Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Litosfer disusun oleh benda padat Pendahuluan yang keras (rigid) dan selalu bergerak
di atas lapisan mantel yang bersifat mobile. Hasil penelitian geologi dan geofisika menunjukan
bahwa kulit bumi ini tersusun atas sejumlah lapisan (lempengan) batuan yang memiliki ukuran
dan sifat fisik-kimia berlainan. Lempeng kerak bumi tersebut diatas dapat dipisahkan oleh
jalur subduksi, rifting dan strike slip (Hamilton, 1979). Masing-masing lempeng dapat dilihat
pada gambar 1.
Untuk wilayah Asia Tenggara dan khususnya untuk Indonesia, pada akhir
Kenozoikum, strukture style dipengaruhi oleh interaksi tiga buah lempeng kerak bumi
(Gambar 2), masing-masing adalah Lempeng Eurasia di bagian utara, Lempeng Samudera
Pasifik di bagian timur dan Lempeng Samudera India-Australia di bagian selatan (Katili, 1973
dan Hamilton, 1979). Dengan asumsi Lempeng Eurasia relatif diam dan Lempeng Pasifik
bergerak ke arah barat sedangkan Lempeng Hindia-Australia bergerak ke arah utara maka
ketiga lempeng tersebut saling bertumbukan membentuk busur kepulauan yang aktif secara
tektonik hingga sekarang. Bukti yang menunjukan bahwa tektonik di Indonesia ini aktif antara
lain dijumpai banyaknya gunungapi aktif (sekitar 129 buah) serta seringnya terjadi peristiwa
gempa bumi pada batas-batas interaksi lempeng (Katili dan Siswowidjojo,1994).
Secara umum diketahui bahwa kerangka fisiografi kepulauan Indonesia dipengaruhi
oleh adanya dua daerah paparan (tanah/daratan) dengan inti kerak yang stabil (Gambar 3).
Kedua paparan tersebut adalah paparan Sunda yang menempati bagian barat kawasan
Indonesia dan yang lainnya adalah paparan Sahul-Arafura yang menempati bagian timur
Indonesia (Katili, 1973). Daerah yang terapit kedua paparan itu berupa busur kepulauan
(gugusan kepulauan) yang rumit geologinya serta cekungan laut dalam yang membentang
diantara kedua daerah paparan tersebut (Van Bemmelen, 1949).
Paparan Sunda adalah bagian dari Lempeng Eurasia (yang untuk sebagian besar
terbenam di bawah lautan) yang meliputi Semenanjung Malaya, bagian terbesar Pulau
Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan sebagian besar Laut Jawa serta bagian selatan
Laut Cina Selatan. Paparan ini terdiri atas batuan sedimen, batuan beku dan batuan metamorf
berumur pratersier yang telah terdeformasi kuat dibawah pengaruh gerakan tektonik dan
penujaman selama Zaman Tersier. Batas antara lempeng Hindia-Australia dan lempeng
Eurasia di barat Sumatera dan di selatan Jawa serta Nusa Tenggara, dicirikan oleh sistem
palung-busur (arc trench system) yang dinamakan sebagai Palung Sunda (Sunda trench) yang
membentang sepanjang kurang lebih 5000 km (Hamilton, 1979).
Paparan Sahul-Arafura merupakan bagian dari lempeng benua Samudera IndiaAustralia, yang membentang mulai dari bagian barat Papua, melewati Laut Arafura, bagian
selatan Laut Timor berlanjut ke arah selatan hingga mendekati daratan Australia sekarang. Ke
arah selatan dari paparan Arafura ini, terhampar Paparan Australia yang meliputi runtunan
batuan malihan berumur mulai dari Paleozoikum hingga endapan sekarang (Gambar 4).

Wilayah lain di Indonesia yang terletak diantara Paparan Sunda dan Paparan SahulArafura merupakan daerah yang paling aktif secara tektonik pada saat ini. Zona aktif secara
tektonik tersebut dicerminkan dengan berkembangnya gugusan pulau berupa busur-dalam
bergunungapi dan sederet pulau non-volkanik dengan intensitas struktur (deformasi) yang
tinggi.
Rangkaian (busur) gunungapi di Indonesia itu mencakup Sumatera, Jawa, Bali,
Lombok, Sumbawa, Flores dan pulau kecil-kecil di seputar Laut Banda. Sedangkan untuk
busur luar non-volkanik membentuk deretan pulau kecil di barat Sumatera, seperti Pulau
Simeulue, Nias, Kepulauan Mentawai, Enggano dan pulau kecil lainnya. Jalur busur luar nonvolkanik ini terus berlanjut ke punggung bawah laut di selatan Jawa (tinggiannya tidak / belum
membentuk kepulauan), dan terus berlanjut ke timur melewati deretan pulau tak bergunungapi
seperti Pulau Timor, Tanimbar, Kei dan kemudian Seram yang dianggap masih tercakup
didalamnya (Umbgrove, 1949).

TEKTONIK INDONESIA BAGIAN BARAT


Sudah banyak para ahli geologi mencoba merekontruksi model evolusi tektonik
kawasan Asia Tenggara termasuk di dalamnya wilayah Indonesia, namun demikian masih
banyak poersoalan geologi yang belum terpecahkan.Dalam buku ini, model tektonik yang
akan dibahas berasal dari Katili (1973), Davis (

) dan Taponier (

).

Model Tektonik Asia Tenggara (Sumatra) Menurut Katili (1973)


Katili (1973) telah membuat rekontruksi evolusi tektonik Sumatra mulai dari
Paleozoikum hingga Kenozoikum yang dikelompokan ke dalam dua tahapan, yaitu masa
sebelum dan sesudah India menabrak Lempeng Asia yang berada di utaranya.
Tektonik Asia Tenggara Bagian Barat Pada Masa Paleozoikum-Mesozoikum
Pada masa Paleozoikum terjadi penunjaman di sebelah timur Semenanjung Malaysia,
mungkin diseputar sebuah benua mikro yang berasal dari tanah Gondwana (Burret dan Stait,
1984). Seiring dengan itu terbentuklah busur gunungapi di bagian tengah wilayah tersebut dan
terbentuk busur muka di bagian timur busur gunungapi itu sedangkan di bagian barat terjadi
busur belakang.
Pada waktu yang bersamaan di sebelah barat Sumatera diduga terjadi penunjaman
yang miring kearah benua Asia (Katili, 1975). Disana pun dapat dijumpai busur gunungapi,
busur muka dan busur belakang. Jadi sejak masa Paleozoikum di Indonesia bagian Barat ada
dua sistem palung busur atau palung busur ganda (double subduct) yang terpisahkan oleh
sebuah benua mikro.
Selain adanya jalur tunjaman Paleozoikum tersebut di atas, ada sebuah tunjaman lain
lagi yang miring pada arah yang berlawanan. Mungkin saja tunjaman itu terdapat sepanjang
Garis Lupar, Serawak. Lajur tunjaman itu menunjukan sedikit perubahan, di bagian timurlaut,
mundur kearah Laut Cina Selatan. Busur gunungapi pengiringnya diwakili oleh batuan
gunungapi Serian dan selain itu, batuan gunungapi berumur Trias yang dijumpai dalam lubang

bor di paparan Sunda. Menurut Mitchell (1977), pada Zaman Trias terjadi benturan yang
melibatkan dua busur. Peristiwa itu memperluas tanah Sunda dan menciptakan granit timah di
Malaysia, Bangka dan Belitung (Gambar 5).
Selanjutnya pada Zaman Kapur terjadi deformasi yang menyebabkan adanya
perubahan besar-besaran roman bumi di Asia Tenggara, yang diawali oleh aktifitas tektonik
tarikan di sebagian daratan Gondwana pada Kapur dini. Kemudian pada Kapur Senja dan
Eosen Dini (70 jt) baik lajur penunjaman yang baratdaya maupun yang timurlaut makin
membesar, sementara yang pertama bergerak menuju kearah Samudera India dan yang kedua
ke laut Cina Selatan (gambar 6). Peristiwa ini diikuti oleh rotasi sunda shelf. Berdasarkan data
kemagnetan purba dari dataran Khorat (Daly drr., 1986) menujukan, bahwa Tanah Sunda
terputar, yang berakibat tertutupnya Laut Cina Selatan. Sementara itu penunjaman kerak
samudera di bawah Kalimantan pun terus berlanjut yang meneyebabkan adanya kegiatan
gunungapi dan penerobosan granit ditepi kraton, antaralain di Natuna dan kepulauan
Anambas. Pada tahapan tektonik ini daratan India belum menabrak lempeng Eurasia yang
berada di utaranya.
Pada Eosen Senja penunjaman sepanjang garis Lupar-Natuna ditepi baratlaut Cina
Selatan berakhir (White & Wing, 1978) dan secara bersamaan terbentuklah Teluk Thailand,
termasuk anak cekungan Natuna Barat.
Tektonik Asia Tenggara Bagian Barat Pada Masa Kenozoikum
Kala Eosen terjadi deformasi besar-besarnya yang menyebabkan terjadinya perubahan
roman muka bumi di Asia Selatan. Pada Eosen Dini (50 jt) India sudah mendekati Asia dengan
kecepatan kecepatan 20 cm/tahun dan pada saat itu Sunda shelf belum berotasi.
Benturan (collosion) antara India dengan Eurasia terjadi pada Eosen Tengah (50-45 jt)
hingga Eosen Senja (40 jt) yang menyebabkan terbentuknya rangkaian pegunungan Himalaya,
dan sementara itu Birma dan Semenanjung Thailand terdesak keatas, yang akhirnya
menyebabkan terjadinya sesar mendatar di Asia Tenggara termasuk Indonesia Barat (Sumatra).
Sesar besar Sumatra yang membentang mulai dari laut Andaman di bagian utara
memotong rangkaian bukit barisan dan terus membujur ke selatan hingga diperkirakan
berakhir di Palung Jawa. Sesar Sumatra berjenis dekstral dan membentuk pola en-echelon
dengan loncatan ke kanan dan ke kiri. Pada bagian inilah terbentuk daerah kompresi dan
ekstensional (tarikan). Pada daerah-daerah yang mengalami tegasan tarikan akan
menghasilkan sejumlah cekungan tarik atau dinamakan sebagai pull apart basin, seperti
misalnya cekungan Sumatera Selatan, cekungan Sumatera Tengah dan cekungan Sumatera
Utara (gambar 6).
Sementara tektonik pembentukan sesar mendatar berlangsung, posisi jalur penunjaman
bergeser sedikit ke selatan yang akhirnya menempati daerah di selatan Sumatera dan Jawa.
Kecepatan gerak lempeng India Australia pada Eosen Awal sekitar 18 cm/th dan menurun
secara cepat pada Oligosen Akhir (30 Ma) menjadi 3cm-4 cm/th, peristiwa ini selanjutnya
diikuti oleh penurunan muka air laut (Pitman, 1978; Vail et al, 1977 dalam Katili, 1975).

Berkurangnya kecepatan gerak lempeng India-Australia ke arah utara diikuti oleh


melebarnya cekungan busur depan (Daly, 1987) sehingga menyebabkan makin melebarnya
Laut Cina Selatan. Terbukanya (melebarnya) Laut Cina Selatan berhubungan pula dengan
gerak rotasi Kalimantan yang berputar menganan atau searah jarum jam (Daly drr., 1986).
Sementara itu sekitar 40 juta tahun yang lalu, arah gerak Lempeng Pasifik berubah yang
semula bergerak ke arah utara-baratlaut menjadi barat-baratlaut (Uyeda & Mc Cabe, 1973).
Perubahan arah gerak inilah yang mempengaruhi gerak rotasi Kalimantan.
Selanjutnya pada Oligosen Akhir hingga sekarang kecepatan gerak lempeng IndiaAustralia meningkat menjadi 6-7 cm/th (Uyeda, 1978; Kanamori, 1978 dan Kariq, drr, 1979).
Perubahan kecepatan gerak lempeng tersebut menyebabkan terbentuknya sejumlah sistem
tegasan kompresional dan eklstensional. Tegasan kompresional dicirikan oleh terjadinya
pengangkatan Bukit Barisan, Kepulauan Mentawai serta adanya aktifitas vulkanik, sedangkan
tegasan ekstensional dicirikan oleh terbentuknya sejumlah cekungan sedimentasi.
Konfigurasi pola struktur di Indonesia dipengaruhi pula oleh gerak mikro plate
Filipina. Di Filipina (gambar 10), selama Eosen Akhir hingga awal Oligosen terdapat suatu
lajur penunjaman yang miring ke barat. Penunjaman itu menyebabkan timbulnya jalur timur
Filipina yang berbatuan pluton dan gunungapi. Busur awal Filipina ini membentur busur lain
yang terletak di atas lempeng yang sedang menunjam sehingga mengakibatkan terhentinya
proses penunjaman itu (Uyeda & Mc Cabe, 1982 dalam Katili, 1975).
Aktifitas tektonik Oligosen tersebut di atas diikuti oleh aktifitas tektonik lain di bagian
timur Filipina, yaitu makin melebarnya cekungan Parace-Vela dan Shikoku, yang selanjutnya
menyebabkan mikro plate Filipina bersentuhan dengan benua mikro Palawan. Sementara itu
dibagian barat Filipina, proses penunjaman juga dimulai pada Kala Oligosen yang
mengakibatkan mikro plate Filipina bergerak ke barat, mendekati lempeng Eurasia.
Adanya pengaruh tumbukan mikroplate Filipina terhadap lempeng Eurasia tersebut di
atas secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aktifitas tektonik Oligosen Akhir
(30 juta) terutama yang berkaitan dengan pembentukan kerak baru di laut Cina Selatan
(gambar 11). Melebarnya laut cina selatan serta terbentuknya kerak baru di wilayah
tersebutlah yang menyebabkan terpisahnya Reed Bank (Gosong Reed) dari Macclesfield Bank
(Gosong Macclesfield) (Taylor & Hayes, 1980 dalam Katili, 1975).
Masih pada Kala Oligosen, di barat Sumatera dan selatan Jawa aktifitas penunjaman
terus berlanjut, yang menyebabkan terbentuknya Andesit Tua atu old andesit (termasuk ke
dalam Formasi Jampang untuk singkapan di Jawa) di kedua pulau tersebut.
Tektonik Oligosen terus berlanjut ke Miosen, dimana pada masa itu mikroplate Filipina
yang terletak diatas lajur Benioff yang miring ke timur, membentur bongkah Palawan. Hal itu
berakibat terhambatnya atau terhentinya penunjaman sepanjang batas barat lempeng Laut
Filipina. Sementara itu pemekaran di cekungan Parace-Vela terhenti sedangkan jalur
penunjamannya berbalik dan kembali pada sisi timur Filipina (Uyeda & Mc Cabe, 1982 dalam
Katili, 1975).
Pemekaran dasar samudera di Laut Cina Selatan terus berlangsung hingga Miosen
Awal. Peristiwa ini menyebabkan bongkah kerak yang bergerak ke selatan menujam kebawah

punggung Kalimantan-Palawan. Benua mikro Palawan bagian utara mengapung makin ke


selatan melalui sesar transform Ulungan (Katili, 1981), oleh karenanya benua mikro itu pun
akhirnya menempel pada lajur penunjaman Palawan selatan. Pada Miuosen Akhir benturan
Reed Bank dengan Palawan Selatan menghasilkan dan menempatkan ofiolit diatas Palawan
serta menghentikan pemekaran di laut Cina selatan (gambar 12).
Kembali ke kawasan Sumatra,

proses pensesaran dengan gerakan dekstral terus

berlangsung di Sumatra dan sekitarnya. Kegiatan ini diikuti oleh pemekaran (spreading) di
Laut Andaman (Curray, 1978 dalam Katili 1975).
Berlanjut ke tektonik Pliosen, trench Jawa-Sumatra yang berada di bagian barat
Sumatra dan selatan Jawa bergeser ke arah samudra. Namun demikian posisi sebaran
gunungapi bergeser lebih ke utara. Kondisi ini hanya dapat terjadi apabila jalur Benioff-nya
menjadi jauh lebih dangkal ketimbang pada Tersier Tengah (Katili, 1975).
Model Tektonik Asia Tenggara Menurut Taponier (1982)
Usaha orang untuk merekonstruksi tataan geologi masa lampau di Asia Tenggara
(termasuk di dalamnya Indonesia bagian barat) sempat terpengaruh oleh kemuculan model
ekstrusi yang diajukan oleh Tapponier drr (1982). Model ini menggambarkan tumbukan India
terhadap Eurasia yang berakibat terdesaknya bagian tenggara Asia. Model ini menurut
beberapa lawan ilmiahnya kurang seimbang dalam ukuran, selain itu langkanya gerakan sesar
mendatar yang aktif (Sesar Sungai Merah di Vietnam) tidaklah menunjang, demikian pula
perpendekan kerak bumi di Tibet tidak dipertimbangkan (Daly drr., 1986).
Molnar dan Taponier (1975) dan Taponier et al (1982), menyatakan bahwa tektonik
Indonesia bagian barat dipengaruhi oleh tumbukan lempeng anak benua India dengan lempeng
benua Eurasia yang terbentuk pada zaman Kenozoikum. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya
perpindahan sejumlah blok ke arah timur atau tenggara. Perpindahan blok tersebut melalui
sesar-sesar mendatar, antara lain melalui sesar Sumatra (Huchon dan Le Pichon, 1984).
Model Tektonik Asia Tenggara / Sumatra Menurut Davis ( 1984)
Pada Zaman Paleogen, lempeng Hindia-Australia, menghampiri Sumatra dengan arah N 200
E. Pada saat itu Sumatra berada pada kedudukan N 160 E yang sebelumnya berposisi N 180
E (pada saat ini sudut interaksi tumbukan lempeng sebesar 20). Jelas disini telah terjadi rotasi
sebesar 20 berlawanan arah jarum jam (counter- clock wise).
Gerak rotasi tersebut masih belum cukup mampu menimbulkan suatu gejala kompresi
antara kedua lempeng yang saling bertemu itu, hal ini disebabkan karena sudut interaksi
tumbukan hanya sebesar 40 (sebelum berotasi sudut interaksi hanya 20).
Gerak rotasi Lempeng Mikro Sunda ini kemudian terhenti sementara pada akhir Awal
Miosen. Pada saat yang bersamaan laut Andaman mulai terbuka (pendataan umur
menunjukkan 16 jula th.y.l.) dan sementara itu Sumatra juga sudah beranjak menjauh ke
tenggara, maka terbukanya Laut Andaman berlangsung tanpa hambatan. Sebelum terbukanya
Laut Andaman, didahului oleh gejala pengangkatan yang luas dari tepi benua.

Gerak rotasi yang kedua terjadi pada Miosen Tengah sebesar 20 - 25 dengan arah
yang berlawanan dengan jarum jam. Berdasarkan data paleomagnetik, sejak akhir Miosen
Tengah menunjukkan bahwa lempeng Hindia Australia mendakati lempeng Mikro Sunda
dengan arah masih N 200 E. Sementara Lempeng Mikro Sunda telah terputar sebesar 40
(barlawanan arah jarum jam), maka sudut interaksi antara Sumatra dengan lempeng HindiaAustralia sekarang meningkat dari 40 menjadi hampir 60-65.
Konsekuensi terjadinya rotasi ini menyebabkan timbulnya tegasan kompresi yang pada
akhirnya selain menghasilkan sejumlah sesar baru (terutama sesar menyerong) dan
mengangkat bukit barisan, juga mengaktifkan sesar tua.
Sebagai akibat adanya rotasi berkelanjutan, maka sesar-sesar lama yang berarah utaraselatan menjadi berarah baratlaut-tenggara sedangkan yang berarah timurlaut-baratdaya
(umumnya sesar normal) menjadi berarah utara-selatan. Konsekuensi dari perubahan ini
mengakibatkan sesar mendatar yang arahnya menjadi baratlaut-tenggara teraktifkan kembali
sebagai sesar naik, sedangkan sesar normal berubah menjadi sesar mendatar dengan arah
utara-selatan.
Evolusi Tektonik Tersier Asia Tenggara (Sumatra)
Perkembangan tektonik Tersier Asia Tenggara (Sumatra) dapat dirangkum sebagai
berikut :
Periode Eosen Awal - Oligosen Awal
Pada Eosen Awal Sumatra, Semenanjung Malaya dan Kampuchia, masih merupakan
bagian dari lempeng Eurasia. Pada saat itu kedudukan Sumatra adalah utara- selatan. Kirakira pada saat fragmen India (Lempeng Hindia-Australia) sudah mulai bersentuhan dengan
Lempeng Eurasia terjadilah pergeseran fragmen Indochina dan China ke arah tenggara
(Gb.4-3911).
Pada zaman Eosen gerak lempeng Hindia-Australia mencapal 18 cm/th dengan arah utara,
sedangkan menjelang Oligosen berkurang hingga mencapai hanya 3 cm/th dan disamping
itu juga terjadi perubahan pada arah gerak beberapa derajat ke timur (Gb.4-21).
Persentuhan antara lempeng Hindia-Australia dengan daratan Sumatra seperti itu,
mengakibatkan mulai terbentuknya pola rekahan dengan pergeseran dekstral yang dikenal
sebagai Sesar Sumatra. Kemungkin pembentukan rekahan itu dimulai di Sumatra Selatan
dan terus berkembang ke utara (Davies,1987).
Pola rekahan inilah yang kemudian merupakan awal terbentuknya cekungan di bagian
timur Sumatra (Gb.4- 22). Gerak-garak mendatar pada pasangan sesar yang bertangga
(overstepping wrench), akan membentuk cekungan lokal yang disebut "pull apart Basin"
(Gb..4 22).
Selanjutnya pada Awal Oligosen, kecepatan gerak lempeng Hindia-Australia mulai
berkurang dan akhirnya menyebabkan terjadinya percepatan gerak vertikal cekungan
tarsebut. Masihpada kalaini, persentuhan atau Interaksi kedua lempeng tersebut
tidak/belum membentuk suatu jalur subduksi, kondisi ini terjadi karena sudut interaksi
kedua lempeng masih kecil. Bukti belum / tidak adanya subduksi adalah tidak adanya

aktifitas vulkanik pada periode tersebut (tidak ada material gunungapi berumur Oligosen
Bawah).
Periode Oligosen Akhir - Miosen Awal
Terjadi gerak rotasi yang pertama dari lempeng Mikro Sunda sebesar 20 ke arah yang
berlawanan dengan gerak jarum jam, disertai dengan pemisahan Sumatra dari
Semenanjung Malaya. Gerak rotasi ini juga menyebabkan terbentuknya pembentukan
cekungan di Sumatra Timur sebagai cekungan regangan atau pull apart basin. Adanya
pengangkatan dan penurunan lokal menyebabkan proses erosi dan pengendapan yang
cepat di dalam cekungan tersebut (Gb.4-23 dan Gb.4-24).
Rotasi yang pertama ini masih belum dapat menempatkan kadudukan Sumatra kedalam
keadaan dimana interaksi antara kedua lempeng akan mampu menimbulkan terladinya
tegasan kormpresi.
Periode Miosen Tengah
Rotasi lempeng mikro Sunda terhenti pada Miosen Tengah, dan secara bersamaan disusul
oleh pengangkatan regional. Dalam perioda ini terjadi pengaktifan kembali sesar lama dan
penurunan cekungan semakin cepat.
Periode Miosen Atas - Sekarang
Rotasi yang kedua dimulai sebesar 20-26 kearah yang berlawanan dengan jarum jam,
yang dipacu oleh membukanya laut Andaman. Pada saat itu, interaksi antara lempeng
Hindia-Australia dengan lampeng Eurasia sudah meningkat dari 40 menjadi hampir 65.
Makin besarnya sudut interaksi mengakibatkan terjadinya tegasan kompresi. Keadaan
demikian ini menyebabkan pengangkatan Bukit Barisan dan peningkatan kegiatan
volkanisma.
Di barat Sumatra terbentuk jalur subduksi dan sesar -sesar mendatar sehingga disini juga
memungkinkan terjadinya cekungan regangan ('Pull Apart Basin') antara busur luar dan
daratan Sumatra (Mulhadiono dan Sukendar, 1987). Sebagai akibat dari

rotasi yang

berkelanjutan ini, juga terjadi perubahan status daripada pola-pola sesar di cekungan
Sumatra timur. Sesar-sesar mendatar Paleogen yang berarah utara-selatan, berubah
menjadi baratlaut-tenggara, sedangkan yang berarah timur laut baratdaya (sesar normal),
menjadi utara-selatan. Karena lingkungan tegasannya berubah, maka sesar-sesar mendatar
yang berubah menjadi baratlaut-tenggara menjadi aktif kembali sebagai sesar naik dengan
kemiringan curam, sedangkan sesar normal yang berubah menjadi utara- selatan, aktip
kembali sebagai sesar mendatar (dextral).

TEKTONIK INDONESIA BAGIAN TIMUR


Tektonik Indonesia bagian timur dipengaruhi langsung oleh interaksi 3 lempeng dan
pembentukannya dapat dikelompokan ke dalam dua tahapan, yaitu masa sebelum dan sesudah
benua Australia membentur Indonesia bagian Timur.
Tektonik Asia Tenggara Bagian Timur (Indonesia Bagian Timur) Sebelum Australia
Tiba
Pecahnya Gondwana menyebabkan timbulnya beberapa sumbu pemekaran utama di
Samudera India yang kemudian diikuti oleh pengaturan kembali pola penunjaman secara
besar-besaran di Indonesia (Katili, 1989).
Sementara Australia bergerak ke utara, Irian/Papua mendekati busur Kepulauan Sepik
dan akhirnya membenturnya (Downey, 1985). Peristiwa itu terjadi sekitar 30 juta tahun yang
lampau. Pada waktu yang hampir bersamaan pemekaran busur-belakang menyebabkan
timbulnya busur yang tidak terputus-putus Britian-New Ireland-Salomon Utara ke bagian
baratlaut Irian.
Selanjutnya, sistem Sunda trench pada 20 juta tahun lalu sudah membentang mulai
dari ujung barat Sumatera menerus ke Jawa, Nusa Tenggara, Tanimbar, Kei dan Buru, dan
bahkan bersambung dengan busur Melanesia. Menjelang tibanya benua Australia pada tepi
benua Asia Tenggara, ada sebuah busur gunungapi yang berarah utara-selatan. Busur yang
disebut busur gunungapi Sulawesi-Mindanao ini menjulur sekitar 800 km di timur Kalimantan
(Katili, 1978). Lebih jauh ke tenggara, terentang busur kepulauan Sepik yang lebih tua yang
menempel pada Irian. Busur ini memisahkan benua Australia dari lempeng Pasifik.
Tektonik Asia Tenggara Bagian Timur (Indonesia Bagian Timur) Selama dan Sesudah
Benturan dengan Australia
Sekitar 50 juta tahun yang lalu, Irian dan Sepik yang dalam pada itu terpateri menjadi
benua mikro, tiba di lempeng Asia Tenggara dan membentur busur Melanesia (Daly drr.,
1986). Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi antara lempeng Australia yang bergerak ke
utara dan lempeng pasifik yang maju ke barat-baratlaut (lihat gambar 13).
Berbagai proses itu mengakibatkan timbulnya beraneka corak struktur. Diantaranya
dapat disebutkan beberapa sesar mendatar sinistral; persesaran yang penting itu, berarah timurbarat seperti Sesar Sorong dan Sesar Tarera-Aiduna. Kemudian pada sesar geser itu terbentuk
cekungan tarik, seperti Cekungan Salawati dan beberapa cekungan yang ada di utara. Maka
terciptalah sebuah jalur lipatan/ sesar-naik utama, yang berarah barat-baratlaut, dan terentang
melewati Papua Nugini dan Irian Jaya, kemudian membelok kearah utara-baratlaut menuju
daerah Lengguru. Dalam hal ini, Sesar Tarera-Aiduna bertindak sebagai penahan samping
terhadap sesar-naik tersebut (gambar 14).
Kemudian, sekitar 10 juta tahun lalu, terjadilah sebuah jalur penunjaman, di sebelah
utara Irian. Proses itu bahkan masih berlangsung hingga kini. Tetapi penunjaman itu tidak
diiringi kegiatan gunungapi di Irian Jaya (gambar 15).

Peristiwa yang paling menakjubkan dalam sejarah geologi Indonesia bagian timur
terjadi kira-kira 5 juta tahun yang lalu.
Pada saat itulah Irian terputar secara sinistral (berlawanan dengan arah jarum jam),
sementara Australia terus bergerak ke utara. Akibatnya, busur Banda yang berarah timur-barat,
terbelokkan sehingga melengkung ke barat. Dengan demikian terperangkaplah Laut Banda.
Peristiwa itu membawa serta timbulnya berbagai kejadian yang lain. Kepala Burung di
Irian Jaya tersayat pisau tektonik sepanjang Sesar Sorong (Hamilton, 1979, Katili, 1986a).
Kemudian, Buton dan Sula serta sejumlah benua mikro lainnya membentuk busur Sulawesi
dan busur Halmahera yang menghadap kr timur itu. Proses tersebut dengan sangat kuatnya
mengubah busur kepulauan ganda itu menjadi bentuk yang menyerupai huruf K (gambar 16).
Dapat kita bayangkan, perbenturan itu menimbulkan perubahan besar-besaran.
Diantaranya, batuan ultrabasa mencuat di lengan timur dan lengan barat Sulawesi, dan setelah
itu tersesar naikkan di atas busur kepulauan. Gaya tektonik yang bekerja tiada henti-hentinya
kearah barat sepanjang sesar Sorong dan sesar Matano di Sulawesi bagian tengah, lambat laun
mendorong Sulawesi menuju ke benua Asia, mandekati Kalimantan. Dengan demikian,
tertutupnya Laut ini, mencuatlah komplek tunjaman Meratus dan Pulau Laut yang semula
terbenam itu. Dari komplek yang berumur Kapur-Tersier dini ini kemudian terbentuk
Pegunungan Meratus (Katili, 1978). Tetapi Pengangkatan pegunungan ini tidak disertai
kegiatan pluton; yang terlihat pada proses itu hanyalah gaya memampat. Memang tidak
tersedia catatan yang menyatakan adanya batuan pluton yang seumur (Van Bemmelen, 1949).
Dalam pada itu, Laut Sulawesi Selatan terbuka kembali. Kala itu adalah akhir Pliosen
dan yang menjelma sekarang adalah Selat Makassar. Pembukaan itu disebabkan oleh
pemekaran sepanjang sesar transform, yang terpenting di antaranya ialah sesar Paternoster.
Pemekaran ke timur di selatan sesar Paternoster menyebabkan penunjaman serta terbentuknya
gunungapi Kuarter Lompobatang dan gunungapi Barupu di lengan selatan Sulawesi (Katili,
1978). Taylor dan Van Leeuen (1980) berpendapat, pemineralan di Sulawesi Selatan dapat
diterangkan dengan penunjaman di Selat Makassar yang berlangsung hanya singkat itu.
Kegiatan gunungapi tadi terhenti karena pemekaran Laut Sulawesi yang mendorong Sulawesi
kearah selatan-tenggara sepanjang sesar transform Palu-Koro. Berbarengan dengan itu
rusaklah pusat pemekaran tersebut, dan selain itu juga jalur penunjaman di Selat Makassar.
Dengan demikian terputuslah sumber magma bagi Lompobatang dan Barupu (Katili, 1978).
Dalam pada itu, Sulawesi bagian utara mengalami sejarah ketektonikannya sendiri. Di
sana terdapat dua jalur penunjaman kecil, sebuah miring ke barat dan sebuah lagi berkutub
lain. Penunjaman ynang pertama itu diiringi kegiatan gunungapi di Minahasa dan kepulauan
Sangihe. Yang kedua kemudian berkembang di barat laut Sulawesi dan di barat Halmahera.
Maka lahirlah gunungapi di sepanjang busur Halmahera yang menghadap ke barat.
Pembenturan akhir yang disertai pembentukan ofiolit kini sedang terjadi antara busur
Halmahera yang menghadap ke barat dan busur Sangihe yang menghadap ke timur (Silver &
Moore, 1981).
Dalam pada itu, seluruh busur New Britain-Salomon mengalami pembalikan dan
pemekaran busur-belakang dimulai di cekungan Manus. Sertamerta, busur kecil-kecil itu

mendapatkan arahnya yang sekarang. Busur New Britain bergerak ke tenggara, sedangkan
ujung baratnya membentur PNG (Papua Nugini) bagian utara sehingga terbentuk
Semenanjung Huon. Pembentukan itu masih tetap berlangsung sampai sekarang.

BAB 2
TEKTONIK SUMATRA
Model Tektonik Kuarter Sumatra
Peristiwa tumbukan dua lempeng Kuarter di Indonesia bagian barat menghasilkan
sejumlah unsur struktur (lingkungan tektonik) seperti palung Sumatra-Jawa, busur laur non
vulkanik, cekungan muka busur, busur volkanik, cekungan busur-belakang dan kraton. Untuk
Indonesia bagian barat, Katili, 1973 telah menyusun sebuah model tektonik lempeng
mengikuti Hamilton (1970) dan Dickinson (1971), seperti yang nampak pada gambar 2.1.
Palung Sumatra-Jawa (Sumatra-Java Trench)
Gerak lempeng Samudra India-Australia ke arah utara-timurlaut dihambat oleh
lempeng Eurasia yang posisinya di barat Sumatra berarah baratlaut-tenggara. Peristiwa ini
mengakibatkan terjadinya tumbukan menyerong (miring/oblique) dan membentuk parit Sunda
yang membentang sekitar 5000 km mulai dari Birma hingga Indonesia bagian Timur
(Hamilton, 1979; Beaudry & Moore, 1985).
Tumbukan menyerong selain menghasilkan trench, busur vulkanik dan sejumlah
cekungan lainnya, juga menghasilkan sistem sesar mendatar dekstral di Sumatra dan
sekitarnya. Sesar Sumatra dan Sesar Mentawai adalah dua sesar regional yang mempengaruhi
tektonik sumatra selanjutnya. Sesar Mentawai yang terletak relatif sejajar dan posisinya berada
di sebelah barat sesar Sumatra.
Gaya yang ditimbulkan oleh tumbukan lempeng Eurasia dan India-Australia
membentuk sudut 62 terhadap palung Sunda (Moore, G.F, drr, 1980). Gaya tersebut
selanjutnya diuraikan di beberapa tempat yang selanjutnya mengontrol pola struktur di
Sumatra dan sekitarnya. Sistem sesar anjak di prisma akresi (Pulau Nias, Simeulue dan
Siberut) adalah contoh penguraian gaya yang tegak lurus terhadap Parit Sunda.
Sistem palung-busur Kuarter Jawa-Sumatra yang terbentuk oleh penujaman kerak
samudera ke bawah kerak benua. Di sini kerak benua tipis saja, mengingat sebagian hanya
terdiri dari busur volcano-pluton Tersier. Menyamping, ke arah benua, kandungan kalium
batuan gunungapi berangsur-angsur meningkat. Hal itu terlihat nyata di P. Jawa (Hatherton &
Dickinson, 1969) dengan jalur Benioff-nya paling dalam sekitar 700 km. Di timur Pulau
Timor, palungnya menunjukkan sifat yang berbeda ketimbang di barat. Batuan magma di sini
yang ada di atas lajur Benioff bersusun menengah dan mafik. Kerak di bawah busur itu tipis
dan muda, dan di kedua sisinya terdapat kerak samudera (Hamilton, 1970).
Selanjutnya diungkapkan pula bahwa dari hasil rekaman seismik, batimetri, anomali
gravitasi dan data sonar, diketahui bahwa pada kedalaman 2300 meter di bawah laut di selatan
Jawa ditemukan gunungapi bawah laut dimana litologinya diperkirakan lava-lumpur (mud
volacano) dengan ketinggian 500 hingga 600 meter. Di kawah mud volcanous tersebut

dijumpai gas metana dan hidrogensulfida yang merupakan sumber energi bagi metabolisme
hewan .
Tepat di utara gunung bawah laut tersebut terdapat suatu kelurusan atau gawir berarah
barat-timur dengan ketinggian hingga 15 meter. Jalur kelurusan ini memotong struktur yang
lebih tua dan berakhir di bawah lapisan sedimen tebal di Palung Jawa. Kelurusan tersebut
diduga merupakan kelanjutan dari Sesar Sumatra dan akibat adanya sesar Sumatra ini, di
beberapa daerah terbentuk sistem tegasan ekstensional yang selanjutnya diikuti oleh adanya
aktifitas gunungapi. Gunung Krakatau merupakan salah satu fenomena gunungapi bawah laut
yang pembentukannya berasosiasi dengan jalur sesar di Selat Sunda.
Busur Luar Non Vulkanik (outer arc ridge atau arc trench gap)
Busur luar luar non-volkanik adalah tinggian yang terbentuk akibat adanya
pengangkatan. Terangkatnya batuan ke atas terjadi dengan mekanisme sesar naik sehingga
batuan yang terangkat mengalami proses pelipatan dan pensesaran, bahkan dibeberapa tempat
hancur tak teruraikan.
Batuan umumnya batuan sedimen pelagik, batuan beku dan batuan metamorf yang
tergerus kuat, seperti yang dapat diamati di rangkaian pulau kecil di sebelah barat Sumatra,
seperti Nias, Siberus dan Mentawai.
Busur luar non-volaknik atau dinamakan juga sebagai arc trench gap dapat muncul di
permukaan sebagai pulau seperti di Sumatra dan dapat pula tidak berbentuk pulau seperti di
selatan Jawa.
Cekungan Muka Busur (fore arc basin)
Cekungan muka busur terletak di antara Busur Luar Non-volkanik dengan Jalur
bergunungapi. Di Sumatra, cekungan jenis ini dibatasi oleh tinggian basement yang
pembentukannya dikontrol oleh sesar-sesar mendatar yang merencong. Isi cekungan berupa
batuan sedimen yang berasal dari hasil rombakan batuan dari daratan Sumatra dan pulau kecil
di barat Sumatra.
Busur Gunungapi (vulkanik/plutonik arc)
Jalur gunungapi terletak di inti pulau Sumatra memanjang dari ujung utara sumatra
hingga ke selatan, yang selanjutnya di kenala sebagai Bukit Barisan. Jalur gunungapi ini
terbentuk akibat adanya pembumbungan material dalam bumi yang tepatnya berada di atas
jalur Benioff. Mengingat ketebalan lempeng kontinen di wilayah ini relatif tipis maka
komposisi maerial vulkanik/plutoniknya berkomposisi asan hingga menengah.
Bukit Barisan mengalami aktifitas tektonik pengangkatan yang aktif pada Kala
Miosen, dimana pada saat itu sudut interaksi Lempeng Hindia-Australia dan Eurasia semakin
besar. Di dalam rangkaian gunungapi ini dijumpai beberapa deperesi berupa daerah pedataran
yang dikenal sebagai Cekungan antar pegunungan (Intra mountain basin).

Cekungan Belakang Busur (back arc basin / fore land basin)


Cekungan Belakang busur terletak di bagian timur jalur bergunungapi hingga
berbatasan dengan kraton. Cekungan sedimen ini dapat menghasilkan endapan yang tebal
mengingat dimensi cekungannya yang luas dibandingkan dengan jenis cekungan sedimen
lainnya.
Pada saat ini, posisi cekungan sedimentasi menempati Selat Malaka, Peraian Riau
hingga bergabung dengan Laut Jawa.
Sistem Sesar Sumatra
Tumbukan menyerong selain menghasilkan trench, busur vulkanik dan sejumlah
cekungan lainnya, juga menghasilkan sistem sesar mendatar dekstral di Sumatra dan
sekitarnya. Sesar Sumatra dan Sesar Mentawai adalah dua sesar regional yang mempengaruhi
tektonik sumatra selanjutnya. Sesar Mentawai yang terletak relatif sejajar dan posisinya berada
di sebelah barat sesar Sumatra.
Gaya yang ditimbulkan oleh tumbukan lempeng Eurasia dan India-Australia
membentuk sudut 62 terhadap palung Sunda (Moore, G.F, drr, 1980). Gaya tersebut
selanjutnya diuraikan di beberapa tempat yang selanjutnya mengontrol pola struktur di
Sumatra dan sekitarnya. Sistem sesar anjak di prisma akresi (Pulau Nias, Simeulue dan
Siberut) adalah contoh penguraian gaya yang tegak lurus terhadap Parit Sunda selanjutnya
gaya yang sejajar Parit Sunda memicu terbentuknya Sesar Sumatra dan Mentawai yang
posisinya relatif sejajar dengan parit tersebut. Bemmelen (1949), menamakan sesar Sumatra
sebagai Semangko Fault Zone sedangkan Katili dan Hehuwat (1967), menamakannya
sebagai The great Sumatra Fault Zone.
Sesar Sumatra merupakan gelala tektonik utama yang bersifat regional, membujur
sepanjang 1650 km dari Aceh sampal ke teluk Semangko di ujung selatan P.Sumatra.
Pergeseran total dari sesar ini diperkirakan paling sedikit mencapal 26 Km (Katili dan
Hehuwat, 1967). Sesar Semangko ini masih aktip sampai sekarang, yang ditunjukkan oleh
jalur gempa dangkal sepenjang jalur sistem yang sering menimbulkan kerusakan2 selama
sejarah ( Gempa yang terjadi di Padangpanjang pada tahun 1926,1946 dan 1983; gempa di
Liwa dan di Tarutung, dll ).
Tjia (1970) dapat mengenal sejumlah bentuk-bentuk amblesan sepanjang sesar
Semangko. Para peneliti semula menafsirkan bentuk-bentuk amblesan ini sebagai akibat
regangan yang terjadi pada bagian puncak "geantiklin" dan membentuk sesar-sesar bongkah
(van Bemmelen, 1949; Katili dan Hehuwat, 1967).
Bemmelen (1949), menafsirkan pernbentukan amblesan ini, seperti halnya Cekungan
Ombilin, terjadi pada jaman Eosen. Sedangkan Katili dan Hehuwat (1967) memperkirakan
Kapur Tengah hingga Awal Tersier dan setelah itu disusul oleh gerak mendatar.
Pemikiran-pemikiran yang ada sekarang (Davies, 1987 dan Koning, 1985),
menganggap bahwa bentuk-bentuk struktur amblesan itu adalah sebagai struktur penyerta
daripada gerak mendatar sesar Semangko, yaitu tipe "pull apart basin". Bentuk struktur separti

ini dapat disamakan dengan pambentukan "Death Valley" dl California, A.S. (Ob.4-18). Ciriciri sebagai pull-aparl basin dapal dilihat dari:
Sesar Sumatra merupakan sesar mendatar dekstral, membentang sepanjang 1650 km,
merupakan batas antar lempeng (lempeng Asia Tenggara dengan lempeng Mikro Sumatra),
berarah baratlaut-tenggara, relatif sejajar dengan palung Jawa-Sumatra, berimpit dengan jalur
vulkanik aktif (rengkaian gunungapi Bukitbarisan), menghubungkan dua daerah regangan
yaitu Cekungan Belakang Busur Laut Andaman dan Cekungan ekstensional Selat Sunda.
Sesuatu yang menarik di Selat Sunda adalah tidak ditemukannya fore arc basin.
Tjia (1977), menyatakan bahwa Sesar Sumatra terdiri atas beberapa segmen yang
masing-masing relatif saling sejajar dan dibeberapa tempat saling overlaping. Pola struktur
Sumatra dibeberapa tempat membentuk pola en-echelon sehingga di daerah tertentu pola
tektonik yang berkembang didominasi oleh sistem tegasan kompresi dan dibagian lain
dipengaruhi tegasan ekstensional.
Sistem sesar Sumatra dibeberapa segmen membentuk daerah kompresional yang
dicirikan dengan berkembangnya struktur lipatan dan sesar naik. Disamping sistem regangan,
sesar besar ini membentuk daerah regangan atau ekstensional yang menghasilkan topografi
cekungan yang batas-batasnya dikontrol oleh bidang sesar sebagai rangkaian graben
(Bemmelen, 1949; Westerveld, 1954). Contoh lokasi depresi yang berasosiasi dengan sistem
sesar Sumatra (Gambar 2-6), antara lain : Deporesi Aceh, Tangse, Alas, Angkola-Gadis,
Sempur-Rokan Kiri, Singkarak dan Solok, Muara Labuh, Kerinci, Ketahun, KapahiangMakakau dan Semangko (Katili dan Hehuwat, 1967).
Sesar Sumatra mulai terbentuk di Sumatra Tengah sejak Kapur Tengah (Hehuwat,
1967) dengan gerak relatif vertikal selanjutnya pada Plistosen Bawah gerak sesarnya disertai
oleh gerak mendatar dekstral. Tjia (1970) menyatakan bahwa pergeseran menganan sesar
Sumatra mulai terjadi pada kala Pliosen Bawah sedangkan Bahar (1982, dalam Hery Harjono,
1998) menyatakan bahwa di daerah Sumatra Barat (Padang) sesar Sumatra bergeser normal
(dominan) dengan komponen strike slip menganan yang mulai berlangsung sejak Kapur dan
Pliosen) dan prosesnya diikuti oleh tektonik regangan yang disertai aktivitas vulkanisma.
Jalur sesar sumatra tidak hanya terbentuk di daratan tapi juga berlanjut ke daerah
perairan Selat Sunda. Tanda-tanda jalur sesar Sumatra pada awalnya tidak diketahui
kelanjutannya, seperti yang pernah dinyatakan oleh para geologiwan dari berbagai negara,
antara lain German, Perancis, Amerika. Namun ketika ekspedisi lanjutan yang diberi nama
Indonesia-Japan Deep Sea Expedition Java Trench 2002, dilakukan oleh ilmuwan Jepang
dan Indonesia (BPPT) dalam ekspedisinya menggunakan kapal selam Yokusuka-Shinkai.
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa sesar Sumatra menerus ke arah tenggara, yaitu ke
wilayah selat Sunda dan berlanjut hingga ke selatan Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat dan
akhirnya mencapai palung Jawa. Penerusan sesar Sumatra ke arah tenggara ini dinamakan
sebagai sesar Sumatra segmen Panaitan.

Perkembangan Sesar Sumatra dapat dikenali mulai dari Eosen hingga Resent, yaitu :
Fase Tektonik Kapur Atas :
Kegiatan tektonik ini ditandai oleh aktifitas magmatik dan orogen sebagai akibat adanya
tumbukan lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Australia. Puncak kegiatan tektonik ini ini
tercermin oleh terbentuknya Pegunungan Barisan yang disertai oleh aktifitas vulkanisma.
Fase Tektonik Eosen-Oligosen Awal :
Pada jaman Eosen, lempeng Hindia Australia bergerak ke arah utara dengan

kecepatan

mencapai 18 cm/th. Menjelang Oligosen kecepatan berkurang menjadi 3 cm/th dan bergerak
rotasi ke arah timur. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya aktifitas regangan (pola rekahan)
dimulai dari daerah Sumatra Selatan dan kemudian berlanjut ke arah utara (Davies, 1987).
Pada gerak sesar mendatar yang saling berpasangan dan berjenjang (sesar menangga) akan
membentuk cekungan tarikan (pull aprt basin).
Fase Tektonik Oligosen Akhir Miosen Bawah :
Pada saat ini, terjadi rotasi dari lempeng mikro Sunda sebesar 20 berlawanan arah jarum jam
yang menyebabkan Sumatra mulai menjauh dari Semenanjung Malaya. Proses tektonik pada
waktu ini belum menghasilkan tegasan kompresi yang berarti.
Fase Tektonik Miosen Tengah :
Terjadi pengaktifkan kembali sesar-sesar, bersamaan dengan berhentinya rotasi lempeng mikro
Sunda.
Miosen Atas Recent :
Terjadi kembali rotasi ke dua sebesar 20 - 25 berlawanan arah jarum jam, selanjutnya
mengakibatkan makin membukanya Laut Andaman.

Sudut interaksi tumbukan lempeng

Hindia-Australia dengan lempeng Eurasia sudah berubah dari 40 menjadi 60. Pada saat
itulah mulai terjadi tegasan kompresi yang menyebabkan terjadinya pengangkatan bukit
barisan, pengaktifan gunungapi serta terbentuknya sesar menyerong. Sebagai akibat adanya
rotasi berkelanjutan, maka sesar-sesar lama yang berarah utara-selatan menjadi berarah
baratlaut-tenggara sedangkan yang berarah timurlaut-baratdaya (umumnya sesar normal)
menjadi berarah utara-selatan. Konsekuensi dari perubahan ini mengakibatkan sesar mendatar
yang arahnya menjadi baratlaut-tenggara teraktifkan kembali sebagai sesar naik, sedangkan
sesar normal berubah menjadi sesar mendatar dengan arah utara-selatan.

Kerangka Tektonik Sumatra Zaman Pra-Tersier Hingga Sekarang


Kerangka pra tersier Sumatera terdiri dari sebuah mozaik lempeng mikro benua dan
samudra yang diakresikan pada Trias akhir ketika lempeng mikro Mergui, Malaka dan Malaya
timur masih bersatu membentuk Sundaland. Akresi lebih lanjut (pada Mesozoikum akhir)
melibatkan Woyla terrain yang berada di pesisir barat. Magmatisma dan pensesaran yang
terjadi bersamaan banyak mempengaruhi Sundaland.

Lempeng benua mikro Mergui menempati inti bagian tengah Sumatera dari Aceh
sampai Jambi bagian selatan. Pembentukannya ditandai oleh sejarah yang kompleks dan
melibatkan plutonisma granit paleozoikum tua dan muda, volkanisma busur Perm akhir dan
pengendapan batulumpur kerikilan Permo-Karbon yang menyebar luas. Kompleks sutura
Trias yang mempunyai arah NW-SE samapi N-S (dapat ditemukan pada sub singkapan Riau
sampai daerah Palembang dan dinamai Rangkaian Mutus), memisahkan lempeng benua mikro
Malak di bagian timur. Lempeng ini hanya sedikit diketahui, tetapi tampaknua didominasi oleh
metasedimen tingkat rendah yang terpotong di bagian timur oleh granit yang mewakili
kontinuitas barisan granit utama Trias dari Semenanjung Malaya. Lempeng benua mikro
Malaya Timur ditandai oleh magmatisma busur Permo-Trias dan terletak di timur sebuah
garis yang menghubungkan Kundur dan Bangka. Batasnya merupakan batuan kompleks yang
berasosiasi dengan batuan mafik dan ultramafik yang berhubungan dengan garis RaubBentong dari Semenanjung Malaya. Woyla Terrain terdiri atas busur volkanik dan ofiolit Jura
dan Kapur yang terkena gaya tektonik. Tujuan lainnya adalah untuk mempelajari dengan
singkat perkembangan gagasan2 tentang evolusi pra Tresier Sumatera dan untuk menunjukkan
bagaimana lempeng mikro beserta batas2nya diinterpretasi secara beragam. Bahasan akan
ditekankan pada garis Lematang di Sumatera utara yang dulunya dinamai Jambi Thrust oleh
seorang penulis Belanda.
Perubahan Pada Pola Gagasan Tektonik Sumatera
Gagasan tentang asal-usul Sumatera berhubungan erat dengan Sundaland yang
merupakan bagian Asia Tanggara yang sebagian menghunjam dan diduduki oleh Sumatera,
Malaysia barat dan sebagian besar Kalimantan. Sundaland dianggap sebagai lempeng benua
yang paling besar dan padu di dunia dan dianggap terdiri atas inti pra Tersier yang stabil dan
dikelilingi oleh batuan yang lebih muda. Pada mulanya, zona sebelah luar dijelaskan dengan
dasar hipotesa Vening Meinesz tentang downbuckling. Setelah itu Bemmelen menggunakan
teori Undasinya untuk menjelaskan cincin2 konsentrik dan menyatakan bahwa cincin2
tersebut merupakan gelombang kerak yang berasal dari daerah inti yang berpusat di pulau
Anambas di Laut Cina Selatan. Gagasan-gagasanya dipresentasikan dan gagasan2 tersebut
menyatukan banyak teori tentang geologi Indonesia. Gagasan Bemmelen (1949) diterima
tanpa keraguan yang berarti sampai berkembangnya teori tektonik lempeng.
Teori tektonik lempeng mendetil pertama kali dikembangkan oleh Katili

(1973).

Penulis ini terkesan oleh konsentrisitas yang tampak jelas pada sabuk-sabuk yang melingkari
sundaland. Katili (1973) memperlihatkan bagaimana sabuk-sabuk tersebut dapat dijelaskan
oleh Zona Benioff. Dengan banjirnya informasi pada tahun 70-an, tampak jelas bahwa
interpretasi tentang evolusi sundaland yang dianggap tidak bergerak tidak dapat
dipertahankan. Sedangkan model-model lain yang menganggap bahwa sundaland bergerak
diterima secara luas. Sekarang para ahli menganggap bahwa sundaland bukan merupakan satu
kesatuan tunggal tetapi merupakan mozaik yang terdiri dari fragmen-fragmen atau lempenglempeng mikro yang terus bergerak.

Lempeng Mikro Sumatera dan Asia Tenggara


Adanya sejumlah terrane (terain) di bagian barat yang terpisah-pisah, sesar yang
berakar di batuan alas, dan aliran panas yang tinggi mendorong Pulunggono dan Cameron
(1984) untuk berpendapat, bahwa sebagian besar Sunda land itu adalah lempeng mikro.
Lempeng mikro adalah lempeng kecil yang terpisah secara tektonik dari lempeng
(besar) asalnya. Masing-masing lempeng ini dapat berasal dari lempeng induk yang sama dan
dapat pula dari lempeng yang berbeda dan selama perjalanannya masing-masing lempeng
tersebut bercerai berai membentuk kepulauan/daratan tersendiri (Pulau Banggai dan Sula) atau
dapat saling bersatu membentuk daratan yang luas (Sumatra). Batas-batas mikro lempeng
yang saling bersatu dicirikan oleh jalur suture (sutur).
Lempeng mikro pembentuk daratan Sumatra terdiri atas lempeng mikro Mergui,
Malaka dan Malaya Timur. Berbagai lempeng itu menyatu pada Zaman Trias Senja dengan
akresi terrane Woyla, yang terjadi kemudian pada Akhir Mesoziokum.
Gatinsky dan Hutchison (1984) menawarkan pendapat, bahwa lempeng mikro tersebut
(bagian timur Semenanjung Malaya, alas Kalimantan Barat, dan Sumatera bagian selatan)
merupakan bongkah yang mengapung dari Australia dan mendekati benua Asia Tenggara pada
Zaman Perm. Hubungan ruang dan waktu yang rumit dalam himpunan lempeng mikro yang
demikian itu dapat dilihat dalam penampang yang melintas Paparan Sunda (gambar 5).
Masalah terpenting dalam hal ketektonikaan benua mikro ialah, bagaimanakah orang
dapat mengenali daratan/tanah gusuran (alokhton), jejak daratan/tanah itu dalam ruang waktu,
serta proses yang menyebabkan daratan/tanah itu terpencil, berpindah tempat dan mengumpul.
Di atas semua itu, sangatlah penting bagi kita untuk dapat menentukan, apakah dalam
percampuran tektonik, sistem palung-busur merupakan bagian utama seperti pada Busur
Sunda masa kini. Atau, apakah alokhton yang terdiri dari pecahan tepi benua, sisa busur
kepulauan, dataran samudera dan pulau, lajur bancuh, pecahan ofiolit, dan sebagainya itu
tercirikan oleh perpindahan dan perputaran yang besar telah memainkan peranan yang lebih
berarti, seperti di wilayah Kordilera Amerika Utara pada Masa Mesozoikum (Coney drr.,
1980).
Pulunggono dan Cameron (1984) mempertahankan pendapat, bahwa busur volcanopluton yang timbul akibat proses penunjaman masih merupakan bagian penting dalam susunan
keseluruhan bagan tektonik. Di Sumatera, keadaan geologi menjadi rumit karena hadirnya
Sesar Sumatera yang terbentang sepanjang 1.350 km (Katili, 1973).
Dalam tulisan ini lempeng mikro didefinisikan sebagai fragmen-fragmen kecil dari sebuah
lempeng besar yang secara regional mempunyai sifat homogen dan dipisahkan oleh sesar
besar (sesar ini menerus ke litosfer). Setting lempeng mikro dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Lempeng2 mikro yang mempunyai sejarah yang terpisah lalu disatukan oleh sutur.
2. Lempeng2 mikro yang mempunyai sejarah yang sama sampai adanya rifting dan
transFormasi.
3. Lempeng2 mikro yang mempunyai sedikit perbedaan dalam sejarahnya ketika terjadi
rifting yang berumur pendek.

Sesar-sesar yang merupakan batas pada setting ke 1 dan ke 3 seringkali mengandung


ofiolit. Tetapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan, karena adanya gerakan ekstensional
kerak ketika terjadi rifting tidak memungkinkan pembentukan ofiolit. Selain itu ada
kemungkinan bahwa ofiolit hancur ketika terjadi pensuturaan (suturing) atau ketika episode
strike-slip terjadi.
Sumatera terbentuk dari kombinasi setting 1 dan 3, karena lokasinya yang berada pada
daerah lempeng konvergen. Ada bukti bahwa lempeng-lempeng mikro ini berasal dari
Gondwanaland yang mengikuti episode rifting. Model-model mutakhir untuk kejadiankejadian ini digambarkan dalam makalah yang ditulis oleh Parker dan Gealey (1983) dan
Stauffer (1983).
Asia Tenggara dianggap terbentuk dari akresi. Pembentukan utama selesai pada Trias
akhir. Dua sutura utama melintas Sumatera dan memisahkan lempeng mikro Mergui, Malaka
dan Malaya timur. Bukti tentang sutura yang memisahkan lempeng mikro Malaka dan Malaya
timur ditemukan di Malaysia timur. Barisan granit yang mengandung timah di tempat ini
dianggap membentuk lelehan kerak karena lempeng mikro Mergui di sepanjang garis RaubBentong dilintasi oleh lempeng mikro Malaya timur.
Batas-batas lempeng mikro Sumatera pada saat ini sangat berbeda dengan keadaannya
pada akhir Mesozoik. Hal ini terbukti dengan rift laut Andaman ke arah utara sejauh 1650 km,
ke arah kiri sistem

sesar Sumatera. Sistem sesar dan batas-batas lempeng tersebut

memisahkan lempeng mikro Burma di sebelah barat dan Asia tenggara di sebelah timur.
Pertumbuhan sistem sesar Sumatra banyak berubah pada perbatasan Mesozoik akhir,
terutama di Aceh.
Lempeng Mikro Mergui
Mengikuti pemetaan reconnaissance Sumatera Utara, Cameron dan kawan kawan
(1984) mampu menunjukan bahwa blok Malaya barat terdiri dari beberapa komponen dan
yang terbesar adalah Mergui. Kelanjutan dan batasnya di selatan ekuator dijabarkan oleh
Pulunggono. Stratigrafinya seragam dan unit unit individual yang ditabulasikan di gambar 2
dapat ditemukan di sepanjang Sumatra dan Malaysia bagian barat laut, Thailand barat dan
sekitarnya.
Lempeng mikro Mergui terdiri atas kelompok : Basement Granit Paleozoik Tua,
Kelompok Tapanuli dengan Umur Permo Karbon. Deformasi Kelompok Tapanuli terjadi pada
Perm Awal, sedangkan kelompok Peusangan dan Busur Magmatik pada waktu Trias.
Basement Granit Paleozoik Tua
Umur Rb-Sr yang berkisar 426 + 41,5 ma dan 335 + 43 ma yang diambil dari granit di
cekungan Sumatra tengah mewakili basement tertua yang teridentifikasi di Sumatra. Bukti
keabsahan umur2 tersebut ditemukan di sumur cucut #1 dimana umur Rb-Sr 348 + 10 ma
ditemukan dari butiran-butiran granit pada batu lumpur kerikilan berumur Permo-Karbon
pada Formasi bohorok.

Petunjuk tentang basemen yang lebih tua ditemukan. Sebuah badan batuan yang Rb-Sr
nya berumur 500 + 100 ma ditemukan di Formasi bohorok di lembah alas di barat daya
Medan. Leucotonalite klastik yang K-Ar nya berumur 1029 + 15 ma ditemukan dan
berhubungan dengan batu lumpur kerikilan pada Formasi Singa di pulau langkawi.
Kelompok Tapanuli dengan Umur Permo Karbon
Kelompok Tapanuli yang dijabarkan oleh Cameron dkk. berhubungan dengan Zonasi
struktural Bemelen. Meskipun kelompok ini menempati daerah yang luas di utara ekuator,
kelompok ini dapat dibagi-bagi lagi menjadi 3 unit utama dan yang paling terlihat adalah batu
lumpur kerikilan pada Formasi bohorok. Formasi Kluet/Kuantan terdiri atas sabak marin dan
metabatupasir yang kaya kuarsa. Formasi Alas adalah merupakan sikuen batugamping.
Di selatan ekuator, kelompok ini terpisah menjadi sejumlah formasi lokal dan
semuanya cocok dengan 3 unit utama Sumatera Utara. Cameron dkk (1984), menempatkan
Formasi Alas pada umur Perm awal. Umur sebenarnya sekarang diketahui sebagai Karbon
awal.
Formasi Bohorok di sumur cucut #1 mengandung flora Karbon Awal sampai Tengah.
Metasedimen Kapur transisional Kluet-Bohorok di Pangururan mengandung fauna laut
dangkal yang kaya akan bryozoa yang berhubungan erat dengan lapisan bryozoa berumur
Perm awal di Phuket.
Cameron dkk (1984). menyimpulkan bahwa Formasi bohorok terbentuk secara glasial.
Kesimpulan ini didukung oleh studi sedimentologi pada Formasi Singa dan Formasi Kubang
yang berumur Karbon.
Deformasi Kelompok Tapanuli Pada Perm Awal
Bukti struktural yang konsisten di sepanjang Sumatra utara mengindikasikan bahwa
Kelompok Tapanuli lebih terderformasikan dibandingkan kelompok Peusangan yang berada
diatasnya. Meskipun terdapat ketidakselarasan diantara 2 kelompok ini, tektonisme ditemukan
pada umur Rb-Sr 264 + 6 ma pada granit Sibolga. Granit yang berhubungan adalah: Granit
Ombilin dan Grani Setiti.
Ditemukan hiatus yang tersebar di lempeng mikro Mergui, tetapi hal ini tidak
ditemukan di Sumatra. Gobbett menyatakan bahwa kontak antara Formasi Singa dan
batugamping Formasi Chuping adalah selaras. Kontak ini tidak terlihat selaras tetapi bisa jadi
hal ini tidak benar, karena Formasi Singa terbelah dan termetamorfosa secara thermal
sedangkan Formasi Chuping tidak tampak sebagai batuan metamorf. Peristiwa hilangnya
argon pada Formasi Singa, dianggap mewakili umur metamorfisme. Bukti adanya kekosongan
diatas Formasi Singa ditemukan di pulau yang sejajar di Kedah. Ditempat itu ditemukan
ketidakselarasan di gunung Keriang.
Di pulau Phuket, kelompok Phuket memperlihatkan jenis metamorfisme yang sama
yang ditemukan di Formasi Singa. Waterhouse mencatat hiatus Perm awal diantara kelompok
Phuket dan kelompok duri di atasnya.

Kelompok Peusangan
Kelompok ini dibagi menjadi 2 unit yaitu busur Perm dan karang yang berhubungan
dengan zona benioff. Asosiasi Perm ditemukan di Aceh tengah dan garis yang tersesarkan di
lempeng mikro dari Sumatra Barat sampai Jambi. Sabuk ini diperlihatkan oleh Pulunggono
(1984) untuk menyangkal adanya sesar-sesar rangkain mutus di sumur Saka 4. Di Sumatra
Barat produk volkanik diuraikan secara detil oleh Katili dan dinamakan Formasi silungkang.
Batuan yang sejenis di Jambi dinamakan Formasi Palepat.
Batugamping fusulinid yang bersilangan mempunyai umur Perm Akhir. Sedimen Trias
di Sumatra utara berasal dari Formasi Kualu, yang diyakini melintas rangkaian mutus di
cekungan Sumatra Tengah. Lingkungannya kebanyakan air dalam dengan rijang radio laria,
shale halobia dan turbidit yang ritmis. Batugamping air dangkal juga ditemukan. Sedimen
yang sama dan dikenal sebagai Formasi Tuhur ditemukan di Sumatera Barat.
Busur Magmatik Trias
Suksesi Trias Sumatera barat dikedua belah ekuator meliputi wacke volkanik hijau dan
tuff. Busur volkanik yang berasosiasi dengannya belum teridentifikasi dan belum jelas apakah
busur ini berada di timur atau di barat sedimen volkanogenik Trias. Bukti tentang adanya
busur disebelah timur ditemukan di daerah Sumpur dimana ditemukan tubuh batuan
granodiorit biotit hornblende.
Busur disebelah barat diduga hancur selama Akresi Woyla Terrains. Sisa sisanya dapat
ditemukan sebagai anggota sekis Formasi Muarasoma. Unit ini tampaknya berasal dari
material volkanik felsik dan memperlihatkan perlipatan kembali (refolding) dan deformasi
dengan tingkat yang lebih tinggi dari kelompok Woyla. Magmatisme Trias juga terlihat di
pulau Langkawi, tetapi ini berhubungan dengan sutura garis Raub-bentong.
Peristiwa Pensuturaan Pasca-Trias
Sejarah Mesozoik lempeng mikro Mergui setelah pensuturaan dengan lempeng mikro
Malaka bersifat erosional. Umur K-Ar 186-189 + 2 ma didapat dari granit rokan. Petografi
granit tersebut dapat disimpulkan sebagai umur yang berhubungan dengan cataclasis.
Lingkungan yang lebih dinamis ditemukan pada pertengahan Jura. Peristiwa ini tidak
terlalu terdokumentasikan. Formasi Telukkido di Sumatera utara mengandung lapisan marin
dangkal sampai marjinal dan flora Jura pertengahan. Flora Kapur rework pada cekungan
Sumatera Tengah bagian barat berumur Tersier juga ditemukan. Pada Formasi Tabir ditemukan
lapisan marin yang memerah dan tuff.
Plutonisma yang terjadi pada waktu yang bersamaan tercatat di Sumatera Barat pada
kompleks intrusi Tanjung Gadang. Intrusi yang berhubungan adalah granodiorit biotit
hornblende pada pluton. Plutonisme selanjutnya ditandai oleh kompleks lassi mesozonal.
Granit bermuatan timah ditemukan di Thailand barat dan berhubungan dengan
peristiwa2 yang terjadi bersamaan di Sundaland. Di daerah Phuket granitnya berumur Rb Sr
124 4 ma.

Rangkaian Mutus
Rangkaian mutus pada mulanya ditemukan di sumur cekungan Sumatera Tengah.
Rangkaian ini memisahkan lempeng mikro Mergui dan Malaka. Rangkaian mutus merupakan
bagian dari litologi Formasi Kualu. Pada rangkaian ini ditemukan sekis klorit serisit. Umur
Trias disimpulkan dari umur K Ar 222 3 ma pada tuff di duri field barat dan dari kesamaan
sedimen pada Formasi Kualu.
Pulunggono (1984) menyatakan bahwa keberadaan sub singkapan di cekungan
Sumatera Selatan analog dengan tatanannya di rangkaian mutus. Sub singkapan ini,
menempati sabuk berarah utara-selatan yang memisahkan lempeng Mergui dan Malaka dan
terdiri dari material volkanik yang terpropilitisasi dan tuff berkomposisi intermediate sampai
mafik. Argilit, gamping tipis dan sekis klorit serisit juga ditemukan. Catatan sumur mencatat
adanya gabro dan serpentinit tetapi batuan jenis ini masih harus diperiksa.
Eubank dan makki (1967) menyatakan bahwa rangkaian mutus mempunyai strike
melintasi selat Malaka kearah singkapan Formasi semanggol di Malaysia baratlaut. Sedimen
ini, yang dikorelasikan dengan basis litologi dan umur oleh Cameron (1984) dengan Formasi
Kualu, terganggu oleh tektonisme strike slip. Sedimen ini mempunyai lebar 30 km., Lembah
(trought) berarah utara selatan yang memisahkan suksesi lempeng mikro Mergui di sebelah
barat. Trough tersebut diatas mewakili kelanjutan sutura lempeng Mergui Malaka bagian utara.
Model Rangkaian Mutus
Asal-usul rangkaian mutus masih sangat problematis karena tidak cukupnya informasi
tentang petrografi dan kimianya. Dari besarnya kekosongan di sepanjang garis kerumutan
dapat disimpulkan bahwa lempeng Mergui dan Malaka mempunyai sejarah yang terpisah
sebelum pensuturaan. Bagaimanapun, hal ini harus terbuktikan dengan melimpahnya tuff yang
merupakan sebab dari perkembangan zona beniof selama pensuturaan. Karena Zona beniof
ditemukan di Sumatera Barat maka model rangkaian mutus tidak mungkin dikembangkan.
Alternatif lainnya adalah bahwa rangkaian mutus merupakan produk dari rifting belakang
busur dan volkanisme. Perbedaan dalam geologi sepanjang Garis Kerumutan dalam hal ini
menunjukan adanya sesar strike slip. Analogi modernnya adalah Laut Andaman. Contoh yang
tidak terlalu ekstrem adalah Cekungan Sumatra Tengah.
Evolusi tersier cekungan Sumatera Tengah mengindikasikan adanya batas-batas
transisional dengan lempeng mikro Mergui yang diduduki oleh kerak benua. Bukti adanya
batas ini ditunjukan oleh graben Formasi Pematang dan arah NNW SEE Sihapas yang
merupakan depocentre sistem delta Bekasap-Duri. Meskipun kerak ini merupakan hasil dari
gerakan ekstensional tersier awal, kedua model rangkaian mutus memprediksi adanya disrupsi
batas sebelah barat dari lempeng mikro Mergui.
Batas2 rangkaian mutus di sebelah utara cekungan Sumatera selatan bersifat skematik
karena kurangnya kontrol pada sub cekungan Jambi. Bukti-bukti terbatas menunjukan adanya
serangkaian rift dan graben di daerah ini. Lebar rangkaian mutus berkurang di timurlaut sesar

batas gunung 30. Tidak diketahui apakah ini merupakan sifat primer atau merupakan hasil dari
disrupsi strike slip lanjutan.
Peristiwa Pasca Penutupan (post closure events)
Sejarah mesozoik rangkaian mutus sama dengan sejarah lempeng mikro Mergui.
Sedimen pasca mutus tidak diketahui pada cekungan Sumatera Tengah, tetapi di Sumatera
Selatan ditemukan adanya gamping Kluang mengikuti transgresi dari barat (gbr 4).
Batugamping tersebut diduga kuat menutupi granit kataklasis di Kluang field dan diduga
berumur Kapur. Umur Jura juga dimungkinkan karena umur K Ar nya adalah 150 ma dan
berhubungan dengan kataklasis.
Plutonisma pra tersier tercatat pada beberapa sumur di daerah pendopo-prabumulih.
Umur granit dan granodioritnya belum diteliti tetapi diduga berumur Kapur. Setting dan
deskripsi petrografisnya menunjukan bahwa batuan ini merupakan hasil subduksi. Sesar
WNW-ESE yang memotong rangkaian mutus diujung timur diduga mempunyai umur yang
sama dan dianggap sebagai garis rekahan yang terbentuk selama akresi woyla terrains ke
sunda land. Sesar yang sama mungkin terbentuk di lempeng mikro Mergui dan Malaka tetapi
umurnya kurang dapat dibuktikan karena arahnya merupakan sub paralel dari butiran tektonik
yang ada sebelumnya. Yang lebih jelas adalah sesar berarah timurlaut-baratdaya yang diduga
berumur Kapur.
Lempeng Mikro Malaka
Suksesi lempeng mikro Malaka kurang diketahui karena lempeng ini ditemukan
sebagai sub singkapan.
Peristiwa-Peristiwa Pensuturaan pra Trias
Suksesi pra sutura terdiri dari quartzite (metabatupasir), sabak dan filit (gbr 5). Oleh
Eubank dan Maki batuan ini dinamakan quartzite terrain dan oleh Pulunggono (1984)
dinamakan quartzite phyllite terrain. Karena suksesi pasca sutura bukan merupakan
metamorfosa maka batuan ini tidak lebih mudah dari Trias. Umur persisnya tidak terlalu
diketahui kecuali di sumur pusaka #1. Granit yang sejajar di sumur idris #1 berumur Rb-Sr
295 ma.
Serpih pra granit lepas pantai di pulau Kundur, batu pasir dan konglomerat kemerahan
terpetakan di Formasi Papan. Litologi yang serupa di Bangka dikelompokan sebagai Formasi
Bangka oleh Zwierzycki dan Katili. Batuan metamorf, sebagian besar berupa sekis muskovit,
juga ditemukan di lepas pantai. Kebanyakan batuan metamorf ini diasosiasikan dengan
postulasi tentang adanya kelanjutan garis raub bentong disebelah selatan dan pemetaan yang
ada tidak bisa menentukan di lempeng mikro mana batuan ini berada.
Suksesi klastik pra granit juga berkembang di daerah Malaka. Jones merujuk kepada 2
unit: umur lebih tua berupa argilit paleozoik, rijang dan sekis pelit dan umur lebih muda
berupa metabatupasir yang berumur Trias. Sekuen yang lebih tua diduga berumur Paleozoik.

Produk2 volkanik tidak ditemukan kecuali dibagian Garis Raub Bentong. Hubungan
paleogeografis suksesi batugamping di daerah ipoh dengan suksesi klastik dibagian baratnya
tidak diketahui. Secara tentatif diasumsikan bahwa batugamping tersebut diendapkan ke arah
margin laut.
Granit Hasil Tubrukan Berumur Trias
Granit yang mengandung timah ditemukan diantara pulau Kundur dan Biliton. Umur
Rb-Sr nya adalah 217 ma. Mineralisasi timah di biliton berumur 198 ma.
Granit masif berukuran besar yang di plot oleh Coster dari sumur sumur yang
menembus basement pada tinggian lampung yang berumur tersier, diduga berumur Trias
karena singkapan bukit batu di palembang mengandung timah dan mempunyai mineralogi
yang sama dengan granit Bangka.
Garis Raub Bentong
Garis Raub Bentong memisahkan dua blok yang berbeda. Garis ini mengandung ofiolit
hancuran. Ofiolit hancuran ini mengandung serpentinit dan sekis hornblende dan dianggap
sebagai batas lempeng mikro.
Jejaknya kearah selatan Malaysia Barat dianggap pasti. Stauffer yang menyatakan
bahwa jejak tersebut sejajar sampai Singapura, namun pendapat ini dibantah oleh peneliti lain.
Secara tentatif jejak ini melewati pulau Kundur dan Karimun (gambar

) melalui bagian

tengah pulau singkep dan melintasi timur laut bagian sudut pulau Bangka sebelum hilang di
Laut Jawa. Ofiolit yang sebenarnya tidak tercatat tetapi jejak-jejak yang ada mengikuti
perubahan geologi seperti yang terlihat di Malaysia Barat.
Batas Kundur Karimun ditandai oleh kompleks Merak. Sabuk sekis hornblende yang
sama melintasi pulau Singkep bagian tengah. Di timur laut Bangka, serpentinit yang tidak
menerus ditemukan di penambangan Pemali dan pit no 17 di Belinyu. Cobbing menyangkal
adanya batas batas yang kami postulatkan karena granit jenis main range pada beberapa kasus
mempunyai letak di sebelah utara sutura. Cobbing juga memetakan granit tipe lempeng mikro
Malaya Timur di sebelah selatan garis sutura. Dari model yang dibuat Mitchell tentang asal
usul granit main range kita tidak melihat alasan kenapa granit tersebut tidak terpecah melalui
garis sutura dan mengkristal di lempeng bagian atas. Zona sutura diduga lebih kompleks
daripada yang terlihat dan mengandung fragmen-fragmen lensoid.
Peristiwa pasca Tubrukan
Sedimen merupakan bagian dari sub singkapan batugamping Kluang dan batu pasir
litoral sampai fluviatil yang merupakan bagian dari Formasi Bintan. Bukti yang jelas dari
perubahan umur K-Ar Jura dan Kapur dibahas oleh Bignell dan Snelling untuk granit main
range.

Lempeng Mikro Malaya Timur


Batuan yang terdapat pada lempeng mikro ini terletak di timur Garis Raub Bentong.
Formasi Malarco terdiri dari batugamping dan produk volkanik rhyodacitic. Bagian tufa
berumur Perm pada Formasi bangka diduga mewakili kelanjutan dari Formasi Malarco.
Bagian fosil berumur Trias dianggap berhubungan dengan Formasi Jelai dan Jurong.
Magmatisme sinvolkanik dengan Rb-Sr 222 5 dan 250 4 ma ditemukan di sebelah
timur Malaysia dan Singapura. Granit Singapura berumur 224 9 ma. Formasi Malarco,
menyerupai pluton sabuk sebelah timur.
Di sebelah timur semenanjung Melayu, di daerah Kuantan, lapisan batuan mengandung
sekuen serpih yang termetamorfosa, batu pasir dan batugamping minor. Batuan ini tidak
terlalu diketahui tetapi termasuk kedalam fauna visea dan tilloid Karbon dengan flora
glossopteris.
Sedimentasi pasca tubrukan didominasi oleh Formasi Bintan, Formasi Tembeling dan
kelompok Gagau. Tanaman di pulau bintan mempunyai umur Neocomia. Bagian dari unit in
diduga lebih tua dari Formasi Tembeling. Kelompok Gagau mempunyai umur berkisar antara
Jura sampai Kapur Awal. Magmatisma granit yang meliputi pada Kapur akhir adalah:
Granit di Johor

83 30 Rb-Sr

Granit di Malaka

87 30 Rb-Sr

Woyla Terrain
Woyla Terrain menempati Barisan Schiefer dan Zona IV Bemmelen. Woyla terrain
dapat dibagi menjadi:
1. Busur volkanik yang berasosiasi dengan karang dan turbidit.
2. Ofiolit hancuran.
Rangkaian ini juga ditemukan di selatan ekuator. Pertama kali rangkaian ini ditemukan di
Gunung Gumai. Musper menamakan asosiasi busur ini Seri Saling dan Asosiasi Ofiolitnya
dinamakan Seri Lingsing. Rangkaian ketiga ditemukan di baratdaya Jambi diatas sutura Garis
Lematang. Rangkaian ini ditandai dengan sedikitnya material volkanik dan kaya akan
batugamping koral dan metabatupasir. Rangkaian ini dibagi dua menjadi Formasi Rawas dan
Asai.
Kisaran umur absolut Woyla Terrain tidak diketahui dengan pasti Di baratlaut Aceh,
sedimen tertua mengandung batugamping rework yang berada dalam asosiasi ofiolit. Formasi
Rawas dan Asai mengandung fauna Toarcia, Bathon dan Valangin. Di tempat lain busur dan
batugamping dengan asosiasi ofiolit memperlihatkan fauna Jura Akhir - Kapur Awal non
spesifik.
Batas Timur Woyla Terrain
Di Aceh, kontak sebelah timur dengan Woyla Terrain adalah Garis Kla. Garis ini
terubag pada Tersier dan di Aceh Tengah, garis ini ditindih oleh Thrust Garis Takengon.
Sutura yang berhubungan, Garis Lematang, ditemukan di Jambi. Sutura ini menerus pada sub
singkapan sampai cekungan Sumatera Selatan.

Jejak Garis Lematang di sebelah baratlaut Propinsi Jambi tidak terlalu terkontrol
karena adanya lapisan volkanik tersier dan kuarter. Penelitian batas sebelah timur dari
serpentinit kelompok woyla pada quadrangle painan mengungkapkan bahwa batas ini terletak
di timur lembah Batanghari bagian atas. Di sebelah utaranya, batas ini melewati kompleks lasi
bagian barat.
Jejaknya di timur di ujung sesar Lematang bersifat konseptual. Batas ini diduga
menerus sejajar dengan sesar Kepayang. Adanya metasedimen tingkat rendah dengan umur K
Ar 213 11 ma pada tinggian Pamanukan di Jawa Barat memberikan kesimpulan bahwa di
daerah ini fragmen lempeng mikro Malaka berada pada Woyla terrain. Spekulasi yang timbul
adalah tinggian basemen lainnya di Jawa Barat merupakan fragmen kontinen.
Perubahan Gagasan Tentang Asal Usul Garis Lematang
Garis Lematang diinterpretasi sebagai regional thrust yang berakar di Kepulauan Riau
lepas pantai. Interpretasi ini didasarkan pada 2 pengamatan, pertama kontak bersifat datar,
kedua Garis Lematang memisahkan batuan metamorf di baratdaya dengan batuan non
metamorf di timurlaut. Poin kedua dikorelasikan dengan dasar litologi dan faunanya dengan
kelompok Raub/seri volkanik Pahang dan kepulauan timah Riau. Karena ditemukan adanya
sabuk batuan metamorf maka postulasi yang paling logis adalah batuan non metamorf
diendapkan di sepanjang lintasan gravitasi yang mengarah ke barat. jejaknya di Sumatera
Timur telah hilang oleh erosi.
Katili (1973) adalah orang pertama yang keberatan dengan pandangan ortodox tentang
Jambi thrust. Setelah memperlihatkan bahwa kontak horizontal bersifat fenomena lokal dalam
hubungannya dengan gerakan minor, Katili (1973) membuktikan bahwa sesar tersebut bersifat
transcurrent dan mempunyai hade yang hampir vertikal. Sampai saat ini, interpretasi tersebut
masih berlaku meskipun sekarang diyakini bahwa sesar tersebut merupakan batas lempeng
mikro.
Batas Barat Woyla Terrain
Batasnya di sebelah barat terletak diantara pesisir Sumatera dan di lereng palung
modern. Di gbr. 1 batas tersebut menerus sampai batas barat, tetapi di Jawa Barat batas ini
ditemukan di kompleks subduksi teluk Ciletuh. Di Andaman dan Nikobar, batuan yang
ekuivalen dengan Woyla menerus ke bagian barat lereng palung dimana batuan tersebut secara
tektonik menyatu sebagai ofiolit Andaman berumur kapur.
Fragmen Kontinen Sikuleh dan Natal
Di baratlaut Aceh, asosiasi busur terletak di timur dan barat asosiasi ofiolit. Cameron
dkk (1984) mempostulasikan bahwa bagian barat dari busur tersebut terletak diatas bagian
benua dan dinamakan fragmen Kontinen Sikuleh. Buktinya adalah:
a. Sekuen klastik kontinen quartzite, filit abu abu dan metabatulanau, tidak seperti
formasi kluet, berada di bawah kelompok Woyla.

b. Batolit pasca Woyla sikuleh bersifat tidak biasa karena adanya badan kalsit alkali pada
batuan granitnya.
c. Pipa pipa breksi yang mengandung molibdenum dan riolit yang berumur tersier awal.
Bukti fragmen kontinen Natal bersifat tidak konklusif. Fragmen ini berada pada sekuen
busur yang tidak terdeformasikan dan mengandung wacke volkanik proksimal yang
berselingan dengan andesit. Basemen pra Woyla tidak tersingkap tetapi intrusi Air Bangis
pasca Woyla mengandung granit yang bermuatan timah.
Model Woyla Terrain
Cameron dkk (1984) setuju bahwa asosiasi ofiolit Aceh terdiri dari sekuen yang tidak
tergangu. Karena sekuen ini berada di kedua sisi volkanik busur, maka Cameron (1984)
menginterpretasikan bahwa terbentuknya di cekungan marjinal. Fragmen Kontinen Sikuleh
mewakili fragmen yang terbawa rift yang merupakan bagian dari Sunda land. Hal ini analog
dengan laut Andaman Selatan. Karena tektonik ekstensional regional dan aliran panas tinggi
biasanya mendahului rifting, Cameron dkk (1984) menyimpulkan bahwa model ini dapat
menjelaskan rifting dari kelompok Gagau.
Hipotesa alternatif dikembangkan oleh Pulunggono yang menyatakan bahwa seri
lingsing dan saling yang terganggu cocok dengan model kompleks subduksi. Hal ini analog
dengan kompleks subduksi yang terletak diantara palung Jawa dan busur di sebelah utara.
Metamorfisme dan Plutonisme Kapur Akhir
Metamorfisme dan Plutonisme Kapur Akhir mempengaruhi keseluruhan Woyla terrain.
Deformasi jenis ini merupakan konsekuensi dari model yang dibuat oleh Pulunggono (1984).
Pada model yang dibuat Cameron (1984), deformasi ini merupakan akibat dari closure event
yang berhubungan dengan memuainya Samudera Hindia. Tingkat deformasi dan
metamorfisme beragam tetapi cenderung sangat tinggi di dekat pluton dan sesar strike slip
dimana genes dan sekis terbentuk.
Peran Rangkaian Mutus Dalam Evolusi Cekungan Sumatera Tengah dan Selatan
Cekungan Sumatera Tengah busur belakang tersier (CSTBBT) dan Cekungan
Sumatera Selatan Busur Belakang Tersier (CSSBBT) seperti bisa dilihat di gbr 9
memperlihatkan konfigurasi basemen bagian atas yang lebih kompleks daripada basemen
cekungan Sumatera Utara. Perbandingan dengan gambar 1 memperlihatkan bahwa
kompleksitas yang lebih tinggi pada CSTBBT dan CSSBBT merupakan sifat dari basemen pra
tersier.
Pulunggono (1984) memperlihatkan bagaimana garis lematang dan Woyla terrain
dipengaruhi oleh pengendapan Formasi Talang Akar dan pertumbuhan sesar Lematang. Disini
peranan unit basemen kedua Rangkaian Mutus. Rangkaian Mutus mewakili zona lemah pada
umur tersier diantara lempeng mikro Mergui dan Malaka yang kaku. Pengaruhnya sangat
terlihat pada CSTBBT dimana Rangkaian Mutus menjadi lurus dengan medan stress regional

pada sudut yang tinggi. Rangkaian Mutus merupakan locus dari rifting dan aliran panas yang
tinggi. Pada fase kompresional pasca pertengahan Miosen, Rangkaian Mutus menyerap
deformasi dan pergerakan strike slip. Di CSSBBT Rangkaian Mutus juga merupakan locus
dari tektonisme ekstensional dan aliran panas yang tinggi. Pada fase kompresional lanjutan
sesar Kapur akhir menyerap stress dan menghasilkan pola permukaan lipatan muda.

CEKUNGAN SUMATRA UTARA


Gejala pengangkatan nampaknya telah berhasil menghilangkan jejak jejak strukturstruktur terdahulu di Sumatra Utara. Menurut Davies (1984), ada kecenderungan bahwa
cekungan Sumatra Utara ini suatu saat pernah menjadi satu dengan cekungan-cekungan
Aceh Barat dan Sumatra barat, yang sekarang telah menjadi terpisah oleh pegunungan
barisan. Cekungan Sumatra Utara ini terdiri dari sub-sub cekungan yang dipisahkan oleh
tinggian-tinggian setempat. Yang penting disini adalah sub cekungan Langkat dan Siantar di
sebelah Tenggara .
Pada saat permulaan rotasi, Sumatra mulai bergerak menjauh dari semenanjung
Malaya. Cekungan Sumatra Utara pada saat itu berkembang dalam lingkungan tektonik
regangan. Serentetan sesar-sesar mendatar dextral, dengan loncatan-loncatan ke kin dan
kekanan, terbentuk di daerah jalur regangan ini
Diantara sesar mendatar dengan loncatan kekanan ini kemudian terbentuk
cekungan-cekungan yang kita kenal sebagai "pull-apart basin", sedangkan tinggian atau
"horst" berkembang pada sesar mendatar dengan loncatan kekiri. Dengan demikian pola
struktur semula dari cekungan Sumatra Utara adalah terdiri dari sesar mendatar utama
yang arahnya Utara-Selatan, dan disertai oleh rekahan-rekahan geser yang arahnya
Timurlaut-Baratdaya yang dicirikan oleh gerak-gerak vertikal (sesar Normal). Menjelang
akhir dari gerak rotasi pada Miosen Awal, sesar-sesar tersebut terputar kurang lebih 20 0 ke
arah yang berlawanan dengan gerak jarum jam ("counter-clockwise").
Menurut Davies (1984), selama periode tersebut lempeng India-Australia,
meghampiri pantai sebelah Barat Sumatra dengana arah N20 E, sedangkan P. Sumatra pada
saat itu berada pada kedudukan dengan arah berubah dari N 180E menjadi N160E. dengan
demikian maka sudut interaksi antara keduanya telah mengalami perubahan dari 20
menjadi hampir 40 pada saat itu.
Menurut Davies pula, bahwa gerak rotasi sebesar 20 0 berlawanan denga arah jarum
jam yang terjadi pada Zaman Paleogen itu, masih belum cukup mampu menimbulkan suatu
gejala kompresi antara kedua lempeng yang saling bertemu itu. Gerak rotasi lempeng
Mikro Sunda ini kemudian terhenti sementara pada akhir Awal Miosen.
Pada saat itu laut Andaman mulai terbuka (pendataaan umur menunjukkan 15 juta
tahun yang lalu). Dan karena Sumatra pada saat itu juga sudah beranjak menjauh ke
Tenggara, maka terbukanya laut Andaman , didahului oleh gejala pengangkatan yang luas
dari tepi benua, yang dapat teramati sebagai fasa tektonik Miosen Awal di cekungan Sumatra
Utara, yang mengaktifkan kembali strukturstruktur ketinggian dan depresi ("horst" dan

"graben"). Gejala erosi yang menyertainya menimbulkan ketidakselarasan regional.


Gerak rotasi yang kedua sebesar 20 -25 ke arah yang berlawanan dengan jarum jam
dari lempeng Mikro Sunda, dimulai pada akhir Miosen tengah menyusul terbukanya laut
Andaman 13 juta tahun yang lalu.
Sejak akhir Miosen tengah mi, data dari paleomagnet menunjukkan bahwa lempeng
India-Australia mendekati lempeng Mikro Sunda denga arah yang tetap yakni N200E.
Karena lempeng Mikro sunda telah terputar ke arah yang berlawanan jarum jam,
sehingga telah merubah kedudukannya dari N160 E menjadi N135E, maka sudut
interaksinya dengan lempeng India-Australia sekarang menjadi meningkat dari 40 0 menjadi
hampir 65.
Sebagai akibat daripada kedudukan yang demikian ini, maka akan terjadi rezim
tegasan kompresi yang bekerja di Sumatra sejak akhir Miosen. Peningkatan daripada
kompresi selama periode ini kemudian tercermin pada pengangkatan daripada pegunungan
Bukit Barisan, kegiatan volkanism dan regresi diseluruh cekungan.
Lanjutan daripada gerak rotasi dari lempeng Mikro Sunda sejak akhir Miosen
Tengah menempatkan Sumatra pad posisi tegasan kompresi selama Pliosen, maka
Sumatra Utara akan menimbulkan
1. Tegasan Kompresi yang berarah N20E sebagai akibat daripada konvergensi lempeng
(disebut juga tegasan Sumatra).
2. Tegasan kompresi yang berarah N170 E dan N160E, yang disebabkan karena gerakgerak yang terjadi di laut Andaman disebut juga sebagai tegasan Andaman.
Namun gerak rotasi tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahanperubahan arah
daripada sesar tua. Sesar mendatar Oligosen yang pada waktu itu berarah hampir UtaraSelatan, berubah menjadi Baratlaut-tenggara, sedangkan sesar-sesar normalnya yang
semula arahnya Timurlaut-Baratdaya, menjadi mengarah Utara-Selatan
Akibat daripada perubahan arah yang disertai pula dengan arah pergerakan kembali sesarsesar tua dibawah lingkungan dua tegasan tersebut di atas, maka pola tektonik dari Sumatra
Utara menjadi amat kompleks.
Disini terlihat bahwa sesar-sesar mendatar Oligosen yang berarah Baratlau-Tenggara
diaktifkan kembali pada Zaman Plio-Plistosen sebagai sesarsesar naik dibawah pengaruh
tegasan Summtra, dan sebagai sesar-sesar mendatar dextral dibawah pengaruh tegasan
Andaman. Sebaliknya sesar-sesar "normal" Oligosen yang kemudian berarah UtaraSelatan, dibawah pengaruh tegasan Sumatra diaktifkan kembali sebagai sesar mendatar,
sedangkan oleh pengaruh tegasan Andaman mereka diaktifkan sebagai sesar-sesar naik
dengan sudut kemiringan besar.

Cekungan Sumatera Tengah


Banyak literatur yang mengemukakan hal yang sama mengenai pola kelurusan yang
berada di cekungan Sumatera Tengah. Pada umumnya mereka menyebutkan bahwa pola
kelurusan tersebut cenderung berarah Utara-Selatan dan Baratlaut-Tenggara, (Gambar 6,8,9).

Sebelumnya beberapa penulis menyatakan bahwa arah Utara-Selatan berumur lebih tua (PreTersier-Paleogen) dan yang Baratlaut-Tenggara berumur Neogen (de Coster, 1974; Mertosono
& Nayoan, 1974), tetapi penelitian yang dilakukan Eubank & Makki (1981) memperlihatkan
bahwa arah yang Utara-Selatan tidak hanya aktif pada Paleogen saja tetapi juga pada Neogen
dan Pleistosen. Data tersebut menunjukan bahwa struktur-struktur tersebut merupakan struktur
yang aktif selama Tersier, dimana struktur yang berumur tua banyak teraktifkan kembali.
Dari data seismik terlihat jelas bahwa sesar-sesar yang berarah Utara Selatan dan
Baratlaut Tenggara dikontrol oleh batuan dasar. Dalam rangka mempelajari lebih detail
struktur-struktur Kenozoik Heidrick dan Aulia (1993) melakukan analisa struktur pada sesar
dan lipatan yang melibatkan sedimen Kenozoik. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa ada
beberapa kecenderungan arah yang menyolok yaitu: (1) N60W, 10, merupakan arah dari
kelompok struktur yang diberi nama Beruk, yang meliputi antara lain sesar naik bersudut
tinggi & zona shear dan sumbu lipatan & puncak tinggian batuan dasar (Gambar 7D & E), (2)
N40W, 15, merupakan arah dari Sumatera atau sistem sesar Barisan (Gambar & 7A C),
(3) N15W, 10, arah struktur Zamrud-Pepada (Gambar 7F), (4) N15-20E yang merupakan
kelompok jenis high-and low-angle planer normal fault dan listric normal fault (Gambar 7G
& H) dan (5) N10E, 10, merupakan arah komplek graben dan setengah graben Bangkalis
dan Sembilan-Kempas (Gambar 7I). Arah utara-Selatan yang kehadirannya merata di peta
bawah permukaan terlihat tidak muncul dalam hasil analisa tersebut, hal ini disebabkan karena
struktur yang berarah Utara-Selatan tersebut berumur relatif tua dan saeringkali ditutupi oleh
sedimen Kenozoik.
Selain kelurusan yang cenderung berarah Utara-Selatan, terlihat bahwa pada batuan
dasar juga mempunyai pola kelurusan yang cenderung berarah Barat, Baratdaya-Timur,
Tenggara N60W). Pola potong memotong yang dibentuk oleh saesar-sesar tersebut tidak
memperlihatkan pola-pola offset yang konsisten, pola ini sering disebut sebagai pola dogleg.
Kelurusan-kelurusan yang dominan pada Cekungan Sumatera Tengah dapat diuraikan sebagai
berikut (Gambar 8 & 9) :

Zona sesar dan lipatan Otak, berarah N45-55W

Busur Kempas, berarah N60-70W

Sinklin Siak Kecil, berarah N50-60W

Sesar dan lipatan pada Mutus Terrane, berarah N45-55W

Antiklin Sembilan, N45-50W

Zona sesar dan lipatan Bimbi, berarah N50W

Sumbu cekungan Sakai yang berumur Paleogen, berarah N40W

Komplek graben Bengkalis dan Sembilan-Kempas, berarah N0-20E

Kelompok sesar Zamrud-Pedada, berarah N5-25W


Perkembangan struktur dan tectogenetic untuk Sumatera Tengah telah dikemukan oleh

Heidrick dkk. Mereka menyatakan ada empat episode deformasi tektonik yang meliputi : (F0)
yang mereprestasikan deformasi pada batuan dasar waktu Pre-Tersier, (F1) Eosen-

Oligosen (45-28 Ma) deformasi yang bersifat extensional pada batuan dasar, (F2) Oligosen
Akhir-awal Miosen Tengah (28-13 Ma) deformasi yang berasosiasi dengan regional dextral
wrenching dan (F3) Miosen Tengah sampai Resen (13-0 Ma) meliputi deformasi yang
berasosiasi dengan adanya kompresi berarah Timurlaut. Mekanisme dan urutan terjadinya
pola-pola struktur dapat diintrepretasikan sebagai berikut :
Episode pertama (F0) Pre-Tersier deformasi
Batuan dasar yang terdiri atas lempeng-lempeng mikro dan diperkirakan berumur
Permo-Karbon sampai Jura, terlihat memperlihatkan, (Gambar 8) pola-pola yang berarah
Utara-Selatan dan N60W, 10 (pola arah struktur Beruk) yang meliputi zona lipatan dan
sesar Otak (N45-55W), busur Kempas-Rokan-Beruk (N60-70W) dan Sembilan (N45-50W)
serta sinklin Siak Kecil (N50-60W). Struktur-struktur pada arah tersebut pada waktu suturing
antara awal Jura sampai akhir Trias (Pulunggono & Cameroon, 1984). Dari pola sesar dan
lipatan tersebut dapat diperkirakan bahwa arah gaya utama (SI) kira-kira N30W). Gaya
tersebut membentuk shear berarah Utara-Selatan dan N60W, 10, (dimana arah ini diduga
berkembang menjadi sesar strike-slip), serta membentuk lipatan orde kedua yang berarah
N65W, 10. Kemungkinan sesar Otak awalnya termasuk strike-slip yang kemudian
terdeformasi atau teraktifkan kembali oleh deformasi berikutnya, sehingga sesar-sesar ini
sekarang dijumpai sebagai high angle normal fault, high-angle reverse fault atau sesar
vertikal.
Episode kedua (F1) Eosen-Oligosen (45-28 Ma) deformasi
Diatas batuan dasar diendapkan Formasi Pematang (Eo-Oligosen) pada lingkungan
fluvio-lacustrine. Sedimen tersebut diendapkan pada graben-graben (sesar-sesar normal) yang
berarah Utara sampai Utara, Timurlaut. Hal tersebut menunjukan bahwa ada periode
pembentukan sesar-sesar normal (tensional regim) pada waktu Eosen sampai Oligosen,
sehingga terbentuk struktur-struktur graben & half-graben.
Pola sesar normal tersebut di atas berarah N0-20E berupa classic planar normal
growth fault dan listric normal growth fault, seperti graben Sembilan, Kempas dan Labah
(dengan kecenderungan arah N20E) serta Bengkalis (relatif berarah Utara-Selatan). Gaya
extensional tersebut juga menyebabkan regangan-regangan pada sesar-sesar yang berarah
N60W, 10 (Otak, Bimbi, Padang), sehingga terbentuk sinklin dangkal yang sejajar dengan
arah sesar. Gaya tegasan minimal (S3) diperkirakan berarah Barat-Timur sampai Barat,
Timurlaut-Timur, Tenggara. Diperkirakan pembentukan struktur tersebut berkaitan dengan
penurunan kecepatan lempeng India-Australia karena menumbuk Eurasia, sehingga terjadi
roll-back dan menyebabkan struktur extensional.
Adanya kecenderungan arah N20E yang tegak lurus lipatan & shear (F0) dan arah
Utara-Selatan menunjukan bahwa arah sesar-sesar normal tersebut lebih dikontrol oleh
ketidakseragaman sifat batuan dasar daripada oleh arah gaya-gaya regional. Sebagian gayagaya tersebut diakomodasi oleh zona-zona lemah (shear) yang berarah Utara-Selatan sehingga
terbentuk sesar-sesar normal yang membentuk struktur graben dan setengah graben. Bukti-

bukti yang dikemukakan oleh Heidrick & Aulia (1993) yang didapat dari penampang seismik
yang memotong sesar Bungsu, menunjukan adanya transtensional diman shear berarah utaraselatan pada episode ini merupakan right-lateral wrenching dan berlangsung terus sampai
awal Miosen.
Terlihat bahwa graben-graben tersebut berubah secara tiba-tiba bila berpotongan
dengan struktur yang lebih tua (berarah N60W, F0) dan membentuk left-lateral drag (Gambar
9), kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan right lateral strike-slip pada
sesar-sesar tersebut (Otak, Bimbi, Padang) pada waktu terjadi rifting.
Episode ketiga (F3) Oligosen Akhir-awal Miosen Tengah (28-13 Ma) deformasi
Akhir pengendapan Pematang dicirikan oleh seri batuan reergresif dan kemudian
secara tak selaras diendapkan seri batuan yang transgresif, Sihapas Group (Miosen Bawah)
dan Formasi Telisa (Miosen Bawah-Tengah). Hal ini menunjukan bahwa akhir episode F1
terjadi inversi dan kemudian penurunan cekungan (subsidence) terjadi lagi.
Pada awal episode ini gaya dari F1 (extensional, S1 berarah atas-bawah) secara
berangsur berubah menjadi bersifat kompresif (S1 berarah horizontal/lateral). Awal perubahan
arah gaya pada Miosen Awal ditandai oleh mulai terjadinya gerakan right-lateral wrenching
pada struktur-struktur yang berarah Utara-Selatan, seperti sesar pada : Pustaka-Pepada,
Zamrud dan Kempas.
Analisa struktur yang dilakukan oleh Heidrick dan Aulia (1993) pada daerah Kempas,
Beruk dan Zamrud menunjukan bahwa orientasi arah sesar-sesar pada daerah tersebut
diinterpretasikan terbentuk akibat pengaruh gaya transtensional dan transpressional, sehingga
terbentuk pull-apart graben dan half graben, serta sesar-sesar normal listric maupun planar
dan struktur bunga. Pada akhir episode ini gerakan dextral wrench pada sesar yang berarah
Utara-Selatan, menyebabkan adanya belokan-belokan pada struktur yang berarah UtaraSelatan, sehingga arah yang tadinya Utara-Selatan di tempat tertentu menjadi berarah N1525W, oleh Mold (1989) hal ini diinterpretasikan sebagai akibat dari refraction dari sesar
strike-slip melalui persambungan yang competent/incompetent. Perubahan arah gaya tersebut
kemungkinan berkaitan dengan mulai berubahnya arah pertemuan lempeng India-Australia
dengan Sundaland sehingga gaya lateral/kompresif menjadi semakin dominan.
Episode keempat (f3) Miosen Tengah-Resen (13-0 Ma) deformasi
Pengendapan formasi Telisa ditandai oleh seri batuan yang regresif dan dibeberapa
tempat terjadi erosi pada dasar cekungan. Awal periode ini juga bersamaan dengan semakin
besarnya sudut pertemuan lempeng (makin mengarah ke timurlaut) dengan arah jalur subduksi
dan mulai aktifnya sesar dextral strike-slip dari sistem sesar Barisan.
Semakin besarnya sudut pertemuan tersebut menyebabkan timbulnya gaya kompresi
(dengan arah tegasan utama sekitar N39E, 3,5 Mount & Suppe (1992), dikutip dari
Heidrick & Aulia (1993) dan mengakibatkan terjadinya lipatan-lipatan yang sejajar dengan
jurus sesar berarah N15-25W. Struktur-struktur yang berarah N45-55W, juga teraktifkan
kembalioleh gaya kompresional dimana sesar-sesar hasil deformasi sebelumnya berubah

menjadi sesar-sesar naik. Pengaktifan struktur tersebut sebagian membentuk tipe struktur yang
dinamakan Sunda Fold. Struktur ini terbentuk awalnya pada regim tensional (dengan
pembentukan graben) kemudian komponen wrench membentuk lipatan antiklin pada sedimen
diatas graben, hal ini kadang disertai oleh sesar naik dan/atau sesar geser (Eubank & Makki,
1981).
Perkembangan Tektonik Mesozoik-Resen
Sejak Mesozoik Akhir sampai Resen terliuhat bahwa arah tegasan utama (S1) yang
bekerja pada cekungan Sumatera Tengah telah berubah-ubah akibat pengaruh dari pergerakan
lempeng-lempeng. Pada Mesozoik arah tegasan utama berarah sekitar N30W dan
menghasilakan shear berarah Utara-Selatan dan Barat, Baratlaut-Timur, Tenggara (F0,
kemudian S1 berubah menjadi berarah atas-bawah (extension) dan tegasan minimum berarah
Barat sampai Barat, Baratlaut sehingga menyebabkan rifting (F1). Episode (F2) gaya lateral
mulai dominan lagi sehingga timbul struktur-struktur transtensional dan transpressional. Pada
episode selanjutnya (F3) dari Miosen Tengah sampai sekarang arah tegasan utama makin
kearah Timurlaut (N39E, 3,5) menyebabkan regim kompresi makin dominan dan
mengakibatkan pembalikan struktur hasil deformasi sebelumnya. Evolusi struktur pada
cekungan Sumatera Tengah tersebut, terlihat tidak mendukung adanya pernyataan bahwa
Sumatera berputar berlawanan arah jarum jam seperti yang dikemukakan Davis (1984)
ataupun terputar searah jarum jam seperti yang dikemukakan oleh Taponier (1986), Daly dkk.
(1991) ataupun Katili (1989). Ada kemungkinan extrusion kearah timur dari Lempeng Eurasia
diakomodasi oleh subduksi yang berada di selatan Proto South China Sea.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa point penting, yaitu Ada beberapa
arah pola kelurusan yang terbentuk di Cekungan Sumatera Tengah, arah tersebut yaitu : (1)
N40W, 15, (2) N15W, 10, (3) N15-20E, (4) N10E, 10, (5) N60W, 10 dan (6)
Utara-Selatan. Pola kelurusan dari berbagai struktur tersebut terbentuk melalui beberapa
episode deformasi. Episode tersebut meliputi (1) deformasi batuan dasr (F0) Pre-Tersier
yang membentuk arah-arah N60W, 10 dan Utara-Selatan, (2) deformasi (F1) EosenOligosen, berkaitan dengan extension yang menyebabkan rifting pada zona-zona lemah hasil
deformasi F0, (3) deformasi (F2) Oligosen Akhir-awal Miosen Tengah menghasilkan gayagaya transtensional dan transpressional yang menyebabkan timbulnya struktur-struktur pullapart basin, sesar turun planar dan listrik serta struktur bunga, (4) deformasi (F3) Miosen
Tengah-Resen, merupakan regim kompresi yang menyebabkan pengaktifan kembali atau
pembalikan struktur-struktur yang terbentuk pada deformasi-deformasi sebelumnya. Episodaepisoda deformasi tersebut sangat dipengaruhi oleh gerak-gerak (baik sudut pertemuan
ataupun kecepatan) lempeng India-Australia yang menyusup kebawah Sundaland.
Berdasarkan evolusi struktur pada Cekungan Sumatera Tengah, disimpulkan bahwa
kemungkinan Sumatera tidak mengalami perputaran.

Penjelasan Lain Mengenai Cekungan Sumatra Tengah


Di cekungan Sumatra Tengah, Eubank dan Maki (1986) menjelaskan bahwa lempeng
mikro Malaka dan Mergui berasosiasi dengan sejarah jenis blok tersier yang bersifat stabil.
Formasi Pematang di lempeng mikro Mergui dan Malaka hilang atau terbentuk tidak
sempurna. Sedangkan Formasi Sihapas yang terletak diatasnya tipis. Bahkan dimana batuan
tersiernya tebal, lipatan kompresional jarang ditemukan dan berumur muda. Tektonisme hanya
terbatas pada pergerakan vertikal dan regional.
Aliran panas di cekungan Sumatera tengah rendah. Rangkaian Mutus dan lempeng
Mikro Mergui mempunyai sejarah yang berbeda dan berasosiasi dengan horst dan graben
tersier lipatan kompresional dan aliran panas tinggi. Gbr 10 yang diambil dari makalah Hasan
dkk memperlihatkan penstrukturan awal.
Volkanisma

dan transgresi maksimum di Cekungan Belakang Busur terjadi pada

Miosen Awal Miosen Tengah atau diantara zona plankton N7 dan N9. Periode ini diduga
merupakan gerakan ekstensional kerak maksimum dan input panas lapisan luar bumi tertinggi.
Di cekungan Sumatera Tengah volkanisitas busur ditandai oleh 7 pusat intrusi dan
ekstrusi yang terletak diatas Rangkaian Mutus dan merupakan hasil dari magmatisme dalam
bersifat alkalis. Umur K Ar berkisar antara 12 17,5 ma. Di Merak #1 lava berselingan
dengan sedimen N8.
Tektonik cekungan Sumatra Tengah, seperti cekungan lainnya di Sumatra Timur. juga
tidak lepas dari pengaruh interaksl dan subduksi dari lempeng Samudra Hindia-Ausatralia
dengan tepi lempeng Eurasia. Subduksi tersebut, di Sumatra tengah menimbulkan
terbentuknya "sell konveksi mantel-bumi" dan diapir, yang manyebabkan terjadinya rezim
regangan pada bagian kerak diatas dengan suatu gejala pemekaran di belakang busur.
Kegiatan magma hypabyssal dari bagian yang dalam melalui sesar dan menerobos
sedimen-sedImen Tersier diatasnya telah menimbulkan aliran panas yang tinggi (high heat
flow). Seperti telah diuraikan sebelumnya, Cekungan Sumatra Tengah ini mempunyai gradien
geothermal yang tertinggi dari cekungan-cekungan belakang busur yang terdapat pada baglan
tepi daratan Sunda (Ob.4-16).
Interaksi konvergen yang serong dari Asia Tenggara dengan lempeng Hindia-Australia,
telah menimbulkan terladinya tegasan koppel menganan (dextral wrenching stress). Tegasan
ini arahnya sejajar dengan batas lempeng dan telah menutupi secara menyolok pengaruh dari
pada tegasan regangan yang terjadi di bagian belakang busur. Salah satu pencerminan darlpada
tegasan 'koppel' tadi antara lain adalah sesar Sumatra (Katill,1974) yang melintang diatas
Bukit Barisan.
Struktur yang mewarnai Cekungan Sumatra Tengah sendiri, juga memperlilhatkan
pengaruh yang kuat daripada. tegasan 'koppel' dextral itu, antara lain berupa :
a. Sesar-sesar dengan kemiringan bidang yang besar, yang arah pergeserannya dapat
berubah sepanjang jurusnya.
b. Sesar sungkup dan struktur 'bunga' ('flower structure').
c. Poros-poros lipatan yang arahnya membuat sudut lancip dengan sesar, dan
d. Sesar-sesar yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang menebal pada bagian yang turun.

Eubank dan Chaidar Makki (1986), manyebutkan adanya suatu tipe lipatan yang khas
ditemui di daerah Sumatra Tengah yaitu yang disebutnya sebagai Sunda fold. Struktur
tersebut mempunyai tanda-tanda berupa antiklin di bagian puncak, tetapi berubah sifat
menjadi sinklin pada bagian yang dalam (Gb.4-16).
Pola struktur seperti itu menurut Eubank dan Makki (1986) dapat terjadi pada suatu
pola tektonik dan pengendapan yang khusus, yaitu merupakan produk dari rezim regangan
dengan endapan-endapan yang tebal pada dopreti-depreel (graben), dan kemudian mengalam
daformasi oleh tagasan koppel yarig manghasilkan struktur lipatan pada bagian atas graben.
Peristiwa ini seringkai juga disertal dengan gerak-gerak naik antiklin pada sesar-sesar yang
membatasi 'graben'.
Di Sumatra Tengah dapat dibedakan adanya 2 (dua) pola sesar yeng menonjol, yaitu
yang berarah utara-Selatan dan berarah baratlaut-tenggara. Kedua pola sesar tersebut aktip
sepanjang Tersier, dengan adanya bukti-bukti sbb.:
1. Endapan Paleogen, sebarannya dikontrol oleh kedua pola sesar tersebut, meskipun
yang paling menonjol adalah sesar utara-selatan.
2. Stuktur lipatan yang ada diatas pola sesar yang berarah utara-selatan memperlihatkan
bentuk yang lazim dijumpal pada gerak sesar mendatar dekstral. Struktur diatas sesar
tersebut melibatkan juga lapisan batuan yang muda. Hal ini menunjukkan bahwa sesar
yang berarah utara-selatan itu tidak saja berumur Paligosen, tetapi juga telah aktif pada
Pilo-Plistosen.
3. Kedua pola sesar tersebut saling berpotongan dengan membentuk pola 'dogleg' (kaki
anjing), dengan pergeseran-pergeseran yang tidak konsistan (Gb.4-17).

Cekungan Ombilin
Cekungan Ombilin merupakan cekungan tarikan (pull apart basin) yang

secara

tektonik dapat disamakan dengan pembentukan 'Ridge Basin' di California, A.S.


(Koesoemadinata dan Matassak, 1981). Luas cekungan ini

kurang lebih 25 X 60 Km,

memanjang dengan arah sejajar dengan struktur utama Sumatra (Gb.4-19). Di sebelah timur,
cekungan ini dibatasi oleh sesar Takung dimana batuan Pra-Tersier menindih lapisan Tersier
(Cameron dkk,1981). Ke arah barat, cekungan Ombilin bertambah dalam dengan cepat,
dimana lapisan-lapisan Tersier tersesarkan dan bergerak turun melalui sesar-sesar naik yang
arahnya baratlaut-tenggara (Gb.4-20), yang mungkin berasosiasi dengan sesar mandatar (T.
Koning ,1986)
Suatu gejala struktur penting memotong sebagian besar Cekungan Ombilin yaitu sesar
Tanjung Ampalo. Sesar yang berarah hampir utara-selatan ini membentuk tebing yang cukup
curam dan memisahkan bagian cekungan yang dalam dari dataran Sigelut di

sebalah

baratlaut-nya. Sesar Tanjung Ampalo ini dapat ditafsirkan sebagai sesar mendatar dextral 'orde
kedua' sabagal respon dari tegasan sesar utama dextral Samangko.
Ciri-ciri stratigrafi suatu cekungan tarikan, antara lain :
a. Proses pengandapan yang tinggi.

b. Pola atimetri dari urut-urutan sedimen dan fasies.


c. Bentuk pengendapan yang menunjukkan batas dengan sesar pada bagian tepi cekungan
endapan kipas-kipas alluvial 'konglomerates', limpah banjir, lakustrin dsb).
Sifat-sifat pangendapan seperti di atas, dijumpai di cekungan Ombilin. Dari data
seismik dan pemboran (T. Koning, 1986) serta perhitungan erosi yang telah berlangsung
selama Tersier. maka dlperkirakan bahwa cekungan ini telah menerima tidak kurang dari 9100
meter kubik sedimen selama pengendapannya (Gb.4-17).

Cekungan Sumatera Selatan


Sejarah yang sama menandai bagian dari cekungan Sumatera Selatan yang dilapisi
oleh Rangkaian Mutus. Sejarahnya dimulai dengan pristiwa rifting yang dilanjutkan dengan
pengendapan formasi lahat dan talang akar. Fase pertama ini digambarkan di gbr 1 yang
diambil dari makalah Hutapea tentang Abab field. Sejarah berlanjut dengan intrusi sill miosen
awal pada formasi gumai di tempino field dan sungai gelam field. Umur K Ar di Tempino
mengindikasikan bahwa sill tersebut diintrusikan pada 11,1 dan 16,2 ma. Sill tersebut
memotong talang akar di sumur plajawan #1. Sayatan tipis menunjukan bahwa magmanya
bersifat alkalis. Penelitian kembali oleh Thamrin dkk dari data aliran panas menunjukan
bahwa aliran panas tertinggi pada saat sekarang tidak berasosiasi dengan marjin marjin
cekungan tetapi berhubungan dengan sub singkapan Rangkaian Mutus.
Penstrukturan awal dan aliran panas tinggi memberikan kondisi optimum bagi cebakan
minyak tersier. Penelitian catatan produksi di cekungan Sumatera selatan dan tengah
mengungkapkan bahwa 95% keluaran kumulatif (gbr. 1) berasal dari tempat-tempat yang
berada diatas Rangkaian Mutus atau di tempat tempat yang dianggap terpengaruhi oleh
tektonisme trias yang merupakan 65% dari total produksi minyak Indonesia.
Gambar 12 menggambarkan 2 jenis lapangan minyak: lapangan minyak yang
berhubungan dengan Formasi Talang Akar yang bersifat transgresif dan lapangan minyak yang
berhubungan denga formasi benakat yang bersifat regresif. Tingkat kontrol pada skala lokal
dapat dilihat pada peta daerah pendopo Prabumulih dimana antiklin permukaan yang
memanjang yang berada diatas atau sejajar dengan Rangkaian Mutus bersifat produktif.
Cekungan Sumatra Selatan merupakan bagian daripada cekungan Sumatra Timur, dan
dipisahkan dari cekungan Sumatra tengah diutaranya, oleh pegunungan Duabelas / Tigapuluh,
yang merupakan singkapan batuan pra-Tersier.
Cekungan ini dikenal sebagal cekungan yang kaya minyak-bumi dan terdiri dari dua
ub-cekungan, yaitu sub-cekungan Palembang dan subcekungan Jambi. Seperti juga halnya
dengan cekungan Sumatra Timur lainnya, pola perkembangan tektoniknya sangat dipengaruhi
oleh sesar Sumatra (righ dextral fault), yang terjadi sebagai akibat konvergensi lempeng
Hindia-Australia dengan Eurasia.
Pola struktur di Sumatra Selatan, seperti juga pada bagian lain di Sumatra Timur, dapat
diamati adanya 3 (tiga) pola sesar utama yang berasal dari data geofisik (seismik dan gaya

berat) dan dari hasil korelasi pomboran, yaitu berarah utara-selatan, timurlaut-baratdaya dan
baratlaut-tenggara (Pulunggono, 1983).
Perlipatan yang melibatkan semua batuan Tersier di cekungan Sumatra selatan,
memperlihatkan arah yang hampir sama yaitu baratlaut tenggara, kurang lebih tegaklurus pada
tegasan Sumatra yang berarah timurlaut-baratdaya (Gb.4-20). Pola-pola sesar ini juga
nampaknya sangat berperan sebagai kontrol dalam sebaran dan bentuk daripada cekungan dan
sub-sub cekungan di Sumatra Selatan.

Anda mungkin juga menyukai