Dementia
Oleh :
Mohankummar
06120195
Pembimbing :
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Demensia adalah kumpulan gejala kronik yang disebabkan oleh berbagai
latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya memori jangka pendek,
gangguan global fungsi mental, termasuk fungsi bahasa, mundurnya kemampuan
berpikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil, dan
hilangnya pengenalan waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan dalam pekerjaan,
aktivitas harian, dan sosial1,2.
Klasifikasi
Demensia dapat dibagi menjadi demensia yang reversibel dan ireversibel yaitu :
1. Demensia Reversibel
Ditemukan pada kurang dari 20% penderita demensia. Demensia reversibel
dapat disebabkan oleh:
Alkoholisme
Pemakaian jangka panjang berbagai jenis obat antidepresan secara
bersamaan, antiaritmia, antihipertensi, analgetik, dan digitalis.
Gangguan psikiatri
Depresi, skizofrenia (terutama tipe paranoid), gangguan bipolar, dan
gangguan pribadi berat.
Normal pressure Hydrocephalus
Ditemukan pada 2-6% demensia, biasa ditemukan pada usia lanjut dengan
gejala gangguan memori, bingung, reaksi lambat, gangguan bejalan, dan
inkotinensia. Pada penderita dapa dijumpai riwayat trauma, meningitis,
atau perdarahan subarakhnoid, tetapi pada sebagian besar kasus tidak
ditemukan kelainan sebelumnya. Dengan pemasangan
ventriculo-
2. Demensia Ireversibel
Pada umumnya berhubungan dengan proses degenerasi otak yang bersifat
permanen.
Demensia Alzheimer
Merupakan frekuensi demensia yang paling tinggi, meliputi 50-55 % dari
seluruh demensia, biasanya memeiliki faktor risiko seperti usia yang lebih
dari 40 tahun, riwayat keluarga Alzheimer, Parkinson, Sindroma Down.
Demensia Alzheimer dibagi menjadi 3 stadium yaitun :
-
Stadium Ringan
Gangguan memori menonjol, namun penderita masih dapat melakukan
aktivitas harian sederhana.
Stadium Sedang.
Gangguan memori diikuti oleh gangguan kognisi lain : Penderita
membutuhkan bantuan untuk melakukan aktivitas harian, terutama
yang kompleks.
Stadium lanjut.
Penderita sudah tidak dapat berkomunikasi karena gangguan kognitif
berat, biasanya diikuti penurunan fungsi motorik, sehingga penderita
sulit bergerak dan memerlukan bantuan penuh ntuk melakukan
aktifitas hariannya.
Diagnosis
Demensia ditandai oleh adanya gangguan kognisi, fungsional, dan perilaku,
sehingga terjadi gangguan pada pekerjaan, aktivitas harian, dan sosial. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan neuropsikologis.
Anamnesis/wawancara meliputi awitan penyakit (akut/perlahan), perjalanan penyakit
(stabil/ progresif, membaik), usia awitan, riwayat medis umum dan neurologis,
perubahan neurobehaviour, riwayat psikiatri, riwayat yang berhubungan dengan
etiologi (seperti infeksi, gangguan nutrisi, penggunaan obat, dan riwayat keluarga).
Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital, pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologis
dan neuropsikologis. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium dan
radiologis
Anamnesis
Wawancara mengenai penyakit sebaiknya dilakukan pada penderita dan
mereka yang sehari-hari berhubungan langsung dengan penderita (pengasuh). Hal
yang paling penting diperhatikan adalah riwayat penurunan fungsi terutama kognitif
Riwayat Neurologis
Perlu umtuk mencari etiologi seperti riwayat gangguan serebrovaskuler,
trauma kapitis, infeksi SSP, epilepsi, tumor serebri dan hidrosefalus.
Riwayat Intoksikasi
Perlu ditanyakan riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida,
insektisida, alkoholisme, dan merokok. Riwayat pengobatan terutama pemakaian
kronis antidepresan dan narkotika.
Riwayat Keluarga
Riwayat demensia, gangguan psikiatri, depresi, penyakit Parkinson, sindroma
down, dan retardasi mental.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum, dilakukan sebagaimana biasa pada prakter klinis.
Pemeriksaan Neuropsikologi
Meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi, praksis, visuospasial,
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium (darah lengkap
termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, hormon tiroid, dan kadar vitamin B12,
pemeriksaan HIV dan neurosifilis dianjurkan pada penderita dengan risiko tinggi),
pemeriksaan pencitraan otak (CT Scan dan MRI).
DEMENSIA VASKULER
Penyakit vaskuler merupakan penyebab kedua demensia, setelah penyakit
Alzheimer. Penyakit vaskuler dapat dicegah dan ditangani, dengan peningkatan
kewaspadaan dan pengendalian faktor-faktor vaskuler, sehingga insidensi demensia
dapat diturunkan3. Baru sedikit diketahui tentang penyebab yang mendasari penyakit
vaskuler ini. Beberapa penelitian di Amerika melaporkan adanya gambaran insidensi
spesifik untuk penyakit vaskuler, dan telah dapat mengidentifikasikan faktor-faktor
risiko yang berhubungan4.
Pada akhir abad ke-19, Otto Biswanger dan Alois Alzheimer meneliti tentang
hubungan antara patologi vaskuler dan pengurangan kemampuan kognisi. Tujuh
puluh tahun kemudian, Tomlisson dan Blessed melengkapi dengan penelitian yang
lebih sistematik yang menunjukkan hubungan antara patologi vaskuler dengan
demensia. Pada tahun 1974, Hachinski mengenalkan istilah multi-infark dementia
(MID) untuk menekankan bahawa demensia adalah berhubungan dengan infark
pembuluh darah otak baik pembuluh besar maupun kecil. Kemudian peneliti-peneliti
menggunakan istilah vascular dementia (VaD) yang membantu para dokter untuk
mempertimbangkan berbagai patologi vaskuler termasuk perdarahan, yang dapat
menyebabkan demensia. Baru-baru ini para peneliti mengenalkan isitlah vascular
cognitive impairment (VCI) dengan tujuan untuk meluaskan konsep lebih lanjut.
Dimaksudkan bahwa penyakit vaskuler dapat menyebabkan suatu defisit kognisi dari
skala ringan sampai berat, dan pengenalan dini dari defisit tersebut membantu klinisi
untuk mengintervensi sebelum demensia terjadi3.
berhubungan dengan luas dan jumlah infark, tetapi juga lokasi dan bahkan lesi
tunggal yang strategis sudah dapat menyebabkan demensia3.
Depresi merupakan suatu sindroma premonitor untuk VaD pada pasienpasien stroke, dan juga merupakan suatu penanda yang penting bagi kerusakan pada
otak. Hubungan antara VaD dan alel 4 dari ApoE telah diteliti pada beberapa
penelitian, dan ditemukan bahwa adanya alel ini bukan hanya merupakan suatu
penanda spesifik bagi Alzheimer Disease, tapi juga dihubungkan dengan proses
perbaikan pada sistem saraf. Frison et.al menghipotesiskan bahwa ApoE memainkan
peran pada metabolisme otak normal, dan terdapatnya alel 4 dalam jumlah besar
menandakan adanya kerusakan pada otak baik degeneratif atau vaskuler.
Bagaimanapun juga, semenjak diagnosis VaD ditetapkan dengan menggunakan
kriteria NINDS-AIREN, maka konkurensi dengan Alzheimer Disease adalah
mungkin dan menjelaskan hubungan dengan ApoE24.
Resiko yang berhubungan dengan paparan pestisida dan pupuk telah
dikonfirmasikan pada berbagai penelitian terdahulu, dan menjelaskan hubungan
dengan daerah rural. Tingginya insidensi VaD di daerah rural juga dilaporkan Liu
et.al dan hubungan antara zat ini juga terdapat pada Alzheimer Disease dan
Parkinson4.
Etiologi
Barubaru ini diketahui, bahwa demesia vaskuler bukan hanya disebabkan
oleh discret infark (multi-infark demensia), tapi juga oleh keadaan serebrovaskuler5.
Secara garis besar VaD terdiri dari tiga subtipe yaitu :
1. VaD pasca stroke .
Biasanya mempunyai korelasi waktu yang jelas antara stroke dengan terjadinya
demensia, mencakup;
a. Demensia infark strategis : lesi di girus angularis, talamus, basal forebrain,
teritori arteri serebri posterior, dan arteri serebri anterior.
b. Multiple Infark Dementia (MID)
c. Perdarahan intraserebral
2. VaD subkortikal, dengan kejadian TIA atau stroke yang sering tidak terdeteksi
namun memiliki faktor resiko vaskuler, mencakup;
10
b) CVD :
CVD yang dibuktikan dengan neuroimaging
Adanya riwayat defisit neurologis sebagai bagian dari CVD : hemiparese,
parese otot wajah, refleks Babinski positif, gangguan sensorik, disartri,
gangguan berjalan, gangguan ekstrapiramidal yang berhubungan dengan
lesi subkortikal otak6.
Gambaran Klinis
Sesuai dengan NINDS-AIREN maka didapatkan gambaran klinis VaD
sebagai berikut :
A. Gambaran klinis yang konsisten dengan diagnosis probable VaD :
1. Gangguan berjalan (langkah-langkah kecil, atau marche a petit-pas, magnetic,
apraxic-ataxic atau parkinson gait )
2. Riwayat miksi dini dan keluhan kemih yang bukan disebabkan oleh kelainan
urologi. Perubahan kepribadian dan suasana hati, abulia dan depresi.
Inkontinesia, emosi, gejala defisit subkortikal meliputi retardasi psikomotor
dan gangguan fungsi eksekusi3.
11
motorik (apraksia) dan persepsi (agnosia) tanpa adanya lesi yang sesuai pada
pencitraan otak.
2. Tidak ditemukannya defisit neurologik fokal selain gangguan kognisi. Tidak
ditemukan lesi pada CT-scan atau MRI kepala5.
12
13
Manajemen Terapi
Gangguan mood dan perilaku yang ditemukan pada pasien demensia vaskuler
dapat bervariasi sesuai dengan lokasi fungsi otak yang rusak. Gejala yang sering
muncul adalah depresi, agitasi, halusinasi, delusi, ansietas, perilaku kekerasan,
kesulitan tidur dan wandering ( berjalan ke sana kemari). Sebelum memulai terapi
farmakologis, terapi non-farmakologis harus dilakukan dulu untuk mengontrol
gangguan ini namun dalam prakteknya sering diperlukan kombinasi kedua metode
terapi ini. Penting untuk selalu menganalisa dengan seksama setiap gejala yang
timbul, adakah hubungan gejala perilaku atau psikiatrik dengan kondisi fisik (nyeri),
situasi (ramai, dipaksa, dll) atau semata-mata akibat penyakitnya. Pasien demensia
vaskuler dengan depresi memperlihatkan gangguan fungsional yang labih berat
dibanding pasien demensia Alzheimer tanpa depresi. Obat antidepresan dapat
memperbaiki gejala depresi, mengurangi disabilitas tetapi tidak memperbaiki
gangguan kognisi.
Penderita dengan faktor resiko penyakit serebrovaskuler misalnya hipertensi,
diabetes melitus, penyakit jantung, arterosklerosis, arteriosklerosis, dislipidemia dan
merokok, harus mengontrol penyakitnya dengan baik dan memperbaiki gaya hidup.
Kontrol teratur terhadap penyakit primer dapat memperbaiki fungsi kognisinya.
A. Terapi farmakologik.
1. Terapi simptomatik pada demensia vaskuler kolinergik adalah pemberian
kolinesterase inhibitor karena terjadi penurunan neurotransmiter.
Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan obat golongan ini dapat
menstabilkan fungsi kognisi dan memperbaiki aktivitas harian pada
penderita demensia vaskuler ringan dan sedang.. Efek samping kolinergik
yang perlu diperhatikan adalah mual, muntah, diare, bradikardi dan
gangguan konduksi supraventrikuler. Terapi non-farmakologis bertujuan
untuk memaksimalkan/mempertahankan fungsi kognisi yang masih ada.
2. Antidepresan yang dapat dipakai pada pasien demensia vaskuler antara
lain
a. Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors ( SSRI).
14
Orientasi realitas
1. penderita diingatkan akan waktu dan tempat
2. beri tanda khusus untuk tempat-tempat tertentu, misalnya kamar mandi
3. pemberian stimulasi melalui latihanpermainan, misalnya permainan
monopoli, kartu, scrabble, mengisi teka-teki silang, sudoku, dan lain-lain.
15
Hal ini memberi manfaat yang baik pada predemensia (Mild Cognitive
Impairment).
Psikotetapi
16
BAB 2
LAPORAN KASUS
Seorang pasien perempuan umur 72 tahun datang ke poliklinik saraf RSUP Dr. M. Djamil
Padang pada tanggal 01 November 2014, dengan;
17
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
: 150/90 mmHg
Nadi
: 84x/menit, teratur
Napas
: 22x/menit
Suhu
: 36,7oC
Status Internus
Rambut
KGB
Keadaan regional
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Leher
PARU
Inspeksi
: simetris kiri=kanan
Palpasi
: fremitus kanan=kiri
Perkusi
: sonor
Auskultasi
JANTUNG
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
18
Auskultasi
ABDOMEN
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: timpani
Auskultasi
Status Neurologis
Kesadaran CMC, GCS 15 (E4 M6 V5)
1. Tanda Rangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk
: (-)
Brudzinski I
: (-)
Brudzinski II
: (-)
Kanan
Kiri
Subjektif
Baik
Baik
Baik
Baik
Kanan
Kiri
Tajam Penglihatan
Baik
Baik
Lapangan Pandang
Baik
Baik
Melihat warna
Baik
Baik
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
N.II (Optikus)
Penglihatan
Funduskopi
19
N.III (Okulomotorius)
Bola Mata
Ptosis
Kanan
Kiri
Bulat
Bulat
(-)
(-)
Gerakan Bulbus
Bebaskesegalaarah
Strabismus
(-)
(-)
Nistagmus
(-)
(-)
Ekso/Endopthalmus
(-)
(-)
Bulat, isokor
Bulat, isokor
Refleks Cahaya
(+)
(+)
Refleks Akomodasi
(+)
(+)
Refleks Konvergensi
(+)
(+)
Kanan
Kiri
Baik
Baik
Sikap bulbus
Ortho
Ortho
(-)
(-)
Kanan
Kiri
Baik
Baik
Sikap bulbus
Ortho
Ortho
(-)
(-)
Pupil
Bentuk
N.IV (Troklearis)
Diplopia
N.VI (Abdusens)
Diplopia
20
N.V (Trigeminus)
Kanan
Kiri
Membuka mulut
(+)
(+)
Menggerakan rahang
(+)
(+)
Menggigit
(+)
(+)
Mengunyah
(+)
(+)
(+)
(+)
Baik
Baik
(+)
(+)
Baik
Baik
Baik
Baik
Kanan
Kiri
Motorik
Sensorik
-Divisi Oftlamika
Refleks Kornea
Sensibilitas
-Divisi Maksila
Refleks Masseter
Sensibilitas
-Divisi Mandibula
Sensibilitas
N.VII (Fasialis)
Raut wajah
Plikanasolabialiskananlebihdatar
(+)
(+)
Fisura palpebra
Baik
Baik
Menggerakan dahi
Baik
Baik
Menutup mata
Baik
Baik
Mencibir/bersiul
Memperlihatkan gigi
Sensasi lidah 2/3 belakang
Hiperakusis
(-)
(-)
Baik
Baik
Baik
(-)
(-)
21
N.VIII (Vestibularis)
Kanan
Kiri
Suara berbisik
(+)
(+)
Detik Arloji
(+)
(+)
Rinne test
baik
Baik
Webber test
Scwabach test
Memanjang
(-)
(-)
Memendek
(-)
(-)
Nistagmus
Pendular
(-)
(-)
Vertical
(-)
(-)
Siklikal
(-)
(-)
(-)
(-)
N.IX (Glosofaringeus)
Kanan
Kiri
Baik
Baik
(+)
(+)
Kanan
Kiri
N.X (Vagus)
Arkus faring
Simetris
Uvula
Di tengah
Menelan
Artikulasi
Baik
Baik
Kuranglancer
Suara
Baik
Nadi
Teratur
22
N.XI (Asesorius)
Kanan
Menoleh kekanan
Kiri
Baik
Menoleh kekiri
Baik
Baik
Baik
N.XII (Hipoglosus)
Kanan
Kedudukan lidah dalam
Kiri
Deviasikekiri minimal
Deviasikekanan minimal
Tremor
(-)
(-)
Fasikulasi
(-)
(-)
Atropi
(-)
(-)
Pemeriksaan Koordinasi
Cara Berjalan
Romberg test
Sukar dinilai
Disatria
(+)
Tidakterganggu Disgrafia
(-)
Ataksia
(-)
Supinasi-Pronasi
(+)
Rebound Phenomen
(-)
(+)
(+)
(+)
Respirasi
Teratur
Duduk
B.Berdiri dan berjalan
Dapat dilakukan
Gerakan spontan
(-)
(-)
Tremor
(-)
(-)
Atetosis
(-)
(-)
Mioklonik
(-)
(-)
Khorea
(-)
(-)
23
C.Ekstermitas
Superior
Inferior
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Gerakan
Aktif
Aktif
Aktif
Aktif
Kekuatan
444
555
333
555
Tropi
Eutropi
Eutropi
Eutropi
Eutropi
Tonus
Eutonus
Eutonus
Eutonus
Eutonus
Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil
Baik
Sensibilitas nyeri
Baik
Sensibilitas termis
Baik
Sensibilitas kortikal
Baik
Stereognosis
Baik
Pengenalan 2 titik
Baik
Pengenalan rabaan
Baik
Sistem Refleks
A. Fisiologis
Kanan
Kiri
Biseps
(++)
(++)
Berbangkis
Triseps
(++)
(++)
Laring
KPR
(++)
(++)
Masseter
APR
(++)
(++)
Dinding Perut
Bulbokavernosa
Kanan
Kiri
Babinski
(-)
(-)
Chaddoks
(-)
(-)
Oppenheim
(-)
(-)
Kornea
Kanan Kiri
(+)
(+)
Atas
Creamaster
Tengah
Sfingter
Bawah
B. Patologis
Kanan Kiri
Lengan
Hofmann Tromner
Tungkai
(-)
(-)
24
Gordon
(-)
(-)
Schaeffer
(-)
(-)
Klonus paha
Klonus kaki
Fungsi Otonom
Defikasi : baik
Keringat : baik
Fungsi Luhur
Kesadaran
Tanda Demensia
Reaksi bicara
Baik
Refleks glabela
(+)
reaksi intelek
Baik
Refleks Snout
(+)
Reaksi emosi
Baik
Refleks Menghisap
(-)
Refleks Memegang
(-)
Diagnosis Klinis
: Demensia vaskuler
Diagnosis Topik
Diagnosis Etiologi
Diagnosis Sekunder
: Hipertensi Stage I
Penatalaksanaan :
Aspilet 2x80 mg PO
Donepezil 1x10 mg PO
Amitriptilin 1x25 mg PO
25
Orietasi realitas
1. penderita diingatkan akan waktu dan tempat
2. beri tanda khusus untuk tempat-tempat tertentu, misalnya kamar mandi
26
Contoh resep :
dr. Mohankummar
SIP. 07 120 0i0
Praktek : Senin Jumat (kecuali hari libur)
Jam Praktek : 17.00-20.00
Alamat Praktek : Jl. Jati Rawang No.18
Bukittinggi, 01 November 2014
R/ Aspilet tab 80 mg
No. XX
S2dd tab I
R/ Donepezil tab 10 mg
No. X
S1dd tab I
R/ Amitriptilin tab 25 mg
No. X
S1dd tab I
R/Neurodex tab
S2dd tab I
Pro
No. XX
: Ny. I
Umur : 72 tahun
27
BAB 3
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien perempuan berumur 72 tahun di poliklinik
saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 23 Oktober 2014 dengan diagnosis
klinik demensia vaskuler, diagnosis topik subkorteks serebri hemisfer sinistra,
diagnosis etiologi post stroke, diagnosis sekunder hipertensi stage I.
pasien
Dari pemeriksaan fisik, ditemukan refleks glabela, snout dan palmomental yang
menunjukkan adanya regresi, serta gangguan kognitif definitif melalui pemeriksaan
mini mental state examination (MMSE) dengan skor 16.Pada kasus ini, demensia
kemungkinan disebabkan oleh proses degenerasi otak dan hipertensi yang
merupakan faktor-faktor risiko demensia karena menimbulkan kerusakan pada
pembuluh darah otak. Setelah pasien mengalami stroke, tidak menutup kemungkinan
bahwa gejala yang dialami, menjadi bertambah berat, sesuai dengan teori bahwa
demensia berhubungan dengan infark pembuluh darah otak.
Pada kasus ini, demensia kemungkinan disebabkan oleh proses degenerasi otak
dan hipertensi yang merupakan salah satu faktor resiko demensia karena
menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah otak. Setelah pasien mengalami
stroke, tidak menutup kemungkinan bahwa gejala yang dialami, menjadi bertambah
berat, sesuai dengan teori bahwa demensia berhubungan dengan infark pembuluh
darah otak.
28
Demensia juga terjadi setelah pasien mangalami gangguan pembuluh darah otak,
yang merupakan kriteria untuk demensia vaskuler.Penatalaksanaan pada pasien ini
diberikanAspilet 2x80 mg PO, Donepezil 1x10 mg PO,Amitriptilin 1x25 mg
PONeurodex 2x1 tab. Penatalaksanaan non farmakologis pada penderita demensia
antara lain intervensi kegiatan sehari-hari seperi perawatan diri, perkerjaan di rumah
yang ringan, hobi dan kebiasaan seperti berkebun dan beraktivitas fisik. Interaksi
sesama keluarga juga dapat dijaga untuk membaiki fungsi sosial penderita.
Penatalaksanaan
program aktivitas harian penderita ( kegiatan harian yang teratur dan sistematis,
misalnya aktivitas fisik yang baik, melaksanakan Latih, Ulang, Perhatikan dan
asosiasi ), serta orientasi realitas ( penderita diingatkan akan waktu dan tempat, beri
tanda khusus untuk suatu tempat tertentu.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis dini dan penatalaksanaan demensia. Jakarta:
PERDOSSI.
2 Mardjono M, Sidharta P, 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, hal
211-214
3. Herbert R et al, Incidence and Risk Factors in the Canadian Study of Health and
Aging. American Heart Association, 2000; 3: 1487-933.
4.Geldmacher D, Whitehouse P, Evaluation of Dementia. The New England Journal
of Medicine. 1996; (8);330-364.
5. Taternichi TK, Desmond DW, Mayeux R, et al. Dementia after stroke: baseline
frequency, risks, and clinical features in hospitalized cohort. Neurology.1992; 42(6):
1185-936.
6. Rocca WA, Hoffman Apendiks, Brayne C, et.al. The prevalence of vascular
dementia in Europe: facts and fragments from 1980-1990 studies. EURODEMPrevalence Research Group. Ann Neurol. 1991; 30(6): 817-247.
7. DeCarli C, Reed T, Miller BL, et.al.Impact of Apolipprotein E 4 and Vascular
Disease om Brain Morphology in Men from the NHLBI Twin Study. American
Heart Association 1999; (5):1548-538.
8. Beilby JP, Hunt OCJ, et.al. Apolipoprotein E Gene Polymorphism are associated
with Carotid Plaque Formation but not With Intima-media Wall Thickening.
American Heart Association. 2003;(10):869-739.
9. De Leeuw FE, Richard F, De Groot JC, et.al. Interaction Between Hypertension,
ApoE, and Cerebral White Matter Lesions. American Heart Associatiom. 2004;(1):
11057-6210.
10 Leung CHS, Poon WS, et.al. Apolipoprotein E Genotype and Outcome in
Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. 2002; (10): 548-5
30