Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Thermal
Cycler
adalah peralatan
laboratorium yang
digunakan untuk analisis PCR, atau replikasi cepat dari urutan DNA tertentu.
(sumber:
http://www.sci-support.com )
3. Sterile Thin-wall 0.5 ml Thermocycler microfuge tubes: (TC-5, Midwest
Scientific). Alat ini memiliki sebuah thermal block dengan lubang-lubang untuk
memasukkan tabung campuran PCR.
A. Denaturasi
Denaturasi merupakan proses memisahkan DNA menjadi utas tunggal.
Tahap denaturasi DNA biasanya dilakukan pada kisaran suhu 92 95 oC.
Denaturasi awal dilakukan selama 1 3 menit diperlukan untuk meyakinkan
bahwa DNA telah terdenaturasi menjadi untai tunggal.
Denaturasi yang tidak berlangsung secara sempurna dapat menyebabkan utas
DNA terputus. Tahap denaturasi yang terlalu lama dapat mengakibatkan hilangnya
aktivitas enzim polimerase.
2. Annealing
Annealing merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing primer
merupakan tahap terpenting dalam PCR, karena jika ada sedikit saja kesalahan
pada tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil akhir produk DNA
yang diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini antara lain suhu annealing
dan primer. Suhu annealing yang terlalu rendah dapat mengakibatkan timbulnya
pita elektroforesis yang tidak spesifik, sedangkan suhu yang tinggi dapat
meningkatkan kespesifikan amplifikasi.
Kenaikan suhu setelah tahap annealing hingga mencapai 70740C bertujuan
untuk mengaktifkan enzim TaqDNA polimerase. Proses pemanjangan primer
(tahap extension) biasanya dilakukan pada suhu 72 oC, yaitu suhu optimal untuk
TaqDNA polimerase. Selain itu, pada masa peralihan suhu dari suhu annealing ke
suhu extension sampai 70 oC juga menyebabkan terputusnya ikatan-ikatan tidak
spesifik antara DNA cetakan dengan primer karena ikatan ini bersifat lemah.
Selain suhu, semakin lama waktu extension maka jumlah DNA yang tidak
spesifik semakin banyak.
3. Extension
Extension merupakan proses pemanjangan DNA. Dalam tahap extension atau
sintesis DNA, enzim polimerase bergabung bersama dengan nukleotida dan
pemanjangan primer lengkap untuk sintesis sebuah DNA utas ganda. Reaksi ini
akan berubah dari satu siklus ke siklus selanjutnya mengikuti perubahan
konsentrasi DNA.
Hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai cetakan
(template) pada siklus berikutnya sehingga jumlah DNA target menjadi berlipat
dua pada setiap akhir siklus. Dengan kata lain DNA target meningkat secara
eksponensial, sehingga setelah 30 siklus akan menjadi milyaran amplifikasi DNA
target. Jumlah relatif molekul yang dihasilkan pada setiap siklus dapat dilihat pada
tabel berikut (Fatchiyah, 2012):
Deteksi Produk Hasil PCR
Setelah selesai melakukan PCR, produk PCR bisa dilihat dengan cara meloading pada DNA Elektroforesism gel agarosa. Namun sebelum itu, kita harus
membuat gel (agarose) yang mengandung Ethidium bromide (EtBr) berdasar cetakan
yang tersedia dalam perangkat tersebut. EtBr adalah pewarna fluorescent yang
interkalasi ke dalam DNA.Untuk kebutuhan deteksi, biasanya cukup menggunakan 35 ul saja dari total produk PCR 50 ul. Jadi, pipet sample sebanyak volume tersebut,
campurkan dengan loading buffer, dan running selama kira-kira 15 menit.
Setelah itu angkat gel dari tank, dan tempatkan pada UV Transilluminators.
Visualisasi hasil PCR akan tampak seperti gambar berikut.
Pada gambar tersebut ada no. 1 sampai 4 yang terletak pada sumur (well) gel
agarose. Nomor 1 (line 1) bukan merupakan hasil PCR, namun sebuah
penanda (marker). Marker DNA tersebut memiliki ukuran yang telah diketahui yang
kisarannya antara 100 bp sampai 21 kilo bp. Pada gambar tersebut tampak ukurannya
yaitu 100, 200, sampai 500 bp. Line 2 adalah kontrol negatif, yaitu hanya
menggunakan loading buffer, sedangkan line 3 dan 4 adalah produk PCR. Dari
gambar tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa produk PCR tersebut berukuran 450
bp.
PCR
sangat
ditentukan
oleh
beberapa
faktor
yaitu:
PCR berkisar antara 0,1 0,5 M. Konsentrasi primer yang lebih tinggi dari 1,0
M dapat menyebabkan hasil polimerasi nonspesifik terakumulasi. Panjang
oligoneukleotida yang digunakan sebagai primer umumnya 18-28 nukleotida dan
mempunyai G+C sebesar 50-60%.
Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah
diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Dalam melakukan perancangan
primer harus dipenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Panjang primer
Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan
dipilih. Umumnya panjang primer berkisar antara 18 30 basa. Primer dengan
panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk
ukuran primer yang pendek kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan
primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan
berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh
pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk panjang primer lebih
dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna dan
ini akan menyebabkan lebih mahal.
b. Komposisi primer.
Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan
nukleotida yang sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan spesifisitas
primer yang dapat memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain.
Kandungan (G+C)) (% jumlah G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari
kandungan (G+C) DNA target. Sebab primer dengan % (G+C) rendah
diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif
pada tempat yang dituju dengan demikian akan menurunkan efisiensi proses
PCR. Selain itu, urutan nukleotitda pada ujung 3 sebaiknya G atau C.
Nukleotida A atau T lebih toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan
demikian akan dapat menurunkan spesifisitas primer.
c. Melting temperature (Tm)
Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda
DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer
umumnya
PCR
dilakukan
dengan
mengulangi
siklus
reaksi
7. Suhu
Pemilihan suhu pada proses PCR sangat penting karena suhu merupakan salah
satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu PCR. Dalam hal ini suhu berkaitan
dengan proses denaturasi DNA templat, annealing dan ekstensi primer. Suhu
denaturasi DNA templat berkisar antara 93 95oC, ini semua tergantung pada
panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target.
Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA
yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu juga dapat merusak DNA
templat, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi
DNA templat tidak sempurna. Pada umumnya suhu denaturasi yang digunakan
adalah 94oC (Darmo & Ari, 2000).
Secara umum suhu annealing yang digunakan berkisar antara 37 - 60 oC.
Pemilihan suhu annealing berkaitan dengan Tm primer yang digunakan untuk
proses PCR. Suhu annealing yang digunakan dapat dihitung berdasarkan (Tm
5)oC sampai dengan (Tm + 5)oC. Dalam menentukan suhu annealing yang
digunakan perlu diperhatikan adanya mispriming pada daerah target dan nontarget,
dan keberhasilan suatu proses PCR akan ditentukan oleh eksperimen.
Proses ekstensi primer pada proses PCR selalu dilakukan pada suhu 72 oC karena
suhu tersebut merupakan suhu optimum polimerase DNA yang biasa digunakan
untuk proses PCR.
F. Aplikasi PCR dalam Kehidupan Sehari-hari
PCR dirancang pada tahun 1985 dab telah memberikan dampak besar pada
penelitian biologis dan bioteknologi. PCR telah digunakan untuk memperkuat DNA
dari berbagai macam sumber misalnya fragmen DNA kuno dari gajah purba
(mammoth) berbulu yang telah membeku selama 40.000 tahun; DNA dari sedikit
darah;, jaringan, atau air
kriminal; DNA dari sel embrionik tunggal untuk diagnosis kelainan genetik
sebelum kelahiran dan DNA gen virus dari sel yang diinfeksi oleh virus yang sulit
terdeteksi seperti HIV (Campbell dkk., 2004:395).
Menurut Darmo dan Ari (2000), teknik PCR dapat didayagunakan (kadang
dengan modifikasi) guna fasilitasi analisis gen. Selain itu telah dikembangkan
banyak sekali aplikasi praktis. Sebagai contoh teknik dan aplikasi PCR dapat
disebutkan sebagai berikut: kloning hasil PCR; sekuensing hasil PCR; kajian
evolusi molekular; deteksi mutasi ( penyakit genetik; determinasi seks pada sel
prenatal; kajian forensik (tersangka kriminal, tersangka ayah pada kasus paternal);
dan masih banyak lainnya.
Pendapat lain mengenai manfaat dan aplikasi PCR juga dikemukakan oleh
Sunarto (1996) yang menyebutkan bahwa PCR dapat digunakan sebagai alat
diagnosis penyakit thalesemia. Menurut Sunarto sebelum cara PCR ditemukan
analisis DNA dilakukan dengan prosedur yang panjang dan rumit, yaitu pertamatama membentuk perpustakaan (library construction) melalui digesti dengan
endonuklease restriktif dan kloning, kemudian skrining, mapping, subkloning dan
terakhir sekuensing. Tetapi dengan adanya PCR dalam waktu 24 jam sejak
pencuplikan vili korialis (chorionic villous sampling) diagnosis prenatal sudah
dapat ditegakkan dan berdasarkan prinsip PCR telah dikembangkan cara diagnostik
molekular yang terbukti sangat akurat.
Berdasarkan uraian diatas penemuan dan manfaat teknik PCR ini
berdampak sangat luas terhadap kemajuan sains dan teknologi secara umum yaitu
antara lain sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.