Penggolongan obat antiepilepsi
(1) Hidantoin
Fenitoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonikklonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf (11).
Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien
dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah (12). Mekanisme aksi fenitoin
adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) (13) yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11). dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis
awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap
6 jam (10). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah
depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan
penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian
fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan
nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival
hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat
mengurangi resiko gingival hyperplasia (14).
(2) Barbiturat
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonikklonik (11). Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan
fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya
serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah
mengurangi penggunaannya sebagai obat utama (15). Aksi utama fenobarbital
terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K.
Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap
reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi
21
Karbamazepin
22
dewasa 400 mg 2 kali sehari (8). Efek samping yang sering terjadi pada
penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda),
pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan
Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan usia (10).
(b) Okskarbazepin
Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan
prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu
suatu turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal (4).
Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial (10). Mekanisme aksi
okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin (4). Dosis
penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari
sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari (11). Efek samping penggunaan
okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi,
dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki
efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan
karbamazepin (10). Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450 (4).
(5) Suksimid
Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens (11). Kanal kalsium merupakan
target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca 2+
tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai
oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal
tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens (4). Dosis etosuksimid
pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk
dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun
dan dewasa 500 mg/hari (11). Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual
dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah
23
24
2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau
lebih 0,2 mg/kg (11), dan dewasa 4-40 mg/hari (7). Efek samping yang mungkin
terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran,
pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual (11).
(8) Obat antiepilepsi lain
(a)
Gabapentin
sering
dilaporkan
adalah
pusing,
kelelahan,
mengantuk,
dan
25
Levetirasetam
Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide) (31). Levetirasetam digunakan dalam terapi
kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik (10).
Mekanisme levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada
suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca 2+
tipe N (11) dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori
(atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein
sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari (7). Efek
samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP.
Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan
levetirasetam (10).
(d) Topiramat
Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan
menghambat kanal sodium (Na+), meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis
reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat karbonat anhidrase yang
lemah (11). Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari (7). Efek samping utama yang
mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit
mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal).
Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan
penurunan berat badan (10).
(e)
Tiagabin
26
Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak 16 tahun.
Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA (11), antagonis neuron atau menghambat
reuptake GABA (7). Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari (11). Efek samping yang
sering terjadi adalah pusing, asthenia (kekurangan atau kehilangan energi),
kecemasan, tremor, diare dan depresi (17). Penggunaan tiagabin bersamaan
dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP (10).
(f)
Felbamat
Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya
digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang
mempunyai resiko anemia aplastik (11). Mekanisme aksi felbamat menghambat
kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA (4). Dosis felbamat untuk anak
usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari (11). Efek samping
yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah anorexia,
mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia
dan penurunan berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan
konsumsi kalori yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat
pada wanita yang mempunyai riwayat penyakit cytopenia (10).
(g) Zonisamid
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid (4) yang digunakan sebagai
terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa (11).
Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca 2+) tipe
T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari (7). Efek samping yang umum terjadi
adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi. Di United
Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal (10).
Tabel II. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik (10)
Tipe seizure
Terapi pilihan
Obat alternatif
Seizure parsial
pertama
Karbamazepin
Gabapentin
Fenitoin
Topiramat
Lamotrigin
Levetiracetam
27
Asam valproat
Zonisamid
okskarbanzepin Tiagabin
Primidon
Fenobarbital
kejang
absens
Asam valproat
Felbamat
Lamotrigin
Mioklonik
Etosuksimid
Asam valproat
Levetiracetam
Lamotrigin,
Klonazepam
topiramat,
umum
felbamat,
zonisamid,
Tonik-klonik
Fenitoin
levetiracetam
Lamotrigin,
Karbamazepin
topiramat,
Asam valproat
primidon,
fenobarbital,
okskarbanzepin,
Levetiracetam
28
DAFTAR PUSTAKA
29