BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang Masalah
Masalah rokok saat ini menjadi topik yang sedang hangat dibicarakan. Telah
banyak artikel dalam media cetak dan pertemuan ilmiah, ceramah, wawancara
baik di radio maupun televisi serta penyuluhan mengenai bahaya merokok dan
kerugian yang ditimbulkan akibat rokok. Berbagai kebijakan dan aturan yang
memuat sanksi bagi para perokok dipublikasikan secara terus-menerus. Bahkan
setiap tanggal 31 Mei, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan sebagai Hari
Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day). Melalui peringatan hari tanpa
rokok sedunia ini, diharapkan menjadi kesempatan bagi kita untuk berfikir kembali
dan menyadari akan bahaya dan dampak rokok baik bagi perokok itu sendiri
maupun lingkungan disekitarnya.
1Rokok merupakan zat aditif yang mengancam kesehatan karena didalamnya
mengandung zat-zat yang membahayakan tubuh. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
dan beberapa artikel ilmiah menerangkan bahwa dalam setiap kepulan asap rokok
terkandung 4000 racun kimia berbahaya dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik
(merangsang tumbuhnya kanker). Beberapa zat yang berbahaya tersebut
diantaranya tar, karbonmonoksida (CO) dan nikotin (Abadi, 2005).
Melalui zat yang dihisap dalam rokok, hampir sekitar 90 % kanker paru-paru tidak
dapat diselamatkan. (Basyir, 2005). Selain itu rokok dapat menyebabkan kanker
mulut, bibir, kerongkongan, penyakit jantung, bahkan disinyalir dapat
memperpendek usia. Menurut perhitungan Fakultas kedokteran di Inggris, rata-rata
setiap perokok kehilangan 5 menit umurnya setiap menghisap sebatang rokok
(Nainggolan, 2000).
Dalam sebuah study yang dilakukan di Jepang, seperti yang diberitakan The Asahi
Shimbun terbitan 23 April 2004, didapatkan hasil bahwa 29 % (80.000 orang) pada
pria dan 4 persen (5000 orang) pada wanita penderita kanker di jepang disebabkan
oleh rokok (Basyir, 2005).
Di Indonesia sendiri angka kejadian penyakit akibat rokok menurut mantan menteri
kesehatan Achmad Sujudi, tercatat sebanyak 6,5 juta jiwa menderita penyakit
akut akibat merokok. Antara lain berupa kanker paru-paru, jantung, dan gangguan
peredaran darah. Achmad sujudi menambahkan bahwa ''Bayi yang lahir dari ibu
yang merokok juga memiliki berat badan yang rendah serta bisa menimbulkan
sindroma bayi meninggal mendadak (Sudden Death).'' (www.republikaonline.com,
2003) .
Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 1,2 miliar penduduk dunia merupakan
perokok, dan 800 juta di antaranya terdapat di negara berkembang. Besarnya
jumlah perokok tersebut menyebabkan angka kematian akibat merokok saat ini
adalah 4 juta jiwa setiap tahun, yang berarti terdapat sekitar satu kematian dalam
setiap 8 menit (Burhan, 2004).
Melihat dari data akibat yang disebabkan oleh bahaya merokok tersebut, tidak
heran bahwa di negara maju aktivitas merokok mulai dibatasi, dan jumlah perokok
semakin berkurang. Menurut badan kesehatan WHO dinegara maju prevalensi
jumlah perokok menurun 1,1% setiap tahunnya, akan tetapi dinegara berkembang
seperti Indonesia jumlah perokok ini 2,1% meningkat setiap tahunnya (A.F Muchtar,
2005). Aktivitas merokok dianggap sebagai suatu trend di Indonesia. Riset WHO
1998 menunjukan, kelompok perokok aktif usia 10 tahun ke atas di Indonesia
tercatat 59,04% untuk pria dan 4,85%untuk wanita. Dari kelompok usia tersebut
12,8%-27,7% pria berusia muda (young males) dan 0,64%-1% adalah wanita muda
(young females) (Syahrir, 2003).
Jumlah perokok di Indonesia menempati urutan terbesar keempat dunia dengan
kekerapannya sekitar 60% pada laki-laki dan 4% pada perempuan yang berumur
lebih dari 15 tahun (Burhan, 2004). Sedangkan di Asia Indonesia menempati urutan
kedua terbesar setelah Kamboja dengan prosentasi perokok pria; Kamboja 54%,
Indonesia 53%, Vietnam 50%, Malaysia 49% dan Thailand 39% (Basyir, 2005).
Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, bahwa kebiasaan merokok justru dimulai
pada usia yang sangat muda. Psikolog A Kasandra Oemarjoedi (2004) mengatakan,
jika dua puluh tahun yang lalu umur rata-rata seseorang mulai merokok adalah
pada usia 16 tahun (remaja tingkat SLTA), estimasi sekarang seseorang mulai
merokok pada usia remaja 12-14 tahun (remaja tingkat SLTP). Oemarjoedi
menambahkan, berdasarkan data Survei Yayasan Pelita Ilmu lebih dari tiga juta
remaja menggunakan rokok tembakau, dan dari keseluruhan jumlah tersebut,
hampir 20 persen adalah siswa SLTP. Bahkan data dari tiga tahun terakhir, 30
persen dari jumlah anak SLTP adalah perokok aktif. Satu dari tiga siswa menjadi
perokok permanen sampai dia dewasa dan meninggal pada usia yang sangat muda
yang diakibatkan oleh penyakit yang disebabkan karena merokok (Daryanto,2004).
Secara psikologis remaja SLTP (usia 12-16 tahun) berada pada tahapan
perkembangan remaja awal. Periode masa remaja awal dikatakan sebagai masa
transisi dimana jiwa anak masih labil. Hal ini disebabkan karena anak belum
menemukan pegangan hidup yang mantap. Akibat labilnya jiwa anak, menjadikan
mereka sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, baik yang bersifat
positif maupun negatif (Kartono, 1995). Hurlock (1993) mengungkapkan bahwa
masa remaja awal memiliki beberapa ciri tahapan perkembangan yaitu tahap
periode peralihan, periode perubahan, periode bermasalah dan periode pencarian
identitas. Pada periode pencarian identitas, remaja cenderung meniru tingkah laku
orang dewasa yang dianggap menunjukan kematangan dan kemapanan dalam hal
identitas diri. Proses identifikasi remaja terhadap orang dewasa menyebabkan
mereka mengadopsi perilaku yang ada pada orang dewasa, salah satunya adalah
perilaku merokok. Merokok menjadi perilaku negatif yang umum dan bersifat legal
bagi para remaja.
Merokok pada remaja perlu mendapatkan perhatian besar. Penurunan sumber-daya
manusia dimasa yang akan datang menjadi sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi
yang disebabkan karena remaja terbiasa dengan perilaku yang tidak sehat. Taylor
(Syahrir 2003) menyatakan bahwa perilaku merokok pada remaja dapat menjadi
bagian dari serangkaian sindrom perilaku bermasalah secara umum, misalnya:
penggunaan obat-obatan terlarang, alkoholik dan perilaku sex bebas.
SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 merupakan instansi pendidikan yang berada di
wilayah Bandung Timur, tepatnya di Jl. Raya A.H. Nasution No 25A. Sekolah ini
merupakan sekolah gabungan antara SLTP, SMU dan SMK Karya Pembangunan.
Instansi pendidikan ini merupakan sekolah swasta yang banyak diminati di wilayah
Bandung Timur. Hal ini terlihat dari banyaknya siswa yang terdaftar di SLTP KP 10.
Jumlah siswa secara keseluruhan di SLTP KP berjumlah 985 siswa (488 siswa lakilaki dan 497 siswa perempuan). Dari 985 siswa tersebut terbagi menjadi 320 siswa
kelas I, 376 siswa kelas II dan 289 siswa kelas III.
Berdasarkan hasil study pendahuluan yang dilakukan pada bulan April 2006,
didapatkan informasi dari guru bimbingan konseling SLTP KP 10 Bandung, bahwa di
sekolah tersebut belum pernah dilakukan penelitian yang berkaitan dengan
perilaku merokok siswa. Padahal dari beberapa permasalahan mengenai kenakalan
remaja di SLTP KP 10, merokok menjadi masalah dengan tingkat prosentase
tertinggi (25-30%) dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan, perkelahian /
tawuran dan, perkumpulan remaja atau gangster, yang hanya tercatat (< 10%).
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang siswa kelas III didapatkan
data bahwa semua siswa tersebut merokok, bahkan mereka mengatakan, hampir
seluruh anak laki-laki di kelasnya sudah pernah merokok. Adapun untuk kelas II
mereka mengatakan hanya sekitar (30-35%) yang merokok, dan kelas I (10%).
Kebanyakan siswa di SLTP KP merokok diluar lingkungan sekolah, mereka
bergerombol disuatu tempat yang memang memudahkan mereka mendapatkan
rokok. Padahal SLTP KP sendiri memiliki kebijakan yang tertulis dalam perjanjian
antara pihak sekolah dengan calon siswa mengenai larangan membawa ataupun
merokok didalam maupun diluar lingkungan sekolah, termasuk sanksi tegas yang
menjerat apabila larangan ini di langgar oleh siswa.
Adapun informasi yang penulis dapatkan dari Badan Musyawarah Guru Pembimbing
(MGP) kota Bandung perilaku merokok termasuk kedalam 6 bentuk perilaku
bermasalah yang ada pada remaja SMP. Munculnya perilaku bermasalah terutama
merokok terjadi pada sekolah-sekolah dengan kriteria sebagai berikut: 1) sekolah
yang menerima siswa tanpa testing, 2) sekolah yang berada di daerah pinggiran
kota, 3) sekolah yang kurang komitmen terhadap penerapan disiplin, dan 4)
sekolah yang berada dekat keramaian.
Banyak hal yang dapat menjadi resiko timbulnya perilaku merokok pada anak usia
remaja. Subanada (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa faktor resiko
munculnya perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh berberapa faktor
diantaranya: 1). Faktor psikologis/kepribadian yang terdiri dari faktor psikososial
yang meliputi stress, rasa bosan, rasa ingin tahu, ingin terlihat gagah, rendah diri
dan perilaku yang menunjukan pemberontakan menjadi hal yang mengkontribusi
remaja untuk mulai merokok. Selain itu, secara psikologis perilaku merokok pada
remaja diasosiasikan juga dengan gangguan psikiatrik. 2). Faktor biologis, meliputi
fungsi kognisi, etnik, genetik dan jenis kelamin. 3). Faktor lingkungan, yakni
orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan reklame atau iklan menampilkan
sang idola remaja, 4). Faktor regulatori yakni adanya pajak atau bea cukai yang
tinggi terhadap rokok dengan maksud untuk menurunkan daya beli masyarakat
terhadap rokok, dan pembatasan fasilitas / lokasi untuk merokok.
Faktor psikologis dapat dilihat dari kajian perkembangan remaja lingkungan,
artinya perilaku merokok selain disebabkan oleh faktor dalam di, Erikson
mengatakan bahwa setiap remaja akan mengalami fase krisis dalam proses
pencarian jati dirinya yang disebabkan karena adanya perubahan fisik dan
psikososial. Ketidaksesuaian antara perkembangan fisik, psikis dan sosial
menyebabkan remaja berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Merokok
menjadi alternatif yang mereka pilih karena dianggap dapat mengurangi
ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress (Helmi & Komalasari, 2006).
Selain itu, perilaku merokok merupakan perilaku yang dipelajari, sehingga perlu
ada agen sosialisasi dalam proses munculnya perilaku tersebut, dan lingkungan
merupakan faktor penting yang pertama kali memperkenalkan remaja terhadap
perilaku merokok. Aktivitas merokok yang ada di lingkungan menstimulasi remaja
untuk mencoba hal yang sama agar dapat diterima sebagai anggota dari lingkungan
tersebut (A.F Muchtar 2005). Orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan iklan
merupakan faktor lingkungan yang mendorong remaja untuk merokok.
Berdasarkan faktor biologi, merokok merupakan perilaku yang diturunkan secara
genetik, dan perilaku ini lebih banyak terjadi pada mereka keturunan ras kulit
putih. Sedangkan berdasarkan faktor regulatori, perilaku merokok berkaitan
dengan daya beli masyarakat terhadap rokok yang akan terpengaruh oleh kebijakan
pemerintah melalui pajak atau bea cukai rokok. Selain itu adanya kebijakan
penentuan daerah bebas rokok, menjadi upaya yang diharapkan dapat mengurangi
konsumsi mayarakat akan rokok dan sekolah menjadi salah satu tempat yang
ditetapkan sebagai kawasan bebas rokok (Soetjiningsih, 2004).
Melihat dari faktor-faktor tersebut, dalam kesempatan ini penulis hanya
memfokuskan penelitian pada dua faktor yakni psikologis (stress) dan faktor
lingkungan yang meliputi dukungan keluarga, dukungan teman, dan dukungan
iklan. Adapun faktor biologi dan regulatori tidak menjadi lingkup penelitian dengan
pertimbangan; faktor biologis akan sangat sulit untuk diteliti, sedangkan berkaitan
dengan faktor regulatori, SLTP KP sendiri telah memiliki aturan mengenai larangan
membawa maupun melakukan aktivitas merokok baik di dalam maupun di luar
lingkungan pendidikan.
1. 2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut: apakah terdapat hubungan antara tingkat stress,
dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I. 3 Tujuan
I.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah diketahuinya hubungan antara tingkat
stress, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi gambaran perilaku merokok pada remaja SLTP KP 10
Bandung.
2. Untuk mengidentifikasi gambaran tingkat stres pada remaja di SLTP KP 10
Bandung.
3. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan keluarga untuk merokok pada
remaja di SLTP KP 10 Bandung.
4. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan teman untuk merokok pada remaja
di SLTP KP 10 Bandung.
5. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan iklan untuk merokok pada remaja di
SLTP KP 10 Bandung.
6. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Stress dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
7. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan keluarga
dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10
Bandung.
8. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan teman
2. Dukungan
Keluarga
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rokok bukan lagi menjadi barang aneh untuk saat ini, ketika disebut kata rokok,
yang terbayang adalah sebuah komoditi terlaris yang paling gampang di undang
untuk menjadi sponsor pada berbagai event olahraga ataupun pertunjunkan besar.
Sampai saat ini jarang sekali toko atau warung yang tidak menjual rokok, bahkan
dalam setiap toko grosir makanan rokok bisa mengisi 4050 % barang yang laris
terjual setiap harinya. Melihat fenomena ini sepertinya rokok telah menjelma
menjadi kebutuhan pokok layaknya sembako. Seandainya rokok itu sarat manfaat,
mengandung unsur gizi yang dibutuhkan tubuh, tentunya tidak masalah. Tetapi
rokok sudah diakui sebagai komoditi yang berbahaya bagi kesehatan (Basyir 2005).
2.1. Rokok dan Masalahnya
2.1.1 Sejarah rokok
22Rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu atau
bentuk lainnya, yang dihasilkan dari tanaman nicotina tabaccum, nicotina rustica
dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau
tanpa bahan tambahan. Nikotin merupakan zat atau bahan senyawa pirolidin yang
terdapat dalam nicotina tabaccum, nicotina rustica dan spesies lainnya atau
sintetisnya yang bersifat adiktif dapat menyebabkan ketergantungan. Sedangkan
tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatis yang bersifat karsinogenik (PP
No. 19 tahun 2003).
Tembakau itu sendiri, yang merupakan bahan utama untuk rokok ini telah dikenal
lama sebelum tahun 1492. Pada saat itu, pelaut Eropa yang menemukan benua
Amerika Colombus melihat orang-orang Indian menghisap tembakau dengan
menggunakan pipa dalam sebuah upacara tertentu sebagai lambang tata cara
ramah tamah. Penggunaan pipa berbentuk Y yang disebut tobacco yang
digunakan untuk menghisap tanaman yang cukup banyak mengandung racun ini
menjadi dasar mengapa tanaman tersebut dinamakan tembakau (Basyir 2005).
Istilah botanical tembakau itu sendiri, berasal dari kata nicotiana, istilah ini
diberikan dalam menghormati Duta Besar Perancis untuk Portugal yakni Jean Nicot
yang telah mengirim bibit tembakau kepada permaisuri Prancis, Catherine de
Medici. Penyebaran tembakau sendiri mulai diperkenalkan ke seluruh Asia dan
Afrika pada abad ke-17 oleh para ahli perdagangan Eropa (Nainggolan, 2000).
2.1.2 Zat yang Terkandung dalam Rokok
Seperti yang telah di ulas diatas, terdapat dua bahan utama zat yang terkandung
dalam setiap batang rokok yakni nikotin dan tar. Nikotin, didalam tubuh
menyebabkan perangsangan sistem saraf simpatis. Perangsangan saraf simpatis
(pelepasan adrenalin), berdampak pada peningkatan denyut jantung, tekanan
darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung.
Selain itu nikotin mengaktifkan trombosit yang beresiko pada timbulnya adhesi
trombosit (penggumpalan) ke dinding pembuluh darah termasuk pembuluh darah
jantung. Adapun tar, disebut sebagai zat karsinogenik, karena ampas tar yang
tersimpan terutama dalam saluran nafas akan mengubah struktur dan fungsi
saluran nafas dan jaringan paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar
(hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran
napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel
dan penumpukan lendir. Sedangkan pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan
jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Hal ini yang memungkinkan terjadinya
pembentukan sel kanker.
Selain kedua zat tersebut, masih terdapat zat-zat lain yang terkandung dalam
rokok dan berakibat buruk terhadap sistem tubuh. Nainggolan (2000)
mengungkapkan zat lain tersebut diantaranya :
Karbonmonoksida : merupakan sejenis gas yang tidak berbau yang dihasilkan dari
pembakaran zat arang atau karbon yang tidak sempurna. Gas ini memiliki sifat
racun yang dapat mengurangi kemampuan darah membawa oksigen. Hal ini
disebabkan karena unsur ini memiliki kemampuan yang cepat untuk bersenyawa
dengan haemoglobin, sehingga menggangu ikatan oksigen dengan haemoglobin,
yang pada akhirnya menyebabkan suplai oksigen ke seluruh organ tubuh berkurang.
Arsenic : sejenis unsur kimia yang digunakan untuk membunuh serangga.
Nitrogen oksida : Unsur kimia ini dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan
merangsang kerusakan dan perubahan kulit tubuh.
Ammonium karbonat : zat ini membentuk plak kuning pada permukaan lidah dan
menggangu kelenjar makanan dan perasa yang terdapat dipermukaan lidah.
Ammonia : merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan
hidrogen. Zat ini sangat tajam baunya dan sangat merangsang. Ammonia ini sangat
mudah memasuki sel-sel tubuh. Begitu kerasnya racun yang terdapat dalam zat ini
sehingga jika disuntikan sedikit saja kedalam tubuh bisa menyebabkan seseorang
pingsan.
Formic acid : jenis cairan yang tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat
mengakibatkan lepuh. Cairan ini sangat tajam dan baunya menusuk. Zat ini dapat
menyebabkan seseorang seperti merasa digigit semut. Bertambahnya zat ini dalam
peredaran darah akan mengakibatkan pernafasan menjadi cepat.
Acrolein : sejenis zat tidak berwarna, seperti aldehid. Zat ini diperoleh dengan
mengambil cairan dari gliserol dengan metode pengeringan. Zat ini seduikit banyak
mengandung kadar alkohol. Cairan ini sangat menganggu bagi kesehatan.
Hydrogen cyanide : sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar dan
sangat efisien untuk menghalangi pernapasan. Cyanide adalah salah satu zat yang
mengandung racun yang sangat berbahaya. Sedikit saja cyanide dimasukkan
langsung ke dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian.
Nitrous oksida : sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terisap dapat
menyebabkan hilangnya pertimbangan dan mengakibatkan rasa sakit.
Formaldehyde : zat yang banyak digunakan sebagai pengawet dalam laboratorium
(formalin).
Phenol : merupakan campuran yang terdiri dari kristal yang dihasilkan dari destilasi
beberapa zat organic seperti kayu dan arang, selain diperoleh dari ter arang.
Phenol terikat dengan protein dan menghalangi aktivitas enzim.
Acetol : hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat yang tidak berwarna yang bebas
bergerak) dan mudah menguap dengan alkohol.
Hydrogen sulfide : sejenis gas yang beracun yang gampang terbakar dengan bau
yang keras. Zat ini menghalangi oxidasi enxym (zat besi yang berisi pigmen).
Pyridine : cairan tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat digunakan
untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
Methyl chloride : adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu dimana hidrogen
dan karbon merupakan unsurnya yang utama. Zat ini adalah merupakan compound
organic yang dapat beracun.
Methanol : sejenis cairan ringan yang gampang menguap dan mudah terbakar.
keturunan Afrika dan Asia. Laporan tersebut memberi kesan bahwa perbedaan
asupan nikotin dan tembakau serta waktu paruh kotinin antara perokok dewasa
Amerika keturunan Afrika dengan orang kulit putih adalah substansial. Hal ini
dapat menjelaskan mengapa ada perbedaan resiko pada beberapa etnik dalam hal
penyakit yang berhubungan dengan merokok.
d. Faktor genetik
Variasi genetik mempengaruhi fungsi reseptor dopamin dan enzim hati yang
memetabolisme nikotin. Kensekuensinya adalah meningkatnya resiko kecanduan
nikotin pada beberapa individu. Variasi efek nikotin dapat diperantarai oleh
polimorfisme gen dopamin yang mengakibatkan lebih besar atau lebih kecilnya
reward dan mudah kecanduan obat. Pada studi genetik molekular beberapa tahun
terakhir, individu dengan alela TaqIA (A1 dan A2) dan TaqIB (B1 dan B2) dari
reseptor dopamin D2 lebih mungkin merokok 100 kali atau lebih dalam hidupnya
dan mereka lebih awal memulai merokok dan lebih sedikit meninggalkannya.
3. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain
orangtua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok. Selain itu juga
karena paparan iklan rokok dimedia. Orangtua sepertinya memegang peranan
penting, dalam pembentukan perilaku merokok remaja. Sebuah studi kohort
terhadap siswa SMU didapatkan bahwa prediktor bermakna dalam peralihan dari
kadang-kadang merokok menjadi merokok secara teratur adalah orangtua perokok
dan konflik keluarga.
4. Faktor Regulatori
Peningkatan harga jual atau diberlakukannya cukai yang tinggi, diharapkan dapat
menurunkan daya beli masyarakat terhadap rokok. Selain itu pembatasan fasilitas
merokok dengan menetapkan ruang atau daerah bebas rokok diharapkan dapat
mengurangi konsumsi. Akan tetapi kenyataannya masih terdapat peningkatan
kejadian mulainya merokok pada remaja, walaupun telah banyak dibuat usahausaha untuk mencegahnya.
Hasil konsensus FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun 2000
tentang opiat, masalah media dan penatalaksanaannya, menyatakan terdapat dua
hal yang menjadi faktor pendukung bagi seseorang untuk menggunakan zat aditif
termasuk rokok yaitu faktor individu dan lingkungan (Oktariani, 2006).
Faktor individu, merupakan faktor yang muncul dari dalam diri remaja. Berkaitan
dengan faktor individu, perilaku merokok remaja selalu diasosiasikan dengan ciri
perkembangan mereka yakni rasa ingin tahu, proses identifikasi agar telihat seperti
dewasa dan ingin terlihat gagah (Hurlock 1993). Sedangkan Erikson
(Helmi&Komalasari 2006) mengungkapkan bahwa remaja mulai merokok karena
adanya krisis aspek psikososial yang dialami dalam masa proses mencari jati diri.
Ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial menyebabkan remaja
berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Mutadin (2002) yang mengatakan bahwa masa remaja dikenal
sebagai masa storm and stress (masa badai dan penuh stress) dimana terjadi
pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan
pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Merokok menjadi alternatif pilihan
mereka karena dianggap dapat mengurangi ketegangan dan membantu relaksasi
terhadap stress. Aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari
kecemasan yang dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang
dapat memberikan kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan
simbolisasi kejantanan atau kedewasaan (A.F Muchtar 2005).
Adapun faktor lingkungan, merupakan faktor eksternal yang berasal dari perilaku
merokok seseorang, terutama perilaku merokok yang ada di keluarga keluarga
(orangtua atau saudara kandung yang merokok), dan perilaku merokok teman
sebaya. Selain itu, berbagai upaya dilakukan oleh para produsen rokok untuk
mempengaruhi persepsi remaja terhadap rokok yang ditampilkan melalui iklan baik
di media cetak maupun elektronik.
Berdasarkan teori-teori yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap rokok
tersebut, bahasan akan dipersempit dengan hanya memfokuskan pada faktor
stress, dukungan keluarga, dukungan teman dan iklan.
2.3.1 Stress
Stress merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian antara harapan
dan pencapaian yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional. Banyak hal
yang dapat menyebabkan stress, terlambat dalam perjalanan, kecemasan akan
kondisi keluarga, ataupun tugas yang sudah ditunggu pada batas waktu akhir.
Ketidakmampuan mengatasi hal tersebut dengan baik akan direfleksikan melalui
perasaan emosional seperti marah, tegang, cemas bahkan agresi. Padahal Earle
mengungkapkan bahwa stress ini merupakan pergerakan energi mobilized energy
yang diperlukan agar seseorang dapat berfikir lebih baik, sehingga dari
ketidaksesuaian yang ada, seseorang dapat menganalisa masalah dan
memperbaikinya (Groenewald 2006).
Kesulitan mencari alternatif pemecahan masalah dengan baik menjadi kendala
yang sering dihadapi remaja. Kompensasi dari ketidakmampuan menyelesaikan
masalah tersebut dialihkan dengan melakukan aktivitas yang mereka anggap dapat
mengurangi ketegangan yang terjadi. Merokok menjadi pilihan karena efek
relaksasi yang mereka dapatkan dari rokok, yang pada akhirnya berdampak pada
kepuasan psikologis remaja (A.F Muchtar 2005). Kepuasan psikologis yang mereka
dapatkan mendorong untuk mengulangi perilaku merokok tersebut setiap kali
remaja berada dalam tekanan (stress). Hal ini senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Atkinson (1991) dalam bukunya Psikologi Perkembangan bahwa
dalam kondisi stress remaja akan cenderung untuk mengulangi perilakuknya.
Seseorang yang berada dalam tekanan (stress) mempunyai kemungkinan 2 kali
lebih besar untuk menjadi perokok dan akan sulit untuk berhenti bahkan untuk
mengatakan ingin berhenti dari aktivitas merokok tersebut. (Brandon 2000).
Brandon menambahkan bahwa terdapat beberapa cara manajemen stress yang
dapat diterapkan pada remaja sehingga dapat mengurangi kemungkinan remaja
untuk merokok yang disebabkan demi mendapatkan ketenangan akibat dalam
mengahdapi stres. Beberapa cara tersebut diantaranya, a). Remaja tidak
menghindar dari permasalahan yang sedang dihadapi. b). Remaja lebih
memperbanyak aktivitas yang positif. c) Membicarakan masalah dengan orang yang
bisa membantu dalam penyelesaian. d) Menyadari bahwa stress merupakan bagian
dari kehidupan.
2.3.2 Dukungan Keluarga
Anak-anak dengan orangtua perokok cenderung akan merokok dikemudian hari, hal
ini terjadi paling sedikit disebabkan oleh karena dua hal: Pertama, karena anak
tersebut ingin seperti bapaknya yang kelihatan gagah dan dewasa saat merokok.
Kedua, ialah karena anak sudah terbiasa dengan asap rokok dirumah, dengan kata
lain disaat kecil mereka telah menjadi perokok pasif dan sesudah remaja anak
gampang saja beralih menjadi perokok aktif (Nainggolan, 2000). Bahkan dalam
sebuah studi, dari para remaja perokok ditemukan bahwa 75% salah satu atau
kedua orangtua mereka merupakan perokok (Soetjiningsih 2004).
Aditama mengungkapkan bahwa jumlah remaja perokok lima kali lebih banyak
pada mereka yang orangtuanya merokok dibandingkan dengan orangtua yang tidak
merokok (Basyir, 2005). Resiko munculnya perilaku merokok remaja didukung pula
oleh perilaku merokok saudara kandung meraka. Remaja dengan orangtua dan
saudara kandung perokok memiliki kemungkinan 4 kali lipat untuk menjadi
perokok, apalagi jika mereka bersikap tidak melarang remaja untuk merokok (A.F
Muchtar 2005).
Hasil penelitian Kurniawati (2003) mengenai perilaku merokok remaja di Cimahi,
menerangkan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan
perilaku merokok remaja. Faktor keluarga memberikan kontribusi terhadap
perilaku merokok pada remaja sebesar 96,6%. Menurutnya perilaku merokok yang
ditampilkan keluarga menjadikan remaja meniru perilaku tersebut, terlebih bila
merokok sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga.
2.3.3 Dukungan Teman
Pada masa remaja, pola interaksi mereka lebih banyak dihabiskan dengan temanteman sebayanya. Teman sebaya mempunyai peran yang sangat berarti karena
pada masa tersebut remaja mulai memisahkan diri dari orangtua dan mulai
bergabung dengan teman sebaya. Kebutuhan untuk dapat diterima sering kali
membuat remaja berbuat apa saja agar dapat diterima oleh kelompoknya.
Sehingga dapatlah dimengerti bahwa remaja harus dapat menjalankan peran dan
tingkah lakunya sesuai dengan harapan kelompok agar dapat tetap bergabung
menjadi anggota kelompok. Mulai dari sikap, pembicaraan, minat dan penampilan
remaja dituntut untuk sesuai dengan kelompoknya. Demikian pula jika mayoritas
kelompok memiliki kebiasaan merokok, maka setiap anggotanya mau tidak mau
akan dan harus mengikuti aktivitas tersebut tanpa memperdulikan perasaan
mereka sendiri (Hurlock 1993).
Friedman dkk dalam hurlock 1993 mengungkapkan :
Kekuasaan yang mempengaruhi anggota kelompok hampir menuntut pengawasan
mutlak dari anggota kelompok terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan
sedikit contoh untuk meyakinkan setiap anggota kelompok bahwa mereka harus
mengikuti keputusan kelompok, atau kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat
yang lebih parah.
Berbagai fakta mengungkapkan semakin banyak remaja merokok, maka akan
semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga. Fakta tersebut
menyatakan 2 kemungkinan, yakni remaja yang terpengaruh oleh temantemannya, atau teman-teman remaja tersebut dipengaruhi olehnya. Diantara
remaja baik perokok maupun yang tidak merokok, 87 % memiliki satu atau lebih
sahabat yang merokok (Basyir, 2005).
Kurniawati (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa lingkungan teman
sebaya memberikan sumbangan efektif sebesar 93,8% terhadap munculnya perilaku
merokok pada remaja. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa semakin banyak
dukungan teman untuk merokok dapat mendorong seseorang untuk semakin
menjadi perokok.
2.3.4 Dukungan Iklan
Untuk menjaring konsumen yang lebih banyak, para produsen rokok mempunyai
cara yang handal. Berbagai iklan baik dalam bentuk reklame, poster maupun iklan
dalam media elektronik ditampilkan dengan maksud untuk merangsang para
konsumen mencoba produk yang mereka iklankan.
Berbagai istilah seperti low, light, mild pun digunakan produsen sehingga seolah-
olah rokok itu aman dan jumlah kandungan zatnya lebih rendah. Akibatnya, para
perokok merasa boleh merokok bahkan kemungkinan akan mengkonsumsi lebih
banyak karena mereka menganggap rokok yang dikonsumsinya hanya mengandung
sedikit zat. Padahal sebuah studi dalam Journal of The National Cancer Institute
menyebutkan bahwa kandungan zat dalam rokok tersebut tidak berkurang
sedikitpun. Bahkan jumlah tar dan nikotin yang dihisap dalam rokok tersebut
ternyata 8 kali lebih tinggi daripada yang diiklankan (Basyir 2005).
Gambaran bahwa perokok merupakan lambang kejantanan dan glamour dengan
diperankan oleh sosok idola remaja, menarik remaja untuk menjadi seperti
idolanya dan diharapkan dapat mempengaruhi persepsi remaja tentang rokok
(Kompas 2001). Bahkan Subanada (Soetjiningsih, 2004) memperkuat pendapat
tersebut dengan menyatakan bahwa reklame atau iklan tembakau diperkirakan
mempunyai pengaruh lebih kuat daripada pengaruh orangtua dan teman.
Selain berperan terhadap perubahan persepsi, iklan menjadi media penting bagi
remaja dalam memperolah informasi seputar rokok. Syahrir (2004) dalam
penelitiannya menegaskan bahwa sekitar 52,6% remaja mendapatkan informasi
tentang rokok dari iklan terutama iklan di media elektronik.. syahrir gi adap
perubahan persepsi, iklan menjadi media remaja dalam memperolah informasi
tentang rokok yang kurang komitmen t
2.4. Peran Perawat
Berdasarkan hasil konsesus keperawatan tahun 1983 dalam gafar (2000).
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif
serta ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat
yang mencakup seluruh siklus manusia. Keperawatan berupa bantuan yang
diberikan karena adanya kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan
pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara
mandiri. Bantuan yang diberikan ditujukan kepada penyediaan pelayanan
kesehatan utama (primary health care) dalam upaya mengadakan perbaikan
pelayanan kesehatan sehingga memungkinkan setiap orang mencapai kemampuan
hidup sehat dan produktif.
Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa perawat memiliki peran yang sangat
luas dalam menjalankan prakteknya. Dalam hal perilaku merokok, peran perawat
berkaitan dengan upaya pencegahan perilaku merokok yang sedang bergulir
dewasa ini. Program pencegahan tersebut didasarkan pada pendekatan psikososial
yaitu; 1). Pendekatan pengaruh sosial dan 2). Pendekatan melatih cara
menghadapi kehidupan.. Pendekatan pengaruh sosial didasarkan pada asumsi
bahwa model tersebut adalah faktor utama dalam memulai perilaku merokok dan
bahwa anak-anak dan remaja perlu diajarkan cara menahan tekanan sosial
terhadap merokok.program yang didasarkan pada pendekatan ini memfokuskan
pada; a). Membantu individu menjadi waspada terhadap pengaruh social yang
mepromosikan penggunaan tembakau, dan b). Mengajarkan tehnik khusus agar
tahan terhadap pengaruh tersebut seperi peran bermain, perilaku latihan dan peer
leader. Sedangkan pedekatan melatih cara menghadapi kehidupan didasarkan pada
asumsi bahwa yang menyebabkan merokok dan penggunaan zat-zat tertentu adalah
kurangnya intelegensi personal dan sosial. Beberapa deficit personal yang bisa
membuat seseorang menjadi peka terhadap penggunaan zat-zat tertentu adalah
rasa rendah diri, kurang komunikasi dan sosialisasi, kurangnya motivasi untuk
47
3.3 Populasi dan Sample
3.3.1 Populasi
Populasi adalah sekumpulan objek yang menjadi pusat perhatian/ penelitian, yang
daripadanya terkandung informasi yang ingin diketahui (Gulo, 2002). Perilaku
merokok dikalangan remaja terutama terjadi pada remaja pria, sehingga penulis
menetapkan bahwa populasi dalam penelitian ini adalah siswa laki-laki di SLTP KP
10 yang berjumlah 488 orang siswa.
3.3.2 Sample
Sample adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Menurut
Soekidjo Notoatmodjo, untuk populasi yang berjumlah kurang dari 10.000, maka
besar jumlah sample dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut
:
Keterangan :
n : besar sample N : jumlah populasi d : tingkat kekeliruan (5 %)
Jadi besar sample adalah :
= 219,8 dibulatkan menjadi 220 orang.
47 Adapun tehnik sampling yang digunakan adalah proportionate stratified random
sampling yaitu tehnik yang digunakan untuk menyempurnakan tehnik sampling
berstrata dengan pengambilan sampelnya seimbang atau sebanding dengan jumlah
subjek masing-masing strata, dengan menggunakan rumus menurut Notoatmodjo
2002 sebagai berikut:
besar dari X2 tabel berarti didapatkan hubungan signifikan. Jadi dapat disimpulkan
bahwa H1 diterima (berarti ada hubungan antara stress pada remaja, dukungan
keluarga, dukungan teman dan iklan dengan perilaku merokok pada siswa).
Selain itu bisa juga dengan menggunakan cara probabilistic, yakni dengan
menggunakan SPSS for windows 13,0 dapat dihitung nilai P (P value), dengan taraf
kesalahan 5% ( = 0.05). Jika P value < dari 0,05, maka dapat dinyatakan bahwa H1
diterima yang berarti terdapat hubungan antara variable dependen dan variable
independent.
Selanjutnya untuk mengetahui derajat hubungan antara variable stress pada
remaja, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, digunakan
analisa contingensi coefficient (nilai C), bila nilai C mendekati nilai C maksimal
maka keeratan hubungan bersifat erat. Adapun rumus contingensy coefficient
adalah :
C=
Keterangan :
C = Koefisien kontingensi
X2 = Harga dari kontingensi yang diperoleh
N = Jumlah sampel
Interpretasi makin dekat harga C kepada C maksimal, maka makin besar derajat
kontribusi antara variable. Dengan kata lain, variable yang satu makin berkaitan
dengan variable yang lain. Sugiyono 2005 mengkategorikan tingkat hubungan atau
keeratan antara kedua variabel sebagai berikut :
Tabel : Pengkategorian Tingkat Hubungan
Korelasi
Kriteria
0,00 0,199
0,20 - 0,399
0,40 - 0,599
0,60 - 0,799
0,80 - 1,000
Hubungan sangat tidak erat / bisa diabaikan
Hubungan tidak erat
Hubungan sedang
Hubungan erat
Hubungan sangat erat
3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
3.6.1 Uji validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengukur sejauh mana tingkat kesahihan suatu
instrumen. Uji validitas ini dilakukan terhadap setiap item pertanyaan yang
diajukan. Tehnik uji validitas terdiri dari 2 bentuk yakni validitas logis dan
vaklditas empiris. Adapun validitas logis terbagi lagi menjadi 2 bentuk yakni
validitas isi / contens validity (instrumen yang dibuat sesuai dengan isi yang akan
diungkap) dan validitas konstruksi / construct validity (instrumen dibuat dalam
bentuk yang mudah dipahami disesuaikan dengan aspek yang akan di ungkap).
Sedangkan validitas empiris, yakni tehnik uji validitas dimana setelah instrumen
dibuat, kemudian di uji dan diolah melalui rumusan perhitungan (Arikunto, 2005).
Untuk mengukur tingkat stress instrumen yang digunakan merupakan instrumen
baku yang dikembangkan oleh Andrea Groenewald yang kemudian di alih
bahasakan ke bahasa Indonesia, tehnik uji valitidas empiris untuk veriabel stres
yang memiliki skala ordinal dengan skor berupa tingkatan, digunakan rumus
koefisien validitas dengan korelasi item total (Azwar, 2001) dengan rumus sebagai
berikut ;
Keterangan :
Koefisien korelasi skor item-total sebelum dikoreksi
Deviasi standar skor suatu item
Deviasi standar skor tes.
Adapun untuk instrumen yang digunakan untuk mengukur variable dukungan
keluarga, teman, dan dukungan iklan, tehnik uji validitas empiris yang digunakan
adalah tehnik koefisien Korelasi Point Biserial, karena tipe jawaban setiap item
pertanyaan berupa 2 alternatif jawaban (dikotomis yang diberi nilai 1 & 0) dengan
skala nominal (Arikunto, 2005).
Masrun (Sugiyono 2005) mengungkapkan bahwa item pertanyaan yang dikatakan
valid jika r minimum = 0,30. semakin positif dan semakin besar nilai r, maka item
tersebut dikatakan semakin valid.
Dalam penelitian ini, uji coba instrumen dilakukan sebanyak 2 kali. Pertama, uji
coba dilakukan di SMP Karya Pembangunan 10 dengan jumlah responden sebanyak
30 orang. Adapun hasil perhitungan terlampir. Untuk instrumen yang kedua,
dilakukan karena hasil uji coba instrumen yang pertama menunjukan bahwa
instrumen yang di buat belum layak untuk dijadikan alat penelitian. Untuk itu
dilakukan revisi atau perbaikan terhadap instrumen yang tidak valid, dan kemudian
instrumen tersebut di uji coba-kan kembali di tempat yang berbeda yakni di SMP
Gunadharma, dengan jumlah responden sebanyak 20 orang. Adapun data hasil uji
coba instrumen terlampir.
3.6.2 Uji reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana tingkat kekonsistenan pengukuran dari suatu
responden ke responden yang lain atau dengan kata lain sejauh mana pertanyaan
dapat dipahami sehingga tidak menyebabkan beda interpretasi dalam pemahaman
pertanyaan tersebut. Sekumpulan pertanyaan untuk mengukur suatu variabel
dikatakan reliabel dan berhasil mengukur variabel yang kita ukur jika koefisien
reliabilitasnya lebih dari atau sama dengan 0,700 (Kaplan & Saccuzo, 1993). Uji
reliabilitas dilakukan setelah setiap item dalam alat ukur terbukti valid atau
setelah item yang tidak valid dihilangkan.
Untuk menguji reliabilitas instrumen stres, digunakan formulasi Alpha Crounch
Bach (Azwar, 2001)
Sedangkan untuk instrumen dukungan keluarga, dukungan teman sebaya, dan
dukungan iklan, dimana tipe jawaban berbentuk dikotomis dengan skor item
jawaban Ya bernilai (1) dan skor item jawaban Tidak bernilai (0). Tehnik uji
reliabilitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus koefisien
Reliabilitas Kuder dan Ricarhdson (K-R 20) (Arikunto 2005).
Kriteria reliabilitasnya adalah jika KR-20 0,70 maka dimensi kuesioner reliabel
(konsisten) dan jika KR-20 < 0,70 maka dimensi kuesioner tidak reliabel.
Hasil uji reliabilitas untuk instrumen stres diperoleh nilai koefisien reliabilitas
sebesar 0,820 untuk uji coba pertama dan 0,868 untuk uji coba yang kedua. Untuk
instrumen dukungan keluarga menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,708,
Hasil
penelitian
dengan
analisis
univariat
Dalam sub Bab ini, akan dijelaskan dalam tabel secara rinci untuk tiap variabel,
dimana terdiri dari lima variabel, yaitu variabel perilaku remaja terhadap rokok,
Ditribusi
Perilaku
Respoden
terhadap
Rokok
dilihat
dalam
tabel
berikut:
47
61
Tabel
4.1.1
Distribusi
Perilaku
Responden
terhadap
rokok
Kategori
Jumlah
Responden
(orang)
Persentase
(%)
Merokok
60
27,27
Tidak
Merokok
160
72,73
Total
220
100,00
Sumber
Olah
Data
Berdasarkan data tabel 4.1 tentang perilaku responden terhadap rokok, bahwa
sebagian besar responden (72,73%) tergolong ke dalam kategori bukan perokok.
4.1.2
Distribusi
Stress
Responden
dalam
4.1.2
tabel
Distribusi
Stress
berikut:
Responden
Kategori
Jumlah
Persentase
Ringan
Responden
(orang)
(%)
4
1,82
Sedang
70
31,82
Berat
146
66,36
Total
220
100,00
Sumber
Olah
Data
Berdasarkan data tabel 4.2 tentang distribusi tingkat stres pada responden,
terdapat kecenderungan remaja mengalami stres berat. Hal ini ditunjukan dengan
sebagian
besar
remaja
(66,36%)
berada
dalam
kategori
stres
berat.
4.1.3 Distribusi Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Dukungan Iklan Pada
Responden
Hasil analisis mengenai dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan
untuk merokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.1.3 Distribusi Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Iklan Pada
Responden
Kategori
Variabel
Ada
Tidak
f
%
f
ada
%
Dukungan
keluarga
163
74,09
57
25,91
Dukungan
teman
84
38,18
136
61,82
Dukungan
iklan
28
12,73
192
87,27
Sumber
Olah
Data
Berdasarkan data tabel 4.3 tentang dukungan keluarga, dukungan teman dan
dukungan iklan pada responden, dapat dilihat bahwa pada variabel dukungan
keluarga 163 responden (74,09%) tergolong ke dalam responden yang memiliki
keluarga yang mendukung untuk merokok, dan 57 responden (25,91%) sisanya
tergolong ke dalam responden yang memiliki keluarga yang tidak mendukung untuk
merokok. Sedangkan untuk variabel dukungan teman, 84 responden (38,18%)
tergolong ke dalam responden yang memiliki Teman Dekat yang mendukung untuk
merokok, dan 136 responden (61,82%) sisanya tergolong ke dalam responden yang
memiliki Teman Dekat yang tidak mendukung untuk merokok. Adapun untuk
variabel dukungan iklan, 28 responden (12,73%) tergolong ke dalam responden
yang mendapatkan dukungan iklan untuk merokok, dan 192 responden (87,27%)
sisanya tergolong ke dalam responden yang tidak mendapatkan dukungan iklan
untuk
4.2
merokok.
Hasil
penelitian
dengan
analisis
Bivariat
Dalam sub Bab ini, akan dijelaskan dalam tabel secara rinci Hubungan antara
tingkat Stress, Dukungan Keluarga, Dukungan Teman, dan Dukungan Iklan dengan
KP
10
Bandung
Tahun
2006.
Hasil analisis mengenai hubungan tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap
rokok
di
SLTP
KP
10
Bandung
dapat
dilihat
dalam
tabel
berikut:
Tabel 4.2.1 Analisis Hubungan tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok
di
SLTP
KP
10
Bandung
Tahun
2006.
Stres
Perilaku
Remaja
Terhadap
Rokok
Total
X2
P
value
CC
Merokok
Tidak
F
%
f
%
F
%
8,232
0,000
0,27
Ringan
2
0,91
2
0,91
4
1,82
Sedang
Merokok
27
12,27
43
19,55
70
31,82
Berat
31
14,09
115
52,27
146
66,36
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan tabel tabulasi silang mengenai hubungan antara tingkat stres dengan
perilaku remaja terhadap rokok di atas, didapatkan informasi bahwa hasil uji chisquare sebesar 8,232. Adapun 2 tabel dengan db = 2 dan = 0,05 yakni sebesar
5,591. Hal ini menujukan bahwa nilai 2 hitung > 2 tabel, yang berarti Ho ditolak
sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat Hubungan antara tingkat stres
dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP. Selain itu, untuk menolak Ho,
dapat pula dilihat dari hasil perhitungan P value, dimana P value (0,000) <
(0,05). Adapun untuk melihat tingkat keeratan hubungan tersebut, dapat dilihat
dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,27 yang berarti hubungan tidak erat
tapi
pasti.
di
SLTP
KP
10
Bandung
Tahun
2006.
Rokok
di
SLTP
Kategori
Perilaku
KP
10
Bandung
Dukungan
Remaja
Tahun
2006.
Keluarga
Terhadap
Rokok
Total
X2
P
value
CC
Merokok
Tidak
Merokok
F
%
f
%
F
%
2,467
0,124
0,15
Ada
49
22,27
114
51,82
163
74,09
Tidak
11
5,00
Ada
46
20,91
57
25,91
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan tabel tabulasi silang mengenai hubungan dukungan keluarga dengan
perilaku remaja terhadap rokok di atas dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square
(2 hitung) sebesar 2,467. Adapun nilai 2 tabel dengan db 1 dan = 0,05 adalah
3,841. Hal ini menunjukan bahwa 2 hitung < 2 tabel, yang berarti Tidak
Terdapat Hubungan yang Signifikan antara dukungan keluarga dengan perilaku
remaja terhadap rokok. Nilai chi-square tersebut diperkuat dengan hasil
perhitungan
value
(0,124
>
(0,05).
SLTP
KP
10
Bandung
Tahun
2006.
di
SLTP
KP
Kategori
Perilaku
10
Bandung
Dukungan
Remaja
Tahun
2006.
Teman
Terhadap
Rokok
Total
X2
P
CC
Merokok
value
Tidak
Merokok
f
%
f
%
f
%
39,19
0,000
0,55
Ada
43
19,55
41
18,64
84
38,18
Tidak
Ada
17
7,73
119
54,09
136
61,82
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan data tabulasi silang mengenai hubungan dukungan teman dengan
perilaku remaja terhadap rokok di atas dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square
(2 hitung) sebesar 39,19. Adapun nilai 2 tabel dengan db = 1 dan (0,05) adalah
3,841. Hal ini menunjukan bahwa 2 hitung > 2 tabel, yang berarti Ho ditolak
sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat Hubungan yang Signifikan antara
dukungan teman dengan perilaku remaja terhadap rokok. Nilai chi square
tersebut diperkuat dengan hasil perhitungan P value (0,000 ) < (0,05). Adapun
untuk melihat kuatnya hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien
kontingensi
yakni
sebesar
0,55
yang
berarti
hubungan
sedang.
4.2.4 Analisis Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di
SLTP
KP
10
Bandung
Tahun
2006.
di
SLTP
KP
Kategori
Perilaku
10
Bandung
Dukungan
Remaja
Tahun
2006.
Iklan
Terhadap
Rokok
Total
X2
P
value
CC
Merokok
Tidak
f
%
f
%
Merokok
f
%
31,538
0,000
0,50
Ada
20
9,09
8
3,64
28
12,73
Tidak
Ada
40
18,18
152
69,09
192
87,27
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan tabulasi silang di atas mengenai hubungan dukungan iklan dengan
perilaku remaja terhadap rokok dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square (2
hitung) sebesar 31, 583. Adapun 2 tabel dengan db = 1 dan = 0,05 yakni sebesar
3,841. Dengan demikian terlihat bahwa nilai 2 hitung > 2 tabel, yang berarti Ho
ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat Hubungan antara dukungan
iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok. Selain itu, untuk menolak Ho,
dapat pula dilihat dari hasil perhitungan P value, dimana P value (0,000) <
(0,05). Adapun untuk melihat kuatnya hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai
koefisien kontingensi yakni sebesar 0,55 yang berarti hubungan sedang.
Data perhitungan chi square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.
4.3
Pembahasan
4.3.1 Pembahasan Hubungan Tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
di
SLTP
KP
10
Bandung.
stress
merupakan
bagian
dari
kehidupan.
di
SLTP
KP
10
Bandung.
besar
untuk
menjadi
perokok
pula.
Dalam hal ini kemungkinan yang terjadi adalah terdapat faktor lain yang lebih
penting yang mendukung remaja untuk merokok. Karena, secara psikososial
Mahreni (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa pada periode masa remaja
keterikatan
remaja
dengan
keluarga
terutama
orangtua
mulai
melemah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemungkinan keluarga bukan lagi menjadi
role model yang utama bagi remaja. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya
di luar lingkungan rumah, dan nilai-nilai yang mereka anut lebih tertuju pada nilai
yang mereka anggap ideal yang sesuai dengan lingkungan dimana mereka biasa
berkumpul.
4.3.3 Pembahasan Hubungan Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok
di
SLTP
KP
10
Bandung.
termasuk
dalam
Hurlock
(1993)
perilaku
mengatakan
bahwa
merokok.
Kekuasaan
yang
pengakuan
sebagia
anggota
kelompok.
di
SLTP
KP
10
Bandung.
perilaku
merokok
yang
ditampilkan
sang
idola
dalam
iklan.
Selain itu, iklan merupakan media informasi yang baik bagi remaja. Akan tetapi,
tidak semua informasi yang remaja dapatkan memiliki nilai yang positif. sala
satunya adalah istilah yang digunakan dalam iklan ataupun kemasan rokok yang
mengambarkan seolah-olah rokok merupakan produk yang aman karena kandungan
zat yang terdapat dalam rokok tersebut lebih rendah. Sehingga pada akhirnya
remaja merasa boleh untuk merokok bahkan kemungkinan mengkonsumsi lebih
banyak
4.4
yang
akan
berdampak
Keterbatasan
pada
ketergantungan.
Penelitian
mereka
dirahasiakan.
Tidak ada instrumen yang khusus untuk mengungkap variabel yang akan diteliti.
Penulis hanya mengembangkan teori yang ada. Untuk mengantisipasi adanya
instrumen yang kurang baik, penulis mencoba membuat kisi-kisi instrumen terlebih
dahulu, dan melakukan pengujian terhadap instrumen yang dibuat, untuk melihat
layak
Untuk
tidaknya
instrumen
istrumen
stres,
dimana
digunakan
instrumen
dalam
diadopsi
dari
penelitian.
instrumen
yang
hal
tersebut
dengan
melakukan
uji
instrumen
dan
apa
yang
terjadi
BAB
sesungguinstru
V
KESIMPULAN
DAN
SARAN
5.1
Kesimpulan
10
Bandung,
dapat
ditarik
kesimpulan;
keluarga
untuk
merokok.
untuk
merokok.
iklan
untuk
merokok
keluarga
mendukung
remaja
untuk
merokok.
7.
73Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Stress dengan Perilaku
Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dengan
keeratan
hubungan
tidak
erat
tetapi
pasti.
keeratan
hubungan
atau
cukup
berarti,
keeratan
hubungan
atau
cukup
berarti.
5.2
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, agen sosialisasi perilaku merokok dalam penelitian ini
adalah lingkungan teman sebaya dan iklan. Selain itu perilaku merokok berkaitan
juga dengan aspek emosional yakni stress. Untuk itu saran dari penelitian ini :
5.2.1
Untuk
Instansi
Pendidikan
(SLTP
KP
10
Bandung)
diperlukan
kegiatan
positif
yang
bersifat
kelompok
yang
dapat
dalam
bergaul
dan
memilih
teman.
Adapun dilihat dari segi emosional, remaja merokok berkaitan dengan stres, untuk
itu diperlukan adanya pembinaan suatu hubungan yang baik antara guru dan
remaja, dengan harapan remaja bisa lebih terbuka akan masalah yang dihadapinya
dan guru bisa membantu remaja dalam mencari penyelesaian dari masalah yang
menimbulkan
stres
5.2.2
pada
Untuk
remaja.
Petugas
Kesehatan
hasil
penelitian,
didapatkan
suatu
kondisi
dimana
terdapat
kecenderungan remaja mengalami stres, yang pada akhirnya dapat berujung pada
upaya kompensatoris remaja menanangi stres tersebut dengan merokok. Sehingga,
itu diperlukan upaya preventif maupun kuratif yang lebih menekankan pada
pendekatan emosional / afeksional, dengan memberikan penyuluhan maupun
pelatihan mengenai manajemen stres pada remaja, selain pendekatan kognitif
berupa pemberian informasi akan bahaya atau dampak negatif dari merokok.
5.2.3
Untuk
Peneliti
dan
Penelitian
Selanjutnya
Dalam penelitian ini tidak didapatkan faktor mana yang paling dominan yang
berhubungan dengan perilaku remaja, untuk itu diperlukan penelitian lanjutan
yang mengkaji hal tersebut. Selain itu, ditemukan bahwa tingkat stres pada remaja
di SLTP KP 10 sebagian besar berada pada tingkat stres yang berat, untuk itu
diperlukan penelitian lanjutan mengenai faktor apa yang menyebabkan tingginya
tingkat stres pada remaja tersebut.