Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Deteksi Dini Kanker Payudara
Deteksi dini kanker melalui skrining yang telah dilakukan pada saat ini
bertujuan untuk menurunkan mortalitas akibat kanker payudara. Dalam hal ini,
skrining merupakan upaya pemeriksaan terhadap seorang individu yang tidak
menunjukkan gejala penyakit-penyakit tertentu (asimtomatik). Menurut American
Cancer Society, seorang wanita disarankan untuk mulai melakukan skrining kanker
payudara pada usia 40 tahun secara berkelanjutan setiap tahunnya. Kesadaran
masyarakat di Amerika untuk melakukan skrining kanker payudara dengan
mammografi berperan penting dalam menurunkan angka kematian akibat kanker
payudara sejak tahun 1990. Saat ini, 60% kejadian kanker payudara berhasil
terdiagnosis pada stadium yang masih terlokalisir, dengan 5-year survival rate
mencapai 99%. Untuk menurunkan tingkat kematian akibat kanker payudara secara
signifikan, penggunaan reguler dari mammografi dan peningkatan akses follow-up
serta terapi yang berkualitas menjadi hal yang diupayakan oleh pemerintah Amerika
Serikat (Centers for Disease Control and Prevention, 2012).
Upaya deteksi dini kanker payudara yang direkomendasikan American Cancer
Society meliputi (American Cancer Society, 2013):
1. Breast-Self Exam (BSE)
Breast self-exam (BSE) dapat dimulai sejak usia 20 tahun. Walau peran
BSE tidaklah sebesar pemeriksaan yang lain, BSE yang dilakukan secara rutin
setiap bulannya (pasca menstruasi) diharapkan mampu meningkatkan kesadaran
seorang wanita apabila terdapat abnormalitas pada payudaranya.
Sejak usia 20 tahun, seorang wanita sebaiknya melakukan pemeriksaan
payudara sendiri, menyadari bagaimanakah payudara normal, merasakan dan
melaporkan perubahan yang mungkin terjadi sedini mungkin. Pada wanita
dengan implan, BSE tetap dapat dilakukan dengan mengidentifikasi batas
implan, sehingga pasien tetap dapat merasakan bagian payudaranya. Waktu
terbaik untuk melakukan pemeriksaan ini adalah pada saat payudara tidak
bengkak ataupun tidak nyeri tekan. Untuk melakukan pemeriksaan ini, pasien
dapat berbaring,lalu menempatkan tangan kanannya dalam posisi menyangga
Deteksi Dini Kanker Payudara dan Tiroid
kepala. Saat berbaring, jaringan payudara lebih mudah dirasakan. Tiga jari
tangan kiri digunakan untuk melakukan palpasi pada payudara sebelah kanan
sambil melakukan circular motion. Dengan memberikan tekanan palpasi yang
berbeda-beda, maka semua jaringan dapat dirasakan dengan baik. Tekanan
ringan dibutuhkan untuk merasakan jaringan yang paling dekat dengan kulit.
Tekanan sedang digunakan untuk merasakan jaringan yang sedikit lebih dalam.
Tekanan yang paling kuat ditujukan untuk merasakan jaringan yang paling
dekat dengan dinding dada dan tulang rusuk. Arah palpasi dilakukan dengan
pola ke atas dan ke bawah mengikuti suatu garis imajiner (vertical pattern), dari
tepi ketiak hingga bagian sternum. Pola ini paling efektif untuk meminimalisir
jaringan payudara yang terlewat untuk diperiksa, dengan batasan costae dan
klavikula. Ketika berada di depan cermin dengan kedua tangan berkacak
pinggang untuk mengkontraksikan otot dinding dada, dilakukan pengamatan
terhadap adanya perubahan ukuran, bentuk, kontur, skin dimpling, atau
kemerahan dan keradangan pada nipple maupun kulit payudara. Mengangkat
dan meluruskan lengan tidak direkomendasikan dalam pemeriksaan ini karena
justru akan menyulitkan perabaan (Saslo et al., 2007).
mammografi sering datang tidak tepat waktu sesuai dengan rentang usia yang
direkomendasikan. Faktanya, sekitar 1 dari 5 wanita yang terdiagnosis dengan
kanker payudara melalui suatu skrining, menunjukkan suatu jenis kanker yang
non invasif, artinya, sel kanker terdapat pada payudara namun terbatas hanya
pada milk ducts dan tidak menyebar ke jaringan lain (ductal carcinoma in
situ/DCIS). Sebaliknya, 4 dari 5 wanita yang terdiagnosis dengan kanker
payudara melalui suatu skrining, menunjukkan suatu jenis kanker yang invasif,
yang menyebar ke jaringan sekitar (NHS Cancer Screening Programs, 2013)
dengan kanker payudara. Gadolinium merupakan bahan kontras yang diinjeksikan secara
intravena sebelum MRI dilakukan. Tujuannya, untuk memberikan gambaran jaringan
payudara yang lebih detail. Breast MRI machine menghasilkan kualitas gambar yang lebih
baik jika dibandingkan dengan MRI biasa. Waktu yang dibutuhkan untuk keseluruhan
prosedur cukup lama, sekitar 1 jam, dengan platform yang khusus didesain untuk
payudara. Kemoprevensi dan konseling genetik, bahkan upaya pembedahan dapat
diberikan pada wanita-wanita yang beresiko tinggi tersebut (American Cancer Society,
2013).
Risk Assessment Tools
Model penilaian ini meliputi pemodelan Gail, Claus, BRCAPRO, Breast and Ovarian
Analysis of Disease Incidence and Carrier Estimation Algorithm (BODAICEA),dan
Tyrer-Cuzick. Pemodelan Gail (high risk woman - Gail Risk Score > atau = 1.7%), tidak
mengikutsertakan faktor paternal, second degree relative, usia first degree relative yang
terdiagnosis dengan kanker payudara. Pemodelan ini kurang sesuai untuk seorang wanita
yang melakukan supplemental,screening dengan MRI. Di sisi lain, pemodelan Claus
mengikutsertakan faktor paternal. BRCAPRO menentukan probabilitas seorang wanita
mengalami mutasi gen BRCA 1/2 berdasarkan riwayat pasien sendiri menderita kanker
payudara maupun riwayat keluarganya (first&second degree relatives). Untuk TyrerCuzick, riwayat personal seperti berat badan dan tinggi badan, riwayat reproduksi serta
riwayat keluarga diikutsertakan. Tidak ada satupun model yang mengikutsertakan faktor
kepadatan payudara dan riwayat third degree relative ke dalam penilaiannya (Carol et al.,
2010).
Breast Ultrasound (USG)
Breast ultrasound digunakan untuk mengevaluasi masalah payudara yang ditemukan
pada saat dilakukan diagnostic maupun screening mammogram serta berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang ini tidak rutin digunakan untuk skrining,
namun sangat bermanfaat pada pemeriksaan wanita dengan jaringan payudara yang padat,
dimana hal ini sulit dilakukan oleh mammogram. Selain itu, tidak terdapat dampak radiasi
terhadap pasien. Ultrasound juga penting digunakan untuk membedakan massa kistik
ataukah solid, tanpa harus melakukan aspirasi cairan terlebih dahulu. Pemeriksaan ini
menjadi bermanfaat jika penggunaannya dikombinasikan bersama mamogram mengingat
Deteksi Dini Kanker Payudara dan Tiroid
fasilitasnya mudah dijangkau, tidak terlalu mahal, serta tidak invasif jika dibandingkan
yang lainnya. Efektivitas ultrasound bergantung pada kemampuan dan pengalaman
operator, khususnya saat digunakan untuk USG-guided biopsy (American Cancer Society,
2013).
Termografi Payudara (Breast Termography)
Termografi kurang sesuai digunakan untuk mendeteksi kanker payudara dalam tahun
pertama perkembangannya. Oleh karena itu, metode ini lebih sesuai untuk mendeteksi dan
mengamati kanker payudara pada stadium lanjutan. Gambaran inframerah akan
menunjukkan perbedaan temperatur yang berkorelasi dengan berbagai patologi payudara.
Thermal imaging juga bermanfaat dalam monitoring efektivitas terapi. Selain itu,
termografi bersifat non invasif dan bebas radiasi jika dibandingkan dengan mammografi
dan X-ray. Selain itu, termografi akan mengevaluasi pola fisiologis tubuh dan bukan
masalah anatomis. Thermogram mendeteksi perubahan mikrosirkulasi kulit sebagai hasil
perubahan temperatur dan perubahan kimiawi. Pemeriksaan termografi dilakukan pada
ruangan bersuhu 20C, dengan temperatur kulit normal berada pada suhu 30C. Pada
perkembangan tumor payudara ganas, terdapat excessive nitric oxide. Akibatnya,
pembuluh darah dekat lokasi tumor tidak akan pernah berkonstriksi, kecuali pembuluh
darah pada jaringan normal dan pembuluh darah abnormal yang tetap berdilatasi disaat
kondisi dingin (George dan Victoria, 2012).
Pada perkembangan awal kanker payudara, upaya pemeriksaan diawali dengan
menempatkan pasien pada sebuah ruangan bersuhu 20C, kemudian dilakukan
pengambilan gambar termografik, dilanjutkan tes provokasi dengan air dingin dan
pengambilan gambar termografik pasca tes provokasi. Apabila hasilnya menunjukkan cool
temperature, maka dapat dikatakan bahwa secara fisiologis pasien normal. Jika temperatur
cenderung tidak berubah atau malah hangat pasca tes provokasi, maka perlu dilakukan
observasi lanjutan. Pada kasus keganasan kanker payudara, terdapat suatu pola hipertermia
akibat adanya peningkatan metabolisme,hipervaskularisasi (angiogenesis,pelepasan faktor
angiogenik), disfungsi termoregulatori, serta adanya respon imun host (George dan
Victoria, 2012).
PET Scan dan PET/CT
Nipple Discharge Exam, Fiber Optic Ductoscopy (FDS), Nipple Aspiration (NAF), Dan
Ductal Lavage
Untuk meningkatkan efektivitas terapi kanker payudara, berbagai upaya deteksi dini
dilakukan dengan tujuan utamanya yaitu menurunkan mortalitas. Pemeriksaan sitologi sel
epitel yang ditemukan pada pemeriksaan breast ductal fluid merupakan upaya terbaru
sebagai indikator dini kanker payudara. Cairan duktus dapat diperoleh dari ductal lavage
maupun nipple aspiration. Ductal lavage merupakan sebuah prosedur invasif untuk
mendapatkan cairan duktal dengan menginsersikan mikrokateter ke dalam duktus, melalui
puting susu. Nipple aspiration dilakukan dengan menggunakan fine needle aspiration
taupun secara non-invasif dengaKn sistem HALO Breast Pap Test. HALO merupakan
sistem otomatis yang mampu mengumpulkan nipple aspirate fluid (NAF) dengan
Deteksi Dini Kanker Payudara dan Tiroid
10
mengkombinasikan metode heat, massage dan suction. Cairan duktus juga dapat diperoleh
lewat fiberoptic ductoscopy yang memungkinkan visualisasi langsung dari duktus
payudara menggunakan endoskop yang sangat tipis. Fiberoptic ductoscopy juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi abnormal nipple discharge dalam kaitannya dengan
aspirasi sitologi, biopsi atau surgical excision (Oxford Health Plans, 2013).
11
wanita usia 50-59 tahun, namun kurang sesuai untuk kelompok usia 60-69 tahun. Di sisi lain,
untuk kelompok usia 70 tahun atau lebih, tidak terjadi pengurangan mortalitas akibat kanker
payudara dengan deteksi berbasis mammografi (Heidi et al., 2009).
Pemeriksaan mammografi tidak sesuai untuk wanita dengan jaringan payudara yang
padat, implan, dengan fibrokistik, maupun yang sedang menjalani terapi sulih hormon
(hormone replacement therapy). Hal ini dikarenakan adanya gambaran putih yang sangat
mirip antara jaringan payudara yang padat jika dibandingkan dengan jaringan kanker.
Densitas/kepadatan payudara dibagi ke dalam 4 kategori/grade, dimana akurasi mamografi
berturut-turut menurun, yaitu 83% untuk grade 2, 68% untuk grade 3, dan 55% untuk grade
4. Pemeriksaan mammografi juga beresiko menimbulkan pecahnya enkapsulasi suatu
cancerous tumor. Pada usia muda, pemeriksaan ini tidak dianjurkan, mengingat hasil
penelitian Berrington dan Reeves, menunjukkan bahwa mammogram kurang efektif sebelum
usia 50 tahun. Friedenson dalam penelitiannya menemukan bahwa paparan radiasi terion dari
mamogram sangat mungkin meningkatkan mutasi pada wanita dengan mutasi BRCA1/2
sehingga menjadi lebih cepat onsetnya. Sensitivitas mammografi menurun sejalan dengan
penurunan ukuran massa tumor dan peningkatan densitas payudara. Di sisi lain, sensitivitas
USG tetap apabila dihadapkan pada kondisi serupa. Namun, sensitivitas pemeriksaan
ultrasonografi akan menurun jika dihadapkan pada kondisi non palpable tumor seperti
mikrokalsifikasi. Secara keseluruhan, sensitivitas USG bergantung pada 3 hal, yaitu kualitas
alat pemeriksa, kemampuan analis dalam melakukan prosedur dan menginterpretasikan hasil,
serta penggunaan multidisciplinary approach dalam upaya pendeteksian kanker (Deborah et
al., 2009).
Upaya skrining sebenarnya tidak mencegah timbulnya kanker payudara pada seorang
wanita. Namun, hal ini akan meningkatkan kecepatan deteksi dini kanker payudara
(Freedman et al., 2004). Efektivitas pemeriksaan mammografi dan MRI untuk skrining
kanker payudara ternyata berbeda pada seorang wanita dengan riwayat keluarga yang positif
kanker payudara maupun memiliki predisposisi genetik terhadap kanker
payudara.Sensitivitas MRI dalam melakukan skrining kanker payudara (termasuk ductal
carcinomas in situ) mencapai 71,1%. Hal ini berbeda dengan sensitivitas pemeriksaan
mammografi yang hanya mencapai 40%. Sensitivitas MRI memang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan mammografi, namun, spesifitas dan PPV (positive predictive value)
mammografi ternyata lebih tinggi. Faktor yang turut berpengaruh terhadap tingginya
Deteksi Dini Kanker Payudara dan Tiroid
12
sensitivitas MRI, bisa jadi dikarenakan adanya pasien yang pernah dicurigai menderita
kanker payudara, namun dikonfirmasi ulang menggunakan MRI. Akibatnya, jumlah pasien
yang diskrining dengan MRI dan terdiagnosis dengan kanker payudara, menjadi lebih tinggi
jumlahnya. MRI juga mampu membedakan kasus tumor jinak dan ganas secara lebih baik
jika dibandingkan dengan mammografi, dimana untuk kanker payudara yang invasif,
sensitivitas MRI mencapai 79,5% (33,3% dari hasil mammografi) (Mieke et al., 2004).
Contrast enhanced magnetic resonance imaging (MRI) sering digunakan untuk
mengevaluasi wanita yang telah terdiagnosis dengan kanker payudara. Berdasarkan studi
yang membandingkan mammografi dan MRI pada wanita beresiko tinggi, sensitivitas MRI
mencapai 71-100%, spesifitasnya berkisar antara 81-97%. Karena itu, American Cancer
Society (ACS) merekomendasikan MRI untuk kelompok wanita yang beresiko tinggi,
misalnya dengan mutasi BRCA1/2, riwayat keluarga dengan kanker payudara/ovarium, serta
pasca terapi limfoma Hodgkin. Hingga saat ini, efektivitas MRI pada kelompok wanita yang
tidak berisiko tinggi dan tanpa gejala, masih belum mampu menandingi mammografi dalam
menurunkan tingkat mortalitas via deteksi dini. Efektivitas CBE dalam menurunkan
mortalitas akibat kanker payudara juga masih kontroversial walaupun prosedurny mudah dan
murah. Sensitivitas CBE berkisar antara 40-69%, dengan spesifitas 88-99% dan positive
predictive value 4-50%, berbasis mammografi dan interval cancer sebagai standar kriteria.
Efektivitas BSE dalam menurunkan mortalitas akibat kanker payudara juga masih belum
jelas, dengan sensitivitas BSE mencapai 12-41% ketika dibandingkan dengan CBE serta
mammografi. Untuk kelompok wanita beresiko tinggi, genetic counseling-testing dianjurkan,
disamping pemeriksaan mammografi dini dan lebih intens (Heidi et al., 2009).
Pemeriksaan CBE dan SBE yang baik mampu mendeteksi minimal 50% dari kanker
yang asimptomatik. Hasil penelitian Oestricher et al menunjukkan bahwa sensitivitas
pemeriksaan CBE saja (21%) tidak akan sepadan dengan sensitivitas mammografi (78%).
Dengan demikian, kombinasi kedua pemeriksaan ini akan meningkatkan sensitivitas deteksi
kanker payudara sebesar 82%. Park et al., di dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa
pentingnya CBE terletak pada kemampuannya untuk mendeteksi kanker yang mungkin
terlewat saat dilakukan mammografi. Dengan demikian, tingkat negatif palsu pada
mamografi mencapai 13% (Deborah et al., 2009).
Selain itu, MRI juga mampu mendeteksi beberapa kanker yang nyatanya sulit
terdiagnosis dengan CBE (Clinical Breast Exam) maupun mammografi. Namun,
Deteksi Dini Kanker Payudara dan Tiroid
13
mammografi menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dalam hal pendeteksian ductal
carcinoma, yaitu sekitar 83% kasus (MRI hanya mampu mendeteksi sekitar 17% saja).
Upaya skrining akan meningkatkan penegakan diagnosis kanker payudara sedini mungkin,
dimana hal ini terbukti dari fakta bahwa tanpa pemeriksaan MRI, kebanyakan pasien dengan
resiko tinggi (riwayat predisposisi dan faktor keluarga positif)) sudah mengalami infiltrasi di
tingkat nodus limfe (30-45%). Kollias et al., tidak menemukan perbedaan yang signifikan
dalam hal ukuran serta derajat tumor yang invasif ataupun keterlibatan nodus limfe, antara
seorang wanita yang menunjukkan gejala kanker dan wanita yang tidak menunjukkan gejala
pada saat terdiagnosis dengan kanker payudara. Kesimpulannya, skrining MRI memang
berkontribusi terhadap upaya deteksi dini kanker payudara herediter. Namun, tumor
berukuran besar (diameter lebih dari 2cm) memang jauh lebih sering dijumpai pada wanita
dengan mutasi BRCA1/2, PTEN, dan TP53. Karena itu, skrining berulang serta rutin, praktis
dibutuhkan seorang wanita dengan mutasi-mutasi tersebut. MRI memiliki spesifitas yang
lebih rendah jika dibandingkan mammografi. Oleh karena itu, MRI menimbulkan lebih
banyak ketidakyakinan, yang mana perlu diatasi dengan menerapkan short-term follow-up
dan pemeriksaan tambahan lainnya. Sebagai kesimpulannya, program skrining dengan MRI
dapat mendeteksi kanker payudara pada stadium yang lebih dini, pada wanita dengan resiko
tinggi terhadap kejadian kanker payudara (Mieke et al., 2004).
MRI yang digunakan pada saat ini sebenarnya merupakan hasil adaptasi suatu sistem
DCE (dynamic, contrast-enhanced) (DCE) dengan sensitivitas yang sangat tinggi terhadap
kanker payudara. DCE memegang sensitivitas tertinggi pada kanker payudara yang invasif.
Namun, untuk aplikasi pada DCE MRI, agen kontras tetap diinjeksikan sesuai dengan
pengalaman klinis pasien (spesifitas berada pada rentang 37-97%). Saat ini, double-inversion
recovery (DIR) MRI telah digunakan secara bersamaan untuk menghilangkan sinyal dari 2
jaringan yang berbeda, dengan mengaplikasikan 2 gelombang inversi. Hal ini dilakukan
sebelum conventional spin-echo signal acquisition. Mengingat bahwa jaringan payudara
terdiri dari jaringan lemak dan fibroglanduler, DIR MRI ternyata mampu menyajikan hasil
yang lebih baik dalam hal pendeteksian lesi, tanpa memerlukan agen kontras. Jaringan tumor
dan jaringan sehat dibedakan berdasarkan masing-masing T1 relaxation time. Meskipun
demikian, LNR (lesion to normal ratio) dari gambaran DIR berbeda secara signifikan jika
dibandingkan dengan T1WI (T1-weughted images). LNR merupakan perbandingan hasil
pengukuran intensitas sinyal pada area lesi dan area sehat ipsilateral (Jeoung et al., 2014).
14
15
Gros, serta Head dan Elliot menunjukkan bahwa adanya pola panas yang abnormal dan
simetris akan meningkatkan resiko seorang wanita untuk menderita kanker payudara hingga
10 kali lipat. Pemeriksaan ini tidak berkorelasi dengan riwayat terapi sulih hormon maupun
biopsi payudara sebelumnya. Termografi tidak mampu melokalisasi lesi atau tumor
mengingat pemeriksaan ini tidak didesain untuk mendefinisikan area tertentu. Interpretasi
hasilnya pun bergantung pada metabolisme/peningkatan suhu di area tertentu. Dengan
demikian, low metabolized/cold tumor lebih sulit terdeteksi. Hasil negatif palsu dapat timbul
pada kondisi adanya mikrokalsifikasi (Deborah et al., 2009).
Untuk pemeriksaan breast ductal lavage dan HALO Breast Pap Test, masih belum
didapatkan bukti klinis yang adekuat terkait penurunan mortalitas akibat kanker payudara
maupun dalam hal penegakan diagnosisnya. Metode ini ditujukan untuk wanita beresiko
tinggi, namun belum terdapat kriteria seleksi yang definit. Hal seruoa juga menjadi kendala
fiberoptic ductoscopy, disamping kelayakan metode ini untuk menggantikan open surgical
excision. Menurut The National Comprehensive Cancer Network (NCCN), ductal lavage
(DL) belum menjadi modalitas skrining rutin kanker payudara. Namun, DL secara signifikan
mampu memberikan sufficient cells untuk diagnosis sitologi, jika dibandingkan dengan
nipple aspiration (78% versus 27% pasien) Hal ini meliputi pengumpulan sejumlah besar sel
per duktus payudara dan penentuan diagnosis atipik ataupun kanker payudara (17% versus
4% untuk paired samples dan 24% versus 10% untuk kombinasi paired dan unpaired
samples). Jumlah sel epitel yang diperoleh dari duktus payudara, berhubungan dengan derajat
keparahan perubahan sitopatologis yang terjadi. Carruthers et al., 2007 menyampaikan bahwa
DL mampu memprediksi kejadian kanker payudara melalui suatu stratifikasi resiko,
walaupun tidak semua pasien yang abnormal hasil DL-nya menderita kanker payudara. Oleh
karena itu, sensitivitas DL dalam mendiagnosis kanker payudara masih insufficient walaupun
DL mungkin dapat mendeteksi lesi yang terlewat oleh pemeriksaan mammografi (Oxford
Health Plans, 2013).
Dalam penelitian Kahn et al.,2004, sensitivitas DL mampu mencapai 43%, dengan
spesifitas 96%, serta akurasi 77%. Namun jika mild atau marked atypia maupun sel
keganasan didukung dengan positive cytologic test, maka sensitivitasnya menjadi 79%,
dengan spesifitas 64%, dan akurasi 69%. Sebagai kesimpulan, ductal lavage memiliki
sensitivitas rendah dan spesifitas yang tinggi untuk deteksi kanker payudara. Namun,
spesimen DL sesuai untuk dievaluasi dengan teknik fluorescent in situ hybridization (FISH)
Deteksi Dini Kanker Payudara dan Tiroid
16
atau analisis sitogenetik. Secara keseluruhan, prosedur DL feasible dan dapat ditoleransi
dengan baik, tidak begitu invasif, dengan sel epitel duktus payudara yang jumlahnya banyak
untuk analisis sitologis (jika dibandingkan dengan FNA-Fine Needle Aspiration). Metode ini
mampu mendeteksi sel abnormal pada spesimen NAF dari duktus payudara individual
(Oxford Health Plans, 2013).
Berdasarkan penelitian Proctor et al., 2005, pemeriksaan NAF belum mampu
menunjukkan efektivitasnya dalam skrining kanker payudara. Sauter et al., 2010,
menyampaikna bahwa NAF cytology memiliki keterbatasan dalam mendeteksi kanker
payudara pada wanita (sensitivitas 10%), namun akurasinya mencapai 100% dalam
menyingkirkan wanita normal. Pada wanita dengan nipple discharge yang spontan, kejadian
positif palsunya cukup besar. Namun, dengan mengkombinasikan NAF dan MD
cytology,sensitivitasnya meningkat hingga 24% tanpa mengabaikan spesifitasnya (Oxford
Health Plans, 2013).
Melalui FDS, pemeriksa berusaha melakukan visualisasi intraduktal demi
memberikan ketepatan diagnostik maupun kemudahan intraoperative breast endoscopy. Shen
et al., 2001, menemukan bahwa sensitivitas, spesifitas, positive predictive value (PPV), dan
negative predictive value (NPV) untuk FDS adalah 73%, 99%, 80%, dan 98%. Apabila FDS
dan DL dikombinasikan, angkanya menjadi 64%, 100%, 100% dan 97%. Hasil ini
menunjukkan bahwa FDS mampu mendiagnosis lesi pra-kanker payudara yang tidak
terdeteksi dengan upaya pemeriksaaan konvensional. Jika dibandingkan dengan duktografi,
PPV FDS mencapai 97,4% (versus 89,2% untuk duktografi). Dengan demikian, FDS sangat
baik untuk deteksi lesi intraduktal. Sebaliknya, DL memiliki sensitivitas yang rendah untuk
lesi intraduktal, yaitu hanya 50% (spesifitas 94.3% dan akurasi 89.7%) (Pennant et al., 2010).
Akurasi diagnostik PET dan PET/CT sangat bervariasi, bergantung pada populasi
pasien, teknologi yang digunakan, serta desain studi. Sebagai contoh, jika lesi payudara kecil
atau bahkan sulit dideteksi, maka sensitivitasnya akan cenderung rendah. Selain itu, PETPET/CT sangat bervariasi kemampuannya dalam mendiagnosis keganasan lokal, regional,
dan metastasis. Karena penggunaan FDG sebagai radioisotop, peningkatan glukosa darah
dapat menjadikan suatu misdiagnosis. Oleh sebab itu, semua pasien direkomendasikan untuk
puasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan. Aspek-aspek lain yang dapat mempengaruhi akurasinya,
antara lain lamanya uptake radioisotop, attenuated factor, image acquisition time, dan model
interpretasi image (Pennant et al., 2010).
Deteksi Dini Kanker Payudara dan Tiroid
17
Pada patient-based analysis, estimasi absolut sensitivitas dan spesifitas PET Scan
lebih tinggi 10% (sensitivitas 97%). Pengamatan berbasis lesi saja kurang reliabel dan
inkonsisten jika dibandingkan dengan patient-based analysis pada penggunaan PET Scan
(sensitivitas 56%). Dalam mendeteksi suatu metastase tulang, PET Scan memiliki pola yang
kurang konsisten jika dibandingkan dengan pemeriksaan CW (range of examination and
imaging techniques), CT dan skintigrafi tulang. Namun, PET memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang sedikit diatas skintigrafi. PET/CT menunjukkan peningkatan sensitivitas yang
signifikan jika dibandingkan dengan direct and indirect patient-based comparisons
(sensitivitas absolut lebih tinggi 15% dan spesifitas absolut lebih tinggi 10%). Meskipun
jumlah studi pendukung yang belum terlalu banyak, hasil akurasi yang konsisten pada
perbandingan hasil PET/CT dengan CT menunjukkan suatu keuntungan diagnostik dari
PET/CT jika dibandingkan teknik pencitraan lain. Berdasarkan perbandingan hasil PET Scan
dan MRI, tidak terdapat perbedaan sensitivitas dan spesifisitas yang signifikan. Secara
keseluruhan, PET/CT memiliki keunggulan akurasi diagnostik (sensitivitas) yang konsisten
jika dibandingkan dengan PET. Berdasarkan beberapa studi, hasil sensitivitas dan
spesifitasnya konsisten satu sama lain, yaitu antara 90-91% untuk sensitivitas dan 86-87%
untuk spesifitas. Untuk deteksi rekurensi kanker payudara, PET Scan dapat digunakan
bersamaan dengan teknik pencitraan lainnya, untuk meningkatkan akurasi diagnostiknya. Di
sisi lain, kombinasi PET/CT menunjukkan akurasi yang lebih akurat dan cost-effective jika
dibandingkan dengan pemeriksaan PET saja (Pennant et al., 2010).
18
19