Anda di halaman 1dari 41

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES,

DUKUNGAN KELUARGA, DUKUNGAN TEMAN DAN DUKUNGAN IKLAN DENGAN


PERILAKU REMAJA TERHADAP ROKOK
DI SLTP KARYA PEMBANGUNAN (KP) 10 BANDUNG

BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang Masalah
Masalah rokok saat ini menjadi topik yang sedang hangat dibicarakan. Telah
banyak artikel dalam media cetak dan pertemuan ilmiah, ceramah, wawancara
baik di radio maupun televisi serta penyuluhan mengenai bahaya merokok dan
kerugian yang ditimbulkan akibat rokok. Berbagai kebijakan dan aturan yang
memuat sanksi bagi para perokok dipublikasikan secara terus-menerus. Bahkan
setiap tanggal 31 Mei, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan sebagai Hari
Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day). Melalui peringatan hari tanpa
rokok sedunia ini, diharapkan menjadi kesempatan bagi kita untuk berfikir kembali
dan menyadari akan bahaya dan dampak rokok baik bagi perokok itu sendiri
maupun lingkungan disekitarnya.
1Rokok merupakan zat aditif yang mengancam kesehatan karena didalamnya
mengandung zat-zat yang membahayakan tubuh. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
dan beberapa artikel ilmiah menerangkan bahwa dalam setiap kepulan asap rokok
terkandung 4000 racun kimia berbahaya dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik
(merangsang tumbuhnya kanker). Beberapa zat yang berbahaya tersebut
diantaranya tar, karbonmonoksida (CO) dan nikotin (Abadi, 2005).
Melalui zat yang dihisap dalam rokok, hampir sekitar 90 % kanker paru-paru tidak
dapat diselamatkan. (Basyir, 2005). Selain itu rokok dapat menyebabkan kanker
mulut, bibir, kerongkongan, penyakit jantung, bahkan disinyalir dapat
memperpendek usia. Menurut perhitungan Fakultas kedokteran di Inggris, rata-rata
setiap perokok kehilangan 5 menit umurnya setiap menghisap sebatang rokok
(Nainggolan, 2000).
Dalam sebuah study yang dilakukan di Jepang, seperti yang diberitakan The Asahi
Shimbun terbitan 23 April 2004, didapatkan hasil bahwa 29 % (80.000 orang) pada
pria dan 4 persen (5000 orang) pada wanita penderita kanker di jepang disebabkan
oleh rokok (Basyir, 2005).
Di Indonesia sendiri angka kejadian penyakit akibat rokok menurut mantan menteri
kesehatan Achmad Sujudi, tercatat sebanyak 6,5 juta jiwa menderita penyakit
akut akibat merokok. Antara lain berupa kanker paru-paru, jantung, dan gangguan
peredaran darah. Achmad sujudi menambahkan bahwa ''Bayi yang lahir dari ibu
yang merokok juga memiliki berat badan yang rendah serta bisa menimbulkan
sindroma bayi meninggal mendadak (Sudden Death).'' (www.republikaonline.com,
2003) .
Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 1,2 miliar penduduk dunia merupakan
perokok, dan 800 juta di antaranya terdapat di negara berkembang. Besarnya
jumlah perokok tersebut menyebabkan angka kematian akibat merokok saat ini
adalah 4 juta jiwa setiap tahun, yang berarti terdapat sekitar satu kematian dalam
setiap 8 menit (Burhan, 2004).

Melihat dari data akibat yang disebabkan oleh bahaya merokok tersebut, tidak
heran bahwa di negara maju aktivitas merokok mulai dibatasi, dan jumlah perokok
semakin berkurang. Menurut badan kesehatan WHO dinegara maju prevalensi
jumlah perokok menurun 1,1% setiap tahunnya, akan tetapi dinegara berkembang
seperti Indonesia jumlah perokok ini 2,1% meningkat setiap tahunnya (A.F Muchtar,
2005). Aktivitas merokok dianggap sebagai suatu trend di Indonesia. Riset WHO
1998 menunjukan, kelompok perokok aktif usia 10 tahun ke atas di Indonesia
tercatat 59,04% untuk pria dan 4,85%untuk wanita. Dari kelompok usia tersebut
12,8%-27,7% pria berusia muda (young males) dan 0,64%-1% adalah wanita muda
(young females) (Syahrir, 2003).
Jumlah perokok di Indonesia menempati urutan terbesar keempat dunia dengan
kekerapannya sekitar 60% pada laki-laki dan 4% pada perempuan yang berumur
lebih dari 15 tahun (Burhan, 2004). Sedangkan di Asia Indonesia menempati urutan
kedua terbesar setelah Kamboja dengan prosentasi perokok pria; Kamboja 54%,
Indonesia 53%, Vietnam 50%, Malaysia 49% dan Thailand 39% (Basyir, 2005).
Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, bahwa kebiasaan merokok justru dimulai
pada usia yang sangat muda. Psikolog A Kasandra Oemarjoedi (2004) mengatakan,
jika dua puluh tahun yang lalu umur rata-rata seseorang mulai merokok adalah
pada usia 16 tahun (remaja tingkat SLTA), estimasi sekarang seseorang mulai
merokok pada usia remaja 12-14 tahun (remaja tingkat SLTP). Oemarjoedi
menambahkan, berdasarkan data Survei Yayasan Pelita Ilmu lebih dari tiga juta
remaja menggunakan rokok tembakau, dan dari keseluruhan jumlah tersebut,
hampir 20 persen adalah siswa SLTP. Bahkan data dari tiga tahun terakhir, 30
persen dari jumlah anak SLTP adalah perokok aktif. Satu dari tiga siswa menjadi
perokok permanen sampai dia dewasa dan meninggal pada usia yang sangat muda
yang diakibatkan oleh penyakit yang disebabkan karena merokok (Daryanto,2004).
Secara psikologis remaja SLTP (usia 12-16 tahun) berada pada tahapan
perkembangan remaja awal. Periode masa remaja awal dikatakan sebagai masa
transisi dimana jiwa anak masih labil. Hal ini disebabkan karena anak belum
menemukan pegangan hidup yang mantap. Akibat labilnya jiwa anak, menjadikan
mereka sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, baik yang bersifat
positif maupun negatif (Kartono, 1995). Hurlock (1993) mengungkapkan bahwa
masa remaja awal memiliki beberapa ciri tahapan perkembangan yaitu tahap
periode peralihan, periode perubahan, periode bermasalah dan periode pencarian
identitas. Pada periode pencarian identitas, remaja cenderung meniru tingkah laku
orang dewasa yang dianggap menunjukan kematangan dan kemapanan dalam hal
identitas diri. Proses identifikasi remaja terhadap orang dewasa menyebabkan
mereka mengadopsi perilaku yang ada pada orang dewasa, salah satunya adalah
perilaku merokok. Merokok menjadi perilaku negatif yang umum dan bersifat legal
bagi para remaja.
Merokok pada remaja perlu mendapatkan perhatian besar. Penurunan sumber-daya
manusia dimasa yang akan datang menjadi sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi
yang disebabkan karena remaja terbiasa dengan perilaku yang tidak sehat. Taylor
(Syahrir 2003) menyatakan bahwa perilaku merokok pada remaja dapat menjadi
bagian dari serangkaian sindrom perilaku bermasalah secara umum, misalnya:
penggunaan obat-obatan terlarang, alkoholik dan perilaku sex bebas.
SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 merupakan instansi pendidikan yang berada di
wilayah Bandung Timur, tepatnya di Jl. Raya A.H. Nasution No 25A. Sekolah ini
merupakan sekolah gabungan antara SLTP, SMU dan SMK Karya Pembangunan.
Instansi pendidikan ini merupakan sekolah swasta yang banyak diminati di wilayah

Bandung Timur. Hal ini terlihat dari banyaknya siswa yang terdaftar di SLTP KP 10.
Jumlah siswa secara keseluruhan di SLTP KP berjumlah 985 siswa (488 siswa lakilaki dan 497 siswa perempuan). Dari 985 siswa tersebut terbagi menjadi 320 siswa
kelas I, 376 siswa kelas II dan 289 siswa kelas III.
Berdasarkan hasil study pendahuluan yang dilakukan pada bulan April 2006,
didapatkan informasi dari guru bimbingan konseling SLTP KP 10 Bandung, bahwa di
sekolah tersebut belum pernah dilakukan penelitian yang berkaitan dengan
perilaku merokok siswa. Padahal dari beberapa permasalahan mengenai kenakalan
remaja di SLTP KP 10, merokok menjadi masalah dengan tingkat prosentase
tertinggi (25-30%) dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan, perkelahian /
tawuran dan, perkumpulan remaja atau gangster, yang hanya tercatat (< 10%).
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang siswa kelas III didapatkan
data bahwa semua siswa tersebut merokok, bahkan mereka mengatakan, hampir
seluruh anak laki-laki di kelasnya sudah pernah merokok. Adapun untuk kelas II
mereka mengatakan hanya sekitar (30-35%) yang merokok, dan kelas I (10%).
Kebanyakan siswa di SLTP KP merokok diluar lingkungan sekolah, mereka
bergerombol disuatu tempat yang memang memudahkan mereka mendapatkan
rokok. Padahal SLTP KP sendiri memiliki kebijakan yang tertulis dalam perjanjian
antara pihak sekolah dengan calon siswa mengenai larangan membawa ataupun
merokok didalam maupun diluar lingkungan sekolah, termasuk sanksi tegas yang
menjerat apabila larangan ini di langgar oleh siswa.
Adapun informasi yang penulis dapatkan dari Badan Musyawarah Guru Pembimbing
(MGP) kota Bandung perilaku merokok termasuk kedalam 6 bentuk perilaku
bermasalah yang ada pada remaja SMP. Munculnya perilaku bermasalah terutama
merokok terjadi pada sekolah-sekolah dengan kriteria sebagai berikut: 1) sekolah
yang menerima siswa tanpa testing, 2) sekolah yang berada di daerah pinggiran
kota, 3) sekolah yang kurang komitmen terhadap penerapan disiplin, dan 4)
sekolah yang berada dekat keramaian.
Banyak hal yang dapat menjadi resiko timbulnya perilaku merokok pada anak usia
remaja. Subanada (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa faktor resiko
munculnya perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh berberapa faktor
diantaranya: 1). Faktor psikologis/kepribadian yang terdiri dari faktor psikososial
yang meliputi stress, rasa bosan, rasa ingin tahu, ingin terlihat gagah, rendah diri
dan perilaku yang menunjukan pemberontakan menjadi hal yang mengkontribusi
remaja untuk mulai merokok. Selain itu, secara psikologis perilaku merokok pada
remaja diasosiasikan juga dengan gangguan psikiatrik. 2). Faktor biologis, meliputi
fungsi kognisi, etnik, genetik dan jenis kelamin. 3). Faktor lingkungan, yakni
orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan reklame atau iklan menampilkan
sang idola remaja, 4). Faktor regulatori yakni adanya pajak atau bea cukai yang
tinggi terhadap rokok dengan maksud untuk menurunkan daya beli masyarakat
terhadap rokok, dan pembatasan fasilitas / lokasi untuk merokok.
Faktor psikologis dapat dilihat dari kajian perkembangan remaja lingkungan,
artinya perilaku merokok selain disebabkan oleh faktor dalam di, Erikson
mengatakan bahwa setiap remaja akan mengalami fase krisis dalam proses
pencarian jati dirinya yang disebabkan karena adanya perubahan fisik dan
psikososial. Ketidaksesuaian antara perkembangan fisik, psikis dan sosial
menyebabkan remaja berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Merokok
menjadi alternatif yang mereka pilih karena dianggap dapat mengurangi
ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress (Helmi & Komalasari, 2006).
Selain itu, perilaku merokok merupakan perilaku yang dipelajari, sehingga perlu

ada agen sosialisasi dalam proses munculnya perilaku tersebut, dan lingkungan
merupakan faktor penting yang pertama kali memperkenalkan remaja terhadap
perilaku merokok. Aktivitas merokok yang ada di lingkungan menstimulasi remaja
untuk mencoba hal yang sama agar dapat diterima sebagai anggota dari lingkungan
tersebut (A.F Muchtar 2005). Orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan iklan
merupakan faktor lingkungan yang mendorong remaja untuk merokok.
Berdasarkan faktor biologi, merokok merupakan perilaku yang diturunkan secara
genetik, dan perilaku ini lebih banyak terjadi pada mereka keturunan ras kulit
putih. Sedangkan berdasarkan faktor regulatori, perilaku merokok berkaitan
dengan daya beli masyarakat terhadap rokok yang akan terpengaruh oleh kebijakan
pemerintah melalui pajak atau bea cukai rokok. Selain itu adanya kebijakan
penentuan daerah bebas rokok, menjadi upaya yang diharapkan dapat mengurangi
konsumsi mayarakat akan rokok dan sekolah menjadi salah satu tempat yang
ditetapkan sebagai kawasan bebas rokok (Soetjiningsih, 2004).
Melihat dari faktor-faktor tersebut, dalam kesempatan ini penulis hanya
memfokuskan penelitian pada dua faktor yakni psikologis (stress) dan faktor
lingkungan yang meliputi dukungan keluarga, dukungan teman, dan dukungan
iklan. Adapun faktor biologi dan regulatori tidak menjadi lingkup penelitian dengan
pertimbangan; faktor biologis akan sangat sulit untuk diteliti, sedangkan berkaitan
dengan faktor regulatori, SLTP KP sendiri telah memiliki aturan mengenai larangan
membawa maupun melakukan aktivitas merokok baik di dalam maupun di luar
lingkungan pendidikan.
1. 2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut: apakah terdapat hubungan antara tingkat stress,
dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I. 3 Tujuan
I.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah diketahuinya hubungan antara tingkat
stress, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi gambaran perilaku merokok pada remaja SLTP KP 10
Bandung.
2. Untuk mengidentifikasi gambaran tingkat stres pada remaja di SLTP KP 10
Bandung.
3. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan keluarga untuk merokok pada
remaja di SLTP KP 10 Bandung.
4. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan teman untuk merokok pada remaja
di SLTP KP 10 Bandung.
5. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan iklan untuk merokok pada remaja di
SLTP KP 10 Bandung.
6. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Stress dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
7. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan keluarga
dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10
Bandung.
8. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan teman

dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10


Bandung.
9. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan Iklan di
media dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10
Bandung.
I. 4. Kegunaan
Melalui identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung., diharapkan dapat
berguna bagi ;
I.4.1 Instansi Pendidikan (SLTP KP 10 Bandung)
1. Sebagai gambaran bagi instansi mengenai perilaku merokok yang terjadi pada
siswa.
2. Sebagai bahan acuan untuk penegakan disiplin bagi siswa selanjutnya
3. Sebagai bahan pemikiran untuk evaluasi kebijakan yang telah diterapkan sekolah
bagi para siswa.
4. Sebagai landasan untuk pelaksanaan program incidental/ program extra yang
membahas mengenai masalah yang berhubungan dengan perilaku remaja.
I.4.2 Petugas Kesehatan (Instansi Puskesmas)
Menjadi masukan penting bagi instansi puskesmas setempat sebagai bahan pokok
untuk melakukan penyuluhan tentang bahaya merokok sesuai dengan program UKS
di SLTP Karya Pembangunan 10.
I.4.3 Peneliti dan Penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian atau data awal untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap permasalahan perilaku merokok pada anak remaja
SLTP.
1.5 Kerangka konsep
Subanada dalam Soetjiningsih 2004 mengemukakan bahwa terdapat beberapa
faktor resiko timbulnya perilaku merokok pada remaja, yakni :
1. Faktor psikologis/kepribadian yang terdiri dari faktor psikososial yang meliputi
stress, rasa bosan, rasa ingin tahu, ingin terlihat gagah, rendah diri dan perilaku
yang menunjukan pemberontakan. Selain itu perilaku merokok pada remaja
diasosiasikan dengan gangguan psikiatrik seperti depresi dan skizofrenia.
2. Faktor biologis, meliputi fungsi kognisi dimana para perokok menganggap bahwa
merokok dapat meningkatkan konsentrasi mereka. Faktor etnik, dimana remaja
yang berasal dari keturunan ras kulit putih di Amerika akan mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk menjadi seorang perokok dibandingkan dengan
keturunan lain. Selanjutnya faktor genetik, yang menyatakan bahwa dalam suatu
penelitian, seorang perokok mempunyai gen yang akan diturunkan yang dapat
mempengaruhi munculnya perilaku merokok pada generasi selanjutnya. Adapun
yang terakhir adalah faktor jenis kelamin, dimana pada saat ini perilaku merokok
tidak hanya muncul pada kaum pria tetapi juga pada wanita.
3. Faktor lingkungan yang meliputi perilaku merokok orangtua, saudara kandung,
teman sebaya dan reklame atau iklan rokok yang menampilkan sang idola remaja
sebagai role model mereka.
4. Faktor regulatori yakni adanya pajak atau bea cukai yang tinggi terhadap rokok
dengan maksud untuk menurunkan daya beli masyarakat terhadap rokok. Selain
itu, yang temasuk kedalam faktor ini adalah adanya pembatasan fasilitas untuk
merokok dengan diberlakukan kawasan bebas asap rokok.

Hasil konsensus FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun 2000


tentang opiat, masalah media dan penatalaksanaannya menyatakan, terdapat dua
hal yang menjadi faktor pendukung bagi seseorang untuk menggunakan zat aditif
termasuk rokok yaitu faktor psikologis dan lingkungan (Oktariani, 2006). Erikson
(Helmi & Komalasari 2006) mengungkapkan bahwa munculnya perilaku merokok
pada remaja dikarenakan adanya krisis aspek psikososial yang dialami dalam masa
proses mencari jati diri. Ketidaksesuaian antara perkembangan fisik, psikis dan
sosial menyebabkan remaja berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress.
Merokok menjadi alternatif yang mereka pilih karena mereka menganggap merokok
dapat mengurangi ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress.
Aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari kecemasan yang
dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang dapat memberikan
kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan simbolisasi
kejantanan atau kedewasaan (A.F Muchtar 2005).
Atkinson 1991 dalam bukunya psikologi perkembangan mengungkapkan bahwa,
dalam kondisi stress remaja cenderung mengulang perilakunya. Semakin sering
remaja berada dalam kondisi stress semakin mungkin merokok mereka lakukan
yang akhirnya berdampak pada ketergantungan.
Stress itu sendiri merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian antara
harapan dan pencapaian yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional.
Banyak hal yang dapat menyebabkan stress, terlambat dalam perjalanan,
kecemasan akan kondisi diri dan keluarga, ataupun tugas yang sudah ditunggu pada
batas waktu akhir. Ketidakmampuan mengatasi hal tersebut dengan baik akan
direfleksikan melalui perasaan emosional seperti marah, tegang, cemas bahkan
agresi. Padahal Earle mengungkapkan bahwa stress ini merupakan pergerakan
energi mobilized energy yang diperlukan agar seseorang dapat berfikir lebih
baik, sehingga dari ketidaksesuaian yang ada, seseorang dapat menganalisa
masalah dan memperbaikinya (Groenewald 2006).
Sedangkan berhubungan dengan faktor lingkungan, perilaku merokok muncul
disebabkan karena lingkungan merupakan faktor yang pertama kali mengenalkan
mereka pada perilaku merokok. Aktivitas merokok yang ada di lingkungan
menstimulasi remaja untuk mencoba hal yang sama agar dapat diterima sebagai
anggota kelompok dari lingkungan tersebut. Dengan lingkungan yang baik, remaja
akan menjadi tampak berkembang baik. Sebaliknya, lingkungan yang tidak baik
dapat menjerumuskan remaja kedalam perilaku yang tidak baik pula. Orangtua,
saudara kandung dan teman sebaya merupakan faktor lingkungan yang menjadi
agen sosialisasi perilaku merokok pada remaja. Orangtua yang merokok akan
berpengaruh besar terhadap penularan perilaku merokok pada anaknya (A.F
Muchtar 2005).
Pola interaksi remaja yang lebih banyak dihabiskan dengan teman sebaya juga
akan berpengaruh terhadap pembentukan perilaku remaja. Fenomena yang ada
adalah sebagian besar dari anggota kelompok remaja memiliki kebiasaan merokok.
Fakta yang diperoleh diantara remaja perokok dan nonperokok, 87% mempunyai
sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang merokok. Semakin banyak remaja
merokok, semakin besar kemungkinan teman-temannya merokok pula. Faktor
lingkungan lain yang tidak dapat dipisahkan adalah pengaruh iklan. Iklan rokok
yang menampilkan gambaran bahwa merokok merupakan lambang kejantanan dan
glamour, memicu remaja untuk mengikuti perilaku tersebut, terlebih apabila iklan
tersebut menampilkan sosok idola sang remaja (Basyir 2005).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dalam penelitian ini penulis mencoba

memfokuskan penelitian mengenai faktor stress, dukungan keluarga, dukungan


teman sebaya dan dukungan iklan yang akan dihubungkan dengan perilaku remaja
terhadap rokok.
1.6 Hipotesa
Hipotesa adalah jawaban sementara atau dalil sementara dari suatu penelitian
yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo, 72,
2002). Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah :
a. Hipotesa 1
H0 : Tidak terdapat hubungan antara stress dengan perilaku remaja terhadap rokok
di SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara stress dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
b. Hipotesa 2 :
H0 : Tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP di SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
c. Hipotesa 3 :
H0 : Tidak terdapat hubungan antara dukungan teman dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan teman dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
d. Hipotesa 4 :
H0 : Tidak terdapat hubungan antara dukungan iklan rokok dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan iklan rokok dengan
perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
1.7 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional
1. Stress
Stress merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian anatara harapan
dan pencapaian yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional (Groenewald
2006). Tingkat stress menurut gronewald dibagi menjadi : stress ringan, stress
sedang dan stress berat.
Stress dalam penelitian ini suatu kondisi dimana remaja berada dalam tekanan,
suasana hati yang tidak menyenangkan, atau menggalami gangguan proses
berfikir/mengambil keputusan.
Instrument baku dari Groenewald
ang telah di alih-bahasakan kedalam bahasa Indonesia.
Ordinal
Stress ringan
Stress sedang
Stress berat

2. Dukungan
Keluarga

Pada lingkungan keluarga menurut A.F Muchtar, remaja cenderung merokok


apabila orangtua (terutama ayah) atau kakak kandung merokok atau bersikap tidak
melarang.
3. Dukungan
Teman
Remaja untuk dapat diterima menjadi anggota kelompok sebaya harus dapat
menjalankan peran dan tingkah laku sesuai dengan harapan dan tuntutan
kelompok, dimana mayoritas anggota kelompok memiliki kebiasaan merokok. Maka
remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri
akibatnya (Hurlock 1993).
Dukungan keluarga dalam penelitian ini adalah ada tidaknya anggota keluarga yang
merokok. Serta ada tidaknya larangan.
Dukungan teman dalam penelitian ini adalah dorongan atau stimulus yang
diberikan oleh anggota kelompok sepermainan kepada siswa untuk melakukan
kegiatan merokok.
4.Dukungan
Iklan
Berita atau promosi baik di media cetak maupun elektronik yang bertujuan
mempengaruhi masa (remaja) untuk membeli atau mengikuti berita tersebut.
Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa
perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali
terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut, terlebih
jika jika iklan tersebut dibawakan oleh para model populer (artis) yang akan
menarik remaja untuk menjadi seperti idolanya (Basyir, 2005).
Dukungan iklan dalam penelitian ini adalah ada tidaknya pengaruh iklan dan
pengidolaan artis dalam iklan rokok yang mendorong remaja untuk mengikuti gaya
sang idola.
5. Perilaku
Remaja
terhadap
Rokok
Medical Research Council on Respiratory Symptoms 1986, membagi perilaku remaja
terhadap rokok menjadi 2 kriteria yakni : Seseorang dikatakan sebagai perokok
adalah mereka yang merokok sedikitnya 1 batang perhari sekurang-kurangnya
selama 1 tahun. Sedangkan bukan perokok merupakan orang yang tidak pernah
merokok paling banyak 1 batang perhari selama 1 tahun (Kurniawati, 2003). /hari).
Perilaku remaja terhadap rokok dalam penelitian ini dikategorikan menjadi remaja
perokok (merokok 1 batang / hari), dan remaja bukan perokok (remaja yang
tidak pernah merokok/ merokok < 1 batang / hari)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rokok bukan lagi menjadi barang aneh untuk saat ini, ketika disebut kata rokok,
yang terbayang adalah sebuah komoditi terlaris yang paling gampang di undang
untuk menjadi sponsor pada berbagai event olahraga ataupun pertunjunkan besar.
Sampai saat ini jarang sekali toko atau warung yang tidak menjual rokok, bahkan
dalam setiap toko grosir makanan rokok bisa mengisi 4050 % barang yang laris
terjual setiap harinya. Melihat fenomena ini sepertinya rokok telah menjelma
menjadi kebutuhan pokok layaknya sembako. Seandainya rokok itu sarat manfaat,
mengandung unsur gizi yang dibutuhkan tubuh, tentunya tidak masalah. Tetapi
rokok sudah diakui sebagai komoditi yang berbahaya bagi kesehatan (Basyir 2005).
2.1. Rokok dan Masalahnya
2.1.1 Sejarah rokok
22Rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu atau
bentuk lainnya, yang dihasilkan dari tanaman nicotina tabaccum, nicotina rustica
dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau
tanpa bahan tambahan. Nikotin merupakan zat atau bahan senyawa pirolidin yang
terdapat dalam nicotina tabaccum, nicotina rustica dan spesies lainnya atau
sintetisnya yang bersifat adiktif dapat menyebabkan ketergantungan. Sedangkan
tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatis yang bersifat karsinogenik (PP
No. 19 tahun 2003).
Tembakau itu sendiri, yang merupakan bahan utama untuk rokok ini telah dikenal
lama sebelum tahun 1492. Pada saat itu, pelaut Eropa yang menemukan benua
Amerika Colombus melihat orang-orang Indian menghisap tembakau dengan
menggunakan pipa dalam sebuah upacara tertentu sebagai lambang tata cara
ramah tamah. Penggunaan pipa berbentuk Y yang disebut tobacco yang
digunakan untuk menghisap tanaman yang cukup banyak mengandung racun ini
menjadi dasar mengapa tanaman tersebut dinamakan tembakau (Basyir 2005).
Istilah botanical tembakau itu sendiri, berasal dari kata nicotiana, istilah ini
diberikan dalam menghormati Duta Besar Perancis untuk Portugal yakni Jean Nicot
yang telah mengirim bibit tembakau kepada permaisuri Prancis, Catherine de
Medici. Penyebaran tembakau sendiri mulai diperkenalkan ke seluruh Asia dan
Afrika pada abad ke-17 oleh para ahli perdagangan Eropa (Nainggolan, 2000).
2.1.2 Zat yang Terkandung dalam Rokok
Seperti yang telah di ulas diatas, terdapat dua bahan utama zat yang terkandung
dalam setiap batang rokok yakni nikotin dan tar. Nikotin, didalam tubuh
menyebabkan perangsangan sistem saraf simpatis. Perangsangan saraf simpatis
(pelepasan adrenalin), berdampak pada peningkatan denyut jantung, tekanan
darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung.
Selain itu nikotin mengaktifkan trombosit yang beresiko pada timbulnya adhesi
trombosit (penggumpalan) ke dinding pembuluh darah termasuk pembuluh darah
jantung. Adapun tar, disebut sebagai zat karsinogenik, karena ampas tar yang
tersimpan terutama dalam saluran nafas akan mengubah struktur dan fungsi
saluran nafas dan jaringan paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar
(hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran
napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel
dan penumpukan lendir. Sedangkan pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan

jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Hal ini yang memungkinkan terjadinya
pembentukan sel kanker.
Selain kedua zat tersebut, masih terdapat zat-zat lain yang terkandung dalam
rokok dan berakibat buruk terhadap sistem tubuh. Nainggolan (2000)
mengungkapkan zat lain tersebut diantaranya :
Karbonmonoksida : merupakan sejenis gas yang tidak berbau yang dihasilkan dari
pembakaran zat arang atau karbon yang tidak sempurna. Gas ini memiliki sifat
racun yang dapat mengurangi kemampuan darah membawa oksigen. Hal ini
disebabkan karena unsur ini memiliki kemampuan yang cepat untuk bersenyawa
dengan haemoglobin, sehingga menggangu ikatan oksigen dengan haemoglobin,
yang pada akhirnya menyebabkan suplai oksigen ke seluruh organ tubuh berkurang.
Arsenic : sejenis unsur kimia yang digunakan untuk membunuh serangga.
Nitrogen oksida : Unsur kimia ini dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan
merangsang kerusakan dan perubahan kulit tubuh.
Ammonium karbonat : zat ini membentuk plak kuning pada permukaan lidah dan
menggangu kelenjar makanan dan perasa yang terdapat dipermukaan lidah.
Ammonia : merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan
hidrogen. Zat ini sangat tajam baunya dan sangat merangsang. Ammonia ini sangat
mudah memasuki sel-sel tubuh. Begitu kerasnya racun yang terdapat dalam zat ini
sehingga jika disuntikan sedikit saja kedalam tubuh bisa menyebabkan seseorang
pingsan.
Formic acid : jenis cairan yang tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat
mengakibatkan lepuh. Cairan ini sangat tajam dan baunya menusuk. Zat ini dapat
menyebabkan seseorang seperti merasa digigit semut. Bertambahnya zat ini dalam
peredaran darah akan mengakibatkan pernafasan menjadi cepat.
Acrolein : sejenis zat tidak berwarna, seperti aldehid. Zat ini diperoleh dengan
mengambil cairan dari gliserol dengan metode pengeringan. Zat ini seduikit banyak
mengandung kadar alkohol. Cairan ini sangat menganggu bagi kesehatan.
Hydrogen cyanide : sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar dan
sangat efisien untuk menghalangi pernapasan. Cyanide adalah salah satu zat yang
mengandung racun yang sangat berbahaya. Sedikit saja cyanide dimasukkan
langsung ke dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian.
Nitrous oksida : sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terisap dapat
menyebabkan hilangnya pertimbangan dan mengakibatkan rasa sakit.
Formaldehyde : zat yang banyak digunakan sebagai pengawet dalam laboratorium
(formalin).
Phenol : merupakan campuran yang terdiri dari kristal yang dihasilkan dari destilasi
beberapa zat organic seperti kayu dan arang, selain diperoleh dari ter arang.
Phenol terikat dengan protein dan menghalangi aktivitas enzim.
Acetol : hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat yang tidak berwarna yang bebas
bergerak) dan mudah menguap dengan alkohol.
Hydrogen sulfide : sejenis gas yang beracun yang gampang terbakar dengan bau
yang keras. Zat ini menghalangi oxidasi enxym (zat besi yang berisi pigmen).
Pyridine : cairan tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat digunakan
untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
Methyl chloride : adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu dimana hidrogen
dan karbon merupakan unsurnya yang utama. Zat ini adalah merupakan compound
organic yang dapat beracun.
Methanol : sejenis cairan ringan yang gampang menguap dan mudah terbakar.

Meminum atau mengisap methanol dapat mengakibatkan kebutaan dan bahkan


kematian.
2.1.3 Masalah yang Ditimbulkan Akibat Merokok
Melihat dari kandungan bahan-bahan kimia yang terdapat dalam rokok tersebut,
sangat jelas bahwa rokok merupakan bahan yang sangat berbahaya bagi tubuh dan
dapat menimbulkan berbagai macam gangguan pada sistem yang ada dalam tubuh
manusia. Bahkan WHO mencatat, zat-zat yang diuraikan diatas hanya merupakan
sebagian kecil zat yang terkandung dalam setiap batang rokok, yang sebenarnya
mengandung 4000 racun kima berbahaya. Hal ini menjelaskan bahwa rokok
benar-benar sangat berbahaya bagi tubuh. Berbagai penyakit mulai dari rusaknya
selaput lendir sampai penyakit keganasan seperti kanker dapat ditimbulkan bari
perilaku merokok. Beberapa penyakit tersebut antara lain :
a. Penyakit paru
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan
jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi)
dan kelenjar mukus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil,
terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan
penumpukan lendir. Pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel
radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada
perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala
klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit paru obstruksi menahun
(PPOM) (Sianturi 2003). Bahkan kanker paru merupakan jenis penyakit paling
banyak yang diderita perokok. Sekitar 90% kematian karena kanker paru terjadi
pada perokok (Basyir 2005)
b. Penyakit jantung koroner
Seperti yang telah diuraikan diatas mengenai zat-zta yang terkandung dalam rorok.
Pengaruh utama pada penyakit jantung terutama disebakan oleh dua bahan kimia
penting yang ada dalam rokok, yakni nikotin dan karbonmonoksida. Dimana nikotin
dapat mengganggu irama jantung dan menyebabkan sumbatan pada pembuluh
darah jantung, sedangkan CO menyebabkan supply oksigen untuk jantung
berkurang karena berikatan dengan Hb darah. Hal inilah yang menyebabkan
gangguan pada jantung, termasuk timbulnya penyakit jantung koroner.
c. Impotensi
Tjokronegoro, seorang dokter spesialis andrologi universitas Indonesia
mengungkapkan bahwa, nikotin yang beredar melalui darah akan dibawa keseluruh
tubuh termasuk organ reproduksi. Zat ini akan menggangu proses spermatogenesis
sehingga kualitas sperma menjadi buruk. Sedangkan Taher menambahkan, selain
merusak kualitas sperma, rokok juga menjadi faktor resiko gangguan fungsi seksual
terutama gangguan disfungsi ereksi (DE). Dalam penelitiannya, sekitar seperlima
dari penderita DE disebabkan oleh karena kebiasaan merokok.
d. Kanker kulit, mulut, bibir dan kerongkongan
Tar yang terkandung dalam rokok dapat mengikis selaput lendir dimulut, bibir dan
kerongkongan. Ampas tar yang tertimbun merubah sifat sel-sel normal menjadi sel
ganas yang menyebakan kanker. Selain itu, kanker mulut dan bibir ini juga dapat
disebabkan karena panas dari asap. Sedangkan untuk kanker kerongkongan,
didapatkan data bahwa pada perokok kemungkinan terjadinya kanker
kerongkongan dan usus adalah 5-10 kali lebih banyak daripada bukan perokok
(Basyir 2005).

e. Merusak otak dan indera


Sama halnya dengan jantung, dampak rokok terhadap otak juga disebabkan karena
penyempitan pembuluh darah otak yang diakibatkan karena efek nikotin terhadap
pembuluh darah dan supply oksigen yang menurun terhadap organ termasuk otak
dan organ tubuh lainnya. Sehingga sebetulnya nikotin ini dapat mengganggu
seluruh system tubuh.
f. Mengancam kehamilan.
Hal ini terutama ditujukan pada wanita perokok. Banyak hasil penelitian yang
menggungkapkan bahwa wanita hamil yang merokok meiliki resiko melahirkan bayi
dengan berat badan yang rendah, kecacatan, keguguran bahkan bayi meninggal
saat dilahirkan.
2.1.4 Perilaku terhadap Rokok
Merokok merupakan istilah yang digunakan untuk aktivitas menghisap rokok atau
tembakau dalam berbagai cara. Merokok itu sendiri ditujukan untuk perbuatan
menyalakan api pada rokok sigaret atau cerutu, atau tembakau dalam pipa rokok
yang kemudian dihisap untuk mendapatkan efek dari zat yang ada dalam rokok
tersebut (Basyir, 2005). Menurut Leventhal dan Clearly terdapat 4 tahap seseorang
menjadi perokok, diantaranya :
Tahap preparatory : seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan
mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat atau dari hasil bacaan. Halhal ini menimbulkan minat untuk merokok.
Tahap initiation : tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan
meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku merokok.
Tahap becoming a smoker : apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak
4 batang perhari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
Tahap maintenance of smoking : tahap ini perokok sudah menjadi salah satu
bagian dari cara pengaturan diri (self-regulating). Merokok dilakukan untuk
memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
Medical Research Council on Respiratory Symptoms 1986 dalam Kurniawati (2000),
mengungkapkan bahwa:
Seseorang dikatakan sebagai perokok adalah mereka yang merokok sedikitnya 1
batang perhari sekurang-kurangnya selama 1 tahun. Sedangkan bukan perokok
merupakan orang yang tidak pernah merokok paling banyak 1 batang perhari
selama 1 tahun.
2.1.5 Tipe Perokok
Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa kategori yakni tipe perokok
yang berhubungan dengan udara atau asap yang dihirup, tipe perokok berdasarkan
jumlah rokok yang dikonsumsi dalam 1 hari, dan tipe perokok yang dipengaruhi
oleh perasaan diri.
Berdasarkan udara atau asap yang dihirup, perokok dikategorikan menjadi:
Perokok pasif yakni mereka yang tidak merokok, tetapi berada di sekeliling
perokok dan menghirup asap rokok yang dihembuskan oleh perokok. Perokok aktif,
yakni mereka yang menghisap rokok secara langsung (www.kppk.com). Adapun
berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, tipe perokok dikategorikan menjadi ;
Perokok sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang
perhari, Perokok berat yakni mereka yang merokok sekitar 21-30 batang perhari,
Perokok sedang adalah perokok yang menghabiskan rokok 11-21 batang perhari,
dan Perokok ringan yang merokok sekitar 10 batang/hari (Basyir 2005).

Sedangkan berdasarkan pengaruh perasaan diri, Tomkins mengkategorikan perokok


menjadi ; Pertama, perokok yang dipengaruhi perasaan positif, dimana dengan
merokok seseorang merasakan bertambahnya rasa positif. Green dalam
psychological factor in smoking (1978) menambahkan, ada tiga sub pada tipe
perokok ini : pleasure relaxation, yakni perilaku merokok hanya untuk menambah
atau meningkatkan kenikmatan yang sudah diperoleh, misalnya merokok setelah
minum kopi atau makan. Stimulant to pick them up, yakni perilaku merokok
dilakukan hanya sekedarnya untuk menyenangkan perasaan. Pleasure of handling
the cigarette, yakni kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok,
khususnya pada perokok pipa. Kedua, perokok yang dipengaruhi oleh perasaan
negatif, dimana merokok dilakukan seseorang untuk mengurangi perasaan negatif
seperti stress, marah, gelisah dan cemas. Maka rokok dianggap sebagai penenang,
mereka menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan tidak enak yang dirasakan.
Ketiga, perilaku merokok yang adiktif (kecanduan), dimana mereka yang akan
menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang
dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan mencari rokok kapan pun mereka
inginkan. Keempat, perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka
merokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka. Tapi
karena benar-benar sudah menjadi kebiasaan rutinnya. Merokok menjadi perilaku
yang bersifat otomatis tanpa disadari (Basyir 2005).
2.2. Remaja dan Rokok
2.2.1 Batasan Remaja
Istilah remaja atau adolesccene berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti
tumbuh atau tumbuh dewasa. Istilah adolescene yang digunakan sampai
sekarang ini mempunyai arti luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial
dan fisik (Hurlock, 1993)
Santoso, (1993) mendefinisikan remaja sebagai individu yang sedang mengalami
perkembangan menuju kedewasaan. Mereka adalah anak-anak yang telah
meninggalkan usia 11 tahun dan akan menuju usia 21 tahun. Usia remaja
merupakan usia dimana individu mulai berinteraksi dengan masyarakat dan merasa
berada sama dalam satu tingkat dengan orang yang lebih tua darinya termasuk
dalam hal intelektualnya.
Secara umum masa remaja dibagi kedalam 3 tahap yang dilihat dari rentang usia.
Sampai saat ini masih banyak perbedaan mengenai klasifikasi remaja tersebut.
Gunarsa (2001) membagi tahapan masa remaja tersebut menjadi : remaja awal
(12-14 tahun), remaja pertengahan (15-17 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun).
2.2.2 Karakteristik Remaja
Masa remaja mempunyai karakteristik yang khas, dimana semua tugas
pekembangan pada masa ini dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola
perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi
masa dewasa. Oleh sebab itu, masa remaja disebut juga sebagai periode peralihan,
periode perubahan, periode bermasalah, periode pencarian identitas, dan periode
tidak realistik. Pada periode pencarian identitas, remaja yang tidak ingin lagi
disebut sebagai anak-anak, berusaha menampilkan atau mengidentifikasi perilaku
yang menjadi simbol status kedewasaan. Salah satu perilaku yang muncul adalah
perilaku merokok yang mereka anggap sebagai simbol kematangan, dimana
perilaku ini seringkali dimulai pada usia sekolah menengah pertama (Hurlock
1993).
Handayani (2006) mengungkapkan bahwa secara umum, remaja memiliki tugas

perkembangan yang harus dilaluinya dengan baik. tugas perkembangan tersebut


antara lain :
1. Remaja dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara
efektif
Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut
terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan orang lain
atau tokoh tertentu.
2. Remaja dapat memperoleh kebebasan emosional dari orangtua
Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku
"pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini
sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di
rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah. Hal
tersebut tentunya akan membuat remaja memiliki kebebasan emosional dari luar
orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang senasib
dengannya.
3. Remaja mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin
Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya
pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya
adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja yang
sukses memasuki tahap perkembangan ini.
4. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
Banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Bila remaja ditanya
mengenai kelebihan dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat menjawab
tentang kekurangan yang dimilikinya dibandingkan dengan kelebihan yang
dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut belum mengenal
kemampuan dirinya sendiri. Bila hal tersebut tidak diselesaikan pada masa remaja
ini tentu saja akan menjadi masalah untuk tugas perkembangan selanjutnya (masa
dewasa atau bahkan sampai tua sekalipun).
5. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Skala nilai dan norma biasanya diperoleh remaja melalui proses identifikasi dengan
orang yang dikaguminya terutama dari tokoh masyarakat maupun dari bintangbintang yang dikaguminya. Dari skala nilai dan norma yang diperolehnya akan
membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi seperti siapakah aku"?,
sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam mengendalikan gejolak dalam
dirinya.
Secara psikososial, remaja mulai memisahkan diri dari orangtua. Kebutuhan
mereka akan kebebasan menyebabkan remaja lebih banyak menghabiskan waktu di
luar rumah dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya, sehingga
keterikatan mereka dengan orangtua berkurang. Pada umumnya remaja menjadi
anggota kelompok sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi sangat berarti
dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja. Melalui kelompok sebaya,
remaja bisa melatih kecakapan sosial, karena melalui kelompok sebaya, remaja
dapat mengambil berbagai peran (Mahreni dalam Soetjiningsih 2004).
Sangat besarnya pengaruh teman sebaya, maka dapat dimengerti bahwa teman
sebaya sangat berpengaruh pada pembentukan sikap, pembicaraan, minat,
penampilan dan perilaku dibandingkan dengan keluarga (Hurlock, 1993).
Sedangkan secara emosional, telah diketahui bahwa masa remaja dianggap sebagai
masa badai dan topan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai
akibat dari perubahan fisik dan hormonal. Hal ini dikuatkan dengan tekanan sosial
yang menuntut remaja menampilkan pola kehidupan sosial yang baru. Untuk

menghadapi hal tersebut sebagian besar remaja akan mengalami ketidakstabilan


demi penyesuaian. Kondisi tersebut menurut Erikson (Edelman, 1990) diistilahkan
sebagai kondisi stress pada remaja yang disebabkan perubahan fisik dan psikologis
yang terjadi secara bersamaan.
2.3. Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
Sama halnya dengan penggunaan zat-zat (substance) lainnya, terdapat beberapa
faktor resiko yang berpengaruh terhadap penggunaan rokok atau perilaku merokok
pada remaja.
Subanada (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa terdapat empat faktor
resiko bagi remaja sehingga mereka menjadi perokok. Keempat faktor tersebut
antara lain :
1. Faktor Psikologik
a. Faktor Psikososial
Aspek perkembangan sosial remaja antara lain: menetapkan kebebasab dan
otonomi, membentuk identitas diri dan penyesuaian perubahan psikososial
berhubungan dengan maturasi fisik. Merokok menjadi sebuah cara agar mereka
tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman
sebayanya. Istirahat, santai dan kesenangan, penampilan diri rasa ingin tahu rasa
bosan, sikap menentang dan stress mengkontribusi remaja untuk mulai merokok.
Selain itu rasa rendah diri, hubungan interpersonal yang kurang baik, putus sekolah
sosial ekonomi yang rendah dan tingkat pendidikan orangtua yang rendah serta
tahun-tahun pertama transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah juga
menjadi faktor resiko lain yang mendorong remaja mulai merokok.
b. Faktor psikiatrik
Studi epidemiologi pada dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok dengan
gangguan psikiatrik seperti skizofrenia, depresi, cemas dan penyalahgunaan zat-zat
tertentu. Pada remaja, didapatkan asosiasi antara merokok dengan depresi dan
cemas. Gejala depresi lebih sering pada remaja perokok daripada bukan perokok.
Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi mayor dan
penyalahgunaan zat-zat tertentu. Remaja yang menperlihatkan gejala depresi dan
cemas mempunyai resiko lebih besar untuk merokok dari pada remaja yang
asimtomatik. Remaja dengan gangguan cemas menggunakan rokok untuk
menghilangkan kecemasan yang mereka alami.
2. Faktor Biologik
a. Faktor Kognitif
Kesulitan untuk menghentikan kebiasaan merokok akibat dari kecanduan nikotin
disebabkan karena perokok merasakan efek bermanfaat dari nikotin. Beberapa
perokok dewasa mengungkapkan bahwa merokok memperbaiki konsentarsi. Telah
dibuktikan bahwa deprivasi nikotin menganggu perhatian dan kemampuan kognitif,
tetapi hal ini akan berkurang bila mereka diberi nikotin atau rokok. Studi yang
dilakukan pada dewasa perokok dan bukan perokok, memperlihatkan bahwa
nikotin dapat meningkatkan finger-tapping rate, respon motorik dalam tes fokus
perhatian, dan pengenalan memori.
b. Jenis kelamin
Pada saat ini, peningkatan kejadian merokok tidak hanya terjadi pada remaja lakilaki. Begitupun dengan wanita, wanita yang merokok dilaporkan menjadi percaya
diri, suka menentang dan secara social cakap.
c. Faktor Etnik
Kejadian merokok di Amerika Serikat cenderung lebih tinggi terjadi pada orangorang kulit putih dan penduduk asli Amerika, serta terendah pada orang Amerika

keturunan Afrika dan Asia. Laporan tersebut memberi kesan bahwa perbedaan
asupan nikotin dan tembakau serta waktu paruh kotinin antara perokok dewasa
Amerika keturunan Afrika dengan orang kulit putih adalah substansial. Hal ini
dapat menjelaskan mengapa ada perbedaan resiko pada beberapa etnik dalam hal
penyakit yang berhubungan dengan merokok.
d. Faktor genetik
Variasi genetik mempengaruhi fungsi reseptor dopamin dan enzim hati yang
memetabolisme nikotin. Kensekuensinya adalah meningkatnya resiko kecanduan
nikotin pada beberapa individu. Variasi efek nikotin dapat diperantarai oleh
polimorfisme gen dopamin yang mengakibatkan lebih besar atau lebih kecilnya
reward dan mudah kecanduan obat. Pada studi genetik molekular beberapa tahun
terakhir, individu dengan alela TaqIA (A1 dan A2) dan TaqIB (B1 dan B2) dari
reseptor dopamin D2 lebih mungkin merokok 100 kali atau lebih dalam hidupnya
dan mereka lebih awal memulai merokok dan lebih sedikit meninggalkannya.
3. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain
orangtua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok. Selain itu juga
karena paparan iklan rokok dimedia. Orangtua sepertinya memegang peranan
penting, dalam pembentukan perilaku merokok remaja. Sebuah studi kohort
terhadap siswa SMU didapatkan bahwa prediktor bermakna dalam peralihan dari
kadang-kadang merokok menjadi merokok secara teratur adalah orangtua perokok
dan konflik keluarga.
4. Faktor Regulatori
Peningkatan harga jual atau diberlakukannya cukai yang tinggi, diharapkan dapat
menurunkan daya beli masyarakat terhadap rokok. Selain itu pembatasan fasilitas
merokok dengan menetapkan ruang atau daerah bebas rokok diharapkan dapat
mengurangi konsumsi. Akan tetapi kenyataannya masih terdapat peningkatan
kejadian mulainya merokok pada remaja, walaupun telah banyak dibuat usahausaha untuk mencegahnya.
Hasil konsensus FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun 2000
tentang opiat, masalah media dan penatalaksanaannya, menyatakan terdapat dua
hal yang menjadi faktor pendukung bagi seseorang untuk menggunakan zat aditif
termasuk rokok yaitu faktor individu dan lingkungan (Oktariani, 2006).
Faktor individu, merupakan faktor yang muncul dari dalam diri remaja. Berkaitan
dengan faktor individu, perilaku merokok remaja selalu diasosiasikan dengan ciri
perkembangan mereka yakni rasa ingin tahu, proses identifikasi agar telihat seperti
dewasa dan ingin terlihat gagah (Hurlock 1993). Sedangkan Erikson
(Helmi&Komalasari 2006) mengungkapkan bahwa remaja mulai merokok karena
adanya krisis aspek psikososial yang dialami dalam masa proses mencari jati diri.
Ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial menyebabkan remaja
berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Mutadin (2002) yang mengatakan bahwa masa remaja dikenal
sebagai masa storm and stress (masa badai dan penuh stress) dimana terjadi
pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan
pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Merokok menjadi alternatif pilihan
mereka karena dianggap dapat mengurangi ketegangan dan membantu relaksasi
terhadap stress. Aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari
kecemasan yang dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang
dapat memberikan kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan
simbolisasi kejantanan atau kedewasaan (A.F Muchtar 2005).

Adapun faktor lingkungan, merupakan faktor eksternal yang berasal dari perilaku
merokok seseorang, terutama perilaku merokok yang ada di keluarga keluarga
(orangtua atau saudara kandung yang merokok), dan perilaku merokok teman
sebaya. Selain itu, berbagai upaya dilakukan oleh para produsen rokok untuk
mempengaruhi persepsi remaja terhadap rokok yang ditampilkan melalui iklan baik
di media cetak maupun elektronik.
Berdasarkan teori-teori yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap rokok
tersebut, bahasan akan dipersempit dengan hanya memfokuskan pada faktor
stress, dukungan keluarga, dukungan teman dan iklan.
2.3.1 Stress
Stress merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian antara harapan
dan pencapaian yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional. Banyak hal
yang dapat menyebabkan stress, terlambat dalam perjalanan, kecemasan akan
kondisi keluarga, ataupun tugas yang sudah ditunggu pada batas waktu akhir.
Ketidakmampuan mengatasi hal tersebut dengan baik akan direfleksikan melalui
perasaan emosional seperti marah, tegang, cemas bahkan agresi. Padahal Earle
mengungkapkan bahwa stress ini merupakan pergerakan energi mobilized energy
yang diperlukan agar seseorang dapat berfikir lebih baik, sehingga dari
ketidaksesuaian yang ada, seseorang dapat menganalisa masalah dan
memperbaikinya (Groenewald 2006).
Kesulitan mencari alternatif pemecahan masalah dengan baik menjadi kendala
yang sering dihadapi remaja. Kompensasi dari ketidakmampuan menyelesaikan
masalah tersebut dialihkan dengan melakukan aktivitas yang mereka anggap dapat
mengurangi ketegangan yang terjadi. Merokok menjadi pilihan karena efek
relaksasi yang mereka dapatkan dari rokok, yang pada akhirnya berdampak pada
kepuasan psikologis remaja (A.F Muchtar 2005). Kepuasan psikologis yang mereka
dapatkan mendorong untuk mengulangi perilaku merokok tersebut setiap kali
remaja berada dalam tekanan (stress). Hal ini senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Atkinson (1991) dalam bukunya Psikologi Perkembangan bahwa
dalam kondisi stress remaja akan cenderung untuk mengulangi perilakuknya.
Seseorang yang berada dalam tekanan (stress) mempunyai kemungkinan 2 kali
lebih besar untuk menjadi perokok dan akan sulit untuk berhenti bahkan untuk
mengatakan ingin berhenti dari aktivitas merokok tersebut. (Brandon 2000).
Brandon menambahkan bahwa terdapat beberapa cara manajemen stress yang
dapat diterapkan pada remaja sehingga dapat mengurangi kemungkinan remaja
untuk merokok yang disebabkan demi mendapatkan ketenangan akibat dalam
mengahdapi stres. Beberapa cara tersebut diantaranya, a). Remaja tidak
menghindar dari permasalahan yang sedang dihadapi. b). Remaja lebih
memperbanyak aktivitas yang positif. c) Membicarakan masalah dengan orang yang
bisa membantu dalam penyelesaian. d) Menyadari bahwa stress merupakan bagian
dari kehidupan.
2.3.2 Dukungan Keluarga
Anak-anak dengan orangtua perokok cenderung akan merokok dikemudian hari, hal
ini terjadi paling sedikit disebabkan oleh karena dua hal: Pertama, karena anak
tersebut ingin seperti bapaknya yang kelihatan gagah dan dewasa saat merokok.
Kedua, ialah karena anak sudah terbiasa dengan asap rokok dirumah, dengan kata
lain disaat kecil mereka telah menjadi perokok pasif dan sesudah remaja anak
gampang saja beralih menjadi perokok aktif (Nainggolan, 2000). Bahkan dalam
sebuah studi, dari para remaja perokok ditemukan bahwa 75% salah satu atau
kedua orangtua mereka merupakan perokok (Soetjiningsih 2004).

Aditama mengungkapkan bahwa jumlah remaja perokok lima kali lebih banyak
pada mereka yang orangtuanya merokok dibandingkan dengan orangtua yang tidak
merokok (Basyir, 2005). Resiko munculnya perilaku merokok remaja didukung pula
oleh perilaku merokok saudara kandung meraka. Remaja dengan orangtua dan
saudara kandung perokok memiliki kemungkinan 4 kali lipat untuk menjadi
perokok, apalagi jika mereka bersikap tidak melarang remaja untuk merokok (A.F
Muchtar 2005).
Hasil penelitian Kurniawati (2003) mengenai perilaku merokok remaja di Cimahi,
menerangkan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan
perilaku merokok remaja. Faktor keluarga memberikan kontribusi terhadap
perilaku merokok pada remaja sebesar 96,6%. Menurutnya perilaku merokok yang
ditampilkan keluarga menjadikan remaja meniru perilaku tersebut, terlebih bila
merokok sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga.
2.3.3 Dukungan Teman
Pada masa remaja, pola interaksi mereka lebih banyak dihabiskan dengan temanteman sebayanya. Teman sebaya mempunyai peran yang sangat berarti karena
pada masa tersebut remaja mulai memisahkan diri dari orangtua dan mulai
bergabung dengan teman sebaya. Kebutuhan untuk dapat diterima sering kali
membuat remaja berbuat apa saja agar dapat diterima oleh kelompoknya.
Sehingga dapatlah dimengerti bahwa remaja harus dapat menjalankan peran dan
tingkah lakunya sesuai dengan harapan kelompok agar dapat tetap bergabung
menjadi anggota kelompok. Mulai dari sikap, pembicaraan, minat dan penampilan
remaja dituntut untuk sesuai dengan kelompoknya. Demikian pula jika mayoritas
kelompok memiliki kebiasaan merokok, maka setiap anggotanya mau tidak mau
akan dan harus mengikuti aktivitas tersebut tanpa memperdulikan perasaan
mereka sendiri (Hurlock 1993).
Friedman dkk dalam hurlock 1993 mengungkapkan :
Kekuasaan yang mempengaruhi anggota kelompok hampir menuntut pengawasan
mutlak dari anggota kelompok terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan
sedikit contoh untuk meyakinkan setiap anggota kelompok bahwa mereka harus
mengikuti keputusan kelompok, atau kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat
yang lebih parah.
Berbagai fakta mengungkapkan semakin banyak remaja merokok, maka akan
semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga. Fakta tersebut
menyatakan 2 kemungkinan, yakni remaja yang terpengaruh oleh temantemannya, atau teman-teman remaja tersebut dipengaruhi olehnya. Diantara
remaja baik perokok maupun yang tidak merokok, 87 % memiliki satu atau lebih
sahabat yang merokok (Basyir, 2005).
Kurniawati (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa lingkungan teman
sebaya memberikan sumbangan efektif sebesar 93,8% terhadap munculnya perilaku
merokok pada remaja. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa semakin banyak
dukungan teman untuk merokok dapat mendorong seseorang untuk semakin
menjadi perokok.
2.3.4 Dukungan Iklan
Untuk menjaring konsumen yang lebih banyak, para produsen rokok mempunyai
cara yang handal. Berbagai iklan baik dalam bentuk reklame, poster maupun iklan
dalam media elektronik ditampilkan dengan maksud untuk merangsang para
konsumen mencoba produk yang mereka iklankan.
Berbagai istilah seperti low, light, mild pun digunakan produsen sehingga seolah-

olah rokok itu aman dan jumlah kandungan zatnya lebih rendah. Akibatnya, para
perokok merasa boleh merokok bahkan kemungkinan akan mengkonsumsi lebih
banyak karena mereka menganggap rokok yang dikonsumsinya hanya mengandung
sedikit zat. Padahal sebuah studi dalam Journal of The National Cancer Institute
menyebutkan bahwa kandungan zat dalam rokok tersebut tidak berkurang
sedikitpun. Bahkan jumlah tar dan nikotin yang dihisap dalam rokok tersebut
ternyata 8 kali lebih tinggi daripada yang diiklankan (Basyir 2005).
Gambaran bahwa perokok merupakan lambang kejantanan dan glamour dengan
diperankan oleh sosok idola remaja, menarik remaja untuk menjadi seperti
idolanya dan diharapkan dapat mempengaruhi persepsi remaja tentang rokok
(Kompas 2001). Bahkan Subanada (Soetjiningsih, 2004) memperkuat pendapat
tersebut dengan menyatakan bahwa reklame atau iklan tembakau diperkirakan
mempunyai pengaruh lebih kuat daripada pengaruh orangtua dan teman.
Selain berperan terhadap perubahan persepsi, iklan menjadi media penting bagi
remaja dalam memperolah informasi seputar rokok. Syahrir (2004) dalam
penelitiannya menegaskan bahwa sekitar 52,6% remaja mendapatkan informasi
tentang rokok dari iklan terutama iklan di media elektronik.. syahrir gi adap
perubahan persepsi, iklan menjadi media remaja dalam memperolah informasi
tentang rokok yang kurang komitmen t
2.4. Peran Perawat
Berdasarkan hasil konsesus keperawatan tahun 1983 dalam gafar (2000).
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif
serta ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat
yang mencakup seluruh siklus manusia. Keperawatan berupa bantuan yang
diberikan karena adanya kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan
pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara
mandiri. Bantuan yang diberikan ditujukan kepada penyediaan pelayanan
kesehatan utama (primary health care) dalam upaya mengadakan perbaikan
pelayanan kesehatan sehingga memungkinkan setiap orang mencapai kemampuan
hidup sehat dan produktif.
Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa perawat memiliki peran yang sangat
luas dalam menjalankan prakteknya. Dalam hal perilaku merokok, peran perawat
berkaitan dengan upaya pencegahan perilaku merokok yang sedang bergulir
dewasa ini. Program pencegahan tersebut didasarkan pada pendekatan psikososial
yaitu; 1). Pendekatan pengaruh sosial dan 2). Pendekatan melatih cara
menghadapi kehidupan.. Pendekatan pengaruh sosial didasarkan pada asumsi
bahwa model tersebut adalah faktor utama dalam memulai perilaku merokok dan
bahwa anak-anak dan remaja perlu diajarkan cara menahan tekanan sosial
terhadap merokok.program yang didasarkan pada pendekatan ini memfokuskan
pada; a). Membantu individu menjadi waspada terhadap pengaruh social yang
mepromosikan penggunaan tembakau, dan b). Mengajarkan tehnik khusus agar
tahan terhadap pengaruh tersebut seperi peran bermain, perilaku latihan dan peer
leader. Sedangkan pedekatan melatih cara menghadapi kehidupan didasarkan pada
asumsi bahwa yang menyebabkan merokok dan penggunaan zat-zat tertentu adalah
kurangnya intelegensi personal dan sosial. Beberapa deficit personal yang bisa
membuat seseorang menjadi peka terhadap penggunaan zat-zat tertentu adalah
rasa rendah diri, kurang komunikasi dan sosialisasi, kurangnya motivasi untuk

berprestasi dan kurangnya strategi untuk menghadapi stress. Program berdasarkan


pedekatan ini memberikan pelatihan pada bidang; peningkatan rasa percaya diri,
ketegasan, cara bekomunikasi, interaksi sosial, santai dalam menghadapi stress,
pemecahan masalah dan membuat keputusan. Dengan bertumpu pada program
tersebut perawat dapat menjalankan peran dan fungsinya baik sebagai health
educator, provider, conselor dan fungsi lainnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi yakni jenis
penelitian yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila
ada, seberapa eratnya hubungan tersebut, serta berarti atau tidaknya hubungan
itu (Arikunto,2002). Adapun tehnik pengambilan data dilakukan melalui
pendekatan cross sectional melalui instrumen kuisioner.
3.2 Variabel
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang
dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian
tertentu (Notoatmodjo, 2002). Dibagi menjadi dua yaitu variabel dependen (yang
terpengaruh) dan variabel independen (variabel bebas / yang mempengaruhi).
Variabel independen (X) dalam penelitian ini adalah stress pada remaja, dukungan
keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan di mana kesemua item tersebut
merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap
rokok sebagai variabel dependen (Y) dalam penelitian ini.

47
3.3 Populasi dan Sample
3.3.1 Populasi
Populasi adalah sekumpulan objek yang menjadi pusat perhatian/ penelitian, yang
daripadanya terkandung informasi yang ingin diketahui (Gulo, 2002). Perilaku
merokok dikalangan remaja terutama terjadi pada remaja pria, sehingga penulis
menetapkan bahwa populasi dalam penelitian ini adalah siswa laki-laki di SLTP KP
10 yang berjumlah 488 orang siswa.
3.3.2 Sample
Sample adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Menurut
Soekidjo Notoatmodjo, untuk populasi yang berjumlah kurang dari 10.000, maka
besar jumlah sample dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut
:
Keterangan :
n : besar sample N : jumlah populasi d : tingkat kekeliruan (5 %)
Jadi besar sample adalah :
= 219,8 dibulatkan menjadi 220 orang.
47 Adapun tehnik sampling yang digunakan adalah proportionate stratified random
sampling yaitu tehnik yang digunakan untuk menyempurnakan tehnik sampling
berstrata dengan pengambilan sampelnya seimbang atau sebanding dengan jumlah
subjek masing-masing strata, dengan menggunakan rumus menurut Notoatmodjo
2002 sebagai berikut:

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas didapatkan sample untuk tiap


angkatan sebanyak :
Sample kelas I : 75 orang
Sample kelas II : 79 orang
Sample kelas III : 66 orang
Setelah didapatkan jumlah sample masing-masing angkatan, pengambilan sample
dilakukan secara acak (random) melalui sistem pengundian.
3.4 Tehnik Pengumpulan Data
3.4.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data (Arikunto, 2005). Adapun metode pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan kuisioner.
Langkah awal dalam proses pengumpulan data adalah menentukan responden atau
subjek yang akan diteliti. Berdasarkan tehnik sampling yang digunakan, subjek
penelitian diambil dengan cara acak (random), yakni dengan mengundi responden
berdasarkan data absensi siswa yang dikeluarkan instansi sekolah (SMP Karya
Pembangunan). Setelah di undi dan diperoleh data siswa sesuai dengan jumlah
sampel yang diperlukan tiap angkatan, siswa yang telah terpilih tersebut
dikumpulkan dalam suatu tempat terpisah untuk kemudian menjadi responden
dalam penelitian.
3.4.2 Instrumen penelitian
Instrument penelitian, merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh
peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data (Arikunto, 2005). Untuk variable
stress instrument pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument
berbentuk skala, yakni sebuah pengumpul data yang berbentuk seperti daftar
cocok dengan alternative jawaban yang disediakan merupakan sesuatu yang
berjenjang. Pengkajian stress dilakukan dengan membuat pertanyaan dengan
jawaban berbentuk gradasi dari satu jenis kualitas (tingkat kualitas keseringan),
dari mulai selalu, sering, jarang dan tidak pernah. Instrument untuk mengkaji
variable stress yang digunakan dalam penelitian ini, merupakan instrument baku
yang dikembangkan oleh Andrea Groenwald, yang telah di alih bahasakan kedalam
bahasa Indonesia.
Sedangkan untuk variabel dukungan keluarga, dukungan teman dukungan iklan dan
perilaku remaja terhadap rokok, instrument yang digunakan adalah angket
tertutup dalam bentuk checklist, yakni angket yang disajikan dalam bentuk
sedemikian rupa sehingga responden tinggal memberikan tanda centang / checklist
() pada kolom jawaban yang sesuai (Arikunto 2005).
3.5 Rancangan Analisis Hasil Data Penelitian
Analisa data dilakukan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan serta untuk menguji secara statistik kebenaran
dari hipotesis yang telah ditetapkan. Adapun untuk melakukan analisis data
diperlukan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahap antara lain :
1. Pengkodean Data (data coding)
Pengkodean dapat merupakan suatu penyusunan data mentah (yang ada dalam
kuisioner) kedalam bentuk yang mudah dibaca oleh komputer.
2. Pemindahan Data ke Komputer (data entering)
Data entering adalah memindahkan data yang telah diubah menjadi kode kedalam
mesin pengolah data. Caranya adalah dengan membuat coding sheet (lembar
kode), direct entry ataupun optical scan sheet.

3. Pembersihan Data (data cleaning)


Data cleaning adalah memastikan bahwa data yang telah masuk sesuai dengan yang
sebenarnya. Prosesnya dilakukan dengan cara possible code cleaning (melakukan
perbaikan kesalahan pada kode yang tidak jelas/ tidak munghkin ada akibat salah
memasukan kode, contingency cleaning dan modifikasi (melakukan pengkodean
kembali / recode data yang asli.
4. Penyajian Data (data output)
Data output merupakan data hasil pengolahan, yang disajikan baik dalam bentuk
numeric maupun grafik.
5. Penganalisisan Data (data analyzing)
Langkah selanjutnya adalah analisis data, yakni proses pengolahan data untuk
melihat bagaimana menginterpretasikan data, kemudian menganalisis data dari
hasil yang sudah ada pada tahap hasil pengolahan data. Adapun analisis yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain :
3.5.1 Analisa Univariat
Untuk variable stress, pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala
likert, yakni dengan menganalisa seberapa sering remaja mengalami situasi /
gejala yang menunjukan stress, dengan point penilaian (3) selalu (2) sering (1)
kadang-kadang (0) tidak pernah. Kemudian setelah ditabulasikan, hasil
dikategorikan berdasarkan kategori stress menurut Groenewald (2006) menjadi :
Skor antara 0 20 : stress ringan
Skor antara 20 40 : stress sedang
Skor antara 40 60 : stress berat
Sedangkan angket yang digunakan untuk mengukur tentang dukungan keluarga,
dukungan teman dan dukungan iklan setiap jawaban Ya diberi nilai 1 (satu), dan
jawaban Tidak diberi nilai 0 (nol). Tiap responden akan memperoleh nilai sesuai
pedoman penilaian tersebut.
Analisa data untuk variable dukungan keluarga, dukungan teman dan iklan, dimana
hasil ukur dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu ada dan tidak ada, dilakukan
dengan menggunakan rumus T skor median. Adapun rumus tersebut adalah sebagai
berikut :
Keterangan :
X = Skor responden pada varibel yang hendak diubah menjadi skor T
X = Mean skor kelompok
S = Deviasi standar skor kelompok
Kemudian hasil perhitungan di tafsirkan dengan kriteria :
Apabila : T 50 skor T = ada dukungan
T < 50 skor T = tidak ada dukungan
3.5.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variable yaitu
variabel independent dan dependen. Sesuai dengan tujuan penelitian maka analisa
bivariat ini meliputi hubungan antara stress pada remaja, dukungan keluarga,
dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di
SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung. Dalam hal ini analisa data masingmasing variabel menggunakan uji chi square, adapun rumus uji ini adalah :
Keterangan : X Chi Square
f = Frekuensi Observasi
f = Frekuensi Harapan
Kemudian hasil X2 hitungan dibandingkan dengan X2 tabel dengan tarap signifikan
5 % dan dk = 1 dan 2 (X2 tabel = 3,481 dan 5,591). Bila hasil X2 hitungan lebih

besar dari X2 tabel berarti didapatkan hubungan signifikan. Jadi dapat disimpulkan
bahwa H1 diterima (berarti ada hubungan antara stress pada remaja, dukungan
keluarga, dukungan teman dan iklan dengan perilaku merokok pada siswa).
Selain itu bisa juga dengan menggunakan cara probabilistic, yakni dengan
menggunakan SPSS for windows 13,0 dapat dihitung nilai P (P value), dengan taraf
kesalahan 5% ( = 0.05). Jika P value < dari 0,05, maka dapat dinyatakan bahwa H1
diterima yang berarti terdapat hubungan antara variable dependen dan variable
independent.
Selanjutnya untuk mengetahui derajat hubungan antara variable stress pada
remaja, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, digunakan
analisa contingensi coefficient (nilai C), bila nilai C mendekati nilai C maksimal
maka keeratan hubungan bersifat erat. Adapun rumus contingensy coefficient
adalah :
C=
Keterangan :
C = Koefisien kontingensi
X2 = Harga dari kontingensi yang diperoleh
N = Jumlah sampel
Interpretasi makin dekat harga C kepada C maksimal, maka makin besar derajat
kontribusi antara variable. Dengan kata lain, variable yang satu makin berkaitan
dengan variable yang lain. Sugiyono 2005 mengkategorikan tingkat hubungan atau
keeratan antara kedua variabel sebagai berikut :
Tabel : Pengkategorian Tingkat Hubungan
Korelasi
Kriteria
0,00 0,199
0,20 - 0,399
0,40 - 0,599
0,60 - 0,799
0,80 - 1,000
Hubungan sangat tidak erat / bisa diabaikan
Hubungan tidak erat
Hubungan sedang
Hubungan erat
Hubungan sangat erat
3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
3.6.1 Uji validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengukur sejauh mana tingkat kesahihan suatu
instrumen. Uji validitas ini dilakukan terhadap setiap item pertanyaan yang
diajukan. Tehnik uji validitas terdiri dari 2 bentuk yakni validitas logis dan
vaklditas empiris. Adapun validitas logis terbagi lagi menjadi 2 bentuk yakni
validitas isi / contens validity (instrumen yang dibuat sesuai dengan isi yang akan
diungkap) dan validitas konstruksi / construct validity (instrumen dibuat dalam
bentuk yang mudah dipahami disesuaikan dengan aspek yang akan di ungkap).
Sedangkan validitas empiris, yakni tehnik uji validitas dimana setelah instrumen
dibuat, kemudian di uji dan diolah melalui rumusan perhitungan (Arikunto, 2005).
Untuk mengukur tingkat stress instrumen yang digunakan merupakan instrumen
baku yang dikembangkan oleh Andrea Groenewald yang kemudian di alih

bahasakan ke bahasa Indonesia, tehnik uji valitidas empiris untuk veriabel stres
yang memiliki skala ordinal dengan skor berupa tingkatan, digunakan rumus
koefisien validitas dengan korelasi item total (Azwar, 2001) dengan rumus sebagai
berikut ;
Keterangan :
Koefisien korelasi skor item-total sebelum dikoreksi
Deviasi standar skor suatu item
Deviasi standar skor tes.
Adapun untuk instrumen yang digunakan untuk mengukur variable dukungan
keluarga, teman, dan dukungan iklan, tehnik uji validitas empiris yang digunakan
adalah tehnik koefisien Korelasi Point Biserial, karena tipe jawaban setiap item
pertanyaan berupa 2 alternatif jawaban (dikotomis yang diberi nilai 1 & 0) dengan
skala nominal (Arikunto, 2005).
Masrun (Sugiyono 2005) mengungkapkan bahwa item pertanyaan yang dikatakan
valid jika r minimum = 0,30. semakin positif dan semakin besar nilai r, maka item
tersebut dikatakan semakin valid.
Dalam penelitian ini, uji coba instrumen dilakukan sebanyak 2 kali. Pertama, uji
coba dilakukan di SMP Karya Pembangunan 10 dengan jumlah responden sebanyak
30 orang. Adapun hasil perhitungan terlampir. Untuk instrumen yang kedua,
dilakukan karena hasil uji coba instrumen yang pertama menunjukan bahwa
instrumen yang di buat belum layak untuk dijadikan alat penelitian. Untuk itu
dilakukan revisi atau perbaikan terhadap instrumen yang tidak valid, dan kemudian
instrumen tersebut di uji coba-kan kembali di tempat yang berbeda yakni di SMP
Gunadharma, dengan jumlah responden sebanyak 20 orang. Adapun data hasil uji
coba instrumen terlampir.
3.6.2 Uji reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana tingkat kekonsistenan pengukuran dari suatu
responden ke responden yang lain atau dengan kata lain sejauh mana pertanyaan
dapat dipahami sehingga tidak menyebabkan beda interpretasi dalam pemahaman
pertanyaan tersebut. Sekumpulan pertanyaan untuk mengukur suatu variabel
dikatakan reliabel dan berhasil mengukur variabel yang kita ukur jika koefisien
reliabilitasnya lebih dari atau sama dengan 0,700 (Kaplan & Saccuzo, 1993). Uji
reliabilitas dilakukan setelah setiap item dalam alat ukur terbukti valid atau
setelah item yang tidak valid dihilangkan.
Untuk menguji reliabilitas instrumen stres, digunakan formulasi Alpha Crounch
Bach (Azwar, 2001)
Sedangkan untuk instrumen dukungan keluarga, dukungan teman sebaya, dan
dukungan iklan, dimana tipe jawaban berbentuk dikotomis dengan skor item
jawaban Ya bernilai (1) dan skor item jawaban Tidak bernilai (0). Tehnik uji
reliabilitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus koefisien
Reliabilitas Kuder dan Ricarhdson (K-R 20) (Arikunto 2005).
Kriteria reliabilitasnya adalah jika KR-20 0,70 maka dimensi kuesioner reliabel
(konsisten) dan jika KR-20 < 0,70 maka dimensi kuesioner tidak reliabel.
Hasil uji reliabilitas untuk instrumen stres diperoleh nilai koefisien reliabilitas
sebesar 0,820 untuk uji coba pertama dan 0,868 untuk uji coba yang kedua. Untuk
instrumen dukungan keluarga menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,708,

sedangkan untuk instrumen dukungan teman menunjukan koefisien korelasi sebesar


0,837, dan untuk instrumen dukungan iklan menunjukkan koefisien korelasi sebesar
0,714. Dengan demikian, maka instrumen penelitian ini dikatakan reliabel (hasil
lengkap dapat dilihat pada lampiran).
3.7 Langkah-Langkah Penelitian
3.7.1 Tahap Persiapan
Proses yang dilalui dalam tahap ini adalah mengadakan studi pendahuluan, studi
kepustakaan, memilih topik penelitian, penentuan lahan, penyusunan proposal
penelitian, seminar proposal, ujicoba dan perbaikan instrumen.
3.7.2 Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap ini dilakukan proses mendapatkan ijin penelitian, mendapatkan
informed consent dari responden, melakukan pengumpulan data dan melakukan
pengolahan dan analisa data.
3.7.3 Tahap Akhir
Pada tahap akhir penelitian ini dilakukan penyusunan laporan penelitian dan
penyajian hasil penelitian.
3.7.4 Perlindungan terhadap Subyek Penelitian
Hak-hak subyek penelitian harus dilindungi dan mengacu pada :
1. Kesediaan menjadi responden
2. Kebebasan pribadi, tidak ada paksaan
3. Tanpa indentitas serta dijaga kerahasiaan
4. Perlakuan yang wajar
5. Terlindung dari ketidak-nyamanan dan hal yang membahayakan.
3.8 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di institusi sekolah {SLTP Karya Pembangunan
(KP) 10 Bandung}, dengan rencana penelititian dilaksanakan tanggal 14 16
Agustus 2006.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian untuk mengetahui hubungan antara tingkat stress pada remaja,
dukungan keluarga, dukungan teman, dan dukungan Iklan dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP Karya pembangunan (KP) 10 Bandung yang dilaksanaka
pada bulan Agustus 2006, dengan jumlah responden sebanyak 220 responden yang
terbagi menjadi : sebanyak 75 responden kelas satu, 79 responden kelas dua, dan
66 responden kelas tiga. Dalam pembahasan ini akan dibahas dua bagian yaitu hasil
penelitian dengan analisis univariat, dan hasil penelitian dengan analisis bivariat,
yang selanjutnya dibagi dalam sub Bab 4.1, dan sub Bab 4.2 sebagai berikut.
4.1

Hasil

penelitian

dengan

analisis

univariat

Dalam sub Bab ini, akan dijelaskan dalam tabel secara rinci untuk tiap variabel,
dimana terdiri dari lima variabel, yaitu variabel perilaku remaja terhadap rokok,

dukungan keluarga, dukungan teman dekat, dukungan iklan, dan stress.


4.1.1

Ditribusi

Perilaku

Respoden

terhadap

Rokok

Hasil analisis mengenai perilaku responden terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung


dapat

dilihat

dalam

tabel

berikut:

47
61
Tabel

4.1.1

Distribusi

Perilaku

Responden

terhadap

rokok

Kategori
Jumlah

Responden

(orang)

Persentase

(%)

Merokok
60
27,27
Tidak

Merokok

160
72,73
Total
220
100,00
Sumber

Olah

Data

Berdasarkan data tabel 4.1 tentang perilaku responden terhadap rokok, bahwa
sebagian besar responden (72,73%) tergolong ke dalam kategori bukan perokok.
4.1.2

Distribusi

Stress

Responden

Hasil analisis mengenai tingkat stress responden di SLTP KP 10 Bandung dapat


dilihat
Tabel

dalam
4.1.2

tabel
Distribusi

Stress

berikut:
Responden

Kategori
Jumlah
Persentase
Ringan

Responden

(orang)
(%)

4
1,82
Sedang
70
31,82
Berat
146
66,36
Total
220
100,00
Sumber

Olah

Data

Berdasarkan data tabel 4.2 tentang distribusi tingkat stres pada responden,
terdapat kecenderungan remaja mengalami stres berat. Hal ini ditunjukan dengan
sebagian

besar

remaja

(66,36%)

berada

dalam

kategori

stres

berat.

4.1.3 Distribusi Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Dukungan Iklan Pada
Responden
Hasil analisis mengenai dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan
untuk merokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.1.3 Distribusi Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Iklan Pada
Responden
Kategori
Variabel
Ada
Tidak
f
%
f

ada

%
Dukungan

keluarga

163
74,09
57
25,91
Dukungan

teman

84
38,18
136
61,82
Dukungan

iklan

28
12,73
192
87,27
Sumber

Olah

Data

Berdasarkan data tabel 4.3 tentang dukungan keluarga, dukungan teman dan
dukungan iklan pada responden, dapat dilihat bahwa pada variabel dukungan
keluarga 163 responden (74,09%) tergolong ke dalam responden yang memiliki
keluarga yang mendukung untuk merokok, dan 57 responden (25,91%) sisanya
tergolong ke dalam responden yang memiliki keluarga yang tidak mendukung untuk
merokok. Sedangkan untuk variabel dukungan teman, 84 responden (38,18%)
tergolong ke dalam responden yang memiliki Teman Dekat yang mendukung untuk
merokok, dan 136 responden (61,82%) sisanya tergolong ke dalam responden yang
memiliki Teman Dekat yang tidak mendukung untuk merokok. Adapun untuk
variabel dukungan iklan, 28 responden (12,73%) tergolong ke dalam responden
yang mendapatkan dukungan iklan untuk merokok, dan 192 responden (87,27%)
sisanya tergolong ke dalam responden yang tidak mendapatkan dukungan iklan
untuk
4.2

merokok.
Hasil

penelitian

dengan

analisis

Bivariat

Dalam sub Bab ini, akan dijelaskan dalam tabel secara rinci Hubungan antara
tingkat Stress, Dukungan Keluarga, Dukungan Teman, dan Dukungan Iklan dengan

Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.


4.2.1 Analisis Hubungan Tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di
SLTP

KP

10

Bandung

Tahun

2006.

Hasil analisis mengenai hubungan tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap
rokok

di

SLTP

KP

10

Bandung

dapat

dilihat

dalam

tabel

berikut:

Tabel 4.2.1 Analisis Hubungan tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok

di

SLTP

KP

10

Bandung

Tahun

2006.

Stres
Perilaku

Remaja

Terhadap

Rokok

Total
X2
P

value

CC
Merokok
Tidak
F
%
f
%
F
%
8,232
0,000
0,27
Ringan
2
0,91
2
0,91
4
1,82
Sedang

Merokok

27
12,27
43
19,55
70
31,82
Berat
31
14,09
115
52,27
146
66,36
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan tabel tabulasi silang mengenai hubungan antara tingkat stres dengan
perilaku remaja terhadap rokok di atas, didapatkan informasi bahwa hasil uji chisquare sebesar 8,232. Adapun 2 tabel dengan db = 2 dan = 0,05 yakni sebesar
5,591. Hal ini menujukan bahwa nilai 2 hitung > 2 tabel, yang berarti Ho ditolak
sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat Hubungan antara tingkat stres
dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP. Selain itu, untuk menolak Ho,
dapat pula dilihat dari hasil perhitungan P value, dimana P value (0,000) <
(0,05). Adapun untuk melihat tingkat keeratan hubungan tersebut, dapat dilihat
dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,27 yang berarti hubungan tidak erat
tapi

pasti.

Data perhitungan chi-square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.

4.2.2 Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap


Rokok

di

SLTP

KP

10

Bandung

Tahun

2006.

Hasil analisis mengenai hubungan dukungan keluarga, dengan perilaku remaja


terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.2 Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja
terhadap

Rokok

di

SLTP

Kategori
Perilaku

KP

10

Bandung

Dukungan
Remaja

Tahun

2006.
Keluarga

Terhadap

Rokok

Total
X2
P

value

CC
Merokok
Tidak

Merokok

F
%
f
%
F
%
2,467
0,124
0,15
Ada
49
22,27
114
51,82
163
74,09
Tidak
11
5,00

Ada

46
20,91
57
25,91
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan tabel tabulasi silang mengenai hubungan dukungan keluarga dengan
perilaku remaja terhadap rokok di atas dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square
(2 hitung) sebesar 2,467. Adapun nilai 2 tabel dengan db 1 dan = 0,05 adalah
3,841. Hal ini menunjukan bahwa 2 hitung < 2 tabel, yang berarti Tidak
Terdapat Hubungan yang Signifikan antara dukungan keluarga dengan perilaku
remaja terhadap rokok. Nilai chi-square tersebut diperkuat dengan hasil
perhitungan

value

(0,124

>

(0,05).

Data perhitungan chi-square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.


4.2.3 Analisis Hubungan Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
di

SLTP

KP

10

Bandung

Tahun

2006.

Hasil analisis mengenai hubungan dukungan teman, dengan perilaku remaja


terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.3 Analisis Hubungan Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok

di

SLTP

KP

Kategori
Perilaku

10

Bandung

Dukungan
Remaja

Tahun

2006.
Teman

Terhadap

Rokok

Total
X2
P
CC
Merokok

value

Tidak

Merokok

f
%
f
%
f
%
39,19
0,000
0,55
Ada
43
19,55
41
18,64
84
38,18
Tidak

Ada

17
7,73
119
54,09
136
61,82
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan data tabulasi silang mengenai hubungan dukungan teman dengan

perilaku remaja terhadap rokok di atas dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square
(2 hitung) sebesar 39,19. Adapun nilai 2 tabel dengan db = 1 dan (0,05) adalah
3,841. Hal ini menunjukan bahwa 2 hitung > 2 tabel, yang berarti Ho ditolak
sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat Hubungan yang Signifikan antara
dukungan teman dengan perilaku remaja terhadap rokok. Nilai chi square
tersebut diperkuat dengan hasil perhitungan P value (0,000 ) < (0,05). Adapun
untuk melihat kuatnya hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien
kontingensi

yakni

sebesar

0,55

yang

berarti

hubungan

sedang.

Data perhitungan chi square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.

4.2.4 Analisis Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di
SLTP

KP

10

Bandung

Tahun

2006.

Hasil analisis mengenai hubungan dukungan iklan, dengan perilaku remaja


terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.4 Analisis Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok

di

SLTP

KP

Kategori
Perilaku

10

Bandung

Dukungan
Remaja

Tahun

2006.
Iklan

Terhadap

Rokok

Total
X2
P

value

CC
Merokok
Tidak
f
%
f
%

Merokok

f
%
31,538
0,000
0,50
Ada
20
9,09
8
3,64
28
12,73
Tidak

Ada

40
18,18
152
69,09
192
87,27
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan tabulasi silang di atas mengenai hubungan dukungan iklan dengan
perilaku remaja terhadap rokok dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square (2
hitung) sebesar 31, 583. Adapun 2 tabel dengan db = 1 dan = 0,05 yakni sebesar
3,841. Dengan demikian terlihat bahwa nilai 2 hitung > 2 tabel, yang berarti Ho
ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat Hubungan antara dukungan
iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok. Selain itu, untuk menolak Ho,

dapat pula dilihat dari hasil perhitungan P value, dimana P value (0,000) <
(0,05). Adapun untuk melihat kuatnya hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai
koefisien kontingensi yakni sebesar 0,55 yang berarti hubungan sedang.
Data perhitungan chi square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.

4.3

Pembahasan

4.3.1 Pembahasan Hubungan Tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
di

SLTP

KP

10

Bandung.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai stres, diperoleh hasil bahwa, Terdapat


hubungan antara tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP
10 Bandung. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Brandon (2000),
bahwa seseorang yang berada dalam kondisi stress mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk menjadi perokok, bahkan akan mengalami kesulitan untuk berhenti
dari perilakunya tersebut. Dikatakan A.F Muchtar (2005) dalam bukunya bahwa
aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari kecemasan yang
dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang dapat memberikan
kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan simbolisasi
kejantanan atau kedewasaan. Aktivitas merokok menjadi penyeimbang mereka
dalam kondisi stress. Dengan kata lain berdasarkan pandangan Leventhal dan
Clearly (Helmi & Komalasari, 2006), kemungkinan remaja telah masuk kedalam
tahap bukan saja sebagai become a smoker tetapi telah masuk pada tahap
maintenance of smoking, dimana merokok sudah menjadi salah satu cara dalam
pengaturan hidup. Seorang ahli (Brandon, 2000) mengatakan terdapat beberapa
cara yang dapat dilakukan remaja untuk bisa mengalihkan kebiasaan merokok
disaat stres diantaranya, a). Remaja tidak menghindar dari permasalahan yang
sedang dihadapi. b). Memperbanyak aktivitas yang positif. c) Membicarakan
masalah dengan orang yang bisa membantu dalam penyelesaian. d) Menyadari
bahwa

stress

merupakan

bagian

dari

kehidupan.

4.3.2 Pembahasan Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap


Rokok

di

SLTP

KP

10

Bandung.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan keluarga, didapatkan hasil bahwa

Tidak Terdapat Hubungan yang Signifikan antara Dukungan Keluarga dengan


Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan 10 Bandung. Hal ini
tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa
keluarga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok
pada remaja. Dalam penelitian ini walaupun didapatkan bahwa sebagian besar
remaja mendapatkan dukungan keluarga untuk merokok, akan tetapi tidak
terdapat hubungan antara dukungan keluarga denga perilaku remaja terhadap
rokok. Begitu pula dengan apa yang diungkapkan oleh A.F Muchtar (2005) yang
mengatakan bahwa perilaku merokok remaja berkaitan dengan dukungan dari
keluarga, dimana keluarga perokok akan menyebabkan anak memiliki kemungkinan
lebih

besar

untuk

menjadi

perokok

pula.

Dalam hal ini kemungkinan yang terjadi adalah terdapat faktor lain yang lebih
penting yang mendukung remaja untuk merokok. Karena, secara psikososial
Mahreni (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa pada periode masa remaja
keterikatan

remaja

dengan

keluarga

terutama

orangtua

mulai

melemah.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemungkinan keluarga bukan lagi menjadi
role model yang utama bagi remaja. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya
di luar lingkungan rumah, dan nilai-nilai yang mereka anut lebih tertuju pada nilai
yang mereka anggap ideal yang sesuai dengan lingkungan dimana mereka biasa
berkumpul.
4.3.3 Pembahasan Hubungan Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok

di

SLTP

KP

10

Bandung.

Berdasarkan penelitian mengenai dukungan teman didapatkan bahwa Terdapat


Hubungan yang Signifikant antara Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja
terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan 10 Bandung. Hal ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa dukungan teman memberikan
sumbangan efektif terhadap munculnya perilaku merokok pada remaja sebesar
(93,8%) (Kurniawati, 2003). Teman sebaya menjadi sesuatu yang sangat penting
bagi remaja. Adanya kebutuhan untuk dapat diterima dan diakui sebagai anggota
kelompok menjadi alasan mereka untuk mengikuti perilaku yang ada pada
kelompok,
Friedman

termasuk
dalam

Hurlock

(1993)

perilaku
mengatakan

bahwa

merokok.
Kekuasaan

yang

mempengaruhi anggota kelompok hampir menuntut pengawasan mutlak dari

anggota kelompok terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh


untuk meyakinkan setiap anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti
keputusan kelompok, atau kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat yang lebih
parah.
Dengan kata lain dapat digambarkan bahwa adaptasi atau penyesuaian perilaku
remaja dengan perilaku yang umum ada pada kelompok merupakan suatu cara agar
remaja tidak berada dalam tekanan. Karena adanya penyimpakan nilai antara
remaja dengan nilai yang dianut kelompok bisa menyebabkan remaja tidak lagi
mendapatkan

pengakuan

sebagia

anggota

kelompok.

4.3.4 Pembahasan Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap


Rokok

di

SLTP

KP

10

Bandung.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan iklan diketahui bahwa Terdapat


hubungan antara dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP
Karya Pembangunan 10 Bandung. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh
Subanada (Soetjiningsih, 2004) yang menjelaskan bahwa iklan rokok mempengaruhi
persepsi siswa tentang rokok. Gambaran glamour, lambang kejantanan yang
ditampilkan oleh sosok idola remaja merangsang remaja untuk mengikuti perilaku
yang diperankan sosok idola remaja tersebut yakni perilaku merokok. Handayani
(2000) menjelaskan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja adalah
memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai, dimana skala nilai tersebut
diperoleh remaja melalui indentifikasi dari orang yang diidolakan olehnya.
Sehingga perilaku sang idola sangat mudah diadopsi oleh remaja, salah satunya
adalah

perilaku

merokok

yang

ditampilkan

sang

idola

dalam

iklan.

Selain itu, iklan merupakan media informasi yang baik bagi remaja. Akan tetapi,
tidak semua informasi yang remaja dapatkan memiliki nilai yang positif. sala
satunya adalah istilah yang digunakan dalam iklan ataupun kemasan rokok yang
mengambarkan seolah-olah rokok merupakan produk yang aman karena kandungan
zat yang terdapat dalam rokok tersebut lebih rendah. Sehingga pada akhirnya
remaja merasa boleh untuk merokok bahkan kemungkinan mengkonsumsi lebih
banyak

4.4

yang

akan

berdampak

Keterbatasan

pada

ketergantungan.

Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti memiliki beberapa keterbatasan antara lain;


Instrumen dalam peneltian berupa kuisioner, sehingga terdapat kemungkinan anak
akan menjawab tidak berdasarakan apa yang terjadi sesungguhnya, karena anak
akan merasa takut apa yang mereka isi diketahui pihak sekolah. Untuk mengatasi
hal tersebut, peneliti sudah melakukan antisipasi dengan melakukan pendekatan
pada siswa dan melakukan informed concent untuk meyakinkan siswa bahwa
identitas

mereka

dirahasiakan.

Tidak ada instrumen yang khusus untuk mengungkap variabel yang akan diteliti.
Penulis hanya mengembangkan teori yang ada. Untuk mengantisipasi adanya
instrumen yang kurang baik, penulis mencoba membuat kisi-kisi instrumen terlebih
dahulu, dan melakukan pengujian terhadap instrumen yang dibuat, untuk melihat
layak
Untuk

tidaknya
instrumen

istrumen

stres,

dimana

digunakan
instrumen

dalam

diadopsi

dari

penelitian.
instrumen

yang

dikembangkan oleh Groenewald (dalam bentuk bahasa inggris), idealnya instrumen


tersebut dikonsultasikan dengan ahli bahasa. Sedangkan penulis hanya melakukan
proses translasi sendiri oleh penulis. Akan tetapi untuk mengurangi kemungkinan
adanya ketidak cocokan penggunaan instrumen tersebut, penulis mencoba
mengantisipasi

hal

tersebut

dengan

melakukan

uji

instrumen

dan

mengkonsultasikan instrumen tersebut kepada pembimbing. akan menjawab tidak


berdasarakan

apa

yang

terjadi

BAB

sesungguinstru
V

KESIMPULAN

DAN

SARAN

5.1

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 14 16 Agustus 2006


mengenai Hubungan antara Tingkat Stress Dukungan Keluarga, Dukungan Teman
dan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan
(KP)

10

Bandung,

dapat

ditarik

kesimpulan;

1. Hanya sebagian kecil remaja SLTP KP 10 Bandung yang teridentifikasi sebagai


perokok.
2. Sebagian besar remaja SLTP KP 10 Bandung berada pada kategori stres tingkat
berat.
3. Sebagian besar remaja SLTP KP 10 Bandung mendapatkan dukungan dari

keluarga

untuk

merokok.

4. Hampir setengahnya remaja SLTP KP 10 Bandung mendapatkan dukungan dari


teman

untuk

merokok.

5. Hanya sebagian kecil dari remaja SLTP KP 10 Bandung yang mendapatkan


dukungan

iklan

untuk

merokok

6. Tidak terdapat Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja


terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung. Akan tetapi sebagian
besar

keluarga

mendukung

remaja

untuk

merokok.

7.
73Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Stress dengan Perilaku
Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dengan
keeratan

hubungan

tidak

erat

tetapi

pasti.

8. Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Dukungan Teman dengan


Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung,
dengan

keeratan

hubungan

atau

cukup

berarti,

9. Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Dukungan Iklan dengan


Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung,
dengan

keeratan

hubungan

atau

cukup

berarti.

5.2

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, agen sosialisasi perilaku merokok dalam penelitian ini
adalah lingkungan teman sebaya dan iklan. Selain itu perilaku merokok berkaitan
juga dengan aspek emosional yakni stress. Untuk itu saran dari penelitian ini :
5.2.1

Untuk

Instansi

Pendidikan

(SLTP

KP

10

Bandung)

Sekolah sebagai tempat remaja menghabiskan sebagian besar waktunya menjadi


tempat yang baik untuk proses transfer perilaku dari masing-masing anggota
masyarakat didalamnya termasuk remaja sebagai bagian dari masyarakat sekolah.
Untuk mengantisipasi transfer perilaku negatif termasuk perilaku merokok, salah
satunya

diperlukan

kegiatan

positif

yang

bersifat

kelompok

yang

dapat

mengalihkan remaja dari perilaku merokok, misalnya dengan mengadakan kegiatan


ekstrakulikuler olahraga. Selain itu diperlukan peran dari dewan guru, terutama
bagian bimbingan konseling untuk memberikan bimbingan agar remaja bisa lebih
disiplin

dalam

bergaul

dan

memilih

teman.

Adapun dilihat dari segi emosional, remaja merokok berkaitan dengan stres, untuk
itu diperlukan adanya pembinaan suatu hubungan yang baik antara guru dan
remaja, dengan harapan remaja bisa lebih terbuka akan masalah yang dihadapinya
dan guru bisa membantu remaja dalam mencari penyelesaian dari masalah yang
menimbulkan

stres

5.2.2

pada

Untuk

remaja.

Petugas

Kesehatan

Petugas kesehatan mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi maupun


pelayanan kesehatan yang komprehensif baik bio-psiko-sosial dan spiritual.
Berdasarkan

hasil

penelitian,

didapatkan

suatu

kondisi

dimana

terdapat

kecenderungan remaja mengalami stres, yang pada akhirnya dapat berujung pada
upaya kompensatoris remaja menanangi stres tersebut dengan merokok. Sehingga,
itu diperlukan upaya preventif maupun kuratif yang lebih menekankan pada
pendekatan emosional / afeksional, dengan memberikan penyuluhan maupun
pelatihan mengenai manajemen stres pada remaja, selain pendekatan kognitif
berupa pemberian informasi akan bahaya atau dampak negatif dari merokok.
5.2.3

Untuk

Peneliti

dan

Penelitian

Selanjutnya

Dalam penelitian ini tidak didapatkan faktor mana yang paling dominan yang
berhubungan dengan perilaku remaja, untuk itu diperlukan penelitian lanjutan
yang mengkaji hal tersebut. Selain itu, ditemukan bahwa tingkat stres pada remaja
di SLTP KP 10 sebagian besar berada pada tingkat stres yang berat, untuk itu
diperlukan penelitian lanjutan mengenai faktor apa yang menyebabkan tingginya
tingkat stres pada remaja tersebut.

Anda mungkin juga menyukai

  • Leaflet Pijat Oksitosin
    Leaflet Pijat Oksitosin
    Dokumen4 halaman
    Leaflet Pijat Oksitosin
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • SP 4
    SP 4
    Dokumen3 halaman
    SP 4
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Absens I
    Absens I
    Dokumen2 halaman
    Absens I
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen61 halaman
    Bab Ii
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • SP 9
    SP 9
    Dokumen3 halaman
    SP 9
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Surat Persetujuan Ronde
    Surat Persetujuan Ronde
    Dokumen1 halaman
    Surat Persetujuan Ronde
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Abcdefg
    Kuesioner Abcdefg
    Dokumen2 halaman
    Kuesioner Abcdefg
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen4 halaman
    Bab 1
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Angket Rajal, Ugd Dan Icu Survey Kepuasan Pasien 2014
    Angket Rajal, Ugd Dan Icu Survey Kepuasan Pasien 2014
    Dokumen4 halaman
    Angket Rajal, Ugd Dan Icu Survey Kepuasan Pasien 2014
    Tianti Puadi
    Belum ada peringkat
  • Kuisioner M 1
    Kuisioner M 1
    Dokumen1 halaman
    Kuisioner M 1
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Instrumen Kepuasan Perawat
    Instrumen Kepuasan Perawat
    Dokumen2 halaman
    Instrumen Kepuasan Perawat
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • SP 9
    SP 9
    Dokumen3 halaman
    SP 9
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Jumlah Tenaga Perawat Pagi
    Jumlah Tenaga Perawat Pagi
    Dokumen1 halaman
    Jumlah Tenaga Perawat Pagi
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Alur Discharge
    Alur Discharge
    Dokumen5 halaman
    Alur Discharge
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Angket M3
    Angket M3
    Dokumen3 halaman
    Angket M3
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Evaluasi Keperawatan
    Evaluasi Keperawatan
    Dokumen3 halaman
    Evaluasi Keperawatan
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • BAB II PKBB
    BAB II PKBB
    Dokumen23 halaman
    BAB II PKBB
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • SP 4
    SP 4
    Dokumen3 halaman
    SP 4
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • BAB II Konsep Teori Morbili
    BAB II Konsep Teori Morbili
    Dokumen14 halaman
    BAB II Konsep Teori Morbili
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii PK
    Bab Ii PK
    Dokumen23 halaman
    Bab Ii PK
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Bab III Askep
    Bab III Askep
    Dokumen7 halaman
    Bab III Askep
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Analisa Proses Interaksi
    Analisa Proses Interaksi
    Dokumen5 halaman
    Analisa Proses Interaksi
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Morbili
    BAB IV Morbili
    Dokumen2 halaman
    BAB IV Morbili
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Morbili
    Daftar Isi Morbili
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi Morbili
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • DX 1
    DX 1
    Dokumen2 halaman
    DX 1
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • DX 2
    DX 2
    Dokumen3 halaman
    DX 2
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Diagnosa
    Diagnosa
    Dokumen3 halaman
    Diagnosa
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat
  • Pemeriksaan Laboratorium
    Pemeriksaan Laboratorium
    Dokumen1 halaman
    Pemeriksaan Laboratorium
    HeriawanSiahaan
    Belum ada peringkat