Anda di halaman 1dari 4

Kondisi Geologi Daerah Karangsambung-Kebumen dan Sekitarnya,

serta
Implikasinya terhadap Permasalahan Lingkungan
Diamati oleh : Tim Geologi UGM

Kondisi Geologi
a. Batuan
Daerah Karangsambung-Kebumen dan sekitarnya, merupakan salah satu dari 2 (dua) daerah di
Pulau Jawa yang tersusun oleh batuan Pra-Tersier (batuan tertua di Jawa berumur lebih dari 60 juta
tahun yang lalu) dengan kondisi geologi yang sangat kompleks.
Berdasarkan peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa (S. Asikin, A. Handoyo, H. Busono, S.
Gafoer (1992), dapat diketahui bahwa batuan di daerah ini mulai dari yang tertua (Paleosen) hingga
termuda (Pliosen) terdiri dari :
1. Kompleks Melange Luk Ulo yang berupa bongkah-bongkah batuan Pra Tersier dengan massa
dasar serpih hitam (berumur Kapur Atas)
2. Formasi Karangsambung yang tersusun oleh batulempung bersisik dengan bongkah
batugamping , konglomerat, batupasir, batugamping dan basal (berumur Eosen). Dalam
formasi ini terdapat pula batugamping terumbu yang berupa olistolit.
3. Formasi Totogan yang tersusun oleh breksi dengan komponen batulempung, batupasir,
batugamping dan basal (berumur Oligo-Miosen)
4. Formasi Waturanda yang tersusun oleh batupasir kasar, makin ke atas berubah menjadi
breksi dengan komponen andesit, basal dan massa dasar batupasir tuf. Dalam Formasi ini
terdapat anggota tuf yang tersusun oleh perselingan tuf kaca, tuf kristal, batupasir gampingan
dan napal tufaan (berumur Miosen Awal).
5. Formasi Penosogan yang teridiri dari perselingan batupasir gampingan, batulempung, tuf,
napal dan kalkarenit (berumur Miosen Tengah).
6. Diabas yang merupakan batuan beku intrusi hasil aktivitas volkanik (Miosen Tengah)
7. Formasi Halang yang tersusun oleh perselingan batupasir, batugamping, napal dan tuf
dengan sisipan breksi (berumur Pliosen)
8. Formasi Peniron yang terdiri dari breksi dengan komponen andesit, batulempung,
batugamping, serta massa dasar batupasir tufan bersisipan tuf.
9. Endapan Pantai yang berupa pasir lepas
10. Alluvium yang berupa lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal.
b. Struktur Geologi
Akibat tumbukan lempeng Samodra Indonesia terhadap lempeng benua Asia jutaan tahun yang
lalu, batuan di Daerah Kebumen - Karangsambung dan sekitarnya telah mengalami perlipatan,
pengangkatan, patahan-patahan, dan pergeseran. Kondisi inilah yang mengakibatkan batuan-batuan
di daerah tersebut retak-retak bahkan sebagian hancur, meskipun sebenarnya batuan tersebut sangat
keras dan resisten.

Implikasi terhadap Kondisi Bentang Alam dan Lingkungan


a. Kondisi Bentang Alam
Batuan-batuan penyusun tersebut di atas sebagian merupakan batuan dengan resistensi tinggi,
misalnya breksi dan intrusi batuan beku (diabas). Sebagai implikasinya batuan-batuan ini membentuk
bentang alam yang tinggi, seperti bukit, perbukitan dan pegunungan, dengan ketinggian (elevasi) lebih
dari 100 m hingga mencapai 1042 m di atas permukaan air laut. Sementara itu batugamping terumbu
membentuk bentang alam yang dicirikan oleh kerucut yang khas dengan sungai-sungai dan gua-gua
bawah tanah, yang sering disebut sebagai bentang alam karst. Endapan-endapan lepas yang berupa

pasir pantai, lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal, umumnya membentuk bentang alam dataran
dengan relief rendah.
b. Permasalahan Lingkungan
Kondisi struktur geologi yang kompleks, yang dicirikan oleh patahan-patahan, retakan dan
hancuran batuan, serta kehadiran serpih hitam, batulempung bersisik, batupasir tufaan serta breksi
andesit yang lapuk, menimbulkan permasalahan lingkungan yang khas. Permasalahan yang sering
muncul adalah kerusakan jalan (jalan yang selalu bergerak atau bergelombang), penurunan muka
tanah (settlement), tanah bergerak dan longsoran.
b1. Kerusakan jalan.
Serpih hitam dan batulempung bersisik pada kondisi kering umumnya merupakan batuan yang
kompak dan kuat (dengan kohesi mencapai lebih dari 20 kPa). Akan tetapi apabila terkena air, batuan
ini sangat mudah menyerap air dan berubah menjadi plastis dan sangat lunak (seperti odol). Hal ini
berarti kehadiran air sangat mudah menghilangkan kekuatan batulempung bersisik dan serpih hitam.
Permasalahan lingkungan sering muncul, karena umumnya batulempung bersisik dan serpih hitam ini
telah mengalami retakan-retakan ataupun hancuran-hancuran yang mengakibatkan air sangat mudah
meresap masuk ke dalam batuan tersebut, yang kemudian mengubah batuan yang kompak dan kuat
menjadi sangat lunak seperti odol. Akibat lanjut yang sering dijumpai adalah sering rusaknya jalan
yang bertumpu di atas batuan serpih hitam atau lempung bersisik. Permasalahan rusaknya jalan ini
sering pula dikenal dengan istilah jalan bergelombang.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kondisi alamiah batuan (lempung bersisik dan serpih hitam)
merupakan penyebab utama kerusakan jalan tersebut, Kerusakan akan semakin parah apabila
drainase pada jalan tidak dapat menjaga kondisi serpih hitam atau lempung bersisik tetap kering.
Beratnya beban dinamis lalu lintas berperan pula memperparah kerusakan jalan karena kasus ini.
Kasus sejenis dapat pula terjadi pada jalan yang bertumpu di atas lapisan batupasir tufaan. Hal
ini disebabkan karena material tuf pada batupasir tufaan apabila lapuk dapat menghasilkan jenis
mineral lempung yang sensitiv menyerap air dan berubah menjadi sangat lunak apabila kena air.
b2. Penurunan muka tanah (settlement)
Tanah yang berasal dari hasil pelapukan lempung bersisik dan serpih hitam, umumnya akan
membentuk tanah lempung yang sensitiv. Tanah ini mudah menyerap air, tetapi sulit meloloskan/
mengalirkan air keluar dari lapisan tanah ini. Hal ini berarti proses keluarnya air dari lapisan tanah ini
berlangsung sangat lambat.
Permasalahan akan muncul apabila tanah ini jenuh air dan di atasnya terdapat beban bangunan/
konstruksi. Akibat pengaruh beban, air dalam tanah lempung akan tertekan dan air cenderung untuk
mencari jalan keluar dari lapisan lempung di bawah zona pembebanan. Aliran air yang keluar dari
zona tersebut akan mengakibatkan muka airtanah turun dan tanah lempung termampatkan
(terkonsolidasi) secara lambat, sesuai dengan kemampuan tanah untuk mengalirkan air keluar dari
zona pembebanan. Akibat lanjut dari proses konsolidasi ini adalah terjadinya penurunan muka tanah
secara perlahan.
Jadi kondisi alam sangat potensi mengakibatkan proses penurunan muka tanah (settlement).
Namun permasalahan ini akan diperparah apabila pembebanan melampaui daya dukung tanah dan
apabila proses penurunan muka air tanah dipercepat dengan pemompaan air tanah secara
berlebihan.
Akibat lanjut dari permukaan tanah yang turun adalah terjadinya pengumpulan air (genangan air)
pada zona yang turun tersebut, terutama saat musim hujan. Genangan air ini tentunya dapat
mengakibatkan permasalahan lingkungan yang lain, misalnya terganggunya sanitasi, dsb.
b3. Tanah bergerak dan longsoran tanah

Kondisi bentang alam yang berupa perbukitan, bukit dan pegunungan, mengakibatkan daerah
Karangsambung dan Kebumen sebagian merupakan daerah dengan kemiringan lereng yang curam
(lebih dari 20 derajat). Beberapa di antara lereng yang curam ini tersusun oleh lapisan-lapisan
batulempung, napal ataupun batupasir tufan. Lapisan-lapisan batuan ini umumnya di atasnya
tertumpuki oleh breksi yang telah lapuk sebagai tanah yang tebal yang berukuran lempungan dan
mudah menyerap air. Sebaliknya, lapisan-lapisan batuan tadi bersifat lebih sulit ditembus oleh air.
Apabila hujan turun, air hujan akan dengan mudah meresap masuk ke dalam tumpukan tanah
lempung yang tebal. Akan tetapi air yang meresap ini sangat sulit menumbus masuk ke dalam lapisan
batuan napal, batulempung atau batupasir tufan.
Akibatnya air resapan hujan tadi hanya akan terakumulasi di atas lapisan-lapisan batuan napal,
batulempung atau batupasir tufan. Akibat akumluasi air pada permukaannya, batuan-batuan ini akan
berubah menjadi licin. Air yang meresap dalam tanah ini juga bersifat menekan dan merenggangkan
ikatan partikel-partikel tanah. Hal ini juga berarti air tersebut bersifat mendorong tanah untuk meluncur
di atas lapisan batuan yang licin (Gambar 1). Apabila kemiringan lapisan batuan tadi lebih landai
daripada kemiringan lerengnya (kemiringan lapisan batuan kurang dari 20 derajat), maka akibat
dorongan air tadi tumpukan tanah akan bergerak lambat, misalnya 2 cm selama satu tahun, yang
umumnya dicirikan oleh adanya retakan-retakan pada tanah berbentuk melengkung panjang seperti
tapal kuda (Gambar 2). Akan tetapi sebaliknya, apabila kemiringan lapisan batuan ataupun kemiringan
lereng sangat curam (misal lebih dari 40 derajat), maka air akan mendorong tumpukan tanah dengan
cepat. Pada kasus longsoran tanah di Dusun Ngaren, Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang,
Kabupaten Kulon Progo, kecepatan longsoran mencapai lebih dari 30 meter per menit.
Longsoran tanah dapat pula terjadi akibat adanya perbedaan tingkat pelapukan pada batuan
breksi andesit. Andesit yang sudah lapuk lanjut telah berubah menjadi tanah lempung, akan tetapi
pada bagian bawahnya umumnya tingkat pelapukan andesit masih rendah sehingga belum berubah
jadi tanah (masih tetap sebagai batuan yang kedap air. Perbedaan tingkat pelapukan breksi andesit ini
mengakibatkan perbedaan tingkat kelulusan air. Artinya, apabila hujan turun, air hujan mudah
meresap ke dalam tumpukan tanah lempung yang berada di atas breksi andesit yang kurang lapuk.
Namun air ini kurang mampu menumbus batuan breksi yang kurang lapuk. Akibatnya air hanya akan
terakumulasi di atas breksi andesit yang kurang lapuk, dan mendorong tumpukan tanah lempung
untuk tergelincir ke bawah lereng (longsor).
Adanya retakan-retakan dan hancuran batuan pada breksi andesit mengakibatkan air hujan
mudah meresap masuk ke dalam batuan tersebut, sehingga mengintensifkan proses pelapukan
batuan breksi andesit. Oleh karena itu sangat umum dijumpai di Daerah Kebumen adanya tumpukan
tanah yang tebal pada lereng breksi andesit yang curam (Gambar 3). Kondisi lereng semacam ini
merupakan lereng yang labil dan potensi untuk longsor.
Jadi kondisi alam (kemiringan lereng, susunan tanah dan batuan pada lereng, struktur geologi,
serta curah hujan yang tinggi) merupakan faktor alam yang mengakibatkan beberapa lereng di
Kebumen sangat rawan longsor. Kondisi ini akan diperparah dengan adanya aktivitas manusia,
misalnya dengan pembukaan hutan/ perladangan pada lereng-lereng curam.

Hasil peninjauan longsoran di Lapangan


Dari hasil peninjauan tim longsoran Geologi UGM di Kecamatan Sempor pada tanggal 18
Desember yang lalu, ditemukan dua zona yang rawan longsor. Zona tersebut meliputi :
1. Dukuh Karangjoho, Desa Sempor, Kecamatan Sempor (di sini tinggal kurang lebih 200 Kepala
Keluarga). Tipe bencana yang potensi terjadi adalah runtuhan/ luncuran batuan dengan
ukuran blok (bongkah-bongkah besar, dapat mencapai seukuran mobil), serta longsoran
tanah yang dapat menimbun pemukiman.
2. Dusun Kaliputih, Kecamatan Sempor, dengan tipe bencana longsoran tanah yang dapat
menimbun rumah-rumah.
Dasar penentuan tingkat kerawanan :

1. Sudah dijumpai retakan tanah melengkung panjang (bentuk tapal kuda) pada bagian atas
lereng
2. Adanya tumpukan tanah lempung yang tebal pada lereng (Gambar 3a).
3. Adanya perlapisan batuan yang kedap air di bawah tumpukan tanah pada lereng
4. Kemungkinan hujan akan turun cukup deras pada akhir Desember hingga January nanti.
5. Kondisi lahan berupa tegalan/ ladang, bukan hutan, pada lereng bagian atas mengakibatkan
tanah bersifat gembur dan mudah menyerap air pemicu longsoran
6. Adanya pemukiman di bawah lereng
Saran tindakan emergency
1. Penghuni beberapa rumah di bawah lereng yang retak diminta menyingkir sementara saat
hujan deras, terutama hujan deras pertama setelah beberapa hari tidak hujan. Lokasi
pengungsian harus tidak berada di bawah lereng yang rawan longsor. Pengungsian ini hanya
dilakukan sementara, apabila tidak ada hujan lereng cukup aman untuk ditinggali.
2. Menutup retakan-retakan tanah yang muncul dengan tanah lempung kedap air
3. Membuat parit untuk menyalurkan air limpasan hujan dari atas lereng menjauhi lereng yang
rawan longsor (Gambar 4).

KESIMPULAN UMUM
Kondisi alam di daerah Kebumen, terutama kondisi geologi (batuan dan struktur geologi),
bentang alam, dan curah hujan, sangat mengontrol terjadinya permasalahan llingkungan seperti tanah
bergerak, longsoran, kerusakan jalan dan penurunan muka tanah. Permasalahan lingkungan ini akan
semakin parah apabila penataan lahan di daerah ini kurang memperhatikan kondisi geologi, serta
apabila aktivitas manusia seperti pembukaan hutan untuk ladang dan pemotongan lereng semakin
meningkat.
Potensi terjadinya bencana longsoran yang menelan korban jiwa seperti di Purworejo cukup
besar. Hal ini mengingat kondsi alam di Daerah Kebumen kurang lebih sama dengan Daerah
Purworejo. Bahkan khusus untuk kondisi geologinya, Daerah Kebumen relatif lebih kompleks daripada
Daerah Purworejo. Oleh karena itu pengamatan terhadap potensi longsoran oleh Tim UGM masih
perlu dan akan dilanjutkan lagi, terutama pada lereng-lereng di Desa Sampang Kecamatan Sempor
dan Desa Kajoran Kecamatan Karanggayam.

Yogyakarta,20 December,2000
Tim Geologi UGM :
Dwikorita Karnawati
Agus Hendratno, ST.
Soifudin, ST.
Wahyu Wilopo, ST
Sarju, ST

Anda mungkin juga menyukai